Anda di halaman 1dari 34

BAB II

RASIONALITAS ETIKA AUDITOR INTERN PEMERINTAH:


EKSISTENSI LOGIS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

2.1. Perspektf Teoritis

Mempelajari penelitian kualitatif, tidak dapat dipisahkan dari orientasi

teoritis atau perspektif teoritis karena berhubungan dengan pencarian peneliti

bagaimana ia melakukan dan menafsirkan hasil penelitiannya. Perspektif teoritis

berbicara tentang cara memandang dunia (world view), apa yang dianggap

penting oleh orang, dan apa yang menyebabkan segala sesuatu berjalan,

sehingga teori membuat gambaran yang terarah dan sistematis (Ahmadi,

2014:47).

Pada penelitian kualitatif, teori dibatasi oleh pernyataan sistematis yang

berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data, memanfaatkan

teori yang ada sebagai bahan penjelas, diuji kembali secara empiris sehingga

dapat berakhir dengan suatu “teori”. Peneliti yang baik menyadari dasar orientasi

teoritisnya dan memanfaatkannya dalam pengumpulan dan analisis data

(Moleong, 2006:14).

2.1.1. Teleological Ethic : Rasionalitas Etika dalam Filsafat Moral

Etika dan moralitas sering dipakai secara bergantian atau dapat juga

dipertukarkan karena memang kedua istilah ini memiliki persamaan pengertian

jika ditinjau dari sisi teoritisnya namun penggunaannya dalam tataran praktis

sering tidak mudah dibedakan. Pertama, etika berasal dari kata Yunani ethos

(jamak: ta etha) artinya adat-istiadat atau kebiasaan hidup yang baik sehingga

etika dapat dipahami karena berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang

baik, aturan yang baik dan segala bentuk kebiasan yang dianut dan diwariskan.
2

Sedangkan moralitas, berasal dari kata Latin mos (jamak: mores) yang juga

artinya adat-istiadat atau kebiasaan. Kedua, etika dan moralitas yang dipahami

sebagai sesuatu yang berbeda dan lebih luas, bahwa etika dirumuskan sebagai

refleksi kritis dan rasional mengenai nilai-nilai yang tertanam dalam kehidupan

manusia, yakni nilai-nilai atau norma moral itu sendiri, sehingga etika disebut

sebagai ilmu yang mengajarkan filsafat moral (Keraf, 1998:13-15).

Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis, juga

disebut sebagai filsafat moral karena berkaitan tentang adat kebiasaan, nilai-nilai,

dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dapat pula

dijumpai pertanyaan-pertanyaan etis yang berangkat dari filsafat moral

didasarkan pada prinsip-prinsip fundamental tertentu, bertujuan tidak hanya

memahami adanya kebaikan, melainkan memanfaatkan untuk menjadi pribadi

yang lebih baik (Palmquis, 2007:291). Lebih jelasnya lagi Singer (2015),

mengemukakan bahwa “Ethics, also called moral philosophy,  the discipline

concerned with what is morally good and bad, right and wrong. The term is also

applied to any system or theory of moral values or principles.”

Menilai perilaku atau keputusan etis dan tidak etis dipercaya

membutuhkan rasionalitas. Cara untuk mencapai kebenaran pengetahuan tidak

hanya berdasarkan pengalaman hidup namun harus mencari kebenaran dasar

yang ditemukan melalui pemusatan diri pada sumber daya logika dan intelektual

(Baggini, 2002:18). Olehnya itu, perilaku tidak rasionalpun merupakan hal yang

wajar karena rasionalitas dapat dibuat. Etzioni (1986), mengatakan “The fact that

resources must be sacrificed to gain rationality provides empirical evidence that

rational behavior is a product”.

Berdasar teori neo-klasik perilaku rasional selalu dihadapkan pada pilihan

untuk mendapatkan utility maksimum (perolehan manfaat), sehingga selalu

berprinsip pada rational choise yang mengasumsikan bahwa aktor manusia


3

memiliki preferensi yang stabil dan terlibat dalam memaksimalkan perilaku

(Samson, 2014; Etzioni, 1986), kemudian menjadi sebuah tindakan rasional

(Broome, 2007; Koppl dan Whitman, 2004; Cohen, et. al., 1998). Tindakan

rasional dipengaruhi oleh alokasi sumber daya (Salazar dan Lee. 1990);

penghitungan cost of benefit (Bouffard, et. al., 2010); serta kumpulan dan

pemahaman informasi/rasional kalkulatif (Capriani & Guarino, 2008:48; March,

1978:589).

Sedangkan menurut Ulen (1999), bahwa “teori pilihan rasional adalah

jantung dari teori ekonomi modern.” Teori pilihan rasional pengambilan

keputusan dibawah ketidakpastian berpendapat bahwa pengambil keputusan

berusaha untuk memaksimalkan utilitas mereka dengan menggabungkan tiga

unsur; sikap terhadap risiko (risk netralitas, risk aversion); stabilitas dan

preferensi dan kemungkinan berbagi hasil.

Perilaku rasional mempengaruhi keinginan manusia untuk memilih,

sedangkan keinginan memilih akan mempengaruhi tindakan pengambilan

keputusan. Pilihan rasional tersebut menurut peneliti dapat dilakukan karena

terdapat pilihan antara keputusan etis dan keputusan tidak etis (dilema etika),

sehingga ketika perilaku manusia (etika dan moral) diuji berdasarkan konsep

filsafat ilmu, akan memberikan suatu pemahaman bahwa pemikiran manusia

bukan saja dapat dipergunakan untuk menentukan dan mempertahankan

kebenaran yang dapat bermanfaat bagi individu maupun masyarakat, namun

sekaligus juga dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan hal-

hal yang tidak benar (Etzioni, 1986).

Pada tingkat yang paling abstrak, meta-etika menyangkut sifat umum dari

moralitas, yang oleh kaum realis moral berpendirian bahwa putusan moral

mengungkapkan kebenaran yang ada secara bebas pada manusia. Ketika kita

bergerak dari sifat umum moral menuju kode moral yang aktual, maka kita
4

bergerak ke arena etika normatif (benar dan salah) yang beranggapan bahwa

aksi itu benar jika ia meningkatkan kegunaan dan salah jika menguranginya.

Kegunaan dapat dipahami sebagai kebahagiaan atau kemampuan untuk memilih

apa yang lebih disukai seseorang.

Sebagian kajian yang memanfaatkan disiplin psikologi dalam teori

pengambilan keputusan, masih dianggap belum memadai karena masih terjebak

oleh dikhotomi rasional-irasional, sehingga ia tidak mampu menjangkau ihwal

kehendak heuristik, altruistik, dan kepraktisan (mental shortcuts). Padahal,

rasional dan irasional ada pada karakter manusia, keduanya terjalin dengan

hubungan dialektika, atau bahasa teknisnya, hasratlah yang mendorong pikiran

bekerja, kemudian pikiranlah yang menyeleksi atau memproses perwujudan

hasrat (Asmara, 2011).

Ciri teori etika modern beranggapan bahwa persepsi individu dan

pembenaran merupakan fenomena yang terpisah dari suatu tindakan tergantung

pada apakah dapat dibenarkan secara rasional (Vieth dan Quante, 2010).

Persepsi individu tersebut tergantung pada faktor internal seperti; keyakinan,

pengalaman, kebutuhan, suasana hati, dan harapan. Proses persepsi

dipengaruhi oleh karakteristik stimulus (seperti; ukuran, warna, dan intensitas)

dan konteks di mana ia melihat atau mendengar. Olehnya itu persepsi dapat

dilihat sebagai proses penyaringan dimana faktor-faktor internal dan eksternal

mempengaruhi apa yang diterima dan bagaimana hal itu diproses atau

diinterpretasikan.

Teleological ethics, merupakan teori moralitas yang menilai kebaikan

berdasarkan tujuan yang akan dicapai, suatu tindakan dianggap baik bila tujuan

dan akibatnya mendatangkan kebaikan. Teleologi menerangkan segala sesuatu

dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu, sehingga dimaknai sebagai

sebuah studi tentang gejala-gejala yang menunjukkan keteraturan, rancangan,


5

tujuan, sasaran, kecendrungan, dan bagaimana hal tersebut dicapai dalam suatu

proses perkembangan. Secara umum teleologi menjadi studi filosofis-religius

dalam kehidupan, yang eksistensinya mengarah pada kebijaksanaan

(Dwihantoro, 2013).

Teleologi juga dikenal sebagai etika konsekuensialis yang menyatakan

bahwa ujung atau konsekuensi dari perbuatan menentukan apakah perbuatan

baik atau buruk. Dengan melihat sifat dasarnya, maka telelologi sering

dipertentangkan dengan etika deontologi, mengingat dasar utama dalam baik

buruknya tindakan adalah kewajiban. Ketika kita mengajukan sebuah

pertanyaan, “mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak atau

buruk?”, maka deontologi akan menjawab, “karena perbuatan pertama menjadi

kewajiban kita dan karena perbuatan lainnya dilarang”. Kaum deontologis

berpandangan bahwa adanya kebenaran atau ketidakbenaran suatu tindakan

tergantung pada sifat dari tindakan tersebut, bukan pada konsekuensinya

(Baggini, 2002:97).

Etika teleologi bersifat situasional karena tujuan dan akibat suatu tindakan

bisa sangat tergantung pada situasi khusus. Berdasarkan pembahasan etika

teleologi, muncul aliran-aliran teologi, yaitu egoisme dan utilitarianisme. Dari

sudut pandang “apa tujuannya” etika teleologi dibedakan menjadi; teleologi

hedonisme, yaitu tindakan yang bertujuan untuk mencari kesenangan dan

teleologis eudamonisme, yaitu tindakan yang bertujuan mencari kebahagiaan

hakiki. Sedangkan dari sudut pandang “untuk siapa tujuannya” etika teleologi

dibagi menjadi dua macam aliran yaitu; pertama, egoisme etis, inti

pandangannya bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk

mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Aliran egoisme

kemudian berkembang menjadi egoisme psikologis, yakni bahwa semua orang

selalu dimotivasi oleh tindakan demi kepentingan dirinya. Berdasarkan egoisme,


6

dapat menimbulkan persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis dan

menghalalkan segala cara. Dengan demikian tujuan yang baik harus dibingkai

dengan tindakan yang benar menurut hukum (Dwihantoro, 2013).

Kedua, utilitarianisme, sebuah teori yang dikemukakan oleh David Hume

(1711-1776), yang menyatakan suatu perbuatan atau tindakan dapat dikatakan

baik jika dapat menghasilkan manfaat yang berlaku secara keseluruhan. Dalam

pemikiran utilitarianisme,2 kriteria untuk menentukan baik buruknya atau

kegunaan suatu perbuatan ketika “the greatest happiness of the greatest

number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar, sebagai tujuan

akhir dari tindakan (Bentham, 1834).

Pandangan Bentham, bahwa semua orang menginginkan kesempatan

mendapatkan rasa aman (mendapat perlindungan) sebagai sarana untuk

mencapai kebahagiaan, meskipun berbeda pada tiap-tiap masyarakat. Prinsip

utilitas, bagaimanapun juga, menjadikan kebahagiaan terbesar sebagai tujuan

dalam kehidupan (Rosen, 2003:220). Demikian pula dalam kajian motif moralitas

(the morality of motives) disebut dengan istilah universalistic motive utilitarianism,

yakni seseorang akan memilih melakukan tindakan ketika kebanyakan orang

juga memiliki kesempatan melakukan tindakan tersebut (Adams, 1976).

Keraf (1998), menjelaskan kriteria dan prinsip utilitarianisme tentang

manfaat sebagai kebijaksanaan atau tindakan yang memiliki kegunaan tertentu.

Untuk mengukur adanya manfaat yang lebih besar, maka dibandingkan dengan

kebijaksanaan atau alternatif lainnya. Nilai positif dalam etika utilitarianisme

mengandung unsur rasionalitas, menghargai kebebasan setiap pelaku moral,

dan universalitas. Rasionalitas merupakan prinsip moral yang tidak didasarkan

2
Kaum utilitarian klasik atau hedonis mengatakan bahwa kegunaan adalah pertambahan
kesenangan dan pengurangan penderitaan orang sebanyak mungkin. Kaum utilitarian preferensi
mengatakan bahwa kegunaan adalah kepuasan pilihan (pre-ference) sebanyak mungkin orang.
Sedangkan kaum utilitarian kesejahteraan mengatakan bahwa kegunaan adalah bertambah
baiknya kesejahteraan orang sebanyak mungkin (Baggini, 2003:78).
7

pada aturan-aturan kaku, tidak mudah dipahami atau sulit mencari

keabsahaannya.

Berhubungan dengan sikap menghargai kebebasan, tidak ada paksaan

bahwa orang harus bertindak sesuai dengan cara tertentu yang mungkin tidak

diketahui alasannya. Sehingga, tindakan baik itu diputuskan dan dipilih sendiri

berdasarkan kriteria yang rasional dan bukan sekedar mengikuti tradisi, norma

atau perintah tertentu. Tindakan yang baik bukan mendatangkan manfaat besar

bagi orang yang melakukannya, melainkan karena tindakan itu bermanfaat bagi

kebanyakan orang, karena kebaikan pada dasarnya memiliki nilai universal.

Di sisi lain, etika utilitarianisme digunakan sebagai proses untuk

mengambil keputusan, kebijaksanaan atau untuk bertindak. Ia menjadi sebuah

metode untuk bisa mengambil k eputusan yang tepat tentang tindakan atau

kebijaksanaan yang akan dilakukan. Dalam wujud pertama ini, etika

utilitarianisme dipakai untuk perencanaan, untuk mengatur sasaran dan target

yang hendak dicapai. Etika utilitarianisme juga dapat digunakan sebagai standar

penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan. Kriteria ini

untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan

adalah baik atau tidak.

Beragamnya pandangan moral dalam masyarakat tidak dapat dihindari

karena setiap pribadi memiliki pengalaman yang berlainan, berasal dari berbagai

suku/daerah, kepentingan kelompok, dan keyakinan. Demikian juga dengan

perkembangan masyarakat moderen yang berangkat pada ideologi tertentu, turut

memberi andil terhadap perubahan struktur masyarakat yang memiliki

kecendrungan pola pikir yang berbeda dengan pandangan-pandangan moral

tradisional. Sesungguhnya etika menaruh perhatian pada isu-isu bagaimana kita

sebaiknya hidup dalam kehidupan yang baik pada umumnya.


8

Keraf (1998), menjelaskan bahwa norma moral memiliki karakteristik yang

berbeda dari berbagai norma lainnya yang ada dalam masyarakat. Beberapa

karakterisitik yang dimaksud, pertama, bahwa moral berhubungan dengan

memberikan dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat dan kesejahteraan

personal maupun kelompok. Kedua, norma moral memiliki ciri untuk didahulukan

daripada kepentingan pribadi, walaupun terkadang bertentangan dengan

kepentingan pribadi. Ketiga, norma moral diharapkan dapat dipatuhi oleh semua

orang karena kesadarannya dan nilai yang dikandungnya, bukan karena

menyangkut imbalan dan keuntungan, bukan karena sanksi dan hukuman.

Keempat, norma moral tidak ditetapkan dan diputuskan namun sifatnya mengikat

setiap orang. Kelima, norma moral selalu melibatkan perasaan moral (moral

sense) yang timbul dengan sendirinya ketika terjadi kesalahan. Perasaan seperti

ini tidak bisa dianggap subjektif, karena perasaan seperti ini juga dimiliki dan

dirasakan oleh orang lain apabila berlaku serupa, dengan demikian norma moral

akan diperoleh seseorang seiring perjalanan hidupnya.

Moralitas yang benar-benar rasional, menurut pandangan Immanuel Kant

(1724-1804) menjadikan tindakan moral dapat membawa manusia mencapai

tujuan yang hakiki yakni menuju kebaikan tertinggi. Bagaimana seharusnya

“summun bonum” (kebaikan tertinggi), mengenai konsepsi terbaik tentang

kebaikan tertinggi mencakup keluruhan budi dan sekaligus kebahagiaan.

Kebahagiaan tanpa keluruhan budi adalah kezaliman, dan keluruhan budi tanpa

kebahagiaan adalah upaya yang sia-sia adanya (Palmquis, 2000: 301).

Memahami moral dan prinsip-prinsip etika mendatangkan kebaikan dan

menciptakan pribadi yang lebih baik. Peneliti memaknai sebagai bentuk

kesesuaian kesadaran yang menjadikan manusia memahami tujuan hidupnya

yang hakiki, yakni menjadi manusia yang utama (dalam kebaikan). Melalui

kesadaran, setiap pribadi dapat menunaikan hak dan kewajibannya sebagai


9

dasar pengambilan keputusan melalui eksistensi dan profesinya. Mendukung

pandangan tersebut Salindeho (2013), menjelaskan bahwa;

Nilai-nilai etika yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat, bukanlah
sekedar menjadi keyakinan pribadi bagi para anggotanya, akan tetapi juga
menjadi seperangkat norma yang terlembagakan. Dengan kata lain, suatu nilai
etika harus menjadi acuan dan pedoman bertindak yang membawa akibat dan
pengaruh secara moral.

Demikian pula dalam etika pemerintahan, penghayatan terhadap etika

akan membangun komitmen aparatur untuk menjaga kebaikan dan moralitas

pemerintahan. Ia menjadi figur teladan, senantiasa menjaga dirinya agar dapat

terhindar dari perbuatan tercela. Kemudian pada prinsipnya, etika teleologis

dapat digunakan untuk membenarkan setiap tujuannya, tujuan yang

mementingkan terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik.

2.1.2. Etika dalam Organisasi: Mengusik Paradigma Lama

Organisasi adalah sistem yang terintegrasi dengan bagian atau kelompok

untuk mencapai tujuan bersama. Sistem organisasi terdiri dari inputs (sumber

daya moneter dan manusia), processes (bagaimana organisasi bergerak untuk

mencapai tujuan), outputs (produk atau jasa), dan outcomes (hasil akhir atau

keuntungan). Organisasi kadang dibandingkan dengan orang-orang dalam yang

berfungsi sebagai agen moral, bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.

Namun, etika organisasi nampaknya tidak hanya fokus pada pilihan individu

namun juga organisasinya (Boyle, et. al., 2001:16). Dengan kata lain etika

organisasi tidak hanya berhubungan dengan norma-norma moral pribadi saja,

tetapi juga norma-norma moral organisasi karena mereka berlaku untuk kegiatan

dan tujuan organisasinya.

Etika organisasi mengacu pada upaya organisasi untuk menentukan misi

dan nilai-nilai, mengakui nilai-nilai yang dapat menyebabkan konflik, mencari

solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik, dan mengelola operasi untuk


10

mempertahankan nilai-nilainya. Perilaku yang beretika dalam organisasi adalah

melaksanakan tindakan secara fair sesuai hukum konstitusional dan peraturan

pemerintah yang dapat diaplikasikan (Reiss dan Mitra, 1998). Olehnya itu,

perilaku etis sering disebut sebagai komponen dari kepemimpinan, yang mana

pengembangan etika adalah hal penting bagi kesuksesan individu sebagai

pemimpin suatu organisasi (Morgan, 1993). Larkin (2000), juga menyatakan

bahwa “kemampuan untuk dapat mengidentifikasi perilaku etis dan tidak etis

sangat berguna dalam semua profesi termasuk auditor.”

Di sisi lain Rost (1995), mencatat bahwa “kebanyakan orang tidak

menggunakan kerangka etika untuk menilai moralitas. Sebaliknya, mereka

memanfaatkan pengalaman, nilai-nilai pribadi dan keyakinan agamanya.” Hal

inilah yang harus mendapat perhatian karena telah berabad-abad lamanya

manusia diselimuti oleh berbagai masalah, menuntut manusia mencari dan

menggunakan segala cara dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki untuk

keluar dari masalahnya (perilaku etis dan tidak etis).

Peneliti sendiri menganggap bahwa, lebih banyak upaya yang dilakukan

manusia, maka manusia secara sadar akan lebih teruji sampai pada tahap

dimana manusia menjadi cukup sempurna sebagai mahluk individu, mahluk

sosial, dan mahluk Tuhan. Upaya sadar yang dilakukan karena manusia memiliki

tiga potensi dasar (jasmani, akal, dan ruhani) yang akan berinteraksi dengan

realitas yang dihadapinya. Potensi ini juga yang nantinya akan bercampur

dengan pengalaman, nilai-nilai pribadi dan keyakinan lainnya. Ketika seseorang

tidak dapat memaksimalkan potensinya maka ia akan menjadi obyek realitas,

tidak berfungsi secara dinamis, dan kehilangan tujuan hidupnya.

Mengingat masalah yang dihadapi dalam kehidupan ini sangatlah

kompleks, berangkat dari masalah dasar berupa kebutuhan jasmani/biologis,

kebutuhan akal, dan kebutuhan ruhaniah yang akan berimplikasi terhadap


11

perkembangan etika manusia dalam berbagai aspek; ekonomi, sosial, budaya,

politik, agama, dan lingkungan. Maka secara sadar manusia harus mampu

melahirkan cara, gagasan yang dapat dilakukan secara bersama-sama untuk

menuntaskan permasalahan hidup yang begitu menggurita dan tentunya

melibatkan peran organisasi sebagai wadah berkumpul untuk mencapai tujuan

bersama.

Upaya sadar inilah yang oleh peneliti dapat simpulkan sebagai suatu

paradigma, usaha sadar yang dapat memberi jalan keluar, dapat menggerakkan

orang lain untuk berbuat, sampai dapat merubah sistem ke arah yang lebih

positif. Usaha sadar yang dilandasi oleh ketiga potensi dasar yang telah

disebutkan di atas, akan menjadikan manusia itu sendiri sebagai aktor

perubahan, penggerak, dan inspirator.

Sebuah paradigma (upaya sadar) sebelum melahirkan tindakan dari yang

biasa-biasa saja sampai pada perubahan yang menimbulkan gejolak (revolutif),

tentu disertai dengan pengamatan lebih awal, peninjauan, pertimbangan dan

analisis mendalam. Hal tersebut dilakukan agar perubahan yang dilakukan dapat

memberi pengaruh positif yang massif, bukan saja bagi kepentingan individu

namun lebih jauh mewadahi kepentingan luas, organisasi, masyarakat dan

lingkungannya.

Kekuatan paradigma, pada dasarnya memiliki kemampuan untuk

mendobrak kebuntuan, kefakuman, dan kebekuan realitas kehidupan. Jika

sebuah paradigma melekat pada salah satu bidang keilmuan, anggaplah dalam

organisasi (pemerintahan) maka dapat dipastikan perkembangan pesat akan

ilmu itu akan semakin luas dan memberi pengaruh yang besar terhadap aspek-

aspek kehidupan lainnya. Hal itu tentu disebabkan oleh sifat paradigma yang

bertentangan sengan sikap statis, kejumudan. Sebuah paradigma selalu

menuntut hal yang baru, perubahan, dan kemajuan karena dengan itu, maka
12

paradigma akan tetap ada, bereksistensi terhadap realitas. Meskipun disadari

bahwa harapan manusia tidak pernah puas akan apa yang telah dicapainya

sehingga manusia dengan memulihkan kembali kesadarannya akan berupaya

mencari dan menggali cara-cara, metode-metode yang lebih efektif guna

menyelesaikan masalah yang kian kompleks.

Dengan berdasar pada pandangan ini, peneliti menyadari bahwa sebuah

paradigma akan terus mengalami perkembangan (evolutif) untuk masa yang

akan datang, sehingga dibutuhkan keberanian dan kesungguhan untuk

mengadaptasikan diri dengan paradigma baru. Paradigma lama akan tergantikan

oleh paradigma baru, dan terus berkembang sampai manusia mencapai akhir

kehidupannya.

2.1.3. Kode Etik dan Standar Audit: Menguatkan Peran Etika Auditor Intern
Pemerintah

Kode etik yang berlaku pada lingkup Aparat Pengawasan Intern

Pemerintah (APIP) sebagai wadah auditor intern pemerintah mengaju pada Kode

Etik INTOSAI dan Government Accounting Standars US GAO. Kode Etik

INTOSAI yang dikembangkan dalam kode etik APIP memuat prinsip-prinsip

integritas, independen, obyektif dan tidak memihak, kerahasiaan dan

kompetensi dalam interaksi dan pelaksanaan tugas-tugas pengawasan.

Berdasarkan paragaraf 15 dan 18, INTOSAI menyatakan bahwa auditor tidak

hanya bersifat independen terhadap auditan dan pihak lainnya, tetapi juga harus

obyektif dalam menghadapi berbagai masalah yang direviu.

Sedangkan Government Accounting Standars US GAO memberi

penegasan, bahwa dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya, auditor

harus menjaga integritas, obyektifitas dan independensi. Organisasi pemeriksa

juga memiliki tanggung jawab dalam memberikan keyakinan yang memadai


13

bahwa independensi dan obyektifitas dilaksanakan dalam semua tahap

penugasan.

Sebuah kode etik merupakan pernyataan komprehensif tentang nilai-nilai,

norma-norma, kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip untuk mengatur perilaku moral

dari suatu profesi melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang harus dipenuhi dan

ditaati setiap anggota profesi dalam menjalankan tugas sehari-hari. Karena kode

etik merupakan wujud dari komitmen moral organisasi, kode etik harus berisi

mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh anggota

profesi, apa yang harus didahulukan dan apa yang boleh dikorbankan oleh

profesi ketika menghadapi situasi konflik atau dilematis, tujuan dan cita-cita luhur

profesi, dan bahkan sanksi yang akan dikenakan kepada anggota profesi yang

melanggar kode etik.

Kode etik juga menyatakan prinsip-prinsip dan harapan yang

mengkhususkan pada aktifitas yang lebih spesifik dengan tujuan untuk

mengsosialisasikan budaya etis dalam profesi audit atau pengawasan internal.

The Institute of Internal Auditors, menjelaskan bahwa;

The Code of Ethics states the principles and expectations governing the behavior
of individuals and organizations in the conduct of internal auditing. It describes
the minimum requirements for conduct, and behavioral expectations rather than
specific activities.

Sebuah kode etik diperlukan karena menjadi syarat sebuah profesi, yang

dibuat atas desakan, harapan dan kepercayaan untuk mendukung

kemampuannya memberi jaminan atas pencapaian tujuan, tata kelola,

manajemen risiko, dan pengendalian. Mengingat tantangan yang sering dijumpai

oleh auditor sarat terhadap permintaan atau tekanan untuk melaksanakan tugas-

tugas yang bukan merupakan kompetensinya, mengungkapkan informasi

rahasia, mengkompromikan integritasnya dengan melakukan pemalsuan,

penggelapan atau penyuapan dan mendistorsi obyektivitas dengan menertibkan


14

laporan-laporan yang menyesatkan menjadi tuntutan dan alasan yang kuat

ditingkatkannya budaya etis terhadap auditor intern pemerintah.

Prinsip Etika dan Aturan Perilaku Auditor Intern Pemerintah Indonesia

Secara umum tujuan utama dari Kode Etik auditor intern pemerintah

berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Auditor Intern

Pemerintah Indonesia, Nomor: KEP-005/AAIPI/DPN/2014 tentang Pemberlakuan

Kode Etik Auditor Intern Pemerintah Indonesia, Standar Audit Intern Pemerintah

Indonesia, dan Pedoman Telaah Sejawat Auditor Intern Pemerintah Indonesia

adalah untuk mendorong sebuah budaya etis dalam profesi pengawasan intern

pemerintah, memastikan bahwa seorang profesional akan berperilaku pada

tingkat lebih tinggi dibandingkan pegawai negeri sipil lainnya sehingga

meningkatkan kredibilitas auditor dengan kinerja pengawasan yang optimal.

Prinsip etika tidak saja baik dalam organisasi, namun dibutuhkan untuk

sesama auditor maupun hubungan dengan auditan. Prinsip-prinsip etika yang

diatur terkait tugas auditor intern pemerintah adalah; prinsip integritas sebagai

mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga

memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan

kejujuran. Integritas auditor intern pemerintah membangun kepercayaan dan

dengan demikian memberikan dasar untuk kepercayaan dan pertimbangannya.

Integritas tidak hanya menyatakan kejujuran, namun juga hubungan wajar dan

keadaan yang sebenarnya.

Dalam aturan perilaku penerapan prinsip integritas menegaskan bahwa

auditor intern pemerintah diwajibkan bekerja secara jujur, tekun, dan

bertanggung jawab, salah satunya dapat ditunjukkan dengan tidak menerima

gratifikasi terkait jabatan dan pertimbangan profesional dalam bentuk apapun.

Kemudian auditor intern pemerintah juga dituntut mentaati hukum, membuat


15

pengungkapan berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan profesi serta

menghormati dengan memberi konstribusi pada tujuan organisasi yang sah dan

etis.

Prinsip obyektivitas, prinsip etika yang menuntut sikap jujur, tidak

dipengaruhi pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dalam

mengambil putusan atau tindakan. Auditor intern pemerintah menunjukkan

objektivitas profesional tingkat tertinggi dalam mengumpulkan, mengevaluasi,

dan mengkomunikasikan informasi tentang kegiatan atau proses yang sedang

diaudit. Prinsip objektivitas menentukan kewajiban bagi auditor intern pemerintah

untuk berterus terang, jujur secara intelektual dan bebas dari konflik kepentingan.

Hal yang sama menurut The Institute of Internal Auditors, bahwa objektivitas

merupakan;

Internal auditors exhibit the highest level of professional objectivity in gathering,


evaluating, and communicating information about the activity or process being
examined. Internal auditors make a balanced assessment of all the relevant
circumstances and are not unduly influenced by their own interests or by others in
forming judgments.

Penerapan prinsip objektivitas, auditor intern pemerintah diwajibkan tidak

berpartisipasi dalam kegiatan atau hubungan apapun yang dapat menimbulkan

konflik dengan kepentingan organisasinya, yang dapat menimbulkan prasangka,

atau yang meragukan kemampuannya untuk dapat melaksanakan tugas dan

memenuhi tanggung jawab profesinya secara objektif. Prinsip objektifitas juga

menuntut pengungkapan semua fakta material yang diketahui, yaitu fakta yang

jika tidak diungkapkan dapat mengubah atau mempengaruhi pengambilan

keputusan atau menutupi adanya praktik-praktik yang melanggar hukum.

Prinsip kerahasiaan, adalah sifat sesuatu yang dipercayakan kepada

seseorang agar tidak diceritakan kepada orang lain yang tidak berwenang

mengetahuinya. Auditor intern pemerintah menghormati nilai dan kepemilikan

informasi yang diterima dan tidak mengungkapkan informasi tanpa kewenangan


16

yang tepat, kecuali ada ketentuan perundang-undangan atau kewajiban

profesional untuk melakukannya.

Penerapan prinsip kerahasiaan oleh auditor intern pemerintah diwajibkan

berhati-hati dalam penggunaan dan perlindungan informasi yang diperoleh dalam

tugasnya dan tidak menggunakan informasi untuk keuntungan pribadi atau

dengan cara apapun yang akan bertentangan dengan ketentuan perundang-

undangan atau merugikan tujuan organisasi yang sah dan etis. Demikian juga

dipertegas oleh The Institute of Internal Auditors, bahwa kerahasiaan

(confidentiality) merupakan “Internal auditors respect the value and ownership of

information they receive and do not disclose information without appropriate

authority unless there is a legal or professional obligation to do so.”

Prinsip kompetensi, kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh

seseorang berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang

diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya (Internal auditors apply the

knowledge, skills, and experience needed in the performance of internal audit

services). Dalam hal ini auditor intern pemerintah wajib menyampaikan

pertanggungjawaban atas kinerja dan tindakannya kepada pihak yang memiliki

hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

Penerapan prinsip kompetensi ini mewajibkan auditor intern pemerintah

memberikan layanan yang dapat diselesaikan sepanjang memiliki pengetahuan

dan keahlian yang diperlukan terutama dalam melakukan pengawasan sesuai

dengan Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia.

Prinsip perilaku profesional, adalah tindak tanduk yang merupakan ciri,

mutu, dan kualitas suatu profesi atau orang yang profesional dimana

memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Auditor intern

pemerintah sebaiknya bertindak dalam sikap konsisten dengan reputasi yang

baik dan menahan diri dari segala perilaku yang mungkin menghilangkan
17

kepercayaan kepada profesi pengawasan intern atau organisasi. Penerapan

prinsip perilaku profesional, auditor intern pemerintah wajib tidak terlibat dalam

segala aktivitas legal, atau terlibat dalam tindakan yang menghilangkan

kepercayaan kepada profesi pengawasan intern atau organisasi. Dengan

mengedepankan prinsip-prinsip etika yang terdapat pada tugas profesionalisme

auditor intern pemerintah, dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat,

pemerintah daerah dan stakeholders sebagai bagian dari tuntutan kode etik dan

standar audit profesi pengawasan intern pemerintah.

Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor: PER/05/M/PAN/03/2008 tentang Standar Audit Aparat Pengawasan

Intern Pemerintah, telah mewajibkan standar audit dipergunakan sebagai acuan

bagi seluruh APIP dalam melaksanakan audit sesuai mandat audit masing-

masing, karena mengingat standar audit merupakan kriteria atau ukuran mutu

minimal untuk melakukan kegiatan audit. Melalui pengawasan intern dapat

diketahui apakah suatu instansi pemerintah telah melaksanakan kegiatan sesuai

dengan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien, serta sesuai dengan

rencana, kebijakan yang telah ditetapkan.

Selain itu, pengawasan intern atas penyelenggaraan pemerintahan

diperlukan untuk mendorong terwujudnya good governance dan clean

government dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efektif,

efisien, transparan, akuntabel serta bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi,

dan nepotisme. Adapun tujuan Standar Audit APIP adalah, untuk a) menetapkan

prinsip-prinsip dasar yang merepresentasikan praktik-praktik audit yang

seharusnya, b) menyediakan kerangka kerja pelaksanaan dan peningkatan

kegiatan audit intern yang memiliki nilai tambah, c) menetapkan dasar-dasar


18

pengukuran kinerja audit, d) mempercepat perbaikan kegiatan operasi dan

proses organisasi, e) mengarahkan dan mendorong auditor untuk mencapai

tujuan audit, f) menjadi pedoman dalam pekerjaan audit dan, g) menjadi dasar

penilaian keberhasilan pekerjaan audit.

Standar Umum Audit, sebagai berikut; pertama, Independensi dan

Obyektifitas. Dalam semua hal yang berkaitan dengan audit, APIP harus

independen dan para auditornya harus obyektif dalam pelaksanaan tugasnya.

Independensi APIP serta obyektifitas auditor diperlukan agar kredibilitas hasil

pekerjaan APIP meningkat. Penilaian independensi dan obyektifitas mencakup

komponen status APIP dalam organisasi dan kebijakan untuk menjaga

obyektifitas auditor terhadap obyek audit.

Independensi APIP, posisi APIP ditempatkan secara tepat sehingga

bebas dari intervensi, dan memperoleh dukungan yang memadai dari pimpinan

tertinggi organisasi sehingga dapat bekerja sama dengan auditi dan

melaksanakan pekerjaan dengan leluasa. Meskipun demikian, APIP harus

membina hubungan kerja yang baik dengan auditi terutama dalam saling

memahami diantara peranan masing-masing lembaga.

Obyektifitas APIP, menuntut harus obyektif dalam melaksanakan audit.

Prinsip obyektifitas mensyaratkan agar auditor melaksanakan audit dengan jujur

dan tidak mengkompromikan kualitas. Pimpinan APIP tidak diperkenankan

menempatkan auditor dalam situasi yang membuat auditor tidak mampu

mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan profesionalnya.

Ketika terdapat gangguan terhadap independensi dan obyektifitas APIP,

auditor harus melaporkan kepada pimpinan APIP mengenai situasi adanya

konflik kepentingan, ketidakindependenan atau bias. Pimpinan APIP harus

menggantikan auditor yang menyampaikan situasinya dengan auditor lainnya

yang bebas dari situasi tersebut. Adapun auditor yang mempunyai hubungan
19

dekat dengan auditee seperti hubungan sosial, kekeluargaan atau hubungan

lainnya yang dapat mengurangi obyektifitasnya, harus tidak ditugaskan untuk

melakukan audit terhadap entitas tersebut. Dalam hal auditor bertugas menetap

untuk beberapa lama di kantor auditee guna membantu mereviu kegiatan,

program atau aktivitas auditi, maka auditor tidak boleh terlibat dalam

pengambilan keputusan atau menyetujui hal-hal yang merupakan tanggung

jawab auditee.

Kedua, Keahlian. Auditor harus mempunyai kompetensi yang diperlukan

untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Pimpinan APIP harus yakin bahwa

latar belakang pendidikan dan kompetensi teknis auditor memadai untuk

pekerjaan audit yang dilaksanakan Keahlian auditor sangat ditunjang oleh latar

belakang pendidikan auditor, kompetensi teknis, sertifikasi jabatan, pendidikan,

pelatihan berkelanjutan, dan penggunaan tenaga ahli dari luar.

Kecermatan Profesional, bagi auditor harus menggunakan keahlian

profesionalnya dengan cermat dan seksama (due professional care) dan secara

hati-hati (prudent) dalam setiap penugasan. Due professional care dapat

diterapkan dalam pertimbangan (professional judgement), meskipun dapat saja

terjadi penarikan kesimpulan yang tidak tepat ketika audit sudah dilakukan

dengan seksama. Demikian juga auditor harus mempertahankan kepatuhan

terhadap Kode Etik, karena pelaksanaan audit harus mengacu kepada standar

audit yang berlaku, dan auditor wajib mematuhi kode etik yang merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari standar audit ini.

Terdapat dua tujuan utama dari kode etik. Pertama, kode etik bertujuan

melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan kelalaian, kesalahan atau

pelecehan, baik disengaja maupun tidak disengaja oleh anggota profesi. Kedua,

kode etik bermaksud melindungi keluhuran profesi dari perilaku-perilaku

menyimpang oleh anggota profesi. Agar kode etik dapat berfungsi dengan
20

optimal, syarat yang harus dipenuhi adalah, kode etik harus dibuat oleh

profesinya sendiri, kode etik tidak akan efektif apabila ditentukan oleh pemerintah

atau instansi di luar profesi itu, dan pelaksanaan kode etik harus diawasi secara

terus-menerus (Murwanto, et. al., 2010).

2.1.4. Model Prilaku Pengambilan Keputusan Etis/Tidak Etis: Penilaian


Logis dalam Keputusan

Faktor lingkungan dan individu membentuk konteks dimana pembuat

keputusan harus memilih untuk bertindak. Namun, dalam proses pengambilan

keputusan terdapat pengaruh yang akan mengarahkan individu mengambil atau

membuat keputusan etis (ethical decision) yang merupakan keputusan yang baik

secara legal maupun moral yang dapat diterima oleh masyarakat luas atau

membuat keputusan tidak etis (unethical decision) yang merupakan keputusan

ilegal atau secara moral tidak diterima oleh masyarakat (Jones, 1991; Trevino,

1986).

Bommer, et. al., (1987), mengemukakan identifikasi faktor-faktor yang

berperan pada pengambilan keputusan dalam sebuah model perilaku. Salah satu

tujuannya adalah untuk menjelaskan pola penalaran moral yang digunakan oleh

pengambil keputusan dan bagaimana cara berbagai faktor tersebut berperan

dalam pengambilan keputusan untuk memilih tindakan etis dan tidak etis.

Meskipun berbagai lingkungan dan faktor individu mempengaruhi keputusan,

tidak berarti faktor-faktor dan kondisi tersebut cukup untuk pemilihan perilaku

tertentu. Bahkan setiap individu memungkinkan dapat mengubah keputusannya

sehingga masing-masing dapat berperilaku berbeda. Adapun penjelasan dari

faktor-faktor tersebut, sebagai berikut;


21

Gambar 2.1. A behavioral model of ethical decision making


(Bommer, et. al., 1987)

Social Environment. Lingkungan sosial seseorang merupakan himpunan

humanistik, agama, budaya, dan nilai-nilai sosial yang pada umumnya dimiliki

dan memberi pengaruh di masyarakat karena telah menjadi sistem keyakinan

yang memusatkan pada kebutuhan umum manusia dan mencari cara rasional

untuk pemecahan masalah manusia. Meskipun disangkal bahwa nilai-nilai

mempengaruhi perilaku, bukti menunjukkan bahwa sehubungan dengan perilaku

etis dan tidak etis, banyak pengambil keputusan tidak mematuhi nilai-nilai sosial

atau yang bertentangan dengan nilai yang dianut secara umum kecuali jika nilai-

nilai sosial tersebut dimasukkan menjadi bagian dari lingkungan profesional.

Government and Legal Environment. Lingkungan hukum dan pemerintah

yang meliputi; peraturan perundang-undangan (legislation), lembaga administrasi

(administrative agencies), dan sistem peradilan (judical system), masing-masing

indikator tersebut sarat dengan dimensi hukum yang memiliki kekuatan moral
22

dan merupakan faktor penentu penting dalam banyak keputusan etis.

Kebanyakan individu merasa terdorong untuk menahan diri dari tindakan yang

secara khusus dilarang oleh hukum yang disebabkan bukan hanya karena

konsekuensi hukum, tetapi juga stigma sosial yang kuat terkait dengan

pelanggaran hukum.

Sanyoto (2008), menganggap bahwa kajian sistematis terhadap

penegakan hukum dan keadilan secara teoritis dinyatakan efektif apabila 5 (lima)

pilar hukum berjalan baik yakni; instrumen hukumnya, aparat penegak

hukumnya, faktor warga masyarakatnya yang terkena lingkup peraturan hukum,

faktor kebudayaan atau legal culture, sarana dan fasilitas yang dapat mendukung

pelaksanaan hukum. Dalam struktur kenegaraan modern, maka tugas penegak

hukum itu dijalankan oleh komponen yudikatif dan dilaksanakan oleh birokrasi,

sehingga sering disebut juga birokrasi penegakan hukum.

Lingkungan hukum yang baik setidaknya tercermin dalam rencana

pemerintah yang akan dilaksanakan harus melalui lembaga legislatif, termasuk

pimpinan organisasi pemerintah yang tidak tersangkut perkara hukum, adanya

akuntabilitas politik dan akuntabilitas publik. Hal tersebut dilakukan untuk

menghindari tindakan-tindakan irrationality, seperti tindakan aparatur pemerintah

yang melaksanakan keputusan di luar jangkuan akal sehat atau standar moral

yang diikuti masyarakat umum, sehingga masyarakat mempertanyakan mengapa

ia sampai pada keputusan tersebut (Erliyana, 2003). Pemahaman tentang

organisasi (pemerintah) dalam pengambilan keputusan sangat penting untuk

pengembangan ilmu organsiasi yang menghadirkan fakta kompleks diantaranya;

ketidakpastian, kehidupan organisasi yang dinamis, dan masalah etika dimana

berbagai pemangku kepentingan menganut nilai-nilai yang bertentangan dengan

hukum (Trevino, 1986).


23

Professional Environment. Ponemon dan Gabhart (1990), menemukan

bahwa proses kognitif (proses berfikir) etika auditor akan mempengaruhi

independensi auditor. Independensi merupakan isu yang menarik karena dalam

menghadapi konflik independensi auditor perlu untuk mempertimbangkan aturan

yang eksplisit, standar audit dan kode etik profesional. Literatur psikologi

memberikan pemahaman cara seorang individu memproses aturan-aturan

tersebut dalam membuat judgement.

Hal yang sama dengan profesionalisme dalam pelayanan publik

merupakan nilai yang menentukan bagaimana kegiatan akan dilakukan yang

mencakup; nilai kesetiaan, netralitas, transparansi, ketepatan waktu, efektivitas,

ketidakberpihakan, yang semua nilai merupakan bagian yang tidak terpisah

dalam kode etik. Terdapat kesamaan antara model perilaku pengambilan

keputusan etis/tidak etis pada lingkungan profesional yang mencakup; kode etik

(codes of conduct), lisensi (licencing requirements), dan pertemuan profesional

(professional meetings) yang dikemukakan oleh Bommer, et. al., (1987), dengan

komentar Zimmerman’s (2014), tentang tiga langkah menciptakan lingkungan

kerja profesional yang positif.

Pertama, menetapkan aturan profesional (Establish the rules of

professionalism). Asosiasi profesional biasanya menuntut etika perilaku dalam

bentuk kode etik formal, agar dapat mendefinisikan benar dan salah atau baik

dan buruk dalam praktik perilaku profesi. Karena banyak kesalahan dalam

menafsirkan perilaku yang etis dan tidak etis maka disarankan untuk mengadopsi

beberapa kebijakan tertulis, prosedur, dan kode etik sehingga mendapatkan

pemahaman tentang “aturan” profesionalisme.

Kedua, ajarkan tentang aturan profesionalisme (Teach the rules of

professionalisme) melalui diskusi, lokakarya atau pertemuan profesional lainnya.

Dengan kata lain harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap
24

orang untuk belajar dan mendapat bimbingan langsung tentang prinsip-prinsip

organisasi, prilaku profesionalnya dan bagaimana menerapkan aturan untuk

situasi kerja yang kerap diperhadapkan dengan dilema etika.

Ketiga, Memperkuat aturan profesionalisme (Reinforce the rules of

professionalism). Pendekatan yang digunakan adalah dengan menyimak atau

mengamati untuk mengatakan apresiasi atas perilaku tim yang menunjukkan

perilaku profesional, dan sebaliknya menyampaikan koreksi ketika melihat

perilaku yang tidak pantas oleh seorang profesional.

Work Environment. Beberapa faktor di lingkungan kerja; tujuan, kebijakan,

dan budaya perusahaan/organisasi sangat mempengaruhi keputusan, apakah

akan bertindak etis atau tidak etis. Ketiga faktor ini, masing-masing dapat

mendukung keputusan yang bertentangan dalam situasi tertentu. Sebagai

contoh, tujuan jangka pendek perusahaan dan budaya perusahaan dapat

menunjuk satu arah, dan tujuan jangka panjang dan kebijakan yang telah

digariskan menunjuk ke arah yang lain.

Personal Environment. Variabel dalam segmen ini adalah keluarga

(family) dan kelompok sebaya/rekan (peer group) yang berhubungan dengan

kehidupan individu di luar organisasi. Tekanan kelompok sebaya menjadi

variabel yang signifikan dalam memprediksi perilaku menyimpang (tidak etis),

bahkan dikatakan bahwa sanksi hukum menghalangi pribadi untuk melakukan

perilaku menyimpang hanya jika disertai dengan ancaman atau sanksi sosial

yang melibatkan peran kelompok sebaya (Grasmick dan Green, 1980). Demikian

juga dengan lingkungan keluarga yang dapat memandu perkembangan moral

individu.

Individual Attributes. Komponen dalam model individu terdiri dari; tingkat

moral, tujuan pribadi, mekanisme motivasi, posisi/status, konsep diri,

pengalaman hidup, kepribadian, dan variabel demografis. Purnamasari (2006),


25

menemukan bukti bahwa kepribadian individu mempengaruhi perilaku etis. Hasil

penelitian ini, menunjukkan bahwa semakin tinggi kecenderungan sifat

machiavellian seseorang maka semakin mungkin untuk berperilaku tidak etis dan

semakin tinggi level pertimbangan etis seseorang, maka dia akan semakin

berperilaku etis.

Seorang auditor harus taat pada aturan etika yang mengharuskannya

bersikap independen, maka ketika seorang auditor memiliki kecenderungan sifat

Machiavellian tinggi semakin mungkin untuk bertindak tidak independen. Level

pertimbangan etis juga berpengaruh terhadap independensi, salah satu

penelitian yang mendukung pernyataan tersebut dilakukan oleh Ponemon dan

Gabhart (1990), bahwa terdapat hubungan antara pertimbangan etis auditor

dengan penyelesaian konflik independensi.

Decision Process. Keputusan akhir dari pilihan (etis atau tidak etis)

tergantung pada sejumlah faktor yang mempengaruhi proses pengambilan

keputusan. Dalam model proses keputusan (decision process) beberapa faktor

(information acquisition, processing, cognitive process, perceived rewards,

perceived losses) yang dilibatkan untuk mendukung keputusan rasional yang

didefenisikan sebagai pilihan terbaik untuk mencapai tujuan.

Model yang dikembangkan oleh Bommer, et. al., (1987), memberi

penjelasan logis adanya hubungan faktor-faktor terhadap lingkungan etis/tidak

etis (social, government/legal, work, professional, personal, dan individual) dalam

pengambilan keputusan sehingga dapat diamati perilaku individu dan interaksi

dengan lingkungannya. Pengambilan keputusan (decision) oleh individu,

merupakan pilihan (choice) dari berbagai informasi, individu diasumsikan selalu

mengoleksi, memproses dan menginterpretasikan informasi untuk mendapatkan

alternatif yang paling efisien (Etzioni, 1986). Peneliti melihat, model prilaku
26

pengambilan keputusan etis/tidak etis tersebut merupakan cara yang logis bagi

individu untuk mendapatkan alternatif yang efisien.

2.1.5. Pemikiran Fenomenologi Edmund Husserl

Wacana pemikiran tentang Edmund Husserl (1859-1938) memberi

pengaruh yang mendalam (core idea) terhadap perkembangan filsafat di era

moderen, terkhusus tentang fenomenologi.3 Sebagai warisan intelektual,

fenomenologi bertujuan untuk menangkal “kekeruhan” dan “kegelisahan” (krisis

dan disfungsional ilmu pengetahuan) terhadap situasi intelektual yang diselimuti

beragam prasangka, baik filosofis maupun ilmiah.

Krisis ilmu pengetahuan disebabkan oleh klaim kebenaran (truth claim)

yang tertuju pada data tanpa mendalami esensinya. Husserl kemudian

membangun sebuah sistem filsafat di atas reduksi fenomenologi transendental

sebagai metode untuk menangkap esensi dan realitas dalam kesadaran subjek.

Natural attitude (apa yang diterima begitu saja) atau sesuatu yang tidak esensial

perlu disingkirkan untuk menemukan reflective attitude (apa yang esensial) yang

penerimaannya melalui pemahaman rasional sebagai esensi realitas, dan

umumnya disebut sebagai insight yang menjelaskan hakikat (eidos) dari

pengalaman. Adapun tujuannya adalah agar dapat mengubah cara pandang

(einstellung) ilmu pengetahuan dengan cara pandang baru tentang dunia (look at

the world with new eyes). Penekanannya pun kembali memuat arti penting dari

3
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani (phainestai) berarti “menunjukkan” dan
“manampakkan diri sendiri”, juga dibentuk dari istilah phaino berarti membawa pada cahaya,
menempatkan pada terang-benderang, menunjukkan dirinya sendiri di dalam dirinya,
diperkenalkan oleh Edmund Husserl (1859-1938). Istilah tersebut sebelumnya telah digunakan oleh
beberapa filosof, Immanuel Kant (1724-1804) menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan
penampakan sesuatu dalam kesadaran yang manusia kenali sebatas apa yang tampak, bukan
nomena yaitu “realitas di luar” yang akan terus menyisakan teka-teki. Sedangkan Hegel (lahir
1770) memberi arti lain, yakni conversant mind (pengetahuan tentang pikiran). Pemikiran Edmund
Husserl dipengaruhi oleh pemikiran idealisme Jerman yang kehadirannya disebut telah melakukan
perubahan secara revolusioner terhadap filsafat Barat yang memposisikan manusia dan realitas
eksternal secara terpisah. Husserl memperkenalkan kesadaran intuisi untuk melihat langsung
kompleksitas realitas, tanpa perantara, tanpa perspektif yang dipandang sebagai gagasan yang
ganjil dalam pemikiran Barat (Hayati, 2005).
27

kebenaran yang berpusat pada kesadaran subjek mikro (individu) bukan lagi

kebenaran yang berpusat pada negara atau subjek makro (Seran, 2011:80).

Konsep teori sejati telah dilupakan oleh banyak disiplin yang maju dalam

kebudayaan ilmiah, olehnya itu kritik yang diajukan menganggap bahwa ilmu

pengetahuan telah jatuh pada objektivisme, yakni cara memandang dunia

sebagai susunan fakta objektif yang diyakini sebagai pengetahuan yang berasal

dari asumsi dan prasangka (prailmiah), hal ini disebut lebenswelt. Kesadaran

subjek dari manusia itu sendiri berada pada bingkai objektivistis, artinya

keberadaan ilmu pengetahuan tidak bersih dari kepentingan dunia kehidupan

sehari-hari yang hanya menghasilkan teori sejati yang dipahami tradisi pemikiran

Barat (Hasbiansyah, 2008).

Fenomena dapat dipandang sebagai sesuatu yang “menunjuk ke luar”

atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran dan dari sudut kesadaran kita.

Artinya, dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat

“penyaringan” (ratio) atau dengan kata lain melihat gejala sehingga mendapatkan

kesadaran yang murni, mengingat melihat gejala merupakan dasar dan syarat

mutlak untuk melihat semua aktivitas ilmiah (Hasbiansyah, 2008). Fenomenologi

sebagai pendekatan filosofis yang konsep utamanya adalah makna, digunakan

untuk menyelidiki pengalaman manusia sehingga diperoleh ilmu pengetahuan

dan pengalaman baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada dengan

langkah-langkah logis, sistematis kritis, tidak berdasarkan apriori/prasangka, dan

tidak dogmatis. (Hajaroh, 2010).

Konsepsi fenomenologi Edmun Husserl sebagai suatu kajian filosofis

yang melukiskan segala bidang pengalaman manusia dalam lebenswelt (dunia

kehidupan) dan erlebnisse (kehidupan subjektif dan bathiniah). Manusia

mengalami pengalaman hidupnya dalam sebuah kesadaran yang tak pernah

berakhir sehingga fenomenologi diharapkan menjadi ilmu rigorous, yakni ilmu


28

yang “ketat” yang penjelasannya mempunyai batasan dan tidak meragukan

(Hasbiansyah, 2008).

Berbeda dengan tokoh pemikir lainnya, seperti Emmanuel Kant (1724-

1804), mengaggap bahwa manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena

yang tampak (Erschenungen), bukan noumena atau realitas “Das Ding an Sich”

yang berada di luar kesadaran pengamat (Muslih, 2009). Bagi Kant, yang tampak

bagi manusia ialah semacam tirai yang menyelubungi realitas dibelakangnya. Hal

ini dipahami bahwa pengetahuan ilmiah sebenarnya terpisahkan dari

pengalaman sehari-hari dari kegiatan-kegiatan dimana pengalaman dan

pengetahuan itu berakar. Sedangkan Husserl, menyebut fenomena sebagai

realitas itu sendiri yang tampak setelah kesadaran kita mencair dengan realitas.

Tidak terdapat selubung atau tirai yang memisahkan manusia dengan realitas,

realitas itu sendiri tampak bagi kita (Taufik, 2008).

Husserl berusaha menemukan hubungan antara teori dengan dunia

kehidupan yang dihadapi, yang bertujuan akhir untuk menghasilkan teori murni.

Sehingga semakin jelas bahwa tugas fenomenologi untuk menjalin keterkaitan

manusia dengan realitas. (Hariyanto, 2010). Realitas bukanlah sesuatu yang

berada pada dirinya sendiri lepas dari manusia yang mengamati. Realitas

membutuhkan manusia sebagai tempat dimana realitas itu mewujudkan diri.

Menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang tampak

dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa

memasukkan kategori pikiran kita padanya  atau dalam ungkapannya “zurück zu

den sachen selbt” (kembalilah pada realitas itu sendiri). Dalam konteks ini

Husserl (1961:7), menjelaskan:

… that at first We shall put out of action all the conviction we have been
accepting up to now, including all our science. Let the idea guiding our meditation
be at first the Cartesian idea of a science that shall be established as radically as
genuine, ultimately all-embracing science.
29

Memahami realitas mestinya dengan menghindarkan diri dari segala

bentuk tindakan yang berdasar pada keyakinan semula dan pengetahuan yang

universal. Hal ini seperti membiarkan diri dituntun oleh proses perenungan atau

biasa disebut sebagai kesadaran intuitif yang memungkinkan seseorang

memahami (verstehen) esensi realitas secara langsung. Bahkan, kesadaran itu

tak pernah sedemikian mandiri dan terlepas dari realitas di luarnya. Kesadaran

selalu merupakan kesadaran “tentang sesuatu”. Menurut Muslih (2009), realitas

tak lain merupakan realitas dalam kesadaran, terdapat interdependensi yang

inheren antara kesadaran dan realitas itu.

Taufik (2008), menjelaskan inti pokok dari fenomenologi Husserl yang

terdiri dari dua jenis “pengalaman” yang berbeda. Pertama, pengalaman biasa

(ordinary experience) yang ia sebut sebagai intuisi-individual (individual intuition),

seperti kesadaaran. Memahami realitas harus dihubungkan dengan kesadaran

kita, dan kita juga tidak dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan

realitas itu sendiri. Istilah Husserl dalam hal ini adalah intensionalitas, yakni

struktur hakiki kesadaran yang menurut kodratnya akan terarah pada realitas.

Kesadaran itu suatu “tindakan”, terdapat interaksi antara tindakan kesadaran

(noesis) dan objek kesadaran (noema). Namun interaksi tidak dapat dianggap

sebagai kerjasama antara dua unsur yang penting. Karena akhirnya hanya ada

kesadaran, objek yang disadari (noema) itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.

Kedua, Intuisi khusus, yang disebut oleh Husserl dengan intuisi esensial

atau esensi eidetik. Dalam jenis esensi yang kedua ini, kita tidak dapat melihat

benda-benda khusus, tetapi melihat kebenaran-kebenaran universal, atau

esensi. Artinya, peneliti tidak bisa berada pada kondisi “bingkai” atau tertutup

terhadap kebenaran-kebenaran yang telah dipahaminya saja.

Peneliti fenomenologi mengorientasikan penemuannya untuk

menjelaskan realitas yang tampak dengan memanfaatkan pengalaman intuitif


30

atas fenomena, berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya

terhadap pihak yang melibatkan diri kedalam situasi tertentu menuju

perkembangan analisis yang lebih baik. Menemukan realitas dengan

menggunakan metodologi studi fenomenologis yang disumbangkan oleh Husserl

memuat dua teori penting yakni, Epoche dan Eidetis.

Epoche yang secara tidak langsung menunjukkan tiadanya prasangka

atas pemahaman etika sehingga menuntut objektifitas murni dari peneliti.

Tiadanya prasangka dimaksudkan mengurangi atau menunda penilaian

(bracketing) untuk memunculkan pengetahuan di atas setiap keraguan. Lebih

lanjut dijelaskan, bahwa epoche merupakan cara pandang baru dalam melihat

sesuatu, belajar menyaksikan apa yang tampak untuk dideskripsikan

(Hasbiansyah, 2008).

Sedangkan Eidetis, melibatkan kemampuan melihat realitas etika

sesungguhnya, yang dimunculkan atau dipersepsikan oleh para pelaku etika itu

sendiri (subjektifitas). Antara objektifitas peneliti dan subjektifitas yang diteliti

dalam hal ini adalah auditor intern pemerintah daerah yang dalam tugasnya

melaksanakan sistem pengawasan intern di bingkai dalam sebuah refleksi dalam

mencapai rasional murni (pure rationality).

Dengan menjadikan fenomenologi dalam memahami etika maka akan

dapat diurai bahwa pengetahuan tentang etika tidak disimpulkan dari arti yang

“membingkai” tetapi ditemukan langsung dalam pengalaman kesadaran sebagai

realitas yang absolut. Kemudian mempertimbangkan hasil interaksi seseorang

dengan objek-objek yang ada secara alamiah dan tidak melupakan pentingnya

ekspresi melalui bahasa sebagai sarana munculnya makna. Konsepsi Husserl

telah jelas menjadikan fenomena sebagai realitas (kesadaran) yang tampak atau

menampakkan dirinya sendiri kepada manusia, tanpa pemisah antara manusia

dan realitas tersebut.


31

2.2. Tinjauan Empiris

2.2.1. Persepsi dan Pertimbangan Etis Auditor BPK di Jawa

Januarti (2011), dalam penelitian (kuantitatif) tentang etika dan orientasi

etis yang dilakukan pada Auditor Badan Pemeriksa Keuangan Indonesia di Jawa,

telah menganalisis pengaruh pengalaman auditor, komitmen profesional,

orientasi etis dan nilai etika organisasi terhadap persepsi dan pertimbangan etis.

Penelitian tersebut mengacu pada penelitian sebelumnya bahwa persepsi dan

pertimbangan etis auditor diperlukan dalam menghadapi dilema etis, sedangkan

keputusan sangat dipengaruhi oleh konsepsi profesionalitas individu.

Sebanyak 200 kuisioner digunakan dalam penelitian ini, dikirim ke BPK

Jakarta dan BPK Semarang, masing-masing sebanyak 100 kuisioner dan

sebanyak 183 responden telah mengembaikan kuisioner. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa hanya variabel orientasi etis yang berpengaruh signifikan

terhadap persepsi dan pertimbangan etis Auditor BPK. Auditor yang belum

berpengalaman justru mempunyai persepsi dan pertimbangan etis yang lebih

baik, hal ini biasa saja terjadi karena auditor yang belum berpengalaman takut

untuk berbuat salah karena adanya punishment yang akan diterimanya.

Sedangkan variabel pengalaman, komitmen profesional dan nilai etika organisasi

tidak berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi dan pertimbangan etis,

namun arahnya sesuai dengan yang dihipotesiskan, yaitu positif.

Hal tersebut didukung dengan jawaban dari auditor yang berpengalaman

mempunyai komitmen profesional dan nilai etika organsisasi lebih tinggi

dibanding auditor yang belum berpengalaman. Variabel pengalaman

berpengaruh negatif terhadap persepsi dan pertimbangan etis auditor BPK yang

ditunjukkan dengan jawaban persepsi dan pertimbangan etis dari auditor yang

berpengalaman justru lebih rendah dibanding auditor yang belum

berpengalaman. Penelitian ini menemukan bahwa mayoritas orientasi etika dari


32

responden menganut paham idealis sekaligus memberi keyakinan bahwa

konsekuensi sebuah keputusan yang diinginkan dapat diperoleh tanpa

melanggar nilai moralitas.

2.2.2. Studi Etika pada Pertimbangan Auditor di Taiwan

Jeffrey, et. al., (2004), mengungkapkan dalam sebuah studi di Taiwan

tentang dampak etika dan konstruk budaya yang berpengaruh pada

pertimbangan seorang auditor, dapat menjadi contoh pentingnya perkembangan

kognitif moral, sikap terhadap kode etik dan standar profesi. Pada kasus

tersebut kalangan profesional audit diminta untuk menanggapi dilema etika.

Dilema pertama menyangkut situasi dimana auditor diminta menyetujui

permintaan controller untuk menyembunyikan ketidak-teraturan. Sedangkan

dilema kedua bersifat kasuistik, dimana auditor memiliki informasi bahwa write-

down dari persediaan berdampak material terhadap pendapatan perusahaan, hal

tersebut membuat auditor mempertimbangkan apakah akan menginformasikan

atau tidak kepada individu yang berinvestasi dalam perusahaan. Karena persepsi

manusia dibatasi rasional dan irasionalnya yang saling berdialektika, menuntut

dapat mengambil keputusan yang memungkinkan memberi manfaat kepada

dirinya dan masyarakat atau kehilangan manfaat pada salah satunya.

Auditor lebih cenderung setuju dengan pelanggaran standar etika dalam

skenario pertama (menyembunyikan penyimpangan karyawan klien) dari pada

skenario kedua (mengungkapkan informasi kepada pihak luar/klien). Dalam

skenario pertama, auditor dengan tingkat yang lebih rendah dari perkembangan

moral kognitif kurang setuju dengan pelanggaran standar etika ketika

diperhadapkan dengan ancaman/sanksi, sedangkan penilaian dari orang-orang

dengan tingkat yang lebih tinggi dari perkembangan moral kognitif tidak

terpengaruh oleh kehadiran sanksi. Hal tersebut bertentangan dengan harapan,


33

bahwa auditor lebih cenderung setuju dengan pelanggaran standar etika ketika

individu yang terlibat adalah teman dekat bukan seorang kerabat. Secara umum,

dapat dirasakan bahwa pentingnya peningkatan aturan, menimbulkan kesadaran

sehingga kecenderungan untuk melanggar kode etik menurun.

2.2.3. Ethical Framework: Studi Etika Pelayanan Publik Uni Eropa

Studi perbandingan etika pelayanan publik atas negara-negara Uni Eropa

yang dipublikasikan oleh Moilanen dan Salminen (2007). Penelitiannya

merupakan tindak lanjut dari studi sebelumnya oleh Bossaert dan Demmke

tentang etika pelayanan publik pada bulan Maret 2004. Ditugaskan oleh

Kementerian Keuangan dan Kepresidenan Finlandia yang bertujuan untuk

mengungkap perubahan yang terjadi sejak diperkenalkannya ethical framework

(kerangka etika).

Untuk mencapai tujuan penelitian, kuesioner dikirim ke 25 negara anggota

Uni Eropa, Komisi Eropa dan dua negara kandidat, Bulgaria dan Rumania, yang

telah terlibat secara aktif dan mengembangkan deklarasi nilai atau kode etik yang

secara implisit atau eksplisit menjadi nilai pelayanan publik dan standar perilaku

yang resmi, terdiri dari; a) ketentuan konstitusional, b) hukum pidana, c) hukum

pelayanan publik, d) prosedur tindakan administratif, e) hukum pengadaan, f)

undang-undang kerahasiaan, pelayanan dan keterbukaan informasi, g) etika dan

hukum anti korupsi, dan h) konflik ketentuan bunga. Hasil survey dalam

penelitian tersebut berlaku sangat baik untuk pemerintah pusat tetapi kurang

berlaku untuk pemerintah lokal atau daerah, hal ini disebabkan di beberapa

negara, pemerintah daerah memiliki peraturan yang terpisah.

Pelayanan publik di Indonesia dapat mengambil pelajaran dari negara-

negara maju yang melakukan banyak perubahan dan berkelanjutan, khususnya

berkaitan dengan etika. Terlebih lagi Indonesia memiliki ragam budaya dan
34

tradisi yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal, yang ketika dipahami secara

mendalam kemudian diaplikasikan dapat memajukan kinerja pemerintahan.

Peneliti menilai bahwa keragaman yang terdapat pada berbagai daerah dengan

nilai-nilai kearifan lokalnya harus menguatkan peran etika yang telah dibuat

pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai