Anda di halaman 1dari 10

TAM

TAM memiliki tujuan untuk menjelaskan dan memprediksikan penerimaan pemakai terhadap
suatu teknologi. TAM adalah pengembangan TRA dan diyakini mampu meramalkan
penerimaan pemakai terhadap teknologi berdasarkan dampak dari dua faktor, yaitu perspektif
kemanfaatan (perceived usefulness) dan perspektif kemudahan pemakaian (perceived ease of
use) (Davis, 1989).
[2]
Menurut Davis (1989) TAM adalah sebuah teori sistem informasi yang didesign guna
menerangkan bagaimana pengguna mengerti dan mengaplikasikan sebuah teknologi
informasi.
TAM mengadopsi TRA dari Fishbein dan Ajzen (Fishbein, 1967) yang digunakan untuk
melihat tingkat penggunaan responden dalam menerima teknologi informasi. Konstruksi asli
TAM sendiri yang dirumuskan oleh Davis (1989), adalah persepsi kegunaan (perceived
usefulness), persepsi kemudahan pemakaian (perceived ease of use), sikap (attitude), niat
perilaku (behavioral intention), penggunaan sebenarnya (actual use) dan ditambahkan
beberapa perspektif eksternal yaitu, pengalaman (experience) serta kerumitan (complexity) [3]
Persepsi Kegunaan Penggunaan (Perceived Usefulness)[sunting | sunting sumber]
Perspektif penggunaan (perceived usefulness) adalah merupakan suatu fase dimana seseorang
percaya bahwa pemakai suatu sistem tertentu akan dapat menambah prestasi kerja orang
tersebut. Berdasarkan definisi itu dapat diartikan bahwa kegunaan dari penggunaan TIK dapat
menambah kinerja, prestasi kerja siapapun yang menggunakannya.
[4]
Thompson et. al (Thompson) kemudian mengemukakan kesimpulan bahwa kemanfaatan
teknologi informasi merupakan dampak yang diharapkan oleh pengguna teknologi informasi
dalam menjalankan tugas mereka. Thompson (1991) juga menyatakan bahwa individu akan
menggunakan teknologi informasi, jika orang tersebut memiliki pemahaman mengenai
manfaat atau kegunaan (usefulness) yang baik atas kegunaannya.
Kemudahan penggunaan juga merupakan salah satu poin dalam model TAM, yang telah diuji
dalam penelitian Davis et al. (1989). Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa faktor
ini terbukti secara empiris, dapat menjelaskan alasan pengguna akhir dalam menggunakan
sistem informasi serta menjelaskan bahwasanya sistem baru yang ketika itu sedang
dikembangkan, diterima oleh para pengguna pengguna akhir.
Perspektif Kemudahan Penggunaan (Perceived Ease of Use)[sunting | sunting sumber]
Perspektif kemudahan penggunaan dapat meyakinkan pengguna bahwasanya teknologi
informasi yang akan diaplikasikan adalah suatu hal yang mudah dan bukan merupakan beban
bagi mereka. TIK yang tidak sulit digunakan akan terus diaplikasikan oleh perusahaan.
Davis (1989) dalam bukunya juga menyatakan bahwa perspektif kemudahan pengaplikasian
(perceived ease of use) merupakan sebuah tingkatan dimana seseorang percaya bahwasanya
penggunaan sistem tertentu, mampu mengurangi usaha seseorang dalam mengerjakan sesuatu.
Frekwensi penggunaan dan interaksi antara pengguna (user) dengan sistem juga mampu
menunjukan kemudahan penggunaan. Sistem yang lebih sering digunakan menunjukan bahwa
sistem tersebut lebih dikenal, lebih mudah dioperasikan dan lebih mudah digunakan oleh
penggunanya.
Sikap Terhadap Pengaplikasian (Attitude Toward Using)[sunting | sunting sumber]
Sikap terhadap pengaplikasian sesuatu menurut Aakers dan Myers (1997) adalah, sikap pro
atau kontra terhadap pengaplikasian sebuah produk. Sikap pro atau kontra terhadap suatu
produk ini dapat diaplikasikan guna memprediksi tingkah laku ataupun niat seseorang untuk
menggunakan suatu produk atau tidak menggunakannya. Sikap terhadap pengaplikasian
teknologi (attitude toward using technology), diartikan sebagai evaluasi dari pemakai tentang
keingintahuannya dalam menggunakan teknologi.
Perilaku Keinginan Untuk Menggunakan (Behavioral Intention to Use)[sunting | sunting
sumber]
Behavioral intention to use adalah kecenderungan perilaku untuk tetap mengaplikasikan
sebuah teknologi (Davis, 1989). Tingkat pengunaan sebuah teknologi komputer pada
seseorang dapat diprediksi dari sikap serta perhatian sang pengguna terhadap teknologi
tersebut, contohnya adalah adanya keinginan untuk menambah peripheral pendukung,
keinginan untuk tetap menggunakan, serta keinginan untuk mempengaruhi pengguna lain.
Pemakaian actual (Actual Use)[sunting | sunting sumber]
Pemakaian aktual (actual system usage) adalah kondisi nyata pengaplikasian sistem
(Davis,1989). Seseorang akan merasa senang untuk menggunakan sistem jika mereka yakin
bahwa sistem tersebut tidak sulit untuk digunakan dan terbukti meningkatkan produktivitas
mereka, yang tercermin dari kondisi nyata penggunaan. Bentuk pengukuran pemakaian aktual
(actual system usage) adalah seberapa kerap dan durasi waktu pemakaian terhadap TIK.
Penggunaan teknologi sesungguhnya (actual technology use), diukur melalui jumlah
akumulasi waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teknologi dan seberapa kali
seringnya menggunakan teknologi tersebut.
Kesesuaian Tugas (Job Fit)[sunting | sunting sumber]
Thompson et al. (1991) membuat model penelitian yang mengambil sebagian teori yang
diusulkan oleh Triandis [5], tolak ukur yang mempengaruhi pengaplikasian teknologi informasi
adalah diantaranya tolak ukur sosial, dampak, tingkat kerumitan, kesesuaian tugas, efek
jangka panjang, serta kondisi yang memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi.
Kesesuaian tugas diinpretasikan sebagai koresponden antara kebutuhan tugas, kemampuan
seseorang dan fungsi dari teknologi. Kesesuaian tugas dan teknologi dipengaruhi diantaranya
oleh hubungan antara karakteristik individu pemakai, teknologi yang diaplikasikan, dan tugas
yang berbasis teknologi.
Pengalaman (Experience)[sunting | sunting sumber]
[6]
Ajzein dan Fishbein (1980) dalam penelitiannya menemukan adanya perbedaaan yang
menonjol antara user yang berpengalaman dengan yang unexperienced dalam mempengaruhi
penggunaan yang sebenarnya. Kajian Taylor dan Todd (1995) dalam meneliti pengguna yang
berpengalaman, juga menunjukan bahwa ada korelasi yang signifikan antara minat
menggunakan suatu teknologi serta perilaku penggunaan (behavioral usage) suatu teknologi
yang berpengalaman
Kerumitan (Complexity)[sunting | sunting sumber]
Thompson et.al (1991)[7] memaparkan bahwa semakin kompleks suatu inovasi, maka akan
semakin rendah pula tingkat pengaplikasiannya. Inovasi terhadap sebuah TIK bisa
mempengaruhi pemahaman pengguna untuk menggunakan TIK.
Studi kasus[sunting | sunting sumber]
TAM dapat kita aplikasikan manakala kita ingin menelaah mengenai proses transisi
pembayaran tiket pengguna bus transjakarta dari hard cash dengan menggunakan uang
elektronik (e-money). Sejak pertama kali diperkenalkan pengunaannya kepada para pengguna
transjakarta pada tahun 2014 [8]
E-ticketing diperkenalkan kepada publik dalam rangka mengurangi biaya serta meningkatkan
pengalaman serta kenyamanan penumpang. E- ticketing melibatkan kegiatan tiket digital yang
pada akhirnya memungkinkan pengurangan penggunaan tiket kertas, termasuk didalamnya
mengurangi penggunaan tenaga kerja, biaya percetakan, biaya pengiriman dan biaya akuntasi
serta menghindari praktek komisi yang dibayar dalam sistem distribusi global ke agen.
Sangat mudah untuk digunakan[sunting | sunting sumber]
Kemudahan penggunaan (ease of use) adalah kepercayaan seseorang dalam mengaplikasikan
suatu teknologi yang bisa dengan mudah digunakan serta dipahami. Kemudahan selanjutnya
akan memiliki efek pada perilaku, yaitu semakin menigkat seseorang beranggapan mengenai
kemudahan menggunakan sistem, semakin meningkat pula skala pemanfaatan teknologi
informasi. Pengguna (user) sebuah teknologi memiliki kepercayaan bahwa sistem yang lebih
lentur tidak kaku mudah dipahami dan mudah pengaplikasiannya (compartible) adalah sebuah
karakter dari kemudahan penggunaan
Safety[sunting | sunting sumber]
Keamanan yang dirasakan sehubungan dengan keyakinan bahwa transaksi dapat disimpulkan
aman serta, dalam situasi ini, akan sangat mudah bagi pengguna untuk berpikir bahwasanya
menggunakan layanan tersebut akan menguntungkan bagi dirinya.
Manfaat yang Dirasakan[sunting | sunting sumber]
Kehadiran sistem pembayaran elektronik dengan mengaplikasikan electronic money, banyak
manfaat yang dirasakan. Dalam halnya e-ticketing Transjakarta dan Commuter Line di
Jabodetabek, pengguna tidak harus repot-repot untuk mengantre membeli tiket melainkan
cukup dengan tap and go saja, sehingga waktu pembayaran menjadi jauh lebih pendek dan
efisien.
Kenyamanan[sunting | sunting sumber]
Pikkarainen dkk. dalam Davis (2004) menjelaskan bahwasanya kenyamanan adalah keadaan
dimana seorang individu mengadopsi suatu teknologi dalam melakukan aktivitasnya dan
merasa bahwa hal itu memberikan benefit serta effect yang baik bagi dirinya. Dalam hal ini,
pengguna electronic money merasa tenang dan leluasa karena bisa melakukan pembayaran
dengan e-money dan tak hanya untuk transportasi semata, melainkan e-money tersebut bisa
digunakan juga untuk transaksi tol, pembayaran parkir, belanja di minimarket serta retail
maupun tempat lainnya yang sudah menggunakan Electronic Data Capture (EDC) guna
memproses pembayaran dengan e-money.
Aksesibilitas Penyedia Layanan[sunting | sunting sumber]
Kartu electronic money mulai dilirik untuk menggantikan uang tunai dalam pembayaran-
pembayaran tertentu, utamanya pembayaramemiliki efek yang sangat mumpuni terhadap
perkembangan dan pertumbuhan e-money

Gambaran dari Theory Planned Behaviour (TPB)


Definisi Theory Planned Behaviour (TPB)
Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action
(TRA). Dalam TRA dijelaskan bahwa niat seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua
faktor utama yaitu attitude toward the behavior dan subjective norms (Fishbein dan Ajzen,
1975), sedangkan dalam TPB ditambahkan satu faktor lagi yaitu perceived behavioral control
(Ajzen, 1991).
Theory of Planned Behavior (TPB) yang merupakan pengembangan dari Theory of Reasoned
Action (TRA) (Ajzen dalam Jogiyanto, 2007). Jogiyanto (2007) Mengembangkan teori ini
dengan menambahkan konstruk yang belum ada di TRA. Konstruk ini di sebut dengan kontrol
perilaku persepsian (perceived behavioral control). Konstruk ini ditambahkan di TPB untuk
mengontrol perilaku individual yang dibatasi oleh kekurangan-kekurangannya dan
keterbatasan-keterbatasan dari kekurangan sumber-sumber daya yang digunakan untuk
melekukan perilakuny (Hsu and Chiu 2002).
Faktor-faktor Theory Planned Behaviour (TPB)
 Sikap terhadap perilaku
Sikap bukanlah perilaku, namun sikap menghadirkan suatu kesiapsiagaan untuk tindakan
yang mengarah pada perilaku (Lubis,2010). Individu akan melakukan sesuatu sesuai dengan
sikap yang dimilikinya terhadap suatu perilaku. Sikap terhadap perilaku yang dianggapnya
positif itu yang nantinya akan dipilih individu untuk berperilaku dalam kehidupannya. Oleh
karena itu sikap merupakan suatu wahana dalam membimbing seorang individu untuk
berperilaku.
 Persepsi kontrol perilaku
Dalam berperilaku seorang individu tidak dapat mengkontrol sepenuhnya perilakunya
dibawah kendali individu tersebut atau dalam suatu kondisi dapat sebaliknya dimana seorang
individu dapat mengkontrol perilakunya dibawah kendali individu tersebut. Pengendalian
seorang individu terhadap perilakunya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal
dan juga faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu tersebut seperti
keterampilan, kemauan, informasi, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal berasal dari
lingkungan yang ada disekeliling individu tersebut. Persepsi terhadap kontrol perilaku adalah
bagaimana seseorang mengerti bahwa perilaku yang ditunjukkannya merupakan hasil
pengendalian yang dilakukan oleh dirinya.
 Norma Subyektif
Seorang individu akan melakukan suatu perilaku tertentu jika perilakunya dapat diterima oleh
orang-orang yang dianggapnya penting dalam kehidupannya dapat menerima apa yang akan
dilakukannya. Sehingga, normative beliefes menghasilkan kesadaran akan tekanan dari
lingkungan sosial atau Norma Subyektif.
 
Teori-teori dari gambar Theory Planned Behaviour (TPB)
Komponen Theory Planned Behavior (TPB)
Kepercayaan perilaku yang memengaruhi sikap terhadap perilaku. Keyakinan perilaku adalah
hal-hal yang mendorong individu untuk bertindak. Sedangkan sikap terhadap perilaku yaitu
sikap individu terhadap perilaku yang diperoleh dari keyakinan yang ditimbulkan oleh
perilaku tersebut.
1. Keyakinan normatif yang mempengaruhi norma subjektif. Kepercayaan normatif
adalah norma yang digunakan orang orang yang akan mempengaruhi dalam pengambilan
keputusan. Sedangkan norma-norma subyektif menjadi sebagai individu persepsi
terhadap sosialisasi yang ada untuk menunjukkan atau tidak perilaku. Norma-norma
subyektif ini identik dengan keyakinan dari seseorang tentang perbuatan atau orang lain
atau orang lain yang perlu, harus, atau tidak boleh melakukan perilaku, dan memotivasi
orang untuk mengetahui orang lain tersebut (Michener, Delamater, & Myers, 2004)
2. Kontrol keyakinan yang memengaruhi kontrol perilaku yang dirasakan. Pengendalian
keyakinan adalah pengalaman pribadi, atau orang-orang yang akan mempengaruhi hasil
individu. Kontrol perilaku yang dirasakan adalah keyakinan bahwa individu pernah
melakukan atau tidak pernah melaksanakan perilaku tertentu. Kontrol perilaku cerdik dan
diartikan persepsi individu yang berhubungan dengan tingkah laku tertentu (Ismail dan
Zain: 2008)
Aplikasi Penerapan Theory of Planned Behavior
Penelitian sebelumnya menggunakan teori ini dalam mengetahui ada tidaknya pengaruh
hubungan independen antara indentitas diri individu dengan niatan atau rencana berperilaku.
Hal ini dilakukan karena keragu-raguan terhadap pengaruh sikap individu dalam konsumsi
sayuran organik yang dihasilkan negara. Hal ini berart intensi dan perilaku yang diteliti adalah
konsumsi sayuran organik.
 Attitude Toward Behavior
Masyarakat United States bereaksi terhadap sayuran organik. Sayuran organik dianggap solusi
akan kekhawatiran penggunaan nitrogen sintetis yang telah meningkat enam kali lipat dan
produksi pestisida telah meningkat sekitar dua puluh kali (Andow dan Davis: 1989).
 Subjective Norms
Banyak orang bersedia membayar premi besar untuk makanan yang diproduksi secara organik
seperti buah organik yang dihasilkan dan vegetasi khusus. Saat ini diperkirakan perintah harga
premium semakin mengingkat. (Chadwick dkk: 1990). Banyaknya orang yang melakukan hal
tersebut turut memengaruhi keputusan individu dalam masyarakat tersebut untuk turut
membayar tinggi demi konsumsi sayuran organic.
 Perceived Behavioral Control
Pengalaman individu dalam konsumsi sayuran organik terjadi sejak akhir perand dunia II di
United States. Hal ini membuat wapsada individu dan memutuskan mengkonsumsi yang
aman.
Dewasa ini, teori ini juga dapat diterapkan untuk beberapa perilaku sehat lainnya, seperti
pencegahan perilaku merokok. Komponen attitude toward behavior dari pencegahan perilaku
merokok adalah membuat perokok percaya akan hal postitif dan negative dari merokok
sehingga ia memiliki kecenderungan untuk  sadar akan konsekuensi merokk. Komponen
subjective norms adalah orang-orang disekitar perokok yang diminta atau dibuat untuk
mendukung perokok berhenti merokok; perokok juga distimulasi agar menginternalisasi
bahwa ia harus berhenti merokok. Lalu, komponen   perceived behavioral control adalah
penggalian pengalaman buruk akibat merokok serta mendukung perokok agar mengkontrol
perilaku merokoknya.

Theory of Planned Behavior (TPB) seringkali digunakan dalam berbagai penelitian (research)
tentang perilaku. Biasanya TPB digunakan sebagai variabel intervening untuk menjelaskan
intention (niat) seseorang yang kemudian menjelaskan perilaku orang tersebut. Artikel ini
akan membahas TPB tersebut, dengan harapan bisa membantu mahasiswa atau peneliti yang
akan menggunakan TPB sebagai variabel dalam penelitiannya.

Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action
(TRA). Dalam TRA dijelaskan bahwa niat seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua
faktor utama yaitu attitude toward the behavior dan subjective norms (Fishbein dan Ajzen,
1975), sedangkan dalam TPB ditambahkan satu faktor lagi yaitu perceived behavioral control
(Ajzen, 1991).

TPB sangat sesuai digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku di dalam kewirausahaan.
Sebagaimana dikatakan oleh Ajzen (1991) bahwa TPB is suitable to explain any behavior
which requires planning, such as entrepreneurship (TPB cocok untuk menjelaskan perilaku
apa pun yang memerlukan perencanaan, seperti kewirausahaan).

Apabila TPB digambarkan dalam sebuah bagan adalah sebagai berikut:


Gambar 2.1 di atas menjelaskan bahwa dalam TPB, niat ditentukan oleh tiga variabel
antecedent, yaitu:

1. Attitude (Sikap)
Sikap merupakan suatu faktor dalam diri seseorang yang dipelajari untuk memberikan respon
positif atau negatif pada penilaian terhadap sesuatu yang diberikan. Lo Choi Tung (2011)
mengatakan bahwa attitude toward the behavior is the degree to which a person has a
favorable or unfavorable evaluation of a behavior. It depends on the person’s assessment of
the expected outcomes of the behavior.
Menurut Assael dalam Manda dan Iskandarsyah (2012) sikap merupakan kecenderungan yang
dipelajari untuk memberikan respon kepada obyek atau kelas obyek secara konsisten baik
dalam rasa suka maupun tidak suka. Sebagai contoh apabila seseorang menganggap sesuatu
bermanfaat bagi dirinya maka dia akan memberikan respon positif terhadapnya, sebaliknya
jika sesuatu tersebut tidak bermanfaat maka dia akan memberikan respon negatif.

2. Subjective Norm (Norma Subjektif)


Subjective norm (norma subjektif) merupakan persepsi seseorang tentang pemikiran orang
lain yang akan mendukung atau tidak mendukungnya dalam melakukan sesuatu.

Subjective norm mengacu pada tekanan sosial yang dihadapi oleh individu untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu. Lo Choi Tung (2011: 79) mengatakan bahwa “subjective norm
refers to the social pressures perceived by individuals to perform or not to perform the
behavior. It relates to the beliefs that other people encourage or discourage to carry out a
behavior” (norma subjektif mengacu pada tekanan sosial yang dirasakan oleh individu untuk
melakukan atau tidak melakukan perilaku.

Hal ini terkait dengan keyakinan bahwa orang lain mendorong atau menghambat untuk
melaksanakan perilaku). Seorang individu akan cenderung melakukan perilaku jika
termotivasi oleh orang lain yang menyetujuinya untuk melakukan perilaku tersebut.

3. Perceived Behavioral Control (Kontrol Perilaku)


Kontrol perilaku adalah persepsi kemudahan atau kesulitan dalam melakukan suatu perilaku.
Lo Choi Tung (2011) mengemukakan bahwa kontrol perilaku relates to the beliefs about the
availability of supports and resources or barriers to performing an entrepreneurial behavior
(control beliefs) (berkaitan dengan keyakinan tentang ketersediaan dukungan dan sumber
daya atau hambatan untuk melakukan suatu perilaku kewirausahaan).

Menurut Tony Wijaya (2007) kontrol perilaku merupakan persepi terhadap kekuatan faktor-
faktor yang mempermudah atau mempersulit.

Anda mungkin juga menyukai