Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

“KARAKTER LAPORAN KEUANGAN AKUNTANSI SYARIAH DALAM BINGKAI


FILSAFAT MANUNGGALING KAWULO-GUSTI (SYAIKH SITI JENAR)”

(Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori Akuntansi Syariah
yang diampu oleh : Ibu Dr.Niswatin, S.Pd, SE,MSA)

Oleh:

Kelompok 8

1. Reginda Riski Amalia P. Pikoli (921417072)


2. Aprilia Jeni Ngadi (921417063)
3. Adriyanti Ahaya (921417021)

PROGRAM STUDI S1 - AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2020
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas  kehadirat Allah S.W.T dengan limpahan rahmat


dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Teori Akuntansi
Syariah  tentang karakter laporan keuangan akuntansi syariah dalam bingkai filsafat
manunggaling kawulo-gusti (syaikh siti jenar).

Shalawat beriring Salam kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. dan
para Sahabatnya beserta  keluarganya yang telah memberikan contoh teladan melalui
sunnahnya sehingga membawa kesejahteraan di muka bumi ini.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Teori Akuntansi Syariah
diprogram studi S1 akuntansi Fakultas Ekonomi pada Universitas Negeri Gorontalo.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu
Dr.Niswatin, S.Pd, SE,MSA selaku dosen pengampuh mata kuliah Teori Akuntansi.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki, oleh karena itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran serta bimbingan dari semua pihak yang
bersifat membangun demi  perbaikan di masa yang akan datang. Di samping itu, kami
terus berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, baik bagi mahasiswa Ekonomi
Syariah khususnya dan pembaca pada umumnya. Semoga Allah meridhai segala usaha
dan cita-cita kita. Amin.
Gorontalo,  Maret  2020

                  Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1............................................................................................. Latar
Belakang............................................................................1
1.2............................................................................................. Rumusan
Masalah..............................................................................3
1.3............................................................................................. Tujuan
Masalah..............................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Manunggaling Kawulo-Gusti.........................................5
2.2 Epistemologi Manunggaling Kawulo-Gusti .................7
2.3 Karakter Laporan Keuangan Akuntansi Syariah.......10
2.4 Egoistik-Altruistik...........................................................11
2.5 Materialistik-Spiritualistik.............................................18
2.6 Kuantitatif-kualitatif.......................................................21
2.7 Unitas Keberagaman.......................................................22
BAB III PENUTUP
3.1.............................................................................................Kesimpulan 24
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................25

ii
iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Beberapa studi telah dilakukan untuk mengembangkan akuntansi syariah (Harahap,
1996; Triyuwono, 1997; 2000a; 2000b; Gambling dan Karim, 1991; Baydoun dan
Willett, 1994). Sebagian studi menaruh perhatiannya pada metodologi dan sebagian yang
lain mengembangkan bentuk teori akuntansi syariah yang lebih konkret Triyuwono
(2000a; 2000b)misalnya telah berbicara tentang konsep dasar teori akuntansi syariah
(2000a) tujuan laporan keuangan akuntansi syariah (2002b), dan syari’ah enterprise
theory (2001). Sedangkan Baydoun Dan Willet (1994) juga secara konkret mengusulkan
bentuk laporan keuangan dengan menggunakan vallu kane added anstatement (VAS)
Kajian teori akuntansi syariah yang lebih konkret saat ini memang sangat
diperlukan dengan tiga alasan pertama. Pertama, secara teoritis akuntansi syariah adalah
sebuah disiplin akuntansi yang masih sangat baru,sehingga sangat wajar jika
pembendaharaan teorinya masih sangat sedikit. Kedua, lingkungan dunia bisnis yang
berbasis Syariah saat ini di Indonesia maupun dunia internasional semakin kondusif.
Ketiga,minat akademisi semakin meningkat. Hal ini terbukti semakin banyaknya
universitas yang memiliki jurusan akuntansi yang mengajarkan mata kuliah akuntansi
syariah. Sementara di sisi lain, ketersediaan literatur akuntansi syariah masih sangat
terbatas. Dengan alasan-alasan ini, pengkayaan teori akuntansi syariah merupakan
kebutuhan yang sangat mendesak. Mengapa teori akuntansi syariah diperlukan? karena
teori diperlukan untuk memandu atau menjadi pedoman bagi praktik akuntansi syariah.
Praktik akuntansi di dalam dunia bisnis pada dasarnya dapat dijalankan karena memiliki
legitimasi hukum yang ditetapkan dalam bentuk standar akuntansi keuangan (accounting
standards). Standar akuntansi ditetapkan oleh accounting standards setter yang dalam
prosesnya secara deduktif mereferensi pada teori, baik secara objektif maupun subjektif.
Pendekatan ini memang dapat dilakukan, tetapi tidak menutup kemungkinan terdapat gap
antara kebutuhan praktis dengan pandangan normatif.
Pendekatan lainnya dapat saja dilakukan dengan tanpa mereferensi pada teori,
tetapi langsung referensi pada kebutuhan praktis. Dengan pendekatan Ini, standar
akuntansi akan benar-benar memenuhi kebutuhan praktis dunia usaha titik namun
kelemahannya adalah bahwa praktik akuntansi tidak dapat diarahkan secara normatif.

1
Hal yang sama juga berlaku pada akuntansi syariah. Artinya, penerapan
akuntansi syariah dapat dilakukan dengan pendekatan normatif atau pendekatan positif,
atau, kombinasi dari kedua pendekatan tersebut. Pendekatan Pertama Dan Terakhir ini
yang ternyata digunakan oleh AAOIFI (1998) dalam menyusun standar akuntansi dan
Auditing untuk lembaga keuangan Islam seperti tampak dalam pernyataan berikut ini.
The identification of accounting concept which have been previously developed
by other institutions that are consistent with the islamic ideals of accuracy and
fairness....the identification of concepts which are used In traditional accounting but are
in inconsistent with Islam Islamic Syari’a. Such either rejected or sufficiently modified to
comply with the syari’a.... (AAOIFI 1989, para 7)
AAOIFI (1998) melakukan identifikasi terhadap praktik-praktik yang sudah
ada.Jika praktik yang ada tersebut tidak bertentangan dengan syariah, maka praktik
tersebut diadopsi dan dijadikan standar (pendekatan positif). Tetapi, sebaliknya jika
praktik tersebut bertentangan dengan syariah, maka AAOIFI (1998) akan membuangnya
atau melakukan modifikasi atas praktik tersebut sehingga menjadi sesuai dengan syariah
(kombinasi pendekatan positif dan normatif).
Namun demikian, penetapan standar akuntansi syariah ini tidak sesederhana yang
dijelaskan di atas. Dalam kenyataannya, proses ini begitu Kompleks. Tidak menutup
kemungkinan dalam proses tersebut melibatkan Aspek politik (lihat misalnya Hines,
1989; Susela 1999), karena masing-masing pihak (misalnya dari anggota komite
penyusunan standar) memiliki kepentingan (interest). Masing-masing pihak akan
berusaha keras agar kepentingannya dapat masuk dalam standar.
Terlepas dari proses penetapan standar akuntansi yang sangat kompleks ini, studi
ini memberikan perhatian yang besar pada rangkaian teori akuntansi syariah. Studi ini
mencoba mengembangkan lebih lanjut kontribusi teori yang sebelumnya telah dilakukan
Triyuwono (2002a; dan 2002b).
Triwiyono (2002a) telah memberikan konsep dasar bangunan teori akuntansi
syariah. Konsep dasar tersebut meliputi: instrumental dan socio ekonomic (di mana
landasan filosofi nya adalah Humanis), critical dan Justice (emansipatoris), all-inclusive
dan rational-intuitive (transendental), dan ethical dan holistic welfare (teleologikal).
Konsep dasar yang ditawarkan tidak terlepas dari prinsip filosofis yang mendasarinya,
yaitu Humanis, emansipatoris, transendental, dan teleologikal yang diharapkan dapat
menjadi pegangan dalam mengembangkan teori akuntansi syariah.

2
Lebih lanjut Triyuwono (2002b) juga berpendapat bahwa tujuan laporan
keuangan akuntansi syariah adalah sebagai media untuk memberikan informasi dan
media akuntabilitas. Secara implisit dua tujuan ini sebetulnya dikembangkan dari prinsip
filosofis “teleologikal” yang memiliki konsep dasar teori ethical dan holistic welfare.
Tujuan laporan keuangan sebagai media “akuntabilitas” sebetulnya merupakan
representasi dari etika tanggung jawab manusia kepada Tuhan, sesama manusia dan
alam. Sedangkan “pemberian informasi” yang menyangkut aspek kesejahteraan,
khususnya dalam pengertian yang utuh (holistic welfare).
Dua tujuan ini merupakan hasil rumusan dari epistemologi berpasangan (sinergi
oposisi biner) yang dalam banyak hal melandasi pengembangan akuntansi syariah secara
teoretis (Triyuwono, 2002b). Penetapan tujuan laporan keuangan akuntansi syariah
sangat penting. Karena dengan penetapan tujuan ini, untuk selanjutnya, dapat dirumuskan
bentuk laporan keuangan akuntansi syariah.
Jika dua hal tersebut menjadi tujuan dasar laporan keuangan akuntansi syariah,
maka pertanyaan selanjutnya adalah karakter apa yang harus menjadi bagian dari laporan
keuangan akuntansi syariah? Karakter tersebut perlu dirumuskan agar nantinya dapat
digunakan untuk merumuskan bentuk laporan keuangan akuntansi syariah.
Studi ini secara khusus bertujuan untuk merumuskan karakter yang harus
terkandung dalam akuntansi syariah. Alat yang digunakan untuk merumuskan hal
tersebut adalah nilai filsafat tasawuf Manunggaling kawulo-Gusti, yaitu paham tasawuf
dari Syaikh Siti Jenar. Hasil rumusan ini diharapkan akan menjadi landasan bagi studi
berikutnya untuk merumuskan bentuk konkret laporan keuangan akuntansi syariah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan Manunggaling Kawulo-Gusti
2. Jelaskan Epistemologi Manunggaling Kawulo-Gusti
3. Jelaskan Karakter Laporan Keuangan Akuntansi Syariah
4. Jelaskan Egoistik-Altruistik
5. Jelakan Materialistik-Spritualistik
6. Jelaskan Kuantitatif-Kualitatif
7. Jelaskan Unitas Keberagaman

3
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan Manunggaling Kawulo-Gusti
2. Menjelaskan Epistemologi Manunggaling Kawulo-Gusti
3. Menjelaskan Karakter Laporan Keuangan Akuntansi Syariah
4. Menjelaskan Egoistik-Altruistik
5. Menjelaskan Materialistik-Spritualistik
6. Menjelaskan Kuantitatif-Kualitatif
7. Menjelaskan Unitas Keberagaman

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Manunggaling kawulo-Gusti

Sebagian pakar akuntansi Indonesia barangkali berpikir bahwa studi akuntansi


dengan menggunakan ajaran Manunggaling kawulo-Gusti merupakan pendekatan yang
terlalu mengada-ada, atau dianggap aneh, atau bahkan dianggap tidak masuk akal. Bagi
penulis dan khususnya dari sudut pandang postmodernisme pendekatan apapun oke-oke
saja, anything guys (Feyerabent 1975; Rosenau,1992: 117), asal saja sesuai dengan apa
yang akan diteliti atau dipelajari. Jadi, menggunakan nilai filsafat tasawuf Manunggaling
kawulo-Gusti sah-sah saja untuk mempelajari dan mengembangkan akuntansi syariah.
Di Indonesia, atau tepatnya di Jawa, ajaran Manunggaling kawulo-Gusti tidak
dapat dilepaskan dari seorang tokoh sufi besar dan kontra kontroversial pada zamannya,
yaitu Shaikh Siti Jenar. Ajaran ini pada dasarnya terkait dengan konsep Sangkan
paraning dumadi, asal mula dan arah tujuan semua kejadian, yaitu memahami bahwa
segala sesuatu berasal dari Allah dan berakhir pada Allah, sebagaimana diungkapkan
Djaya (2003:31) di bawah ini:
Ajaran Sangkan paraning dumadi yang berarti pangkal atau mula dan arah
tujuan semua kejadian, menggambarkan suatu (filsafat) proses, kesinambungan akhir-
akhir, bagaimana permulaannya dan juga kesudahannya. Hal itu menumbuhkan
pemahaman Manunggaling Kawulo-Gusti.
Dalam Al-qu’ran konsep ini dikenal dengan ayat Innaa lillahi wa innaa ilaihi
raajiuum. Ayat ini sebetulnya mengindikasikan bahwa segala sesuatu, termaksud kita
sebagai manusia, berasal dari Allah, dan nantinya akan kembali kepada Allah.
Manusia berasal dari Allah, dan saat ini manusia sedang dalam proses menuju
atau kembali kepada Allah. Proses ini sebetulnya lebih tepat dilihat pada aspek
kembalinya “sang pribadi” (self) kepada Allah atau (The Self) melalui proses kehidupan
(evolusi) yang “panjang”. Ketika sang pribadi sudah kembali ke Allah, maka ia
menyatu dengan Allah (Manunggaling Kawulo_Gusti). Kawulo (aku, sang pribadi, atau
self) akhirnya menjadi tiada, kembali menyatu dengan Allah, Yang ada hanya Gusti
(Allah). Pada saat seseorang sampai pada posisi ini (yaitu, Kawulo sudah tidak ada,
yang ada hanya Allah), maka yang bersangkutan tidak menutup kemungkinan
melontarkan kalimat “Ana Al-Haqq,” seperti yang terucapkan oleh Syaikh Siti Jenar,

5
Al-hallaj, dan orang-orang suci lainnya. Bahkan, Nabi Muhammad SAW pun pernah
mengucapkan hal yang sama “Ana Ahmad bi laa mim”
Kalimat tersebut tidak dilontarkan oleh yang bersangkutan dalam posisi sadar
sebagai manusia, atau dalam posisi tingkat kesadaran paling rendah yaitu kesadaran
intelektual, tetapi dalam posisi majdzub, yaitu kesadaran spiritual yang sangat tinggi.
Tentang hal ini chodjim (2003:223) menjelaskan bahwa:
Orang yang tidak mengerti makrifat biasanya menolak kejadian majdzub... mereka
tidak tahu bahwa Nabi (Muhammad) pun sering mengalami majdzub di depan istri beliau.
Misalnya, di hadapan Ibu Aisyah. Nabi pun pernah bersabda “Ana Ahmad bi laa mim”, saya
Ahmad tanpa mim. Artinya apa? Ahad! Dalam bahasa awam, itu berarti Nabi menyebut
dirinya Tuhan. Tapi karena sahabat sudah dididik tentang hal-hal yang bersifat spiritual,
makanya tidak timbul kekacauan pandangan di tengah masyarakat (huruf miring dan tebal
seperti pada aslinya).
Manunggaling kawulo Gusti adalah puncak pencapaian tertinggi perjalanan
spiritual manusia. Tradisi ini sebetulnya bukan tradisi eksklusif Jawa, tetapi sebaliknya
tradisi yang universal: di miliki oleh masyarakat manapun. Di masyarakat Arab
(muslim) tradisi ini dikenal dengan nama wahdatul Wujud. Di masyarakat India dikenal
istilah Yoga untuk menunjuk pengertian yang sama. Dalam masyarakat modern dikenal
dengan istilah No Mind.
Untuk mencapai posisi tertinggi ini (Manunggaling kawulo Gusti, wahdatul
wujud, Yoga, atau No Mind), seseorang manusia harus melalui proses kehidupan
panjang yang penuh dengan suka dan duka. Dalam proses kehidupan ini manusia
“dimasak” dalam wajan hukum dialektika menuju pada kesempurnaan diri (self), diri
yang melampaui hukum dialektika hingga menyatu dengan The Self.
Dalam hukum ini, manusia tidak mungkin mencapai posisi Puncak tanpa
melalui pengalaman suka dan duka. Hukum ini adalah hukum yang sifatnya integral.
Suka dan duka (baik dan buruk benar dan salah, halal dan haram dan lain-lainnya)
merupakan satu kesatuan. Tidak mungkin seorang manusia sepanjang hidupnya hanya
mengalami kehidupan yang suka (yang menyenangkan, yang baik, yang benar, dan
yang halal) saja, atau kehidupan yang duka (yang menyedihkan, yang buruk, yang
salah, dan yang haram) saja. Pasti, kehidupan suka dan duka akan dialami oleh setiap
diri manusia.
Kedewasaan (dan akhirnya kesucian) sang diri akan dialami setahap demi
setahap melalui proses dialektika ini. Semakin mampu menghadapi dan mengatasi

6
proses ini, maka semakin dewasa diri tersebut, dan semakin berproses menuju kepada
kesucian untuk menyatu dengan sang diri yang Maha Suci dan Agung.
2.2 Epistemologi Manunggaling Kawulo-Gusti
Esensi dari ajaran ini adalah “Kemanunggalan” (unity) atas dua hal atau lebih
yang berbeda . Misalnya kemanunggalan manusia (sebagai makhluk) dengan Tuhan
(sebagai sang pencipta), kemanunggalan suka dan duka, kemanunggalan benar dan
salah, dan lain-lainnya. Kedua hal yang berbeda tersebut tidak saling meniadakan
( mutually exclusive), tetapi sebaliknya saling menyatu.
Dalam bahasa ilmiah, kemanunggalan ini dapat disertakan dengan istilah
sintetis (Djaya, 2003), sebagai kebalikan dari istilah analisis. Epistemologi pemikiran
ilmu pengetahuan modern biasa lebih menekankan pada analisis dibandingkan dengan
sintetis. Analisis adalah proses berpikir memecah atau mengurai realitas utuh menjadi
bagian-bagian kecil yang terpisah. Bagian-bagian ini, dengan cara analisis diharapkan
dapat menjelaskan realitas yang utuh. Tetapi sebaliknya, sintesis adalah sebuah proses
berpikir yang berusaha menyatukan bagian-bagian yang terpisah. Sehingga dengan cara
ini, realitas yang menjadi kajian dapat dipahami secara utuh.
Dalam dunia akuntansi, Hines (1992) adalah salah satu pakar akuntansi yang
mempelopori pengembangan akuntansi dengan metode sintesis. Hines (1992) merujuk
pada tradisi timur yaitu tradisi Tao. Hines (1992) berpendapat bahwa “tradisi Tao
adalah tradisi yang mensinergikan dua hal yang berbeda dan bahkan bertentangan
dalam interaksi yang dinamis dan harmonis”. Contoh dari tradisi Tao ini adalah sifat
komplemen (saling melengkapi) dari nilai-nilai maskulin (yang) dan feminin (yin).
Hines (1992) menengarai bahwa akuntansi modern terlalu menonjolkan nilai-
nilai maskulin dan sebaliknya memarginalkan nilai-nilai feminim. Sehingga,
sederhananya, akuntansi modern dalam faktanya (yang dipraktikkan sekarang) ternyata
bergender maskulin. Padahal, sebetulnya menurut sunnatullah-nya, akuntansi
seharusnya memiliki nilai-nilai maskulin dan sekaligus juga memiliki nilai-nilai
feminim. Interaksi dari kedua nilai ini secara harmonis akan menciptakan
keseimbangan.
Ketidakseimbangan dari kedua nilai ini akan menciptakan kerusakan, baik
pada lingkungan fisik manusia maupun keadaan psikis dan spiritual dari manusia itu
sendiri. Kerusakan ini timbul karena ada pelanggaran terhadap hukum alam, yaitu
hukum Allah itu sendiri yang dimanifestasikan dalam bentuk hukum keseimbangan
nilai maskulin dan nilai feminim.
7
Sebagai contoh misalnya, akuntansi modern yang bergender maskulin
memiliki sifat-sifat ekspansif dan egoistik. Sifat-sifat ini sudah menyatu dan mendarah
daging dalam tubuh akuntansi modern. Dengan sifat-sifat ini pula, akuntansi modern
menyajikan informasi akuntansi dengan sifat-sifat yang sama, yang untuk selanjutnya
dikonsumsi oleh penggunanya (users). Pengguna secara sadar atau tidak menggunakan
informasi tadi untuk pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil dengan
sendirinya juga mengandung sifat-sifat tersebut. Keputusan-keputusan semacam inilah
yang pada akhirnya akan merusak lingkungan fisik, psikis dan spiritual manusia: atau
bahkan akan merusak tubuh fisik, psikis dan spiritual manusia itu sendiri.
Fakta yang kita temukan sehari-hari telah banyak. Banjir dan tanah longsor
terjadi di mana-mana. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) juga terjadi secara hampir
merata dalam masyaraka,t baik di jajaran pemerintah maupun non pemerintah. Semua
itu karena sifat ekspansif dan egoistik yang berlebihan dan tidak seimbang dengan,
misalnya sifat-sifat defensif dan altruistik sebagai sifat-sifat yang feminim.
Pada dasarnya, kerusakan terjadi karena terdapat ketidakseimbangan antara
sifat sifat maskulin dengan sifat sifat feminim. Oleh karena itu, dipandang perlu
memasukkan sifat-sifat feminim yang telah dimarginalkan oleh akuntansi modern.
Dengan memasukkan sifat-sifat feminin ini diharapkan akan ada interaksi yang dinamis
dan harmonis dengan sifat sifat maskulin. Dengan cara inilah sebetulnya akuntansi
syariah dibangun dan dikembangkan.
Pengembangan akuntansi syariah dengan pendekatan paradigma positivisme
(mainstream) sangat sulit dilakukan, karena akar pemikiran akuntansi modern pada
dasarnya berasal dari paradigma positivisme (lihat Chua, 1986; Hines, 1988; 1989a;
1989b). Dalam pemikiran positivisme memang ada pemahaman dualisme yang bersifat
dikomis. Suatu pemikiran yang bersifat mutually exclusive terhadap dua hal yang
berbeda. Sebagai contoh misalnya objektif dan subjektif. Dalam pemikiran positivisme
yang diambil adalah sifat objektif, sedangkan yang subjektif dieliminasi dalam rangka
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang objektif. Konsekuensi dari ilmu yang
objektif ini adalah ilmu pengetahuan harus bebas dari nilai (value-free). Contoh lainnya
adalah sifat maskulin dan feminin. Akuntansi modern dengan pemikiran positivistiknya
hanya mengambil sifat-sifat maskulin dan sebaliknya meniadakan sifat-sifat feminim.
Begitu juga dengan sifat rasional dan intuitif. Pemikiran modern hanya mengambil sifat
rasional dan meniadakan sifat yang intuitif. Begitu seterusnya.

8
Padahal, seperti kita ketahui pada penjelasan sebelumnya, akuntansi syariah
dalam pendekatannya bersifat mutually inclusive, seperti Sebagaimana terlihat pada
nilai filsafat Manunggaling kawulo Gusti. Nilai filsafat ini tidak memisahkan sesuatu
yang lain ( yang berbeda), tetapi sebaliknya memadukan dalam wujud kesatuan.
Perbedaan merupakan wujud-wujud dinamis yang akan memperkuat kesatuan.
Akuntansi syariah juga sulit dikembangkan dengan paradigma interpretivis
(interpretivist paradigm). Mengapa demikian? Karena paradigma ini menekankan pada
makna dari sebuah simbol (praktik-praktik akuntansi). Dengan penekanan pada aspek
makna ini akan sulit diperoleh sebuah perubahan, baik pada tingkat ilmu pengetahuan
maupun pada tingkat praktik akuntansi.
Paradigma interpretivis sangat bermanfaat, misalnya bila digunakan sebagai
instrumen awal dalam upaya melakukan perubahan pada struktur pemikiran akuntansi.
Subiyantoro dan Triyuwono ( 2004) menggunakan hermeneutika dalam upaya
memahami konsep laba menurut akuntansi dan manajemen. Dalam karya tersebut dan
dengan instrumen hermeneutika diperoleh suatu pemahaman bahwa laba menurut
akuntan manajemen pada esensinya bersifat materi. Jika tujuan dari studi tersebut
hanya untuk mengetahui makna laba dari akuntan manajemen maka dengan mudah
kita peroleh suatu pemahaman bahwa laba menurut akuntansi manajemen adalah
kelebihan pendapatan (revenues) atas beban (expenses); dan pengertian pendapatan
dan beban ini hanya terbatas pada materi.
Namun, jika kita menghendaki perubahan pada akuntansi maka kita dapat
melanjutkan pendekatan interpretivis tadi dengan pendekatan yang ada dalam
paradigma kritis (critical paradigm). Studi dilakukan subiyantoro dan Triyuwono
(2004) yang semula menggunakan pendekatan interpretivis dilanjutkan lagi dengan
menggunakan pemikiran kritis yang merupakan karakter utama dari pendekatan
paradigma kritis. Dengan pemikiran kritis Ini dihasilkan konsep baru (meskipun masih
sangat awal) tentang laba. Konsep laba yang melampaui laba materi, yaitu laba
Humanis.
Dengan menggunakan pendekatan paradigma kritis memang sangat
memungkinkan untuk menghasilkan konsep-konsep (teori-teori) baru: karena tujuan
utama dari paradigma ini adalah melakukan perubahan ( transformation). Teori-teori
dan praktik-praktik apapun yang sudah mapan (established) akan selalu digoyang oleh
paradigma ini untuk mencegah terjadinya kejemudan ( termaksud dalam bidang
akuntansi) dan mendorong terciptanya teori dan praktik baru dari akuntansi.
9
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan akuntansi
syariah sangat memerlukan pendekatan dari paradigma kritis ini. Tanpa pendekatan
ini, akuntansi syariah tidak akan berbeda dengan akuntansi modern; karena pakar
akuntansi syariah (yang menggunakan pendekatan dari paradigm kritis ini) tidak
memiliki daya ubah (kekuatan untuk mengubah). Sehingga, dengan demikian,
akuntans i modern sudah dianggapnya akuntansi syariah.
Namun demikian, meskipun paradigm kritis memiliki daya ubah yang tinggi,
parapakar akuntansi syariah tidak perlu terperangkappada kotak materialism. Pada
umumnya pemikiran di paradigm ini (demikian juga pada paradigm positivis dan
interpretivis) banyak berkisar pada aspek materi (dalam berbagai tingkat dan bentuk).
Oleh karena itu, pendekatan yang lengkap untuk akuntansi syariah adalah
pendekatan dari paradigm posmoderisme (postmodernism). Dalam paradigma ini
terdapat banyak pemikiran yang boleh jadi antara yang satu dengan yang lain sangat
bertentangan. Akan tetapi, dalam paradima ini pemikiran yang sangat bervariasi tadi
sangat disinergikan dalam sebuah bentuk pemikiran yang lebih utuh.
Nilai filsafat Manunggaling Kawulo-Gusti yang digunakan dalam bab ini
termasuk pada paradigma posmodernisme. Karena Manunggaling Kawulo-Gusti pada
pada dasarnya mensinergikan dua hal yang sangat berbeda; men”sinergi”kan kawulo
dengan Gusti, mensinergikan sifat-sifat maskulin dengan feminim, sifat ekspansif
dengan defensive, sifat egoistik dengan altruistik, sifat rasional dengan intuitif, sifat
objektif dengan subjektif, sifat materi dengan spiritual, dan lain-lainnya.
2.3 Karakter Laporan Keuangan Akuntansi Syariah
Seperti telah dinyatakan di awal bab ini bahwa tujuan studi ini adalah
memformulasikan karakter yang harus ada dalam akuntansi syariah. Karakter yang
akan disampaikan dalam bab ini sebetulnya berangkat dari karakter yang dimiliki oleh
akuntansi modern. Misalnya, akuntansi modern memiliki karakter khas yang ada
dalam dirinya, yaitu karakter egoistik, materialistik, dan kuantitatif.
Dalam perspektif ajaran Manunggaling Kawulo-Gusti, tiga sifat tersebut tidak
perlu dihilangkan, tetapi sebaliknya disatukan atau dipadukan dalam interaksi yang
dinamis dan harmonis dengan sifat yang lain. Misalnya, sifat egoistik dipadukan
dengan altruistik, sifat materialistik dikawinkan dengan spritualistik, dan sifat
kuantitatif dengan sifat kualitatif.
Dengan memadukan dua sifat yang berbeda itu, akuntansi akan memberikan
informasi yang lebih powerful, lebih adil, dan lebih utuh dibandingkan bila hanya
10
mengandung satu sisi sifat seperti yang dijelaskan di muka. Perpaduan ini juga
ditemukan dalam rumusan tujuan dasar laporan keuangan akuntansi syariah yang
dirumuskan oleh Triyuwono (2002b). dikatakan oleh Triyuwono (2002b:212) bahwa:
…tujuan dasar laporan keuangan akuntansi syariah yang bersifat “materi”
adalah untuk pemberian informasi (akuntansi), sedangkan yang bersifat “sprit”
adalah untuk akuntabilitas… kedua tujuan ini mutually inclusive, tujuan yang satu
tidak dapat meniadakan yang lain; keduanya berada dalam kesatuan (unity)
sebagaimana bersatunya badan dan ruh. Peberian informasi seolah-olah merupakan
“badan”, sedangkan akuntabilitas adalah “ruh”. “Badan” tidak akan eksis tanpa
“ruh”. Demikian juga sebaliknya, “ruh” tidak dapat membumi tanpa “badan”.
Tujuan dasar laporan keuangan akuntansi syariah ini pada dasarnya nanti akan
menjadi bingkai yang akan memnentukan bentuk dan elemen dari laporan
keuangannya; disamping perpaduan karakter yang akan dijelaskan di bawah ini.
2.4 Egoistik-Altruistik
Triyuwono (2002a) telah memberikan gambaran bahwa akuntansi modern
memiliki sifat yang egoistik. Sifat ini terlihat pada laporan Laba-Rugi (income
statement) dimana laporan tersebut puncak yang disajikan adalah laba (profit) atau
rugi (loss). Informasi positif yang disukai oleh users atau khususnya pemegang saham
(stakeholders) adalah informasi tentang laba. Semakin besar informasi lama yang
disajikan, maka semakin positif penilaian pemegang saham terhadap manajemen
perusahaan. Menagapa pemegang saham sangat berapresiasi terhadap informasi
laba? Karena memang mereka memiliki kepentingan besar terhadap return yang ingin
diperoleh. Mereka melakukan investasi, dan dari investasi ini mereka mengharapkan
hasilnya (return). Jadi pada dasarnya laporan laba rugi ujung-ujungnya memberikan
informasi pada shareholders bukan kepada “yang lain”, misalnya bukan kepada
kreditor, karyawan, pemerintah, atau masyarakat secara luas. Di sini terlihat jelas
sifat egoistiknya, karena semata-mata ditunjukan pada shareholdersyang notabene
adalah pemilik perusahaan.
Pandangan ini didukung oleh Kam (1990:508) yang mengatakan teori entitas
(entity theory) yang dipraktikan oleh akuntansi modern, menekankan diri pada
incomedengan alasan bahwa: (1) pemegang saham (pemilik) umumnya memiliki
kepentingan atas besarnya “pengasilan” dari dana yang diinvestasikannya dan (2)
perusahaan berusaha untuk tetap eksis atau survive dengan cara perolehan laba.

11
Sifat egoistik juga terlihat di neraca (balance sheet), khusunya disisi Ekuitas.
Di dalam Ekuistas ini biasanya disajikan informasi tentang saham yang beredar dan
laba yang ditahan. Informasi tentang laba yang ditahan ini diperoleh dari Laporan
Laba yang Ditahan (Retained Earning Statement) yang intinyamemeberikan informasi
akumulasi laba sejak perusahaan didirikan hingga dibuat laporan keuangan. Informasi
yangdisajikan dalam Ekuitas ini jelas adalah informasi tentang Shareholders sekaligus
juga informasi tentang kekayaan atau hak yang dimilikinya; bukan milik orang lain,
tetapi milik dari Shareholders. Jumlah saham dan akumulasi laba akan menjadi
perhatian dari shareholders.
Sifat egoistik juga terlihat pada semua elemen laporan keuangan akuntansi
modern, terutama pada pengakuan privatecosts and benefits. Artinya, akuntansi
modern hanya melaporkan biaya dan manfaat yang sifatnya privat. Contohnya
seperti tampak pada laporan laba-rugi di mana yang dilaporkan dalam laporan
tersebut hanya menyangkut pendapatan dan beban yang sifatnya privat. Sedangkan
pendapatan dan beban yang sifatnya public sama sekali tidak disajikan.
Sehubungan dengan ini Mathews (1993:130) berkomentar:
Private costs... are already recorded and measured by accounting system, as
the individual costs of material, labor and overhead... Internal cost [private costs]
are also used in the preparation of product costs and for the valuation of inventory.
Public costs....currently must be borne by the community as a whole.
Alasan mendasar mengapa public costsand benefits tidak dilaporkan dalam
laporan keuangan pada dasarnya berpijak pada kesulitan identifikasi, pengukuran dan
penilaian sebagaimana juga dikatakan oleh Mathews (1993: 131):
The difficult faced by proponents of total impact accounting are related to the
identification, measurement and valuation of externalities [public costs orsocial
costs] prior to their possible disclosure in accounting reports. Although the
identification of many potential social costs is not difficultt, measurement and
valuation is not easy.
Pelaporan yang hanya menyajikan private costs and benefits jelas
mengakibatkan informasi akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan menjadi
bias, menjadi terlalu egoistik. Oleh karena itu, ketimpangan yang ada di akuntansi
modern perlu diperbaiki dengan cara memadukan dengan sifat Iain, sebagaimana kita
pahami dari nilai filsafat Manunggaling Kawulo-Gusti.

12
Manunggaling Kawulo-Gusti, menurut Endraswara (2003: 37), merupakan
refleksi sikap manembah orang Jawa ,yaitu: "menghubungkan diri secara sadar, dekat.
menyatu, dan manunggal dengan Tuhan.”
Sikap lain orang lawa yang memiliki nilai manunggal adalah memayu
hayuning bawana. Sikap ini pada dasarnya adalah sikap yang tidak mementingkan
diri sendiri untuk kebahagiaan hidup, sebagaimana dikatakan oleh Endraswara (2003:
38-9):
...memayung hayuning bawana adalah watak dan perbuatan yang senantiasa
mewujudkan dunia selamat, sejahtera, dan bahagia. Manusia seharusnya bekerja
tidak didorong oleh kepentingan diri, melainkan untuk kepentingan bersama.
Manusia seharusnya berbuat untuk kepentingan bersama dan orang banyak, bukan
kepentingan individu…
Dari konsep memayung hayuning bawana ini semakin terlihat bahwa sikap
mementingkan diri sendiri (egoistik) merupakan sumber penyakit yang akan
memengaruhi kebahagiaan hidup. Di atas telah dipaparkan bahwa informasi akuntansi
yang egoistik akan menghantarkan terciptanya realitas yang juga egoistik, yang pada
gilirannya akan tercipta realitas yang destruktif baik pada lingkungan fisik maupun
psikis, dan spiritual manusia.
Oleh karena itu, untuk menciptakan hidup yang berbahagia, maka akuntansi
secara ideal tidak saja menyajikan private costs and benefits, tetapi iuga public costs
and benefits. lni merupakan refleksi dari memadukan sifat egoistik dengan sifat
altruistik. Dengan cara ini informasi akuntansi menjadi lebih utuh dan tidak bias.
penggabungan dua sifat ini akan memiliki dampak yang cukup besar terhadap
bentuk laporan keuangan akuntansi syariah, karena laporan keuangan akan
menampilkan public costs and benefits sebagai faktor penyeimbang. Untuk itu,
sumbangan kajian dari social responsibility accountingdari misalnya Mathews (1993)
akan sangat berarti dalam memformulasikan “bentuk” laporan keuangan akuntansi
syariah.
Mathews (1993) memang secara khusus menampilkan pemikiran. pemikiran
di bidang akuntansi pertanggungjawaban sosial ini dalam bukunya yang berjudul
Socially Responsibiity Accounting. Pada bagian-bagian awal buku tersebut, Mathews
menampilkan berbagai argumentasi perlunya akuntansi sosial. Kemudian ia juga
mengklasifikasikan beberapa pemikiran yang ada. Di sini Mathews (1993:59)
mengklasifikasikannya ke dalam lima golongan, yaitu social responsibility
13
accounting (SRA), total impact accounting (TIA), socio-economic accounting (SEA),
social indicators accounting (SIA), dan societal accounting. Pada bab-bab berikutnya,
Mathews (1993) menyajikan secara lebih rinci konsep dan pemikiran dari masing-
masing klasifikasi tersebut.
Pemikiran yang ada di bidang ini akan banyak memberikan inspirasi bagi
akuntansi syariah untuk mencari bentuk laporan keuangannya yang lebih konkret.
Dalam bab ini kita tidak akan membicarakan bentuk konkret dari laporan keuangan
akuntansi syariah, tetapi untuk sementara cukup di aspek karaktemya saja. Studi lebih
lanjut harus dilakukan (oleh siapa pun) untuk memformulasikan bentuk konkret dari
laporan keuangan akuntansi syariah.
Aspek lain dari sifat egoistik yang ingin disampaikan di sini adalah laba
(profit, income). Akuntansi modern dengan entity theory-nya beranggapan bahwa
penentuan laba adalah hal yang sangat penting; dan perlu juga diketahui bahwa laba
yang berhasil diperoleh perusahaan semata-mata diperuntukkan kepada pemegang
saham (pemilik perusahaan). Dalam hal ini Kam (1990: 307-8) berpendapat bahwa:
For the entity theory, emphasis on the determination of income...the stress on
income due to two reasons: (1) equityholders are mainly interested in income,
because this amount denotes the result of their investmen t for the period; and (2] the
firm is in existence to make a profit. It is necessary for its survival.
Pemegang saham memiliki kepentingan untuk mendapat return yang
memuaskan atas investasi yang telah dilakukan. Sehingga sangat wajar jika laporan
laba-rugi berkonsentrasi pada penyajian informasi laba (rugi). Formatnya dibuat
sedemikian rupa sehingga informasi tentang laba sangat mudah ditangkap dan
dipahami.
Pemegang saham adalah satu kelompok masyarakat yang dengan kekuatan
modalnya (capital) mampu menguasai perusahaan. Karena kekuatannya tunggal
berada di satu tangan, maka pemegang saham adalah pihak yang paling kuat di antara
stakeholders yang lain (misalnya, kreditor, karyawan, pemerintah, dan lain-lainnya).
Bahkan stakeholdersyang lain ’dalam posisi yang marginal.
Kuatnya pemegang saham, dan lemahnya stakeholders lain menunjukkan
kuatnya sifat egoistik, yaitu sifat mementingkan satu kelompok masyarakat bisnis
(dalam hal ini adalah pemegang saham). Padahal sebenarnya, eksistensi perusahaan
tidak berada di tangan pemegang saham saja, tetapi juga di tanganstakeholders yang

14
lain. Pandangan ini didukung oleh teori the social contract yang mengatakan bahwa
(Shocker dan Sethi, 1974: 67):
Any social institution-and business is no exception-operates in society via a social
contact, expressed or implied, whereby its survival and growth are based on'

(i) the delivery of some socially desirable ends to society in general and,
(ii) (ii) the distribution of economic, social, or political benefits to groups from
which it derives its power.
Dua poin penting yang disampaikan oleh Shocker dan Sethi (1974) jelas
menunjukkan sebuah sifat yang bertentangan dengan sifat egoistik. Mereka
beranggapan bahwa pada dasarnya perusahaan terikat dalam kontrak sosial dengan
masyarakat.6 Eksistensi perusahaan tergantung pada masyarakat, yang oleh Shocker
dan Sethi (1974: 67) dinyatakan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan yang secara
sosial dibutuhkan oleh masyarakat dan dalam bentuk distribusi kegunaan ekonomi,
sosial, dan politik kepada masyarakat. Tanpa dua ha] ini, eksistensi perusahaan akan
sulit dipertahankan.
Dari penjelasan di atas khususnya dari teori kontrak sosial terlihat bahwa
kepedulian terhadap masyarakat—bukan pada pemegang saham saja—sangat penting
untuk menjaga pertumbuhan dan keberlangsungan perusahaan. Di sini ada nuansa
sifat altruistik, yaitu memerhatikan kepentingan masyarakat (selain kepentingan
pemegang saham). Merujuk pada Pendapat ini—dan juga pada konsep nilai
Manunggaling Kawulo-Gusti–maka aspek pembagian “kue” perusahaan harus
memerhatikan kepentingan dua pihak, yaitu: pemegang saham (sebagai wujud sifat
egositis) dan masyarakat (stakeholders lainnya sebagi wujud dari sifat altruistik).
Dalam konteks ini Baydoun dan Willett (1994) telah menyumbangkan
pemikirannya berupa konsep value added statement (VAS) untuk Islamic corporate
reports. Apa yang telah disumbangkan oleh Baydoun dan Willett (1994) temyata
memberikan inspirasi bagi Slamet (2001) dan Triyuwono (2001) untuk
mengembangkan enterprise theory menjadi shari’ah enterprise theory.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa akuntansi mod em dengan Laporan
Laba-Ruginya sebetulnya secara implisit menggunakan konsep entity theory, Tetapi
sebaliknya, sumbangan Baydoun dan Willett (1994) tentang value added statement
untuk Islamic corporate reports secara implisit mengindikasikan bahwa konsep ini
menggunakan enterprise theory. Berbeda dengan entity theory, enterprise theory

15
mengandung sifat altruistik. Ini bisa dilihat dan' pendapat Kam (1990: 314) yang
mengatakan: “taking a cue from the writing of Peter Drucker, who observes that the
large corporation is an institution with social responsibilities, Suojanen [1954]
formulated the enterprise theory.” Pandangan ini jelas mengatakan bahwa perusahaan
memiliki tanggung jawab sosial dimana tanggung-jawab ini merupakan reHeksi dari
sifat altruistik. Dengan sifat ini kemudian Suojanen memformulasikan enterprise
theory.
Lebih lanjut Kam (1990: 314) mengatakan:
The enterprise is seen as a social institution where decisions are made that
ajfect a number of interested parties. These are stockholders, employees, creditors,
customers, variousgovernmen taI agencies, and the public. The en terprise concept is
broader than that of the entity, because the former sees the firm as having a role to
play in society, whereas the entity theory views the firm as an isolated body seeking to
make a profit.
Enterprise theory memiliki cakupan yang lebih luas, karena teori ini
beranggapan bahwa perusahaan memiliki peranan yang besar dalam masyarakat.
Artinya, bahwa sebuah perusahaan pada hakikatnya adalah entitas yang tidak sekadar
mencari profit yang tinggi, tetapi ada tanggung jawab sosial di luar profit.
Dari sudut pandang kita, enterprise theory jelas lebih baik jika dibandingkan
dengan entity theory; karena singkatnya, enterprise theory lebih altruistik bila
dibandingkan dengan entity theory. Dengan demikian, akuntansi syariah juga
memandang lebih positif terhadap enterprise themy dibanding dengan entity theory.
Atas fakta ini, kita akan mengambil enterprise theory ini sebagai bagian dari
akuntansi syariah. Namun demikian, enterprise theory tidak sepenuhnya sesuai
dengan syariah Islam, terutama jika dilihat dari metafora zakat yang dikembangkan
oleh Triyuwono (2001; Slamet, 2001). Oleh karena itu, perm dilaRUkan modifikasi,
SEhingga konsep teori tadi menjadi sejalan dengan syariah.
Slamet (2001) dan TriYuwono (2001) pada dasamya mengembangkan
enterprise theoryberdasarkan pada nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, amanah, dan
tanggung jawab. Dengan nilai-nilai ini akhimya enterprise theory dapat dimodifikasi
hingga menjadi shari’ah enterprise theory. Dengan konsep ini. akuntansi syariah
tidak akan menggunakan Laporan Laba-Rugi, tetapi sebagai penggantinya adalah
Laporan Nilai Tambah (value added statement) (lihat Baydoun dan Willett, 1994).

16
Shari’ah enterprise theory memiliki visi yang lebih luas bila dibanding dengan
enterprise theory. Paling tidak visi tersebut terlihat pada luasnya cakupan
stakeholders dari perusahaan. Menurut konsep teori ini, stakeholders meliputi: (1)
Pihak yang terkait Iangsung dengan bisnis perusahaan (direct participants) dan (2)
Pihak yang tidak terkait Iangsung dengan bisnis perusahaan (indirect participants).
Pihak yang pertama adalah pihak yang memberikan kontribusi kepada
perusahaan, baik berupa kontribusi keuangan maupun kontribusi nonkeuangan
(misalnya berupa tenaga dan skill). Karena golongan ini memberikan kontribusi, maka
konsekuensinya perusahaan (yang menerima kontribusi) mempunyai kewajiban untuk
memberikan sebagian kesejahteraan yang berhasil diciptakannya kepada mereka
sebagai kontra prestasi. Sebagai contoh misalnya, pemegang saham memberikan
kontribusi keuangan kepada PErusahaan. Konsekuensinya, perusahaan harus
memberikan dividen kepada pemegang saham. Kreditor memberikan kontribusi
keuangan berupa Dinjaman kepada perusahaan. Konsekuensi dari pinjaman ini adalah
pembayaran bunga kepada kreditor. Pihak pertama ini meliputi pemegang saham.
karyawan, kreditor, pemerintah, pemasok, pelanggan, dan lain-lainnya (Triyuwono,
2001: 141).
Pihak yang kedua adalah pihak yang sama sekali tidak memberikan kontribusi
kepada perusahaan baik berupa keuangan maupun nonkeuangan, tetapi dengan
statusnya yang demikian justru mereka mempunyai hak atas bagian kesejahteraan
yang berhasil diciptakan oleh perusahaan. Pihak yang kedua ini meliputi: masyarakat
secara umum (atau khususnya masyarakat mustahiq, yaitu masyarakat yang berhak
medapatkan dana zakat, infak, dan sedekah) dan lingkungan alam (dalam arti
menjaga, memperbaiki, dan melestarikan alam) (Triyuwono, 2001: 141).
Sifat altruistik dari shari’ah enterprise theory secara eksplisit terlihat pada
pengakuan hak yang dimiliki oleh direct participants selain shareholders dan hak
yang dimiliki oleh masyarakat umum dan lingkungan alam. Pengakuan ini juga
sebagai wujud dari misi Islam yang universal, yaitu misi menciptakan dan
menyebarkan rahmat (kesejahteraan) bagi seluruh alam.
Dari uraian ini dapat diketahui bahwa dengan nilai filsafat Manunggaling
Kawulo-Gusti, sifat egoistik harus dipadukan dengan sifat altruistik Konsekuensi dari
perpaduan ini akan mengakibatkan, pertama, laporan keuangan akuntansi syariah
menyajikan informasi tentang private costs and benefits dan public costs and
benefits; kedua, akuntansi syariah menggunakan shari’ah enterprise theory yang
17
memiliki stakeholders yang lebih lengkap bila dibanding dengan konsep yang ada di
entity theory.

2.5 Materialistik-Spiritualistik
Kemudian, sifat berikutnya dari akuntansi modern adalah sifat materialistik.
Sifat ini juga terlihat jelas di Laporan Keuangan. Seluruh unsur laporan keuangan
akuntansi modem hanya memberikan informasi tentang aktivitas perusahaan yang
bersifat maten' dan diukur dalam unit uang); atau singkatnya, menyajikan realitas
materi. Aktivitas yang tidak menghasilkan atau tidak berkaitan dengan materi tidak
disajikan.
Dengan sifat materialistik ini secara otomatis akuntansi modern menyajikan
informasi akuntansi yang sifatnya materialistik. lnformasi yang demikian, untuk
selanjutnya, akan memengaruhi keputusan ekonomi yang dilakukan seseorang yang
telah mengonsumsi informasi yang materialistik. Akibat selanjutnya adalah
terciptanya realitas yang materialistik.
Realitas yang materialistik ini bukan sekadar ilusi, tetapi adalah fakta empiris
yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu kehidupan manusia
modern. Manusia modern beriorientasi pada dunia materi, dan sebaliknya,
mengabaikan dunia nonmateri. Seluruh jaring kehidupan manusia modern mengarah
dan terperangkap ke dalam jaring-jaring kehidupan materi. Padahal sebetulnya
kedudukan materi tidak sesuperior sebagaimana dipahamai dan dialami oleh manusia
modern saat ini. Bahkan idealisme jerman dan kantian justru beranggapan bahwa
yang spiritual lebih tinggi dibandingkan dengan yang material. Pendapat ini di
ungkapkan oleh Ruller dan Morgan (1979:279) seperti berikut ini.
The intellectual origin of the of radicl humanist paradigm can be traced back
to the tenets of german idealism and the kantian notion that hhe ultimate realty of the
universe is spiritual rather than material in nature.
Realitas tertinggi menurut pandangan di atas adalah bersifat spiritual, pendapat
ini tidak berbdea-beda dengan Nasr yang mengatakan :
Bahwa ada tingkatan-tingkatan realitas dan bahwa realitas tidak saja secara
empiris dapat didefinisikan sebagai kontinum psiko-fisik “diluar sana”. Dunia
adalah nyata. Tetapi juga dunia tidak nyata sepanjang ia menyembunyikannya dan
menyelimuti tuhan sebagai realitas (1993:11)

18
Realitas tertinggi adalah realitas spiritual, yaitu Tuhan; dan tuhan itu benar-
benar nyata adanya. Jik tidak nyata berarti ada sesuatu (pikiran, tingkat kesadaran,
nafsu, konsep hidup, dan lain-lainnya). Yang menyelimuti, sehingga tuhan tidak
nampak nyata oleh kita.
Pandangan lain yang mendukung penjelasan di atas dapat kita temukan pada
jaranSsyekh Siti Jenar. Bagi Syekh Siti Jenar, jiwa yang ada dalam diri manusia itu
berasal dari tuhan dan sifatnya langgeng, abadi (Mulkhan, 1999:72). Jiwa sifatnya
spiritual. Ini berbeda dengan badan fisik (raga) yang sifatnya fana, tidak kekal, mudah
rusak, dan busuk. Badan jasmani ini justru menganggap sebagai pengukung atau
pengikat jiwa, sehingga jiwa yang hakikatnya bebas menjadi terkukung, terikat, dan
terasa sakit (Mulkham, 1999:83).
Badan jasmani terikat dengan hal-hal yang bersifat duniawi atau materi.
Padahal sebetulnya, menurut Syekh Siti Jenar, dunia materi atau kehidupan dunia ini
adalah ‘kematian”. Konsep kehidupan denia sebagai “kematian” ini tampak jelas pada
dialog antara Syekh Siti Jenar dengan pangeran tembayat (Mulkhan, 1999: 141)
“... Ketahuilah paman! Kitab pegangan saya adalah surat-surat Al-Quran.
Dengarkanlah lafalnya : kayun daim lamayatu abadan yang artinya adalah hidup
itu tidak mengenal kematian, langgeng untuk selamanya. Itu sebebnya saya
berpendapat bahwa alam dunia itu bukanlah kehidupan. Karena tu engkau bisa mati
di dunia alam kematian ini”
“paman! Dengarkanlah dalillnya dalil lainnya wa’lamayatu fil’alamu’kubri
yuzidu khalibabu, yang artinya adalah ahwa orang yang ada dalam kubur nanti
akan memperoleh badan. Karena itu, ia akan menerima neraka dan surga.
Ketahuilah paman! Itulah keadaan yang ada di dunia sekarang ini sebagai alam
kubur”.
Kehidupan duia (kehidupan materi) adalah dunia kematian. Kehidupan yang
sebenarnya adalah kehidupan yang langgeng yang sifatnya spiritual. Fakta kehidupan
yang kita alami sekarang ini bnayak yang bersifat materi memang tidak dapat
dipungkiri. Semakin lekat dunia materi yang kita perhatikan dalam kehidupan ini,
maka semakin dalam kematian kita. Dengan kata lain, pengakuan yang berlebihan
terhadap dunia materi akan menyebabkan kita semakin jauh dari kehidupan
sebenarnya, atau semakin terperangkap kedalam dunia “kematian”.

19
Oleh karena itu, dalam kajian akuntansi syariah, hal-hal yang sifatnya
spiritualistik harus dikawinkan dengan yang sifatnya materialistik. Konsep perpaduan
ini tetap konsisten dengan ajaran Manunggaling kawulo-Gusti.
Akuntansi syariah (Triyuwono, 2002b), dalam merumuskan tujuan dasar
laporan keuangannya, sudah perpegang pada konsep ini . sebagai wujud dunia materi ,
laporan keuangan akuntansi syariah bertujuan untuk menyediakan informasi
akuntansi ; sedangkan wujud spiritualnya adalah untuk menyedikan media
akuntabilitas. Dengan perpanduan ini, tujuan laporan keuangan akuntansi syariah
menjadi lebih seimbang dan adil.
Tujuan dasar laporan keuangan yang sudah seimbang imbang ini juga akan
menjadi pedoman untuk mengonkretkan bentuk laporan keuangan akuntansi syariah,
dengan kata lain, betuk laporan keuangan harus memiliki aspek materi dan spiritual.
Laporan keuangan pada aspek materi tidak mengalami kesulitan dalam hal
mengidentifikasi, mengukur, menilai, dan melaporkan. Akan tetapi, pada aspek
spiritual akan dialami kesulitan dalam mengukur dan menilainya. Namun,
sebetulnyan kesulitan tersebut bisa diatasi sepanjang kita tidak dibatasi pada pola
pemahaman akuntansi yang harus menyajikan informasi-informasi yang kuantitatif
sja. Bahkan The America Accounting Association (1975) merekomendasikan tiga
tingkat pengukuran, yaitu (liha Mathwes 1993:60)
Level I where yhe activity is identified and described. Examples might be the
idetification of polluting materials which are being discharged into the environment.
Level II where the activity is measured using non-monetary units. The polluting
materials are measured in terms of rate of discharge, the timing of flows, and
compliance with exsiting standards formulated in physcal term such as parts per
million (ppm) level III where attempts are made to value the effects of discharges.
The measurements are converted to financial estimates of costs and benefits to all
stakeholders, ranging form shareholders to general public.
Dari apa yang telah dihasilkan oleh the American Accounting Association
tersebut sudah terlihat bahwa inormasi kualitatif sangat dimungkinkan utik disajikan
dalam laporan keuangan. Adanya celah untuk menyajikan informasi kualitatif ini jelas
memberikan celah bagi informasi yang sifatnya no materi (spiritual).
Dengan masuknya informasi nonmateri, maka pada studi berikutnya perlu
dipikirkan tentang media yang dapat dipahami menampung informsi non-materi ini.
Tidak menutup kemungkinan bahwa informasi non materi dapat diwadahi dalam salah
20
satu dari beberapa laporan keuangan akuntansi syariah ( bukan dalam catatan atas
laporan keuangan). Laporan yang mewadahi informasi nonmateri ini merupakan
wujud dari sifat spiritualitas akuntansi syariah.
Sifat spiritualitas juga dapat diwujudkan dalam “bentuk” tubuh laporan
keuangan akuntansi sayriah. Dalam konteks ini, pada studi berikutnya juga perlu
dipikirkan tentang bagaimana bentuk laoran keuangan sebagai wujud laporan
keuangan akuntansi syariah akan berbeda dengan laporan keuangan auntansi
konvensional.
2.6 Kuantitatif-kualitatif
Sifat ketiga dari akuntansi modern adalah kuantitatif. Dengan sifatnya ini,
akuntansi modern akhirnya hanya mengakui dan menyajikan informasi yang sifatnya
kauntitatif saja. Sebaliknya, informasi kualitatif yang termarginalkan. Posisisnya tidak
sepenting informasi kuantitatif.
Informasi kantitatif akan cenderung mengarahkan pengguna dari informasi ini
untuk juga berfikir kuantitatif; dan selanjutnya mengambil keputusan ekonomi dengan
perhitungan kuantitatif saja. Padahal dalam kenyataanya nahwa realitas kehidupan ini
(termasuk di dalamnya realitas bisnis) tidak semata-mata bersifat kuantitatif, tetapi
juga bersifat kualitatif. Pertimbangan kualitatif. Ini menunjukan bahwa aspek kualitatif
di dalam bisnis juga sangat penting dan bahkan tidak boleh di abaikan.
Keputusan yang hanya memperhatikan realitas kuantitatif sebetulnya adalah
keputusan yang telah meredukasi realitas yang utuh. Realitas kehidupan ini mencakup
realitas kuantitatif dan juga realitas kualtatif. Agar kehidupan manusia ini bisa bahagia
dan tidak mengganggu hukum yang tersebar dalam alam semesta ini, maka akuntansi
sebagai media bisnis dalam kehidupan manusia hendaknya juga tidak mereduksi
realitasnya yang sebenarya.
Di sub bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa realitas kehidupan ini juga
meliputi realitas materi dan non materi (spiritual) . realitas spiritual lebih baka dan
langgeng di banding dengan realitas materi. Bahkan yang menjadi realitas yang paling
tinggi justru adalah realitas spiritual, yaitu Tuhan realitas materi sifatnya memang
mudah diukur, tapi sebaliknya realitas spiritual tidak dapat di ukur.
Oleh karena itu, jika akuntansi melaporkan informasi yang sifatnya kuantitatif
saja, maka informasi ini mengarahkan penggunanya untuk berfikir materi saja.
Akibatnya, realitas kehidupan yang diciptakan oleh pengguna informasi kualitatif
adalah realitas materi. Pengguna informasi dan masyarakat secara umum akhirnya
21
terperangkap dalam jaring-jaring kerja realitas materi, dan tidak akan menstimulasi
mereka untuk masuk pada jaring-jaring kerja realitas spiritual. Jika demikian, maka
mereka akan lupa pada Sang Spiritual Tunggal
Tidak heran jika Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa dunia materi kita adalah
dunia kematian. Jadi, manusia dalam kehidupan materi ini sebetulnya adalah manusia
atau makhluk yang “mati”, makhluk yang tidak sabar, akan hakikat dirinya.
Hakikatnya “diri” yang sebetulnya bebas dan abadi.
Dalam konteks akuntansi syariah, kedua jenis informasi ini sama sekali tidak
diabaikan. Keduanya diakui sebagai informasi yang sangat penting yang dapat
membantu pengguna dalam pengambilan keputusan bisnis. Berbeda dengan akuntansi
syariah, akuntansi modern hanya menyajikan informasi kuantitatif dan sebaliknya
mengabaikan informasi kualitatif.
Ada dua alasan penting mengapa akuntansi syariah menyajikan dua jenis
informasi ini. Pertama, pengguna informasi akuntansi syariah semuanya adalah orang
yang masih hidup di dunia ini ( atau matidalam konsepnya Syekh Siti Jenar). Untuk
memenuhi kodratnya untuk hidup (atau “mati”) di dunia ini, manusia tidak boleh lupa
bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah meninggalkan dunia kematian ini. Untuk
itu manusia di ingatkan tentang kehidupan yang abadi dengan cara menyajikan
informasi kualitatif.
2.7 Unitas Keberagaman
Konsep-konsep yang didiskusikan di atas pada dasarnya mengakui bahwa
realitas alam semesta ini sangat beragam. Keberagaman tersebut sebetulnya
merupakan refleksi dari eksistensi yang tunggal. Pemahaman ini sejalan dengan
dhaouadi (1993) yang mengatakan bahwa islam tidak menerima dualisme, tetapi
sebaliknya bahwa segala sesuatu itu saling melengkapi (lihat Triyuwono), 2004: 139),
paham dualisme pada dasarnya memahami segala sesuatu bersifat dikotomis, saling
meniadakan. Pola pikir sangat melekat pada pemikiran akuntansi modern. Sifat
egoistis meniadakan sifat altuitis; sifat materialistik mengeliminasi sifat spiritualistik
demikian juga sifat kuantitatif memarginalkan sifat kualitatif.
Pola pikir dualisme akan memecah realitas menjadi pecahan-pecahan yang
terpisah sama sekali dengan yang lain. Bahkan pecahan-pecahan yang berbeda sifat
saling meniadakan. Jika memang demikian, akhirnya realitas menjadi sangat
tereduksi. Dimana manusia, sebagai sebuah realitas yang sangat kompleks, juga

22
menjadi tereduksi. Akhirnya manusia dengan sifat egoisnya menjadi binatang
ekonomi (homo-economicus), dan seterusnya.
Sebetulnya hukum yang tersebar di alam ini adalah hukum keberagaman yang
terikat dalam satu-kesatuan. Wujud-wujud yang beragam di dunia ini sebetulnya
merupakan refleksi dari wujud tunggal, yaitu Tuhan. Jadi, bila wujud-wujudnya
dipisahkan, maka selamanya manusia akan terperangkap dalam jaring-jaring yang
terpisah dan sulit kembali kepada yang tunggal. Pahal sebetulnya hakikat tujuan hidup
manusia itu adalah kembali kepada yang tunggal. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Akuntansi sebagai alat kehidupan manusia, sevara ideal, harus selaras dengan
hukum tadi. Oleh karena itu, akuntansi syariah dalam membangun konsep-konsepnya
beusaha keras untuk selalu sesuai dan konsisten dengan hukum tersebut. Dalam
menyusun konsep filosofis hingga konsep teoretis, akuntansi syariah dalam
membangun konsep-konsepnya berusaha keras untuk selalu sesuai dengan hukum
tersebut. Dalam menyusun konsep filosofis hingga konsep teoretis akuntansi syariah
selalu konsisten dengan hukum tersebut (dilihat misalnya Triyuwono, 2000b; 2000b;
2001a; 2000b; 2004).
Konsep yang didiskusikan di bab ini juga tetap konsisten dengan hukum
tersebut di atas. Manunggaling Kawulo-Gusti yang digunakan sebagai alat analisis
dalam studi ini juga berpengaruh teguh pada hukum kemanunggalan (kesatuan).
Kawulo Gusti adalah dua orang yang berbeda, tetapi dapat menyatu. Kawula dengan
tingkat kesadaran spiritualnya yang tinggi (melalui proses kehidupan dan laku batin
yang tinggi) dapat menyatu dengan Gustinya. Hukum Manunggal (berpasangan) ini
tidak hanya ada dalam dunia empiris yang tersebar di alam semesta ini, tetapi juga
difrimankan oleh Sang Gusti dalam kitab suci Al-Quran.
Akuntansi syariah sepanjang perjalanan hidupnya (akan) selalu konsisten
dengan syariah yang telah di tetapkan oleh Sang Gusti. Studi yang sedag mita bahas
ini juga konsisten dengan hukum Sang Gusti. Dalam Studi ini, sifat egoisitis akuntansi
diapdukan dengan pasangannya, yaitu sifat spiritualistik. Demikian juga sifat
kuantitatif yang dipadukan dengan sifat kualitatif.
Paduan yang harmonis dari beberapa sifat trsebut akan menjadi “karakter”
khas dari akuntansi syariah. Oleh karena itu, pengembangan akuntansi syariah
kedepan tidak akan lepas dari karakter yang telah dirumuskan seperti di atas. Studi
lebih lanjut secara ideal mengacu pada “karakter” ini.

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara umum telah diketahui bersama bahwa informasi akuntansi disajikan
dalam sebuah laporan yang dikenal dengan nama laporan keuangan (Financial
Statements). Demikian hal nya dengan akuntansi syariah. Informasi yang akan
diseminisikan disalurkan melalui wadah laporan keuangan. Namun, pertanyaannya
adalah apakah bentuk laporan keuangan akuntansi syariah itu sama dengan akuntansi
modern?
Dari awal juga telah dipahami bersama bahwa akuntansi syariah memiliki
karakter yang berbeda dengan akuntansi modern . Oleh karena itu, formulasi yang
tepat sangat diperlukan agar pada tahapan berikutnya, yaitu tahapan merumuskan
bentuk laporan keuangan akuntansi syariah, dapat dilakukan dengan mudah.
Nilai filsafat Manunggaling Kawulo-Gusti sebagai instrumen yang paling
tepat untuk memformulasikan karakter laporan keuangan akuntansi syariah. Dengan
menggunakan alat ini akhirnya dapat dirumuskan bahwa karakter laporan keuangan
akuntansi syariah adalah egoisitisk-altuistik, materialistik, spiritualistik, dan
kuantitatif-kualitatif. Karakter ini pada prinsipnya adalah karakter yang
mensinergikan dua sifat yang betolak belakang.

24
DAFTAR PUSTAKA
Triyuwono Iwan. 2012. Akuntansi Syariah Perspektif, Metodologi Dan Teori. Malang: PT
RajaGrafindo Persada.

25

Anda mungkin juga menyukai