Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH AKUNTANSI INTERNASIONAL

INTERNATIONAL CORPORATE SOCIAL REPORTING

Disusun Oleh:

1. Junita Waode Ndika – 16 13 014


2. Nofina Sari – 16 13 027

Kelas: Akuntansi C

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ATMA JAYA MAKASSAR
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


CSR adalah sebuah konsep yang tidak hadir secara instan. CSR merupakan hasil
dari proses panjang dimana konsep dan aplikasi dari konsep CSR pada saat sekarang
ini telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan dari konsep-konsep
terdahulunya.
Perkembangan CSR secara konseptual baru dikemas sejak tahun 1980-an yang
dipicu sedikitnya oleh 5 hal berikut:
1. Maraknya fenomena “take over” antar korporasi yang kerap dipicu oleh
keterampilan rekayasa finansial.
2. Runtuhnya tembok Berlin yang merupakan simbol tumbangnya paham komunis
dan semakin kokohnya imperium kapitalisme secara global.
3. Meluasnya operasi perusahaan multinasional di negaranegara berkembang,
sehingga di tuntut supaya memperhatikan: HAM, kondisi sosial dan perlakukan
yang adil terhadap buruh.
4. Globalisasi dan menciutnya peran sektor publik (pemerintah) hampir di seluruh
dunia telah menyebabkan tumbuhnya LSM (termasuk asosiasi profesi) yang
memusatkan perhatian mulai dari isu kemiskinan sampai pada kekuatiran akan
punahnya berbagai spesies baik hewan maupun tumbuhan sehingga ekosistem
semakin labil.
5. Adanya kesadaran dari perusahaan akan arti penting merk dan reputasi
perusahaan dalam membawa perusahaan menuju bisnis berkelanjutan.
Pada tahun 1990-an muncul istilah corporate social responsibility (CSR).
Pemikiran yang melandasi CSR yang sering dianggap inti dari etika bisnis adalah
bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomi dan legal
(artinya kepada pemegang saham atau shareholder) tetapi juga kewajiban-kewajiban
terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholder) yang jangkauannya

2
melebihi kewajiban-kewajiban di atas. Tanggung jawab sosial dari perusahaan terjadi
antara sebuah perusahaan dengan semua stakeholder, termasuk di dalamnya adalah
pelanggan atau customer, pegawai, komunitas, pemilik atau investor, pemerintah,
supplier bahkan juga kompetitor.
Perkembangan CSR saat ini juga dipengaruhi oleh perubahaan orientasi CSR dari
suatu kegiatan bersifat sukarela untuk memenuhi kewajiban perusahaan yang tidak
memiliki kaitan dengan strategi dan pencapaian tujuan jangka panjang, menjadi suatu
kegiatan strategis yang memiliki keterkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan
dalam jangka panjang.
Pelaporan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan sebuah
organisasi/perusahaan dimaksudkan untuk merepresentasikan komponen-komponen
di dalam pelaporan keuangan pada umumnya. Pada kenyataannya konsensus tersebut
belum sampai pada taraf kata sepakat. Akan tetapi jika kita mendiskusikan tentang
pilihan sebuah organisasi/perusahaan dalam mengungkapkan laporan
pertanggungjawaban sosial dan lingkungan, kita akan sepakat bahwa sebuah
organisasi/perusahaan mempunyai tanggungjawab yang harus diungkap yang
berkaitan dengan akuntabilitasnya, tidak hanya dalam kinerja keuangannya tetapi
juga kinerja secara sosial dan lingkungan. Pelaporan pertanggungjawaban sosial dan
lingkungan sebuah organisasi/perusahaan dimaksudkan untuk merepresentasikan
komponen-komponen di dalam pelaporan keuangan pada umumnya. Dalam
terminologi akuntansi pertanggungjawaban sosial pelaporan-pelaporan tersebut
dikenal dengan pelaporan pertanggungjawaban sosial (social-responsibility
reporting). Definisi yang sangat jelas tentang pelaporan pertanggungjawaban sosial
masih sulit ditemukan dalam literatur akuntansi. Pendefinisian tersebut memerlukan
banyak pertimbangan dan konsensus mengenai apa saja yang layak dimasukkan ke
dalam tanggungjawab sosial organisasi/perusahaan.

3
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Corporate Social Reporting (CSR)
2. Teori apa yang digunakan untuk menjelaskan praktik Corporate Social
Responsibility
3. Laporan keuangan apa yang digunakan dalam Akuntansi Internasional
4. Apa saja langkah-langkah yang diambil di tingkat internasional untuk mengatur
praktik CSR perusahaan
5. Faktor-faktor apa saja yang mendorong praktik CSR pada MNCs
6. Organisasi yang mendukung Corporate Social Reporting (CSR)
7. Role Play by Global Reporting Initiative
8. CSR oleh perusahaan pada tingkat internasional

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu agar para pembaca makalah ini dapat menambah
wawasan dan memahami secara jelas mengenai Corporate Social Reporting, bukan
hanya mengetahui definisinya saja akan tetapi masalah juga dapat memahami
permasalahan yang ada.

1.4 Manfaat
Manfaat dari makalah ini yaitu :
1. Para pembaca dapat mengetahui secara jelas dan terperinci mengenai Corporate
Social Reporting seperti apa dan penjelasan yang berhubungan dengan CSR.
2. Belajar memahami sebuah permasalahan dan menemukan solusinya.
3. Dapat menerapkan pengetahuan mengenai Corporate Social Reporting pada
dunia kerja.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Corporate Social Reporting


Kecenderungan pelaporan eksternal oleh perusahaan-perusahaan di tingkat
internasional saat ini menekankan perlunya mengintegrasikan masalah ekonomi,
sosial, dan tata kelola (ESG), yang mencerminkan pembangunan berkelanjutan.
Secara tradisional, pelaporan eksternal difokuskan pada aspek ekonomi. Tujuan
pembangunan berkelanjutan adalah untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka
sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, ada peningkatan pesat dalam minat dalam
masalah akuntansi sosial dan lingkungan antara peneliti, pemerintah, badan
profesional, kelompok industri, dan perusahaan; ada berbagai macam alasan, tidak
sedikit di antaranya adalah kecemasan yang berkembang tentang etika bisnis.
Akuntansi sosial populer pada awal 1970-an, tetapi minat terhadapnya menghilang
hampir sepenuhnya pada akhir 1970-an. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, ada
kebangkitan minat dalam akuntansi sosial, terutama karena minat baru dalam masalah
lingkungan. Bahkan, ada periode di awal 1990-an ketika akuntansi sosial sepenuhnya
dibanjiri oleh masalah lingkungan. Selama periode ini, badan akuntansi profesional
nasional juga menunjukkan minat dalam masalah akuntansi lingkungan. Sebagai
contoh, di Australia baik Institute of Chartered Accountants di Australia dan CPA
Australia secara aktif terlibat dalam upaya untuk mengatasi masalah akuntansi
lingkungan. Akuntansi lingkungan sebagian besar dikembangkan dari literatur
tanggung jawab sosial perusahaan tahun 1970-an, yang mencerminkan keprihatinan
sosial yang tersebar luas tentang konsekuensi pertumbuhan ekonomi bagi lingkungan.
CSR mencakup masalah yang berkaitan dengan akuntansi sosial dan lingkungan.
Menyusul bencana keuangan seperti Enron dan WorldCom, dan keuangan global
yang lebih baru krisis, masalah etika yang berkaitan dengan bisnis dan akuntansi telah
menonjol dalam diskusi dan debat tentang pelaporan perusahaan dan mungkin telah

5
menambah minat dalam pengungkapan sosial dan lingkungan secara internasional.
Disarankan bahwa tanggung jawab sosial, kinerja keuangan, dan keberlanjutan
pelaporan dapat saling membentuk dan memperkuat satu sama lain. Pembangunan
berkelanjutan membutuhkan pilihan dan cara berpikir yang baru dan inovatif.
Perkembangan dalam pengetahuan dan teknologi memiliki potensi untuk membantu
mengatasi ancaman terhadap keberlanjutan hubungan sosial, lingkungan, dan
ekonomi kita. Untuk mendukung harapan ini dan untuk berkomunikasi secara jelas
dan terbuka tentang keberlanjutan, diperlukan kerangka kerja konsep, bahasa yang
konsisten, dan metrik yang dibagikan secara global.
Arti CSR berasal dari gagasan tentang tanggung jawab sosial organisasi, yang pada
gilirannya didasarkan pada gagasan kepengurusan, yang didefinisikan sebagai
akuntabilitas manajemen untuk sumber daya yang dipercayakan kepada organisasi.
Dalam arti luas, akuntabilitas ada untuk pemegang saham, pemangku kepentingan
lain (seperti karyawan atau kreditor), dan kepada masyarakat luas. Misalnya, semakin
dianggap tidak bertanggung jawab secara moral bagi perusahaan untuk mendapat
untung dengan menghabiskan sumber daya alam yang tidak perlu atau dengan
mencemari lingkungan. Menurut definisi, akuntabilitas adalah konsep proaktif, yang
mengakui tanggung jawab yang terkait dengannya. Ini berarti perusahaan yang hanya
bereaksi terhadap keprihatinan masyarakat atau mematuhi peraturan mungkin tidak
benar-benar menganut gagasan akuntabilitas.

2.2 Teori yang Mendukung Laporan Pertanggungjawaban Sosial dan


Lingkungan

LEGITIMACY THEORY
Legitimacy theory menjelaskan bahwa organisasi secara kontinu akan beroperasi
sesuai dengan batas-batas dan nilai yang diterima oleh masyarakat di sekitar
perusahaan dalam usaha untuk mendapatkan legitimasi. Norma perusahaan selalu
berubah mengikuti perubahan dari waktu ke waktu sehingga perusahaan harus

6
mengikuti perkembangannya. Usaha perusahaan mengikuti perubahan untuk
mendapatkan legitimasi merupakan suatu proses yang dilakukan secara
berkesinambungan. Proses untuk mendapatkan legitimasi berkaitan dengan kontrak
sosial antara yang dibuat oleh perusahaan dengan berbagai pihak dalam masyarakat.
Kinerja perusahaan tidak hanya diukur dengan laba yang dihasilkan oleh perusahaan,
tetapi ukuran kinerja lainnya yang berkaitan dengan berbagai pihak yang
berkepentingan. Untuk mendapatkan legitimasi perusahaan memiliki insentif untuk
melakukan kegiatan sosial yang diharapkan oleh masyarakat di sekitar kegiatan
operasional perusahaan. Kegagalan untuk memenuhi harapan masyarakat akan
mengakibatkan hilangya legitimasi dan kemudian akan berdampak terhadap
dukungan yang diberikan oleh masyarakat kepada perusahaan. Pengungkapan
perusahaan melalui laporan keuangan tahunan merupakan usaha perusahaan untuk
mengkomunikasikan aktivitas sosial yang telah dilakukan oleh perusahaan untuk
mendapatkan legitimasi dari masyarakat sehingga kelangsungan hidup perusahaan
terjamin.

STAKEHOLDER THEORY
Menurut Ghazali dan Chariri (2007:409), Teori Stakeholder merupakan teori
yang menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk
kepentingan sendiri, namun harus memberikan manfaat kepada seluruh stakeholder-
nya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis,
dan pihak lain). Kelompok stakeholder inilah yang menjadi bahan pertimbangan bagi
manajemen perusahaan dalam mengungkap atau tidak suatu informasi di dalam
laporan perusahaan tersebut. Tujuan utama dari teori stakeholder adalah untuk
membantu manajemen perusahaan dalam meningkatkan penciptaan nilai sebagai
dampak dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan dan meminimalkan kerugian yang
mungkin muncul bagi stakeholder. Meskipun stakeholder theory mampu memperluas
perspektif pengelolaan perusahaan dan menjelaskan dengan jelas hubungan antara
perusahaan dengan stakeholder, teori ini memiliki kelemahan.

7
Gray et al (1997) mengatakan bahwa kelemahan dari stakeholder theory terletak
pada fokus teori tersebut yang hanya tertuju pada cara-cara yang digunakan
perusahaan dalam mengatur stakeholder-nya. Perusahaan hanya diarahkan untuk
mengidentifikasi stakeholder yang dianggap penting dan berpengaruh dan perhatian
perusahaan akan diarahkan pada stakeholder yang dianggap bermanfaat bagi
perusahaan. Mereka yakin bahwa stakeholder theory mengabaikan pengaruh
masyarakat luas (society as a whole) terhadap penyediaan informasi dalam pelaporan
keuangan (Ghozali dan Chariri, 2007:411).

2.3 Laporan Keuangan dalam Akuntansi Internasional


Perkembangan sistem pengungkapan sangat berhubungan dengan perkembangan
system akuntansi. Standar dan praktik pengungkapan dipengaruhi oleh sumber-
sumber keuangan, system hukum, ikatan politik dan ekonomi, tingkat pembangunan
ekonomi, tingkat pendidikan, budaya serta pengaruh lainnya.Perbedaan nasional
dalam pengungkapan umumnya didorong oleh perbedaan dalam tatakelola
perusahaan dan keuangan. Di Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Anglo
Amerika lainnya, pasar ekuitas menyediakan kebanyakan pendanaan yang dibutuhkan
perusahaan sehingga menjadi sangat maju. Di pasar-pasar tersebut, kepemilikan
cenderung tersebar luas diantara banyak pemegang saham dan perlindungan terhadap
investor sangat ditekankan.
Di negara-negara lain seperti Prancis, Jepang dan beberapa negara pasar yang
berkembang, kepemilikan saham masih masih tetap sangat terkonsentrasi dan bank
(dan atau pemilik keluarga) secara tradisional menjadi sumber utama pembiayaan
perusahaan. Bank-bank ini, kalangan dalam dan lainnya memperoleh banyak
informasi mengenai posisi keuangan dan aktivitas perusahaan. Sebelum kita
membahas mengenai pengungkapan laporan keuangan akuntansi internasional
terlebih dahulu kita harus menegetahui pengertian pengukuran dan pengungkapan.
Pengukuran adalah proses mengidentifikasikan,mengelompokkan, dan menghitung
aktivitas ekonomi atau transaksi. Pengukuran itu memberikan masukan mendalam

8
mengenai probabilitas operasi suatu perusahaan dan kekuatan posisi keuangan.
Pengungkapan adalah proses dimana pengukuran akuntansi dikomunikasikan kepada
para pengguna laporan keuangan dan digunakan dalam pengambilan keputusan.
Pengungkapan lebih memusatkan perhatian pada isu-isu seperti apa yang akan
dilaporkan, kapan, dengan cara apa, dan kepada siapa.
Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit
diperoleh kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja
perusahaan dalam aspek sosial. Sementara aspek lingkungan–apalagi aspek ekonomi–
memang jauh lebih mudah diukur. Banyak perusahaan sekarang menggunakan audit
eksternal guna memastikan kebenaran laporan tahunan perseroan yang mencakup
kontribusi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya diberi nama
laporan CSR atau laporan keberlanjutan. Akan tetapi laporan tersebut sangat luas
formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun dalam suatu
industri yang sejenis). Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekadar
“pemanis bibir” (suatu basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR
dari perusahaan Enron dan juga perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan
semakin berkembangnya konsep CSR dan metode verifikasi laporannya,
kecenderungan yang sekarang terjadi adalah peningkatan kebenaran isi laporan.
Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan merupakan upaya untuk
meningkatkan akuntabilitas perusahaan.
Sustainability Report adalah laporan tentang capaian perusahaan dalam
perpaduan aspek profit (economic), people (social) & planet (enviroment) dengan
porsi masing-masing yang ideal. Sehingga selain mendapat keuntungan secara
ekonomi, perusahaan dituntut pula untuk berkonstribusi positif bagi sosial dan
lingkungan disekitarnya. Dengan kondisi yang tengah terjadi, Sustainability Report
perlu diintegrasikan dengan laporan keuangan untuk memudahkan pengawasan pihak
eksternal terhadap program-program CSR yang diadakan perusahaan. Adanya
Sustainability Report yang terintegrasi dengan laporan keuangan juga dapat memacu

9
perusahaan untuk melaksanakan CSR yang tidak hanya mengusung misi sosial,
namun juga misi lingkungan.

2.4 Langkah-langkah yang diambil di tingkat internasional untuk mengatur


praktik CSR perusahaan
CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung
jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value)
yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi CSR harus
berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya selain finansial juga
adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin
nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan
perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial
dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar,
di 4/36 berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang
dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan
hidupnya.
Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for
Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif
mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working group) yang membidani
lahirnya panduan dan standarisasi untuk CSR yang diberi nama ISO 26000: Guidance
Standard on Social Responsibility.
Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam SR terletak pada pemahaman umum
bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi. Pemahaman
tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu “Rio Earth Summit on the Environment”
tahun 1992 dan “World Summit on Sustainable Development (WSSD)” tahun 2002
yang diselenggarakan di Afrika Selatan.
Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta
ISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan standar
Corporate Social Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan

10
COPOLCO mengenai pembentukan Strategic Advisory Group on Social
Responsibility pada tahun 2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-conference dan
conference bagi negara-negara berkembang, selanjutnya di tahun 2004 bulan
Oktober, New York Item Proposal atau NWIP diedarkan kepada seluruh negara
anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005, dimana 29 negara
menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak. Dalam hal ini terjadi perkembangan
dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau Corporate Social Responsibility menjadi
SR atau Social Responsibility saja.
Perubahan ini, menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena
pedoman ISO 26000 diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua
bentuk organisasi, baik swasta maupun publik. ISO 26000 menyediakan standar
pedoman yang bersifat sukarela mengenai CSR suatu institusi yang mencakup semua
sektor badan publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara
maju. Dengan ISO 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas SR
yang berkembang saat ini dengan cara:
1. Mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan
isunya;
2. Menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-
kegiatan yang efektif; dan
3. Memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan
untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional.
Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang
mengartikan ISO 26000 Guidance Standard on Social Responsibility yang secara
konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup
tujuh isu pokok yaitu:
1. Pengembangan Masyarakat
2. Konsumen
3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
4. Lingkungan

11
5. Ketenagakerjaan
6. Hak asasi manusia
7. Organizational Governance
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu
organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan
lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
a. Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
b. Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;
c. Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
d. Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik
kegiatan, produk maupun jasa.
Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup tujuh isu pokok diatas.
Dengan demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja,
misalnya suatu perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun perusahaan
tersebut masih mengiklankan penerimaan pegawai dengan menyebutkan secara
khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan gender tertentu, maka sesuai dengan konsep
ISO 26000 perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab
sosialnya secara utuh.

2.5 Faktor yang Mendorong Praktik CSR pada MNCs


Bagi Multi-national Corporation, praktek CSR berarti memastikan operasional
perusahaan di berbagai negara menguntungkan kedua pihak. Terlepas dari sudut
pandang perusahaan (Neo-Liberalisme atau Dependency), telah disadari pentingnya
CSR bagi sustainability. CSR di MNC juga dipandang sebagai sebuah konsep, hanya
saja semakin banyak pihak yang mengawasi perilaku CSR perusahaan. Berbagai
lembaga di lingkungan PBB seperti ILO, UNICEF, termasuk yang memantau
perilaku CSR. Menurut Galbreath, setidaknya ada tujuh faktor yang mempengaruhi
implementasi CSR bagi MNC, yaitu:

12
1. Cultural Factor
Hofstede menyusun dimensi kultural untuk memudahkan memahami kultur di
dunia. Melalui dimensi kultural ini, MNC dapat lebih efektif ketika melakukan bisnis
internasionalnya. Menurut Hofstede, dimensi kultural tersebut dapat dilihat melalui:
a. Individualism and Collectivism
MNC yang beroperasi di wilayah bersifat individualism, tidak terlalu dituntut
untuk memaksimalkan CSR-nya.
b. Power Distance
Suatu wilayah yang memiliki power distance tinggi, lebih terbuka dalam aspek
sosial dan lingkungan, sehingga praktek bisnis di iklim ini cenderung lebih etis.
c. Uncertainty Avoidance
Perusahaan yang beroperasi di wilayah dengan menghindari ketidakpastian
tinggi, cenderung lebih sulit memenuhi tuntutan sosial dan lingkungannya.
Pemahaman kultur ini sangat penting, mengingat seringkali terjadi perbedaan
yang sangat signifikan. Di negara berkembang, pekerja anak-anak adalah hal yang
wajar, namun tidak di negara maju. MNC harus memilih apakah akan menggunakan
standar CSR di negara asalnya atau mengikuti standar di negara tujuan. MNC juga
perlu mempertimbangkan perbedaan kultur yang ekstrim tersebut sebelum
memutuskan masuk beroperasi ke wilayah tersebut.
2. Cultural Systems
Implementasi CSR dipengaruhi oleh banyak faktor. Permasalahan akan makin
kompleks bagi MNC yang memiliki stakeholder dari beragam latar belakang dan
multi-kultur.
3. Non-Governmental Organizations
NGO atau LSM merupakan lembaga yang bukan afiliasi dari Pemerintah. LSM
biasanya memiliki kesamaan ide atau kesamaan identitas sebagaidasar pendiriannya.

13
Mereka bisa bersifat operasional, advisory, hingga advokasi. Belakangan ini NGO
sebagai bagian cultural system menjadi pembahasan tersendiri bagi praktisi dan
pemerhati CSR. Freeman menengarai NGO memiliki pengaruh yang lebih kuat
daripada pihak lain terhadap implementasi CSR bagi para MNC. Interaksi MNC dan
NGO, hampir sama penting dengan relasi MNC dan investornya. Hubungan MNC
dan NGO itu terutama pada sisi reputasi MNC dan public relation. NGO seringkali
menekan MNC yang tidak berperilaku etis, maupun yang tidak mematuhi hukum
yang berlaku. Mereka menuntut MNC menjadi “warga negara yang baik”. Pada
mumnya benturan antara MNC dan NGO disebabkan karena kurangnya transparansi
dan keterbukaan dua perusahaan besar. Contohnya, Nike dan GAP menyelesaikan
konfliknya dengan NGO melalui publikasi mengenai supply-chain mereka, dan
menjelaskan dimana benturan mereka dengan para supplier tersebut.
4. Laws and Regulations
Pemenuhan kewajiban hukum termasuk salah satu unsure dalam CSR,
sebagaimana dalam piramida CSR. Hukum di suatu negara merupaka kodifikasi darin
orma-norma yang membedakan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Ketidakpatuhan dan pelanggaran hukum akan mengundang sanksi dan mempengaruhi
citra MNC di negara tersebut. Selain hukum di suatu negara, ada juga hukum
internasional yang harus ditaati oleh MNC. Bedanya adalah, hukum internasional
merupakan kesepakatan berbagai negara, bukan ditetapkan oleh otoritas negara
tertentu. Suatu negara yang telah meratifikasi sebuah hukum internasional, terikat
pada hukum tersebut, dan MNC yang beroperasi di sana harus juga mematuhinya.
Permasalahan lebih jauh akan timbul bagi MNC yang berusaha memenuhi peraturan
di tiap negara.
5. Global standards and codes of conduct
Standar global sebenarnya bukan hal baru. Sejak 1948, berbagai perjanjian antar
perusahaan maupun pemerintah, ditandatangani sebagai bentuk kesepahaman etika
moral yang perlu dikuti dalam operasional MNC. Hal ini juga berarti kesulitan besar
bagi MNC untuk mempelajari dan memenuhi masing-masing standar tersebut. Untuk

14
menjembatani hal tersebut, telah dibuat standar global (yang ironisnya masih beragam
juga), diantaranya OECD Guideliness, Global Compact PBB, dan Sullivan Principles.
Untuk standar yang lebih spesifik tersedia SA8000, CERES Principles,
Accountability 1000, OHSAS 18001, ISO 14001,dan sebagainya.
6. National and regional standards
Seperti diketahui, etika di tiap wilayah berbeda. Perbedaan tata nilai ini
kadangkala telah dinyatakan dalam standar kode etik, namun di tempat lain belum.
Masing-masing standar ini berbeda-beda, ada yang mengandung banyak persyaratan
dan ada yang relatif sedikit sehingga lebih mudah dipenuhi. Menurut Fliess, negara
Swedia dan Spanyol termasuk yang relatif mudah pemenuhan standarnya. Sedangkan
Kanada dan Korea menuntut cukup banyak persyaratan dalam standar nasionalnya.
MNC yang berniat beroperasi di negara-negara tersebut tidak punya pilihan selain
memenuhi dan mematuhi standar yang ada.
7. The state of responsible competitiveness
Al Gore menyatakan, tingkat responsible competitiveness di suatu wilayah turut
mendorong perusahaan menerapkan CSR, melalui tuntutan stakeholder atas CSR
suatu MNC di wilayah tersebut. Tingkat responsible competitiveness sendiri
diidentifikasi melalui lebih dari 21 faktor, diantaranya adalah ratifikasi perjanjian
lingkungan hidup, tenaga kerja, sistem perpajakan, tingkat korupsi, standar akuntansi
beserta auditnya, serta kebebasan pers.

2.6 Organisasi Yang Mendukung CSR


Protokol Kyoto adalah sebuah amendemen terhadap Konvensi Rangka Kerja
PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional tentang
pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk
mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya,
atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau
menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.

15
Hubungan CSR dengan Protokol Kyoto dan Global Warming
Selama ini, kita memahami kalau perubahan iklim merupakan peristiwa alamiah.
Salah satu indikator perubahan iklim adalah peningkatan suhu bumi. Bila ditelusuri,
pertumbuhan penduduk dan konsumsi energi fosil secara besar-besaran sejak adanya
revolusi industri telah menjadi pemicu terjadinya pemanasan global (global
warming). Saat ini, efek domino dari revolusi industri dan hasilnya berupa gas rumah
kaca sudah berimbas kepada masyarakat, salah satunya perubahan iklim yang sulit
diprediksi. Petani merasa kebingungan untuk mengatur pola tanam, karena prediksi
pengetahuan lokal kini tidak lagi memadai.
Menyadari beberapa permasalahan di atas, tahun 1992, KTT Bumi di Rio de
Janeiro, para pemimpin negara menyepakati beberapa komitmen salah satunya
komitmen untuk menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim dengan
menandatangani Konvensi PBB Untuk Perubahan Iklim (United Nation Framework
Convention on Climate Change, UNFCCC). Untuk menindaklanjuti komitmen
tersebut, pertemuan rutin para pihak UNFCCC (Conference of the Parties) akhirnya
digelar setiap tahun. Yang paling monumental dari COP adalah COP III yang
diadakan pada Desember 1997 di Kyoto, Jepang. Pada pertemuan ini digagas sebuah
protokol yang dikenal dengan Protokol Kyoto dan terbuka untuk ditandatangani dari
tanggal 16 Maret 1998 sampai dengan 15 Maret 1999 di Markas Besar PBB, New
York.
Protokol ini akan berkekuatan hukum 90 hari setelah diratifikasi sedikitnya oleh
55 negara dan harus mewakili 55 % total emisi negara-negara maju atau biasa disebut
dengan negara-negara Annex I. Melalui protokol ini, negara Annex I yaitu negara-
negara yang mengeksploitasi sumber daya alam lebih dahulu, diwajibkan secara
hukum untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang terdiri dari : CO2, CH4, N2O,
HFCS, PFCS dan SF6, minimal 5,25 % dari tingkat emisi tahun 1990, selama tahun
2008 sampai tahun 2012, yang merupakan kewajiban periode komitmen I.
Setelah melewati masa yang cukup panjang sejak tahun 1997, Protokol Kyoto
akhirnya resmi berkekuatan hukum secara internasional tepat pada 16 Februari 2005.

16
Meskipun tanpa Amerika Serikat, yang juga merupakan kontributor emisi terbesar
dunia, keberhasilan ini menunjukkan bahwa komunitas Internasional menyadari
bahwa perubahan iklim merupakan masalah global yang harus ditangani bersama.
Protokol ini resmi berkekuatan hukum tepat 90 hari setelah kedua persyaratannya
terpenuhi. Satu persyaratan diantaranya adalah Protokol Kyoto telah diratifikasi oleh
minimal 55 negara dan Rusia merupakann negara ke 55 yang secara resmi
meratifikasi Protokol Kyoto pada 18 November 2004. Indonesia akhirnya
meratifikasi Protokol Kyoto pada 3 Desember 2004, melalui UU Nomor 17 Tahun
2004.

2.7 Role Play GRI (Global Reporting Initiative)


GRI (Global Reporting Intiative) merupakan sebuah jaringan berbasis organisasi
yang telah mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka
laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terus-menerus melakukan perbaikan
dan penerapan di seluruh dunia.
Tiga fokus pengungkapan GRI, antara lain:
1. Indikator Kinerja Ekonomi (economic performance indicator), terdiri dari 9 item
2. Indikator Kinerja Lingkungan (environment performance indicator), 30 item
3. Indikator Kinerja Sosial (social performance indicator), 40 item
CSR yang sudah dilaksanakan akan dirangkum dalam bentuk laporan
sustainability report yang merupakan pelaporan didalamnya menguraikan mengenai
kegiatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan. Penyusunan sustainability report,
dapat mengacu pada GRI, yang memuat item-item sebagai berikut :
a. Profil dan Strategi
Dalam proses penyusunan sustainability report tentang CSR, perusahaan perlu
memperkenalkan dirinya terhadap masyarakat luas. Selain memperkenalkan visi dan
misinya secara tertulis, perusahaan dapat menyertakan foto profil dewan komisaris
perusahaan beserta kata pengantar dari orang tersebut. Selain itu perusahaan juga
harus menguraikan letak dan posisi perusahaan utama dan cabang, kedudukan

17
hukum perusahaan, struktur organisasi, stakeholder yang dimiliki dan keterlibatan
stakeholder dalam CSR, produk utama unggulan dan pelengkap serta berbagai
penghargaan yang diterima.Perusahaan harus melakukan perumusan strategi untuk
meningkatkan perusahaan dan juga menguraikan dampak, ancaman (risiko) dan
solusi akibat dari implementasi strategi tersebut dan pencapaian kerja yang sudah
dihasilkan.
b. Pendekatan Manajemen
Perusahaan beserta jajaran manajemennya dalam melaporkan CSR harus memuat
hal yang terkait dengan sektor ekonomi, lingkungan intern, lingkungan eksternal
(masyarakat), kualitas ketenagakerjaan berserta jaminannya, jaminan produk yang
dihasilkan perusahaan tersebut sehingga keseluruhan item diatas dapat dimasukkan
ke dalam prosedur dan kebijakan perusahaan dalam proses membuat pelaporan
tentang CSR yang telah dilakukan.
c. Implementasi Perusahaan
Perusahaan harus membuat prosedur dan kebijakan dalam lingkungan sosial.
Prosedur dan kebijakan dapat memuat hal tentang pemantauan lingkungan (tempat,
luas wilayah, status sosial) dan membuat beberapa perjanjian dengan lingkungan
yang ditujukan untuk CSR, produk beserta jaminan kesehatannya dan jasa
perusahaan yang akan diberikan kepada masyarakat. Jasa yang memungkinkan untuk
diberikan adalah jasa berupa uang kepada masyarakat yang kurang mampu dan
bantuan-bantuan dari pemerintah yang dipercayakan kepada perusahaan untuk
didistribusikan. Selain berupa prosedur dan kebijakan, perusahaan juga harus
memikirkan dari segi sektor keuangan untuk melakukan CSR. Sebelum
melaksanakan CSR, perusahaan memastikan dalam bentuk laporan sudah
memberikan jaminan kepada karyawan, misalnya berupa pelatihan karyawan untuk
meningkatkan kualitas kinerja dan memberikan jaminan keselamatan kerja
karyawan. CSR juga menimbulkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
pendistribusian program- program yang dijalankan sehingga perusahaan juga harus
melaporkan rincian biaya yang dikeluarkan dan rincian pendapatan yang mungkin

18
dapat dijadikan tambahan keuntungan bagi perusahaan. Pelaporan tentang CSR
berupa laporan berkesinambungan (sustainability report) yang berarti dilaporkan
secara terus menerus.
Agar laporan tersebut memuat informasi-informasi kegiatan CSR perusahaan,
maka laporan tersebut memiliki pedoman yang berstandar. Laporan kegiatan CSR
dapat mengacu pada Global Reporting Initiative (GRI), yang didalam laporan
tersebut tidak hanya menginformasikan mengenai proses pelaksanaan CSR, namun
juga memperkenalkan kepada masyarakat luas mengenai profil dan strategi
perusahaan serta pendekatan manajemen yang dilakukan serta manfaat lain yang
dapat menghasilkan keuntungan secara ekonomis.
Dengan Global Reporting Initiative (GRI), perusahaan dapat membuat laporan
secara lengkap dan terperinci mengenai kegiatan CSR perusahaan sehingga
masyarakat secara tidak langsung dapat mengenal perusahaan tersebut. Saran yang
dapat disampaikan dalam hal pelaporan CSR adalah sebisa mungkun perusahaan
mengantisipasi timbulnya pro dan kontra terhadap pelaksanaan CSR karena
kekhawatiran masyarakat setempat terhadap program CSR yang nantinya akan
dijadikan pusat tambahan keuntungan bagi perusahaan. Namun, program CSR itu
diharapkan menjadi program yang saling menguntungkan antara perusahaan dan
masyarakat sekitar dan perusahaan tidak perlu menutup diri dalam melaporkan
kegiatan CSR-nya, karena sudah ada Global Reporting Initiative (GRI) yang
membantu untuk menyempurnakan sustainability report CSR sehingga pelaporan
kegiatan CSR dapat diinformasikan secara keseluruhan.

TUJUAN PEDOMAN PELAPORAN KEBERLANJUTAN GRI


Pedoman Pelaporan Keberlanjutan GRI (Pedoman) menyediakan Prinsip-prinsip
Pelaporan, Pengungkapan Standar, dan Panduan Penerapan untuk penyusunan
laporan keberlanjutan oleh organisasi, apa pun ukuran, sektor, atau lokasinya.
Pedoman ini juga menyediakan referensi internasional untuk semua pihak yang
terlibat dengan pengungkapan pendekatan tata kelola serta kinerja dan

19
dampaklingkungan, sosial, dan ekonomi organisasi. Pedoman ini berguna untuk
menyiapkan berbagai jenis dokumen yang memerlukan pengungkapan tersebut.
Pedoman ini dikembangkan melalui proses yang melibatkan pemangku
kepentingan global dari perwakilan dari bisnis, tenaga kerja, masyarakat sipil, dan
pasar keuangan, serta auditor dan pakar di berbagai bidang, dan melalui dialog erat
bersama regulator dan lembaga pemerintah di beberapa negara. Pedoman ini
dikembangkan bersesuaian dengan dokumen yang terkait pelaporan yang telah diakui
secara internasional, yang direferensikan di seluruh Pedoman ini. Ada cara dalam
menggunakan pedoman, pedoman ini disajikan dalam dua bagian:
1. Prinsip-prinsip Pelaporan dan Pengungkapan Standar
2. Panduan Penerapan
Bagian pertama – Prinsip-prinsip Pelaporan dan Pengungkapan Standar– berisi
Prinsip-prinsip Pelaporan, Pengungkapan Standar, dan kriteria yang akan diterapkan
oleh organisasi untuk menyiapkan laporan keberlanjutannya ‘sesuai’ dengan
Pedoman ini.
Bagian kedua – Panduan Penerapan– berisi penjelasan tentang cara menerapkan
Prinsip-prinsip Pelaporan, cara menyiapkan informasi yang akan diungkapkan, dan
cara menginterpretasikan berbagai konsep dalam Pedoman. Referensi ke sumber lain,
daftar istilah, dan catatan pelaporan umum juga disertakan.

PENGGUNAAN PEDOMAN UNTUK MENYUSUN LAPORAN


KEBERLANJUTAN
Penyusunan laporan keberlanjutan menggunakan Pedoman merupakan proses
iteratif. Langkah-langkah berikut ini menjelaskan bagaimana cara menggunakan
Pedoman dalam proses pelaporan keberlanjutan. Uraian ini bertujuan memandu
pembaca melalui bagian utama Pedoman, dan tidak selalu berupa proses yang linear
untuk menyusun laporan keberlanjutan.
Inti dari penyusunan sebuah laporan keberlanjutan adalah fokus pada proses
mengidentifikasi Aspek Material berdasarkan, di antara faktor lainnya, pada Prinsip

20
Materialitas. Aspek Material adalah aspek-aspek yang mencerminkan dampak
ekonomi, lingkungan, dan sosial yang signifikan dari organisasi tersebut; atau dapat
memengaruhi secara substantif asesmen dan
keputusan pemangku kepentingan.
Berikut tahap penggunaan pedoman untuk menyusun laporan keberlanjutan :
1. Dapatkan Gambaran Menyeluruh
 Baca Prinsip-prinsip Pelaporan dan Pengungkapan Standar
 Baca Definisi Istilah-istilah Penting
2. Tentukan Opsi Untuk Pilihan “Sesuai”
Pedoman ini menawarkan dua opsi bagi suatu organisasi untuk menyusun
laporan keberlanjutan yang ‘sesuai’ dengan Pedoman. Dua opsi tersebut adalah
Intidan Komprehensif. Opsi ini menunjukkan bahwa konten yang akan disajikan
dalam laporan yang akan disusun adalah ‘sesuai’ dengan Pedoman.
3. Siapkan Untuk Menyajikan Pengungkapan Standar Umum
 Identifikasi Pengungkapan Standar Umum yang dibutuhkan untuk opsi
‘sesuai’ yang dipilih
 Pastikan apakah terdapat Pengungkapan Standar Umum yang berlaku untuk
sektor organisasi.
4. Siapkan Untuk Menyajikan Standar Khusus
 Pengungkapan Standar Khusus adalah Pengungkapan mengenai Pendekatan
Manajemen (Disclosure on Management Approach- DMA) dan Indikator-
indikator.
 Identifikasi DMA dan Indikator yang terkait dengan Aspek Material
 Periksa apakah terdapat Aspek dan Pengungkapan Standar Khusus yang
berlaku untuk sektor organisasi tertentu.
 Lihat informasi yang disajikan dalam Panduan Penerapan untuk penjelasan
tentang cara menyajikan Pengungkapan Standar Khusus

21
 Informasi tentang topik yang dianggap sebagai material oleh organisasi
namun tidak dicakup oleh daftar Aspek GRI juga dapat disertakan
5. Susun Laporan Keberlanjutan
 Sajikan informasi yang telah dipersiapkan
 Pelaporan elektronik atau berbasis web dan cetakan merupakan media yang
sesuai untuk pelaporan. Organisasi dapat memilih untuk menggunakan
kombinasi laporan berbasis web dan cetakan atau hanya menggunakan salah
satu media saja. Misalnya, organisasi dapat memilih untuk menyediakan
laporan yang terperinci di situs web sedangkan ringkasan eksekutif, termasuk
strategi serta informasi analisis dan kinerja, diberikan dalam bentuk cetakan.
Pemilihannya akan bergantung pada keputusan organisasi terkait dengan
periode pelaporan, cara untuk memperbarui konten laporan, pengguna
laporan umumnya, dan faktor praktis lainnya, seperti strategi distribusi
 Setidaknya satu media (web atau cetakan) harus dapat memberikan akses
bagi pengguna kepada kumpulan informasi yang lengkap untuk periode
pelaporan tersebut.
Organisasi yang telah menyusun laporan keberlanjutan diminta untuk
memberitahukan GRI setelah menerbitkan laporannya, jika:
 Laporan ‘sesuai’ dengan Pedoman – baik itu opsi Inti atau Komprehensif
 Laporan berisi Pengungkapan Standar dari Pedoman namun belum memenuhi
semua persyaratan dalam opsi ’sesuai’.
Kriteria yang harus diterapkan oleh organisasi untuk menysun laporan
berkelanjutan ‘sesuai’dengan pedoman. Pedoman ini menawarkan dua opsi bagi
organisasi untuk menyusun laporan keberlanjutannya ‘sesuai’ dengan pedoman opsi
inti dan opsi komprehensif. Setiap opsi dapat diterapkan oleh semua organisasi,
terlepas dari ukuran, sektor, ataupun lokasi. Fokus dari kedua opsi tersebut berada
pada proses identifikasi aspek material. Aspek material adalah aspek-aspek yang
mencerminkan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang signifikan dari

22
organisasi; atau dapat memengaruhi secara substantif asesmen dan keputusan
pemangku kepentingan. Opsi inti berisi elemen esensial dari laporan keberlanjutan.
Opsi inti berisi latar belakang yang melandasi pengungkapan organisasi mengenai
dampak ekonomi, lingkungan, serta sosial dan kinerja tata kelola.
Opsi komprehensif didasarkan pada opsi Inti dengan mewajibkan pengungkapan
standar tambahan mengenai strategi dan analisis, tata kelola, serta etika dan integritas
organisasi. Selain itu, organisasi diminta untuk menyampaikan kinerjanya secara
lebih luas dengan melaporkan semua Indikator yang terkait dengan aspek material
yang teridentifikasi. Sebuah organisasi, baik merupakan pelapor baru atau
berpengalaman, harus memilih opsi yang paling sesuai dengan kebutuhan
pelaporannya dan, pada akhirnya, memungkinkan organisasi tersebut untuk
memenuhi kebutuhan informasi para pemangku kepentingan. Opsi tidak terkait
dengan kualitas laporan atau terhadap kinerja organisasi. Opsi mencerminkan
kepatuhan laporan keberlanjutan organisasi terhadap pedoman.]

PELAPORAN PENGUNGKAPAN STANDAR WAJIB DENGAN


MENGGUNAKAN REFERENSI
Informasi yang terkait dengan pengungkapan standar yang diwajibkan oleh opsi
‘sesuai’ bisa saja sudah disajikan dalam laporan lain yang dibuat oleh organisasi,
misalnya laporan tahunan untuk pemegang saham atau laporan wajib maupun
sukarela lainnya. Dalam kondisi demikian, organisasi dapat memilih untuk tidak
mengulang informasi tersebut dalam laporan keberlanjutannya, dan alih-alih
menambahkan rujukan di mana informasi yang relevan dapat ditemui. Penyajian ini
dapat diterima selama referensinya spesifik (misalnya, referensi bersifat umum
berupa laporan tahunan untuk para pemegang saham saja tidak dapat diterima,
kecuali mencantumkan bagian, tabel, dan lain-lain.) dan informasi tersebut tersedia
secara umum dan dapat diakses dengan mudah. Hal ini dapat terjadi bila laporan
keberlanjutan disajikan dalam format elektronik atau berbasis web dan tautan
disediakan ke laporan elektronik atau berbasis web lainnya.

23
MEDIA PELAPORAN
Pelaporan elektronik atau berbasis web dan laporan cetakan adalah media yang
tepat untuk pelaporan. Organisasi dapat memilih untuk menggunakan kombinasi
laporan berbasis web dan laporan cetakan atau hanya menggunakan salah satu media
saja. Misalnya, organisasi dapat memilih untuk memberikan laporan yang terperinci
dalam situs web, sedangkan ringkasan eksekutif, termasuk informasi strategi dan
analisis serta kinerja, disajikan dalam bentuk cetakan. Pemilihan media bergantung
pada keputusan organisasi terkait dengan periode pelaporan, cara untuk memperbarui
konten laporan, pengguna laporan umumnya, dan faktor praktis lainnya, misalnya
strategi distribusi. Setidaknya satu media (web atau cetakan) harus dapat memberikan
akses bagi pengguna kepada kumpulan informasi yang lengkap untuk periode
pelaporan tersebut.

CATATAN MENGENAI LAPORAN YANG DISUSUN”SESUAI” DENGAN


PEDOMAN
Setiap laporan yang berisi pernyataan bahwa laporan tersebut dibuat ‘sesuai’
dengan Pedoman harus disusun sesuai dengan kriteria yang disajikan dalam bagian
ini, dan harus menyajikan Indeks Konten GRI Dalam Indeks Konten GRI, referensi
ke Laporan Assurance Eksternal harus disertakan, jika laporan telah dijamin secara
eksternal. GRI merekomendasikan penggunaan assurance eksternal, namun hal itu
bukanlah persyaratan agar dapat ‘sesuai’ dengan Pedoman.

CATATAN MENGENAI LAPORAN YANG TIDAK DISUSUN “SESUAI”


DENGAN PEDOMAN
Jika organisasi melaporkan Pengungkapan Standar dari Pedoman namun belum
memenuhi semua persyaratan dalam opsi ‘sesuai’, laporan tersebut harus berisi
pernyataan berikut: “Laporan ini berisi Pengungkapan Standar dari Pedoman
Pelaporan Keberlanjutan GRI”. Sebuah daftar Pengungkapan Standar dan lokasinya
dalam laporan tersebut harus disajikan bersama-sama pernyataan ini.

24
TRANSISI KE PEDOMAN G4
Organisasi pelapor yang menggunakan Pedoman G3 atau G3.1 dapat
memutuskan sendiri kapan akan beralih ke Pedoman G4. Karena alasan ini, GRI
akan tetap mengakui laporan yang berdasarkan Pedoman G3 dan G3.1 sampai dua
siklus lengkap pelaporan. Namun, laporan yang diterbitkan setelah 31 Desember
2015 harus disusun sesuai dengan Pedoman G4.

PRINSIP-PRINSIP PELAPORAN
Prinsip pelaporan berperan penting untuk mencapai transparansi pelaporan
keberlanjutan dan oleh karenanya harus diterapkan oleh semua organisasi ketika
menyusun laporan keberlanjutan. Panduan Penerapan menjelaskan proses wajib yang
harus diikuti oleh sebuah organisasi dalam pengambilan keputusan agar sesuai
dengan Prinsip-prinsip Pelaporan. Prinsip-prinsip tersebut dibagi menjadi dua
kelompok yaitu prinsip untuk menentukan konten laporan dan prinsip untuk
menentukan kualitas laporan. Prinsip untuk menentukan konten laporan menjelaskan
proses yang harus diterapkan untuk mengidentifikasi apa konten laporan yang harus
dibahas dengan mempertimbangkan aktivitas, dampak, dan harapan serta
kepentingan yang substantif dari para pemangku kepentingannya.
Prinsip untuk menentukan kualitas laporan memberikan arahan berupa pilihan-
pilihan untuk memastikan kualitas informasi dalam laporan keberlanjutan, termasuk
penyajian yang tepat. Kualitas informasi adalah hal yang penting untuk
memungkinkan para pemangku kepentingan dapat membuat asesmen kinerja yang
masuk akal serta mengambil tindakan yang tepat.

2.8 CSR oleh perusahaan pada tingkat internasional


Di level internasional perusahaan menerapkan berbagai standard CSR seperti :
1. AccountAbility’s (AA1000) standard, yang berdasar pada prinsip “Triple Bottom
Line” (Profit, People, Planet) yang digagas oleh John Elkington

25
2. Global Reporting Initiative’s (GRI) – panduan pelaporan perusahaan untuk
mendukung pembangunan berkesinambungan yang digagas oleh PBB lewat
Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) dan UNEP pada
tahun 1997
3. Social Accountability International’s SA8000 standard
4. ISO 14000 environmental management standard
5. Kemudian, ISO 26000.4
Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren
global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap
produk- produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan
kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak azasi manusia (HAM). Tren global
lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah penerapan indeks
yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan
CSR..
Menghadapi tren global dan resistensi masyarakat sekitar perusahaan, maka
sudah saatnya setiap perusahaan memandang serius pengaruh dimensi sosial,
ekonomi dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta berusaha membuat
laporan setiap tahunnya kepada stakeholdernya. Laporan bersifat non financial yang
dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial,
ekonomi dan lingkungannya.
Di Uni Eropa pada tanggal 13 Maret 2007, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan
resolusi berjudul “Corporate Social Responsibility: A new partnership” yang
mendesak Komisi Eropa untuk meningkatkan kewajiban yang terkait dengan
persoalan akuntabilitas perusahaan seperti tugas direktur (directors’ duties),
kewajiban langsung luar negeri (foreign direct liabilities) dan pelaporan kinerja
sosial dan lingkungan perusahaan (environmental and social reporting).
Banyak pihak menyambut gembira perkembangan ini. Semakin lama semakin
disadari bahwa walaupun perusahaan (sektor bisnis) selama ini sudah berkontribusi
sangat positif terhadap pembangunan dunia, pada saat yang sama perusahaan harus

26
diminta semakin bertanggung jawab. Karena, upaya memupuk laba cenderung
(meski tidak selalu) mengabaikan tanggung jawab sosial.
Disahkan Companies Act 2006 yang mewajibkan perusahaan yang sudah tercatat
di bursa efek untuk melaporkan bukan saja kinerja perusahaan (kinerja ekonomi dan
financial) melainkan kinerja sosial dan lingkungan. Laporan ini harus terbuka untuk
diakses publik dan dipertanyakan. Dengan demikian, perusahaan didesak agar
semakin bertanggung jawab.
Implementasi CSR di beberapa negara bisa dijadikan referensi untuk menjadi
contoh penerapan CSR. Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, dan
Amerika Serikat telah mengadopsi code of conduct CSR yang meliputi aspek
lingkungan hidup, hubungan industrial, gender, korupsi, dan hak asasi manusia
(HAM). Berbasis pada aspek itu, mereka mengembangkan regulasi guna mengatur
CSR. Australia, misalnya, mewajibkan perusahaan membuat laporan tahunan CSR
dan mengatur standardisasi lingkungan hidup, hubungan industrial, dan HAM.
Sementara itu, Kanada mengatur CSR dalam aspek kesehatan, hubungan industrial,
proteksi lingkungan, dan penyelesaian masalah sosial.
Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit
diperoleh kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja
perusahaan dalam aspek sosial. Sementara aspek lingkungan--apalagi aspek
ekonomi--memang jauh lebih mudah diukur. Banyak perusahaan sekarang
menggunakan audit eksternal guna memastikan kebenaran laporan tahunan perseroan
yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya
diberi nama laporan CSR atau laporan keberlanjutan. Akan tetapi laporan tersebut
sangat luas formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun
dalam suatu industri yang sejenis). Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini
hanyalah sekedar "pemanis bibir" (suatu basa-basi), misalnya saja pada kasus
laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan juga perusahaan-perusahaan rokok.
Namun, dengan semakin berkembangnya konsep CSR dan metode verifikasi
laporannya, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah peningkatan kebenaran isi

27
laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan merupakan upaya
untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata para pemangku
kepentingannya.

TREND DI DUNIA
Turun naiknya harga saham mencerminkan nilai dari sebuah perusahaan. Makin
tinggi harga saham, makin tinggi market value dari perusahaan tersebut. Tidak heran,
manajemen perusahaan lebih banyak mencurahkan perhatian pada usaha untuk
memaksimalkan nilai saham yang dibeli oleh investor atau shareholder melalui pasar
saham tadi. Strategi bisnis perusahaan, oleh karena itu, seringkali lebih
mencerminkan dimensi jangka pendek dan terkadang mengabaikan dampak sosial
dan lingkungan demi mewujudkan tujuan memaksimalkan shareholder value
tersebut. Akibatnya, muncul banyak debat tentang peran dan sepak terjang korporasi
terutama dikaitkan dengan masalah kesenjangan global diatas. Debat ini berujung
pada tuntutan bahwa perusahaan tidak mungkin menghindar dari tanggung jawab
social karena kegiatan mereka memiliki dampak tidak hanya dari dimensi ekonomi
tetapi juga sosial dan lingkungan.
Perkembangan CSR di mancanegara sudah demikian sangat populer. Di beberapa
negara bahkan, CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah
perusahaan dengan dicantumkannya informasi CSR di catatan laporan keuangan
perusahaan yang bersangkutan. Para pendukung gagasan CSR, menggunakan teori
kontrak sosial dan stakeholder approach untuk mendukung argumen mereka. Di
bawah teori kontrak sosial, perusahaan ada karena ada persetujuan dari masyarakat
(corporations exist, then, only by social permission). Konsekuensinya, perusahaan
harus melibatkan masyarakat dalam melaksanakan operasinya bisnisnya.
Penelitian mereka menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-varaibel
lainnya perusahan-perusahaan yang melakukan CSR, pada jangka pendek (3-5
tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham yang signifikan, namun, dalam jangka
panjang (10 tahun), perusahaan-perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR

28
tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan
dengan perusahaan- perusahaan yang tidak melakukan praktik CSR.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tanggung jawab sosial perusahaan adalah kepedulian perusahaan terhadap
kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas daripada sekedar terhadap
kepentingan perusahaan belaka. Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih
mutakhir, muncul gagasan yang lebih komprehensif mengenai lingkup tanggung
jawab sosial perusahaan. Sampai sekarang ada empat bidang yang dianggap dan
diterima sebagai ruang lingkup tanggung jawab sosial perusahaan. Indikator
keberhasilan tanggung jawab social perusahaan terhadap masyarakat sendiri dilihat
dari bagaimana masyarakat setempat merasakan manfaat dengan adanya kegiatan
yang dilakukan perusahaan. Karena dengan memperhatikan kesejahteraan
masyarakat setempat dan memperhatikan limbah dari produk yang dihasilkan maka
perusahaan tersebut telah menjalankan tanggung jawab sosialnya kepada
masyarakat. Dengan begitu terjalin hubungan yang baik antara masyarakat setempat
dengan perusahaan.
Setelah perusahaan melakukan kegiatan CSR terdapat corporate social reporting.
Corporate social reporting berisi informasi dampak sosial dan lingkungan dari
tindakan ekonomi organisasi untuk kepentingan kelompok tertentu dalam
masyarakat dan untuk masyarakat luas. Selain itu juga sebagai alat yang sangat
berguna bagi perusahaan dalam mengungkapan aktivitas sosialnya di dalam laporan
keuangan. Corporate social reporting didasari oleh dua teori yaitu legitimacy theory
dan stakeholders theory. Tujuan dari pelaporan kegiatan CSR tersebut adalah
Perusahaan dapat meningkatkan image perusahaan tersebut, dapat membantu proses
marketing perusahaan tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa bukan hanya informasi keuangan yang diperlukan oleh
investor tetapi informasi non keuangan sangat penting adanya untuk mendukung
keefektifan pengambilan keputusan dan juga menjaga stabilitas keuangan,

30
lingkungan, dan sosial serta menjadikan laporan terintegrasi sebagai media
komunikasi yang sempurna kepada stakeholders utamanya investor.

31

Anda mungkin juga menyukai