PENDAHULUAN
1
Perkembangan CSR saat ini juga dipengaruhi oleh perubahaan orientasi CSR dari suatu
kegiatan bersifat sukarela untuk memenuhi kewajiban perusahaan yang tidak memiliki kaitan
dengan strategi dan pencapaian tujuan jangka panjang, menjadi suatu kegiatan strategis yang
memiliki keterkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan dalam jangka panjang.
Pelaporan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan sebuah organisasi/perusahaan
dimaksudkan untuk merepresentasikan komponen-komponen di dalam pelaporan keuangan pada
umumnya. Pada kenyataannya konsensus tersebut belum sampai pada taraf kata sepakat. Akan
tetapi jika kita mendiskusikan tentang pilihan sebuah organisasi/perusahaan dalam
mengungkapkan laporan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan, kita akan sepakat bahwa
sebuah organisasi/perusahaan mempunyai tanggungjawab yang harus diungkap yang berkaitan
dengan akuntabilitasnya, tidak hanya dalam kinerja keuangannya tetapi juga kinerja secara sosial
dan lingkungan. Pelaporan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan sebuah
organisasi/perusahaan dimaksudkan untuk merepresentasikan komponen-komponen di dalam
pelaporan keuangan pada umumnya. Dalam terminologi akuntansi pertanggungjawaban sosial
pelaporan-pelaporan tersebut dikenal dengan pelaporan pertanggungjawaban sosial (social-
responsibility reporting). Definisi yang sangat jelas tentang pelaporan pertanggungjawaban sosial
masih sulit ditemukan dalam literatur akuntansi. Pendefinisian tersebut memerlukan banyak
pertimbangan dan konsensus mengenai apa saja yang layak dimasukkan ke dalam tanggungjawab
sosial organisasi/perusahaan.
2
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu agar para pembaca makalah ini dapat menambah wawasan dan
memahami secara jelas mengenai Corporate Social Reporting,bukan hanya mengetahui
definisinya saja akan tetapi masalah juga dapat memahami permasalahan yang ada.
1.4 Manfaat
Manfaat dari makalah ini yaitu :
1. Para pembaca dapat mengetahui secara jelas dan terperinci mengenai Corporate Social
Reporting seperti apa dan penjelasan yang berhubungan dengan CSR.
2. Belajar memahami sebuah permasalahan dan menemukan solusinya.
3. Dapat menerapkan pengetahuan mengenai Corporate Social Reporting pada dunia kerja.
3
BAB 2
PEMBAHASAN
Kegiatan CSR akan menjamin keberlanjutan bisnis yang dilakukan. Hal ini disebabkan karena :
1. Menurunnya gangguan social yang sering terjadi akibat pencemaran lingkungan, bahkan
dapat menumbuh kembangkan dukungan atau pembelaan masyarakat setempat.
2. Terjaminnya pasokan bahan baku secara berkelanjutan untuk jangka panjang.
3. Tambahan keuntungan dari unit bisnis baru, yang semula merupakan kegiatan CSR yang
dirancang oleh perusahaan.
Adapun 5 pilar yang mencakup kegiatan CSR yaitu:
1. Pengembangan kapasitas SDM di lingkungan internal perusahaan maupun lingkungan
masyarakat sekitarnya.
2. Penguatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan wilayah kerja perusahaan.
3. Pemeliharaan hubungan relasional antara korporasi dan lingkungan sosialnya yang tidak
dikelola dengan baik sering mengundang kerentanan konflik.
4. Perbaikan tata kelola perusahaan yang baik
5. Pelestarian lingkungan, baik lingkungan fisik, social serta budaya.
4
Berikut ini adalah manfaat CSR bagi masyarakat:
1. Meningkatknya kesejahteraan masyarakat sekitar dan kelestarian lingkungan.
2. Adanya beasiswa untuk anak tidak mampu di daerah tersebut.
3. Meningkatnya pemeliharaan fasilitas umum.
4. Adanya pembangunan desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk
masyarakat banyak khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut
berada.
Berikut ini adalah manfaat CSR bagi perusahaan:
1. Meningkatkan citra perusahaan.
2. Mengembangkan kerja sama dengan perusahaan lain.
3. Memperkuat brand merk perusahaan dimata masyarakat.
4. Membedakan perusahan tersebut dengan para pesaingnya.
5. Memberikan inovasi bagi perusahaan.
Pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan penting karena melalui social
reporting disclosure, pemakai laporan keuangan akan dapat menganalisis sejauh mana perhatian
5
dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis. Adapun Tujuan akuntansi
pertanggungjawaban sosial yaitu :
1. Untuk meningkatkan citra perusahaan dan untuk mempertahankan biasanya secara
implisit, asumsi bahwa perilaku perusahaan secara fundamental adalah baik.
2. Untuk membebaskan akuntabilitas organisasi atas dasar asumsi adanya kotrak sosial
diantara organnisasi dan masyarakat. Keberadaan kontrak sosial ini menuntut
dibebaskannya akuntabilitas sosial.
3. Sebagai perpanjangan dari pelaporan keuangan tradisional dan tujuannya memberikan
informasi kepada investor.
6
Stakeholder Theory
Menurut Ghazali dan Chariri (2007:409), Teori Stakeholder merupakan teori yang
menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri,
namun harus memberikan manfaat kepada seluruh stakeholder-nya (pemegang saham, kreditor,
konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain). Kelompok stakeholder inilah
yang menjadi bahan pertimbangan bagi manajemen perusahaan dalam mengungkap atau tidak
suatu informasi di dalam laporan perusahaan tersebut. Tujuan utama dari teori stakeholder adalah
untuk membantu manajemen perusahaan dalam meningkatkan penciptaan nilai sebagai dampak
dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan dan meminimalkan kerugian yang mungkin muncul bagi
stakeholder. Meskipun stakeholder theory mampu memperluas perspektif pengelolaan perusahaan
dan menjelaskan dengan jelas hubungan antara perusahaan dengan stakeholder, teori ini memiliki
kelemahan.
Gray et al (1997) mengatakan bahwa kelemahan dari stakeholder theory terletak pada fokus
teori tersebut yang hanya tertuju pada cara-cara yang digunakan perusahaan dalam mengatur
stakeholder-nya. Perusahaan hanya diarahkan untuk mengidentifikasi stakeholder yang dianggap
penting dan berpengaruh dan perhatian perusahaan akan diarahkan pada stakeholder yang
dianggap bermanfaat bagi perusahaan. Mereka yakin bahwa stakeholder theory mengabaikan
pengaruh masyarakat luas (society as a whole) terhadap penyediaan informasi dalam pelaporan
keuangan (Ghozali dan Chariri, 2007:411).
7
Di negara-negara lain seperti Prancis, Jepang dan beberapa negara pasar yang berkembang,
kepemilikan saham masih masih tetap sangat terkonsentrasi dan bank (dan atau pemilik keluarga)
secara tradisional menjadi sumber utama pembiayaan perusahaan. Bank-bank ini, kalangan dalam
dan lainnya memperoleh banyak informasi mengenai posisi keuangan dan aktivitas perusahaan.
Sebelum kita membahas mengenai pengungkapan laporan keuangan akuntansi internasional
terlebih dahulu kita harus menegetahui pengertian pengukuran dan pengungkapan. Pengukuran
adalah proses mengidentifikasikan,mengelompokkan, dan menghitung aktivitas ekonomi atau
transaksi. Pengukuran itu memberikan masukan mendalam mengenai probabilitas operasi suatu
perusahaan dan kekuatan posisi keuangan. Pengungkapan adalah proses dimana pengukuran
akuntansi dikomunikasikan kepada para pengguna laporan keuangan dan digunakan dalam
pengambilan keputusan. Pengungkapan lebih memusatkan perhatian pada isu-isu seperti apa yang
akan dilaporkan, kapan, dengan cara apa, dan kepada siapa.
Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit diperoleh
kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam aspek sosial.
Smentara aspek lingkungan–apalagi aspek ekonomi–memang jauh lebih mudah diukur. Banyak
perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal guna memastikan kebenaran laporan tahunan
perseroan yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya
diberi nama laporan CSR atau laporan keberlanjutan. Akan tetapi laporan tersebut sangat luas
formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun dalam suatu industri yang
sejenis). Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekadar “pemanis bibir” (suatu
basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan juga
perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya konsep CSR dan metode
verifikasi laporannya, kecenderungan yang sekarang terjadi adalah peningkatan kebenaran isi
laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan merupakan upaya untuk
meningkatkan akuntabilitas perusahaan.
Sustainability Report adalah laporan tentang capaian perusahaan dalam perpaduan aspek
profit (economic), people (social) & planet (enviroment) dengan porsi masing-masing yang ideal.
Sehingga selain mendapat keuntungan secara ekonomi, perusahaan dituntut pula untuk
berkonstribusi positif bagi sosial dan lingkungan disekitarnya. Dengan kondisi yang tengah terjadi,
Sustainability Report perlu diintegrasikan dengan laporan keuangan untuk memudahkan
pengawasan pihak eksternal terhadap program-program Corporate Social Responbility (CSR)
8
yang diadakan perusahaan. Adanya Sustainability Report yang terintegrasi dengan laporan
keuangan juga dapat memacu perusahaan untuk melaksanakan CSR yang tidak hanya mengusung
misi sosial, namun juga misi lingkungan. Hal tersebut disampaikan oleh Associate Professor
Hadrian G. Djajadikerta, Head of Asian Business and Organisational Research Group Edith
Cowan University, Perth, Australia. Beliau hadir di FEB pada 19 Mei 2014, dalam rangka
memberikan kuliah tamu dengan tema CSR dan Keunggulan Kompetitif.
Kini mulai banyak perusahaan yang fokus terhadap sustainability mereka, karena
menyadari akan adanya potensi biaya yang lebih besar apabila perusahaan mengabaikan hal
tersebut. “Dalam hal sustainability perusahaan, Indonesia belum terlambat, karena negara-negara
lain kondisinya belum jauh berbeda. Namun harus segera digencarkan, sebelum terlambat”, tegas
Beliau. Mungkin Australia memang merupakan negara yang telah lebih maju daripada Indonesia,
akan tetapi tingkat pelaporan tentang sustainability juga masih relatif rendah. Bedanya di Australia
mulai marak perusahaan-perusahaan yang sadar dan melakukan CSR disertai misi lingkungan.
Sementara di Indonesia, kesadaran sudah terus meningkat, namun prakteknya masih kurang.
Selain berdampak positif bagi lingkungan, tindakan perusahaan menyertakan misi peduli
lingkungan pada program CSR mereka juga dapat meningkatkan image perusahaan tersebut.
Dengan kata lain dapat membantu proses marketing. Beliau mengharapkan ke depan akan semakin
banyak perusahaan dan masyarakat yang sadar bahwa bukan hanya peduli sosial yang menjadi
fokus utama bagi CSR, namun harus peduli lingkungan juga penting. Saat ini FEB melalui Jurusan
Akuntansi telah menyediakan mata kuliah Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial sejak tahun
2005. Hal ini diharapkan dapat membuat para lulusan FEB mampu mendorong perusahaan-
perusahaan tempat mereka berkarir untuk memperhatikan aspek pertanggungjawaban sosial.
Mengidentifikasi beberapa permasalahan pelaporan internal dan eksternal yang timbul
ketika investasi dan bisnis melampaui batas-batas kenegaraanFaktor lain yang turut
menyumbangkan semakin pentingnya akuntansi internasional adalah fenomena kompetisi global.
Penentuan acuan (benchmarking), suatu tindakan untuk membandingkan kinerja satu pihak
dengan suatu standar yang memadai bukan hal yang baru, tetapi standar perbandingan yang
digunakan kini melampaui batas-batas nasional adalah sesuatu yang baru. Hal yang baru adalah
standar perbandingan yang kini melampaui batas-batas nasional. Contoh pertanyaan yang relevan
”Apakah saya menambah nilai banyak ke pelanggan saya dibandingkan dengan rekan yang
berlokasi dinegara lain?”. Dalam penentuan acuan terhadap pesaing internasional, seseorang harus
9
berhati-hati untuk memastikan bahwa perbandingan yang dilakukan memang benar-benar dapat
dibandingkan. Sebagai contoh, alat ukur kinerja yang sering digunakan adalah pengembalian atas
ekuitas (return on equity-ROE).
2.4 Langkah yang diambil di tingkat internasional untuk mengatur praktik CSR perusahaan
CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang
berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam
kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi CSR harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini
bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan
saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable).
Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial
dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di 4/36
berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak
memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya.
Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for Standardization) sebagai
induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk
membentuk tim (working group) yang membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk CSR
yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility.
Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam SR terletak pada pemahaman umum bahwa SR
adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi. Pemahaman tersebut tercermin pada dua
sidang, yaitu “Rio Earth Summit on the Environment” tahun 1992 dan “World Summit on
Sustainable Development (WSSD)” tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan.
Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta ISO on
Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan standar Corporate Social
Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan COPOLCO mengenai
pembentukan “Strategic Advisory Group on Social Responsibility pada tahun 2002. Pada bulan
Juni 2004 diadakan pre-conference dan conference bagi negaranegara berkembang, selanjutnya di
tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NWIP diedarkan kepada seluruh negara
anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005, dimana 29 negara menyatakan
setuju, sedangkan 4 negara tidak. Dalam hal ini terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut,
dari CSR atau Corporate Social Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja.
10
Perubahan ini, menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000
diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik swasta maupun
publik.
ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai CSR suatu
institusi yang mencakup semua sektor badan publik ataupun badan privat baik di negara
berkembang maupun negara maju. Dengan ISO 26000 ini akan memberikan tambahan nilai
terhadap aktivitas SR yang berkembang saat ini dengan cara:
1) mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya; 2)
menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang
efektif; dan
3) memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan
komunitas atau masyarakat internasional.
Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang menggodok
ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara konsisten mengembangkan
tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup 7 isu pokok yaitu:
1. Pengembangan Masyarakat
2. Konsumen
3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
4. Lingkungan
5. Ketenagakerjaan
6. Hak asasi manusia
7. Organizational Governance (governance organisasi)
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu
organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan,
melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
• Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
• Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;
• Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
• Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk
maupun jasa.
11
Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya terintegrasi di
seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok diatas. Dengan demikian jika suatu
perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja, misalnya suatu perusahaan sangat peduli
terhadap isu lingkungan, namun perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan pegawai
dengan menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan gender tertentu, maka
sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan
tanggung jawab sosialnya secara utuh. Contoh lain, misalnya suatu perusahaan memberikan
kepedulian terhadap 6/36 pemasok perusahaan yang tergolong industri kecil dengan mengeluarkan
kebijakan pembayaran transaksi yang lebih cepat kepada pemasok UKM. Secara logika produk
atau jasa tertentu yang dihasilkan UKM pada skala ekonomi tertentu akan lebih efisien jika
dilaksanakan oleh UKM. Namun UKM biasanya tidak memiliki arus kas yang kuat dan jaminan
yang memadai dalam melakukan pinjaman ke bank, sehingga jika perusahaan membantu pemasok
UKM tersebut, maka bisa dikatakan perusahaan tersebut telah melaksanakan bagian dari tanggung
jawab sosialnya.
Menurut Galbreath, setidaknya ada tujuh faktor yang mempengaruhi implementasi CSR bagi
MNC, yaitu:
a. Cultural Factor
Hofstede menyusun dimensi kultural untuk memudahkan memahami kultur di dunia. Melalui
dimensi kultural ini, MNC dapat lebih efektif ketika melakukan bisnis internasionalnya. Menurut
Hofstede, dimensi kultural tersebut dapat dilihat melalui:
• Individualism and Collectivism
12
MNC yang beroperasi di wilayah bersifat individualism, tidak terlalu dituntut untuk
memaksimalkan CSR-nya.
• Power Distance
Suatu wilayah yang memiliki power distance tinggi, lebih terbuka dalam aspek sosial dan
lingkungan, sehingga praktek bisnis di iklim ini cenderung lebih etis.
• Uncertainty Avoidance
Perusahaan yang beroperasi di wilayah dengan menghindari ketidakpastian tinggi, cenderung
lebih sulit memenuhi tuntutan sosial dan lingkungannya.
Pemahaman kultur ini sangat penting, mengingat seringkali terjadi perbedaan yang sangat
signifikan. Di negara berkembang, pekerja anak-anak adalah hal yang wajar, namun tidak di
negara maju. MNC harus memilih apakah akan menggunakan standar CSR di negara asalnya atau
mengikuti standar di negara tujuan. MNC juga perlu mempertimbangkan perbedaan kultur yang
ekstrim tersebut sebelum memutuskan masuk beroperasi ke wilayah tersebut.
b. Cultural Systems
Implementasi CSR dipengaruhi oleh banyak faktor. Permasalahan akan makin kompleks
bagi MNC yang memiliki stakeholder dari beragam latar belakang dan multi-kultur.
Kampf menggambarkan faktor-faktor tersebut secara komprehensif melalui cultural system
perspective sebagai berikut:
Menurut Kampf, sistem ini tidak terpisahkan dari sejarah, kebijakan, dan hukum. Pengaruh dari
luar seperti globalisasi, mempengaruhi suatu negara, namun pengaruhnya tergantung factor
ekologis, norma, dan institusional dalam negara tersebut.
13
Pendekatan culture system memudahkan pemahaman hubungan antara budaya di tempat asal
MNC dengan pengaruh global. Pengaruh global ini makin penting mengingat derasnya arus
globalisasi.
c. Non-Governmental Organizations
NGO atau LSM merupakan lembaga yang bukan afiliasi dari Pemerintah. LSM biasanya
memiliki kesamaan ide atau kesamaan identitas sebagaidasar pendiriannya. Mereka bisa bersifat
operasional, advisory, hingga advokasi. Belakangan ini NGO sebagai bagian cultural system
menjadi pembahasan tersendiri bagi praktisi dan pemerhati CSR. Freeman menengarai NGO
memiliki pengaruh yang lebih kuat daripada pihak lain terhadap implementasi CSR bagi para
MNC. Interaksi MNC dan NGO, hampir sama penting dengan relasi MNC dan investornya.
Hubungan MNC dan NGO itu terutama pada sisi reputasi MNC dan public relation. NGO
seringkali menekan MNC yang tidak berperilaku etis, maupun yang tidak mematuhi hukum yang
berlaku. Mereka menuntut MNC menjadi “warga negara yang baik”. Pada mumnya benturan
antara MNC dan NGO disebabkan karena kurangnya transparansi dan keterbukaan dua
perusahaan besar. Contohnya, Nike dan GAP menyelesaikan konfliknya dengan NGO melalui
publikasi mengenai supply-chain mereka, dan menjelaskan dimana benturan mereka dengan para
supplier tersebut.
14
mensyaratkan aturan tersebut? Jika tidak, apakah MNC tersebut melakukan inkonsistensi
hukum?
15
Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi
emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama
dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut,
yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.
Selama ini, kita memahami kalau perubahan iklim merupakan peristiwa alamiah. Salah
satu indikator perubahan iklim adalah peningkatan suhu bumi. Bila ditelusuri, pertumbuhan
penduduk dan konsumsi energi fosil secara besar-besaran sejak adanya revolusi industri telah
menjadi pemicu terjadinya pemanasan global (global warming). Saat ini, efek domino dari revolusi
industri dan hasilnya berupa gas rumah kaca sudah berimbas kepada masyarakat, salah satunya
perubahan iklim yang sulit diprediksi. Petani merasa kebingungan untuk mengatur pola tanam,
karena prediksi pengetahuan lokal kini tidak lagi memadai.
Menyadari beberapa permasalahan di atas, tahun 1992, KTT Bumi di Rio de Janeiro, para
pemimpin negara menyepakati beberapa komitmen salah satunya komitmen untuk menekan laju
pemanasan global dan perubahan iklim dengan menandatangani Konvensi PBB Untuk Perubahan
Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change, UNFCCC). Untuk
menindaklanjuti komitmen tersebut, pertemuan rutin para pihak UNFCCC (Conference of the
Parties) akhirnya digelar setiap tahun. Yang paling monumental dari COP adalah COP III yang
diadakan pada Desember 1997 di Kyoto, Jepang. Pada pertemuan ini digagas sebuah protokol yang
dikenal dengan Protokol Kyotodan terbuka untuk ditandatangani dari tanggal 16 Maret 1998
sampai dengan 15 Maret 1999 di Markas Besar PBB, New York.
Protokol ini akan berkekuatan hukum 90 hari setelah diratifikasi sedikitnya oleh 55 negara
dan harus mewakili 55 % total emisi negara-negara maju atau biasa disebut dengan negara-negara
Annex I. Melalui protokol ini, negara Annex I yaitu negara-negara yang mengeksploitasi sumber
daya alam lebih dahulu, diwajibkan secara hukum untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang
terdiri dari : CO2, CH4, N2O, HFCS, PFCS dan SF6, minimal 5,25 % dari tingkat emisi tahun
1990, selama tahun 2008 sampai tahun 2012, yang merupakan kewajiban periode komitmen I.
Setelah melewati masa yang cukup panjang sejak tahun 1997, Protokol Kyoto akhirnya
resmi berkekuatan hukum secara internasional tepat pada 16 Februari 2005. Meskipun tanpa
Amerika Serikat, yang juga merupakan kontributor emisi terbesar dunia, keberhasilan ini
menunjukkan bahwa komunitas Internasional menyadari bahwa perubahan iklim merupakan
masalah global yang harus ditangani bersama. Protokol ini resmi berkekuatan hukum tepat 90 hari
16
setelah kedua persyaratannya terpenuhi. Satu persyaratan diantaranya adalah Protokol Kyoto telah
diratifikasi oleh minimal 55 negara dan Rusia merupakann negara ke 55 yang secara resmi
meratifikasi Protokol Kyoto pada 18 November 2004. Indonesia akhirnya meratifikasi Protokol
Kyoto pada 3 Desember 2004, melalui UU Nomor 17 Tahun 2004.
GRI (Global Reporting Intiative) merupakan sebuah jaringan berbasis organisasi yang telah
mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka laporan keberlanjutan
dan berkomitmen untuk terus-menerus melakukan perbaikan dan penerapan di seluruh dunia.
Tiga fokus pengungkapan GRI, antara lain:
1. Indikator Kinerja Ekonomi (economic performance indicator), terdiri dari 9 item
2. Indikator Kinerja Lingkungan (environment performance indicator), 30 item
3. Indikator Kinerja Sosial (social performance indicator), 40 item
CSR yang sudah dilaksanakan akan dirangkum dalam bentuk laporan sustainability report yang
merupakan pelaporan didalamnya menguraikan mengenai kegiatan sosial yang dilakukan oleh
perusahaan. Penyusunan sustainability report, dapat mengacu pada GRI, yang memuat item-item
sebagai berikut :
1. Profil dan Strategi
Dalam proses penyusunan sustainability report tentang CSR, perusahaan perlu memperkenalkan
dirinya terhadap masyarakat luas. Selain memperkenalkan visi dan misinya secara tertulis,
perusahaan dapat menyertakan foto profil dewan komisaris perusahaan beserta kata pengantar dari
orang tersebut. Selain itu perusahaan juga harus menguraikan letak dan posisi perusahaan utama
dan cabang, kedudukan hukum perusahaan, struktur organisasi, stakeholder yang dimiliki dan
keterlibatan stakeholder dalam CSR, produk utama unggulan dan pelengkap serta berbagai
penghargaan yang diterima.Perusahaan harus melakukan perumusan strategi untuk meningkatkan
perusahaan dan juga menguraikan dampak, ancaman (risiko) dan solusi akibat dari implementasi
strategi tersebut dan pencapaian kerja yang sudah dihasilkan.
2. Pendekatan Manajemen
Perusahaan beserta jajaran manajemennya dalam melaporkan CSR harus memuat hal yang terkait
dengan sektor ekonomi, lingkungan intern, lingkungan eksternal (masyarakat), kualitas
ketenagakerjaan berserta jaminannya, jaminan produk yang dihasilkan perusahaan tersebut
sehingga keseluruhan item diatas dapat dimasukkan ke dalam prosedur dan kebijakan perusahaan
17
dalam proses membuat pelaporan tentang CSR yang telah dilakukan.
3. Implementasi
Perusahaan harus membuat prosedur dan kebijakan dalam lingkungan sosial. Prosedur dan
kebijakan dapat memuat hal tentang pemantauan lingkungan (tempat, luas wilayah, status sosial)
dan membuat beberapa perjanjian dengan lingkungan yang ditujukan untuk CSR, produk beserta
jaminan kesehatannya dan jasa perusahaan yang akan diberikan kepada masyarakat. Jasa yang
memungkinkan untuk diberikan adalah jasa berupa uang kepada masyarakat yang kurang mampu
dan bantuan-bantuan dari pemerintah yang dipercayakan kepada perusahaan untuk didistribusikan.
Selain berupa prosedur dan kebijakan, perusahaan juga harus memikirkan dari segi sektor
keuangan untuk melakukan CSR. Sebelum melaksanakan CSR, perusahaan memastikan dalam
bentuk laporan sudah memberikan jaminan kepada karyawan, misalnya berupa pelatihan karyawan
untuk meningkatkan kualitas kinerja dan memberikan jaminan keselamatan kerja karyawan. CSR
juga menimbulkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pendistribusian program- program yang
dijalankan sehingga perusahaan juga harus melaporkan rincian biaya yang dikeluarkan dan rincian
pendapatan yang mungkin dapat dijadikan tambahan keuntungan bagi perusahaan. Pelaporan
tentang CSR berupa laporan berkesinambungan (sustainability report)yang berarti dilaporkan
secara terus menerus.
Agar laporan tersebut memuat informasi-informasi kegiatan CSR perusahaan, maka laporan
tersebut memiliki pedoman yang berstandar. Laporan kegiatan CSR dapat mengacu pada Global
Reporting Initiative (GRI), yang didalam laporan tersebut tidak hanya menginformasikan
mengenai proses pelaksanaan CSR, namun juga memperkenalkan kepada masyarakat luas
mengenai profil dan strategi perusahaan serta pendekatan manajemen yang dilakukan serta
manfaat lain yang dapat menghasilkan keuntungan secara ekonomis.
Dengan Global Reporting Initiative (GRI), perusahaan dapat membuat laporan secara lengkap dan
terperinci mengenai kegiatan CSR perusahaan sehingga masyarakat secara tidak langsung dapat
mengenal perusahaan tersebut.
Saran yang dapat disampaikan dalam hal pelaporan CSR adalah sebisa mungkun perusahaan
mengantisipasi timbulnya pro dan kontra terhadap pelaksanaan CSR karena kekhawatiran
masyarakat setempat terhadap program CSR yang nantinya akan dijadikan pusat tambahan
keuntungan bagi perusahaan. Namun, program CSR itu diharapkan menjadi program yang saling
menguntungkan antara perusahaan dan masyarakat sekitar dan perusahaan tidak perlu menutup
18
diri dalam melaporkan kegiatan CSR-nya, karena sudah ada Global Reporting Initiative (GRI)
yang membantu untuk menyempurnakan sustainability report CSR sehingga pelaporan kegiatan
CSR dapat diinformasikan secara keseluruhan.
19
Penggunaan Pedoman Untuk Menyusun Laporan Keberlanjutan
Langkah-langkah :
Penyusunan laporan keberlanjutan menggunakan Pedoman merupakan proses iteratif.
Langkah-langkah berikut ini menjelaskan bagaimana cara menggunakan Pedoman dalam proses
pelaporan keberlanjutan. Uraian ini bertujuan memandu pembaca melalui bagian utama Pedoman,
dan tidak selalu berupa proses yang linear untuk menyusun laporan keberlanjutan.
Inti dari penyusunan sebuah laporan keberlanjutan adalah fokus pada proses mengidentifikasi
Aspek Material berdasarkan, di antara faktor lainnya, pada Prinsip Materialitas. Aspek Material
adalah aspek-aspek yang mencerminkan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang signifikan
dari organisasi tersebut; atau dapat memengaruhi secara substantif asesmen dan
keputusan pemangku kepentingan.
20
4.Siapkan Untuk Menyajikan Standar Khusus
• Pengungkapan Standar Khusus adalah Pengungkapan mengenai Pendekatan Manajemen
(Disclosure on Management Approach- DMA) dan Indikator-indikator.
• Identifikasi DMA dan Indikator yang terkait dengan Aspek Material
• Periksa apakah terdapat Aspek dan Pengungkapan Standar Khusus yang berlaku untuk
sektor organisasi tertentu.
• Lihat informasi yang disajikan dalam Panduan Penerapan untuk penjelasan tentang cara
menyajikan Pengungkapan Standar Khusus
• Informasi tentang topik yang dianggap sebagai material oleh organisasi namun tidak
dicakup oleh daftar Aspek GRI juga dapat disertakan
21
Kriteria yang harus diterapkan oleh organisasi untuk menysun laporan berkelanjutan
‘sesuai’dengan pedoman. Pedoman ini menawarkan dua opsi bagi organisasi untuk menyusun
laporan keberlanjutannya ‘sesuai’ dengan pedoman opsi inti dan opsi komprehensif. Setiap opsi
dapat diterapkan oleh semua organisasi, terlepas dari ukuran, sektor, ataupun lokasi. Fokus dari
kedua opsi tersebut berada pada proses identifikasi aspek material. Aspek material adalah aspek-
aspek yang mencerminkan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang signifikan dari
organisasi; atau dapat memengaruhi secara substantif asesmen dan keputusan pemangku
kepentingan. Opsi inti berisi elemen esensial dari laporan keberlanjutan. Opsi inti berisi latar
belakang yang melandasi pengungkapan organisasi mengenai dampak ekonomi, lingkungan, serta
sosial dan kinerja tata kelola.
Opsi komprehensif didasarkan pada opsi Inti dengan mewajibkan pengungkapan standar
tambahan mengenai strategi dan analisis, tata kelola, serta etika dan integritas organisasi. Selain
itu, organisasi diminta untuk menyampaikan kinerjanya secara lebih luas dengan melaporkan
semua Indikator yang terkait dengan aspek material yang teridentifikasi. Sebuah organisasi, baik
merupakan pelapor baru atau berpengalaman, harus memilih opsi yang paling sesuai dengan
kebutuhan pelaporannya dan, pada akhirnya, memungkinkan organisasi tersebut untuk memenuhi
kebutuhan informasi para pemangku kepentingan. Opsi tidak terkait dengan kualitas laporan atau
terhadap kinerja organisasi. Opsi mencerminkan kepatuhan laporan keberlanjutan organisasi
terhadap pedoman.
22
format elektronik atau berbasis web dan tautan disediakan ke laporan elektronik atau berbasis web
lainnya.
Media Pelaporan
Pelaporan elektronik atau berbasis web dan laporan cetakan adalah media yang tepat untuk
pelaporan. Organisasi dapat memilih untuk menggunakan kombinasi laporan berbasis web dan
laporan cetakan atau hanya menggunakan salah satu media saja. Misalnya, organisasi dapat
memilih untuk memberikan laporan yang terperinci dalam situs web, sedangkan ringkasan
eksekutif, termasuk informasi strategi dan analisis serta kinerja, disajikan dalam bentuk cetakan.
Pemilihan media bergantung pada keputusan organisasi terkait dengan periode pelaporan, cara
untuk memperbarui konten laporan, pengguna laporan umumnya, dan faktor praktis lainnya,
misalnya strategi distribusi. Setidaknya satu media (web atau cetakan) harus dapat memberikan
akses bagi pengguna kepada kumpulan informasi yang lengkap untuk periode pelaporan tersebut.
Transisi Ke Pedoman G4
Organisasi pelapor yang menggunakan Pedoman G3 atau G3.1 dapat memutuskan sendiri
kapan akan beralih ke Pedoman G4. Karena alasan ini, GRI akan tetap mengakui laporan yang
23
berdasarkan Pedoman G3 dan G3.1 sampai dua siklus lengkap pelaporan. Namun, laporan yang
diterbitkan setelah 31 Desember 2015 harus disusun sesuai dengan Pedoman G4.
GRI merekomendasikan agar organisasi yang melaporkan untuk kali pertama menggunakan
Pedoman G4, meskipun mereka tidak memenuhi persyaratan opsi ‘sesuai’ dalam siklus pelaporan
pertama (lihat bagian 3.4 ‘Catatan mengenai Laporan yang tidak disusun ‘Sesuai’ dengan
Pedoman’)
Prinsip-prinsip pelaporan
Prinsip pelaporan berperan penting untuk mencapai transparansi pelaporan keberlanjutan
dan oleh karenanya harus diterapkan oleh semua organisasi ketika menyusun laporan
keberlanjutan. Panduan Penerapan menjelaskan proses wajib yang harus diikuti oleh sebuah
organisasi dalam pengambilan keputusan agar sesuai dengan Prinsip-prinsip Pelaporan. Prinsip-
prinsip tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu prinsip untuk menentukan konten laporan dan
prinsip untuk menentukan kualitas laporan. Prinsip untuk menentukan konten laporan menjelaskan
proses yang harus diterapkan untuk mengidentifikasi apa konten laporan yang harus dibahas
dengan mempertimbangkan aktivitas, dampak, dan harapan serta kepentingan yang substantif dari
para pemangku kepentingannya.
Prinsip untuk menentukan kualitas laporan memberikan arahan berupa pilihan-pilihan
untuk memastikan kualitas informasi dalam laporan keberlanjutan, termasuk penyajian yang tepat.
Kualitas informasi adalah hal yang penting untuk memungkinkan para pemangku kepentingan
dapat membuat asesmen kinerja yang masuk akal serta mengambil tindakan yang tepat.
24
• Kemudian, ISO 26000.4
Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren global seiring
dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk- produk yang ramah
lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak
azasi manusia (HAM). Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah
penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah
mempraktikkan CSR..
Menghadapi tren global dan resistensi masyarakat sekitar perusahaan, maka sudah saatnya
setiap perusahaan memandang serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan dari setiap
aktivitas bisnisnya, serta berusaha membuat laporan setiap tahunnya kepada stakeholdernya.
Laporan bersifat non financial yang dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat
dimensi sosial, ekonomi dan lingkungannya.
Di Uni Eropa pada tanggal 13 Maret 2007, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi
berjudul “Corporate Social Responsibility: A new partnership” yang mendesak Komisi Eropa
untuk meningkatkan kewajiban yang terkait dengan persoalan akuntabilitas perusahaan seperti
tugas direktur (directors’ duties), kewajiban langsung luar negeri (foreign direct liabilities) dan
pelaporan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan (environmental and social reporting).
Banyak pihak menyambut gembira perkembangan ini. Semakin lama semakin disadari
bahwa walaupun perusahaan (sektor bisnis) selama ini sudah berkontribusi sangat positif terhadap
pembangunan dunia, pada saat yang sama perusahaan harus diminta semakin bertanggung jawab.
Karena, upaya memupuk laba cenderung (meski tidak selalu) mengabaikan tanggung jawab sosial.
Disahkan Companies Act 2006 yang mewajibkan perusahaan yang sudah tercatat di bursa
efek untuk melaporkan bukan saja kinerja perusahaan (kinerja ekonomi dan financial) melainkan
kinerja sosial dan lingkungan. Laporan ini harus terbuka untuk diakses publik dan dipertanyakan.
Dengan demikian, perusahaan didesak agar semakin bertanggung jawab.
Implementasi CSR di beberapa negara bisa dijadikan referensi untuk menjadi contoh
penerapan CSR. Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat telah
mengadopsi code of conduct CSR yang meliputi aspek lingkungan hidup, hubungan industrial,
gender, korupsi, dan hak asasi manusia (HAM). Berbasis pada aspek itu, mereka mengembangkan
regulasi guna mengatur CSR. Australia, misalnya, mewajibkan perusahaan membuat laporan
tahunan CSR dan mengatur standardisasi lingkungan hidup, hubungan industrial, dan HAM.
25
Sementara itu, Kanada mengatur CSR dalam aspek kesehatan, hubungan industrial, proteksi
lingkungan, dan penyelesaian masalah sosial.
Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit diperoleh
kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam
aspek sosial. Sementara aspek lingkungan--apalagi aspek ekonomi--memang jauh lebih mudah
diukur. Banyak perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal guna memastikan kebenaran
laporan tahunan perseroan yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan
berkelanjutan, biasanya diberi nama laporan CSR atau laporan keberlanjutan. Akan tetapi laporan
tersebut sangat luas formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun
dalam suatu industri yang sejenis). Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekedar
"pemanis bibir" (suatu basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan
Enron dan juga perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya konsep
CSR dan metode verifikasi laporannya, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah peningkatan
kebenaran isi laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan merupakan upaya
untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata para pemangku kepentingannya
Trend di Dunia
Turun naiknya harga saham mencerminkan nilai dari sebuah perusahaan. Makin tinggi
harga saham, makin tinggi market value dari perusahaan tersebut. Tidak heran, manajemen
perusahaan lebih banyak mencurahkan perhatian pada usaha untuk memaksimalkan nilai saham
yang dibeli oleh investor atau shareholder melalui pasar saham tadi. Strategi bisnis perusahaan,
oleh karena itu, seringkali lebih mencerminkan dimensi jangka pendek dan terkadang
mengabaikan dampak sosial dan lingkungan demi mewujudkan tujuan memaksimalkan
shareholder value tersebut. Akibatnya, muncul banyak debat tentang peran dan sepak terjang
korporasi terutama dikaitkan dengan masalah kesenjangan global diatas. Debat ini berujung pada
tuntutan bahwa perusahaan tidak mungkin menghindar dari tanggung jawab social karena kegiatan
mereka memiliki dampak tidak hanya dari dimensi ekonomi tetapi juga sosial dan lingkungan.
Perkembangan CSR di mancanegara sudah demikian sangat populer. Di beberapa negara
bahkan, CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah perusahaan dengan
dicantumkannya informasi CSR di catatan laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan. Para
pendukung gagasan CSR, menggunakan teori kontrak sosial dan stakeholder approach untuk
26
mendukung argumen mereka. Di bawah teori kontrak sosial, perusahaan ada karena ada
persetujuan dari masyarakat (corporations exist, then, only by social permission). Konsekuensinya,
perusahaan harus melibatkan masyarakat dalam melaksanakan operasinya bisnisnya.
Penelitian mereka menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-varaibel lainnya
perusahan-perusahaan yang melakukan CSR, pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami
kenaikan nilai saham yang signifikan, namun, dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan-
perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang
sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan- perusahaan yang tidak melakukan praktik
CSR.
27
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tanggung jawab sosial perusahaan adalah kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-
pihak lain secara lebih luas daripada sekedar terhadap kepentingan perusahaan belaka. Dalam
perkembangan etika bisnis yang lebih mutakhir, muncul gagasan yang lebih komprehensif
mengenai lingkup tanggung jawab sosial perusahaan. Sampai sekarang ada empat bidang yang
dianggap dan diterima sebagai ruang lingkup tanggung jawab sosial perusahaan. Indikator
keberhasilan tanggung jawab social perusahaan terhadap masyarakat sendiri dilihat dari
bagaimana masyarakat setempat merasakan manfaat dengan adanya kegiatan yang dilakukan
perusahaan. Karena dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat dan
memperhatikan limbah dari produk yang dihasilkan maka perusahaan tersebut telah menjalankan
tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Dengan begitu terjalin hubungan yang baik antara
masyarakat setempat dengan perusahaan.
Setelah perusahaan melakukan kegiatan CSR terdapat corporate social reporting. Corporate
social reporting berisi informasi dampak sosial dan lingkungan dari tindakan ekonomi organisasi
untuk kepentingan kelompok tertentu dalam masyarakat dan untuk masyarakat luas. Selain itu juga
sebagai alat yang sangat berguna bagi perusahaan dalam mengungkapan aktivitas sosialnya di
dalam laporan keuangan. Corporate social reporting didasari oleh dua teori yaitu legitimacy theory
dan stakeholders theory. Tujuan dari pelaporan kegiatan CSR tersebut adalah Perusahaan dapat
meningkatkan image perusahaan tersebut, dapat membantu proses marketing perusahaan tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa bukan hanya informasi keuangan yang diperlukan oleh investor tetapi
informasi non keuangan sangat penting adanya untuk mendukung keefektifan pengambilan
keputusan dan juga menjaga stabilitas keuangan, lingkungan, dan sosial serta menjadikan laporan
terintegrasi sebagai media komunikasi yang sempurna kepada stakeholders utamanya investor.
28
DAFTAR PUSTAKA
29