Anda di halaman 1dari 51

PENERAPAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TERHADAP GAJI

KARYAWAN PADA KOPERASI WELAS ASIH KOTA BANJARBARU

SKRIPSI

Oleh :

FELIANI DWI KHAIRU NISA

NPM : 17113220214029

JURUSAN AKUNTANSI

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PANCASETIA

BANJARMASIN

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu sumber penerimaan negara yang digunakan untuk

membiayai pembangunan di Indonesia yang berlangsung secara terus

menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat adalah bersumber dari penerimaan pajak.

Pentingnya pemahaman wajib pajak tentang kesadaran membayar pajak

sangat diperlukan untuk meningkatkan penerimaan pendapatan negara dari

sektor pajak. Pajak menurut Pasal 1 ayat 1 Undang Undang No. 6 Tahun

1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang

No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh)

adalah pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi maupun badan

berdasarkan jumlah penghasilan yang diterima selama satu tahun. Untuk

mewujudkan sistem perpajakan yang netral, stabil, adil, sederhana, serta

memiliki kepastian hukum dan transparansi, dilakukan sejumlah perubahan

dan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib

kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan

imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Salah satu jenis pajak yang

memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak adalah pajak penghasilan

(PPh) yang diperoleh dari penghasilan wajib pajak orang pribadi, badan dan

bentuk usaha tetap (BUT)

1
2

Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan pajak yang dipungut melalui

sistem With Holding System yaitu melibatkan pihak ketiga yang

berdasarkan undang-undang diberi kewenangan untuk memotong PPh

Pasal 21. Hal ini seperti yang diungkapkan Sadjiarto (2016) bahwa di

Indonesia pajak yang dipungut secara With Holding adalah Pajak

Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM),

dan Pajak Penghasilan (PPh). Dengan sistem ini, mengharuskan pemotong

pajak mampu dan memahami tata cara perhitungan, pemotongan,

penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 agar efektif dan efisien sehingga

orientasi pemberi kerja bisa tercapai.

Salah satu pajak yang dipungut dari perusahaan adalah pajak

penghasilan pasal 21 yang dikenakan terhadap karyawan yang termasuk

Wajib Pajak berupa gaji, upah, honorium, dan pembayaran lain yang

diterimanya. Di Indonesia Perhitungan Pajak Penghasilan PPh Pasal 21

harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kewajiban perusahaan hanya sebatas melaporkan dan menyetorkan pajak

yang dipotong dari karyawan untuk disetorkan ke kas negara, namun

perusahaan juga wajib melaporkan dan membayarkan sejumlah kas untuk

penghasilan yang diterima perusahaan selama satu tahun pajak.

Perusahaan sebagai wajib pajak badan/ pemberi kerja wajib untuk

melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diperoleh dari

pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang

diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Kewajiban perusahaan

untuk memotong pajak karyawan harus sesuai dengan Undang-Undang dan

peraturan yang berlaku sehingga pajak yang dipotong perusahaan bagi

karyawan tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil yang akan mempengaruhi
3

take home pay karyawan. Sebagai pemberi kerja Koperasi Welas Asih Kota

Banjarbaru diwajibkan untuk melakukan perhitungan, pemotongan,

penyetoran dan pelaporan atas penghasilan karyawan sesuai dengan

ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang berlaku

yaitu Undang-Undang No. 36 tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan

No.122/PMK.010/2015.

Pasal 21 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak

Penghasilan. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari kewajiban dan

peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama

melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan

pembangunan negara dan pembangunan nasional. Wajib Pajak sendiri

diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar serta melaporkan sendiri

pajak terutangnya, yang disebut Self Assessment System, sedangkan pajak

yang dipungut oleh aparatur perpajakan disebut Official Assessment System,

dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga disebut With

Holding System. Melalui sistem ini administrasi perpajakan dapat

dilaksanakan dengan lebih mudah untuk dipahami oleh Wajib Pajak.

Jika PPh pasal 21 tidak di manajemen dengan baik akan menimbukan

sanksi perpajakan sanksi PPh Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas

penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain

dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan

atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi sebagai

Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.

Salah satu yang berimbas pada PPh tersebut adalah para pegawai

dari perusahaan yang perlu diberikan arahan yang jelas tentang pembayaran
4

pajak tersebut sebab terkadang pihak pegawai sendiri kurang memahami

tentang PPh tersebut. Sebenarnya yang terpenting adalah dengan

memberikan pemahaman kepada pihak perusahaan dan pegawainya agar

membayar PPh mereka setiap bulannya.

Permasalahan yang terjadi di lapangan yaitu di Koperasi Welas Asih

Kota Banjarbaru terkadang kurang memperhatikan PPh karyawannya dan

sehingga berimbas pada masalah Organisasi yang dapat membuat mereka

akan ditagih pajak mereka, berkaitan dengan PPh Pasal 21 karyawan yang

seharusnya melakukan kegiatan perpajakan untuk PPh Pasal 21 meliputi

proses penghitungan, penyetoran dan pelaporan yang harus dilakukan oleh

perusahan terutama bagi karyawan tetap mereka yang perlu membayar PPh

tersebut. Selain itu, yang menjadi permasalahan Organisasi adalah dilihat

yaitu bagian perpajakan ketika melakukan perhitungan perpajakan sering

kali tidak menghitung berdasarkan data baru. Contoh : Terjadi perbedaan

dasar pengenaan status karyawan pada bagian perpajakan dan bagian SDM

menghitung berdasarkan informasi dari karyawan, ketika terjadi perubahan

status seperti saat ada karyawan yang menikah, memiliki anak atau bercerai.

Sedangkan data pajak dihitung berdasarkan per tanggal 1 januari setiap

tahunnya.

Koperasi Welas Asih Kota Banjarbaru adalah koperasi yang berdiri

sejak tahun 2012 dan koperasi ini merupakan jenis koperasi kredit

multiguna. Berbagai kemudahan yang ditawarkan dalam pelayanan Koperasi

Welas Asih Kota Banjarbaru terhadap anggotanya hal tersebut merupakan

satu strategi yang diambil oleh Koperasi Welas Asih Kota Banjarbaru untuk

memenuhi kebutuhan anggotanya. Selama ini Koperasi Welas Asih Kota

Banjarbaru belum menghitungkan pajak karyawan berdasarkan pasal 21


5

tersebut sehingga pemotongan gaji hanya berdasarkan dari kebutuhan

pembayaran seperti Iuran BPJS Kesehatan, Iuran BPJS Ketenagakerjaan,

Pajak, dan Potongan keterlambatan. Oleh karena itu perlu diketahui lebih

lanjut dengan menggunakan solusinya adalah menerapkan model pasal 21

untuk mengetahui secara jelas dari bentuk penghitungan pajak Pajak

Penghasilan berdasarkan dari Pasal 21 sehingga dapat diketahui

sebenarnya pajak penghasilan karyawan tersebut agar menghindari

kecurangan kepada karyawan yang bekerja di Koperasi Welas Asih Kota

Banjarbaru yang telah berdiri dari tahun 2012 tersebut mempunyai jumlah 10

orang karyawan tetap dan kontrak yang bekerja di Koperasi Welas Asih Kota

Banjarbaru tersebut. Namun dalam memperhitungankan masalah gaji dan

pajaknya mereka memperhitungkan sendiri pajak tersebut dan langsung

dipotong oleh Organisasi.

Organisasi ini juga melakukan kewajibannya sebagai pemotong pajak,

yaitu memotong pajak penghasilan yang diterima oleh karyawan tetap

maupun kontrak. Koperasi Welas Asih Kota Banjarbaru juga sudah

melakukan kewajiban pembayaran pajak atas penghasilan yang diperoleh

Organisasi selama tahun pajak. Koperasi Welas Asih Kota Banjarbaru juga

belum menggunakan PPH pasal 21 untuk setiap pemotongan, penyetoran

dan pelaporan pajak yang dipotong oleh organisasi.

Dari uraian latar belakang tersebut maka penulis menerapkan untuk

membuat perhitungan, pelaporan dan pemotongan pajak penghasilan pasal

21 atas gaji karyawan yang dibayarkan Organisasi melalui perbandingan

metode yang perbolehkan menurut peraturan dan undanng undang

perpajakan dengan melakukan analisis mengenai efisiensi dari metode yang


6

digunakan. Penulis menerapkan metode gross method yaitu dimana

karyawan menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk menyusun Laporan Akhir ini

dengan judul “Penerapan Pajak Penghasilan Pasal 21 Terhadap gaji

Karyawan PadaKoperasi Welas Asih Kota Banjarbaru”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka

rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana penerapan pajak

penghasilan pasal 21 terhadap gaji karyawan pada Koperasi Welas Asih

Kota Banjarbaruyang seharusnya?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui dan menerapkan pajak penghasilan 21 terhadap

gaji karyawan pada Koperasi Welas Asih Kota Banjarbaruyang seharus nya.

1.4 Batasan Masalah

Ruang lingkup penelitian ini berdasarkan dari hasil perhitungan dari

penelitian ini. Agar dalam penulisan tidak menyimpang dari permasalahan

yang ada maka penulis hanya membatasi pada Perhitungan Pajak PPh

Pasal 21 Terhadap Karyawan Tetap dan kontrak Pada Koperasi Welas Asih

Kota BanjarbaruPada tahun 2017, 2018, dan 2019 perbandingan pajak

terutang yang harus dipotong oleh Organisasi bagi masing-masing karyawan

sehingga diketahui dengan jelas dari sebenarnya pajak penghasilan yang

harus dibayarkan oleh Organisasi kepada negara. Hal ini penting artinya
7

bahwa pajak penghasilan dari atasan hingga bawahan berbeda-beda dan

memberikan hasil yang lebih baik dari perhitungan dan pemotongan yang

harus dilakukan kepada karyawannya.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Aspek Akademis

Penulisan karya ilmiah ini diharapkan memberikan informasi bagi

penulis dalam bidang akutansi dan penelitian ini akan memberikan

kontribusi dan memperkaya kajian teori dalam bidang akuntasi terutama

konteksnya dengan cara memperhitungkan PPh pasal 21 sehingga dapat

diketahui nilai dari potongan pajak sebenarnya perlu dilakukan pihak

Organisasi.

2. Aspek Ilmu Pengetahuan

Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi pengembangan

teori mengenai ilmu manjemen sumber daya manusia terutama yang

berhubungan dengan sistem perhitungan PPh pada Organisasi. bagi

pegawai tetap.

3. Aspek Praktis

Kegunaan dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Bagi Koperasi Welas Asih Kota Banjarbaru penelitian ini

diharapkan memberikan sumbangan pemikiran kepada instansi terkait

bagaimana upaya memperbaiki penerapan pajak penghasilan pasal 21

pada Organisasi dan pengetahuan terutama dalam pengembangan

ilmu akuntansi. Dan memberikan sumbangan pemikiran dalam

menciptakan penerapahan pajak penghasilan pasal 21 dan penerapan

yang lebih baik.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Definisi Pajak

Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang

mengalami perkembangan diberbagai bidang. Hal tersebut terlihat

pada pembangunan nasional yang tidak hanya dilakukan di perkotaan

saja, namun sudah sampai pada berbagai pelosok daerah di

Indonesia. Untuk menjamin keberlangsungan pembangunan nasional,

pemerintah memerlukan sumber dana untuk membiayai segala

kebutuhan tersebut. Salah satunya yaitu berasal dari pajak, dimana

saat ini pajak dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk memaksimalkan

pendapatan negara.

Menurut Resmi (2017:2) ciri-ciri yang melekat pada definisi

pajak adalah sebagai berikut: 1. “Pajak dipungut berdasarkan atau

dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 2.

Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya

kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh

negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4. Pajak

diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila

dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk

membiayai public investment.”

Adapun pengertian menurut Undang-Undang yang tertera pada

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah

disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang No 28 Tahun 2007

8
9

adalah “konstribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-

Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan

digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.”

Definisi pajak yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro (2016

:26) Pajak merupakan iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan

undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa

timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang

membayar pengeluaran umum sebagai suatu kewajiban menyerahkan

sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu

keadaan, kejadian, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan

yang ditetapkan Pemerintah, serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada

jasa timbal balik dari negara secara langsung untuk memelihara

kesejahteraan secara umum.

Definisi pajak Mardiasmo (2016:1) menjelaskan bahwa yaitu :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-

undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal

(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan

untuk membayar pengeluaran umum.”

Definisi pajak yang dikemukakan oleh Adriani (2014 :11), Pajak

adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang

terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan

umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali

yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk

membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara


10

untuk menyelenggarakan pengeluaran Pemerintah. Unsur-unsur pajak

adalah sebagai berikut:

1. Iuran atau Pungutan dilihat dari segi arah dana pajak, jika arah

datangnya berasal dari WP, maka pajak disebut iuran sedangkan

jika arah datangnya kegiatan untuk mewujudkan pajak tersebut

berasal dari Pemerintah, maka pajak itu disebut sebagai pungutan.

2. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang salah satu

karakteristik pokok dari pajak adalah bahwa pemungutannya harus

berdasarkan Undang-Undang. Hal ini disebakan karena

hakekatnya pajak adalah beban yang harus dipikul oleh rakyat

banyak, sehingga dalam perumusan macam, jenis dan berat

ringannya tarif pajak itu, rakyat harus ikut serta menentukan dan

menyetujuinya, melalui wakil-wakilnya di parlemen atau Dewan

Perwakilan Rakyat.

3. Pajak dapat dipaksakan Fiskus mendapat wewenang dari undang-

undang untuk memaksa WP supaya mematuhi melaksanakan

kewajiban perpajakannya.

4. Tidak menerima atau memperoleh kontraprestasi Sistem PPh di

Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008

yang merupakan perubahan keempat atas Undang-undang Nomor

7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sama sekali tidak

mengenal adanya kontraprestasi. Tetapi jikalau WP membayar

bea materai terhadap tanda terima uang atau kuitansi, maka disini

akan terlihat adanya kontraprestasi dimana pihak yang

menyimpan kuitansi dapat menggunakan kuitansi tersebut sebagai

alat bukti.
11

5. Untuk membiayai pengeluaran umum Pemerintah Pajak

dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah

dalam menjalankan pemerintahan. Dana yang diterima dari

pemungutan pajak dalam pengertian definisi di atas tidak pernah

ditujukan untuk sesuatu pengeluaran khusus. Yang dibayar

haruslah sudah pasti, terutama mengenai subjek, objek, besar,

dan waktunya.

2.1.2 Fungsi Pajak

Ada dua fungsi pajak menurut Resmi (2017:3) yaitu: 1. “Fungsi

Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak merupakan salah satu

sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran, baik

rutin maupun pembangunan, sebagai sumber keuangan negara,

pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk

kas negara. 2. Fungsi Regularend (Pengatur) Pajak sebagai alat untuk

mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang

sosial dan ekonomi serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar

bidang keuangan”.

Menurut pendapat Sutedi (2015: 2) Terdapat 4 fungsi pajak,

yaitu:

1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai

fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber

penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin

maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara,

Pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya

untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara


12

ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui

penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak

Penghasilan (PPh), Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan

atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),

dan lain-lain.

2. Fungsi Regularend (Pengatur) Pajak mempunyai fungsi pengatur,

artinya pajak sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan

pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai

tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.

3. Fungsi Demokrasi Adalah bentuk wujud sistem gotong royong,

termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan demi

kemaslahatan (kebaikan/manfaat) manusia. Fungsi demokrasi

pada masa sekarang sering dikaitkan dengan hak seseorang

apabila akan memperoleh pelayanan dari pemerintah setelah

mereka membayar pajak terutang.

4. Fungsi Retribusi Adalah fungsi yang lebih menekankan pada

unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Misalnya,

dengan adanya tarif progresif yang mengenakan pajak lebih besar

kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan

pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai

penghsilan lebih sedikit.

2.1.3 Pajak Penghasilan (PPh)

1. Pengertian Pajak Pengahasilan

Pajak Penghasilan adalah (PPh) adalah pajak yang

dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima


13

atau diperolehnya dalam satu tahun pajak (Rachmad Hidayat

Lubis, 2018:83) menjelaskan bahwa :

a. Dasar hukum pajak penghasilan

Peraturan perundangan yang mengatur pajak

penghasilan di Indonesia adalah UU Nomor 7 Tahun 1983

yang telah disempurnakan dengan UU Nomor 7 Tahun 1991,

UU Nomor 10 Tahun 1994,UU Nomor 17 Tahun 2000,UU

Nomor 36 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah, Keputusan

Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur

Jenderal Pajak dan surat edaran Direktur Jenderal Pajak.

b. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) undang undang Nomor 36 Tahun

2008 Subjek pajak dikelompokkan menjadi sebagai berikut :

1) Orang pribadi Sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal

atau berada di indonesia atau luar indonesia

2) Subjek Pajak Warisan menggantikan mereka yang berhak,

yaitu ahli waris

3) Subjek pajak bentuk usaha tetap (BUT), bentuk usaha yang

dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak tinggal di

indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih

dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang

tidak didirikan dan tidak berkedudukan di indonesia untuk

menjalakan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

(Lubis, 2018:84)

Pasal 21/26 Menurut peraturan Menteri Keuangan

252/PMK.03/2008, yang dimaksud dengan PPh Pasal 21 adalah

pajak atas penghasian berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan,


14

dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun

sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan

yang diakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri

maupun luar negeri.

Pajak Penghasilan (PPh) 21 adalah Pajak atas penghasilan

sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dan bentuk

apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi

dalam negeri. Pada PPh Pasal 21 ini menggunakan istilah

“pemotongan”. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan objek yang

dikenakan pemotongan yaitu penghasilan bruto yang dibayar oleh

pemberi kerja tidak utuh, tetapi setelah dipotong PPh 21.

Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak atas

penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak.

Terhadap Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong dan

disetorkan oleh pemberi kerja atas penghasilan yang diterima atau

diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dari satu pemberi kerja

merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk Tahun Pajak

yang bersangkutan, sehingga pada akhir Tahun Pajak, pegawai

tersebut tidak diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan.

(Rismawati, 2016:97)

Dimana Organisasi.sebagai pemberi kerja berperan sebagai

pemotong pajak penghasilan karyawan dan kemudian

berkewajiban menyampaikan pajak yang telah dipotong ke

Direktorat Jendral Pajak (DJP).


15

Organisasi wajib membuat bukti potong yang kemudian

diberikan kepada penerima gaji sebagai bukti pembayaran pajak

bagi pegawai.

2. Wajib Pajak Penghasilan pasal 21 (subjek Pajak)

Terdapat 2 jenis subjek pajak dan dapat diuraikan sebagai berikut

(Lubis, 2018:86)

a. Subjek Pajak Dalam Negeri(SPDN)

1) Orang pribadi yang bertempat tinggal di indonesia, orang

pribadi yang berada di indonesia lebih dari 183 hari (seratus

delapan puluh tiga) dalam jangka waktu 12 bulan atau orang

pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di indonesia

dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di indonesia

2) SPDN badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di

indonesia

3) SPDN warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan

menggantikan yang berhak

b. Subjek Pajak Luar Negeri

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di indonesia tidak

lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang; 1)

Menjalankan Usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di

indonesia, dan 2) dapat menerima atau memperoleh

penghasilan dari indonesia bukan dari menjalankan usaha

c. Penerima penghasilan yang dipotong pph pasal 21

Penerima penghasilan yang dipotong pph pasal 21 adalah

orang pribadi dengan status subjek pajak dalam dan luar negeri

yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan


16

dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan termasuk penerima

pensiun. Wajib Pajak pph pasal 21 terdiri atas:

1) Pejabat Negara,

2) Pegawai Negeri Sipil,

3) Pegawai,

4) Pegawai Tetap,

5) Pegawai Lepas,

6) Penerima uang pesangon, pensiun atau manfaat uang

pensiun, tunjangan hari tua, termasuk ahli warisnya.

7) Penerima Honorarium,

8) Penerima upah, upah harian, mingguan, borongan, satuan.

Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh

penghasilan sehubungan dengan pekerja, jasa atau

kegiatan, antara lain :

a) Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang

terdiri atas pengacara, akuntan, arsitek, dokter,

konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.

b) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak,

bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara,

kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain

drama, penari, pemahat pelukis, dan seniman lainnya.

c) Olahragawan

d) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh dan

moderator

e) Pengarang, peneliti, dan penerjemah


17

f) Pemberi kerja dalam segala bidang, termasuk teknik,

komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi,

elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi

jasa kepada suatu kepanitiaan.

g) Agen iklan

h) Pengawas atau pengelola proyek

i) Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan

atau yang menjadi perantara

j) Petugas penjaja barang dagangan

k) Petugas dinas luar asuransi

l) Distributor Organisasi multilevel marketing atau direct

selling dan kegiatan sejenis lainnya.

m) Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh

penghasilan sehubungan dengan keikut sertaannya

dalam suatu kegiatan, antara lain : 1) Peserta

perlombaan dalam segala bidang, antara lain

perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu

pengetahuan, tekologi, dan perlombaan lainnya; 2)

Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, dan

kunjungan kerja; 3) Peserta atau anggota dalam suatu

kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu; 4)

Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; 5) Peserta

kegiatan lainnya (Rachmad Hidayat Lubis, 2018:209)


18

3. Objek PPh Pasal 21

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah

penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek

pajak dalam negeri yang meliputi :

1) Penghasilan pegawai tetap yang bersifat teratur, yaitu

penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala

macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apa pun yang

diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang

ditetapkan oleh pemberi kerja termasuk uang lembur.

2) Penghasilan pegawai tetap yang bersifat tidak teratur, yaitu

peghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang

bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau

periode lainnya.

3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerimaan pensiun

secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan

sejenisnya.

4) Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja

dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima

secara sekaligus berupa pesangon, uang manfaat pensiun,

tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran

sejenis lainnya.

5) Imbalan kepada pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas,

berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah

borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan.

6) Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa

honorarium, komisis, fee, imbalan sejenis dengan nama dan


19

dalam bentuk apa pun, dan imbalan sejenis dengan nama apa

pun.

7) Imbalan kepada pesera kegiatan, antara lain berupa uang

saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau

penghargaan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dan

imbalan sejenis dengan nama apapun.

8) Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya

dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh :

bukan wajib pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak

Penghasilan yang bersifat final, atau Wajib Pajak yang

dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma

penghitungan khusus (deemed profit) (Diana, 2014: 417-418).

4. Pemotongan PPh Pasal 21

Pengenaan PPh Pasal 21 bersifat pemotongan.

Pemotongan yang dimaksud adalah ketika pegawai menerima gaji

atau upah, maka gaji atau upah yang diterima tidak lagi utuh tetapi

sudah dipotong dengan PPh Pasal 21. Pemotong pajak untuk PPh

Pasal 21, yang biasa disebut sebagai pemotong pajak

(Supramono dan Damayanti. 2015: 79) Di dalam Undang –

Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pemotong Pajak

Penghasilan (PPh) menyatakan sebagai berikut :

1) Pemotong Pajak atas penghasilan sehubungan dengan

pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk

apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang

pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh :


20

a) Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium,

tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan

sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh

pegawai atau bukan pegawai.

b) Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah,

honorarium, tunjangan, dan pembayara lain sehubungan

dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

c) Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang

pensiun dan pembayaran lain denga nama apa pun dalam

rangka pensiun.

d) Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain

sebagaia imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa

tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.

e) Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran

sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan (Sutedi,

2015:94-96).

2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan

pemotongan pajak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

huruf a adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi

– organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3.

3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiun yang dipotong pajak

untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah

dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang

besarnya ditetapkan dengan peraturan Menteri Keuangan,

iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.


21

4) Penghasilan pegawai harian, mingguan serta pegawai tidak

tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan

bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak

dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan

peraturan Menteri Keuangan.

5. Kewajiban Pemotong PPh Pasal 21

Empat hal yang menjadi kewajiban pemotong pajak

menurut Supramono, (2015: 84) adalah :

1) Kewajiban mendaftarkan diri

a) Setiap pemotong pajak, termasuk organisasi Internasional

yang tidak dikecualikan pemotong Wajib Pajak wajib

mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor

Penyuluhan Pajak dan Pengamatan Potensi Pajak setempat.

b) Pemotong pajak mengambil sendiri formulir – formulir yang

diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban

perpajakannya kepada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor

Penyuluhan Pajak dan Pengamatan Potensi Pajak setempat.

2) Kewajiban menghitung, memotong, dan menyetorkan

a) Pemotong pajak wajib menghitung, memotong dan

menyetorkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan

takwim.

b) Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat

Setoran Pajak (SSP) ke bank BUMN atau BUMD atau bank

lain yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Anggaran, atau PT.

Posindo selambat – lambatnya tanggal 10 bulan takwim

berikutnya.
22

c) Pemotong pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut

sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan

(SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor

Penyuluhan Pajak dan Pengamatan Potensi Pajak setempat,

selambat – lambatnya tanggal 20 bulan takwim berikutnya.

d) Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan

penyetoran PPh Pasal 21, maka kelebihan tersebut dapat

diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang

terutang dalam bulan berikutnya dalam tahun takwim yang

bersangkutan.

e) Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh

Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat

melakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi

bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan

pensiun, penerima jaminan hari tua, penerima pesangon,

dan penerima dana pensiun.

f) Pemotong pajak wajib menerima Bukti Pemotongan PPh

Pasal 21 tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima

pensiunan bulanan, dengan formulir yang telah ditentukan

oleh Direktur Jendral Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan

setelah tahun takwim berakhir. Apabila pegawai tetap

berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim

maka bukti pemotongan tersebut diberikan oleh pemberi

kerja selambat – lambatnya 1 (satu) bulan setelah pegawai

yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.


23

3) Kewajiban menghitung kembali PPh Pasal 21 yang terutang

a) Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir,

pemotong pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah

kewajiban PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap

dan penerima pensiun bulanan menurut tarif Pasal 17.

b) Jumlah penghasilan yang menjadi dasar perhitungan

kembali PPh Pasal 21 tersebut didasarkan pada kewajiban

pajak subyektif yang melekat pada pegawai tetap yang

bersangkutan dan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak

subyektifnya berawal atau berakhir dalam satu tahun pajak,

dengan penghitungan sebagai berikut : (1) Apabila pegawai

tetap adalah wajib Pajak dalam negeri dan mulai atau

berhenti bekerja dalam tahun berjalan maka penghitungan

PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang

sebenarnya diterima atau perolehannya dalam tahun pajak

yang bersangkutan dan tidak disetahunkan. (2) Apabila

pegawai tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri yang

merupakan pendatang dari luar negeri dan mulai bekerja di

Indonesia dalam tahun berjalan maka penghitungan PPh

Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang

sebenarnya diperoleh dalam bagian tahun pajak yang

bersangkutan yang disetahunkan. (3) Apabila pegawai tetap

berhenti bekerja sebelum tahun takwim berakhir karena

meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama

– lamanya maka pada akhir bulan berhentinya pegawai

tersebut, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada


24

jumlah penghasilan yang sebenarnya diterima atau diperoleh

dalam bagian tahun pajak yan bersangkutan yang di

setahunkan. c) Apabila jumlah pajak terutang berdasarkan

penghitungan kembali tersebut lebih besar jumlah pajak

yang telah dipotong, kekurangannya dipotong dari jumlah

pembayaran gaji pegawai yang bersangkutan untuk bulan

pada waktu dilakukannya penghitungan kembali. d) Apabila

jumlah pajak terutang berdasarkan penghitungan kembali

tersebut lebih rendah dari jumlah pajak yang telah dipotong

maka kelebihannya diperhitungkan dengan pajak yang

terutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukan

penghitungan kembali. 4) Kewajiban mengisi,

menandatangani, dan menyampaikan SPT a) Setiap

pemotong pajak wajib mengisi, menandatangani, dan

menyampaikan SPT Tahunan Pasal 21 ke Kantor Pelayanan

Pajak tempat pemotongan pajak terdaftar atau Kantor

Penyuluhan Pajak dan Pengamatan Potensi Pajak setempat.

b) Dalam hal pemotongan pajak adalah badan, SPT

Tahunan PPh Pasal 21 harus ditandatangani oleh pengurus

atau direksi. c) Dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21

ditandatangani dan diisi oleh orang lain selain pemotong

pajak harus dilampiri surat kuasa khusus. d) Surat

pemberitahuan Tahunan Pasal 21 harus disampaikan

selambat – lambatnya tanggal 31 Maret tahun Takwim

berikutnya, meskipun tahun pajak atau tahun bukunya tidak

sama dengan tahun takwim. e) Surat pemberitahuan


25

Tahunan Pasal 21 harus dilampirkan dengan lampiran –

lampiran yan ditentukan dalam petunjuk pengisian SPT

Tahunan PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang

bersangkutan. f) Apabila terdapat pegawai kebangsaan

asing, SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang bersangkutan harus

dilampiri fotocopy surat izin kerja yang dikeluarkan oleh

Departemen Tenaga Kerja atau Instansi yang berwenang. g)

Pemotong pajak dapat mengajukan permohonan untuk

memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT.

Permohonan tersebut diajukan secara tertulis selambat –

lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan

menggunakan formulir yang ditentukan oleh DirekturJendral

Pajak disertai surat pernyataan mengenai penghitungan

sementara PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun takwim

yang bersangkutan dan bukti pelunasan kekurangan

pembayaran PPh Pasal 21 yang terutang. h) Apabila jumlah

PPh Psaal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam suatu

tahun takwim lebih besar dari PPh Pasal 21 dan Pasal 26

yang telah disetorkan maka kekurangannya harus disetor

sebelum penyampaiaan SPT Tahunan PPh Pasal 2,

selambat – lambatnya tanggal 25 Maret tahun takwim

berikutnya. i) Apabila jumlah PPh Pasal 21 dan PPH Pasal

26 yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih kecil dari

pada PPh Pasal 21 dan PPh Pasa 26 yang telah disetor

maka kelebihan tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal

21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukannya


26

penghitungan tahunan, jika masih ada sisa kelebihan maka

sisa tersebut diperhitungkan untuk bulan – bulan lainnya

dalam tahun berikutnya.

Sedangkan penerima penghasilan wajib menyerahkan surat

pernyataan kepada pemotong pajak PPh Pasal 21 yang

menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun

takwim atau pada permulaan menjadi subjek pajak dalam negeri.

2.1.4 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983

tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 dan diubah ke dua kalinya

menjadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan diubah ke tiga

kalinya menjadi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dan yang

terakhir diubah menjadi Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 yang

dimulai diberlakukan mulai 1 Januari 2009. Tarif berdasarkan Pasal 17

Undang-undang Pajak Penghasilan, diterapkan Wajib Pajak Orang

Pribadi yang bekerja sebagai berikut :

1. Pegawai Tetap, termasuk pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil,

Anggota TNI/Polri, pejabat negara lainnya, Pegawai BUMN dan

BUMD serta anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang

merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;

2. Penerima pensiun yang dibayar secara bulanan;

3. Pegawai tidak tetap, pemegang dan calon pegawai;

4. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct salling dan

kegiatan sejenis lainnya.


27

a. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Wajib Pajak Orang

Pribadi dalam negeri sebagai berikut :

Tabel 2.1
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Wajib Pajak Pribadi Dalam Negeri
Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Diatas Rp 25.000.000,00 s.d Rp. 50.000.000,00 5%
DiatasRp.50.000.000,00 s.d Rp. 250.000.000,00 15%
Diatas Rp. 250.000.000,00 s.d Rp. 500.000.000,00 25%
Diatas Rp.500.000.000,00 30%

Sumber : Undang-Undang No. 36 Pasal 17 ayat 1 (a), 2008

Penghasilan kena pajak dihitung sebesar penghasilan bruto

dikurangi dengan: - Biaya - Iuran pensiun yang dibayar sendiri

oleh pegawai (termasuk iuran tabungan hari tua/tunjangan hari

tua), kecuali iuran THT dan THT Asabri - Penghasilan Tidak

Kena Pajak (PTKP), bagi pegawai tidak tetap, pemegang dan

calon pegawai adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi

PTKP, sedangkan bagi distributor perusahaan multilevel

marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya adalah

penghasilan bruto setiap bulan dikurangi dengan PTKP per

bulan.

b. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Wajib Pajak Badan

dalam negeri dan Badan Usaha Tetap utuk tahun 2009

mengalami perubahan dengan berlakunya Single Rate (Tarif

Tunggal) sebesar 28% untuk setiap penghasilan kena pajak. Dan

kemudian tarif tersebut diturunkan menjadi 25% yang mulai

berlaku sejak tahun pajak 2010.

c. Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan,

ditetapkan atas penghasilan bruto berupa : honararium, uang

saku, hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk


28

apa pun, jasa produksi, tetiam, bonus yang diterima, atau

diperoleh mantan pekerja. Penarik dana pada dana pensiun yang

pendiriannya telah disahkan oleh Mentri Keuangan, oleh peserta

program pensiun.

d. Tarif sebesar 15%, ditetapkan atas perkiraan penghasilan bruto

yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang

melakukan pekerjaan bebas. Besarnya perkiraan penghasilan

neto adalah 40% dari penghasilan bruto berupa honorarium atau

imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

e. Tarif sebesar 10% ditetapkan atas upah harian, upah mingguan,

upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang

jumlahnya melebihi Rp24.000,00 sehari tetapi tidak melebihi

Rp240.000,00 dalam satu bulan takwim atau tidak dibayarkan

secara bulanan.

f. Selain itu ada pajak penghasilan pasal 21 yang bersifat final yang

artinya pajak penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan atau

dikurangkan terhadap pajak terutang diakhiri tahun pajak. Tarif

pajak penghasilan pasal 21 yang bersifat final adalah sebagai

berikut : Atas uang pesangon, uang tebusan yang dibayar oleh

dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri

Keuangan, dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang

dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara Jamsostek,

dipotong pajak penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan

sebagai berikut : 1) Atas jumlah penghasilan bruto sebesar

Rp25.000.000,00 atau kurang tidak dikenakan pajak

penghasilan. 2) Atas jumlah diatas Rp25.000.000,00 diatur


29

dengan ketentuan sebagai berikut :

Tabel 2.2
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Yang Bersifat Final
Penghasilan Bruto Tarif PPh

Diatas Rp25.000.000,00 sampai dengan Rp50.000.000,00 5%


Diatas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00 10%
Diatas Rp100.000.000,00 sampai dengan 15%

Rp200.000.000,00
Diatas Rp200.000.000,00 25%

Sumber : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03, 2008

5. Penghasilan Tidak Kena Pajak

Adalah penghasilan yang menurut UU perpajakan tidak

dikenakan (diperhitungkan pajak nya) hal ini diberikan oleh fiskus

kepada wajib pajak (bersifat subjektif). Selain itu bersifat

mengurangi penghasilan bruto yang kemudian dijadikan untuk

menghitung pph terutang.

Besarnya PTKP pertahun (PTKP tahun 2016 berdasarkan PMK

Nomor :101/PMK.010/2016) adalah sebagai berikut:

PTKP 2016 Wajib Pajak Tidak Kawin (TK)

Uraian Status PTKP


Wajib Pajak TK0 54.000.000,00
Tanggungan 1 TK1 58.500.000,00
Tanggungan 2 TK2 63.000.000,00
Tanggungan 3 TK3 67.500.000,00

PTKP 2016 Wajib Pajak Kawin

Uraian Status PTKP


WP Kawin K0 58.500.000,00
Tanggungan 1 K1 63.000.000,00
Tanggungan 2 K2 67.500.000,00
Tanggungan 3 K3 72.000.000,00
30

PTKP 2016 Wajib Pajak Kawin, Penghasilan istri dan suami

digabung

Uraian Status PTKP


WP Kawin K/1/0 112.500.000,00
Tanggungan 1 K/1/1 117.000.000,00
Tanggungan 2 K/1/2 121.500.000,00
Tanggungan 3 K/1/3 126.500.000,00

Keterangan :

 Tunjangan PTKP untuk anak atau tanggungan maksimal 3 orang

 TK :Tidak Kawin

 K : Kawin

 K/1 : Kawin dan penghasilan pasangan di gabung(Rachmad

Hdayat Lubis, 2018:217)

6. Fungsi PTKP

Yaitu 1)Merupakan Pertimbangan rasa keadilan dari fiskus atau

pemerintah dan 2)merupakan unsur penariakan dari penghasilan

kena pajak yang kemudian digunakan untuk menghitung pajak yang

terhutang.

2.1.5 Menghitung Pajak Penghasilan

1. Penghitungan PPh

Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus

diketahui dasar pengenaan pajaknya. Untuk Wajib Pajak dalam

negeri dan Bentuk Usaha Tetap, yang menjadi dasar pengenaan


31

pajaknya adalah Penghasilan Kena Pajak, sedangkan untuk Wajib

Pajak luar negeri yang menjadi dasar pengenaan pajaknya adalah

penghasilan bruto. Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib

Pajak badan dihitung sebesar penghasilan neto, sedangkan untuk

Wajib Pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan neto

dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Yang

secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut :

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Badan = Penghasilan Neto


(Prastowo, 2014)

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Orang Pribadi = Penghasilan Neto –

PTKP
(Prastowo, 2014)

2. Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 21

a. Pegawai Tetap

Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau

memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur,

termasuk: Anggota dewan komisaris dan anggota dewan

pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola

kegiatan perusahaan secara langsung, serta Pegawai yang

bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu

sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time)

dalam pekerjaan tersebut.

Penghasilan bruto setahun Rp xxx Pengurang

penghasilan bruto (Rp xxx) Penghasilan neto setahun Rp xxx

Penghasilan Ttidak Kena Pajak (PTKP) (Rp xxx) Penghasilan

Kena Pajak (PKP) Rp xxxx

PPh 21 Terutang : PKP x tarif pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh


Sumber Harahap, 2013: 67
32

PPh 21 Sebulan : PPh pasal 21 setahun : 12 bulan


Sumber Harahap, 2013: 67

Pengurang penghasilan bruto bagi pegawai tetap terdiri

dari :

1. Biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-

tingginya Rp500.000 sebulan atau Rp6.000.000 setahun.

2. Iuran dana pensiun atau tunjangan hari tua/ jaminan hari tua

kepada dana pensiun yang telah disahkan menteri keuangan.

b. Penerima Pensiun Berkala

Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya

yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang

dilakukan dimasa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya

yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.

Besarnya penghasilan kena pajak bagi penerima pensiun berkala

sebesar penghasilan neto dikurangi PTKP. Besarnya

penghasilan neto adalah seluruh jumlah penghasilan bruto

dikurangi biaya pensiun. Secara ringkas dapat digambarkan

sebagai berikut:

PPh Pasal 21 = (Penghasilan neto – PTKP) x tarif Pasal 17

UU PPh = (Penghasilan bruto – biaya pensiun – PTKP) x tarif

Pasal 17

Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala

yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan

bruto dikurangi dengan biaya pensiun, sebesar 5% dari

penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 200.000 (dua ratus ribu

rupiah) sebulan atau Rp. 2.400.000 (dua juta empat ratus ribu

rupiah) setahun.
33

2.1.6. Koperasi

1. Pengertian

Pengertian Koperasi menurut Tjipjono, (2014:54) secara

sederhana berawal dari kata “co” yang berarti bersama dan

“operation” (operasi) arti nya bekerja, jadi pengertian koperasi

adalah kerja sama. Sedangkan pengertian umum, koperasi adalah

suatu kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan sama diikat

dalam suatu organisasi yang berasaskan kekeluargaan dengan

maksud mensejahterakan anggota. Pengertian Koperasi Menurut

Undang-Undang (no 25 tahun 1992). Koperasi adalah badan

usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum

koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip

koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang

berdasarkan atas dasar asas kekeluargaan.

Koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat karena dalam

koperasi mengutamakan kesejahteraan anggotanya, jadi prinsip

kerja koperasi adalah dari anggota dan untuk kesejahteraan para

anggotanya. Koperasi dibentuk atau didirikan oleh anggotanya

dengan sumber modal yang berasal dari anggotanya, sumber

modal koperasi yang berasal dari anggota dapat berupa

simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela.

Menurut Fay, (2012:113) Koperasi adalah suatu perserikatan

dengan tujuan berusaha bersama yang terdiri atas mereka yang

lemah dan diusahakan selalu dengan semangat tidak memikirkan

diri sendiri sedimikian rupa, sehingga masing-masing sanggup


34

menjalankan kewajibannya sebagai anggota dan mendapat

imbalan sebanding dengan pemanfaatan mereka terhadap

organisasi. Djojohadikoesoemo, (2011:43) Koperasi adalah

perkumpulan manusia seseorang yang dengan sukanya sendiri

ingin bekerja sama untuk memajukan ekonominya.

Soeriaatmadja, (2014:89) Koperasi adalah suatu badan usaha

yang secara sukarela dimiliki dan dikendalikan oleh anggota yang

juga pelanggannya dan dioperasikan oleh mereka dan untuk

mereka atas dasar nirlaba atau dasar biaya. Koperasi Menurut

Anita Purwati (2016:76) adalah asosiasi orang-orang yang

bergabung dan melakukan usaha bersama atas dasar prinsip-

prinsip koperasi, sehingga mendapatkan manfaat yang lebih

besar dengan biaya rendah melalui perusahaan yang dimiliki dan

diawasi secara demokratis oleh anggotanya.

2. Fungsi dan Peranan

Fungsi dan Peranan Koperasi Sebagaimana dikemukakan

dalam pasal 4 UU No. 25 tahun 1992, bahwa pembangunan

koperasi merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah dan

seluruh rakyat. Fungsi dan peran koperasi di indonesia seperti

berikut ini:

a. Membangun dan menggembangkan potensi serta kemampuan

ekonomi anggota pada khususnya dan pada masyarakat pada

umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan

sosial. Potensi dan kemampuan ekonomi para anggota

koperasi pada umumnya relatif kecil. Melalui koperasi, potensi

dan kemampuan ekonomi yang kecil itu dihimpun sebagai satu


35

kesatuan, sehingga dapat membentuk kekuatan yang lebih

besar. Dengan demikian koperasi akan memiliki peluang yang

lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan

sosial anggota koperasi pada khususnya dan pada masyarakat

pada umumnya.

b. Turut serta aktif dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan

manusia dan masyarakat. Peningkatan kualitas kehidupan

hanya bisa dicapai koperasi jika ia dapat mengembangkan

kemampuannya dalam membangun dan meningkatkan

kesejahteraan ekonomi anggota-anggotanya serta masyarakat

disekitarnya.

c. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan

dan ketahanan perekonomian nasional. Koperasi adalah satu-

satunya bentuk perusahaan yang dikelola secara demokratis.

Berdasarkan sifat seperti itu maka koperasi diharapkan dapat

memainkan perannya dalam menggalang dan memperkokoh

perekonomian rakyat. Oleh karena itu, koperasi harus

berusaha sekuat tenaga agar memiliki kinerja usaha yang

tangguh dan efisien.

d. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan

perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama

berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.

Sebagai salah satu pelaku ekonomi dalam sistem

perekonomian Indonesia, koperasi mempunyai tanggung jawab

untuk mengembangkan perekonomian nasional bersama-sama

dengan pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Dengan demikian


36

koperasi harus mempunyai kesungguhan untuk memiliki usaha

yang sehat dan tangguh, sehingga dengan cara tersebut

koperasi dapat mengembangkan amanat yang baik.

Peranan Koperasi Dalam Perekonomian Indonesia Peranan

koperasi dalam perekonomian Indonesia UUD 1945 Pasal 33 ayat

1 Berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama

berdasar atas asas kekeluargaan” dapat di bedakan menjadi

peranan segi ekonomi sebagai berikut:

a. Membantu anggota meningkatkan penghasilan sehingga

secara tidak langsung ikut serta meningkatkan taraf hidup

rakyat.

b. Mendapatkan pendapatan secara adil dan merata.

c. Ikut mengembangkan daya cipta, daya usaha orang-orang

secara individu maupun sebagai kelompok.

d. Memperluas lapangan kerja dan meningkatkan produksi.

Masyarakat peranan segi sosial (Soekanto,2009:212-213) sebagai

berikut:

a. Meningkatkan pendidikan dan keterampilan anggota.

b. Membantu membentuk masyarakat yang bertanggung jawab

yang mampu menyelesaikan masalah sendiri.

3. Tujuan Koperasi

Berdasarkan bunyi pasal 3 UU No.25/1992, membahas

tentang Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut


37

kehidupan Koperasi, tujuan koperasi Indonesia dalam garis

besarnya meliputi tiga hal sebagai berikut :

a. Untuk memajukan kesejahteraan anggotanya;

b. Untuk memajukan kesejahteraan masyarakat; dan

c. Turut serta membangun tatanan perekonomian nasional.

d. Landasan Koperasi Indonesia

Sesuai dengan UUD 1945, maka dalam UU no.12 tahun

1995 (UU Perkoperasian yang lama), tentang pokok-pokok

perkoperasian, pasal 2 menyebutkan tentang landasan koperasi

sebagai berikut :

a. Landasan Idiil

Landasan Idiil Koperasi Indonesia Menurut UUD (1945)

adalah pancasila dimana kelima sila dari pancasila tersebut

harus dijadikan dasar dalam kehidupan koperasi di Indonesia.

Dasar idiil ini harus diamalkan oleh seluruh anggota maupun

pengurus koperasi karena pancasila disamping merupakan

dasar negara juga sebagai falsafah hidup bangsa dan negara

indonesia.

b. Landasan Struktual

Landasan Struktual Koperasi Indonesia adalah Undang-

Undang Dasar 1945. Sebagai landasan geraknya adalah Pasal

33 Ayat (1), Undang-Undang Dasar 1945: Perekonomian

disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Dari

rumusan tersebut pasal 33 tercantum dasar demokrasi

ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di

bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.


38

c. Landasan Mental

Landasan Mental Koperasi Indonesia adalah setia kawan

dan kesadaran berpribadi. Landasan itu mencerminkan dari

kehidupan bangsa yang telah berbudaya, yaitu gotong royong.

Setia kawan merupakan landasan untuk bekerjasama

berdasarkan atas asas kekeluargaan.

d. Landasan Operasional

Landasan Operasional Koperasi Indonesia adalah

ketentuan-ketentuan operasional yang harus di taati dan

dipatuhi oleh anggota, penggurus, manajer, dan karyawan

koperasi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan

tanggungjawab dalam koperasi. Landasan operasional koperasi

berupa undang-undang dan peraturan-peraturan yang

disepakati secara bersama. Berikut ini landasan operasional

koperasi Indonesia:

a. UU No 25 Tahun 1992 tentang pokok-pokok perkoperasian.

b. Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)

koperasi.

4. Bentuk Koperasi Dalam UU Nomor 25/1992 Tentang Koperasi

Primer dan Koperasi Sekunder

Koperasi terdiri dari dua bentuk, yaitu koperasi primer dan

koperasi sekunder. Koperasi primer adalah koperasi yang

beranggotakan orang seorang yang dibentuk sekurang-

kurangnya 20 (dua puluh) orang, koperasi primer memiliki

otonomi untuk mengatur sendiri jenjang tingkatan, nama, dan

norma-norma yang mengatur kehidupan koperasi primernya.


39

Koperasi Sekunder adalah koperasi yang beranggotakan

badan-badan hukum koperasi yang dibentuk oleh sekurang-

kurangnya 3 (tiga) koperasi yang telah berbadan hukum. Koperasi

sekunder didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi,

efektivitas, dan menggembangkan kemampuan koperasi primer

dalam menjalankan peran dan fungsinya. Oleh sebab itu,

pendirian koperasi sekunder harus didasarkan pada kelayakan

untuk mencapai tujuan tersebut.

5. Syarat Pendirian Koperasi UKM Nomor.9/2018

a. Koperasi primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (dua

puluh) orang

b. Koperasi Sekunder dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga)

koperasi

c. Dibuat dengan akta pendirian yang memuat anggaran dasar

d. Berkedudukan di wilayah Indonesia

Persiapan Mendirikan Koperasi:

a. Anggota masyarakat yang akan mendirikan koperasi harus

mengerti maksud dan tujuan berkoperasi serta kegiatan usaha

yang akan dilaksanakan oleh koperasi untuk meningkatkan

pendapatan dan manfaat sebesar-besar bagi anggota.

b. Agar orang-orang yang akan mendirikan koperasi memperoleh

pengertian, maksud, tujuan, struktur organisasi, manajemen,

prinsip-prinsip koperasi dan prospek pengembangan

koperasinya, maka mereka dapat meminta penyuluhan dan

pendidikan serta latihan dari kantor Departemen Koperasi

Pengusaha Kecil dan Menengah Setempat.


40

6. Rapat Pendirian

Proses pendirian sebuah koperasi diawali dengan

penyelenggaraan Rapat Pendirian Koperasi oleh anggota

masyarakat yang menjadi pendirinya. Hal-hal yang dibicarakan

dalam Rapat:

a. Tujuan mendirikan koperasi

b. Kegiatan usaha yang hendak dijalankan

c. Menetapkan modal yang akan disetor kepada koperasi

diantaranya dari simpanan pokok dan simpanan wajib

d. Memilih nama-nama pengurus dan pengawas koperasi

e. Menyusun anggaran dasar

7. Prosedur Permohonan Pengesahan Pasal 1 Angka 3

Permenkumham 3/2016

a. Adanya permohonan tertulis dari para pendiri dengan dilampiri

akta pendirian.

b. Bila permintaan pengesahan ditolak, alasan penolakan

diberitahukan kepada para pendiri secara tertulis dalam waktu

paling lambat 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan,

terhadap penolakan pengesahan akta pendirian para pendiri

dapat mengajukan permintaan ulang dalam waktu paling lama

1 (satu) bulan sejak diterimanya penolakan.

8. Kelebihan Koperasi Yaitu:

a. Anggota koperasi berperan sebagai konsumen dan produsen

b. Dasar sukarela, orang terhimpun dalam koperasi atau masuk

menjadi anggota dengan dasar sukarela


41

c. Usaha koperasi tidak hanya diperuntukkan kepada anggotanya

saja, tetapi juga untuk masyarakat pada umumnya

d. Koperasi dapat melakukan berbagai usaha berbagai usaha

diberbagai bidang kehidupan ekonomi rakyat

e. Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dihasilkan koperasi dibagikan

kepada anggota sebanding dengan jasa usaha masing-masing

anggota

9. Kekurangan Koperasi UU 25 Tahun 1992 Yaitu:

a. Koperasi sulit berkembang karena keterbatasan dibidang

permodalan

b. Kemampuan tenaga professional dalam pengelolaan koperasi

c. Kurangnya kerja sama antara pengurus, pengawas dan

anggotanya

d. Tidak semua anggota koperasi berperan aktif dalam

pengembangan koperasi

e. Koperasi identik dengan usaha kecil sehingga sulit untuk

bersaing dengan badan usaha lain.

2.2 Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu yang telah diteliti sebagai berikut :

1. Tri Putri Anggraini (2018), Penerapan Perhitungan Pajak Penghasilan

Pasal 21 Atas Karyawan Metode Gross Pada PT. Connectra Utama

Palembang. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan mengenai

perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada PT. Connectra Utama

Palembang, pembayaran PPh Pasal 21 masih dibebankan kepada

karyawan, hal ini menunjukkan bahwa PT. Connectra Utama Palembang


42

belum menerapkan metode Gross di dalam penetapan tunjangan pajak.

Jika perusahaan menggunakan metode Gross banyak manfaat yang

didapat antara lain karyawan tidak menanggung beban pajak karena

dibayar oleh perusahaan, sedangkan beban yang timbul dari tunjangan

pajak bisa menjadi pengurang pendapatan (deductible expense). (Jurnal

Akuntansi, Jurusan Akuntansi S1 STIE MDP, Vol. 23. 2018, diakses 21

September 2019)https://mamikos.com/info/contoh-proposal-skripsi/

2. Winesthy Anasthazia Handaputri Alfons (2018), Penerapan Pajak

Penghasilan Pasal 21 dengan Metode Gross pada CV Unggul Abadi di

Manado. Berdasarkan ketentuan Objek PPh Pasal 21 menurut PER-

16/PJ/2016, masih terdapat objek PPh Pasal 21 yang belum dipungut

oleh Kantor CV Unggul Abadi Manado yaitu penghasilan atas karyawan

yang mengikuti pelatihan, fee atas jasa servis AC, dan pemeliharaan

gedung kantor dan gaji Cleaning Service. Dari segi perhitungan Pajak

Penghasilan Pasal 21 yang dilakukan oleh Kantor CV Unggul Abadi

Manado telah sesuai dengan aturan perundang-undangan perpajakan

terbaru yakni Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER16/PJ/2016

untuk perhitungan PPh Pasal 21 khususnya perhitungan pada SPT

Tahunan. Dari segi penyetoran dan pelaporan SPT karyawan Kantor CV

Unggul Abadi Manado dilakukan oleh Kantor Perbendaharaan Negara

(KPN) melalui proses manual dan belum menggunakan pelaporan

secara online atau elektronik melalui website namun tetap sesuai

dengan ketentuan yang berlaku (diakses 22 September

2019))https://www.academia.edu/8888591/Contoh_Skripsi_Mahasis

wa_UI

3. Desi (2018), Penerapan PPH 21 Terhadap Gaji Karyawan dengan


43

Metode Gross Pada PT. Kencana Utama Sejati, hasil penelitian

menunjukkan bahwa Mengenai Pelaporan PPh Pasal 21 yang dilakukan

oleh PT. Kencana Utama Sejati tidak sesuai, dikarenakan adanya

kesalahan status karyawan sehingga menyebabkan kesalahan

perhitungan yang mengakibatkan jumlah yang dilaporkan lebih besar

dari yang seharusnya. Penyetoran PPh Pasal 21 menjadi tidak sesuai

dikarenakan jumlah yang disetorkan lebih banyak yang dikarenakan

adanya kesalahan status karyawan PT. Kencana Utama Sejati (diakses

21 September 2019)https://id.scribd.com/doc/35256944/CONTOH-

SKRIPSI-EKONOMI-1

2.3 Kerangka Berpikir

Penelitian ini yang disajikan pada penelitian sebagai berikut :

Koperasi Welas Asih


Kota Banjarbaru

1. Laporan keuangan dari


tahun 2017-2019
2. Daftar Gaji Karyawan
Dari Tahun 2017-2019

Penerapan Pajak Penghasilan


PPh pasal 21 Terhadap karyawan
metode gross

pelaporan sesuai dengan UU No 36


Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian


Sumber: Data Diola
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitan

Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

pendekatan kualitatif yaitu menjelaskan fenomena yang terjadi di lapangan

berdasarkan dari hasil temuan kemudian dijabarkan dalam bentuk kalimat

dari khusus ke umum. Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan

survey langsung pada obyek penelitian, yaitu dengan melakukan penelitian

untuk memperoleh keterangan-keterangan secara faktual secara langsung

pada obyek, dengan melakukan penelitian studi kasus (Case Study).

Jenis penelitian yang digunakan untuk meneliti menggunakan data

deskriptif yaitu jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan sesuatu

melalui sebuah penelitian (Juanda, 2016:13).

3.2 Jenis dan Sumber Data

3.2.1 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

kuantitatif dan data kualitatif yang akan diuraikan sebagai berikut :

1. Data Kualitatif

Jenis data yang diteliti adalah tentang Penerapan Pajak

Penghasilan Pasal 21 pada Karyawan Tetap Pada Koperasi Welas

Asih Kota Banjarbaru.

44
2. Data Kuantitatif

Hasil dari perhitungan dari hasil Penerapan Pajak Penghasilan

Pasal 21 pada Karyawan Tetap Pada Koperasi Welas Asih Kota

Banjarbaru.

3.2.2 Sumber Data

Pengambilan data yang dihimpun langsung oleh peneliti dengan

cara 2 bentuk yaitu:

1. Data Primer yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah hasil

data yang didapatkan dari data dokumen di lapangan.

2. Data Sekunder yaitu data yang digunakan dalam penelitian melalui

publikasi yang telah dilakukan oleh untuk masalah yang terjadi

dalam hal yang berhubungan dengan data laporan realisasi

anggaran pendapatan belanja daerah.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam bentuk instrumen

Penerapan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Karyawan Tetap Pada

Koperasi Welas Asih Kota Banjarbaru. Menggunakan data laporan telah

dibuat dan diapatkan dari Organisasi. Dalam rangka pengumpulan data,

peneliti melakukan pengumpulan data melalui beberapa metode, yaitu:

1. Penelitian lapangan (field research)

a. Observasi langsung

Kegiatan ini dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap

aktivitas lapangan. Organisasi yang menjadi tempat pengumpulan

data adalah Koperasi Welas Asih Kota Banjarbaru. Data yang

dikumpulkan antara lain mengenai gambaran umum Organisasi.


Penerapahan pajak penghasilan pasal 21 pada Koperasi Welas Asih

Kota Banjarbaru sudah tepat untuk Organisasi tersebut, agar dapat

mencegah timbulnya kerugian pada Organisasi tersebut.

2. Wawancara

Data yang didapat dengan cara megajukan pertanyaan pada pihak

Koperasi Welas Asih Kota Banjarbaru mengenai masalah yang diteliti, isi

dari wawancara ini antara lain mengenai penerapan pajak penghasilan

pasal 21 pada gaji karyawan dengan metode gross yang selama ini

diterapkan Koperasi Welas Asih Kota Banjarbaru.

3. Dokumentasi

Dengan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan sehubungan

dengan penelitian berupa surat keputusan. Dokumen – dokumen dan

catatan – catatan Organisasi.

4. Penelitian kepustakaan

Metode penelitian yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang

digunakan sebagai landasan teoritis mengenai masalah atau variabel

-variabel yang diteliti melalui literature-literatur yang relevan dengan

masalah yang diteliti.

3.4 Teknik Analisa Data

Penerapan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Karyawan Tetap Pada

Koperasi Welas Asih Kota Banjarbaru.

a. Melakukan analisis data base yang ada

Tahapan perencanaan pajak yang harus dilakukan pertama kali

adalah dengan melakukan analisis terhadap informasi yang ada.

Adapun informasi-informasi tersebut adalah: - Menganalisis informasi

yang berkaitan dengan perhitungan, pemotongan, penyetoran dan


pelaporan PPH pasal 21 atas gaji karyawan yang dibayarkan pada

Koperasi Welas Asih Kota Banjarbaru.

b. Membuat suatu model atau lebih rencana besarnya pajak

Setelah melakukan tahapan awal, harus dibuat beberapa model

perencanan pajak yang akan dilakukan. Pembuatan model-model

perencanaan pajak tersebut dimaksudkan sebagai alternatif untuk

menentukan tax planning mana yang berlaku dan paling efisiensi untuk

diimplementasikan. Adapun model perencanaan pajak tersebut sebagi

berikut : Membuat perencanaan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji

karyawan yang dibayarkan Organisasi, melalui perbandingan metode-

metode yang diperbolehkan peraturan dan undang-undang perpajakan

serat melakukan anlisis mengenai efisiensi dari ketiga metode atau

kebijakan pemotongan PPh pasal 21 dengan cara membuat:

1) Net Method: Metode ini merupakan metode pemotongan pajak di

mana Organisasi menanggung PPh pasal 21 karyawan.

2) Gross Method: Metode ini merupakan metode pemotongan pajak di

mana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak penghasilan.

3) Gross-up Method: Metode ini merupakan metode pemotongan

pajak, di mana Organisasi memberikan tunjangan pajak PPh pasal

21 yang diformulasikan jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak

PPh pasal 21 yang akan dipotong dari karyawan.

c. Melakukan evaluasi atas perencanaan pajak Tahap ini dilakukan

dengan melakukan review dan menghitung kembali PPh Pasal 21

dengan menggunakan model perencanaan pajak yakni metode-metode

yang telah ditentukan dan diperbolehkan.


3.5 Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian JL. Jend A Yani, Km 36, Banjarbaru, 70722, Guntung

Payung, Landasan Ulin, Banjarbaru City, South Kalimantan 70714

Banjarbaru

Koperasi tempat penelitian

Welas Masjid Nurul Falah


Asih

Jalan. A Yani

QMALL
SPBU

Gambar 3.1 Denah Lokasi Penelitian


Sumber : Data diolah, 2019

3.6 Jadwal Penelitian

Jadwal Penelitian selama 4 bulan sebagai berikut

Tabel 3.1

Jadwal Penelitian

Bulan
No Rencana Kegiatan Sept Okt Nov Des
20 20 20 20
1. Penyusunan Proposal X
2. Seminar Proposal x
3. Pengumpulan Data x
4. Analisa Data X
5. Menyusun Laporan Akhir X
6. Ujian Skripsi X
7. Revisi Setelah Ujian Skripsi X
Sumber: Data Diolah
DAFTAR PUSTAKA

Andriani, P.J.A. 2014, Akuntansi Pajak, Penerbit Salemba Empat, Jakarta

Anggraini, Tri Putri, 2018, Penerapan Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21


Atas Karyawan Pada PT. Conectra Utama Palembang,
https://mamikos.com/info/contoh-proposal-skripsi/ (diakses tanggal 21
September 2019)

Alfons, Winesthy Anasthazia Handaputri, 2018, Penerapan Pajak Penghasilan


Pasal 21 Pada CV. Unggul Abadi di Manado,
https://www.academia.edu/8888591/Contoh_Skripsi_Mahasiswa_UI
(diakses tanggal 22 September 2019)

Desi, 2018, Penerapan PPH pasal 21 Terhadap Gaji Karyawan Pada


PT.Kencana Utama Sejati,
https://id.scribd.com/doc/35256944/CONTOH-SKRIPSI-EKONOMI-1
(diakses tanggal 21 September 2019)

Diana, Anastasia, 2014, Perpajakan Indonesia, Yogyakarta : Cv Andi Offset

Djojohadikoesoemo, R.M Margono, 2011, Sepuluh Tahun Koperasi


:Penerangan Tentang Koperasi oleh Pemerintah 1930-1940, Balai
Pustaka, Batavia - C

Fay, 2012, Sejarah Singkat Koperasi Indonesia, http:// bogieoogie.


blogspot.com/2012/10/ sejarah-singkat-koperasi, html (diakses pada
tanggal 10 Oktober 2019 jam 09:28:44)

Lubis, Rachmad Hidayat, 2018, Penerapan Pajak Penghasilan Pasal 21, PT


Grasindo, Jakarta

_____, Rahmat Hidayat, 2018, Pengantar Akuntansi Jasa, Gava Media,


Yogyakarta

Mardiasmo, 2016, Perpajakan Edisi Revisi, Andi, Yogyakarta

Prastowo, Yustinus, et. All, 2014, Pintar Menghitung Pajak, Raih Asa Sukses,
Jakarta

Pasal 1 ayat 1 Undang Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah


disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang No 36 Tahun 2008

Rismawati, Sudirman dan Amiruddin Antong, 2016, Perpajakan Pendekatan


Teori dan Praktik , Penerbit Empat Dua Media, Malang

Resmi, Siti, 2017, Perpajakan : Teori dan Kasus, Edisi 9, Salemba Empat,
Jakarta

Supramono dan Damayanti, Theresia Woro, 2015, Perpajakan Indonesia –


Mekanisme dan Perhitungan, Yogyakarta : CV. Andi Offset.
Sutedi, Adriani, 2015, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta

Ulum, A Juanda, 2016, Metodologi Penelitian Akuntansi-Klinik Skripsi Edisi 2.


Universitas Muhammadiyah Malang.

Undang – Undang Dasar No 25 Tahun 1992 tentang koperasi

Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 1 tentang koperasi

Zagladi, Arief Noviarakhman, Melania, Fredy Jayen dan Sutrisno, 2018,


Pedoman Penulisan Skripsi STIE Pancasetia Banjarmasin, Pancasetia,
Banjarmasin

Anda mungkin juga menyukai