1
Mifta Amalia Istiqomah
Faculty of Engineering, Muhammadiyah University of Surakarta, Sukoharjo, Indonesia
Email : miftaai95@gmail.com
ABSTRAK
Dampak dari kerusakan dan pencemaran lingkungan menyebabkan efek berupa pemanasan global
(global warming) dan perubahan iklim (climate change) yang memberikan dampak negatif pula
bagi kehidupan umat manusia. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa semakin masifnya
eskalasi pemanasan global dan perubahan iklim tersebut disebabkan oleh kerusakan lingkungan di
berbagai negara, termasuk di Indonesia. Dampak yang ditimbulkan selain krisis lingkungan, juga
dapat menyebabkan krisis sosial, krisis ekonomi, krisis energi dan sumberdaya. Konsep green
economy merupakan konsep yang dikembangkan dari sustainable development. Konsep ini adalah
menggunakan pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi bergantung pada eksploitasi
sumber daya alam dan lingkungan yang berlebihan. Hasil menunjukkan bahwa green economy
dapat menstabilkan sector keuangan karena menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam.
I. Latar Belakang
Era tahun 1970 rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia sekitar 4,36% dan sebanyak 3,76
miliar penduduk dunia yang dihidupi. Pertumbuhan ekonomi memasuki abad ke-21,
masih dapat ditingkatkan dan dipertahankan oleh Negara berkembang. Cina pada tahun
2000 tumbuh sebesar 8,5% dan menghidupi 1,26 miliar penduduknya (1970= 818 juta,
tumbuh 19,3%; 1982 baru menyentuh 1,008 miliar). Namun kesenjangan kesejahteraan
diantara masyarakat masih besar angkanya terutama di negara berkembang, yaitu anak
dari 20% keluarga termiskin mengalami stunting berjumlah dua kali lebih besar
dibanding anak pada 20% keluarga terkaya. Serta masalah seperti air bersih dan
sanitasi.
Disisi lain, masalah pembangunan dan kegiatan masyarakat juga telah memberikan
dampak masalah lingkungan hidup dan gangguan kesehatan akibat buruknya kualitas
lingkungan hidup. Kemudian ditambah oleh peningkatan dan gaya hidup konsumsi
masyarakat telah mengakibatkan produksi sampah melimpah di berbagai negara.
Produksi sampah yang melimpah ini tanpa adanya pengelolaan sampah yang
berkelanjutan. Sampah tersebut menumpuk tanpa adanya pengelolaan lebih lanjut dan
berdampak pada kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat yang tidak sehat,
terutama di negara-negara berkembang.
Dalam kegiatan ekonomi juga telah menghasilkan emisi yang terus meningkat di
berbagai negara. Penyebab merebaknya berbagai penyakit, bahkan kematian akibat
polusi udara dan air. Penurunan kondisi sanitasi dan makanan yang tidak sehat telah
mengakibatkan kematian sebanyak 1,7 miliar manusia setiap tahunnya. Menurut
perkiraan polusi udara di perkotaan telah memberikan dampak kematian sekitar 800
ribu orang setiap tahunnya. Pencemaran tembaga (lead) telah mengakibatkan 13 juta
manusia cacat, dalam bentuk keterbelakangan mental, dan penyakit kardiovaskular.
Bagi Indonesia, keadaan ini mengancam kesehatan generasi muda yang akan menjadi
tumpuan potensi bonus demografi yang dialami Indonesia sejak tahun 2012
(Alisjahbana, dkk., 2018).
Berbagai pihak menuding bahwa penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan dan
krisis sosial-lingkungan selama ini adalah karena strategi dan kebijakan pembangunan
yang tidak ramah lingkungan dan pro-rakyat. Strategi dan kebijakan pembangunan
nasional lebih mengutamakan pencapaian kepentingan ekonomi dari negara dan para
pemilik modal dibanding kepentingan lingkungan dan masyarakat. Bahkan, lingkungan
dan seluruh sumberdaya alam yang melekat padanya serta sumberdaya ekonomi
masyarakat diakuisisi dan dieksploitasi secara serakah oleh negara dan para pelaku
ekonomi untuk mewujudkan kepentingan pertumbuhan ekonomi negara dan laba
korporasi.
Akibatnya, meski di satu sisi pertumbuhan laba korporasi dan pertumbuhan ekonomi
negara (daerah) terus meningkat (EN), namun pada saat yang sama eskalasi krisis sosial
dan krisis lingkungan (EKSL) semakin meningkat pula. Permasalahan sosial dan
lingkungan yang timbul justru kian kompleks dan membahayakan. Fenomena ini sering
disebut sebagai “paradoks pertumbuhan ekonomi” yang dihasilkan dari perilaku
ekonomi yang tamak (greedy economy) (Lako, 2018).
Dari paparan diatas menunjukkan bahwa kebijakan negara lebih condong pada model
pembangunan ekonomi mengutamakan profit dan berjangka pendek dan kurang
mempedulikan kualitas sumber daya dan lingkungan. Dan jika teruskan model
pembangunan tersebut maka akan mengganggu kestabilitasan ekonomi karena
bertumbuhnya perekonomian seperti Produk Domestik Bruto/
Produk Domestik Regional Bruto (PDB/PRDB) serta laju inflasi yang tidak diimbangi
dengan nilai susut sumber daya alam (deplesi) dan rusak/tercemarnya lingkungan
(degradasi).
Dengan latar belakang tersebut maka penulis bermaksud untuk meneliti seberapa
efektif green economy untuk menjaga kestabilan sektor keuangan demi tujuan
pengembangan dan pembangunan berkelanjutan.
Saat ini tantangan dan ancaman terhadap pembangunan ekonomi nasional salah
satunya proses globalisasi. Dibutuhkan peningkatan ketahanan ekonomi nasional untuk
menghadapi dampak yang ditimbulkan dari proses globalisasi, maka tercetuslah konsep
ekonmi hijau (green economy).
Menurut UNEP, gagasan “green economy” bertujuan memberikan peluang yang besar
bagaimana upaya memanfaatkan konsepsi “green economy” sebagai penunjang
pelaksanaan pembangunan berfokus pada aspek lingkungan dan ekosistem. Terdapat 2
tujuan yang ingin dicapai antara lain : Pertama, ekonomi hijau dirancang untuk konsep
ekonomi dengan pertimbangan tidak hanya mencakup masalah makro ekonomi, namun
juga berfokus pada kontribusi investasi hijau tersebut terhadap produksi barang dan
jasa serta dan pertumbuhan lapangan pekerjaan di bidang yang terkait dengan ramah
lingkungan (green job). Kedua, green economy mencoba untuk menyiapkan panduan
pro-poor green investment, atau investasi hijau yang mampu mendorong pengentasan
masalah kemiskinan. Tujuan utamanya adalah untuk mendorong agar para pembuat
kebijakan mampu membuat semua jajaran pemerintahan dan sektor swasta ikut serta
untuk mendukung peningkatan investasi hijau.
Konsep Green Economy belakang menjadi populer dan mendapat perhatian karena
sejalan dengan upaya masyarakat dunia dalam rangka mencari solusi terhadap berbagai
tantangan global yang terjadi saat ini. Negara Barat saat ini sedang mengembangkan
suatu disiplin ilmu terkait ekonomi lingkungan hidup dengan memberi solusi atas
berbagai persoalan yang berkaitan dengan bumi. Disiplin ilmu tersebut menghasilkan
beberapa kebijakan-kebijakan ekonomi, yang terkait dengan penjagaan terhadap
lingkungan hidup (Akhtar, 1996).
Green Economy dengan konsep modern yang dikenalkan untuk melengkapi sekaligus
mengembangkan konsep Green Economy sebelumnya dengan aspek pembahasan yang
lebih membatasi pada ekonomi untuk hal-hal yang bersifat ramah lingkungan (economy
to green requirements). Konsep modern dalam perspektif ini Green Economy tidak
hanya memberi penekanan pada berbagai kebijakan standar, seperti bagaimana menilai
lingkungan secara ekonomi dan pemberian sanksi terhadap aktivitas-aktivitas yang
membahayakan dan berpotensi merusak lingkungan; tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana konsep Ekonomi Hijau tersebut mampu mendorong pelaku ekonomi untuk
memproduksi barang, perdagangan, dan mengkonsumsi hal-hal yang ramah
lingkungan atau produk barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan. Pendapatan dan
lapangan pekerjaan yang dihasilkan dari Green Economy pada gilirannya diharapkan
mampu membuat para pelaku ekonomi menjadi lebih termotivasi untuk melakukan
kegiatan yang ramah lingkungan. Perspektif instrumental dari konsep modern ini
mengakui bahwa melalui investasi, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun
swasta, dalam hal inovasi, teknologi, infrastruktur, dan kelembagaan, adalah hal-hal
yang dapat mengubah perekonomian atau mencapai perubahan struktur yang
fundamental.
UNEP juga mengembangkan GEI supaya dapat mendukung negara-negara agar dapat
berinvestasi di green economy untuk kepetingan umat manusia seperti memberantas
kemiskinan yang rentan terpengaruh dampak dari ekonomi dan lingkungan. Pendanaan
GEI didukung oleh Norwegia, Swiss, Inggris, dan UN Foundation. GEI cenderung
memfokuskan pada hubungan positif antara penghijauan dan pertumbuhan ekonomi.
Serta mendukung sector-sektor hijau dan negara berkembang agar menerapkan
ekonomi modern. GEI memiliki potensi untuk menjawab tantangan masalah ekonomi
seperti : resesi, kelaparan dan kekurangan gizi.
Paper ini menggunakan metode studi dan eksplorasi literatur dari berbagai jurnal dan
e-book. Pendekatan dalam penulisan dengan teknik deskriptif analitis. Jenis dan
sumber data adalah data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian, artikel dan buku-
buku referensi terkait.
V. ANALISIS
V.1 Dampak Sektor Keuangan Sebelum Green Economy
Kami mengambil sampel pada ekspor scktor Migas dan Non Migas didapat data tabel
berturut sebagai berikut :
Tabel 1. Data Fluktuatif Ekspor Sektor Migas dan Non Migas 2005-2010
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini menjadi
penunjang perekonomian negara terutama dalam sektor migas dan juga non migas.
Didapat dari data diatas persentase di kedua sektor mengalami fluktuatif. Namun dilihat
dari tabel kedua sektor mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Untuk membantu
menunjang perekonomian negara maka perlu dilakukan pembangunan yang memadai
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun eksploitasi sumber daya alam
tidak diimbangi dengan kemampuan daya dukung terhadap lingkungan. Termasuk
kerusakan lingkungan disamping peningkatan pendapatan tentunya kelestarian alam
harus diperhatikan.
Jika greedy economy ini dibiarkan terus menerus maka lama-kelamaan akan
menimbulkan dampak negatif karena tidak diselaraskan dengan penjagaan kelestarian
sumber daya alam yang jika di eksploitasi berkelanjutan tanpa menggunakan prinsip
green economy. Akibat yang ditimbulkan seperti pada sektor non migas misal kasus
yang terjadi adanya deforestasi dan pengelolaan lahan yang buruk. Dengan memanen
kayu, minyak sawit, dan menambang yang tidak berkelanjutan dapat menyebabkan
berkurangnya hutan primer dan sekunder, sehingga dampak buruk kelanjutannya
seperti persediaan kayu berkurang, berkurangnya produktivitas lahan, meningkatnya
erosi tanah, berkurangnya materi organik, serta berkurangnya kapasitas detoksifikasi
polutan yang mengakibatkan meningkatnya dampak pada kesehatan dan berkurangnya
keamanan pangan dan air. Sedangkan dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan
adalah berkurangnya hasil panen kayu dan pendapatan dari industri berbasis kehutanan,
berkurangnya produksi pertanian, meningkatnya perubahan iklim, berkurangnya
cadangan air, berkurangnya kualitas air, meningkatnya kerusakan dan biaya
transportasi dan mortalitas serta kerusakan infrastruktur.
Maka diperlukan perancangan proyek yang lebih baik agar memberikan hasil
pertumbuhan ekonomi hijau dan untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGS).
Dengan menggunakan analisis biaya-manfaat yang diperluas(extended Cost Benefit
Analysis-eCBA).
Beberapa tujuan e-CBA yaitu antara lain : untuk menilai biaya dan manfaat ekonomi
atas proyek investasi pertumbuhan ekonomi hijau, mengembangkan indikator yang
dapat digunakan untuk mengukur semua variabel biaya dan manfaat yang akan
diperhitungkan dan yang terakhir menjelaskan pentingnya eksternalitas dan
ketidaksempurnaan pasar lainnya yang dituangkan ke dalam valuasi ekonomi sumber
daya alam dan lingkungan sebagai dasar perhitungan.
Sebelum menghitung e-CBA terdapat 7 langkah yang harus dilakukan antara lain :
1. PerumusanVisi (Visioning)
Proses ini perlu dipandu oleh suatu visi dan dikembangkan dari strategi yang sudah
ada dan prioritas pembangunan Indonesia dan pemangku kepentingan utama
sebagaimana dinyatakan dalam dokumen perencanaan utama nasional dan daerah.
Visi ini akan memberikan konteks untuk menilai aspek Business As Usual (BAU)
masing-masing sektor.
Skenario BAU memberikan data yang akan digunakan dalam analisis proyek-
proyek dan menjadidasaruntuk membandingkan dampak proyek dan
memungkinkan perencana menilai perbedaannya dengan situasi di mana teknologi
yang efisien sumber daya, sumber daya terbarukan dan praktik-praktik lingkungan
dan sosial yang berkelanjutan diterapkan.
3. Identifikasi Proyek
(𝐵𝑡 − 𝐶𝑡
𝑁𝑃𝑉 =
(1 + 𝑖)𝑡
B = Benefits / Manfaat
C = Costs / Biaya
i = tingkat diskon keuangan atau ekonomi
t = lamanya proyek akan beroperasi (dalam tahun)
Jika NPV positif, maka proyek tersebut layak dijalankan. Atau lebih tepatnya: jika
manfaat bersih dikurangi biaya investasi pada tingkat diskonto yang telah
ditentukan lebih besar dari nol maka dikatakan bahwa proyek memiliki Net Present
Value (NPV) positif.
Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat diskonto yang diperlukan untuk
memastikan bahwa NPV setidaknya nol. Investor swasta biasanya menginginkan
setidaknya 10% IRR dari suatu proyek yang mencerminkan tingkat suku bunga
alternatif apabila dana untuk proyek diinvestasikan dalam bentuk aset lain seperti
saham, surat utang pemerintah, atau proyek-proyek lainnya.
Bagaimana menilai manfaat investasi pada mobil hemat bahan bakar baru?
Dalam menilai intervensi yang menghemat bahan bakar, penting untuk menilai
penghematan biaya penuh pada pasar internasional, bukan harga ritel domestik
yang juga mencakup subsidi pemerintah. Hal ini karena penghematan satu unit
bahan bakar akan menghemat harga ritel bagi konsumen dan menghemat subsidi
pemerintah; total penghematan ini akan sama dengan harga internasional atau harga
pasar tidak terdistorsi sesungguhnya.
Contoh menghitung NPV suatu proyek. Sebuah proyek kecil memperkirakan biaya
dan manfaatnya sebagai berikut:
Jangka waktu proyek: 6 tahun
Suku bunga: 10%
Biaya pada tahun 1 dan tahun 2: Rp 500 juta dan Rp 400 juta
Manfaat diterima setelah tahun 3 hingga tahun 6: masing-masing Rp 200 juta, Rp
300 juta, Rp 400 juta, dan Rp 500 juta
Tabel 4. Kasus Contoh untuk NPV
Contoh dari kasus diatas didapatkan setelah perhitungan Biaya Peluang dan NPV
dengan metode e-CBA. Bahwa menunjukkan dengan menggunakan bahan bakar
ramah lingkungan pada mobil yaitu hanya menghabiskan 300 liter per tahun
sedangkan untuk mobil lama 500 liter per tahun dengan biaya yang dikeluarkan
Rp.1,300,000 dan biaya subsidi pemerintah sebesar Rp.700,000. Dan didapat biaya
setiap unit manfaat bersih sebesar 1,13. Berarti ini menandakan bahwa prinsip
green economy dapat menekan biaya operasional dari bahan bakar mobil dan jika
diterapkan keseluruh sektor dan aspek tidak hanya menyelamatkan sektor keuangan
tapi juga menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam tanpa merusak
lingkungan.
VI.2 Rekomendasi
Agar Pemerintah segera mengesahkan undang-undang tentang penerapan green
economy diseluruh sektor dan mulai melakukan dari sektor yang melibatkan
sumber daya alam terutama yang tidak dapat diperbaharui.
DAFTAR PUSTAKA
Akhtar, M. R., 1996. Toward Islamic approach for environmental balance. Islamic
Economic Studies, Vol. 3 No. 2.
Alisjahbana., Murniningtyas. 2018 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di
Indonesia: Konsep Target Dan Strategi Implementasi, hal :1-5 ; 43-45
GGGI, 2016. ”Pertumbuhan Ekonomi Hijau Dan Perencanaan Investasi
Panduan untuk Menggunakan Analisis Biaya - Manfaat yang Diperluas (eCBA)”,
hal. 9-35
Kementerian PPN, 2012. Langkah Menuju Ekonomi Hijau Sintesa Memulainya,
hal 2-4
Lako, Andreas., 2018. GREEN ECONOMY: Menghijaukan Ekonomi, Bisnis &
Akuntansi. hal : 1-5
Makmun. Green Economy : Konsep, implementasi, dan Peranan Kementerian
Keuangan, hal : 1-9