Anda di halaman 1dari 17

GREEN EKONOMI DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

(Nama)

PENDAHULUAN

Dalam dua dekade terakhir, kerusakan lingkungan, pemanasan global (global

warming) dan perubahan iklim (climate change) kian serius dan menakutkan, serta telah
menimbulkan dampak-dampak negatif yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia dan

menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat internasional. Bencana alam seperti
banjir, rob, pencemaran udara, air dan tanah, perubahan iklim yang ekstrim, perubahan cuaca
yang ekstrim, dan lainnya terjadi dimana-mana. Sejumlah hasil analisis menunjukkan bahwa
kian masifnya eskalasi pemanasan global dan perubahan iklim tersebut disebabkan

oleh kerusakan lingkungan yang kian masif di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Kerusakan lingkungan tersebut tidak hanya telah menyebabkan terjadinya krisis lingkungan,
tapi juga menyebabkan krisis sosial, krisis ekonomi, krisis energi dan sumberdaya, serta

krisis-krisis lainnya yang serius. Berbagai pihak menuding bahwa penyebab utama terjadinya
kerusakan lingkungan dan krisis sosial-lingkungan selama ini adalah akibat dari strategi dan
kebijakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan pro-rakyat. Strategi dan kebijakan
pembangunan nasional lebih mengutamakan pencapaian kepentingan ekonomi dari negara
dan para pemilik modal dibanding kepentingan lingkungan dan masyarakat. Bahkan,
lingkungan dan seluruh sumberdaya alam yang melekat padanya serta sumberdaya ekonomi
masyarakat diakuisisi dan dieksploitasi secara serakah oleh negara dan para

pelaku ekonomi untuk mewujudkan kepentingan pertumbuhan ekonomi negara dan laba
korporasi.

Akibatnya, meski di satu sisi pertumbuhan laba korporasi dan pertumbuhan ekonomi negara
(daerah) terus meningkat (EN), namun pada saat yang sama eskalasi krisis sosial dan krisis
lingkungan (EKSL) semakin meningkat pula. Permasalahan sosial dan lingkungan yang
timbul justru kian kompleks dan membahayakan. Fenomena ini sering disebut sebagai
“paradoks pertumbuhan ekonomi” yang dihasilkan dari perilaku ekonomi yang tamak (greedy
economy). Merespon realitas tersebut dan juga merespon tekanan dari masyarakat
internasional yang kian kuat agar Indonesia berperan aktif dalam kolaborasi global untuk
mengatasi pemanasan global dan peruabahan iklim, pemerintah Indonesia di bawah
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 2009-2014 memang

sudah merumuskan langkah-langkah strategis dan operasional untuk “menghijaukan


Indonesia” melalui pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan
ekonomi hijau (green economy). Pemerintah Indonesia bahkan berperan aktif terus

berusaha mengajak dan menggalang para kepala negara dan pemerintahan serta para
pemimpin bisnis dunia untuk kolaborasi global mencegah perilaku ekonomi yang tamak dan
merusak lingkungan. Dalam pidato berjudul “Moving Towards Sustainability: Together We
Must Create

The Future We Want” pada KTT Rio+20 di Rio de Janeiro pada 20 Juni 2012, Presiden SBY
secara lantang mengajak para pemimpin dunia untuk beralih dari greed economy (perilaku
ekonomi yang serakah) ke green economy (perilaku ekonomi yang ramah lingkungan).
Tujuannya, agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia bisa

berkelanjutan, kemiskinan dan kemelaratan masyarakat bisa dipangkas, dan keadilan serta

kesejahteraan bisa dinikmati semua orang. Menurut SBY, kerusakan lingkungan dan
kemiskinan terjadi akibat keserakahan, tingkat konsumsi yang berlebihan, dan diabaikannya

kelestarian lingkungan. Dalam forum KTT Rio+20, Presiden SBY juga menyatakan
komitmen Indonesia untuk mengimplementasikan ekonomi hijau dalam konteks
Pembangunan Berkelanjutan dan Penurunan Kemiskinan (Poverty Eradiction).

Pernyataan tersebut mendapat apresiasi dari sekitar 190an kepala negara dan pemimpin
pemerintahan serta para pemimpin bisnis yang hadir. Namun pasca KTT Rio+20, mungkin
karena disebabkan masa pemerintahan SBY-Boediono akan segera berakhir,

gaung implementasi ekonomi hijau di Indonesia kian meredup. Pemerintah bahkan makin
tidak konsisten dan tidak jelas arahnya dalam menerjemahkan dan mengimplementasikan
strategi ekonomi hijau dalam kebijakan dan pengambilan keputusan stratejik, taktikal dan
operasional pembangunan. Bahkan, antar kementerian negera dan antara pemerintah pusat
dan daerah terlihat tidak ada kesepahaman dan koordinasi tentang visi dan implementasi
ekonomi hijau dalam strategi dan agenda pembangunan berkelanjutan. Hal itu tercermin dari

sejumlah kebijakan pembangunan ekonomi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah
yang banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi hijau dan pembangunan
berkelanjutan. Green Economy sendiri merupakan usaha atau aktivitas ekonomi yang
dilakukan guna menciptakan atau meningkatkan kesejahteraan manusia serta keadilan
manusia dalam jangka panjang, dalam

hal aktivitas produksi, distribusi, serta konsumsi barang dan jasa, yang mana hal tersebut
secara signifikan dapat mengurangi adanya kerusakan ekologi maupun lingkungan (United
Nation

Environment Program, 2011). United Nation Environment Program ini menafsirkan konsep
dari green economy sebagai suatu aktivitas perekonomian yang rendah karbon dengan
pemakaian sumber daya yang efektif dan efisien, serta inklusif secara sosial. Adanya green
economy ini

dapat digunakan untuk memacu adanya inovasi serta investasi dalam hal mewujudkan

pembangunan yang berkelanjutan (Kaszetal, 2017). Green Economy berdasarkan pada tiga
pilar,

yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi. Green Economy menjadi fokus di seluruh dunia. Hal
ini
dikarenakan adanya peningkatan aktivitas ekonomi dan populasi manusia mengakibatkan
sumber. Pentingnya perubahan paradigma dan perilaku untuk selalu mengambil setiap
kesempatan dalam mencari informasi, belajar dan melakukan tindakan demi melindungi dan
mengelola lingkungan hidup. Dengan kualitas lingkungan hidup yang lebih baik akan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pola hidup masyarakat modern telah membuat
pembangunan sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam dan mengancam kehidupan.
Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan produksi terbukti membuahkan perbaikan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dihitung menggunakan PDB. Pertumbuhan
berbagai
sektor menjadi penentu untuk pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi berkaitan
dengan

aktivitas produksi dan konsumsi yang juga berkaitan erat dengan masalah lingkungan.
Harapannya, pertumbuhan sektor ekonomi dapat memberikan kontribusi positif terhadap
kelestarian lingkungan. Akan tetapi, realitanya pertumbuhan sektor ekonomi justru menjadi

penyebab kerusakan lingkungan. Hal ini sesuai dengan Hipotesis Environmental Kuznets
Curve
(EKC) tahun 1995 di mana pertumbuhan ekonomi berbasis industri akan meningkatkan
kerusakan lingkungan, padahal kelestarian lingkungan juga memiliki peran yang sangat
penting

dalam keberlanjutan ekonomi (Grossman dan Krueger, 1995). Green economy berusaha

mengatasi masalah yang timbul dari tumbuhnya perekonomian ini.

Green economy sendiri dipecah menjadi 3 pilar utama yaitu pilar ekonomi, sosial, dan

lingkungan. Semua pilar itu berperan penting dalam keberhasilan green economy, hal ini
karena

Green Economy dapat mencegah kerusakan lingkungan akibat aktivitas perekonomian yang

tamak. Peran lainnya mampu mewujudkan pembangunan serta pertumbuhan perekonomian


yang

berkelanjutan dan berkeadilan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah penerapan green
economy di Indonesia sudah berhasil dengan meninjau tiga pilar tersebut. Penelitian ini
menggunakan beberapa variabel yang merepresentasikan pilar tersebut. Untuk yang
merepresentasikan pilar ekonomi, penulis memilih pertumbuhan ekonomi dan investasi asing

sebagai variabel untuk dianalisis. Hal ini untuk melihat apakah ekonomi yang selama ini
dijalankan sudah sesuai dengan prinsip green economy. Dipilihnya dua variabel ekonomi ini
juga

untuk merepresentasikan ekonomi internal dan eksternal Indonesia, sehingga bisa terlihat
jelas bagian mana yang lebih berpengaruh pada keberhasilan green economy.

Pilar selanjutnya adalah pilar sosial, penulis memilih pertumbuhan populasi di Indonesia
sebagai variabel yang merepresentasikannya. Manusia memegang peranan penting dalam

aktivitas ekonomi dan memiliki keputusan untuk menjaga atau merusak lingkungan dalam
melaksanakan aktivitas tersebut. Semakin tinggi jumlah populasi cenderung meningkatkan
aktivitas ekonomi juga, maka sangat relevan ketika jumlah populasi digunakan untuk melihat

keberhasilan green economy.

Variabel yang terakhir adalah energi terbarukan atau tepatnya persentase energi

terbarukan terhadap total energi di Indonesia, yang mana variabel ini akan merepresentasikan
pilar lingkungan. Energi merupakan salah satu bagian penting dari aktivitas ekonomi, di
mana

hampir semua aktivitas ekonomi di Indonesia saat ini menggunakan energi di satu atau semua
aspeknya. Penggunaan energi sangat bisa meningkatkan kerusakan lingkungan jika tidak
dikontrol, apalagi menggunakan energi yang tidak terbarukan. Eksploitasi lingkungan saat

pengambilan materialnya dan pencemaran udara ketika pengolahannya tak terelakkan. Maka
dari itu, munculnya energi terbarukan seharusnya membantu perekonomian dalam
menerapkan green
economy. Energi terbarukan dapat mengurangi emisi karbon secara signifikan daripada

pembakaran material-material energi tak terbarukan untuk dijadikan energi.

Berdasarkan hal ini, bagaimana penerapan Green Ekonomi di Indonesia? Menjajawab hal
tersebut berikut pembahasan yang akan dijelaskan lebih lanjutnya.

PEMBAHASAN

Defenisi Green Economy

Selama dekade terakhir, ekonomi hijau telah muncul sebagai sebuah kerangka kebijakan
penting untuk pembangunan berkelanjutan baik di negara maju maupun berkembang. Hal ini
memberikan kerangka kerja yang menarik untuk mewujudkan masyarakat yang lebih efisien
dalam hal sumber daya, rendah karbon, lebih sedikit kerusakan lingkungan, dan lebih inklusif
secara sosial. Terdapat ketegangan antara wacana ekonomi hijau yang bersaing dan terdapat
sejumlah definisi yang berbeda, yang semuanya memiliki kelemahan besar. Hal ini semakin
diperumit dengan adanya perbedaan konsep mendasar mengenai ekonomi hijau yang ‘lemah’,
‘transformasional’, dan ‘kuat’. Beberapa definisi penting berfokus pada aspirasi ‘ekonomi
hijau transformasional’. Untuk memungkinkan dan melacak ‘transformasi’ ini, pengukuran
ekonomi dan lingkungan sangatlah penting. Pendekatan yang ada saat ini masih dalam tahap
pengembangan, kurangnya data yang tersedia, atau menunjukkan ketidakkonsistenan dengan
definisi yang diusulkan, sehingga mungkin tidak mendukung pengambilan keputusan yang
efektif maupun upaya untuk mentransformasi perekonomian. Tinjauan ini mengidentifikasi
kekurangan-kekurangan yang ada saat ini dan menghasilkan empat rekomendasi menyeluruh
untuk meningkatkan pengukuran transformasi ekonomi hijau, termasuk data yang lebih
murah, lebih cepat, dan tersedia lebih luas, serta kerangka kerja yang lebih luas untuk
mengukur interaksi ekonomi-masyarakat-lingkungan. Kami menyarankan bahwa pengukuran
ekonomi hijau yang tepat perlu dilakukan selain PDB sebagai ukuran utama kemajuan dan
untuk lebih melacak ‘ekonomi hijau transformasional’. Hal ini akan memungkinkan ekonomi
hijau menjadi relevan kembali di tingkat nasional dan internasional, mengingat munculnya
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan kerangka kerja pasca-COP 21. Beberapa tahun
terakhir telah terjadi pertumbuhan pesat minat terhadap ekonomi hijau, yang mengakibatkan
dimasukkannya kebijakan ini dalam skala nasional dan internasional. Ketertarikan ini
didorong oleh gagasan yang menarik: bahwa ekonomi hijau dapat membantu menyelesaikan
krisis keuangan dan lingkungan hidup yang berdampak pada dunia saat ini. Oleh karena itu,
investasi besar kini dilakukan dalam pengembangan teknologi ramah lingkungan, barang dan
jasa ramah lingkungan, energi terbarukan, daur ulang material, dan infrastruktur ramah
lingkungan. Namun, apakah pendekatan tersebut benar-benar ‘ramah lingkungan’?
Bagaimana ekonomi hijau dapat didefinisikan dan dinilai? Bagaimana hal ini dapat dicapai
dalam praktiknya? Dan apakah ekonomi hijau benar-benar menawarkan solusi yang saling
menguntungkan bagi masalah lingkungan dan ekonomi? Ekonomi hijau adalah salah satu
gagasan paling menarik di zaman kita. Namun masih terdapat ketidakpastian mengenai apa
sebenarnya manfaat dari hal ini, bagaimana cara mengembangkannya, dan apa saja
dampaknya. Banyak aspek ekonomi hijau yang saat ini menjadi fokus kontroversi dan
perdebatan. Pada saat yang sama, ekonomi hijau berkembang pesat, dengan produk dan
layanan baru yang terus bermunculan. Sebagai gambaran, energi terbarukan sudah
menyumbang seperlima dari pembangkit listrik global, dan akan segera melampaui semua
sumber energi lain selain batu bara (IEA, 2013). Oleh karena itu, ekonomi hijau memberikan
banyak peluang baru untuk inovasi, pembangunan ekonomi, dan lapangan kerja. Namun
seringkali aspirasi tersebut tidak ditindaklanjuti sehingga menimbulkan kesenjangan antara
perkataan dan perbuatan. Kesenjangan ini menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan
ancaman lingkungan dan praktik-praktik yang tidak berkelanjutan di sektor pertanian negara
tersebut. Didukung sebagian oleh permintaan global yang kuat, dampak buruk yang umum
dari praktik pertanian mencakup perluasan lahan pertanian dan konversi hutan yang
menyebabkan hilangnya jasa ekosistem dan keanekaragaman hayati, polusi organik dan
anorganik, penggunaan sumber daya air yang berlebihan, dan hilangnya nutrisi. , terutama
karena pemilihan lokasi yang buruk (Leimona, Amaruzaman, dkk. 2015). Kesenjangan
kinerja menunjukkan kegagalan dalam mengintegrasikan pembangunan pertanian, konservasi
keanekaragaman hayati, penyediaan jasa ekosistem, dan praktik-praktik yang bertanggung
jawab secara sosial. Sejalan dengan pembangunan ekonomi, jumlah dan kepentingan
pemangku kepentingan di sektor pertanian sangat bervariasi dan mempersulit upaya untuk
mengurangi kesenjangan ini. Pendapat para ahli berbeda-beda mengenai sifat kesenjangan
kinerja ini dan apa yang dapat dilakukan untuk menutupnya. Kami menyelidiki persepsi para
ahli mengenai kesenjangan besar dalam praktik pertanian ramah lingkungan di Indonesia,
berdasarkan pengalaman mereka terhadap lima komoditas utama Indonesia: kakao, kopi,
minyak sawit, karet, dan beras. Kami menggunakan metodologi Q untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apa saja wacana khusus mengenai kesenjangan kinerja
dalam penerapan pertanian hijau di Indonesia? (2) Dalam aspek apa sajakah wacana tersebut
berbeda? (3) Dalam aspek apa wacana tersebut tumpang tindih dan selaras? dan (4)
Bagaimana wacana tersebut dapat diatasi untuk mengurangi kesenjangan? Mengungkap
wacana-wacana tersebut dan mengetahui di bidang mana wacana-wacana tersebut berbeda
atau tumpang tindih akan memberi kita pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap kesenjangan antara aspirasi pertanian hijau (kebijakan,
peraturan, dan inisiatif) dan tindakan di lapangan. Informasi ini diperlukan untuk
memberikan masukan bagi kebijakan dan mendorong perubahan yang bertujuan mengurangi
kesenjangan kinerja dalam pertanian hijau. Terakhir, sebagai bagian dari edisi khusus,
‘Mensertifikasi Tanggung Jawab Sosial Lingkungan’ (Mithöfer dkk. 2017), artikel ini
berkontribusi untuk mengidentifikasi kesenjangan kinerja kebijakan yang lebih spesifik dan
memberikan arahan untuk meningkatkan implementasi pertanian hijau di Indonesia.

Perkembangan Implementasi Green Economy di Indonesia

Low Carbon Development (LCD) telah dimasukkan ke dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024 oleh pemerintah

Indonesia. Kecuali jika pemerintah berkomitmen untuk mengurangi hambatan ekspansi


energi terbarukan, industri energi akan menjadi penghasil emisi karbon utama di masa depan.
Analisis ini menunjukkan bahwa dari empat hambatan, hanya hambatan teknologi dan tata
kelola yang memiliki dampak merugikan yang signifikan dan langsung terhadap LCD,
dengan tata kelola sebagai hambatan terpenting. Penelitian ini mengkaji tentang pentingnya
kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah dalam pemasangan LCD. Visi bersama,

akuntabilitas bersama, tanggung jawab tata kelola yang proporsional, dan


pengembangan instrumen fiskal dapat meningkatkan koherensi dan

keberlanjutan program, serta pertumbuhan energi terbarukan(Sambodo et al., 2022).

Pada proses penyusunan rencana energi lokal, data menunjukkan

peluang baru untuk tindakan lokal dalam pembatasan kelembagaan dan

peraturan. Namun, kemampuan aktor subnasional untuk merebut ruang ini

ditentukan oleh sejumlah faktor, termasuk politik kepemimpinan, partisipasi masyarakat sipil,
struktur ekonomi politik, dan hubungan kekuasaan. Pengamatan mendalam dari Indonesia ini
memberikan rekomendasi kebijakan penting untuk melibatkan aktor subnasional dalam
proses transisi dan memberikan pengetahuan yang lebih dalam tentang dinamika energi

transisi. Penyelidikan yang dilakukan oleh Damastuti, de Groot, Debrot, & Silvius (2022)
berfokus pada keanekaragaman dan organisasi hutan bakau, serta keanekaragaman makro.
Dalam hal keanekaragaman mangrove yang lebih baik dan cakupan reboisasi bersih, kinerja
PHBM yang dilaksanakan di Bedono mendukung keanekaragaman fauna makrobentik yang
lebih luas daripada desa-desa tetangga. Kontributor utama adalah a) pendanaan dan
pemeliharaan jangka panjang, b) penerimaan yang lebih besar terhadap undang-undang
perlindungan, c) tingkat dukungan publik yang lebih besar, d) penggunaan lebih banyak
spesies, e) restorasi mangrove dalam skala yang jauh lebih besar, dan f) tindakan tambahan
apa pun untuk mengurangi aksi gelombang di daerah yang sangat terkikis. Hasil, yang
merupakan penentu utama efektivitas restorasi mangrove untuk alasan konservasi
keanekaragaman hayati, dan berbagai

metodologi CBMM(community-based mangrove management) dibahas.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sianipar (2022)menunjukkan bahwa

sistem dapat mencakup lebih dari 95% bahan lokal dan prosedur bangunan menggunakan
energi matahari sebagai sumber energi terbarukan untuk

menyediakan panas yang diperlukan untuk proses pengeringan kakao. Lebih dari enam puluh
persen komponen dapat terdegradasi, sedangkan sisanya dapat didaur ulang. Secara teknis,
proses berfungsi secara efektif, mencapai kadar air biji kakao kering yang sesuai dengan
kebutuhan pasar. Hasil ini menggambarkan kelayakan teknologi yang ramah lingkungan,
hemat biaya, fungsional secara teknis, dan ramah lingkungan untuk lokasi dengan sumber
daya terbatas, seperti
daerah pedesaan. Penelitian di masa depan dapat menggunakan strategi untuk memasok
beragam teknologi dengan kualitas tekno-ekonomi dan lingkungan yang sebanding dengan
beragam konteks yang kekurangan sumber daya dan pemahaman.

Sani, Khatiwada, Harahap, & Silveira (2021)menunjukkan bahwa, meskipun termasuk


strategi mitigasi, rencana nasional tidak mengurangi ketergantungan batubara. Selain itu,
rencana pembangunan saat ini tidak hemat biaya dan memiliki biaya marjinal yang besar
untuk pengurangan emisi. Kedua model mitigasi menghasilkan hasil lingkungan yang lebih
baik dengan biaya yang lebih rendah untuk sistem. Temuan tersebut menunjukkan bahwa
penyebaran bioenergi dapat berkontribusi secara signifikan terhadap target pengurangan gas
rumah kaca (GRK) pemerintah Indonesia antara 19 dan 24 persen. Pemanfaatan energi
terbarukan dan gas alam secara lebih efisien dapat meminimalkan

ketergantungan Sumatera pada pasokan batubara. Harada, Wiyono, & Munthe, (2022),
menyatakan bahwa hasil hutan bukan kayu (HHBK) menyediakan sumber pendapatan bagi
masyarakat lokal. Selain memberikan sumber pendapatan bagi masyarakat setempat,
ditentukan bahwa masyarakat memiliki rasa tanggung jawab yang kuat untuk terus mengelola

hutan kemenyan sebagai warisan adat dan menjaganya. Industri transportasi adalah salah satu
konsumen bensin dan pencemar terbesar di dunia. Organisasi Kelautan Internasional
memperkirakan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) dari transportasi akan meningkat secara
substansial pada tahun 2050, sebagai akibat dari perluasan perdagangan maritim global.
Meskipun perubahan iklim memungkinkan sedikit peningkatan luas panen, penurunan hasil
padi diperkirakan akan lebih besar. Oleh karena itu, pembuat kebijakan tidak boleh
bergantung pada perluasan lahan pertanian. Untuk mengantisipasi

dampak buruk perubahan iklim terhadap pasokan beras, pembuat kebijakan

harus meningkatkan penelitian dan pengembangan kultivar padi tahan panas. Makalah ini
juga menegaskan bahwa meskipun dampak buruk perubahan iklim terhadap produksi beras,
WNT mampu memenuhi permintaan beras lokal di iklim

yang berubah. Namun, WNT tidak mampu menyediakan beras yang cukup untuk Bali dan
Nusa Tenggara Timur, provinsi yang berbatasan. Investigasi dilakukan di Provinsi Papua,
Kalimantan Tengah, dan Riau. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar struktur
kebijakan yang ada
mendukung pelaksanaan REDD+. Meskipun demikian, beberapa pembatasan memiliki efek
negatif pada eksekusi mereka. Mengingat aktor-aktor pemerintah di tingkat pusat memiliki
kewenangan yang terfragmentasi, maka sangat penting untuk memiliki aktor-aktor yang
dapat mengatur kerjasama antar aktor-aktor terkait. Apalagi, dokumentasi dan regulasi
REDD+ dinilai kurang legal dan tidak

bisa sepenuhnya mendukung implementasi REDD+ di Indonesia. Indonesia belum


sepenuhnya siap untuk mengadopsi REDD+ nasional karena sejumlah
kebijakan yang ada perlu diubah untuk meningkatkan efektivitas program REDD+ (Ekawati,
Subarudi, Budiningsih, Sari, & Muttaqin, 2019).

Menurut Puspitaloka, Kim, Purnomo, & Fulé, (2021), sumber pendanaan

saat ini untuk program-program restorasi gambut di Kalimantan Tengah sangat bergantung
pada donor luar negeri dan sektor swasta, yang meragukan kelangsungan jangka panjang
mereka. Dipercaya bahwa tata kelola hibrida untuk model bisnis hijau, seperti restorasi dan
perusahaan jasa ekosistem, harus diarusutamakan, dengan partisipasi aktif dari sektor publik.
Kerangka akuntansi studi ini dapat digunakan untuk proyek lain dan harus direvisi untuk
secara sistematis mengevaluasi efektivitas biaya dari tindakan restorasi.

Sebagaimana dibuktikan oleh krisis Covid baru-baru ini, keduanya menimbulkan

bahaya besar bagi kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan, yang pada akhirnya
mempengaruhi institusi sosial dan ekonomi. Pengelolaan sampah yang

tepat dan ide-ide inovatif untuk teknologi baru yang berkelanjutan sangat dibutuhkan.
Ekonomi hijau (circular economy) dengan teknologi hijau adalah solusi dari masalah ini.
Perspektif saat ini memberikan gambaran tentang situasi yang berkaitan dengan masalah
yang meningkat dan menguraikan langkah-

langkah yang telah diambil atau sedang dipertimbangkan untuk mengatasinya Berbagai
persoalan yang saat ini dihadapi oleh Indonesia dalam

menghadirkan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan seperti


persoalan tata kelola, kelembagaan, kekosongan regulasi, dukungan pemerintah daerah,
dukungan masyarakat lokal, dan lemahnya penguasaan teknologi yang memadai, harus
dicarikan solusi secara cepat dan tepat. Salah satunya dengan menghadirkan sebuah kebijakan
yang memiliki implikasi yang besar, memiliki multiplayer effect bagi pembangunan ekonomi
hijau dan tentunya juga tetap memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat dan
perbaikan

lingkungan hidup.

Penerapan Green Ekonomi di Indonesia

Sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki pertumbuhan ekonomi


dengan cukup tinggi dan stabil, Indonesia telah didukung oleh
pendapatan dari berbagai daerah, sebagai sektor wisata. Dalam hal ini, Green Ekonomi yang
berhasil diterapkan di Indonesia salah satunya green economy di Provinsi Bali. Provinsi Bali
memiliki PDRB yang didominasi oleh sektor pariwisata, sebagaimana telah dikenal luas oleh
masyarakat Indonesia maupun masyarakat global. Pariwisata Bali yang begitu terkenal
banyak memanfaatkan sumber daya alam, baik dari hasil alamnya maupun lingkungan itu
sendiri. Meskipun kontribusi yang diberikan oleh sektor pariwisata pada Provinsi Bali ini
cukup besar, dampak negatif dari pemanfaatan sumber daya alam pada sektor ini cukup
memprihatinkan. Banyaknya kerusakan alam di daerah pantai Bali dan meningkatnya efek
gas rumah kaca karena padatnya aktivitas penduduk membuat pihak Pemerintah Provinsi Bali
tergerak untuk meluncurkan Program Bali Clean and Green. Program ini diluncurkan pada
tahun
2015 dan diharapkan memberi kesadaran pada masyarakat untuk senantiasa menjaga
keberlangsungan lingkungan hidup dan sebagai salah satu sarana perwujudan ekonomi hijau
di Provinsi Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan program
Bali Clean and Green dan mengetahui hambatan penerapan program tersebut dalam
kaitannya dengan faktor-faktor

pembentuk ekonomi hijau. Dalam penerapannya, Program Bali Clean and Green telah
didukung oleh banyak pihak, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Salah satu
bentuk

dukungan pemerintah pusat adalah ditetapkannya Provinsi Bali sebagai Kawasan Nasional
Energi bersih oleh kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia dalam
Keputusan Nomor 4421 K/20/MEM/2015. Selain itu, banyaknya juklak maupun pedoman
yang diterbitkan oleh pemerintah Provinsi Bali membantu
percepatan penerapan ekonomi hijau dalam kawasan tersebut (Asmadi & Yuda, 2019). Untuk
mencapai iklim pariwisata yang berkelanjutan, banyak hotel di Provinsi Bali yang saat ini
berkomitmen untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan tempat usahanya (Pramesti, 2019).
Bagi pelaku usaha perhotelan, salah satu mewujudkan usaha yang selaras dengan lingkungan
adalah dengan mendapatkan sertifikat green hotel. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut
perlu dilakukan benchmarking pada aspek air, energi, dan limbah, serta sertifikasi atas
praktik operasional perusahaan. Tidak hanya

bangunan saja yang dinilai, praktik bisnis perusahaan juga ikut dinilai untuk mendapat
sertifikat green hotel sehingga hal ini sesuai dengan konsep ekonomi hijau (Larashati, 2017).
Kenaikan PDRB di Provinsi Bali selaras dengan proyeksi emisi gas rumah kaca

pada Provinsi Bali. Karena itulah pentingnya pembentukan Program Bali Clean and Green
dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup dan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam
pelaksanaannya, Program Bali Clean and Green paling berpengaruh pada sektor pariwisata di
Provinsi Bali. Dalam pelaksanaannya, program tersebut telah didukung dengan banyaknya
aturan maupun sertifikasi yang diterbitkan

berbagai pihak untuk memastikan terwujudnya sektor pariwisata yang berkelanjutan.


Masyarakat makin sadar betapa pentingnya menjaga keseimbangan dan keberlangsungan
alam sekitar. Meski begitu, program Program Bali Clean and Green

masih perlu ditingkatkan lagi. Pemerintah daerah dapat memberi penegasan atas aturan yang
sudah dibuat selama ini, sehingga apabila ada pihak yang melanggar aturan tersebut
mendapat sanksi yang setimpal.

Pada kasus lainnya penerapan green ekonomi telah diterapkan pula di Jawa Tengah dalam
basis pertanian. Jawa Tengah merupakan salah satu

wilayah yang cocok untuk budidaya

tanaman pertanian dan perkebunan. Selain


karena memiliki curah hujan yang cukup,
Jawa Tengah juga memiliki lahan subur
yang terbentang di berbagai lereng gunung yang ada di Jawa Tengah. Sampai dengan tahun
2018, Jawa Tengah memiliki luas lahan sawah sebesar 980 ribu hektar atau
sekitar 11,9 persen dari luas total lahan

sawah di Indonesia. Selain menjadi

provinsi dengan luas lahan sawah terbesar kedua setelah Jawa Timur, Jawa Tengah juga
menjadi wilayah pemasok tanaman hasil pertanian yang utama bagi Indonesia, terutama padi
dan palawija.
Tetapi melihat kontribusi pertanian
pada PDRB Jawa Tengah terus mengalami

penyusutan hingga 1,9 persen dari tahun

2011 – 2018. Data BPS Jawa Jawa Tengah

menyebutkan lahan pertanian mengalami

penyusutan mencapai 6.484 ha dalam 10

tahun terakhir. Ditambah dengan 3.800 ha

yang terkena rob dan abrasi pantai.

Data Dinas Pertanian dan Tanaman

Pangan Provinsi Jawa Tengah menyebut- kan, alih fungsi lahan pangan di Jawa
Tengah 300 – 400 ha pertahun. Lahan ini
beralih menjadi industri, perkantoran,
kawasan bisnis, perumahan dan lain-lain.
Jika ini dibiarkan akan menyebab- kan 10 – 20 terjadi kekurangan pangan

pada wilayah Jawa Tengah dan Indonesia

pada umumnya. Potensi Jawa Tengah

sebagai lumbung pangan nasional tidak

bisa dibiarkan hilang begitu saja.

Ironisnya pertanian masih dianggap pekerjaan kasar dan kotor.


Sehingga generasi muda enggan untuk
meneruskan usaha orang tuanya sebagai
petani (Yunita W, 2016). Tercermin dari jumlah petani renta mencapai 60 persen dan petani
usia dibawah 30 tahun hanya
mencapai 10 persen saja. Kerusakan lingkungan hidup yang

diakibatkan oleh pembangunan dan alih

fungsi lahan yang tidak tertata menjadi pemandangan sering terjadi. Bencana alam

seperti banjir, tanah longsor dan

kekeringan adalah salah satu akibat

pertumbuhan ekonomi yang tidak melihat

aspek lingkungan hidup dan keberlanjutan.

Apalagi mengejar target

pembangunan dengan mengeksplotasi

tanah untuk sektor lain maupun sektor

pertanian dengan zat kimia yang

berbahaya pada lingkungan sering terjadi.


Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi
hingga saat ini membuat kalangan kian
gencar meningkatkan sosialisasi dan
implementasi terkait green economy
pembangunan yang memperhatikan
keseimbangan alam (Advocate T.E, 2018).

Tidak jarang untuk memenuhi

kebutuhan pasar, manusia memanfaatkan

lingkungan secara besar-besaran (Todaro.

1987). Pertumbuhan ekonomi ternyata

diikuti oleh penurunan kualitas lingkungan

yang sangat parah.

Kerusakan lingkungan hidup yang


terjadi hingga saat ini membuat berbagai

kalangan kian gencar meningkatkan

sosialisasi dan implementasi terkait green economy atau pembangunan yang

memperhatikan keseimbangan alam.

Operation Officer Sustainable Finance IFC


East Asia and Pacific Yuan W (Global Progress Report and Country Progress
Report) mengatakan meski ada penurunan
angka kemiskinan, tapi ada kerusakan
lingkungan yang lebih besar yang telah
terjadi. Selain kerusakan lingkungan,

kesehatan manusia juga menjadi ancaman. Sebagai pemasok kebutuhan

pangan penduduk Indonesia, Jawa Tengah

menjadi tumpuan harapan dalam

pemenuhan pangan yang bernutrisi. Untuk

itu diperlukan blue print pertumbuhan

ekonomi Jawa Tengah khususnya pertani- an harus mengedepankan kelestarian

lingkungan. Pertumbuhan green economy

tidak hanya untuk menjaga lingkungan

tetapi juga menjaga manusia bebas dari

penyakit.

Pertanian Jawa Tengah menjadi

kunci pertumbuhan green economy

pertanian Indonesia. Jika Jawa Tengah

bisa mewujudkan pembangunan green

economy, maka pembangunan berkelanjjutan akan semakin menguntungkan tidak


hanya untuk masa sekarang tetapi juga
untuk masa depan bangsa.
Membangun green economy harus
bersinergi tidak hanya pemerintah tetapi
masyarakat dan petani harus bersama- sama mewujudkan. Green Economy jika

dikelola dengan baik akan lebih

menguntungkan daripada memikirkan

kepentingan keuntungan masa kini. Jawa Tengah terus melakukan

pembangunan, bahkan dalam lima tahun


terakhir pertumbuhan ekonominya
melampaui pertumbuhan ekonomi
nasional. Namun pertumbuhan ekonomi
yang terus didorong hendaknya tidak
merugikan generasi mendatang. Harus ada
langkah konkret untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Salah satu yang nyata dan berdampak
langsung adalah green economy di bidang
pertanian, apalagi Jawa Tengah
merupakan lumbung pangan nasional.
Pertanian di Jawa Tengah masih
menjadi produk unggulan walaupun
keberadaannya kian terpinggirkan. Lahan

kritis yang mencapai 634.601 ha, bisa

dimanfaatkan dan direvitalisasi oleh

pemerintah/swasta untuk peningkatan

produksi pertanian.

PENUTUP
Penutup ini berisikan Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai