Anda di halaman 1dari 10

EKONOMI HIJAU

United Nations Environment Programme (UNEP) mendefinisikan Green Economy


sebagai perekonomian yang rendah atau tidak menghasilkan emisi karbondioksida terhadap
lingkungan, hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial. Ekonomi Hijau adalah suatu
gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial
masyarakat, sekaligus mengurangi resiko kerusakan lingkungan secara signifikan
(Kemenesdm, 2021). UNEP lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam ekonomi hijau,
pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan didorong oleh investasi publik dan swasta ke
dalam kegiatan ekonomi, infrastruktur dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi
karbon dan polusi, peningkatan efisiensi energi dan sumber daya, dan pencegahan hilangnya
keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem.

https://www.unep.org/regions/asia-and-pacific/regional-initiatives/supporting-
resource-efficiency/green-economy

(UNEP, n.d.)
Sumber:

UNEP. (n.d.). https://www.unep.org/regions/asia-and-pacific/regional-initiatives/supporting-


resource-efficiency/green-economy. From https://www.unep.org/:
https://www.unep.org/regions/asia-and-pacific/regional-initiatives/supporting-
resource-efficiency/green-economy

I. Latar Belakang Green Economy di Indonesia

Penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan dan krisis sosial-lingkungan selama


ini adalah akibat dari strategi dan kebijakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan
pro-rakyat. Strategi dan kebijakan pembangunan nasional lebih mengutamakan pencapaian
kepentingan ekonomi dari negara dan para pemilik modal dibanding kepentingan lingkungan
dan masyarakat. Bahkan, lingkungan dan seluruh sumberdaya alam yang melekat padanya
serta sumberdaya ekonomi masyarakat diakuisisi dan dieksploitasi secara serakah oleh negara
dan para pelaku ekonomi untuk mewujudkan kepentingan pertumbuhan ekonomi negara dan
laba korporasi.

Akibatnya, meski di satu sisi pertumbuhan laba korporasi dan pertumbuhan ekonomi
negara (daerah) terus meningkat (EN), namun pada saat yang sama eskalasi krisis sosial dan
krisis lingkungan (EKSL) semakin meningkat pula. Permasalahan sosial dan lingkungan yang
timbul justru kian kompleks dan membahayakan. Fenomena ini sering disebut sebagai
“paradoks pertumbuhan ekonomi” yang dihasilkan dari perilaku ekonomi yang tamak (greedy
economy).
Merespon realitas tersebut dan juga merespon tekanan dari masyarakat internasional
yang kian kuat agar Indonesia berperan aktif dalam kolaborasi global untuk mengatasi
pemanasan global dan perubahan iklim, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 2009-2014 memang sudah merumuskan
langkah-langkah strategis dan operasional untuk “menghijaukan Indonesia” melalui
pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan ekonomi hijau (green
economy). Pemerintah Indonesia bahkan berperan aktif terus berusaha mengajak dan
menggalang para kepala negara dan pemerintahan serta para pemimpin bisnis dunia untuk
kolaborasi global mencegah perilaku ekonomi yang tamak dan merusak lingkungan.

Sumber:

Lako, A. (2015). Green Economy: Menghijaukan Ekonomi, Bisnis, & Akuntansi. Jakarta:
Erlangga.

Ekonomi Hijau dalam konteks sustainable development sudah beranjak dari tahun
1972 di konferensi United Nations dengan bahasan isu utamanya yakni lingkungan.
Soemarwoto (2001) menggambarkan bahwa Indonesia sudah memperhitungkan pentingnya
pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini tercermin pada overview sustainable development
in Indonesia. Akan tetapi selalu ada benturan kepentingan antara pemanfaatan ekonomi
dengan pelestarian lingkungan, dan berbagai permasalahan pengelolaan Sumber Daya
Alam (SDA).
Menurut UNEP dalam “ Sustainable development itu meliputi tiga pilar utama yaitu
ekonomi, sosial, dan lingkungan”. Pada tahap dekade pertama penerapan desentralisasi,
Indonesia memfokuskan pada perencanaan pembangunan ekonomi dan sosial. Terlihat
bahwa ukuran dan indikator penilaiannya tertuang dalam Millenium Development Goals
(MDG’s) yang sudah mulai dikembangkan sejak 2000 serta kestabilan pertumbuhan
ekonomi. Walaupun belum mendapatkan hasil yang maksimal, capaian hasil RPJM 2010-
2014 memperlihatkan bahwa komitmen Indonesia ini secara bertahap mengalihkan porsi
perhatiannya pada pembangunan lingkungan dan ekonomi yang lebih sehat. Disebutkan
bahwa dalam lima tahun ke depan yang dilanjutkan dalam RPJM 2015- 2019 pembangunan
sumber daya alam dan lingkungan hidup diarahkan ke dalam dua kelompok, yaitu
pembangunan sumber daya alam yang mendukung pembangunan ekonomi dan
peningkatan kualitas serta kelestarian lingkungan hidup.
Pada kenyataan yang sering ditemukan, pembangunan dilakukan hanya untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi, tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan
lingkungan hidup. Tidak jarang dari aktivitas sosial dan ekonomi manusia serta kejadian
alam dapat menimbulkan adanya degradasi atau penurunan kualitas lingkungan manusia.
Aktivitas dari berbagai kegiatan inilah yang merugikan kelestarian lingkungan alam,
lingkungan buatan, maupun lingkungan sosial. Dalam survei perilaku peduli lingkungan
yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2013 memperlihatkan bahwa tingkat
kesadaran peduli lingkungan hidup masyarakat Indonesia secara rata-rata sebesar 81,61%.
Hal ini merupakan bukti konkrit hasil kinerja pemerintah dalam mengimplementasikan
UU. No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
Implementasi UU. No. 32/2009 merupakan Landasan Hukum pemerintah dalam
upaya menjaga kelestarian lingkungan. Undang-undang tersebut bertujuan meningkatkan
kualitas lingkungan atas aktivitas sosial dan ekonomi di masyarakat serta mewujudkan
cita-cita menuju Ekonomi Hijau yang lebih ramah lingkungan. Semenjak adanya
implementasi undang-undang tersebut, produk hukum lain juga dihasilkan seperti Instruksi
Presiden RI Nomor 13 Tahun 2011 tentang penghematan energi dan air, Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan banyak produk hukum
lainnya. Selain mengeluarkan produk hukum, pemerintah pusat dan pemerintah daerah
berkoordinasi dalam pengendalian pencemaran dan peningkatan kualitas di daerah yang
dilakukan oleh BPLH di provinsi dan BPLHD di tingkat kabupaten/kota. Aktivitas ekonomi
dan sosial tadi dikatakan dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.
Aktivitas ekonomi dan sosial mencangkup banyak sektor. Mulai tahun 2010, Badan
Pusat Statistik memecah menjadi tujuh belas sektor ekonomi dalam perhitungan Produk
Domestik Bruto. Sektor ekonomi utama di Indonesia yang erat kaitannya dengan
lingkungan yaitu sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, listrik dan gas serta air
dan pengelolaan sampah. Sedangkan aktivitas sosial yang sangat erat kaitannya dengan
perkembangan suatu wilayah adalah aktivitas yang dalamnya mencangkup aktivitas
seperti kelahiran, kematian, migrasi antar daerah serta aktivitas dalam upaya untuk
membangun kualitas manusia itu sendiri. Peran pemerintah sebagai pihak yang
menginginkan adanya kesejahteraan pun ikut serta menyumbangkan porsi belanja untuk
fungsi lingkungan hidup.

Sumber:
Wiyekti, N. (2021). Transisi menuju Ekonomi Hijau, Berkaitan dengan Kualitas Lingkungan
Era Desentralisasi di Indonesia: Transition to a Green Economy, Relating to Environmental Quality in
the Era of Decentralization in Indonesia. Jurnal Ilmiah Komputasi dan Statistika, 1(1), 32-39.

II. Prinsip Ekonomi Hijau


Prinsip utama dari ekonomi hijau adalah “mampu memenuhi kebutuhan sekarang
tanpa harus mengorbankan pemenuhan kebutuhan setiap generasi di masa yang akan datang”.
Nah, untuk itu berikut ini sepuluh prinsip Ekonomi Hijau adalah:
1. Prinsip Berkelanjutan. Ekonomi Hijau adalah sarana untuk mewujudkan ekonomi
keberlanjutan.
2. Prinsip Keadilan. Ekonomi Hijau mendukung pemerataan sosial dan ekonomi.
3. Prinsip Martabat. Ekonomi Hijau menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat.
4. Prinsip Alam Sehat. Ekonomi Hijau memulihkan keanekaragaman hayati yang hilang,
berinvestasi dalam sistem alam dan merehabilitasi hutan yang telah mengalami
degradasi.
5. Prinsip Inklusi. Ekonomi Hijau bersifat inklusif dan partisipatif dalam pengambilan
keputusan.
6. Prinsip Tata Kelola dan Akuntabilitas yang Baik. Ekonomi dapat
dipertanggungjawabkan.
7. Prinsip Ketahanan. Ekonomi Hijau berkontribusi pada ketahanan ekonomi, sosial, dan
lingkungan
8. Prinsip Efisiensi dan Kecukupan. Ekonomi Hijau mendukung konsumsi dan produksi
yang berkelanjutan.
9. Prinsip Generasi. Ekonomi Hijau berinvestasi untuk masa sekarang dan masa depan.
10. Prinsip Kesejahteraan. Ekonomi hijau mendorong semua orang mampu menikmati
kesejahteraan dan kemakmuran.

https://www.pengadaan.web.id/2022/02/ekonomi-hijau.html

(Pengadaan, 2022)

Sumber:

Pengadaan. (2022, Februari 1). https://www.pengadaan.web.id/2022/02/ekonomi-hijau.html.


From https://www.pengadaan.web.id:
https://www.pengadaan.web.id/2022/02/ekonomi-hijau.html

III. Ciri - Ciri Ekonomi Hijau


1. Ekonomi yang berbasis lokal.
2. Pasar dipandang sebagai tempat bersosialisasi dan persahabatan yang menyenangkan
di mana berita dan pandangan politik dipertukarkan seperti halnya barang dan uang.
3. Melibatkan distribusi aset dengan menggunakan harta warisan yang ditingkatkan dan
pajak capital gain.
4. Pajak digunakan juga secara strategis untuk keberlanjutan pembangunan, bukan untuk
mempengaruhi kekuasaan dan perilaku bisnis.
5. Dipandu oleh nilai keberlanjutan daripada oleh nilai uang.
6. Meninggalkan kecanduan pada pertumbuhan ekonomi dan mengarah pada ekonomi
steady-state.
7. Ekonomi yang ramah di mana hubungan dan komunitas menjadi pengganti konsumsi
dan teknologi.
8. Memberi peran yang lebih luas bagi ekonomi informal dan sistem koperasi dan
berbasis komunitas yang saling mendukung.
9. Sistem kesehatan yang fokus pada pengembangan kesehatan yang baik dan
penyediaan perawatan primer, berbasis lokal daripada obat berteknologi tinggi dan
perusahaan farmasi yang luas.
10. Menggantikan bahan bakar fosil dan sistem pertanian intensif dengan pertanian
organik dan berbagai sistem seperti pertanian dengan dukungan komunitas.

https://bappeda.babelprov.go.id/content/ekonomi-hijau-green-economy-untuk-mendukung-
pembangunan-berkelanjutan-di-provinsi-kepulauan

(Yulianti, n.d.)
Sumber:
Yulianti, A. (n.d.). https://bappeda.babelprov.go.id/content/ekonomi-hijau-green-economy-
untuk-mendukung-pembangunan-berkelanjutan-di-provinsi-kepulauan. From
https://bappeda.babelprov.go.id: https://bappeda.babelprov.go.id/content/ekonomi-
hijau-green-economy-untuk-mendukung-pembangunan-berkelanjutan-di-provinsi-
kepulauan

IV. Tujuan Ekonomi Hijau


Bertujuan untuk mendorong kebijakan publik dalam menciptakan sistem
perekonomian hijau yang ingin menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan
lingkungan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan.

Tujuan khusus dari program ini secara tematik adalah:


1. Meningkatkan kewaspadaan dari urgensi untuk beralih dari bahan bakar fosil di dalam
sistem energi Indonesia;
2. Mengoptimalkan penerapan efisiensi energi yang mengarah pada sistem dekarbonisasi
energi Indonesia;
3. Memperkuat kebijakan mitigasi perubahan iklim dalam negeri

https://iesr.or.id/ekonomi-hijau
(IESR, n.d.)

Sumber:
IESR. (n.d.). https://iesr.or.id/ekonomi-hijau. From https://iesr.or.id: https://iesr.or.id/ekonomi-
hijau

+PPT

Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan meliputi:


- Ekonomi
- Lingkungan
- Sosial

Salah satu contoh Program Ekonomi Hijau: “Produksi Bersih”:


Strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terpadu dan diterapkan secara terus-
menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu ke hilir yang terkait dengan proses produksi,
produk dan jasa untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya alam, mencegah
terjadinya pencemaran lingkungan dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya
sehingga dapat meminimalisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta
kerusakan lingkungan [KLH, 2003].
https://www.researchgate.net/publication/
355040672_EKONOMI_HIJAU_GREEN_ECONOMY_PEMBANGUNAN_KARBON_RE
NDAH

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN - AMDAL

I. Perkembangan Pengaturan AMDAL


AMDAL (Analisis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) lahir dengan
dicetuskannya Undang-Undang lingkungan hidup yang disebut National Environmental
Policy Act (NEPA) oleh Amerika Serikat pada Tahun 1969. NEPA mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1970. Pasal 102 ayat (2) (C) dalam undang-undang ini menyatakan bahwa
semua usulan legislasi dan aktivitas pemerintah federal yang besar diperkirakan akan
mempunyai dampak penting terhadap lingkungan diharuskan disertai laporan Enviromental
Impact Assesment (Analisis Dampak Lingkungan).

AMDAL dengan cepat menyebar di negara-negara maju yang kemudian disusul oleh
negara berkembang dengan banyaknya pihak yang telah merasakan bahwa AMDAL adalah
alat yang mampu untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih parah
akibat aktivitas manusia. Dengan mengacu pada NEPA, maka untuk pertama kalinya pada
tahun 1982 Indonesia mencetuskan Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang
ini merupakan langkah awal Indonesia untuk menjadikan pembangunan berwawasan
lingkungan. Pasal 16 UULH Nomor 4 Tahun 1982 menyatakan bahwa setiap rencana yang
diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib dilengkapi
dengan analisis mengenai dampak lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan
pemerintah.

Untuk menindaklanjuti pelaksanaannya, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor


29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dalam Lembaran Negara
Tahun 1986 Nomor 42 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3338. Isinya menyatakan bahwa
AMDAL dimaksudkan sebagai bagian dari studi kelayakan pembangunan suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 kemudian dicabut dan
diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 yang kemudian diganti lagi
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan. Semenjak itulah semakin banyak munculnya peraturan perundang-undangan
lain mengenai AMDAL, salah satu yang tergolong sangat penting untuk menentukan bentuk
kajian lingkungan yang akan dilakukan adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.38/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 tentang
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Dampak Lingkungan
Hidup.

II. Kedudukan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Secara umum kegunaan AMDAL adalah:


1. Memberikan informasi secara jelas mengenai suatu rencana usaha, berikut dampak-
dampak lingkungan yang akan ditimbulkannya;
2. Menampung aspirasi, pengetahuan dan pendapat penduduk khususnya dalam masalah
lingkungan sewaktu akan didirikannya suatu usaha atau kegiatan perindustrian;
3. Menampung informasi setempat yang berguna bagi pemrakarsa dan masyarakat dalam
mengantisipasi dampak dan mengelola lingkungan.16

Selanjutnya dalam usaha menjaga kualitas lingkungan, secara khusus AMDAL berguna
untuk:
1. Mencegah agar potensi sumber daya alam yang dikelola tidak rusak, terutama sumber daya
alam yang tidak dapat diperbaharui;
2. Menghindari efek samping dari pengelolaan sumber daya terhadap sumber daya alam
lainnya, proyek-proyek lain, dan masyarakat agar tidak timbul pertentangan-pertentangan;
3. Mencegah terjadinya perusakan lingkungan akibat pencemaran sehingga tidak
mengganggu kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan rakyat.
4. Agar dapat diketahui manfaatnya yang berdaya guna dan berhasil guna bagi bangsa, negara
dan masyarakat.

Tugas utama dari AMDAL adalah memilah perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh
aktivitas pembangunan yang ditawarkan agar menjadi bagian dari siklus alam. Satu
eksperimen yang terkendali dapat dilakukan untuk membandingkan perubahan dalam
parameter kualitas lingkungan. Satu sistem disiapkan sebagai pengontrol. Fungsi ini dapat
dibebankan kepada kawasan lindung. Sedangkan sistem alam lainnya yaitu di kawasan
budidaya berlangsung aktivitas pembangunan. Pengkajian AMDAL yang terpenggal-penggal
atau mengabaikan satu komponen tertentu dapat menyebabkan terganggunya kestabilan
komponen yang lain.

AMDAL dimaksudkan untuk pembangunan, perbaikan pembangunan, perbaikan


pembangunan diidentifikasi dengan AMDAL. AMDAL merupakan salah satu alat
pembangunan berkelanjutan sebagai sarana pengambilan keputusan di tingkat pelaksanaan
usaha. Seharusnya amdal sebagai salah satu motor pembangunan, namun jika dalam
pelaksanaanya salah langkah maka proses AMDAL bisa menjadi beban.

Kedudukan dan fungsi AMDAL bagi suatu perusahaan juga dapat memberikan rambu-rambu
pada tujuan perusahaan. Menurut Bryant Maynard Jr dan Susan E Mehrtens dalam perspektif
ilmu hukum perusahaan, tujuan perusahaan tidak hanya berfokus untuk mencari keuntungan
(profit), namun juga menciptakan kesejahteraan sosial (people) dan melestarikan lingkungan
hidup (planet). Selanjutnya Elkinston Elkinston menegaskan bahwa perusahaan yang baik
tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula, memiliki
kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).

III. Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) Dalam Mekanisme Sistem Perizinan di


Indonesia
AMDAL sebagai salah satu persyaratan dalam izin lingkungan merupakan studi aktivitas
yang tersusun secara sistemik dan ilmiah dengan menggunakan teknik pendekatan yang
bersifat interdisipliner bahkan multidisipliner, maka studi tersebut haruslah tersusun secara
runtut dan komprehensif-integral (terpadu-lintas sektoral).
AMDAL dalam mekanisme sistem perizinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH):
1. AMDAL sebagai informasi yang harus terbuka bagi masyarakat (BAB VIII, Pasal 62
UUPPLH);
2. AMDAL sebagai alat prediksi kemungkinan terjadinya dampak/ongkos;
3. AMDAL sebagai alat pemantau/RPL dan pengelolaan/RKL kegiatan;
4. AMDAL sebagai legal evidence.

Dalam konteks perizinan kegiatan usaha, AMDAL akan menjadi tolok ukur yang mendasar
secara spesifik, terkait tindak lanjut perizinan usaha tersebut. maka AMDAL tiap-tiap jenis
kegiatan usaha akan memiliki analisa ilmiah yang berbeda-beda pula.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH) AMDAL sebagai dasar pertama sistem perizinan usaha akan
berpengaruh besar terhadap izin lingkungan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah.
Kemudian akan berlanjut kepada izin usaha/kegiatan. Boleh dikatakan AMDAL adalah garda
pertama penentu baik buruknya kualitas izin lingkungan dan izin kegiatan. Oleh karenanya
jika Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik hanya menempatkan komitmen untuk memperoleh izin usaha
tanpa didahului izin lingkungan yang berbasis AMDAL maka sistem kontrol terhadap pelaku
usaha untuk tidak merusak lingkungan atau ekologi menjadi tidak terjelaskan dengan baik.

IV. AMDAL Sebagai Kelayakan Suatu Kegiatan Usaha

Pertanyaan terkait kelayakan lingkungan dalam dokumen AMDAL terkait fungsinya sebagai
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah saat
AMDAL akan memerankan fungsinya tersebut.
Ketika dokumen AMDAL secara substantif (kelayakan lingkungan) dinyatakan tidak layak
lingkungan berarti dokumen tersebut tidak disetujui yang otomatis tidak mungkin diajukan
permohonan izin lingkungan oleh karena itu seharusnya tidak akan ada izin usaha atau
kegiatan, dengan demikian tidak terjadi dampak lingkungan baik pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup, atau jika kemudian dokumen AMDAL tersebut disetujui peran
AMDAL sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
adalah adanya kajian dampak lingkungan yang telah diprediksi dalam dokumen AMDAL
dalam pelaksanaannya sudah dapat diantisipasi dan dapat diminimalisir sepanjang ambang
batas atau buku mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Sumber:
Sukananda, S., & Nugraha, D. A. (2020). Urgensi penerapan analisis dampak lingkungan
(AMDAL) sebagai kontrol dampak terhadap lingkungan di Indonesia. Jurnal Penegakan
Hukum Dan Keadilan, 1(2).
+PPT (Amdal)

AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) merupakan suatu bentuk kajian


lingkungan yang berperan strategis dalam pengelolaan setiap kegiatan pembangunan yang
selalu diikuti dampak positif dan negatif. Oleh karena itu, kajian perlu dilakukan secara
cermat dan komprehensif, agar dapat memaksimalkan dampak positif dan sebaliknya,
meminimalkan dampak negatif (Raharjo, 2014).

Sehubungan dengan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, faktor utama
yang perlu menjadi fokus perhatian adalah terkait dengan perizinan. Faktor perizinan dapat
dijadikan sebuah pegangan bagi pelaku usaha yang akan mengelola lingkungan. Perizinan
lingkungan dikaitkan dengan keharusan memperoleh AMDAL sebagai instrumen pencegahan
pencemaran lingkungan dimana asas ini telah dituangkan dalam bentuk produk hukum,
sehingga menjadi kewajiban yang harus dipatuhi oleh setiap orang di Indonesia, artinya untuk
terbitnya atau disetujuinya suatu izin lingkungan hendaknya harus diperoleh lebih dahulu
AMDAL. Sejalan dengan pandangan Suparto Wijoyo, bahwa berkaitan dengan perizinan
lingkungan terpadu seharusnya bertumpu pada pada prinsip-prinsip prosedur administratif
perizinan lingkungan menurut ”good environmental governance”

Pertanyaan(?)
Menjadi suatu paradoks ketika pada kondisi saat ini demi mendorong masuknya investasi ada
wacana untuk mereduksi keberadaan AMDAL sebagai sarana penjagaan terhadap rencana
usaha atau kegiatan usaha supaya tidak memberikan dampak buruk pada lingkungan. Wacana
tersebut muncul karena AMDAL dianggap rumit dan mempersulit para investor masuk di
Indonesia.
Salah satu contoh pengreduksian fungsi AMDAL adalah lahirnya Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.
Berdasarkan peraturan ini pelaku usaha dapat mengantongi izin usaha hanya dengan
komitmen sebagaimana diatur di dalam Pasal 20 yang menyatakan:
Pelaksanaan Perizinan Berusaha meliputi:

a. a. Pendaftaran;
b. b. Penerbitan Izin Usaha dan penerbitan Izin komersial atau Operasional berdasarkan
Komitmen;
c. c. Pemenuhan Komitmen Izin Usaha dan pemenuhan Komitmen Izin Komersial atau
Operasional;
d. d. Pembayaran biaya;
e. e. Fasilitas;
f. f. Masa belaku; dan
g. g. Pengawasan.

Selanjutnya Pasal 32 yang menyatakan:


(1) Lembaga OSS (Online Single Submission) menerbitkan Izin Usaha berdasarkan
Komitmen kepada:
a. Pelaku usaha yang tidak memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a dan;
b. Pelaku usaha yang memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan dan
telah memiliki prasarana sebagaimana dalam Pasal 31 ayat (3) huruf a.
(2) Lembaga OSS menerbitkan Izin Usaha berdasarkan Komitmen kepada Pelaku Usaha
yang memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan tapi belum memiliki
atau menguasai prasarana setelah Lembaga OSS menerbitkan:
a. Izin lokasi;
b. Izin lokasi perairan;
c. Izin lingkungan; dan atau
d. IMB.

Raharjo, M. (2014). Memahami AMDAL edisi 2. Graha Ilmu: Yogyakarta.

Bibliography
IESR. (n.d.). https://iesr.or.id/ekonomi-hijau. From https://iesr.or.id: https://iesr.or.id/ekonomi-
hijau
Pengadaan. (2022, Februari 1). https://www.pengadaan.web.id/2022/02/ekonomi-hijau.html.
From https://www.pengadaan.web.id:
https://www.pengadaan.web.id/2022/02/ekonomi-hijau.html
UNEP. (n.d.). https://www.unep.org/regions/asia-and-pacific/regional-initiatives/supporting-
resource-efficiency/green-economy. From https://www.unep.org/:
https://www.unep.org/regions/asia-and-pacific/regional-initiatives/supporting-
resource-efficiency/green-economy
Yulianti, A. (n.d.). https://bappeda.babelprov.go.id/content/ekonomi-hijau-green-economy-
untuk-mendukung-pembangunan-berkelanjutan-di-provinsi-kepulauan. From
https://bappeda.babelprov.go.id: https://bappeda.babelprov.go.id/content/ekonomi-
hijau-green-economy-untuk-mendukung-pembangunan-berkelanjutan-di-provinsi-
kepulauan

Anda mungkin juga menyukai