Anda di halaman 1dari 22

KONSEP EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMIC) DALAM

PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM


DI INDONESIA UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN

Diampu Oleh:
Prof Dr. Edy Lisdiyono,SH.Mhum

Program Studi Hukum


Program Magister

Disusun Oleh:
Dila Puspita Dewi

PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM MAGISTER


UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SEMARANG

1
BAB I
Pendahuluan
Latar belakang
Meskipun perhatian dunia terhadap masalah-masalah lingkungan
hidup sudah dituangkan sejak 40 tahun yang lalu, dengan
diselenggarakannya Konferensi PBB tentang lingkungan hidup di
Stockholm pada tahun 1972, namun kenyataannya dunia masih
menghadapi 2 masalah besar, yaitu masalah pemenuhan kesejahteraan
rakyat di satu sisi, serta masalah pelestarian fungsi lingkungan dan
pengelolaan sumber daya alam sebagai penopang kehidupan manusia di
sisi lain. Kedua masalah ini pada kenyataannya memang selalu
dipertentangkan. Kegiatan pembangunan ekonomi untuk memenuhi
kesejahteraan rakyat selama ini di Indonesia lebih banyak berbasis kepada
sumber daya alam, mengingat Indonesia memiliki kuantitas dan kualitas
sumber daya alam yang sangat baik. Hal demikian menyebabkan aspek
perlindungan dan pelestarian lingkungan terabaikan, dan menimbulkan
beragam permasalahan lingkungan, seperti pencemaran air dan/atau udara,
kerusakan kualitas tanah, kebakaran dan kerusakan hutan, alih fungsi lahan
pertanian, perubahan iklim dan sebagainya. Kondisi demikian pada
akhirnya mendorong timbulnya kantong-kantong kemiskinan pada
masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumber daya alam dan
lingkungan tersebut.

Berbagai upaya menanggulangi masalah di atas telah dilakukan,


baik pada tingkat global, regional maupun lokal, namun degradasi
lingkungan terus terjadi, dan bersifat sistemik. Artinya, faktor-faktor
penyebab timbulnya permasalahan lingkungan bersifat saling berkaitan
dan saling mempengaruhi.Terjadinya kebakaran hutan yang semakin
meluas dan semakin sering terjadi misalnya, selain disebabkan oleh faktor
alam (anomali iklim), juga merupakan konsekuensi logis dari meluasnya
kebijakan perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI) menggantikan hutan

2
alam. Pembangunan HTI seringkali memicu kebakaran hutan dan lahan
karena pembersihan lahan dilakukan dengan cara pembakaran1. Contoh
lain misalnya, tingginya kegiatan pembangunan suatu wilayah yang
memacu pembangunan infrastruktur telah mendorong timbulnya alih
fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Data Ditjen Pengelolaan Lahan
dan Air (PLA) Kementerian Pertanian pada tahun 2005 menunjukkan
bahwa setiap tahun sekitar 187.720 Ha sawah telah beralih fungsi ke
penggunaan non pertanian, terutama di pulau Jawa2. Alih fungsi lahan ini
pada akhirnya menimbulkan kantong-kantong kemiskinan yang tidak
jarang menimbulkan masalah lingkungan seperti banjir, sanitasi dan
kawasan permukiman yang kumuh.

Meskipun produk domestik bruto dunia pada tahun 2011 sudah


mencapai 77,2 triliun dollar AS, namun lebih dari 900 juta orang masih
hidup di bawah garis kemiskinan 3. Hal ini mendorong isu kemiskinan
menjadi salah satu fokus dalam Koferensi Pembangunan Berkelanjutan,
Rio +20 pada 20-22 Juni 2012. Dua topik besar yang menjadi fokus
Konfrensi Rio+20 ini adalah4:
1. Ekonomi hijau (green economy) dalam konteks pembangunan
berkelanjutan untuk penghapusan kemiskinan;
2. Kerangka institusi untuk pembangunan berkelanjutan.

United Nation Environment Programme (UNEP) memberikan pengertian


ekonomi hijau sebagai kegiatan perekonomian yang mampu meningkatkan
kesejahteraan dan keadilan sosial di satu sisi, tetapi di sisi lain mampu
menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap

1
Chay Asdak, Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Jalan Menuju Pembangunan
Berkelanjutan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2012: hlm. 3
2
Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian, Strategi dan
Kebijakan Pengelolaan Lahan, Jakarta, 2005: hlm. 5
3
Akhmad Fauzi, Ekonomi Hijau untuk Bumi, Artikel pada Surat Kabar Harian
KOMPAS, Jakarta, 7 Juli 2012: hlm. 7
4
www.unep.org/wed/greeneconomy, Towards Green Economy, diunduh 3
Juni 2012

3
lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam. Menurut UNEP, ekonomi
hijau merupakan kegiatan perekonomian yang rendah karbon, tidak
mengandalkan bahan bakar fosil, hemat sumber daya alam dan berkeadilan
sosial5. Rumusan demikian, seringkali dicurigai bahwa pembangunan
ekonomi hijau sarat dengan kepentingan-kepentingan perdagangan karbon
(carbon trading) yang mengemuka dalam perundingan tahunan Kerangka
Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC/United Nations
Framework Convention on Climate Change) tentang Pengurangan Emisi
dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD/Reducing Emissions from
Deforestation and Degradation).

Meski demikian, sebagai sebuah paradigma pembangunan,


ekonomi hijau perlu dikedepankan dalam rangka pemerintah melakukan
kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, untuk
mencegah kerusakan lingkungan serta pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Masalah-masalah
lingkungan perlu diintegrasikan (diinternalisasikan) ke dalam perencanaan
pembangunan ekonomi6. Namun tentunya pada tataran implementasi hal
ini tidak mudah. Banyak hal yang harus disiapkan untuk mendukung
kebijakan tersebut termasuk politik hukum yang berlaku atas pengelolaan
dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam. Sepanjang kebijakan
pemerintah masih menjadikan tanah dan sumber daya alam sebagai bahan
baku utama untuk menghasilkan devisa tanpa disertai upaya-upaya
perlindungannya, maka paradigma ekonomi hijau hanya sebatas slogan
belaka.

5
ibid
6
Laksmi Dhewanthi, Kebijakan Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup: Asuransi
bagi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Makalah pada Seminar Nasional
“Peran Asuransi Lingkungan dalam Pemberian Ganti Kerugian bagi Masyarakat dan
Pemulihan Lingkungan, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 13 -9-2012: hlm. 1

4
Berdasarkan paparan permasalahan di atas, dapat diidentifikasikan
beberapa masalah sebagai berikut:

1. Sejauh mana konsep ekonomi hijau (green economy) dapat


diterapkan dalam pengaturan lingkungan hidup di Indonesia, untuk
mendukung pembangunan berkelanjutan?
2. Apakah penerapan konsep ekonomi hijau (green economy) juga
penting dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam?

Untuk menjawab permasalahan yang telah diidentifikasikan di atas, maka


perlu dilakukan penelitian. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan
juridis normatif, dalam arti menggunakan data sekunder sebagai bahan
utama penelitian. Data sekunder terdiri atas bahan hukum primer berupa
peraturan perundang-undangan yang terkait materi penelitian, bahan
hukum sekunder berupa bahan kepustakaan baik literatur, jurnal, artikel
yang terkait dengan materi penelitian. Selain itu, untuk memberi
penjelasan lebih lanjut pada bahan hukum primer dan sekunder,
dipergunakan bahan hukum tersier berupa kamus hukum. Mengingat
materi penelitian terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup,
maka penelitian ini pun menggunakan pendekatan ilmu-ilmu di luar ilmu
hukum seperti ilmu ekonomi dan ilmu lingkungan itu sendiri.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu memaparkan dan


menganalisis data yang diperoleh dari data sekunder untuk kemudian
dianalisis secara juridis kualitatif, dengan menggunakan metode penafsiran
hukum dan konstruksi hukum. Data yang bukan berupa bahan hukum
(ekonomi, lingkungan) tetap dianalisis dengan perspektif hukum.

5
BAB II
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Internalisasi Konsep Ekonomi Hijau (Green Economy) dalam
Pengaturan Lingkungan Hidup di Indonesia untuk Mendukung
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sehingga pembangunan harus didasarkan pada konsep
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)7. Dalam
laporan World Commission on Environment and Development
(WCED) pada tahun 1987 yang berjudul Our Common Future,
pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai development that
meets the needs of the present without compromising the ability of
future generations to meet their own needs 8. Dalam laporan WCED
tersebut diidentifikasi pula beberapa masalah kritis yang perlu
dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan lingkungan dalam
konsep pembangunan yang berkelanjutan, yaitu9:
a. Mendorong pertumbuhan dan meningkatkan kualitas;
b. Mendapatkan kebutuhan pokok mengenai pekerjaan, makanan,
energi, air dan sanitasi;
c. Menjamin tingkat pertumbuhan penduduk yang mendukung
keberlanjutan;
d. Melakukan konservasi dan kemampuan sumber daya ;
e. Orientasi teknologi dan mengelola risiko;
f. Memadukan pertimbangan lingkungan ekonomi dalam proses
pengambilan keputusan.
7
Makmun, Green Economy: Konsep, Implementasi dan Peranan Kementerian
Keuangan, Artikel dalam Jurnal “Ekonomi dan Pembangunan”, LIPI, volume XIX (2) 2011:
hlm. 3.
8
Lihat Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada Press,
Yogyakarta, 2006: hlm. 15.
9
Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan dalam Rangka Pengelolaan (termasuk
Perlindungan) Sumber Daya Alam berbasis Pembangunan Sosial Ekonomi, Makalah pada Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003: hlm. 6.

6
Dengan demikian, masalah-masalah pembangunan sangat erat
kaitannya dengan masalah ekonomi dan lingkungan, sehingga sejak
awal paradigma pembangunan berkelanjutan muncul, dirasa perlu
mengantisipasi masalah-masalah yang timbul terkait dengan kegiatan
pembangunan (ekonomi) dengan lingkungan. Hal di atas dirasa sudah
sangat mendesak untuk di atasi, mengingat pada kenyataannya, yang
dominan menentukan adalah kepentingan ekonomi. Kepentingan
lingkungan selalu diletakan di bawah kepentingan ekonomi. Hal ini
menunjukan paradigma pembangunan yang keliru. Ekonomi harus
menjadi subsistem dari lingkungan10. Bukan sebaliknya. Inilah esensi
pembangunan berkelanjutan dari perspektif pembangunan ekonomi.

Dalam perkembangannya, era globalisasi membawa konsekuensi


pada masalah ketahanan ekonomi. Lemahnya ketahanan ekonomi
suatu negara berdampak pada ketahanan ekonomi negara lainnya.
Suatu negara mempunyai ketahanan ekonomi yang baik jika
mempunyai kemampuan ekonomi yang tidak tergoncangkan oleh
ketidak-pastian yang ditimbulkan oleh globalisasi, serta mampu
memberikan kesejahteraan yang meningkat pada rakyatnya melalui
pembangunan11. Atas dasar hal tersebut, kemudian berkembang konsep
ekonomi hijau (green economy), sebagai konsep yang mendukung
pembangunan berkelanjutan dan penghapusan kemiskinan. Namun
mengingat tidak adanya model pembangunan berkelanjutan yang sama
untuk seluruh negara, maka konsep ekonomi hijau difahami secara
berbeda pula, dengan mempertimbangkan berbagai kendala pada
masing-masing negara.

10
Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Penerbit KOMPAS, Jakarta, 2010:
hlm. 135.
11
Makmun , Op.Cit.: hlm. 5

7
Secara sederhana, pengertian ekonomi hijau dirumuskan sebagai
kegiatan perekonomian yang tidak merugikan atau merusak
lingkungan. Sementara itu, United Nation Environment Programme
(UNEP) mengaitkan pengertian ekonomi hijau dengan makna ekonomi
yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial, dengan
memberikan pengertian bahwa12:
Greening the economy refers to the process of reconfiguring business
and infrastructure to deliver better returns on natural, human and
economic capital investments, while at the same time reducing
greenhouse gas emissions, extracting and using less natural
recources, creating less waste and reducing social disparities.
Dengan demikian ekonomi hijau merupakan kegiatan ekonomi
yang selain dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan
akhir kegiatan ekonomi, juga diharapkan memberi dampak tercapainya
keadilan, baik keadilan bagi masyarakat maupun lingkungan dan
sumber daya alam itu sendiri. Filosofi ekonomi hijau adalah adanya
keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi rakyat dan keadilan sosial
dengan tetap mengurangi resiko-resiko kerusakan lingkungan dan
ekologi13. Dalam hal inilah esensi ekonomi hijau sebagai model
pembangunan ekonomi yang berbasis pembangunan berkelanjutan.

Konsep ekonomi hijau (green economy) menjadi paradigma dalam


pembangunan berkelanjutan yang penting dalam menanggulangi
dampak perubahan iklim yang terjadi. Ekonomi hijau kurang lebih
menjadi jawaban dari ekonomi coklat, yaitu kegiatan ekonomi yang
memproduksi banyak karbon. Ekonomi coklat merupakan kegiatan
ekonomi yang menggunakan energi secara tidak efisien (boros) tetapi
secara sosial tidak cukup inklusif, yaitu tidak melibatkan banyak orang

12
www.unep.org/greeneconomy, diunduh 3 Juni 2012.

13
Velix Wanggai, Menuju Ekonomi Hijau, Artikel pada Jurnal Nasional, Jakarta,
28 Juni 2012: hlm. 7.

8
dalam proses pengambilan keputusannya14. Dalam kaitannya dengan
pengelolaan dan pemanfaatan bahan tambang dan mineral batu bara
misalnya, kegiatan ekonomi coklat sangat dominan. Selain berdampak
buruk pada kualitas lingkungan, munculnya kasus-kasus pertambangan
di Freeport atau Newmont menunjukan bahwa secara sosial masih
sangat eksklusif, tidak mewujudkan keadilan sosial. Manfaat dari
eksploitasi tambang tersebut sebagian besar dinikmati hanya oleh
sebagian kecil orang/kelompok dalam bentuk izin atau hak-hak
pemanfaatan yang diperolehnya. Padahal dampak negatif dari kegiatan
pertambangan tersebut justru ditanggung oleh masyarakat sekitar yang
menanggung kerusakan lingkungan15. Hal inilah yang ingin
diminimalisir/dihindari melalui pembangunan berparadigma ekonomi
hijau (green economy).

Dalam kaitannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber


daya alam, ekonomi hijau harus dapat merubah pola pemanfaatan
sumber daya alam yang eksploratif dan berjangka pendek ke pola
pemanfaatan sumber daya alam yang berorientasi jangka panjang,
mengacu pada 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan (pilar
ekonomi, pilar sosial dan pilar ekologis), serta bertumpu pada daya
dukung dan daya tampung lingkungan. Pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam pada pilar ekonomi, sosial dan ekologis merupakan
syarat penting mewujudkan pembangunan berkelanjutan, sebagaimana
disepakati dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg
tahun 2002. Ketiga pilar tersebut harus dijalankan secara terintegrasi
dan saling memperkuat satu sama lain16. Implementasinya memang
14
Sonny Mumbunan, Ekonomi Hijau dan Pemerintahan Bersih,
www.perspektifbaru.com, diunduh 1 Juni 2012.
15
Hariadi Kartodihaedjo dan Hira Jhamtani (penyunting), Politik Lingkungan
dan kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing Indonesia-Ford Foundation, Jakarta,
2006: hlm. 7
16
Otto Soemarwoto, Pembangunan Berkelanjutan antar Konsep dan Realitas,
Ceramah umum ulang tahun Otto Soemarwoto ke-80 di Universitas Padjadjaran,
Bandung, 20 Februari 2006: hlm. 11.

9
tidak mudah, karena yang sering terjadi adalah justru pertentangan
diantara ketiga pilar pembangunan tersebut17. Dalam kaitan dengan
implementasi ketiga pilar pembangunan berkelanjutan di atas, maka
konsep ekonomi hijau melengkapinya, bahkan ekonomi hijau menjadi
motor penggerak pembangunan berkelanjutan.

Ekonomi hijau menurut Cato, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut18:


a. Suatu ekonomi hijau merupakan ekonomi yang berbasis lokal;
b. Dalam ekonomi hijau, orang-orang akan berhubungan satu
dengan yang lain lebih dulu dan baru kemudian berdagang.
Pasar dipandang sebagai tempat bersosialisasi dan persahabatan
yang menyenangkan di mana berita dan pandangan politik
dipertukarkan seperti halnya barang dan uang;
c. Ekonomi hijau sangat mungkin melibatkan distribusi aset
dengan menggunakan harta warisan yang ditingkatkan dan pajak
capital gain;
d. Dalam ekonomi hijau, pajak kemungkinan digunakan juga
secara strategis untuk mempengaruhi kekuasaan dan perilaku
bisnis. Dominasi neoliberal dari pembuatan keputusan
mengakibatkan pergeseran pajak dari korporasi ke pendapatan
dari penduduk swasta;
e. Ekonomi hijau akan dipandu oleh nilai keberlanjutan daripada
oleh nilai uang;
f. Ekonomi hijau akan meninggalkan kecanduan pada
pertumbuhan ekonomi dan mengarah pada ekonomi steady-
state;

17
Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009: hlm. 212.
18
Cato, M.S., Green Economics: An Introduction to Theory, Policy and Practice,
earthscan, London, 2009, dalam Sudarsono Soedomo, Ekonomi Hijau: Pendekatan
Sosial, Kultural dan Teknologi, makalah pada Diskusi “Konsep Ekonomi
Hijau/Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan untuk Indonesia, Jakarta 14 Juli 2010:
hlm. 6-7

10
g. Ekonomi hijau akan menjadi ekonomi yang ramah di mana
hubungan dan komunitas menjadi pengganti konsumsi dan
teknologi;
h. Ekonomi hijau memberi peran yang lebih luas bagi ekonomi
informal dan sistem koperasi dan berbasis komunitas yang
saling mendukung;
i. Dalam ekonomi hijau, sistem kesehatan akan fokus pada
pengembangan kesehatan yang baik dan penyediaan perawatan
primer, berbasis lokal daripada obat berteknologi tinggi dan
perusahaan farmasi yang luas;
j. Ekonomi hijau akan menggantikan bahan bakar fosil dan sistem
pertanian intensif dengan pertanian organik dan berbagai sistem
seperti pertanian dengan dukungan komunitas, di mana manusia
terhubung lebih dekat dengan sumber pangannya.

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup tidak memberikan pengertian atau ciri-ciri ekonomi
hijau. Namun terkait ekonomi lingkungan (yang tentu saja berbeda
maknanya dengan ekonomi hijau), UUPPLH menyinggungnya dalam
kaitannya dengan instrumen ekonomi lingkungan. Pasal 1 angka 33
UUPPLH menegaskan bahwa instrumen ekonomi lingkungan adalah
seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah,
pemerintah daerah atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Pengertian tersebut tentunya tidak memadai untuk
ditafsirkan bahwa kebijakan ekonomi tersebut dalam konteks ekonomi
hijau, karena hanya mengarah kepada isu pelestarian fungsi
lingkungan saja, belum mengarah pada isu kesejahteraan dan keadilan
sosial sebagai isu utama dalam ekonomi hijau. Namun dalam konteks
penafsiran hukum yang memperluas (extensif interpretatie) maka
pemahaman isu pelestarian fungsi lingkungan harus dimaknai
termasuk juga isu kesejahteraan dan isu keadilan sosial.

11
Demikian juga halnya dengan pengaturan mengenai instrumen
ekonomi lingkungan yang terdapat dalam Pasal 42 dan Pasal 43
UUPLH. Secara tersurat, kedua pasal tersebut belum memaknai dan
memberikan ciri-ciri ekonomi hijau. Namun, jika menelaah penjelasan
atas Pasal 42 dan Pasal 43 UUPPLH tersebut, kiranya pada tataran
peraturan pelaksanaan UUPPLH dapat mengakomodasikan ciri-ciri
ekonomi hijau pada prinsip-prinsip ekonomi lingkungan dan pada
akhirnya dapat dituangkan dalam bentuk kaidah antara (tussennorm)
ataupun kaidah pelaksana (casusnorm). Internalisasi aspek instrumen
ekonomi ke dalam aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dapat sekaligus disertai dengan unsur-unsur “ekonomi
hijau”nya, sehingga pengaturan itu tidak saja mencakup aspek
pelestarian lingkungan saja tetapi juga aspek kesejahteraan dan
keadilan sosial, sebagai ciri utama ekonomi hijau.

Pasal 42 dan Pasal 43 UUPPLH dapat dimaknai sebagai kaidah


antara (tussennorm) yang menjembatani prinsip-prinsip dasar hukum
lingkungan, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan termasuk di
dalamnya prinsip-prinsip ekonomi hijau, sebagai kaidah dasar
(grundnorm) dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Sebagai
kaidah antara (tussennorm), Pasal 42 dan Pasal 43 UUPPLH harus
dapat menjadi cantolan (ratio legis/reasoning) terbentuknya kaidah-
kaidah pelaksana (casusnorm) dari pengaturan tentang ekonomi hijau
dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian internalisasi konsep
ekonomi hijau dalam pembangunan nasional mempunyai dasar hukum
yang baik.

Misalnya penegasan Pasal 42 UUPPLH yang menyatakan bahwa


Pemerintah dan pemerintah daerah “wajib” mengembangkan dan
menerapkan instrumen ekonomi lingkungan. Ketentuan ini harus
dimaknai dengan penafsiran sistematis dan penafsiran sosiologis.
Secara sistematis maksudnya bahwa memaknai ketentuan tersebut

12
harus beserta mengkaji dan memaknainya dengan sumber-sumber
hukum formal lainnya seperti hukum kebiasaan/adat, traktat/perjanjian
ataupun yurisprudensi. Tidak cukup hanya sebatas peraturan
perundang-undangan yang terkait. Secara penafsiran sosiologis
maksudnya bahwa memaknai ketentuan tersebut harus sejalan dengan
tujuan dan manfaat ketentuan itu dibuat. Dengan demikian harus
memperhatikan aspek kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Dengan memaknai Pasal 42 UUPPLH disertai penafsiran hukum
sistematis dan sosiologis, maka hakikat dasar dari ekonomi hijau untuk
pelestarian lingkungan dapat termasuk didalamnya. Uraian mengenai
instrumen ekonomi lingkungan yang meliputi perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan serta
insentif dan/atau disinsentif sebagaimana diuraikan pada Pasal 43
UUPPLH beserta penjelasannya, harus ditafsirkan juga dari perspektif
penafsiran hukum sistematis dan sosiologis, sehingga paradigma
ekonomi hijau dapat termasuk ke dalamnya.

Terkait dengan penganggaran kegiatan pembangunan, ketentuan


Pasal 45 UUPPLH dapat dimaknai sebagai penganggaran kegiatan
pembangunan yang berorientasi pada aspek lingkungan (green
budgeting), karena Pasal 45 UUPPLH mewajibkan kepada Pemerintah
dan DPR serta Pemda dan DPRD mengalokasikan anggaran yang
memadai untuk membiayai kegiatan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan serta program pembangunan yang berwawasan lingkungan
hidup. Selain itu, Pemerintah juga wajib mengalokasikan anggaran
dana alokasi khusus lingkungan yang memadai untuk diberikan kepada
daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang baik. Senada dengan ketentuan Pasal 45
UUPPLH, Pasal 46 UUPPLH pun menetapkan ketentuan yang sama
dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan yang kualitasnya telah
mengalami pencemaran dan/atau kerusakan.

13
Dengan demikian, meskipun secara eksplisit kaidah-kaidah
pengaturan ekonomi hijau dalam hukum positif Indonesia yang
mengatur lingkungan hidup belum ada, namun kiranya kekosongan
tersebut dapat dijembatani oleh metode-metode penafsiran hukum
yang berlaku. Hal tersebut juga harus ditunjang oleh aparatur
pelaksana yang menjalankan peraturan dan kebijakan secara green
procurement dan mengedepankan good governance. Dengan
demikian, ekonomi hijau dapat menjadi paradigma dalam
pembangunan (ekonomi) Indonesia yang berwawasan lingkungan.

2. Urgensi Konsep Paradigma Ekonomi Hijau (Green Economy)


dalam Pengaturan dan Kebijakan Pengelolaan dan Pemanfaatan
Sumber Daya Alam untuk Mendukung Pembangunan
Berkelanjutan
Penerapan konsep ekonomi hijau (green economy) pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup saja sebagaimana dikemukakan di atas, kiranya tidak
cukup. Hal tersebut seyogianya diterapkan pula pada seluruh sektor
yang terkait dengan bidang dan/atau sektor pembangunan, lebih
khusus lagi pada kegiatan pembangunan yang menggunakan sumber
daya alam sebagai bahan dasar kegiatannya. Disinilah arti penting
sinergi ketiga pilar (ekonomi, sosial dan ekologi) dari pembangunan
berkelanjutan. Di mana kegiatan pembangunan ekonomi yang berbasis
sumber daya alam dan lingkungan selain ditujukan untuk mendukung
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, membawa dampak yang
signifikan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi tetap
mengedepankan upaya-upaya perlindungan dan pelestarian
lingkungan.

14
Menurut The Global Green Economy Index, paling tidak ada 4
dimensi yang dipakai untuk mengukur keberhasilan suatu negara
mempromosikan model ekonomi hijau dalam mendukung kegiatan
pembangunannya. Keempat aspek itu adalah: komitmen pemimpin
nasional, kebijakan domestik yang ramah lingkungan, investasi yang
ramah lingkungan, dan kegiatan ekonomi seperti wisata yang
berdimensi lingkungan19. Peran aktif Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam berbagai pertemuan internasional terkaitan
penyelamatan lingkungan dan sumber daya alam, belumlah cukup.
Yang jauh lebih penting adalah bagaimana implementasinya dalam
hukum positif Indonesia, yang mengatur pemanfaatan sumber daya
alam dan pelestarian lingkungan. Dengan demikian, konsep ekonomi
hijau (green economy) harus menjadi paradigma dalam pengaturan dan
kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini
dikarenakan pembangunan ekonomi nasional masih memanfaatkan
sumber daya alam sebagai sumber utama dalam rangka meningkatkan
pendapatan negara melalui pajak, retribusi ataupun bagi hasil atas
pemanfaatan sumber daya alam seperti migas, tambang, perkebunan,
kehutanan dan sebagainya.

Agar hal tersebut dapat berlangsung tanpa merusak dan


menurunkan kualitas lingkungan dan sumber daya alam itu sendiri,
maka konsep ekonomi hijau pun perlu diinternalisasikan ke dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan
dan pemanfaatan berbagai sumber daya alam yang ada. Baik itu ke
dalam peraturan perundang-undangan di sektor pertambangan, migas,
kehutanan, perkebunan, kelautan dan pesisir maupun pertanahan.
Proses internalisasi konsep ekonomi hijau (green economy) dalam
pengaturan dan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam, harus didasari oleh prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya

19
Velix Wanggai, Op. Cit.

15
alam yang terdapat dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yaitu:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan NKRI;
b. Menghormati dan menjunjung tinggi HAM;
c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasikan
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas
SDM Indonesia;
e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi
dan optimalisasi partisipasi rakyat;
f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam
penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan
pemeliharaan sumber daya agraria/ sumber daya alam;
g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang
optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi
mendatang dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya
dukung lingkungan;
h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor
pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
j. Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum
adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya
agraria/sumber daya alam;
k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa
atau yang setingkat) masyarakat dan individu;
l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di
tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau

16
yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan
sumber daya agraria/sumber daya alam.

Kedua belas prinsip pengelolaan sumber daya alam di atas, jika


disimpulkan mengerucut pada 3 prinsip utama, yaitu20:

a. Prinsip demokratis, dalam dimensi kesetaraan antara pemerintah


dengan rakyat, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan
good governance dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber
daya alam;
b. Prinsip keadilan, dalam dimensi filosofis baik keadilan
intergenerasi maupun keadilan antar generasi dalam upaya
mengakses sumber daya agraria;
c. Prinsip keberlanjutan, dalam dimensi kelestarian fungsi dan
manfaat yang berdaya guna dan berhasil guna.

Ketiga prinsip utama tersebut kiranya selaras dengan pilar


ekonomi, pilar sosial dan pilar ekologi dari pembangunan
berkelanjutan. Pilar ekonomi dan sosial harus mengacu pada prinsip
demokrasi dan keadilan, sedangkan pilar ekologi tentunya harus
mengacu pada prinsip keberlanjutannya. Untuk mengintegrasikan
prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam ke dalam pengaturan
dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam, terutama pada tataran
pelaksanaan, maka political will pemerintah menjadi hal yang sangat
penting21. Political will diwujudkan dengan merumuskan peraturan
perundang-undangan hijau ( green regulation) dan menumbuhkan
kebijakan hijau (green policy) untuk melaksanakan praktek
pembangunan yang ramah lingkungan (environmentally-friendly

20
Maria Sumardjono, Transnasional Justice atas Hak Sumber Daya Alam, tulisan
dalam buku Himpunan tulisan Komnas HAM: Keadilan dalam Masa Transisi, Komnas
HAM-Jakarta, 2001: hlm. 7.
21
Hasim Purba, Reformasi Agraria dan Tanah untuk Rakyat: Sengketa Petani
vs Perkebunan, artikel pada Jurnal Law Review, Volume X, No. 2 November 2010: hlm.
174

17
practices)22. Tanpa political will pemerintah, prinsip-prinsip
pengelolaan sumber daya alam tersebut kehilangan roh-nya, tidak
bermakna apapun. Hal ini tentunya untuk sulit mendorong pengusaha
sebagai partner pemerintah untuk melakukan kegiatan pembangunan
ekonomi yang berbasis ekonomi hijau (green economy).

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Internalisasi konsep ekonomi hijau (green economy) ke dalam
peraturan perundang-undangan dan kebijakan pengelolaan dan
22
Daud Silalahi, Fungsi dan Peran Asuransi dalam Perlindungan dan Penegakan
Hukum Lingkungan, Makalah pada Seminar Nasional “Peran Asuransi Lingkungan dalam
Pemberian Ganti Kerugian bagi Masyarakat dan Pemulihan Lingkungan, Fakultas Hukum
Unpad, Bandung 13 September 2012: hlm. 7.

18
pemanfaatan sumber daya alam serta pelestarian lingkungan untuk
mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan Indonesia,
merupakan suatu keniscayaan. Sebagai suatu keniscayaan, maka menjadi
tanggung jawab dan kewajiban kita semua untuk mewujudkannya.
Dokumen The Future We Want yang dihasilkan pada Konferensi Rio+20
bulan Juni 2012 yang lalu menunjukan komitmen bangsa-bangsa di dunia
untuk melakukan pembangunan berparadigma ekonomi hijau.

Untuk mewujudkan hal itu, Indonesia perlu merubah pola


pembangunan ekonominya dari mengejar pertumbuhan ekonomi yang
tinggi ke pembangunan ekonomi yang mengoptimalisasikan pertumbuhan
itu sendiri, karena pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan telah
membawa dampak sosial pada masyarakat berupa kemiskinan,
ketimpangan ekonomi dan sosial, serta berdampak pada merosotnya
kualitas lingkungan dan keanekaragaman hayati. Dengan demikian
pembangunan Indonesia harus beralih dari pembangunan ekonomi yang
mengejar pertumbuhan menjadi pembangunan yang mensinergikan
pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Untuk itu, peran peraturan peraturan perundang-undangan dan


kebijakan yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam
menjadi sangat urgen. Baik pada tataran pembentukan aturan dan
kebijakan, terlebih lagi pada tataran implementasinya. Pemberian izin-izin
usaha pertambangan dan kehutanan serta Hak Guna Usaha (HGU)
perkebunan pada korporasi-korporasi besar dengan pengawasan yang
lemah, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang tidak terkendali;
merupakan sebagian kecil hal-hal yang harus ditata kembali
pengaturannya dengan bentuk pengaturan yang berbasis efisiensi
penggunaan sumber daya alam, pola konsumsi dan produksi yang
berkelanjutan dengan memasukan unsur-unsur biaya lingkungan dan
ekonomi.

19
Daftar Pustaka

Akhmad Fauzi, Ekonomi Hijau untuk Bumi, Artikel pada Surat Kabar Harian
KOMPAS, Jakarta, 7 Juli 2012

Cato, M.S., Green Economics: An Introduction to Theory, Policy and Practice,


earthscan, London, 2009, dalam Sudarsono Soedomo, Ekonomi Hijau:
Pendekatan Sosial, Kultural dan Teknologi, makalah pada Diskusi

20
“Konsep Ekonomi Hijau/Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan
untuk Indonesia, Jakarta 14 Juli 2010

Chay Asdak, Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Jalan Menuju Pembangunan


Berkelanjutan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2012

Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan dalam Rangka Pengelolaan


(termasuk Perlindungan) Sumber Daya Alam berbasis Pembangunan
Sosial Ekonomi, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII, Bali 14-18 Juli 2003

----------, Fungsi dan Peran Asuransi dalam Perlindungan dan Penegakan Hukum
Lingkungan, Makalah pada Seminar Nasional “Peran Asuransi
Lingkungan dalam Pemberian Ganti Kerugian bagi Masyarakat dan
Pemulihan Lingkungan, Fakultas Hukum Unpad, Bandung 13 September
2012

Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian, Strategi dan
Kebijakan Pengelolaan Lahan, Jakarta, 2005

Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Penerbit KOMPAS, Jakarta,
2010

Hariadi Kartodihaedjo dan Hira Jhamtani (penyunting), Politik Lingkungan dan


kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing Indonesia-Ford Foundation,
Jakarta, 2006

Hasim Purba, Reformasi Agraria dan Tanah untuk Rakyat: Sengketa Petani vs
Perkebunan, artikel pada Jurnal Law Review, Volume X, No. 2 November
2010

Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum,


RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada Press,


Yogyakarta, 2006

Laksmi Dhewanthi, Kebijakan Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup: Asuransi


bagi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Makalah pada
Seminar Nasional “Peran Asuransi Lingkungan dalam Pemberian Ganti
Kerugian bagi Masyarakat dan Pemulihan Lingkungan, Fakultas Hukum
Unpad, Bandung, 13 September 2012
Makmun, Green Economy: Konsep, Implementasi dan Peranan Kementerian
Keuangan, Artikel dalam Jurnal “Ekonomi dan Pembangunan”, LIPI,
volume XIX (2) 2011

21
Maria Sumardjono, Transnasional Justice atas Hak Sumber Daya Alam, tulisan
dalam buku Himpunan tulisan Komnas HAM: Keadilan dalam Masa
Transisi, Komnas HAM-Jakarta, 2001

Otto Soemarwoto, Pembangunan Berkelanjutan antar Konsep dan Realitas,


Ceramah umum ulang tahun Otto Soemarwoto ke-80 di Universitas
Padjadjaran, Bandung, 20 Februari 2006

Towards Green Economy, www.unep.org/wed/greeneconomy, , diunduh 3 Juni


2012
Sonny Mumbunan, Ekonomi Hijau dan Pemerintahan Bersih,
www.perspektifbaru.com, diunduh 1 Juni 2012.

Velix Wanggai, Menuju Ekonomi Hijau, Artikel pada Jurnal Nasional, Jakarta, 28
Juni 2012

-inm-

22

Anda mungkin juga menyukai