Diampu Oleh:
Prof Dr. Edy Lisdiyono,SH.Mhum
Disusun Oleh:
Dila Puspita Dewi
1
BAB I
Pendahuluan
Latar belakang
Meskipun perhatian dunia terhadap masalah-masalah lingkungan
hidup sudah dituangkan sejak 40 tahun yang lalu, dengan
diselenggarakannya Konferensi PBB tentang lingkungan hidup di
Stockholm pada tahun 1972, namun kenyataannya dunia masih
menghadapi 2 masalah besar, yaitu masalah pemenuhan kesejahteraan
rakyat di satu sisi, serta masalah pelestarian fungsi lingkungan dan
pengelolaan sumber daya alam sebagai penopang kehidupan manusia di
sisi lain. Kedua masalah ini pada kenyataannya memang selalu
dipertentangkan. Kegiatan pembangunan ekonomi untuk memenuhi
kesejahteraan rakyat selama ini di Indonesia lebih banyak berbasis kepada
sumber daya alam, mengingat Indonesia memiliki kuantitas dan kualitas
sumber daya alam yang sangat baik. Hal demikian menyebabkan aspek
perlindungan dan pelestarian lingkungan terabaikan, dan menimbulkan
beragam permasalahan lingkungan, seperti pencemaran air dan/atau udara,
kerusakan kualitas tanah, kebakaran dan kerusakan hutan, alih fungsi lahan
pertanian, perubahan iklim dan sebagainya. Kondisi demikian pada
akhirnya mendorong timbulnya kantong-kantong kemiskinan pada
masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumber daya alam dan
lingkungan tersebut.
2
alam. Pembangunan HTI seringkali memicu kebakaran hutan dan lahan
karena pembersihan lahan dilakukan dengan cara pembakaran1. Contoh
lain misalnya, tingginya kegiatan pembangunan suatu wilayah yang
memacu pembangunan infrastruktur telah mendorong timbulnya alih
fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Data Ditjen Pengelolaan Lahan
dan Air (PLA) Kementerian Pertanian pada tahun 2005 menunjukkan
bahwa setiap tahun sekitar 187.720 Ha sawah telah beralih fungsi ke
penggunaan non pertanian, terutama di pulau Jawa2. Alih fungsi lahan ini
pada akhirnya menimbulkan kantong-kantong kemiskinan yang tidak
jarang menimbulkan masalah lingkungan seperti banjir, sanitasi dan
kawasan permukiman yang kumuh.
1
Chay Asdak, Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Jalan Menuju Pembangunan
Berkelanjutan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2012: hlm. 3
2
Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian, Strategi dan
Kebijakan Pengelolaan Lahan, Jakarta, 2005: hlm. 5
3
Akhmad Fauzi, Ekonomi Hijau untuk Bumi, Artikel pada Surat Kabar Harian
KOMPAS, Jakarta, 7 Juli 2012: hlm. 7
4
www.unep.org/wed/greeneconomy, Towards Green Economy, diunduh 3
Juni 2012
3
lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam. Menurut UNEP, ekonomi
hijau merupakan kegiatan perekonomian yang rendah karbon, tidak
mengandalkan bahan bakar fosil, hemat sumber daya alam dan berkeadilan
sosial5. Rumusan demikian, seringkali dicurigai bahwa pembangunan
ekonomi hijau sarat dengan kepentingan-kepentingan perdagangan karbon
(carbon trading) yang mengemuka dalam perundingan tahunan Kerangka
Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC/United Nations
Framework Convention on Climate Change) tentang Pengurangan Emisi
dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD/Reducing Emissions from
Deforestation and Degradation).
5
ibid
6
Laksmi Dhewanthi, Kebijakan Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup: Asuransi
bagi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Makalah pada Seminar Nasional
“Peran Asuransi Lingkungan dalam Pemberian Ganti Kerugian bagi Masyarakat dan
Pemulihan Lingkungan, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 13 -9-2012: hlm. 1
4
Berdasarkan paparan permasalahan di atas, dapat diidentifikasikan
beberapa masalah sebagai berikut:
5
BAB II
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Internalisasi Konsep Ekonomi Hijau (Green Economy) dalam
Pengaturan Lingkungan Hidup di Indonesia untuk Mendukung
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sehingga pembangunan harus didasarkan pada konsep
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)7. Dalam
laporan World Commission on Environment and Development
(WCED) pada tahun 1987 yang berjudul Our Common Future,
pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai development that
meets the needs of the present without compromising the ability of
future generations to meet their own needs 8. Dalam laporan WCED
tersebut diidentifikasi pula beberapa masalah kritis yang perlu
dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan lingkungan dalam
konsep pembangunan yang berkelanjutan, yaitu9:
a. Mendorong pertumbuhan dan meningkatkan kualitas;
b. Mendapatkan kebutuhan pokok mengenai pekerjaan, makanan,
energi, air dan sanitasi;
c. Menjamin tingkat pertumbuhan penduduk yang mendukung
keberlanjutan;
d. Melakukan konservasi dan kemampuan sumber daya ;
e. Orientasi teknologi dan mengelola risiko;
f. Memadukan pertimbangan lingkungan ekonomi dalam proses
pengambilan keputusan.
7
Makmun, Green Economy: Konsep, Implementasi dan Peranan Kementerian
Keuangan, Artikel dalam Jurnal “Ekonomi dan Pembangunan”, LIPI, volume XIX (2) 2011:
hlm. 3.
8
Lihat Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada Press,
Yogyakarta, 2006: hlm. 15.
9
Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan dalam Rangka Pengelolaan (termasuk
Perlindungan) Sumber Daya Alam berbasis Pembangunan Sosial Ekonomi, Makalah pada Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003: hlm. 6.
6
Dengan demikian, masalah-masalah pembangunan sangat erat
kaitannya dengan masalah ekonomi dan lingkungan, sehingga sejak
awal paradigma pembangunan berkelanjutan muncul, dirasa perlu
mengantisipasi masalah-masalah yang timbul terkait dengan kegiatan
pembangunan (ekonomi) dengan lingkungan. Hal di atas dirasa sudah
sangat mendesak untuk di atasi, mengingat pada kenyataannya, yang
dominan menentukan adalah kepentingan ekonomi. Kepentingan
lingkungan selalu diletakan di bawah kepentingan ekonomi. Hal ini
menunjukan paradigma pembangunan yang keliru. Ekonomi harus
menjadi subsistem dari lingkungan10. Bukan sebaliknya. Inilah esensi
pembangunan berkelanjutan dari perspektif pembangunan ekonomi.
10
Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Penerbit KOMPAS, Jakarta, 2010:
hlm. 135.
11
Makmun , Op.Cit.: hlm. 5
7
Secara sederhana, pengertian ekonomi hijau dirumuskan sebagai
kegiatan perekonomian yang tidak merugikan atau merusak
lingkungan. Sementara itu, United Nation Environment Programme
(UNEP) mengaitkan pengertian ekonomi hijau dengan makna ekonomi
yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial, dengan
memberikan pengertian bahwa12:
Greening the economy refers to the process of reconfiguring business
and infrastructure to deliver better returns on natural, human and
economic capital investments, while at the same time reducing
greenhouse gas emissions, extracting and using less natural
recources, creating less waste and reducing social disparities.
Dengan demikian ekonomi hijau merupakan kegiatan ekonomi
yang selain dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan
akhir kegiatan ekonomi, juga diharapkan memberi dampak tercapainya
keadilan, baik keadilan bagi masyarakat maupun lingkungan dan
sumber daya alam itu sendiri. Filosofi ekonomi hijau adalah adanya
keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi rakyat dan keadilan sosial
dengan tetap mengurangi resiko-resiko kerusakan lingkungan dan
ekologi13. Dalam hal inilah esensi ekonomi hijau sebagai model
pembangunan ekonomi yang berbasis pembangunan berkelanjutan.
12
www.unep.org/greeneconomy, diunduh 3 Juni 2012.
13
Velix Wanggai, Menuju Ekonomi Hijau, Artikel pada Jurnal Nasional, Jakarta,
28 Juni 2012: hlm. 7.
8
dalam proses pengambilan keputusannya14. Dalam kaitannya dengan
pengelolaan dan pemanfaatan bahan tambang dan mineral batu bara
misalnya, kegiatan ekonomi coklat sangat dominan. Selain berdampak
buruk pada kualitas lingkungan, munculnya kasus-kasus pertambangan
di Freeport atau Newmont menunjukan bahwa secara sosial masih
sangat eksklusif, tidak mewujudkan keadilan sosial. Manfaat dari
eksploitasi tambang tersebut sebagian besar dinikmati hanya oleh
sebagian kecil orang/kelompok dalam bentuk izin atau hak-hak
pemanfaatan yang diperolehnya. Padahal dampak negatif dari kegiatan
pertambangan tersebut justru ditanggung oleh masyarakat sekitar yang
menanggung kerusakan lingkungan15. Hal inilah yang ingin
diminimalisir/dihindari melalui pembangunan berparadigma ekonomi
hijau (green economy).
9
tidak mudah, karena yang sering terjadi adalah justru pertentangan
diantara ketiga pilar pembangunan tersebut17. Dalam kaitan dengan
implementasi ketiga pilar pembangunan berkelanjutan di atas, maka
konsep ekonomi hijau melengkapinya, bahkan ekonomi hijau menjadi
motor penggerak pembangunan berkelanjutan.
17
Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009: hlm. 212.
18
Cato, M.S., Green Economics: An Introduction to Theory, Policy and Practice,
earthscan, London, 2009, dalam Sudarsono Soedomo, Ekonomi Hijau: Pendekatan
Sosial, Kultural dan Teknologi, makalah pada Diskusi “Konsep Ekonomi
Hijau/Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan untuk Indonesia, Jakarta 14 Juli 2010:
hlm. 6-7
10
g. Ekonomi hijau akan menjadi ekonomi yang ramah di mana
hubungan dan komunitas menjadi pengganti konsumsi dan
teknologi;
h. Ekonomi hijau memberi peran yang lebih luas bagi ekonomi
informal dan sistem koperasi dan berbasis komunitas yang
saling mendukung;
i. Dalam ekonomi hijau, sistem kesehatan akan fokus pada
pengembangan kesehatan yang baik dan penyediaan perawatan
primer, berbasis lokal daripada obat berteknologi tinggi dan
perusahaan farmasi yang luas;
j. Ekonomi hijau akan menggantikan bahan bakar fosil dan sistem
pertanian intensif dengan pertanian organik dan berbagai sistem
seperti pertanian dengan dukungan komunitas, di mana manusia
terhubung lebih dekat dengan sumber pangannya.
11
Demikian juga halnya dengan pengaturan mengenai instrumen
ekonomi lingkungan yang terdapat dalam Pasal 42 dan Pasal 43
UUPLH. Secara tersurat, kedua pasal tersebut belum memaknai dan
memberikan ciri-ciri ekonomi hijau. Namun, jika menelaah penjelasan
atas Pasal 42 dan Pasal 43 UUPPLH tersebut, kiranya pada tataran
peraturan pelaksanaan UUPPLH dapat mengakomodasikan ciri-ciri
ekonomi hijau pada prinsip-prinsip ekonomi lingkungan dan pada
akhirnya dapat dituangkan dalam bentuk kaidah antara (tussennorm)
ataupun kaidah pelaksana (casusnorm). Internalisasi aspek instrumen
ekonomi ke dalam aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dapat sekaligus disertai dengan unsur-unsur “ekonomi
hijau”nya, sehingga pengaturan itu tidak saja mencakup aspek
pelestarian lingkungan saja tetapi juga aspek kesejahteraan dan
keadilan sosial, sebagai ciri utama ekonomi hijau.
12
harus beserta mengkaji dan memaknainya dengan sumber-sumber
hukum formal lainnya seperti hukum kebiasaan/adat, traktat/perjanjian
ataupun yurisprudensi. Tidak cukup hanya sebatas peraturan
perundang-undangan yang terkait. Secara penafsiran sosiologis
maksudnya bahwa memaknai ketentuan tersebut harus sejalan dengan
tujuan dan manfaat ketentuan itu dibuat. Dengan demikian harus
memperhatikan aspek kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Dengan memaknai Pasal 42 UUPPLH disertai penafsiran hukum
sistematis dan sosiologis, maka hakikat dasar dari ekonomi hijau untuk
pelestarian lingkungan dapat termasuk didalamnya. Uraian mengenai
instrumen ekonomi lingkungan yang meliputi perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan serta
insentif dan/atau disinsentif sebagaimana diuraikan pada Pasal 43
UUPPLH beserta penjelasannya, harus ditafsirkan juga dari perspektif
penafsiran hukum sistematis dan sosiologis, sehingga paradigma
ekonomi hijau dapat termasuk ke dalamnya.
13
Dengan demikian, meskipun secara eksplisit kaidah-kaidah
pengaturan ekonomi hijau dalam hukum positif Indonesia yang
mengatur lingkungan hidup belum ada, namun kiranya kekosongan
tersebut dapat dijembatani oleh metode-metode penafsiran hukum
yang berlaku. Hal tersebut juga harus ditunjang oleh aparatur
pelaksana yang menjalankan peraturan dan kebijakan secara green
procurement dan mengedepankan good governance. Dengan
demikian, ekonomi hijau dapat menjadi paradigma dalam
pembangunan (ekonomi) Indonesia yang berwawasan lingkungan.
14
Menurut The Global Green Economy Index, paling tidak ada 4
dimensi yang dipakai untuk mengukur keberhasilan suatu negara
mempromosikan model ekonomi hijau dalam mendukung kegiatan
pembangunannya. Keempat aspek itu adalah: komitmen pemimpin
nasional, kebijakan domestik yang ramah lingkungan, investasi yang
ramah lingkungan, dan kegiatan ekonomi seperti wisata yang
berdimensi lingkungan19. Peran aktif Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam berbagai pertemuan internasional terkaitan
penyelamatan lingkungan dan sumber daya alam, belumlah cukup.
Yang jauh lebih penting adalah bagaimana implementasinya dalam
hukum positif Indonesia, yang mengatur pemanfaatan sumber daya
alam dan pelestarian lingkungan. Dengan demikian, konsep ekonomi
hijau (green economy) harus menjadi paradigma dalam pengaturan dan
kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini
dikarenakan pembangunan ekonomi nasional masih memanfaatkan
sumber daya alam sebagai sumber utama dalam rangka meningkatkan
pendapatan negara melalui pajak, retribusi ataupun bagi hasil atas
pemanfaatan sumber daya alam seperti migas, tambang, perkebunan,
kehutanan dan sebagainya.
19
Velix Wanggai, Op. Cit.
15
alam yang terdapat dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yaitu:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan NKRI;
b. Menghormati dan menjunjung tinggi HAM;
c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasikan
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas
SDM Indonesia;
e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi
dan optimalisasi partisipasi rakyat;
f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam
penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan
pemeliharaan sumber daya agraria/ sumber daya alam;
g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang
optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi
mendatang dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya
dukung lingkungan;
h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor
pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
j. Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum
adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya
agraria/sumber daya alam;
k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa
atau yang setingkat) masyarakat dan individu;
l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di
tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau
16
yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan
sumber daya agraria/sumber daya alam.
20
Maria Sumardjono, Transnasional Justice atas Hak Sumber Daya Alam, tulisan
dalam buku Himpunan tulisan Komnas HAM: Keadilan dalam Masa Transisi, Komnas
HAM-Jakarta, 2001: hlm. 7.
21
Hasim Purba, Reformasi Agraria dan Tanah untuk Rakyat: Sengketa Petani
vs Perkebunan, artikel pada Jurnal Law Review, Volume X, No. 2 November 2010: hlm.
174
17
practices)22. Tanpa political will pemerintah, prinsip-prinsip
pengelolaan sumber daya alam tersebut kehilangan roh-nya, tidak
bermakna apapun. Hal ini tentunya untuk sulit mendorong pengusaha
sebagai partner pemerintah untuk melakukan kegiatan pembangunan
ekonomi yang berbasis ekonomi hijau (green economy).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Internalisasi konsep ekonomi hijau (green economy) ke dalam
peraturan perundang-undangan dan kebijakan pengelolaan dan
22
Daud Silalahi, Fungsi dan Peran Asuransi dalam Perlindungan dan Penegakan
Hukum Lingkungan, Makalah pada Seminar Nasional “Peran Asuransi Lingkungan dalam
Pemberian Ganti Kerugian bagi Masyarakat dan Pemulihan Lingkungan, Fakultas Hukum
Unpad, Bandung 13 September 2012: hlm. 7.
18
pemanfaatan sumber daya alam serta pelestarian lingkungan untuk
mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan Indonesia,
merupakan suatu keniscayaan. Sebagai suatu keniscayaan, maka menjadi
tanggung jawab dan kewajiban kita semua untuk mewujudkannya.
Dokumen The Future We Want yang dihasilkan pada Konferensi Rio+20
bulan Juni 2012 yang lalu menunjukan komitmen bangsa-bangsa di dunia
untuk melakukan pembangunan berparadigma ekonomi hijau.
19
Daftar Pustaka
Akhmad Fauzi, Ekonomi Hijau untuk Bumi, Artikel pada Surat Kabar Harian
KOMPAS, Jakarta, 7 Juli 2012
20
“Konsep Ekonomi Hijau/Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan
untuk Indonesia, Jakarta 14 Juli 2010
----------, Fungsi dan Peran Asuransi dalam Perlindungan dan Penegakan Hukum
Lingkungan, Makalah pada Seminar Nasional “Peran Asuransi
Lingkungan dalam Pemberian Ganti Kerugian bagi Masyarakat dan
Pemulihan Lingkungan, Fakultas Hukum Unpad, Bandung 13 September
2012
Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian, Strategi dan
Kebijakan Pengelolaan Lahan, Jakarta, 2005
Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Penerbit KOMPAS, Jakarta,
2010
Hasim Purba, Reformasi Agraria dan Tanah untuk Rakyat: Sengketa Petani vs
Perkebunan, artikel pada Jurnal Law Review, Volume X, No. 2 November
2010
21
Maria Sumardjono, Transnasional Justice atas Hak Sumber Daya Alam, tulisan
dalam buku Himpunan tulisan Komnas HAM: Keadilan dalam Masa
Transisi, Komnas HAM-Jakarta, 2001
Velix Wanggai, Menuju Ekonomi Hijau, Artikel pada Jurnal Nasional, Jakarta, 28
Juni 2012
-inm-
22