Anda di halaman 1dari 28

POKOK BAHASAN IV : KEBIJAKAN LINGKUNGAN

IV.1. SUB POKOK BAHASAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN


(Sustainable Development)
1.1. Pendahuluan
1.1.1. Deskripsi
Sub pokok bahasan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development). Di dalamnya juga membahas sejarah dari pembangunan
berkelanjutan, implementasi di Indonesia dan kebijakan yang berkaitan dengan
pembangunan berkelanjutan.

1.1.2. Relevansi
Bagi seorang Perekayasa Lingkungan yang kelak akan terjun di
masyarakat maka seharusnya dibekali pengetahuan tentang pembangunan
berkelanjutan sehingga nantinya bisa mengimplementasikan ke dalam kebijakan
yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan.

1.1.3. Kompetensi Dasar


Dengan diberikan pengertian pembangunan berkelanjutan diharapkan
mahasiswa kelak sebagai pengambil keputusan bisa mengimplementasikan tiga
pilar dalam pembangunan berkelanjutan.

1.2. Penyajian
1.2.1. Pembangunan Berkelanjutan dan Peran Aktif Masyarakat
Pada tahun 1987 World Commision on Environment and Development
(WCED) mengumumkan laporan yang berjudul Our Common Future (Hari Depan
Kita Bersama). Tema inti Komisi Sedunia Lingkungan Hidup dan Pembangunan
ini adalah pembangunan yang berkelanjutan yang didefinisikan sebagai
pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Pada dasarnya setiap pemanfaatan dan pengelolaan sumber

IV.1
daya alam memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan.
Kesepakatan dunia yang dikenal sebagai Agenda 21 menggunakan
empat pilar sebagai tolok ukur pembangunan berkelanjutan, keempat pilar
tersebut adalah: Pro-lingkungan hidup (environmental friendly), Pro-rakyat miskin
(poverty alleviation), Pro-perempuan (gender oriented), dan Pro-lapangan kerja
(job creation). Keempat pilar ini hanya dapat terlaksana apabila ada partisipasi
masyarakat dan penerapan demokrasi yang utuh. Dalam prakteknya harus ada
kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat untuk
mengimplementasikan pembangunan, kebijaksanaan atau peraturan tertentu.
Jadi masyarakat bukan lagi menjadi obyek pembangunan, tetapi merupakan
pelaku aktif (subyek) pembangunan itu sendiri. Masyarakat wajib diikutsertakan
dan dilibatkan secara aktif-interaktif sejak tahap perencanaan hingga
pengendalian agar memahami dan menghayati what, why, how, when dan
where dari suatu kebijakan yang ada. Dengan demikian diharapkan bahwa
dampak yang terjadi akibat penentuan kebijakan eksploitasi sumber daya alam
yang hanya dibatasi oleh manfaat langsung tidak akan terjadi.
Pilar pembangunan tersebut sebagai suatu tatanan yang
mempertimbangkan manfaat langsung (direct benefit) dengan
mempertimbangkan dampak lainnya terutama lingkungan yang pada umumnya
terjadi pada jangka panjang.  Diharapkan dampak yang terjadi dikemudian hari
seperti bencana alam, banjir dan longsor pada musim penghujan, dan
kekeringan pada musim kemarau tidak akan terjadi. Berbagai bentuk kerugian ini
merupakan biaya sosial yang pada akhirnya lebih besar dari manfaat langsung
yang diperoleh dalam jangka waktu singkat. Dalam kajian ekonomi lingkungan
kebijakan publik yang menciptakan biaya sosial sama sekali tidak ekonomis dan
menyimpang dari kaidah pembangunan berkelanjutan.

1.2.2. Pembangunan Berkelanjutan : Gagasan dan Implementasi di


Indonesia
Di Indonesia Pembangunan Berkelanjutan, secara global baru dibahas
dalam konferensi lingkungan hidup di Stockholm 1972. Pada saat itu issue

IV.2
Pembangunan Berkelanjutan timbul akibat terjadinya overdevelopment yang
terjadi di negara-negara maju yang berakibat pada tingginya angka pencemaran
lingkungan. Sementara di negara berkembang, kemiskinan telah mengakibatkan
terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Karena itu masyarakat dunia menilai
masalah lingkungan ini harus segera ditanggulangi, yaitu dengan meningkatkan
Pembangunan berwawasan lingkungan, atau eco-development. Isu
Pembangunan tersebut kemudian ditanggapi PBB pada tahun 1983 dengan
membentuk World Commision on Environment and Development (WECD). Pada
tahun 1987 WCED membuat laporan tentang hari depan kita bersama (Our
Common Future) dengan tema Pembangunan Berkelanjutan.
Pada tahun 1992, PBB mengadakan konferensi tentang lingkungan hidup
dan Pembangunan Berkelanjutan (Un Conference on Environmental and
Development - UNCED) di Rio de Janeiro Brasil. Kegiatan ini menghasilkan
Konferensi Rio. Salah satu hasilnya adalah Agenda 21, sebuah program aksi
Pembangunan Berkelanjutan Namun sayang program ini tidak banyak
ditindaklanjuti. Untuk memperbarui komitmen pelaksanaan Agenda 21, pada
tahun 2002, diadakan Konferensi Puncak se-Dunia tentang Pembangunan
Berkelanjutan (Word Summit on Sustainable Development (WSSD) di
Johannesburg dan menghasilkan Konferensi Rio. Kegiatan-kegiatan tersebut
menunjukkan adanya evolusi dari isu lingkungan global di Stokholm 1972,
lingkungan hidup dan Pembangunan Berkelanjutan di Rio tahun 1992, dan
Pembangunan Berkelanjutan tahun 2002 di Johannesburg. Makna
Pembangunan Berkelanjutan adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhan mereka (WCED, 1987). Untuk mencapai tujuan tersebut,
ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut antara lain : Pertama,
peningkatan potensi produksi dengan pengelolaan yang ramah lingkungan.
Kedua, menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua
orang.
Pembangunan Berkelanjutan adalah Pembangunan ekonomi yang harus
berwawasan lingkungan dan sekaligus mengusahakan pemerataan yang adil.

IV.3
Dalam Deklarasi Johannesburg. Deklarasi tersebut juga menyatakan,
Pembangunan Berkelanjutan mempunyai tiga pilar : ekonomi, lingkungan hidup,
dan sosial. Walaupun merupakan syarat penting dalam Pembangunan
Berkelanjutan, lingkungan hidup tidak menganut aliran ekologi dalam (deep
ecology), yang menempatkan lingkungan hidup dan komponennya mempunyai
hak eksistensi terlepas dari kepentingan manusia. Sementara lingkungan hidup
adalah sumber daya yang dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Karena
Pembangunan Berkelanjutan bertumpu pada tiga pilar, maka Pembangunan
Berkelanjutan yang dilakukan harus bersifat holistik agar terjadi sinergi. Karena
itu koordinasi menjadi hal yang penting. Dengan berkembangnya demokrasi,
kemungkinan terjadinya Pembangunan Berkelanjutan yang lebih seimbang
antara ketiga pilar tersebut diperbesar. Pembangunan pro-rakyat belum tentu
bersifat Pembangunan Berkelanjutan jika tidak memperhatikan pilar lingkungan
hidup dan sosial budaya.

1.2.3. Urgensi Pembangunan Berkelanjutan


Lebih dari 40 tahun Indonesia telah menempatkan pembangunan ekonomi
sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Namun laju pertumbuhan
ekonomi itu harus ditebus dengan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan
yang hebat. Sumberdaya alam atau lingkungan hidup mempunyai peran penting
dalam menunjang Pembangunan Berkelanjutan nasional. Sumber daya Alam
masih merupakan modal utama pendorong pertumbuhan ekonomi.
Permasalahan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, dilakukan eksploitasi
sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berlebihan tanpa menggunakan
kaidah konservasi. Akibatnya harus dibayar mahal dengan terjadinya degradasi
sumberdaya alam dan lingkungan hidup pada beberapa sektor strategis, seperti
kehutanan, pertanian, perikanan, dan pertambangan.
Untuk memperjelas pernyataan di atas, di bawah ini dicontohkan kondisi
di Jawa Barat. Di Jawa Barat, laju pertumbuhan angkatan kerja mencapai 1,7
persen, dan melampaui laju kesempatan kerja yang menunjukkan angka 1,3
persen per tahun. Akhirnya banyak kita jumpai masyarakat yang harus

IV.4
mengamen atau menjual sesuatu di pinggir jalan. Meski pun sesungguhnya
keberadaan mereka menimbulkan resiko terkena dampak polusi udara. Di sektor
pendidikan, krisis ekonomi mengakibatkan meningkatnya angka putus sekolah.
Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan UN, 60 persen guru-guru SD
di Indonesia tidak layak untuk mengajar. Ini berkaitan dengan kualitas
pendidikan.
Sementara itu, pelayanan masih belum merata, berkualitas dan
terjangkau. Di sektor kesehatan pun, terancam terjadinya emerging dan re-
emerging diseas. Virus HIV dan dampak pencemaran lingkungan mengancam
kesehatan masyarakat. Di sektor lingkungan sosial, hampir 25 persen wilayah
Jawa Barat adalah pemukiman kumuh. Sedangkan berdasarkan data dari UN,
masyarakat yang mempunyai luas lantai kurang dari 50 meter persegi per rumah
tangga, hampir mencapai 44,2 persen. Jadi sebenarnya banyak masyarakat
Jawa Barat yang miskin.
Banyaknya persoalan lingkungan, baik biofisik maupun sosial ekonomi,
menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan tahun 1987
masih menjadi mimpi. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Salah satunya
karena adanya eksploitasi besar-besaran demi pertumbuhan ekonomi yang
mengakibatkan menurunnya sumberdaya alam. Padahal penurunan sumberdaya
alam akan berkorelasi dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.
Selama ini pemerintah sering melakukan eco-simplification,
menyederhanakan kompleksitas lingkungan. Ketika bicara hutan, yang terpikir
adalah berapa meter kubik kayu yang bisa dihasilkan, dan berapa devisa yang
dihasilkan. Sementara fungsi-fungsi hutan untuk kepentingan lingkungan
terlupakan. Pembangunan Berkelanjutan hanya slogan kosong. Jangankan di
level bawah, di level pengambilan keputusanpun sebenarnya tidak
memahaminya. Itu terlihat dari Rencana Pembangunan Berkelanjutan Jangka
Menengah tingkat Nasional yang menempatkan Pembangunan di bagian tujuh.
Pemahamannya, Pembangunan Berkelanjutan itu hanya tugas kementerian
lingkungan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa mindset pemerintah tentang
Pembangunan Berkelanjutan harus diubah. Faktor lain adalah tidak adanya

IV.5
pemerintahan yang accountable, representatif, dan demokratis, serta lemahnya
penegakan hukum dan good governance. Bahkan tidak ada satu partai politik
pun yang tertarik dengan issue Pembangunan Berkelanjutan. Memburuknya
kualitas lingkungan dan sumberdaya alam adalah akibat dari kekurangpahaman
legislatif tentang Pembangunan Berkelanjutan.
Di sisi lain, masih terdapat keterbatasan kapasitas sumber daya manusia,
dalam mengimplementasikan Pembangunan Berkelanjutan. Di sinilah pendidikan
mempunyai peran. Pendidikan harus bisa meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia, sehingga bisa memahami Pembangunan Berkelanjutan. Dalam
menyusun program Pembangunan Berkelanjutan, pemerintah seringkali tidak
mendengar kelompok-kelompok utama. Pemerintah, khususnya di daerah, lebih
sering mendengar suara-suara dari level yang lebih atas. Sementara kelompok
utama seringkali tidak didengar, meskipun lebih berpengalaman dalam
mengimplementasikan Pembangunan Berkelanjutan. Sehingga ketika kelompok
utama ini masuk, dianggap sebagai pengganggu. Dalam penyusunan RPJM
misalnya. Penyusunan RPJM memang melibatkan pakar dan LSM. Namun
ternyata konsepnya sudah dibuat. Ketika para peserta memberikan masukan, hal
itu hanya bisa diakomodasi. Kemudian keputusan pun diambil, dan seolah-olah
sudah dilegitimasi karena sudah didiskusikan.
Dari uraian tersebut, terlihat bahwa Pembangunan Berkelanjutan adalah
masalah yang kompleks. Permasalahan ini berakar dari paradigma yang bersifat
parsial-fragmentatif dan anthropocentris. Karena itu perlu pergeseran
tekanan paradigma Pembangunan Berkelanjutan dari cartesian worldview-
partial/ fragmentative ke ecological worldview-holistic/integrative.
Perubahan paradigma ini berdampak pada melambatnya pertumbuhan
ekonomi, namun kerusakan sumberdaya alam bisa dikurangi. Pendekatan
Pembangunan yang terintegrasi ini sangat jarang dilakukan. Apalagi di era
otonomi. Contohnya dalam pemanfaatan Sungai Citarum. Tidak ada hubungan
antara satu lembaga dengan yang lainnya. Kabupaten Bandung hanya berpikir
bagaimana bisa menghasilkan PAD, soal dampak lingkungan tidak dipikirkan.
Sementara Kota Bandung hanya bisa menyalahkan Kabupaten Bandung, tanpa

IV.6
memberikan insentif kepada Kabupaten Bandung. Padahal masyarakat
Kabupaten Bandung kebanyakan miskin. Dengan adanya otonomi daerah,
kerjasama antar daerah tidak ada. Apalagi wewenang gubernur untuk
mengkoordinasi kegiatan ini juga dikurangi. Inilah yang kemudian mengakibatkan
permasalahan menjadi bertambah. Karena itu semua pihak harus proaktif dalam
menjabarkan berbagai konsep Pembangunan Berkelanjutan dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.Misalnya dengan
menggunakan teknologi tepat guna, ramah lingkungan, sesuai kebutuhan
pemangku kepentingan dan berbasis sosial budaya masyarakat. Hal yang
terpenting adalah bagaimana memberi contoh dan terlibat langsung di lapangan.
Perubahan paradigma dari cartesian worldview ke ecological worldview
tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi akan terganggu secara signifikan.
Implementasi konsep efisiensi yang merupakan perpaduan yang efektif antara
ekonomi, sosial dan ekologi, maka dalam penggunaan sumberdaya sangat
diperlukan. Ini berarti prinsipnya adalah mengurangi jumlah bahan yang
terbuang. Sebenarnya hal ini tidak mengubah konsep yang berkembang di
masyarakat. Prinsip eco-efisiensi yang didengungkan negara maju sebenarnya
bukan hal yang baru bagi masyarkat. Lihat saja sistem daur ulang yang terjadi di
pekarangan. Masyarakat Sunda terbiasa buang air di atas pacilingan. Sampah
dari pencernaan dibuang ke kolam untuk makanan ikan. Begitu juga dengan
sisa-sisa makanan dibuang ke kolam untuk makanan ikan. Sampah-sampah itu
dimakan ikan, dan kelak ikan itu dikonsumsi manusia. Sementara itu sampah-
sampah yang tidak termakan akan mengendap di dasar kolam, dan bisa
dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman. Dengan demikian, resources yang
digunakan sangat efisien. Namun menurut para pejabat ini tidak hygiene dan
berbahaya,karena itu dibuat proyek jambanisasi. Akhirnya karena proyek ini tidak
sesuai dengan nilai sosial-budaya masyarakat, disiramnya hanya kalau pejabat
datang. Bagaimana mungkin orang yang miskin, kurang perawatan, harus
membeli pelet ikan. Untuk makan saja susah, apalagi membeli pelet ikat.
Mestinya sistem yang berakar dari nilai sosial-masyarakat seperti ini terus
dikembangkan. Namun masyarakat modern terlalu arogan, dan tidak mau belajar

IV.7
dari ilmu kampung. Dianggapnya kalau sudah belajar ilmu kampus, lebih hebat
dari mereka yang belajar dari ilmu kampung. Padahal sebenarnya ilmu kampus
juga harus dipelajari. Kombinasi ilmu kampus dan ilmu kampung akan
menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Sedangkan untuk tercapainya
pergeseran paradigma diperlukan realisasi dari good governance.
Terselenggaranya good governance diharapkan dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat, transparansi, berkeadilan, efisiensi, efektifitas, dan demokratisasi
dalam pengelolaan lingkungan hidup dan proses Pembangunan.
Perlunya Indikator Keberhasilan dalam Pembangunan Berkelanjutan
Kelemahan utama Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia ialah tidak adanya
tolok ukur. Pengalaman menunjukkan bahwa hanya yang terukurlah yang dapat
diimplementasikan dalam Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan dan yang
tidak terukur diabaikan. Karena itu Pembangunan Berkelanjutan sejak Orde Baru
hingga sekarang hanya retorika belaka. Agar Pembangunan Berkelanjutan dapat
terlaksana harus ada tolok ukurnya. Dengan tolok ukur itu, perkembangan
Pembangunan Berkelanjutan dapat dipantau dan dievaluasi secara periodik.
Tolok ukur tersebut harus mencerminkan isu penting sehingga dapat merespon
isu-isu penting dan aspirasinya tersebut. Tolak ukur itu melipui pro-
environment, pro-poor, pro-women dan pro-livelihood opportunities (job-
led). Jadi kalau nanti pejabat, misalnya pejabat Walikota Bandung, ternyata tidak
bias memenuhi tolok ukur tadi, maka tidak perlu dipilih lagi. Kalau misalnya pro-
lingkungan, lihat berapa kali banjir yang terjadi, bagaimana pula dengan tingkat
pencemaran lingkungan. Kalau polusi makin turun, maka berarti pejabat itu
bagus. Begitu juga jika semakin banyak masyarakat miskin yang terentaskan,
semakin banyak lapangan kerja, dan semakin banyak kesempataan yang
diperoleh perempuan untuk kesetaraan gender. Semua itu ada indeksnya.
Misalnya human development index (HDI) yang digunakan sebagai tolak ukur
pro-poor. HDI Jabar masih berkisar 67,9. Angka itu masih di bawah Yogyakarta.
Sedangkan HDI Indonesia hanya setingkat dari Vietnam, dan tertinggal dari
Malaysia dan Singapura meski memperoleh kemerdekaan lebih dahulu.
Indonesia berada pada ranking 112, sedangkan Vietnam 113.

IV.8
(Disarikan dari Workshop Penjajakan dan Pengembangan Kurikulum ESD
Sentra Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat (SPPM) Bandung, 18 – 20
Januari 2006).

1.2.4. Kelembagaan Mendukung Pembangunan Berkelanjutan dan


Penyelamatan Aset Alam

Tiga tahun telah berlalu sejak Indonesia menyampaikan komitmen


Pemerintah RI pada KTT Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan
Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan (World Summit on Sustainable
Development-WSSD), tanggal 4 September 2002 di Johannesburg dihadapan
media masa nasional maupun internasional untuk bertekad melaksanakan
berbagai kesepakatan yang disetujui dalam KTT tersebut dan akan menjadikan
acuan dalam melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia di masa
mendatang.
Namun demikian, sampai pada pemerintahan SBY-JK, komitmen tersebut
tetap belum dilaksanakan secara konsiten dan menjadi pegangan bagi para
pengambil keputusan di negara ini. Belum terdapat rencana dan langkah-
langkah yang berarti untuk mengaktualisasikan Plan of implementation KTT
Johannesburg. Satu-satunya kegiatan yang signifikan yang dilakukan pada
periode Pemerintahan Megawati hanyalah penterjemahan dokumen-dokumen
KTT Pembangunan Berkelanjutan berikut acara peluncurannya, dan berbagai
acara sosialisasi dokumen tersebut yang dilaksanakan oleh Departemen Luar
Negeri Republik Indonesia (tidak lebih dari itu). Bahkan Sebuah Peraturan yang
diharapkan mampu menjadi tool of coordiantion bagi pengelolaan aset sumber
daya alam pun sampai saat ini tidak berhasil diwujudkan.

1.2.5. Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan


Tiga pilar utama dari Pembangunan Berkelanjutan adalah :
a. Pengentasan kemiskinan (poverty eradication),
b. Perubahan pola konsumsi dan produksi yang tidak Berkelanjutan
(changing unsustainable pattern of consumption and production)

IV.9
c. Perlindungan dan pengelolaan basis sumber daya alam bagi
pembangunan ekonomi dan sosial (protecting and managing the
natural resources basis of economic and social development).
Ketiga elemen ini merupakan elemen yang harus terintegrasi dan terkait serta
bergantung satu dengan yang lainnya (interdependensi). Mengapa demikian?
Penghapusan atau pengurangan angka kemiskinan menjadi sangat penting bagi
negara-negara berkembang di dunia, karena kemiskinan sumber dari degradasi
lingkungan hidup/ kualitas sumber daya alam. Kemiskinan juga menyuburkan
korupsi dan mengurangi kemampuan negara dalam memperbaiki tata
pemerintahan yang baik (good governance). Kemiskinan juga mengurangi
kemampuan negara untuk membangun sumber daya manusianya melalui
pendidikan serta mengurangi daya saing terhadap negara-negara lain. Oleh
sebab itu, perlindungan daya dukung ekosistem sumber daya alam dan fungsi
lingkungan hidup mensyaratkan adanya upaya sungguh-sungguh untuk
memberantas kemiskinan.
Namun demikian, keberlimpahan (affluent) juga menjadi penyebab
kerusakan eksosistem melalui pola konsumsi dan produksi yang tidak
Berkelanjutan. Oleh karenanya dalam konteks global, keberlimpahan yang kini
dialami oleh negara-negara industri maju diindikasikan sebagai penyebab utama
kondisi pemanasan global (global warming), penipisan lapisan ozone, serta
mendorong pengurasan sumber daya alam di negara berkembang dengan
mengekspor teknologi yang tidak ramah lingkungan, dan pola investasi yang
mengabaikan aspek Berkelanjutan Dengan demikian upaya mengubah pola
konsumsi dan produksi yang tidak Berkelanjutan (sebagai pilar kedua
Pembangunan Berkelanjutan) menjadi hal yang utama untuk mendukung upaya
perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup sebagai
prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang (present
generation) dan yang akan datang (future generation).
Pilar Ketiga, yaitu pilar Pengelolaan Sumber Daya Alam memuat berbagai
kesepakatan global tentang bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola
agar Berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan

IV.10
kegiatan ekonomi. Didalam pilar ketiga ini sangat jelas bahwa pengelolaan
sumber daya alam yang meliputi pengelolaan sumber daya air, kelautan,
pertanian, ekosistem pegunungan, pariwisata, keanekaragaman hayati, hutan
dan pertambangan harus mempertimbangkan ketiga aspek secara sekaligus
yaitu aspek ekonomi, ekologi dan social.
(Disampaikan dalam Sambutan Menteri Luar Negeri RI pada Peluncuran Buku dan
Forum Diskusi “:Hasil-Hasil dan Tindak Lanjut KTT Pembangunan Berkelanjutan”, yang
diselenggarakan oleh Departemen Luar Negeri RI dan UNDP, Jakarta 11 April 2003
Mas Achmad Santosa, 2003)

Di bawah ini disajikan beberapa gambar yang menjelaskan pilar pembangunan


berkelanjutan.

Gambar 4.1. Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Gambar 4.2. Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan (Lingkungan, Sosial dan Ekonomi)

IV.11
Gambar 4.3. Pilar Pembangunan Berkelanjutan

HUKUM EKONOM
I

SIMPOSIUM

SOSIAL BUDAYA
TEKNOLOG PENDIDIKAN
I

Gambar 4.4. Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Gambar 4.5. Deklarasi Pembangunan Berkelanjutan

IV.12
1.2.6 Pengembangan Kelembagaan
Keberadaan kelembagaan di tingkat pemerintah untuk mendukung
Pembangunan Berkelanjutan sangatlah penting. Angka 165 dari Plan of
Implementation KTT Johannesburg menegaskan hal sebagai berikut:
“Memajukan lebih lanjut pembentukan atau penguatan dewan
Pembangunan Berkelanjutan dan/atau struktur koordinasi di tingkat
nasional, termasuk di tingkat local, agar dapat memberikan fokus tingkat
tinggi pada kebijakan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam konteks ini,
partisipasi antara pemangku kepentingan perlu didukung”

Angka 166 Plan of Implementation:

“Mendukung upaya semua negara, khususnya negara berkembang dan


negara dalam transisi ekonomi, untuk memperkuat penataan kelembagaan
nasional bagi Pembangunan Berkelanjutan, termasuk di tingkat lokal……”

Kedua hal di atas memandatkan adanya pembentukan pelembagaan yang


memiliki struktur koordinasi yang mengarusutamakan proses Pembanguann
Berkelanjutan serta adanya forum bagi pemangku kepentingan untuk membahas
mengenai berbagai aspek Pembangunan Berkelanjutan ini. Di Indonesia sampai
dengan saat ini tidak ada kelembagaan, baik di tingkat nasional maupun di
daerah yang dapat mendorong pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan.
Pilar Pembangunan Berkelanjutan ditangani oleh berbagai Menko dan
Kementerian. Ditingkat lokalpun ditanganim secara sekotral oleh dinas kantor,
dsb. Pengentasan Kemiskinan dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang
Kesra. Perubahan pola konsumsi dan produksi dikoordinasikan oleh Menko
Perekonomian dan Menko Kesra. Sedangkan melindungi dan mengelola basis
sumber daya alam dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian dan Menko
Kesra. Sedangkan penanganan pilar tersebut ditangani oleh berbagai
kementerian. Penanganan Pembangunan Berkelanjutan belum ditangani/
dikoordinasikan oleh satu lembaga di tingkat nasional sehingga antara dimensi
ekonomi, sosial dan ekologi tidak terkoordinasi satu sama lain. Kondisi serupa
dialami oleh pemerintah daerah.

IV.13
Pilar Ketiga, Pengelolaan Sumber Daya Alam memuat prinsip, program
dan target mulai dari angka 24 sampai dengan angka 46, Rencana Pelaksanaan
(Plan of Implementation) KTT Pembangunan Berkelanjutan. Oleh sebab itu,
apabila bangsa Indonesia sungguh-sungguh ingin melaksanakan Pembangunan
Berkelanjutan secara konsisten maka koordinasi di tingkat yang lebih atas perlu
dikembangkan. Pemikiran untuk menyatukan bidang tugas Menko Ekuin, Menko
Kesra, menjadi Menko Pembangunan Berkelanjutan harus sudah dipikirkan saat
ini dengan matang. Usulan ini sudah pernah diajukan kembali kepada Presiden
SBY ketika beliau akan membentuk struktur Kabinet Indonesia Bersatu, namun
gagal. Kegagalan pembentukan Kabinet yang mampu merespon pelaksanaan
Pembangunan Berkelanjutan dapat kita lihat dari penanganan berbagai kasus
yang ada. Dalam penanganan kasus-kasus yang menyangkut pengelolaan
sumber daya alam, termasuk kasus penambangan di kawasan hutan lindung,
pendekatan Menko Perekonomian yang pengambil alih permasalahan ini di
tingkat pemerintah, pendekatannya sangat dominan pada aspek ekonomi, dan
tidak melihatnya dari dimensi ekonomi, sosial dan ekologi secara seimbang.
Kementerian Lingkungan Hidup juga mempersepsikan kewenangannya terbatas
pada pilar perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam (pilar ke 3), itupun
terbatas pada isyu dampak lingkungannya (environmental impact) dalam bentuk
pencemaran dan perusakkan lingkungan. Hal ini dapat kita lihat juga pada upaya
penyelesaian Kasus Newnont (perdata) juga dimotori oleh Menko Perekonomian,
padahal jelas-jelas masalah Newmont adalah masalah lingkungan hidup yang
berada di bawah koordiansi dari Menko Kesra. Fungsi Regulatory, termasuk
pengawasan terhadap penaatan nilai-nilai daya dukung ekosistem dan fungsi
lingkungan hidup di tingkat nasional dan tingkat daerah perlu diperkuat.
Kementrian Lingkugan Hidup ke depan selayaknya diberikan tugas secara lebih
tegas dengan kelengkapan pendukungnya untuk menangani masalah
Pengawasan dan Penaatan serta pengembangan Kebijakan yang mendukung
hal tersebut. Gagasan Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan/DNPB
(National Council on Sustainable Development) yang sempat disetujui pada era
Presiden Abdurahman Wahid perlu dipercepat realisasinya sebagai forum multi

IV.14
pihak (termasuk civil society dan dunia usaha) untuk mempercepat realisasi
Pembangunan Berkelanjutan. Keberadaan DNPB memudahkan pekerjaan
Menko Pembangunan Berkelanjutan dalam mendorong terwujudnya berbagai
kebijakan yang berorientasi pada 3 pilar Pembangunan Berkelanjutan, yang
diterima oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Langkah-langkah
yang akan dilakukan di tingkat Nasional perlu dilakukan juga di tingakat Daerah.
Pengembangan institusi pengelolan lingkungan hidup di daerah harus
memiliki mandat yang sangat jelas dan kuat dengan mendasarkan pekerjaannya
pada prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan dan tata pemerintahan yang
baik. Komite atau Dewan Pembangunan Berkelanjutan di tingkat daerah perlu
ditumbuhkan sebagai forum multi stakeholders dalam melakukan evaluasi
apakah kebijakan daerah telah sesuai dengan prinsip Pembangunan
Berkelanjutan dan tata pemerintahan yang baik.
(Disarikan oleh : Wiwiek Awiati Anggota Dewan, Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL) Jakarta 10 November 2005)
Tiga pilar yang menjadi issue utama dalam Sustainable Development ini
adalah :
 Economic Development
 Environment Protection
 Social Development
Atau dengan kata lain :

Sustainable Development : paths to economics prosperity that


preserve a healthy environment and positive cultural values.

Ketiga pilar ini mesti diseimbangkan dan tidak ada satu dimensi yang merusak
dimensi lainnya. Jangan sampai Pembangunan tidak lagi memperhatikan 2 pilar
lainnya, sehingga lingkungan akhirnya rusak dan menimbulkan dampak social
yang hebat, dimana korban yang paling menderita adalah masyarakat kecil.
Posisi Indonesia memang dilematis dalam mengimplementasikan Pembangunan
Berkelanjutan Tekanan ekonomi dan finansial yang menghimpit, mendesak kita

IV.15
untuk mengoptimalkan pemanfaatan semua potensi yang ada termasuk potensi
alam. Tingkat pengangguran yang semakin tinggi, sehingga mengharuskan
masyarakat mencari "income" dengan melakukan hal-hal yang tidak disadari
merusak lingkungan (misalkan : menebang hutan, smuggling, menangkap ikan
dengan menggunakan bom peledak, dll). Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa
Indonesia adalah kawasan yang memiliki keragaman hayati dengan tingkat
endemic yang tinggi, yang memang merupakan warisan yang harus kita warisi
ke anak-cucu kita. Sustainable Development ini membawa suatu paradigma baru
bahwa kita bisa saja meningkatkan ekonomi kita tanpa harus mengorbankan
lingkungan kita dan nilai–nilai sosial budaya yang tentunya bernilai sangat tinggi.

1.2.7. Pelestarian Lingkungan Hutan dan Satwa Langka di Indonesia.


Disamping satwa lainnya, Orangutan mendapat perhatian besar dunia
International. Orang utan dikategorikan sebagai the Great Apes (Chimpanzees,
Bonobos, Gorillas, dan Orangutan) dan mereka ini dinyatakan sebagai "World
Heritage Species". Mengapa Orangutan masuk dalam kategori tersebut, karena
orang utan memiliki intelegent dan tingkat kekompleksan hampir sama dengan
manusia, 97% - 98,6%. Orang utan juga memiliki kesamaan dengan manusia
dalam hal biochemistry, physiology, anatomy, psychology dan behaviour. Karena
ditangan merekalah keberadaan hutan kita ini berada. Karena Orangutan adalah
umbrella species for rainforest conservation. Masih ada satwa langka lainnya
yang perlu dijaga dari kepunahan, seperti : Gajah, Tarsius Spectrum di Sulawesi
Utara, Harimau Sumatra, Anoa, dll. Mengapa Orangutan masuk dalam "World
Heritage Species" adalah karena merekalah yang membuat hutan kita ini masih
survive. Kotoran Orangutan inilah yang merupakan pupuk yang "manjur" untuk
hutan. Menjaga Orangutan berarti menjaga habitatnya. Orangutan memerlukan
tempat (hutan) yang besar untuk mempertahankan populasinya yang besar.
Dengan demikian, secara tidak langsung, konservasi untuk beragam tanaman
dan binatang lainnya pun terjamin.
Pelestarian Satwa merupakan pelestarian Lingkungan Hidup. Hanya
dengan menjaga Orangutan dari kepunahan kita sudah memberikan kontribusi

IV.16
terhadap the existence of human being. Karena kita menlindungi Orangutan dan
tentunya menjaga kelestarian habitatnya. Apabila kita peduli dengan keberadaan
Orangutan dan satwa langka lainnya, sudah tentu kita peduli dengan diri kita
sendiri.
Indonesia memiliki kawasan hutan terluas kedua didunia, mencapai 108,5
juta hektar. Dari 1989 - 1999, industri perkayuan memberikan kontribusi
sebanyak 20% dari total pendapatan devisa Indonesia. Sementara itu Indonesia
memiliki laju deforestasi tertinggi didunia dengan kisaran 1,6 sd 2,1 juta hektar
per tahun. Kerusakan hutan akibat kebakaran hutan diperkirakan antara 200.000
sd 9,7 hektar. Jadi sekitar 43 juta hektar hutan di Indonesia telah terdegradasi
dan akibatnya 294 spesies flora dan fauna terancam punah.

Pelestarian Satwa Langka = Mendukung Program Sustainable Development

Mengapa orang melakukan Penebangan hutan liar? Smuggling? Menebang


hutan untuk perkebunan? Ini semua dilakukan untuk "pemenuhan kebutuhan". Di
jaman seperti sekarang ini, dimana tingkat kebutuhan semakin meningkat (yang
tentunya didukung dengan lifestyle yang "metropolitan") menuntut akan
tersedianya "uang" sebagai alat untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut.
Banyak media menulis bahwa Indonesia menghadapi dilema multi
kepentingan. Dan sering sekali kepentingan sektor mengalahkan kepentingan
lingkungan yang akhirnya mengorbankan lingkungan yang dianggap mewakili
kepentingan marjinal. Apalagi di era globalisasi ini yang akhirnya menimbulkan
perubahan pola pengembangan industri dan gaya hidup, disertai dengan
berbagai polemik dalam negri yang kusut membuat issu lingkungan dinomer
duakan. Seharusnya dihadapi secara bijaksana agar dapat mengimbangi akibat
buruk yang dihasilkan pada kualitas lingkungan hidup nasional dan berakhir
pada "rusaknya" nilai-nilai sosial dlam masyarakat. Dengan membawa issu
pelestarian Satwa Langka inilah, diharapkan masyarakat dapat peduli dengan
keberadaan Satwa Langka tersebut.

IV.17
Diharapkan masyarakat dapat mengetahui keuntungan dari melindungi
satwa langka ini :
1. Umberella Species for Rainforest
2. Eko-tourism (Pariwisata adalah penyumbang terbesar dalam GDP,
mengingat pariwisata memiliki multiplier effect)
3. Menjaga lingkungan supaya asri penyedia air bersih, penyaring udara.
4. Mengharumkan nama Indonesia dalam hal keanekaragaman satwa
Indonesia
5. Mempunyai bio-diversity yang luar biasa, dan mempunyai natural beauties
yang luar biasa
6. Satwa langka adalah industri. Contoh : Souvenir, Film kartun, Komik, dst.
7. mendukung Sustainable development

Dibawah ini, dapat kita lihat Benefits yang akan dihasilkan dari Pelestarian Satwa
Langka dan Challenge yang akan dihadapi serta Partner yang diperlukan

1.2.7.1.BENEFITS
Dengan melindungi satwa langka berarti kita telah melestarikan
lingkungan, kita akan bisa meminimalizasi ecological impacts on health and
economics : erosi, kegagalan panen, kerusakan nutrisi dan ekonomi yang buruk.
 Kekeringan dan desertification
 Penyakit-penyakit
 Polusi
 Perubahan cuaca

Kita juga akan menerima keuntungan-keuntungan konservasi - Kontrol atas


populasi (populasi satwa langka tidak berkurang)
 Mengurangi perburuan liar
 Less logging
 Menghindari kebakaran hutan

IV.18
 Aktivitas-aktivitas yang memberikan keuntungan ekonomi yang tetap
menjaga kelestarian dan keharmonisan lingkungan hidup
(environmentally friendly economic activities)
 Kepekaan orang-orang lokal tentang pentingnya konservasi
Keuntungan-keuntungan dibidang kesehatan - Mengurangi angka kematian ibu
(Reduced maternal mortality)
 Mengurangi angka kematian bayi (Reduced infant mortality )
 Meningkatkan kesehatan anak (Improved child health)
 Meningkatkan nutrisi (Improved nutrition)
Keuntungan-keuntungan di bidang economics - Industry, misal : harimau
sumatera. Ini bisa dipasarkan dengan baik dari souvenir, buku-buku cerita,
komik, cerita radio, film layar lebar.
 Eco-tourism
 Greater household incomes

Keuntungan-keuntungan sosial
 Terpeliharanya kebijakan-kebijakan dari masyarakat adat dalam mengatur
sumber daya alam yang ada
 Memperkuat aturan-aturan adat yang ada, sehingga nilai-nilai adat
terjaga.
 Memperkuat kerukunan masyarakat adat tersebut
 Menghindari konflik-konflik social yang berpotensial terjadi, karena
 masyarakat adat merasa bahwa kepentingan mereka tidak di"barter"
dengan kepentingan ekonomi.

1.2.7.2. TANTANGAN
Beberapa tantangan antara lain:
 Kurangnya ketegasan hukum
 Korupsi
 Masalah finansial

IV.19
 Political stability and security
 Otonomi daerah
 Kurangnya keterlibatan dan kesadaran masyarakat akan “nilai” satwa
yang hampir punah

1.2.7.3. PARTNERS
Beberapa partners di antaranya:
a. Kelompok-kelompok konservasi
b. Pemerintah (dalam hal ini perlu sinergisitas antara semua departemen
yang terkait)
c. Agen-agen konservasi
d. Para Donatur
e. Fasilitas lokal
f. Masyarakat lokal
g. Para stakeholder lainnya, semua pihak yang terkait dengan
perlindungan satwa, pelestarian lingkungan dan penerapan
Pembangunan Berkelanjutan.
Pada akhirnya, perlindungan satwa langka adalah salah satu cara untuk
mencapai pengimplementasian Pembangunan Berkelanjutan. Dengan
kepedulian kita akan satwa langka, sebenarnya kita telah perduli dengan
lingkungan kita dan tetap menjaga nilai-nilai adat yang ada. Dan kita tetap
"membangun".
Apabila tidak ada yang perduli lagi dengan satwa langka, tidak menutup
kemungkinan tidak ada lagi Orangutan yang kita banggakan, tidak akan ada lagi
harimau dan gajah sumatera yang menarik para turis dan peneliti untuk datang
keIndonesia dan yang lebih parah lagi, apabila kita menghiraukan satwa langka
ini, berarti kita telah menghancurkan "planet" ini untuk kepentingan pribadi kita,
dan meninggalkan "planet" yang "rusak" kepada anak-cucu kita. Apalah gunanya
economics prosperity apabila kita terancam "mati" karena tidak bisa menghirup
udara bersih?

Save our planet by implemented SUSTAINABLE DEVELOPMENT


through saving our Last
IV.20
1.2.8. PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
Dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan
berkeadilan, beberapa kegiatan telah diselesaikan atau dalam proses
penyelesaian, antara lain: pengembangan dan peningkatan akses informasi
sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui kegiatan pemetaan dan
pengukuhan kawasan-kawasan tertentu; uji coba penilaian manfaat dan
perhitungan neraca sumber daya alam; pembangunan balai kliring;
pemasyarakatan kebijakan dan peraturan di bidang sumber daya alam dan
lingkungan hidup; penyusunan neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;
pengkajian penerapan konsep Produk Domestik Bruto Hijau; serta berbagai
kegiatan untuk mengembangkan peran serta masyarakat dalam pengawasan
dan pemantauan kualitas SDA dan lingkungan. Dalam rangka meningkatkan
efektivitas kegiatan konservasi dan rehabilitasi SDA, beberapa kegiatan yang
sedang dilakukan antara lain pengkajian kembali kebijakan pengelolaan
kawasan hutan produksi, kawasan konservasi dan rehabilitasi SDA; penyusunan
kebijakan pengelolaan dan pengembangan keanekaragaman hayati;
pengembangan jasa lingkungan dan jasa pariwisata yang berwawasan
lingkungan pada kawasan ekosistem khas di beberapa taman nasional dan
kawasan hutan lainnya yang potensial; pengembangan dan penerapan teknologi
baru dalam pengelolaan SDA dan LH yang ramah lingkungan; penelitian dan
pengembangan energi baru dan terbarukan; dan peningkatan kesadaran
konservasi dan rehabilitasi bagi para pemangku kepentingan (stakeholders).
Disamping itu, beberapa kabupaten telah menerbitkan peraturan daerah
tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebagai perwujudan
pengelolaan SDA yang partisipatif. Untuk mendukung peningkatan upaya
pencegahan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup,
kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain pengembangan peran serta
masyarakat dalam pengawasan dan pemantauan kualitas lingkungan;
penerapan teknologi ramah lingkungan juga sudah dilakukan untuk beberapa
produk konsumsi rumah tangga dengan melibatkan masyarakat. Dalam kaitan

IV.21
ini, telah diluncurkan produk BBM bebas timbal untuk wilayah Jabotabek pada
pertengahan 2001 dan diharapkan pada bulan Juli 2003, semua BBM yang
beredar di Indonesia sudah bebas timbal. Disamping itu, telah dilakukan
pengkajian dan penerapan model pajak lingkungan (green tax) terhadap
pembuangan limbah cair di beberapa daerah seperti Riau, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur yang
dikuatkan dengan Peraturan Daerah. Dalam kerangka pelaksanaan otonomi
daerah, upaya perkuatan institusi pengelolaan lingkungan hidup di daerah terus
ditingkatkan dengan memperkuat kelembagaan lingkungan hidup di tingkat
propinsi, kabupaten dan kota. Saat ini telah dibentuk institusi pengelola
lingkungan hidup di 26 propinsi dan 132 pemerintah daerah kabupaten dan kota,
serta 46 Dinas Lingkungan Hidup dan 51 Kantor Lingkungan Hidup di kabupaten
dan kota dan mulai bekerja secara operasional.
Sidang Tahunan MPR 2001 telah menghasilkan TAP MPR Nomor IX
tahun 2001 tentang Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Ketetapan ini memberikan arahan kebijakan yang harus ditempuh pemerintah
dalam melaksanakan langkah-langkah pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam. Dalam kaitan dengan proses perumusan RUU Pengelolaan
Sumber Daya Alam (RUU PSDA), saat ini naskah akademik telah diselesaikan
dan mekanisme konsultasi publik-nya sedang dalam proses penyelesaian. Selain
itu, saat ini juga sedang dilakukan konsultasi publik dalam rangka RUU
Pengelolaan Wilayah Pesisir serta revisi UU Pokok Agraria menjadi RUU
Pertanahan dan revisi UU Pertambangan Umum. Dalam rangka mewujudkan
komitmen Indonesia terhadap pembangunan berkelanjutan, saat ini telah
diselesaikan Agenda 21 Sektoral yang mencakup bidang pariwisata,
permukiman, energi dan pertambangan serta telah diterbitkan pula seri panduan
yang membahas kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan. Disamping
itu, Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah Persiapan Penyelenggaran Tingkat
Menteri (Preparatory Commitee atau Prepcom ke IV) bulan Mei dan Juni 2002
dalam rangka peringatan sepuluh tahun Konferensi Tingkat Tinggi
Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) bulan

IV.22
September 2002 di Afrika Selatan. Kesempatan ini merupakan momentum yang
tepat serta peluang bagi Indonesia untuk ikut menentukan agenda pembangunan
yang berwawasan lingkungan di masa depan. Saat ini telah mulai dikembangkan
skema-skema pendanaan alternatif seperti Debt for Nature Swap (DNS) dan
Clean Development Mechanism (CDM). Skema- skema pendanaan tersebut
merupakan bagian dari mekanisme keuangan internasional dalam rangka
konversi hutang negara-negara tertentu yang dikaitkan dengan pembiayaan
kegiatan konservasi dan pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan,
yang sekaligus merupakan upaya untuk mengurangi beban hutang luar negeri.
Namun demikian, beberapa permasalahan pokok masih akan dihadapi
dan menjadi prioritas untuk ditangani pada tahun 2003 antara lain mencakup
semakin menipisnya persediaan sumber daya alam yang ada akibat praktek
perambahan, perampasan, pencurian, degradasi, penebangan liar, perburuan
gelap, perusakan habitat, dan hilangnya keanekaragaman hayati yang
berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem secara keseluruhan. Hal itu
antara lain ditunjukkan oleh tingkat deforestasi dalam sepuluh tahun terakhir
yang mencapai 1,6 juta hektar per tahun; kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi di Indonesia pada tahun 2001 mencakup 14,6 ribu hektar; di sektor
kelautan, hampir 40 persen terumbu karang mengalami kerusakan berat, dan 74
persen dari 3 juta hektar hutan mangrove telah rusak. Permasalahan pokok
lainnya adalah bagaimana mengurangi ketergantungan terhadap hasil ekspor
produksi yang mengekstraksi sumber daya alam, terutama pada sektor
kehutanan, kelautan, pertambangan dan lain-lain. Ketergantungan yang
dimaksud terjadi tidak saja pada pemerintah pusat tetapi juga di daerah dimana
sumber daya alam dipandang sebagai tumpuan utama untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah. Apabila praktek tersebut dilaksanakan tanpa
memperhatikan aspek keberlanjutan, maka Indonesia akan mengalami bencana
ekologis yang sangat parah serta menipisnya persediaan sumber-sumber daya
alam yang tidak terbarukan (non-renewable resources).
Tingkat pencemaran lingkungan hidup masih tetap tinggi yang ditandai
oleh tercemarnya sumber air masyarakat (air tanah dan air permukaan),

IV.23
tingginya polusi udara yang diakibatkan oleh kegiatan industri maupun
transportasi, tingginya penyakit yang ditularkan melalui air dan udara, serta
matinya usaha budidaya perikanan darat masyarakat. Masalah pencemaran ini
menjadi makin sulit karena kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat
serta menjaga kualitas lingkungan hidup masih rendah. Untuk mengefektifkan
pengelolaan lingkungan perlu dilakukan analisis yang lebih mendalam terhadap
bagian dari komponen masyarakat yang lebih peka terhadap dampak penurunan
kualitas lingkungan. Untuk itu perlu dilaksanakan pengarusutamaan gender
dalam pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, dalam hal pencegahan dan
pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup masih dirasakan
belum optimalnya penerapan teknologi ramah lingkungan; belum ada
kesepakatan model atau metoda penghitungan biaya lingkungan; dan belum
terkoordinasinya lembaga pendanaan pengelolaan lingkungan hidup.
Permasalahan bencana alam yang belakangan ini banyak terjadi telah
menghancurkan banyak pranata sosial dan ekonomi termasuk juga sarana dan
prasarana yang telah dibangun. Dapat kita cermati bahwa salah satu penyebab
utama dari bencana alam tersebut adalah karena aktivitas manusia yang
mengeksploitasi lingkungan tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat
lainnya pada saat ini maupun generasi yang akan datang. Hal tersebut berkaitan
antara lain dengan masalah tidak terkendalinya pengalihan fungsi lahan-lahan
produktif  pertanian menjadi lahan permukiman, jalan tol, dan kawasan industri.
Potensi konflik antar daerah dalam pemanfaatan sumber daya alam
sebagai sumber daya ekonomi juga berdampak pada menurunnya kualitas
lingkungan. Salah satu upaya untuk mengatasi hal itu adalah merumuskan
kembali peraturan-peraturan mengenai perlindungan lingkungan serta
penegakan hukumnya secara konsisten. Di beberapa daerah, pemerintah daerah
bersama DPRD menyelenggarakan berbagai kegiatan penyegaran mengenai
pentingnya penataan ruang. Sementara itu, pemerintah pusat juga melakukan
sosialisasi melalui buletin, media internet, lokakarya, dan iklan layanan
masyarakat. Dalam hal penataan kelembagaan dan penegakan hukum,
masalah yang dihadapi adalah masih belum adanya kemajuan yang berarti

IV.24
dalam hal penataan kelembagaan dan penegakan hukum; penanganan
permasalahan SDA masih bersifat sektoral serta belum memperhatikan
pendekatan kesatuan wilayah ekologi; pengakuan lembaga adat dan lokal dalam
PSDA masih belum terealisasi; dan belum diterapkannya beberapa perjanjian
internasional yang telah disepakati dalam kebijakan PSDA dan lingkungan hidup
nasional.  Selain itu, upaya penegakan hukum di bidang pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup juga masih ditandai oleh sedikitnya kasus-kasus pencemaran
lingkungan yang disidangkan maupun dimenangkan oleh pihak yang dirugikan.
Disamping itu, bentuk keterlibatan masyarakat dalam PSDA masih terbatas pada
pemberian informasi dan pengajuan keberatan, belum terlibat penuh dalam
proses pengambilan keputusan; tidak jelasnya mekanisme peran serta
masyarakat yang bisa dilakukan; serta belum dilaksanakannya
pengarusutamaan (mainstreaming) gender dalam PSDA.

1.3. Penutup
1.3.1. Tes Formatif
1. Sebutkan tolok ukur sustainable development?
2. Sebutkan tiga pilar pembangunan berkelanjutan!
3. Jelaskan yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan!

1.3.2. Umpan Balik


Cocokkan jawaban anda dengan kunci jawaban test formatif yang ada
pada bahasan berikut ini, hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian
gunakan rumus ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi
dalam bab ini.
Rumus : Tingkat penguasaan =  jawaban yang benar x 100%
4
Arti tingkat penguasaan yang anda capai adalah :
90% - 100% : baik sekali
80% - 89% : baik
70% - 79% : cukup

IV.25
60% - 69% : kurang
0% - 59% : gagal

1.3.3. Tindak Lanjut


Jika anda mencapai tingkat kepuasan 80% keatas, maka anda dapat
meneruskan dengan kegiatan belajar bab selanjutnya, tetapi jika tingkat
penguasaan anda belum mencapai 80%, maka anda harus mengulangi kegiatan
belajar bab tersebut terutama pada bagian yang anda belum kuasai. Untuk
mencapai pemahaman tersebut anda dapat menghubungi dosen pengampu di
luar waktu kuliah.

1.3.4. Rangkuman
Tiga pilar utama dari Pembangunan Berkelanjutan adalah :
1. Pengentasan kemiskinan (poverty eradication),
2. Perubahan pola konsumsi dan produksi yang tidak Berkelanjutan
(changing unsustainable pattern of consumption and production)
3. Perlindungan dan pengelolaan basis sumber daya alam bagi
pembangunan ekonomi dan sosial (protecting and managing the natural
resources basis of economic and social development).
Ketiga elemen ini merupakan elemen yang harus terintegrasi dan terkait
serta bergantung satu dengan yang lainnya (interdependensi). Mengapa
demikian? Penghapusan atau pengurangan angka kemiskinan menjadi sangat
penting bagi negara-negara berkembang di dunia, karena kemiskinan sumber
dari degradasi lingkungan hidup/ kualitas sumber daya alam. Kemiskinan juga
menyuburkan korupsi dan mengurangi kemampuan negara dalam memperbaiki
tata pemerintahan yang baik (good governance). Kemiskinan juga mengurangi
kemampuan negara untuk membangun sumber daya manusianya melalui
pendidikan serta mengurangi daya saing terhadap negara-negara lain. Oleh
sebab itu, perlindungan daya dukung ekosistem sumber daya alam dan fungsi
lingkungan hidup mensyaratkan adanya upaya sungguh-sungguh untuk
memberantas kemiskinan.

IV.26
1.3.5. Kunci Jawaban Tes Formatif
1. Tolak ukur pembangunan berkelanjutan melipui pro-environment, pro-poor,
pro-women dan pro-livelihood opportunities (job-led).
2. Tiga pilar utama dari Pembangunan Berkelanjutan adalah :
 Pengentasan kemiskinan (poverty eradication),
 Perubahan pola konsumsi dan produksi yang tidak Berkelanjutan
(changing unsustainable pattern of consumption and production)
 Perlindungan dan pengelolaan basis sumber daya alam bagi
pembangunan ekonomi dan sosial (protecting and managing the natural
resources basis of economic and social development
3. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berusaha memenuhi
kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan
datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pada dasarnya setiap
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam memperhatikan konsep
pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA).
2. Inar Ichsana Ishak dkk. 2006. Panduan Penghitungan Ganti Kerugian Akibat
Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan. Kementerian Negara
Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
3. Serafy, Salah El. 1990. The Proper Calculation of Income from Depletable
Natural Resources. Dalam Ahmad, Yusuf J.Salah El Serafy and Ernst Lutz.
Environmental Accounting for Sustainable Development. The World Bank.
Washington D.C.
4. Suparmoko dan Maria Suparmoko. 2000. Ekonomika Lingkungan. BPFE
UGM Yogyakarta
5. Tietenberg, Tom. 1992. Environmental and Natural Resource Economics,
Harper Collins Publisher Inc.New York.

IV.27
6. Anton Christianto. 3 Pilar Pembangunan Berkelanjutan Menuju Indonesia
Maju http://www.mail-archive.com/dokter@yahoogroups.com/msg00483.html
7. Erlangga Agustino Landiyanto dan Wirya Wardaya. Kerangka Pembangunan
Regional dalam Agenda 21: Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan
http://mpra.ub.uni-muenchen.de/2381/1/MPRA_paper_2381.pdf
8. Wiwiek Awiati Anggota Dewan, Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL) Pengembangan Kelembagaan Yang Mendukung Pembangunan
Berkelanjutan dan Penyelamatan Aset Alam
http://www.walhi.or.id/attachment/peng_kelembagaan_wiwiek_101105.pdf
9. Oekan S.Abdoellah Pembangunan Berkelanutan : Gagasan dan
Implementasi di Indonesia (Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Unpad
http://www.fppm.org/Info%20Anda/pembangunan_berkelanjutan.htm

IV.28

Anda mungkin juga menyukai