Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas pendidikan lingkungan hidup
Disusun oleh : Nurul Iffah Amalia
Nim : 230108501022 Kelas : Biologi sains B Dosen Pengampu : Dr. Andi Faridah Arsal, M.Si.
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR Upaya-upaya Penanganan Masalah Lingkungan dan Penanganan secara Global yang berkaitan dengan SDGs Berbagai permasalahan lingkungan hidup yang terjadi saat ini dapat menyebabkan terjadinya krisis keberlanjutan. Untuk mengatasinya, dibutuhkan pendekatan yang holistik, multiperspektif,dan berorientasi solusi. “Pendekatan ini merupakan bagian dari apa yang dewasa ini dikenal dengan konsep social-ecological resilience,” Guru Besar FISIP Universitas Padjadjaran Prof. Oekan S. Abdoellah, PhD, dalam acara Satu Jam Berbicang Ilmu (Sajabi) “Membangun Masyarakat yang Resilien secara Sosial dan Ekologis” yang digelar Dewan Profesor Sabtu (5/6) lalu secara daring. Pada kesempatan tersebut, Prof. Oekan mengatakan bahwa pemahaman tentang resiliensi sosial-ekologis menjadi prasyarat penting dalam membangun kembali interaksi yang berkelanjutan antara manusia dan lingkungannya. “Kita harus lebih menghargai sejauh mana ekologi dan sistem sosial ekonomi saling terkait dalam berbagai skala ruang, waktu, dan kompleksitas. Sehingga dengan demikian mereka harus dipandang sebagai satu sistem tunggal,” ujarnya. Membangun masyarakat Indonesia yang resilien secara sosio-ekologis pun menjadi upaya penting untuk mewujudkan Nawacita dan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Menurut Prof. Oekan, mewujudkan SDGs, pada akhirnya juga merupakan upaya menjaga keberlanjutan suatu bangsa. “Kalau Nawacita mampu diimplementasikan dengan baik, maka SDGs itu sebenanrnya sudah kita lakukan juga,” ujar peneliti senior CESS Unpad ini. Lebih lanjut Prof. Oekan menjelaskan, masyarakat Indonesia yang resilien ditunjukan oleh kemampuan kolektif. Bukan hanya dalam hal mempertahankan identitas bangsa, tetapi juga mampu beradaptasi terhadap dinamika lingkungan yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian. “Bahkan lebih dari itu, bangsa Indonesia dapat bertransformasi agar dapat menjamin keberlanjutan Indonesia menjadi suatu bangsa yang memiliki peran penting di kancah global,” ujarnya. Dikatakan Prof. Oekan, resiliensi sosial-ekologis menawarkan perspektif yang holistik dan bersifat transdisiplin untuk memahami fenomena perubahan lingkungan. Konsep ini dinilai dapat memberikan jalan keluar untuk penyelesasian masalah lingkungan dan persoalan lain yang dihadapi. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya semuanya itu bisa terwujud berawal dari kesadaran diri kita sendiri dan keinginan untuk bertransformasi https://www.unpad.ac.id/2021/06/mewujudkan-sdgs-merupakan-upaya-menjaga- keberlanjutan-bangsa/ apabila mengutip konten berita ini. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (IPB)/Sustainable Development Goals (SDGs) adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya TPB/SDGs merupakan komitmen global dan nasional dalam upaya untuk mensejahterakan masyarakat mencakup 17 tujuan yaitu: (1) Tanpa Kemiskinan; (2) Tidak Ada Kelaparan; (3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera, (4) Pendidikan Berkualitas (5) Kesetaraan Gender, (6) Air Bersih dan Sanitasi Layak; (7) Energi Bersih dan Terjangkau, (8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi; (9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur, (10) Berkurangnya Kesenjangan, (11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan; (12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab, (13) Penanganan Perubahan Iklim, (14) Ekosistem Lautan (15) Ekosistem Daratan (16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh, (17) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. Upaya pencapaian target TPB/SDGs menjadi prioritas pembangunan nasional, yang memerlukan sinergi kebijakan perencanaan di tingkat nasional dan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota Target-target TPB/SDGs di tingkat nasional telah sejalan dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dalam bentuk program, kegiatan dan indikator yang terukur serta indikasi dukungan pembiayaannya.TPB/SDGs merupakan penyempurnaan dari Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium development Goals/MDGs) yang lebih komprehensif dengan melibatkan lebih banyak negara baik negara maju maupun berkembang, memperluas sumber pendanaan, menekankan pada hak asasi manusia, inklusif dengan pelibatan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan media, Filantropi dan Pelaku Usaha, serta Akademisi dan Pakar. Indonesia telah berhasil mencapai sebagian besar target MDGs Indonesia yaitu 49 dari 67 indikator MDGs, namun demikian masih terdapat beberapa indikator yang harus dilanjutkan dalam pelaksanaan TPB/SDGS. Beberapa indikator yang harus dilanjutkan tersebut antara lain penurunan angka kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan nasional, peningkatan konsumsi minumum di bawab 1.400 kkal kapita hari, penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), penanggulangan HIV/AIDS, penyediaan air bersih dan sanitasi di daerah perdesaan serta disparitas capaian target antar provinsi yang masih lebar Kementerian PPN/Bappenas dalam melaksanakan TPB/SDGs bersama dengan Kementerian Lembaga, Ormas dan Media, Filantropi dan Pelaku Usaha serta Akademisi dan Pakar perlu merumuskan Rencana Aksi (Reaksi) TPB/SDGs sebagai acum hagi seluruh pemangku kepentingan haik di tingkat nasional (Rencana Aksi Nasional/RAN) maupun di tingkat daerah (Rencana Aksi Daerah RAD), Renaksi TPB/SDGs adalah dokumen rencana kerja 5 (lima) tahunan untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung mendukung pencapaian target nasional dan daerah. Dengan reaksi tersebut diharapkan pihak-pihak terkait ditingkat nasional dan daerah memiliki komitmen dan kejelasan dalam perencanaan dan penganggaran program, serta kegiatan untuk mencapai sasaran TPB/SDGs, Untuk memudahkan pelaksanaan dan pemantauan 17 Tujuan dan 169 target TPB/SDGs dikelompokkan ke dalam empat pilar yaitu: 1.Pilar pembangunan sosial: meliputi Tujuan 1,2,3,4 dan 5. 2.Pilar pembangunan ekonomi, meliputi tujuan 7, 8, 9, 10 dan 17 3. Pilar pembangunan lingkungan meliputi Tujuan 6, 11, 12, 13, 14 dan 13 4.Pilar hukum dan tata kelola meliputi Tujuan 16 1.Penanganan Perubahan iklim Paradigma pembangunan SIXis seharusnya sudah mengadopsi parameter atau variabel perubahan lim. Hal ini dikarenakan paradigma SDGs telah memasukkan nilai ekonomi, sosial, dan ekologi serta links atau irisan ke 3 aspek tersebut (ekonomi, sosial, dan ekologi lingkungan fisik). Perubahan iklim memang merupakan proses fiis, tapi hurus dipahami juga secara sosial ekonomi Fenomena perubahan iklim yang datang mendadak dapat saja merusak hasil-hasil yang telah dicapai dan menghambat pencapaian tujuan pembangunan Untuk menyusum rencana pembangunan yang bersifat SDGs maka diperlukan informasi berupa proyeksi, skenario, dan simulasi dari variabel dan indikator perubahan iklim.
Gambar I menyajikan grafik yang menunjukkan proyeksi tingkat perubahan suhu
permukaan dengan menggunakan beberapa skenario perubahan iklim. Paradigma pembangunan SDGs juga bertujuan melindungi komunitas atau masyarakat yang terkena dampak perubahan iklim yang berisiko tinggi dan sangat rentan Dari 17 tujuan SDGs terdapat 12 tujuan yang memiliki target terkait iklim, terkait dengan energi, kehutanan, ketahanan pangan, dan pendidikan. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terbaru menyebutkan dan mencatat bahwa kelompok termiskin adalah yang kelompok yang paling rentan menerima dampak perubahan iklim. Tanpa adanya pembangunan yang inklusif dan cepat mengintegrasikan aksi terkait perubahan iklim, maka diperkirakan lebih dari 100 juta orang akan berada di bawah garis kemiskinan pada tahun 2030. Demikian pula, and UNDP menunjukkan bahwa kurangnya tindakan terhadap perubahan iklim akan menurunkan pendapatan dan mengurangi peluang bagi populasi rentan. Dampak yang luas dari perubahan iklim terhadap berbagai sektor telah menyebabkan jur perubahan iklim menjadi persoalan yang harus segera ditangani. Kesepakatan Paris merupakan tonggak sejarah untuk memerangi perubahan iklim, meningkatkan aksi dan investasi menuju masa depan yang rendah karbon, berketahanan iklim, dan berkelanjutan. Adanya individu dan komunitas yang tidak mendapat akses terhadap lapangan pekerjaan, dan produk kebutuhan hidup akan memiliki tingkat resiliensi yang rendah, tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim, dan akan cenderung memanfaatkan alam secara tidak bijaksana Sistem produksi dan transportasi yang beremisi tinggi, akan menghasilkan polutan tinggi di atmosfer, mengubah komposisi atmosfer dan keseimbangan energi radiasi, serta mengganggu kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya, dan mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat. 2. Memperbaiki Resiliensi Sosial Untuk Merespon Perubahan Iklim Resiliensi sosial dapat didefinisikan sebagai “cara di mana individu, masyarakat dan masyarakat beradaptasi, berubah, dan berpotensi menjadi lebih kuat saat menghadapi tantangan lingkungan, sosial, ekonomi, atau politik” Pemikiran mengenai resiliensi pertama kali berkembang dalam literatur ekologi di tahun 1970an untuk memahami dan menyesuaikan secara adaptif sistem ekologi kompleks di bawah tekanan. Dalam konteks perubahan iklim global evaluasi dan peningkatan resiliensi sosial masyarakat diperlukan untuk menghindari atau mengurangi dampak potensial perubahan iklim terhadap ketersediaan sumber daya alam, ekonomi, permukiman, dan kesejahteraan individu dan masyarakat Saat ini, sebagian besar pendekatan untuk perencanaan dan pengambilan keputusan dalam menanggapi perubahan iklim didasarkan pada pengetahuan biofisik dan rekayasa, sementara pertimbangan sosial sering dipinggirkan, walaupun perubahan iklim merupakan dilema sosial yang inheren. Untuk mengatasi kurangnya strategi yang berfokus pada sosial, Dale (2011) telah mengembangkan kerangka indikator resiliensi untuk menilai resiliensi sosial masyarakat empat kelompok atribut resiliensi sosial: kelayakan ekonomi, pengetahuan, aspirasi, dan kapasitas masyarakat, vitalitas komunitas, tata kelola. 3.Adaptasi Dan Mitigasi Perubahan Iklim Istilah 'mitigasi' dan 'adaptasi mengacu pada dun jalur yang berbeda untuk menghadapi perubahan iklim. Mitigasi berkaitan dengan penyebab perubahan iklim dan bekerja untuk mengurangi dampak buatan manusia terhadap sistem iklim. Sebaliknya, adaptasi membuat perubahan untuk mempersiapkan dan meniadakan dampak perubahan iklim, sehingga mengurangi kerentanan masyarakat dan ekosistem Dengan beradaptasi dapat mengatasi dampak perubahan iklim, masyarakat, perusahaan dan institusi untuk membangun ketahanan terhadap perubahan iklim. Mitigasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi aktivitas yang merupakan penyebab perubahan iklim Kegiatan yang berkontribusi pada perubahan iklim meliputi pembakaran bahan bakar fosil, penggundulan hutan dan peternakan yang semuanya meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Dengan mengambil tindakan untuk mengurangi emisi GRK, atau menghapusnya dari atmosfer melalui penanaman hutan atau penyimpanan karbon di bawah dan dalam tanah misalnya, individu dan institusi dapat mengurangi perubahan iklim. Mitigasi memiliki implikasi kebijakan untuk sektor-sektor utama ekonomi seperti energi, transportasi, konstruksi, industri, pertanian, kehutanan dan pengelolaan limbah. Untuk mengurangi aktivitasnya, sektor ini memiliki beberapa pilihan, seperti penggunaan energi terbarukan dan meminimalisir penggunaan energi. Instrument perijinan dan insentif diperlukan untuk mendorong perilaku mitigasi seperti ini. Adaptasi melihatkan tindakan yang diambil untuk mengatasi tantangan lingkungan baru atau perubahan dan mengurangi kerentanan sistem manusia terhadap dampak perubahan iklim. Adaptasi dapat berlangsung dalam mengantisipasi suatu peristiwa atau sebagai tanggapan terhadapnya. Ini mencakup penyesuaian melalui perencanaan iklim dan juga reaksi otonom olch individu dan badan publik. Terdapat beberapa tindakan yang dibutuhkan untuk memfasilitasi respon adaptasi, diantaranya: 1. Upaya pemantauan iklim dan komunikasi informasi. Hal ini penting untuk meyakinkan pelaku ekonomi bahwa proyeksi perubahan iklim itu nyata dan memerlukan tindakan respons antisipasi. 2. Kebijakan yang mendukung penelitian, analisis sistem, kapasitas penyuluhan, industri dan jaringan regional. Hal ini diperlukan untuk memberi para manajer pengambil keputusan untuk paham dan memiliki kemampuan strategis serta teknis untuk melindungi usahanya 3. Investasi dalam strategi teknis atau manajemen baru Hal ini diperlukan agar, jika opsi teknis yang ada tidak mencakupi, maka pilihan yang diperlukan untuk merespons perubahan yang diproyeksikan telah tersedia. Ini termasuk peningkatan pertanaman plasma nutah. hijauan, peternakan, perikanan dan perikanan. 4. Pelatihan untuk pekerjaan baru berdasarkan penggunaan lahan baru, relokasi industri dan migrasi manusia. Hal im diperlukan di mana dampak iklim mengarah pada perubahan penggunaan lahan utama. Hal ini dapat dicapai melalui dukungan finansial dan material secara langsung, pilihan mata pencaharian alternatif dengan ketergantungan yang rendah pada pertanian, kemitraan masyarakat untuk badan logistik dan makanan ternak, pengembangan modal sosial haru dan berbagi informasi, Dalam konteks internasional, terdapat dua area dimana dibutuhkan solusi internasional. Pertama adalah bagaimana mempromosikan penerapan teknologi yang memastikan bantuan pangan dan lapangan kerja bagi yang lebih rentan, dan pengembangan rencana kontingensi 5. Infrastruktur, kebijakan dan institusi baru, diperlukan untuk mendukung pengelolaan baru dan pengaturan penggunaan lahan, seperti investasi di infrastruktur irigasi dan teknologi penggunaan air yang efisien, infrastruktur transportasi yang tepat, merevisi pengaturan kepemilikan lahan dan hak kepemilikan, dan penetapan pasar barang dan jasa yang dapat diakses dan efisien, termasuk asuransi, dan masukan termasuk benih, pupuk dan tenaga kerja.. 6. Kebijakan harus mempertahankan kapasitas untuk melakukan penyesuaian dan penyempurnaan adaptasi melalui "pembelajaran dengan melakukan dengan pemantauan adaptasi terhadap perubahan iklim dan biaya, manfaat dan dampaknya. 4.Ekonomi Karbon Rendah Besarnya dan laju perubahan iklim akan sangat bergantung pada upaya mengurangi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Transisi menuju low carbon economy penting untuk mengubah basis industri, termasuk sektor energi, manufaktur, transportasi dan konstruksi. Sistem ekonomi in diarahkan untuk mempertahankan konsentrasi CRK pada 450 ppm CO2 ekuivalen untuk menahan pemanasan global agar tidak lebih 2" Celsius. Pada saat in level CO2 telah mencapai lebih dari 400 ppm. Pengurangan emisi gas rumah kaca di negara-negara berkembang akan memerlukan komitmen kebijakan yang kuat dan investasi dalam low carbon economy atau ekonomi hijau. Beberapa teknologi produksi hemat energi yang sangat efisien harus dapat diimplementasikan Oleh karena itu, tantangannya adalah bagaimana Indonesia sebagai negara berkembang dengan keterbatasan sumber daya finansial dapat membawa teknologi untuk diterapkan dan menciptakan sistem ekonomi hijau. Implementasi yang berhasil bisa menghasilkan "triple dividend," yaitu penghematan energi. pengurangan emisi dan penciptaan lapangan kerja. Pakur iklim menunjukkan bahwa kerusakan perubahan iklim akan turun secara tidak proporsional di negara negara berkembang dan terutama pada masyarakat miskin, yang paling rentan dan paling tidak dapat beradaptasi. Kerusakan tersebut bisa menghambat pembangunan ekonomi. Bank Dunia memperkirakan bahwa negara-negara berkembang akan membutuhkan $ 145- $ 175 miliar untuk mitigasi dan S 30-S 100 miliar untuk adaptasi setiap tahun pada tahun 2030. Namun, jumlah dana internasional saat ini adalah $9 miliar untuk kedua kombinasi tersebut. efisien di negara-negara berkembang. Kedua adalah bagaimana membiayai adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. Bagian pertama dapat dipecahkan tidak hanya di tingkat politik, namun tingkat tinggi pada tingkat bisnis, terutama oleh perusahaan multinasional Bagaimana hisa mendorong sektor bisnis dalam implementasi teknologi yang efisien? Apakah cara efektif kemitraan publik-swasta untuk mencapai tujuan tersebut? Untuk mengatasi bagian kedua, diperlukan adanya komunikasi yang intensif antara mitra politik dan pembangunan. Peneliti dari Imperial College London berpendapat bahwa pembuat kebijakan perlu mengintegrasikan langkah-langkah untuk mengatasi perubahan iklim ke dalam kebijakan ekonomi reguler. Hal ini bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan meningkatkan produktivitas, Laporan tersebut adalah memiliki konsep "Berinvestasi dalam Iklim, Berinvestasi untuk Pertumbuhan" yang menyarankan agar negara-negara G20 yang menyumbang 85% dari PDB (Produk domestik bruto) global dan 80% emisi karbon dioksida harus mengadopsi kombinasi kebijakan pro-pertumbuhan dan pro-lingkungan, mendorong investasi di bidang teknologi dan infrastruktur yang rendah emisi dan tahan terhadap perubahan iklim. Menurut laporan tersebut, sebuah paket kebijakan yang sesuai dengan target perubahan iklim dapat menambahkan satu persen ke rata-rata output ekonomi di negara-negara G20 pada tahun 2021. Ini akan meningkat menjadi 2,8 persen pada tahun 2050. Langkah- langkah menuju low carbon economy: 1. Mengubah jalur pertumbuhan ekonomi ke jalur dengan carbon footprint yang rendah, dan memperkecil emisi GRK per rupiah produksi (dan konsumsi) 2. Dekarbonisasi ekonomi melalui adopsi teknologi rendah karbon dalam industri dan mengubah gaya hidup konsumen. 3. Memanfaatkan teknologi rendah karbon dalam investasi baru Dalam laporan OECD, telah teridentifikasi inovasi teknologi utama yang akan sangat penting untuk mencapar ekonomi rendah karbon Ini termasuk sequestration dan storage karbon (CCS), yang melibatkan penyerapan karbon dioksida sebelum diemisikan ke atmosfer serta 'emisi negatif yang menghapus gas rumah kaca dari atmosfer, terutama untuk mengimbangi emisi dari sekt seperti industri dan penerbangan.