Anda di halaman 1dari 16

ORATIO DIES

60tahun FAKULTAS EKONOMI UNPAR

Peranan Pendidikan Tinggi (Higher Education)


dalam Pengembangan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Sandra Sunanto, Ph.D

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN


BANDUNG
30 Januari 2015

1
Pengembangan Berkelanjutan (Sustainable Development)
“Sustainable development? It means that everybody does something for the world”
(Six-year-old boy from Poland - UNESCO, 2012).

Istilah sustainable development diperkenalkan pada tahun 1980 oleh World Conservation
Strategy (IUCN, UNEP, WWF) dan pada perkembangannya konsep sustainable development
memberikan pengaruh yang kuat bagi dunia melalui Brundtland Report (World Commission
on Environment and Development, 1987) dan Agenda 21 (UNESCO, 1992).
Seiring dengan perkembangan jaman, konsep sustainable development mengalami
evolusi yang menarik untuk diamati. Konsep awal dari sustainable development yang
diperkenalkan oleh World Conservation Strategy fokus pada keterkaitan antara
kemiskinan, pengembangan dan lingkungan. Dilema yang dihadapi adalah eksploitasi
sumber daya alam terutama di negara-negara berkembang dengan alasan pembangunan
untuk pengentasan kelaparan dan kemiskinan. Faktor sosial, ekonomi dan politik menjadi
akar permasalahan dari krisis lingkungan yang terjadi. Hal tersebut menjadi dasar dari
perkembangan konsep sustainable development dan rekomendasi bagi Brundtland Report
(1987).
Brundtland Report (1987) memberikan definisi yang diterima secara luas, meskipun
sampai saat ini masih terdapat perdebatan tentang definisi yang paling tepat dan isu
utama dari sustainable development:

“Sustainable development is a development that meets the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs.”

Definisi tersebut, meskipun telah diterima secara luas memberikan arti yang dipandang
ambigu oleh pihak-pihak yang berbeda. Tillbury et al.(2002) memiliki pandangan bahwa
definisi yang ambigu tersebut justru dapat diterima oleh berbagai pihak dengan
kepentingan yang berbeda.
Menindaklanjuti Brundtlandt Report yang diterbitkan oleh World Commission on
Environment (1987), Earth Summit yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tahun
1992 menghasilkan Agenda 21 yang merupakan dokumen bersejarah berupa komitmen
negara-negara di dunia untuk mempromosikan konsep sustainability melalui berbagai cara,
salah satunya adalah melalui pendidikan. Agenda 21 menyadarkan dunia tentang
pentingnya sustainable development dan menjadi titik awal dari proses kerjasama
internasional yang mencakup isu-isu pengembangan dan lingkungan.
Tillbury et al.(2002) menggunakan sudut pandang holistik atau sistem yang
mendefinisikan sustainable development sebagai suatu proses perubahan yang dipandu
oleh nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu sistem. Salah

2
satu contoh adalah program “Caring for the Earth” yang diprakarsai oleh konsorsium
organisasi lingkungan dunia yaitu the World Conservation Union, the United Nations
Environment Programme (UNEP) dan the World Wide Fund for Nature (WWF). Program
Caring for the Earth disusun berlandaskan dua prinsip dasar yang tidak bisa dipisahkan,
yaitu ecological sustainability yang terkait dengan tanggung jawab manusia terhadap alam
dan social justice yang merupakan tanggung jawab manusia untuk peduli terhadap sesama.
Setiap prinsip memiliki empat sub-prinsip sebagai berikut: (adaptasi dari IUCN, UNEP dan
WWF, 1990, p.22; Fien, 1997, p.4)
 Manusia dan Alam (Ecological Sustainability)
1) Interdependence. Manusia merupakan bagian dari alam dan tergantung pada alam,
sehingga manusia dituntut untuk menghormati alam dengan memiliki kepedulian
terhadap alam dan menggunakan sumber daya alam yang tersedia dengan efisien
melalui ilmu pengetahuan dan kebijakan publik yang mempromosikan
sustainability.
2) Biodiversity. Manusia harus melindungi ekosistem untuk menjamin keberlangsungan
hidup seluruh spesies di bumi dan menjaga habitat mereka.
3) Living lightly on the earth. Manusia harus menjaga proses ekologi, keragaman
hidup, pembaharuan sumber daya dan ekosistem. Manusia dituntut untuk
menggunakan sumber daya alam dan lingkungan secara hati-hati dan menjaga
keberlangsungan nya, dan bekerjasama untuk membangun kembali ekosistem yang
rusak.
4) Interspecies equity. Manusia harus memperlakukan seluruh spesies di dunia ini
dengan baik, dan menjaga mereka dari kepunahan dan dari perbuatan-perbuatan
yang tidak bertanggung jawab.
 Manusia dan manusia (Social Justice)
1) Basic human needs. Kebutuhan individu dan masyarakat harus dipenuhi dan mereka
diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang.
2) Inter-generational quality. Setiap generasi harus mewariskan kondisi dunia yang
baik dan produktif bagi generasi mendatang. Untuk mencapai tujuan tersebut,
penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui harus dibatasi, sumber
daya yang dapat diperbaharui harus digunakan secara berkelanjutan dan limbah
atau sampah harus diminimalkan. Keuntungan yang diperoleh dari pengembangan
saat ini tidak dapat dinikmati jika menciptakan biaya bagi generasi di masa
mendatang.
3) Human rights. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih prinsip dan
kepercayaan, berekspresi dan berasosiasi.

3
4) Participation. Setiap individu dan komunitas harus mampu bertanggung jawab
untuk hidup mereka dan untuk kehidupan yang ada di bumi ini. Oleh sebab itu,
setiap individu harus memiliki akses terhadap pendidikan, hak politik, dukungan
untuk hidup berkelanjutan, dan dapat berpartisipasi aktif dalam seluruh
pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidupnya.

Beberapa dokumen dan literatur tentang sustainable development menyimpulkan


bahwa sustainable development bukanlah merupakan tujuan, tapi sebuah perjalanan visi
dan rencana masa depan yang melibatkan berbagai sektor, budaya dan kelompok.
Bagaimanakah peran pendidikan dalam pengembangan berkelanjutan? Uraian
berikut akan membahas tentang peran pendidikan, khususnya pendidikan tinggi dalam
mendukung pencapaian pengembangan berkelanjutan.

Peran Pendidikan dalam Mendukung Pengembangan Berkelanjutan


“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world,”
(Nelson Mandela).

Pernyataan Nelson Mandela merupakan warisan paling berharga yang beliau berikan untuk
dunia. Pendidikan menjadi sarana utama dalam pemberdayaan peran manusia dalam
masyarakat, sehingga pendidikan dipandang memegang peranan penting dalam
mempromosikan pengembangan berkelanjutan.
Tahun 2005-2014 merupakan satu dekade yang dicanangkan oleh organisasi
Perdamaian Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai “the Decade of Education for Sustainable
Development (ESD)”. ESD memberikan kesempatan bagi setiap manusia untuk memperoleh
pengetahuan, keahlian, sikap dan nilai-nilai yang diperlukan untuk membangun masa
depan. PBB merumuskan ESD sebagai berikut:
“Education for Sustainable Development means including key sustainable
development issues into teaching and learning; for example, climate change, disaster risk
reduction, biodiversity, poverty reduction, and sustainable consumption...”

Untuk mencapai tujuannya, ESD membutuhkan metode pengajaran dan


pembelajaran partisipatif yang mampu memotivasi para siswa untuk mengubah perilaku
dan mengambil tindakan yang sesuai dengan isu-isu pengembangan berkelanjutan seperti
yang diuraikan pada rumusan ESD menurut PBB. Melalui ESD, para siswa akan memiliki
beberapa kompetensi seperti critical thinking, mampu merancang skenario masa depan
yang imajinatif, dan membuat keputusan secara berkolaborasi, tidak secara individu.
Untuk mewujudkan hal tersebut, ESD membutuhkan perubahan besar dan mungkin cukup
revolusioner dari praktek pendidikan yang ada saat ini.

4
Gambar berikut ini adalah contoh dari promosi ESD berupa brosur yang disebarkan
melalui berbagai media, termasuk media online oleh UNESCO:
Gambar 1.
Promosi UNESCO Education for Sustainable Development

5
Implementasi ESD telah dilakukan di beberapa negara, dan berikut adalah beberapa
contoh program yang cukup berhasil:
1. The Young Master Programme on Sustainable Development.
Program yang diprakarsai oleh Swedish Foundation ini merupakan suatu jaringan
pendidikan berbasis internet yang secara gratis diberikan bagi seluruh siswa kelas
menengah dan para guru di seluruh dunia dengan tujuan mengenal dan memahami isu-
isu sustainability. Proses pembelajaran dilakukan secara virtual dimana para siswa
dapat membuat proyek-proyek yang dilaksanakan di daerah mereka masing-masing.
Salah satu contoh menarik adalah proyek dari sekelompok siswi Indonesia yang
membantu keluarga-keluarga miskin di Surabaya. Mereka mengajak keluarga-keluarga
miskin untuk mengumpulkan surat kabar bekas untuk didaur ulang menjadi keranjang
dan dijual dengan merek “Selbi”. Ide ini telah menjadi inspirasi banyak orang dan
proyek serupa telah banyak bermunculan di wilayah-wilayah lain. (www.goymp.org)
2. The Paryavaran Mitra Programme.
Proyek yang diprakarsai oleh Kementerian Lingkungan dan Kehutanan India, Pusat
Pendidikan Lingkungan dan ArcellorMital ini mengajak siswa berusia 11-15 tahun yang
berasal dari 20.000 sekolah di India untuk menjadi “teman lingkungan”. Metode
learning by doing diterapkan bagi para siswa dan para guru untuk lima bidang utama
yaitu air dan kebersihan, energi, manajemen limbah, biodiversity dan penghijauan,
dan budaya. (www.paryavaranmitra.in)
3. The Sierra Gorda Earth Centre Roberto Ruiz Obregón.
Organisasi yang berasal dari Mexico ini menawarkan kursus dan pelatihan bagi mereka
yang bekerja di bidang perlindungan alam. Kursus bergelar diploma yang ditawarkan
mengadaptasi program UNESCO “Teaching and Learning for a Sustainable Future”
sehingga sesuai dengan kebutuhan lokal. (www.unesco.org/education/tlsf)
4. The Asian Rice Project.
Proyek kerjasama regional untuk mempromosikan ESD melalui beras yang diprakarsai
oleh the Asia-Pacific Cultural Center for UNESCO ini mengajak sekolah-sekolah dan
komunitas untuk bersama-sama mempromosikan isu sustainability melalui tema beras.
Sekolah-sekolah yang berpartisipasi membagi aktivitas dan pengalaman mereka melalui
website proyek tersebut. (www.accu.or.jp/jp/en)

Indonesia sendiri telah memulai komitmennya untuk mempromosikan ESD pada


tahun 2005 dengan ditandatanganinya suatu kesepakatan antara Kementerian Pendidikan
dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mempromosikan implementasi ESD secara
nasional. Menindaklanjuti UNESCO World Conference on Education yang diselenggarakan di

6
Bonn, Jerman pada tahun 2009, Perwakilan UNESCO di Indonesia dan Kementerian
Pendidikan menunjuk Rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta sebagai koordinator
implementasi ESD secara nasional. Tugas utama koordinator adalah melakukan integrasi,
perencanaan, monitoring, evaluasi dan pengembangan program-program yang terkait
dengan implementasi ESD di Indonesia. Suatu komite juga dibentuk untuk mendukung
strategi implementasi ESD. Berikut adalah tujuan dari implementasi strategi ESD di
Indonesia:
1) untuk meningkatkan akses dan peluang masyarakat miskin dan tidak beruntung
untuk memperoleh pendidikan dasar yang berkualitas;
2) untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan dasar dan memfasilitasi peluang-
peluang komunitas untuk menjamin pendidikan anak usia dini yang efisien;
3) untuk meningkatkan pembangunan kapasitas di tingkat lokal maupun nasional
melalui sekolah-sekolah berbasis manajemen dan partisipasi dalam komunitas;
4) untuk meningkatkan profesionalisme dan pertanggungjawaban institusi-institusi
pendidikan berdasarkan ilmu pengetahuan, keahlian, pengalaman, sikap dan nilai
yang diturunkan dari standar nasional dan global.
Kurikulum dirancang untuk pendidikan dasar, menengah (termasuk program
vokasi), pendidikan khusus dan pendidikan non formal dengan fokus pada keadilan,
demokratisasi, gender, dan mitigasi bencana sebagai suatu proses integrasi dari ESD. Peran
pemerintah difokuskan pada peningkatan kualitas guru, bangunan sekolah dan partisipasi
komunitas.
Pada kenyataannya, program ESD di Indonesia juga diimplementasikan di tingkat
pendidikan tinggi, yaitu universitas. Salah satu program ESD yang dianggap berhasil oleh
UNESCO adalah “Student Community Services – Community Empowerment Learning” (SCS-
CEL) yang diprakarsai oleh Universitas Gadjah Mada. Program ini merupakan mata kuliah
wajib bagi seluruh mahasiswa yang menempuh program studi S1 di Universitas Gajah
Mada. Mahasiswa diharuskan bekerja sama sebagai team yang beranggotakan mahasiswa
dari berbagai disiplin ilmu dengan tugas merancang dan mengimplementasikan suatu
project bagi suatu komunitas tertentu berlandaskan prinsip dan pendekatan sebagai
berikut; win-win solutions, partnership and co-creation, co-financing, research-based
activity, multidisciplinary approach, flexibility and sustainability. Setiap tahunnya
sebanyak 7000 mahasiswa terdaftar sebagai peserta program dan 100 project dihasilkan
setiap tahunnya. 50 persen dari seluruh project tersebut memilih isu sustainability
development sebagai tema utama dan menggunakan metodologi dan pendekatan ESD.
Meskipun proses pengajaran dan pembelajaran ESD di Indonesia cukup didukung,
masih banyak ditemukan tantangan dan hambatan dalam pelaksanaannya:

7
1) Prioritas implementasi ESD di dunia pendidikan masih dirasakan kurang, terutama di
daerah-daerah terpencil yang masih lebih banyak bergulat dengan masalah kemiskinan,
gizi dan kesehatan, dan lain-lain;
2) ESD hanya dianggap sebagai kegiatan ekstra kurikuler bagi para siswa di sekolah,
padahal implementasi ESD haruslah terintegrasi dalam proses pembelajaran;
3) Mayoritas pengelola/manajemen sekolah hanya terfokus pada pemenuhan kewajiban
yang dituntut oleh menteri pendidikan, para orang tua dan perusahaan. ESD tidaklah
menjadi prioritas bagi para pengelola/manajemen;
4) Kurangnya keseimbangan dan keterkaitan antara program pendidikan formal dan non-
formal di tingkat dasar, menengah dan kejuruan;
5) Kurangnya program capacity building yang dibutuhkan untuk pengembangan kurikulum
dan peningkatan kualitas guru dan para pendidik;
6) Tidak adanya mekanisme formal untuk monitoring dan evaluasi kegiatan ESD;
7) Kurangnya dukungan finansial yang dibutuhkan dalam pelaksanaan ESD.
Pertanyaan yang seringkali muncul adalah bagaimana ESD diimplementasikan?
Adakah metode pengajaran dan pembelajaran yang paling efektif untuk diterapkan? Global
monitoring and evaluation survey (GMES) (UNESCO, 2011) menemukan sembilan metode
pembelajaran ESD, dimana beberapa metode merupakan metode konvensional
(transmissive learning dan disciplinary learning) tetapi sebagian lagi merupakan metode
yang cukup revolusioner (multi-stakeholder social learning dan systems thinking-based
learning). Sembilan metode pembelajaran ESD menurut GEMS adalah sebagai berikut:
1) Discovery learning – siswa dihadapkan pada suatu misteri yang menantang mereka
untuk melakukan eksplorasi dalam proses belajar;
2) Transmissive learning – metode ini menggunakan didactic skills (presenting, lecturing
dan story-telling) untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada para siswa;
3) Participatory/collaborative learning – metode ini menekankan partisipasi aktif bekerja
dalam kelompok yang terfokus pada penyelesaian suatu masalah atau tugas;
4) Problem-based learning – siswa diajak untuk menemukan solusi dari permasalahan riil
atau pun simulasi kasus sehingga siswa mampu untuk lebih memahami permasalahan
secara nyata;
5) Disciplinary learning – metode ini menggunakan teknik berupa pertanyaan awal dari
suatu disiplin ilmu untuk memahami dasar dari suatu ilmu, dan kemudian mampu untuk
mengembangkan ilmu tersebut;
6) Interdisciplinary learning – metode ini mengawali proses pembelajaran dengan
mengajukan pertanyaan yang berasal dari suatu masalah yang kemudian dikembangkan

8
dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda dari berbagai disiplin ilmu sehingga
siswa mampu berpikir secara integratif dalam menemukan solusi dari suatu masalah;
7) Multi-stakeholder social learning – metode ini mengumpulkan berbagai siswa dengan
latar belakang pendidikan, sosial, budaya, nilai dan pengalaman yang berbeda untuk
memperoleh solusi kreatif dari suatu permasalahan;
8) Critical thinking-based learning – metode ini mengajak siswa untuk berpikir, berdebat
dan melakukan refleksi dalam proses pembelajaran;
9) Systems thinking-based learning – metode ini mengajak siswa untuk berpikir secara
sistem, dimana terdapat ketergantungan antara satu faktor atau situasi dengan faktor
atau situasi lainnya yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Gambar 2.
Metode Pembelajaran ESD menurut GMES

Sumber: UNESCO, 2011


Hasil survey GME (Gambar 2) menunjukkan bahwa terdapat tiga metode
yang paling banyak digunakan oleh responden yaitu Interdisciplinary learning, Problem-
based learning dan Participatory/Collaborative learning.
Metode manakah yang paling efektif digunakan dalam implementasi ESD? Survey
GME menyatakan bahwa implementasi ESD tidak dapat hanya mengandalkan satu metode
saja, tetapi beberapa metode dapat digunakan sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Pemilihan metode yang dianggap efektif untuk kondisi yang dihadapi dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti karakteristik siswa (usia, pengetahuan, minat, kemampuan),
konteks pembelajaran (iklim pedagogi, tradisi budaya, iklim politik), dan ketersediaan
sumber daya (kompetensi guru, materi pengajaran, teknologi komunikasi dan informasi,
dana).
ESD dipandang sebagai suatu mekanisme dari transformasi pendidikan dan
pembelajaran yang membutuhkan suatu evolusi pedagogi, dan bukan merupakan materi

9
tambahan dalam kurikulum. Tantangan ESD ke depan adalah mendobrak pola pendidikan
tradisional seperti yang diungkapkan oleh salah seorang pimpinan UNESCO dari Perancis
berikut ini:
“The worst factor (limiting the potential of ESD) was a pedagogical tradition
resulting from a centralized and top-down institutional construction. This pedagogy was
mainly addressing old-fashioned education mainly focusing on disciplinary approaches
referring only to basic and theoretical knowledge rather than transdiciplinary approaches
referring to concrete approaches (leading) to new behaviours. The launcing of the Decade
opened minds and curriculums to bring better answers to our society,” (UNESCO Chair
Report, France).

Bagaimanakah peran Universitas/pendidikan tinggi (higher education) dalam


pengembangan berkelanjutan (sustainable development)? Uraian berikut mengajak kita
semua untuk memahami peran, tantangan dan hambatan Universitas/pendidikan tinggi
dalam mempersiapkan generasi mendatang agar mampu menghadapi tantangan dalam
mewujudkan dunia yang lebih baik.

Peranan Pendidikan Tinggi (Higher Education) dalam Pengembangan Berkelanjutan


(Sustainable Development)

“Higher education can serve as a model of sustainability


by fully integrating all aspects of campus life” (Cortese, 2003)

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam


mempersiapkan masa depan bagi setiap generasi, dan Universitas sebagai bagian didalam
nya diposisikan sebagai aktor utama. Universitas menjembatani kegiatan penciptaan ilmu
pengetahuan dan men-transfer ilmu pengetahuan kepada masyarakat melalui dua cara.
Cara pertama adalah menciptakan para pengambil keputusan di masa mendatang untuk
masuk di pasar tenaga kerja, dan cara pertama ini dipersiapkan melalui pendidikan para
guru yang memegang peranan penting dalam pendidikan dasar dan menengah. Cara kedua,
universitas secara aktif berkontribusi dalam pengembangan masyarakat melalui layanan
community development. Universitas diharapkan memberikan kontribusi terhadap inovasi,
kontribusi terhadap refleksi nilai-nilai dan etika, dan kontribusi terhadap transformasi
untuk mencapai masyarakat yang lebih sustainable.
Suatu universitas merupakan suatu komunitas yang terintegrasi yang sebenarnya
menggambarkan suatu model dari keberlangsungan sosial dan biologis dan keterkaitannya
dengan komunitas lokal, regional dan global. Sayangnya, seringkali kegiatan pengajaran,
penelitian, operasional dan relasi dengan komunitas merupakan kegiatan yang terpisah
tidak memiliki keterkaitan satu sama lain (Gambar 3).

10
Gambar 3.
Praktk Umum Pendidikan Tinggi

Sumber: Cortese (2003: p.17)


Menyadari bahwa para siswa/mahasiswa belajar dari apa yang ada disekitar
mereka, seluruh kegiatan di Universitas seharusnya membentuk suatu jaringan
pembelajaran dan pengalaman yang kompleks seperti yang digambarkan pada gambar 4
berikut:
Gambar 4.
Sustainability Model di Pendidikan Tinggi sebagai Suatu Sistem Terintegrasi

Sumber: Cortese (2003: 18)

11
Bagaimanakah universitas memberikan kontribusi secara nyata terhadap
pengembangan berkelanjutan? Pertama, universitas harus menempatkan konsep dan isu-
isu terkait pengembangan berkelanjutan dalam kurikulum setiap program studi dan juga
program penelitian. Program pembelajaran haruslah memberikan pengalaman bagi
mahasiswa yang merefleksikan kedekatan hubungan antara kurikulum dengan penelitian,
pemahaman dan tindakan institusi untuk mengurangi kegiatan negatif yang berdampak
pada kehidupan sosial dan lingkungan, dan tindakan untuk meningkatkan komunitas lokal
dan regional yang lebih sehat, peduli sosial, aman secara ekonomi dan lingkungan yang
terjaga untuk masa depan (Cortese, 2003). Kedua, universitas juga dapat berperan dalam
re-orientasi program-program pendidikan di tingkat pendidikan dasar, menengah dan
kejuruan melalui pelatihan para guru. Ketiga, universitas menempatkan pengembangan
berkelanjutan sebagai prinsip utama kegiatan logistik organisasi dan proses manajemen.
Proses pendidikan didalam universitas dan dukungan universitas terhadap
implementasi ESD diluar kampus yang didukung oleh penelitian-penelitian akademis
memberikan peran sangat penting bagi universitas dalam mempromosikan ESD di
masyarakat dan mewujudkan tujuan dari ESD sendiri (Niu et al., 2010). Universitas adalah
pemimpin dalam pengembangan komunitas yang berkelanjutan melalui manajemen
Universitas sendiri dan program-program ESD yang diimplementasikan dalam proses
pembelajaran bagi para calon pemimpin masa depan, yaitu para mahasiswa (Arbuthnott,
2009).
Proses transformasi didalam universitas sendiri tidaklah mudah dan sangat
kompleks. Universitas dituntut untuk menerapkan konsep pengembangan berkelanjutan
tidak hanya dalam kurikulum dan proses pembelajaran tetapi juga dalam
pengelolaan/manajemen universitas. Salah satu contoh dari model peranan universitas
dalam pengembangan berkelanjutan adalah model yang dikembangkan oleh Universitat
Politècnica de Catalunya (UPC) (Gambar 5). Penelitian, pendidikan dan operasional
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam strategi universitas untuk mencapai tujuan
yaitu berkontribusi terhadap pengembangan berkelanjutan. Tujuan tersebut dicapai
melalui tiga strategi utama yang bersinerji satu dan lainnya, yaitu SD trained education
professionals, SD solutions for research, dan SD role model for campus operations.

12
Gambar 5.
Peranan Universitat Politècnica de Catalunya
untuk Lingkungan dan Pengembangan Berkelanjutan

Sumber: Ferrer-Balas et al., 2006.


Untuk mencapai tujuan tentunya tidak lepas dari tantangan dan bahkan hambatan.
Berikut adalah faktor-faktor yang dapat menjadi hambatan dalam mewujudkan ESD di
pendidikan tinggi:
1) Tingkat kemampuan sumber daya manusia dalam hal pengetahuan tentang isu-isu
dan konsep pengembangan berkelanjutan yang tidak memadai, tingkat motivasi
sumber daya manusia (guru) untuk meningkatkan keahliannya dan kesediaan semua
pihak untuk menerima perubahan, terutama dalam hal keterlibatan dalam
penelitian dan kegiatan-kegiatan yang inovatif;
2) Budaya universitas dan resistensi terhadap perubahan merupakan hambatan
“klasik” yang seringkali dihadapi dalam implementasi ESD;
3) Tidak adanya tekanan terhadap tuntutan perubahan dan pengakuan atas
keberhasilan universitas mengimplementasikan pengembangan berkelanjutan
(misalnya akreditasi) mengakibatkan tidak adanya sense of urgency untuk
menerapkan konsep pengembangan berkelanjutan.
Berdasarkan uraian tentang peranan dan tantangan serta hambatan yang dihadapi
oleh pendidikan tinggi dalam pengembangan berkelanjutan, dapat disimpulkan bahwa
dibutuhkan budaya belajar baru yang mengganti budaya indoktrinasi menjadi budaya yang
berorientasi terhadap kemampuan, swadaya organisasi dan kompetensi yang menciptakan
keahlian didactic (Barth et al., 2007). Proses pembelajaran dengan budaya baru tersebut
memiliki tiga karakteristik yaitu orientasi kompetensi, orientasi sosial dan orientasi

13
individu dimana individu menjalani proses belajar secara aktif baik di lingkungan
pendidikan formal maupun informal.
Untuk pendidikan formal, terdapat dua tantangan yang akan dihadapi yaitu
orientasi terhadap interdiciplinary dan penguatan atas kemandirian dalam proses belajar.
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan
kemampuan manusia untuk mencari solusi dengan mempertimbangkan berbagai
perspektif. Pengajaran di universitas diharapkan mampu meninggalkan cara tradisional
dengan mengajarkan mahasiswa untuk berpikir secara holistik, tidak hanya menggunakan
sudut pandang dari satu disiplin ilmu dan mampu bekerjasama dalam suatu team.
Selain pendidikan formal, mahasiswa juga harus mampu belajar dalam lingkungan
non-formal melalui belajar mandiri secara individu maupun kelompok tanpa bimbingan
guru, belajar dari pengalaman hidup sehari-hari (experiential learning) dan bersosialisasi.

Kesimpulan
Meskipun era Education for Sustainable Development yang dicanangkan oleh UNESCO telah
berakhir, pada kenyataannya perjalanan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan masih
panjang. Tantangan kedepan, khususnya bagi pendidikan tinggi dalam memberikan
kontribusi bagi dunia yang lebih baik di masa mendatang tidaklah mudah. Pendidikan
tinggi, dalam hal ini universitas, dituntut untuk mengubah budaya lama menjadi budaya
baru yang membutuhkan komitmen untuk menerapkan konsep pengembangan
berkelanjutan di seluruh aspek termasuk kurikulum, manajemen, kehidupan kampus dan
proses belajar mengajar.
Fakultas Ekonomi UNPAR yang telah menginjak usia 60 tahun (17 Januari 1955-17
Januari 2015) telah menjadi bagian penting dari pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya
di Jawa Barat. Usia 60 tahun telah membuktikan bahwa Fakultas Ekonomi UNPAR mampu
bertahan (sustainable) dalam menghadapi perubahan dan tuntutan jaman, TETAPI,
seberapa besar kontribusi yang telah diberikan Fakultas Ekonomi UNPAR sebagai suatu
lembaga pendidikan tinggi bagi pengembangan berkelanjutan masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat Jawa Barat? Pertanyaan inilah yang mari kita renungkan bersama...

“What counts in life is not the mere fact that we have lived. It is what difference we
have made to the lives of others that will determine the significance of the life we
lead” – Nelson Mandela

14
Daftar Pustaka

Arbuthnott, K.D. (2009) “Education for Sustainable Developmet Beyond Attitude Change”.
International Journal of Sustainability in Higher Education 10(2): 152-163.

Barth, M., J. Godemann, M. Rieckmann, and U. Stoltenberg (2007) “Developing Key


Competencies for Sustainable Development in Higher Education”, International
Journal of Sustainability in Higher Education 8(4): 416-430.

Calder, W. and R.M. Clugston (2003) “International Efforts to Promote Higher Education
for Sustainable”, Planning for Higher Education.

Cortese, A.D. (2003) “The Critical Role of Higher Education in Creating a Sustainable
Future”, Planning for Higher Education.

Ferrer-Balas, D., Y. Cruz and J. Segalàs (2006) in “Drivers and Barriers for Implementing
Sustainable Development in Higher Education”, Education for Sustainable
Development in Action Technical Paper No.3 edited by J. Holmberg & B.E.
Samuelson.

Little, A.W. and A. Green (2009) “Succesful Globalisation, Education and Sustainable
Development”, International Journal of Educational Development (29): 166-174.

Niu, D., D. Jiang and F. Li (2010) “Higher Education for Sustainable Development in
China”, International Journal of Sustainability in Higher Education 11(2): 153-162.

SvanstrÖm, M., F.J. Lozano-Garcia, D. Rowe (2008) “Learning Outcomes for Sustainable
Development in Higher Education”, International Journal of Sustainability in
Higher Education 9(3): 339-351.

Tillbury, D., R.B. Stevenson, J. Fien and D. Schreuder (2002) “Education and Sustainability
Responding to the Global Change”, IUCN Commission on Education and
Communication.

UNESCO (2011) “National Journeys towards Education for Sustainable Development”.

UNESCO (2012) “Shaping the Education of Tomorrow”, Report on the UN Decade of


Education for Sustainable Development, Adbridge.

UNESCO (2012) “ESD: Building a Better, Fairer World for the 21st Century”.

UNESCO Education Sector (2006) “Drivers and Barriers for Implementing Sustainable
Development in Higher Education”, Education for Sustainable Development in
Action Technical Paper No.3 edited by J. Holmberg & B.E. Samuelson.

UNESCO Education Sector (2010) “Education for Sustainable Development: A Policy and
Practice Review Tool”, Education for Sustainable Development in Action Learning
and Training Tools no.2.

UNESCO Education Sector (2012) “Exploring Sustainable Development: A Multiple


Perspective Approach”, Education for Sustainable Development in Action Learning
and Training Tools no.3.

15
Wals, A.E.J. and B. Jickling (2002) “Sustainability in Higher Education: From Doublethink
and Newspeak to Critical Thinking and Meaningful Learning”, International Journal
of Sustainability in Higher Education 3(3): 221-232.

16

Anda mungkin juga menyukai