Anda di halaman 1dari 4

BAB I PENGANTAR

Strategi dan kebijakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan pro rakyat -> Krisis sosial
lingkungan -> Kerusakan lingkungan -> Pemanasan global (global warning), perubahan iklim (climate
change), bencana alam (banjir, rob, longsor, dll).

sumberdaya ekonomi masyarakat diakuisisi dan dieksploitasi secara serakah oleh negara dan para
pelaku ekonomi untuk mewujudkan kepentingan pertumbuhan ekonomi negara dan laba korporasi.
Akibatnya, meski di satu sisi pertumbuhan laba korporasi dan pertumbuhan ekonomi negara (daerah)
terus meningkat (EN), namun pada saat yang sama eskalasi krisis sosial dan krisis lingkungan (EKSL)
semakin meningkat pula. Permasalahan sosial dan lingkungan yang timbul justru kian kompleks dan
membahayakan. Fenomena ini sering disebut sebagai “paradoks pertumbuhan ekonomi” yang
dihasilkan dari perilaku ekonomi yang tamak (greedy economy).

Merespon realitas tersebut dan juga merespon tekanan dari masyarakat internasional yang kian kuat
agar Indonesia berperan aktif dalam kolaborasi global untuk mengatasi pemanasan global dan
peruabahan iklim, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) selama 2009-2014 memang sudah merumuskan langkah-langkah strategis dan operasional untuk
“menghijaukan Indonesia” melalui pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
dan ekonomi hijau (green economy).

Tujuannya, agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia bisa berkelanjutan, kemiskinan dan
kemelaratan masyarakat bisa dipangkas, dan keadilan serta kesejahteraan bisa dinikmati semua orang.
Menurut SBY, kerusakan lingkungan dan kemiskinan terjadi akibat keserakahan, tingkat konsumsi yang
berlebihan, dan diabaikannya kelestarian lingkungan

Namun setelah berakhirny periode SBY, gaungan ekonomi hijau kian mereduk, terbukti antar
kementerian negera dan antara pemerintah pusat dan daerah terlihat tidak ada kesepahaman dan
koordinasi tentang visi dan implementasi ekonomi hijau dalam strategi dan agenda pembangunan
berkelanjutan. Hal itu tercermin dari sejumlah kebijakan pembangunan ekonomi dari pemerintah pusat
dan pemerintah daerah yang banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi hijau dan
pembangunan berkelanjutan.

pemerintah sepertinya masih bingung tentang bagaimana menerjemahkan, merumuskan dan


menginternalisasikan prinsip-prinsip dan pilar-pilar ekonomi hijau. Empat pilar strategi pembangunan
nasional yang diusung pemerintahan Presiden SBY selama memimpin Indonesia, yaitu pro-growth, pro-
job, pro-poor dan pro-green, juga belum sesungguhnya merefleksikan pendekatan pembangunan
ekonomi hijau yang ramah lingkungan dan masyarakat. Bahkan, visi pembangunan ekonomi yang
tercantum dalam MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia), yaitu Mewujudkan
Masyarakat Indonesia yang Mandiri,Maju, Adil, dan Makmur” belum merefleksikan visi pembangunan
ekonomi hijau atau pembangunan berkelanjutan yang sesungguhnya.

Karena itu, ketika Joko Widodo dan Jusuf Kalla atau disingkat Jokowi-JK terpilih menjadi Presiden-Wakil
Presiden untuk menggantikan SBY-Boediono, saya dan banyak kalangan berharap banyak bahwa
pemerintahan baru di bawah komando Jokowi-JK akan memiliki komitmen kuat dan melakukan aksi-aksi
nyata untuk menata ulang tatakekola pembangunan ekonomi nasional yang lebih ramah lingkungan dan
masyarakat.

Banyak kalangan bahkan mulai pesimis bahwa Jokowi-JK memiliki “hati nurani” untuk konsisten
mengimplementasikan prinsip-prinsip ekonomi hijau dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan nasional karena Jokowi-JK berasal dari latar belakang sebagai pengusaha atau pebisnis
yang pragmatis. Latar belakang tersebut dikuatirkan akan mempengaruhi pemikiran, keputusan dan
aksi-aksi nyata-nyata yang cenderung pragmatis.

BAB II Strategi menghijaukan ekonomi, bisnis dan akuntansi

selama pemerintahan SBY-Boediono selama 2004-2014 telah menghasilkan pertumbunan ekonomi yang
tinggi, yaitu di atas 5 persen per tahun (kecuali 2009). Namun pertumbuhan ↑Kerusakan lingkungan
dan krisis sosial lingkungan (Kemiskinan, pengangguran, ketimpangan ekonomi, kerusakan 4 lingkungan
dan bencana alam) juga ↑

ss

strategi menghijaukan perekonomian nasional

langkah pertama yang perlu dilakukan pemerintah pusat adalah melakukan penghijauan (greening)
terhadap struktur dan proses pembangunan ekonomi nasional. Langkah berikutnya adalah
menghijaukan kebijakan dan mekanisme fiskal dan moneter. Selanjutnya, dilakukan penghijauan
terhadap instrumen-instrumen keuangan dan pasar modal. Langkah terakhir adalah menghijaukan
pendidikan, media massa dan masyarakat (publik).

Media massa juga perlu dihijaukan baik dalam perilaku usahanya maupun dalam upaya turut serta
mengedukasi dan mengontrol perilaku ramah lingkungan daripemerintah, pelaku ekonomi dan bisnis,
serta masyarakat luas. Menghijaukan masyarakat agar berpola pikir dan berpola hidup ramah
lingkungan juga menjadi sangat penting.

Dalam pandangan Prof Lako dalam buku Green Economy : Menghijaukan Ekonomi, Bisnis dan Akuntansi,
apabila ekonomi dan bisnis dapat dikelola secara baik dan berkelanjutan maka sejumlah permasalahan
krusial dan strategis yang melilit ekonomi, sosial dan lingkungan selama ini pasti juga akan dapat teratasi
dengan baik. Kinerja perekonomian, kinerja dunia usaha, kesejahteraan rakyat dan kelestarian
lingkungan serta alam semesta pasti juga akan semakin baik dan berkelanjutan.Indonesia pun akan
berkontribusi signifikan dalam upaya global untuk mencegah eskalasi pemanasan global dan perubahan
iklim.

Dalam buku Green Economi bagian pada Bagian II “Menghijaukan Ekonomi” disajikan lima artikel. Artikel
1 menyajikan problema pembangunan nasional selama ini dan pentingnya pemerintah melakukan
rekonstruksi fokus pembangunan yang lebih ramah lingkungan dan pro-rakyat. Artikel 2-4 menyajikan
konsep dan gagasan tentang desain tata ekonomi hijau. Sementara Artikel 5 menyajikan kesimpulan
bahwa penerapan ekonomi hijau merupakan solusi yang tepat untuk menyelamatkan bumi dari bahaya
pemanasan global, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang kian parah.

Pada Bagian III “Menghijaukan Bisnis” disajikan lima artikel. Artike 6 menyajikan pembahasan tentang
hakikat, esensi dan strategi menghijaukan bisnis. Artikel 7-9 menyajikan urgensi dan alasan-alasan
mengapa pelaku usaha perlu melakukan penghijauan bisnis, serta manfaat ekonomi dan nonekonomi
yang dapat diperoleh apabila korporasi melakukan penghijauan bisnis. Sementara Artikel 10 menyajikan
usulan tentang desain tatakelola bisnis hijau.

Bagian IV “Menghijaukan Perusahaan” menyajikan 3 artikel. Artikel 11 menyajikan hakikat menghijaukan


perusahaan dan strategi untuk menghijaukan perusahaan agar menjadi korporasi hijau. Artikel 12
memaparkan manfaat ekonomi apabila perusahaan menjadi korporasi hijau. Artikel 13 menyajikan
pembahasan tentang green building

Pada Bagian V “Menghijaukan Keuangan” disajikan 4 artikel. Artikel 14, yaitu Menghijaukan Keuangan,
menyajikan esensi, strategi dan manfaat dari menghijaukan keuangan korporasi. Artikel 15, yaitu
Menghijaukan Pasar Modal, membahas urgensi, esensi dan strategi menghijaukan pasar modal. Artikel
16, yaitu Menghijaukan Perbankan, membahas urgensi dan konsep green banking, serta strategi
menghijaukan korporasi perbankan. Sementara Artikel 17, yaitu Menghijaukan Investasi, menyajikan
pembahasan tentang hakikat dan urgensi menghijaukan investasi, serta langkah-langkah untuk
menghijaukan investasi.

Pada Bagian VI “Menghijaukan Akuntansi” disajikan tiga artikel. Artikel 18, yaitu “Menghijaukan
Akuntansi” memaparkan esensi dan urgensi dilakukannya penghijauan akuntansi, serta agenda atau
langkah-langkah untuk menghijaukan akuntansi. Artikel 19 membahas tentang konsep Akuntansi Hijau
dan langkah-langkah mereformasi akuntansi konvensional menuju Akuntansi Hijau. Artikel 20 yaitu
“Menuju Akuntansi Berkelanjutan” membahas keterbatasan akuntansi yang dipraktikkan selama ini dan
reformasi menuju Akuntansi Berkelanjutan.

Bagian VII “Menghijaukan Pelaporan Informasi” menyajikan tiga artikel. Artikel 21 membahas esensi dan
urgensi serta langkah-langkah untuk menghijaukan pelaporan informasi perusahaan. Artikel 22
membahas esensi dan berkah ekonomi dari sustainability reporting yang dalam beberapa tahun terakhir
mulai banyak diadopsi dan diterapkan oleh banyak korporasi di Indonesia. Sementara pada Artikel 23
membahas konsep dam model pelaporan informasi korporasi yang terbaru, yaitu Integrated Reporting.
Model pelaporan yang mulai dikembangkan oleh IIRC (The International Integrated Reporting Council)
pada tahun 2011 ini mensyaratkan semua informasi korporasi, baik yang sudah terjadi maupun yang
akan terjadi, harus diungkapkan kepada publik. Sebelum diungkapkan ke publik melalui media
Integrated Reporting, semua informasi tersebut harus juga sudah mendapatkan otorisasi dari para
stakeholder yang terkait.

Pada bagian penutup (Bagian VIII) “Berkah Menghijaukan Ekonomi dan Bisnis” disajikan dua artikel.
Artikel 24 menyajikan hasil kajian penulis tentang urgensi korporasi melaksanakan tanggung jawab sosial
dan lingkungan (TJSL) dan manfaat ekonomi yang diperoleh korporasi dari pelaksanaan TJSL. Sementara
artikel terakhir, yaitu Artikel 25 “From Green to Great” memaparkan hasil kajian penulis tentang
manfaat menghijaukan ekonomi dan bisnis.

Anda mungkin juga menyukai