FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2022 MATERI BAB 2 “Pembangunan Berkelanjutan”
Isu-Isu dan Proses Perumusan Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan merupakan proses pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi di masa yang akan datang (Brunddtland Report PBB, 1987). Faktor yang dihadapi dalam pembangunan berkelanjutan yaitu bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Langkah-langkah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yaitu dengan mengubah pola konsumsi energi, yang semula energi yang berasal dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbarui menjadi sumber energi yang ramah lingkungan. Pembangunan berkelanjutan sangat penting dalam upaya untuk menyelamatkan bumi dari keserakahan manusia yang memiliki mental frontier dimana manusia akan berusaha dengan keterbatasan yang dimilikinya. Isu-isu terhadap pembangunan berkelanjutan seperti halnya pada isu lingkungan yang relatif tinggi, isu ekonomi akibat adanya pembangunan berkelanjutan, dan isu sosial budaya. Para petinggi dunia di bawah PBB telah mengadakan beberapa kali konferensi mengenai isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Konferensi tersebut yaitu sebagai berikut ini : a. Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm. Perumusan pembangunan berkelanjutan ini pertama kali ada dengan tujuan sosial tenang lingkungan hidup, di Swedia pada tanggal 5 Juni tahun 1972. Dalam konferensi ini menghasilkan resolusi monumental, yakni terbentuknya badan khusus di PBB untuk masalh lingkungan namun ironisnya pasca konferensi problematika lingkungan hidup bukannya berkurang namun justru semakin parah karena ulah manusia. Masyarakat di belahan negara industri lebih bergerak kea rah industri yang mengeksploitasi SDA yang tidak terbarukan yang berakibat meningkatnya pencemaran dan efek rumah kaca yang berdampak pada menipisnya lapisan ozon. Ironisnya lagi, meskipun SDA dieksploitasi dengan berlebihan, namun rakyatnya tetap dibawah garis kemiskinan. Konferensi ini pada intinya setiap pembangunan yang dilakukan juga memikirkan bagaimana dapmpaknya terhadap generasi yang akan datang. b. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro. KTT Bumi ini merupakan bentuk penyelenggaraan mengenai masalh lingkungan dan pembangunan, yang diselenggarakan di Brazil pada tanggal 3-14 Juni 1992. Konferensi ini mengusung slogan “Think globally act locally” dengan maksud untuk mengekspresikan keinginan perlakuan yang ramah lingkungan, sekaligus menggaris bawahi bahwa semua keputusan pada akhirnya akan memberi dampak ke seluruh dunia. Selain itu, konferensi ini juga menekankan pentingnya dalam menumbuhkan semangat kebersamaan dalam mengatasi masalah yang ditimbulkan dalam pembangunan ekonomi. KTT Bumi ini dituangkan dalam 2 klasifikasi dokumen yaitu dokumen secara hukum mengikat (legally binding) dan dokumen yang tidak mengikat secara hukum (non-legally binding). Dokumen yang bersifat legally binding terdiri dari tiga konvensi yaitu konvensi keanekaragaman hayati, konvensi kerangka PBB tentang perubahan iklim, dan konvensi tentang mengatasi degradasi lahan. Sedangkan dokumen yang bersifat non-legally binding terdiri dari 3 kesepakatan, yaitu deklarasi Rio, prinsip kehutanan, agenda 21 mengenai program pembangunan berkelanjutan memasuki abad ke -21. Konferensi ini penting, karena memberikan kesadaran ke seluruh dunia bahwa lungkungan terkait erat dengan konsisi ekonomi dan keadilan sosial. c. Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg. Pada bulan Desember 1992, komisi ini bertugas untuk memonitor pelaksanaan kesepakatan KTT Bui yang mengkaji pelaksanaan Agenda 21 pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional. Konferensi di Johannesburg memiliki tiga dokumen penting yaitu berupa deklarasi Johannesburg, rencana implementasi, dan dokumen kerjasama. KTT ini mengusung 5 isu utama yang berkaitan dengan upaya penyediaan air bersih, energi, kesehatan dan sanitasi, pertanian dan keanekaragaman hayati. Dalam hal ini pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga pilar utama yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, dimana pembangunan berkelanjutan harus berwawasan lingkungan sekaligus mengusahakan pemerataan yang adil. d. Protokol Kyoto. Tahun 1995, diadakan Conference of the Parties I (CoP I) yang berlangsung mulai 28 Maret – 7 April di Berlin, Jerman. Konferensi ini diadakan untuk mendapatkan kesepakatan bersama mengenai langkah-langkah yang akan diambil sehubungan dengan masalah perubahan iklim serta untuk mengadopsi sebuah protocol yang dapat memperkuat komitmen negara-negara maju. Dalam ketentuan protocol, negara-negara maju harus menyelesaikan masalah pengurangan emisi secara domestic, sementara kegiatan di luar negeri hanya suplemen saja. Perkembangan terakhir mengenai protocol Kyoto adalah diadaknnya konferensi Peta Jalan Bali (Bali Road Map) yang melahirkan beberapa poin penting yaitu dana adaptasi, transfer teknologi, Reduced Emission from Deforestasi and Degredation (REDD) berkaitan dengan pengurangan emisi karbon dari deforestasi, serta Clean Development Mechanism (CDM).
Dampak Aktivitas Perusahaan Terhadap Lingkungan & Konsep Dasar
Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Perusahaan dalam sebuah bisnis berkelanjutan memiliki potensi yang merusak bagi lingkungan. Dimana perusahaan berkontribusi aktif dalam kerusakan lingkungan ataupun masyarakat. Seperti halnya pencemaran air tanah, pencemaran udara, dan kerusakan lingkungan lainnya. Pencemaran tersebut tentu saja akan berdampak bagi masyarakat, yang mana masyarakat akan kesulitan mendapatkan air bersih dan udara segar. Hal itu memicu terjadinya penyakit kulit ataupun sesak nafas karena tidak tersedianya air bersih dan udara segar. Keberlanjutan dalam entitas bisnis sangat dipengaruhi oleh keberlanjutan lingkungan bisnisnya, baik itu bagi lingkungan alam ataupun sosial. Dimana kesuksesan suatu perusahaan tidak hanya dapat dilihat berdasarkan aspek keuangan saja (one bottom line), melaikan juga pada aspek sosial dan lingkungan. Konsep ini lebih dikenal dengan nama triple bottom line yang dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997. Konsep triple bottom line menjadi konsep dasar dalam pelaksanaan corporate social responsibility (CSR) yang lebih menekankann bahwa pada perusahaan memiliki kewajiban untuk memperhatikan kepentingan konsumen, karyawan, pemegang saham, masyarakat, dan ekologi semua aspek dalam aktivitas perusahaan. Jika dalam suatu perusahaan meyakini bahwa CSR adalah suatu keharusan yang harus dipenuhi dan dilaksanakan, maka peranan manajemen dan shareholders sangat menentukan keberhasilan dan kesuksesan dalam suatu perusahaan. Dari perspektif etika atau moral, aktivitas suatu perusahaan dapat dievaluasi dengan menggunakan teori tentang hak, yang lebih menekankan pada pemenuhan akan hak dan kewajiban suatu perusahaan, sehingga antara hak dan kewajiban memiliki mata rantai yang tegas dan jelas. CSR merupakan kewajiban dalam makna liability, bukan bersifat voluntary. Analogi yang dikemukanan oleh Elkington dimana triple bottom line diinterpretasikan sebagai triple P (3P) sebagai persyaratan jika perusahaan yang ingin berkelanjutan. Aspek ekonomi diungkapkan dengan profit, aspek sosial diugkapkan dengan people, dan aspek lingkungan diungkapkan dengan planet. Triple P ini merupakan aspek yang tidak bisa dipisahkan. Apabila perusahaan dalam pengimplementasiannya, hanya menerapkan salah satu aspek saja, maka suatu perusahaan akan dihadapkan dengan berbagai resistensi baik yang bersifat internal maupun eksternal, sehingga perusahaan akan tidak mampu beroperasi secara keberlanjutan. a. Profit (Keuntungan) Dalam suatu perusahaan pasti motivasi utamanya adalah untuk mendapatkan keuntungan. Tesis yang dipegang oleh penganut friedman paradigm menegaskan bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial perusahaan adalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang maksimal dan memangkas biaya yang serendah mungkin. Kaitan antara profit dengan CSR dalam pengelolaan aktivitas perusahaan yaitu terkait dengan paradigm yang dianut oleh perusahaan itu sendiri. Jika berpatokan pada friedman paradigm otomatis profit tersebut hanya akan dinikmati oleh shareholders saja. Dalam hal ini profit yang diperoleh tidak terlepas dari adanya partisipasi secara aktif maupun pasif dari stakeholders dalam artian luas. Oleh karena itu, apabila perusahaan mendapat profit, maka harus membagi profit yang didapat kepada stakeholders. Esensi profit dalam makna 3P yaitu berupa hak- hak pihak lain yang berhak juga untuk mendapatkan keutungan. b. People (Masyarakat) Dukungan masyarakat memiliki peranan penting bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan dalam suatu perusahaan. Dalam hal ini kegiatan operasional perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat, baik dalam makna positif maupun negatif. Ironisnya dalam suatu perusahaan, mereka tetap memndang CSR sebagai voluntary. Perusahaan banyak yang mengabaikan lingkungan sosial, dan lebih mementingkan profit yang di dapat. Melalui paradigm corporate image, pihak perusahaan harus melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri, mulai dari kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat lingkungannya, membuang sifat arogan, dan memberikan kontribusi dan manfaat bagi masyarakat. Agar terdapat jaminan atas komitmen perusahaan dalam pengimplementasian CSR, perusahaan harus tahu bahwa kegiatan tersebut merupakan investasi bersifat sosial. Artinya CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost centre), melainkan juga sentra laba (profit centre) di masa depan. Melalui hubungan harmonis dan positive image, maka masyarakat akan memberikan kontribusi bagi keberlanjutan perkembangan perusahaan. c. Planet (Lingkungan) Manusia dengan lingkungan adalah hubungan kausalitas, jika merawat lingkungan maka lingkungan akan memberikan manfaat kepada kita. Berpijak dari konsep triple bottom line yakni profit, people, dan planet, ketiga komponen ini akan saling terkit satu sama lin. Apabila salah satu komponen diabaikan, akan menimbulkan ketidakseimbangan, yang akan menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pemerintah sebagai regulator harus mengawal implementasi CSR dengan mengeluarkan regulasi. Sehingga konsep pembangunan berkelanjutanakan berguna bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, tidak ada lagi pilihan bagi pelaku usaha kecuali untuk melaksanakan CSR sebagai suatu kewajiban dalam makna liability.
Pengambilan keputusan dalam 4 langkah: Strategi dan langkah operasional untuk pengambilan keputusan dan pilihan yang efektif dalam konteks yang tidak pasti
Manajemen konflik dalam 4 langkah: Metode, strategi, teknik-teknik penting, dan pendekatan operasional untuk mengelola dan menyelesaikan situasi konflik