Anda di halaman 1dari 6

Mata Kuliah Akuntansi Keberlanjutan

Tugas Ringkasan Materi Bab 2

“PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN”

Dosen Pengampu :

Ni Wayan Yulianita Dewi, S.E., MSA, Ak.

Nama : Eva Delia Faramita

Nim : 2017051106

Prodi : S1 Akuntansi

Kelas : 4D

JURUSAN EKONOMI DAN AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2022
MATERI BAB 2
“Pembangunan Berkelanjutan”

Isu-Isu dan Proses Perumusan Konsep Pembangunan Berkelanjutan


Pembangunan berkelanjutan merupakan proses pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi di masa yang
akan datang (Brunddtland Report PBB, 1987). Faktor yang dihadapi dalam
pembangunan berkelanjutan yaitu bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa
mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Langkah-langkah
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yaitu dengan mengubah pola konsumsi
energi, yang semula energi yang berasal dari bahan bakar fosil yang tidak dapat
diperbarui menjadi sumber energi yang ramah lingkungan. Pembangunan berkelanjutan
sangat penting dalam upaya untuk menyelamatkan bumi dari keserakahan manusia yang
memiliki mental frontier dimana manusia akan berusaha dengan keterbatasan yang
dimilikinya.
Isu-isu terhadap pembangunan berkelanjutan seperti halnya pada isu lingkungan
yang relatif tinggi, isu ekonomi akibat adanya pembangunan berkelanjutan, dan isu sosial
budaya. Para petinggi dunia di bawah PBB telah mengadakan beberapa kali konferensi
mengenai isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Konferensi tersebut yaitu sebagai berikut ini :
a. Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm.
Perumusan pembangunan berkelanjutan ini pertama kali ada dengan tujuan
sosial tenang lingkungan hidup, di Swedia pada tanggal 5 Juni tahun 1972. Dalam
konferensi ini menghasilkan resolusi monumental, yakni terbentuknya badan
khusus di PBB untuk masalh lingkungan namun ironisnya pasca konferensi
problematika lingkungan hidup bukannya berkurang namun justru semakin parah
karena ulah manusia. Masyarakat di belahan negara industri lebih bergerak kea rah
industri yang mengeksploitasi SDA yang tidak terbarukan yang berakibat
meningkatnya pencemaran dan efek rumah kaca yang berdampak pada menipisnya
lapisan ozon. Ironisnya lagi, meskipun SDA dieksploitasi dengan berlebihan,
namun rakyatnya tetap dibawah garis kemiskinan. Konferensi ini pada intinya
setiap pembangunan yang dilakukan juga memikirkan bagaimana dapmpaknya
terhadap generasi yang akan datang.
b. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro.
KTT Bumi ini merupakan bentuk penyelenggaraan mengenai masalh
lingkungan dan pembangunan, yang diselenggarakan di Brazil pada tanggal 3-14
Juni 1992. Konferensi ini mengusung slogan “Think globally act locally” dengan
maksud untuk mengekspresikan keinginan perlakuan yang ramah lingkungan,
sekaligus menggaris bawahi bahwa semua keputusan pada akhirnya akan memberi
dampak ke seluruh dunia. Selain itu, konferensi ini juga menekankan pentingnya
dalam menumbuhkan semangat kebersamaan dalam mengatasi masalah yang
ditimbulkan dalam pembangunan ekonomi. KTT Bumi ini dituangkan dalam 2
klasifikasi dokumen yaitu dokumen secara hukum mengikat (legally binding) dan
dokumen yang tidak mengikat secara hukum (non-legally binding). Dokumen yang
bersifat legally binding terdiri dari tiga konvensi yaitu konvensi keanekaragaman
hayati, konvensi kerangka PBB tentang perubahan iklim, dan konvensi tentang
mengatasi degradasi lahan. Sedangkan dokumen yang bersifat non-legally binding
terdiri dari 3 kesepakatan, yaitu deklarasi Rio, prinsip kehutanan, agenda 21
mengenai program pembangunan berkelanjutan memasuki abad ke -21. Konferensi
ini penting, karena memberikan kesadaran ke seluruh dunia bahwa lungkungan
terkait erat dengan konsisi ekonomi dan keadilan sosial.
c. Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg.
Pada bulan Desember 1992, komisi ini bertugas untuk memonitor pelaksanaan
kesepakatan KTT Bui yang mengkaji pelaksanaan Agenda 21 pada tingkat lokal,
nasional, regional, dan internasional. Konferensi di Johannesburg memiliki tiga
dokumen penting yaitu berupa deklarasi Johannesburg, rencana implementasi, dan
dokumen kerjasama. KTT ini mengusung 5 isu utama yang berkaitan dengan upaya
penyediaan air bersih, energi, kesehatan dan sanitasi, pertanian dan
keanekaragaman hayati. Dalam hal ini pembangunan berkelanjutan mempunyai
tiga pilar utama yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, dimana
pembangunan berkelanjutan harus berwawasan lingkungan sekaligus
mengusahakan pemerataan yang adil.
d. Protokol Kyoto.
Tahun 1995, diadakan Conference of the Parties I (CoP I) yang berlangsung
mulai 28 Maret – 7 April di Berlin, Jerman. Konferensi ini diadakan untuk
mendapatkan kesepakatan bersama mengenai langkah-langkah yang akan diambil
sehubungan dengan masalah perubahan iklim serta untuk mengadopsi sebuah
protocol yang dapat memperkuat komitmen negara-negara maju. Dalam ketentuan
protocol, negara-negara maju harus menyelesaikan masalah pengurangan emisi
secara domestic, sementara kegiatan di luar negeri hanya suplemen saja.
Perkembangan terakhir mengenai protocol Kyoto adalah diadaknnya konferensi
Peta Jalan Bali (Bali Road Map) yang melahirkan beberapa poin penting yaitu dana
adaptasi, transfer teknologi, Reduced Emission from Deforestasi and Degredation
(REDD) berkaitan dengan pengurangan emisi karbon dari deforestasi, serta Clean
Development Mechanism (CDM).

Dampak Aktivitas Perusahaan Terhadap Lingkungan & Konsep Dasar


Pelaksanaan Corporate Social Responsibility
Perusahaan dalam sebuah bisnis berkelanjutan memiliki potensi yang merusak
bagi lingkungan. Dimana perusahaan berkontribusi aktif dalam kerusakan lingkungan
ataupun masyarakat. Seperti halnya pencemaran air tanah, pencemaran udara, dan
kerusakan lingkungan lainnya. Pencemaran tersebut tentu saja akan berdampak bagi
masyarakat, yang mana masyarakat akan kesulitan mendapatkan air bersih dan udara
segar. Hal itu memicu terjadinya penyakit kulit ataupun sesak nafas karena tidak
tersedianya air bersih dan udara segar. Keberlanjutan dalam entitas bisnis sangat
dipengaruhi oleh keberlanjutan lingkungan bisnisnya, baik itu bagi lingkungan alam
ataupun sosial. Dimana kesuksesan suatu perusahaan tidak hanya dapat dilihat
berdasarkan aspek keuangan saja (one bottom line), melaikan juga pada aspek sosial dan
lingkungan. Konsep ini lebih dikenal dengan nama triple bottom line yang dipopulerkan
oleh John Elkington pada tahun 1997.
Konsep triple bottom line menjadi konsep dasar dalam pelaksanaan corporate
social responsibility (CSR) yang lebih menekankann bahwa pada perusahaan memiliki
kewajiban untuk memperhatikan kepentingan konsumen, karyawan, pemegang saham,
masyarakat, dan ekologi semua aspek dalam aktivitas perusahaan. Jika dalam suatu
perusahaan meyakini bahwa CSR adalah suatu keharusan yang harus dipenuhi dan
dilaksanakan, maka peranan manajemen dan shareholders sangat menentukan
keberhasilan dan kesuksesan dalam suatu perusahaan. Dari perspektif etika atau moral,
aktivitas suatu perusahaan dapat dievaluasi dengan menggunakan teori tentang hak, yang
lebih menekankan pada pemenuhan akan hak dan kewajiban suatu perusahaan, sehingga
antara hak dan kewajiban memiliki mata rantai yang tegas dan jelas. CSR merupakan
kewajiban dalam makna liability, bukan bersifat voluntary. Analogi yang dikemukanan
oleh Elkington dimana triple bottom line diinterpretasikan sebagai triple P (3P) sebagai
persyaratan jika perusahaan yang ingin berkelanjutan.
Aspek ekonomi diungkapkan dengan profit, aspek sosial diugkapkan dengan
people, dan aspek lingkungan diungkapkan dengan planet. Triple P ini merupakan aspek
yang tidak bisa dipisahkan. Apabila perusahaan dalam pengimplementasiannya, hanya
menerapkan salah satu aspek saja, maka suatu perusahaan akan dihadapkan dengan
berbagai resistensi baik yang bersifat internal maupun eksternal, sehingga perusahaan
akan tidak mampu beroperasi secara keberlanjutan.
a. Profit (Keuntungan)
Dalam suatu perusahaan pasti motivasi utamanya adalah untuk mendapatkan
keuntungan. Tesis yang dipegang oleh penganut friedman paradigm menegaskan
bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial perusahaan adalah bagaimana
mendapatkan keuntungan yang maksimal dan memangkas biaya yang serendah
mungkin. Kaitan antara profit dengan CSR dalam pengelolaan aktivitas perusahaan
yaitu terkait dengan paradigm yang dianut oleh perusahaan itu sendiri. Jika
berpatokan pada friedman paradigm otomatis profit tersebut hanya akan dinikmati
oleh shareholders saja. Dalam hal ini profit yang diperoleh tidak terlepas dari
adanya partisipasi secara aktif maupun pasif dari stakeholders dalam artian luas.
Oleh karena itu, apabila perusahaan mendapat profit, maka harus membagi profit
yang didapat kepada stakeholders. Esensi profit dalam makna 3P yaitu berupa hak-
hak pihak lain yang berhak juga untuk mendapatkan keutungan.
b. People (Masyarakat)
Dukungan masyarakat memiliki peranan penting bagi keberadaan,
kelangsungan hidup, dan perkembangan dalam suatu perusahaan. Dalam hal ini
kegiatan operasional perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada
masyarakat, baik dalam makna positif maupun negatif. Ironisnya dalam suatu
perusahaan, mereka tetap memndang CSR sebagai voluntary. Perusahaan banyak
yang mengabaikan lingkungan sosial, dan lebih mementingkan profit yang di
dapat. Melalui paradigm corporate image, pihak perusahaan harus melakukan
evaluasi terhadap dirinya sendiri, mulai dari kemampuan berkomunikasi dengan
masyarakat lingkungannya, membuang sifat arogan, dan memberikan kontribusi
dan manfaat bagi masyarakat. Agar terdapat jaminan atas komitmen perusahaan
dalam pengimplementasian CSR, perusahaan harus tahu bahwa kegiatan tersebut
merupakan investasi bersifat sosial. Artinya CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra
biaya (cost centre), melainkan juga sentra laba (profit centre) di masa depan.
Melalui hubungan harmonis dan positive image, maka masyarakat akan
memberikan kontribusi bagi keberlanjutan perkembangan perusahaan.
c. Planet (Lingkungan)
Manusia dengan lingkungan adalah hubungan kausalitas, jika merawat
lingkungan maka lingkungan akan memberikan manfaat kepada kita. Berpijak dari
konsep triple bottom line yakni profit, people, dan planet, ketiga komponen ini
akan saling terkit satu sama lin. Apabila salah satu komponen diabaikan, akan
menimbulkan ketidakseimbangan, yang akan menimbulkan dampak sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Pemerintah sebagai regulator harus mengawal
implementasi CSR dengan mengeluarkan regulasi. Sehingga konsep pembangunan
berkelanjutanakan berguna bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, tidak
ada lagi pilihan bagi pelaku usaha kecuali untuk melaksanakan CSR sebagai suatu
kewajiban dalam makna liability.

Anda mungkin juga menyukai