Anda di halaman 1dari 13

Posisi Indonesia dalam Internasionalisasi Isu Pemanasan Global:

Studi Kasus United Nations Climate Change Conference 2007

Peneliti:
Syamsul Hadi, MA, Ph.D
Departemen Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI

I. Pendahuluan

Isu lingkungan hidup sebagai salah satu elemen


terpenting dalam paradigma pembangunan berkelanjutan
telah mengemuka sebagai salah satu isu pokok yang menjadi
perhatian seluruh dunia dalam tahun-tahun terakhir ini.
Pemahaman masyarakat internasional tentang bahaya pemanasan global (global
warming) dirasakan terus meningkat, dengan menekankan pada urgensi untuk
mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) di atmosfir. Tentu saja masalah pemanasan
global ini tidak dapat diatasi dengan mudah, mengingat keengganan Amerika Serikat
(AS) dan negara-negara seperti China dan India untuk memberikan komitmen
pengurangan karbon emisi yang jelas, terprogram dan terukur. Inilah yang terlihat dengan
jelas dalam perdebatan mensikapi hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-8 di
Hokkaido, bulan Juli 20081. Alasan terpenting di balik keengganan ini adalah ketakutan
akan melambatnya pertumbuhan ekonomi yang menurunkan popularitas pemerintah di
suatu negara.
Namun demikian, pentingnya memperhatikan aspek lingkungan hidup bagi
kelestarian kehidupan manusia itu kini mulai mendapat tempat yang lebih baik dalam

1
Lihat Syamsul Hadi, “Krisis Kapitalisme Global”, dalam Kompas, 12 Juli 2008.

1
wacana pembangunan internasional. Faktor lingkungan memang masih cenderung dilihat
sebagai externalities bagi paradigma pembangunan yang menekankan pertumbuhan

ekonomi, yang menjadi mainstraim di seluruh dunia. Namun demikian,


secara perlahan namun pasti isu lingkungan hidup dan
pembangunan berkelanjutan mulai mendapat tempat
dalam karya para ahli ekonomi pembangunan. Ini
terlihat misalnya dalam karya terbaru Jeffry Sachs,
Common Wealth: Economic for a Crowded Planet
(2008)2, yang berupaya merumuskan agenda-agenda
praktis dalam mengatasi masalah pemanasan global
yang diupayakan berjalan seiring dengan agenda-
agenda ekonomi “konvensional” seperti pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan pendapatan.
Sementara itu Bill McKibben, yang menulis Deep Economy: The Wealth of
Communities and the Durable Future (2008)3 menyatakan, obsesi yang terus-menerus
terhadap pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan pembangunan kehilangan arahnya
yang esensial, yaitu kebahagiaan manusia. Kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan
oleh pola pembangunan ekonomi berorientasi pertumbuhan diprediksikan akan
melahirkan dampak yang lebih buruk daripada kombinasi dari dampak Perang Dunia I,
Perang Dunia II dan Depresi Ekonomi 1930-an. Untuk itu McKibben menggagas tentang
pentingnya menata kembali ekonomi melalui basis-basis komunitas yang mengutamakan
swadaya ekonomi dan pelestarian lingkungan dalam budaya lokal yang bersifat kolektif.

2
Jeffrey D. Sachs, Common Wealth: Economics for a Crowded Planet, New York: Penguin Press, 2008.
3
Bill McKibben, Deep Economy: The Wealth of Communities and the Durable Future, New York: Times
Book, 2008, hal. 23-25.

2
Internasionalisasi isu lingkungan hidup antara lain
ditandai dengan penyelenggaraan United Nations
Conference on Environment and Development di Rio de
Janeiro, tahun 1992, yang disebut juga KTT Bumi
(Earth Summit). Dari KTT ini lahirlah dua buah
keputusan penting, yakni Konvensi PBB tentang
Keragaman Hayati dan Kovensi Kerangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim. Kedua konvensi itu menjadi
komitmen politik dari 155 negara untuk menjaga
lingkungan hidup di bumi.
Dalam Konvensi Perubahan Iklim disepakati langkah-langkah kongkret, antara
lain ditetapkannya sasaran untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat
tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Konvensi juga
menetapkan bahwa emisi karbon di tahun 2000 harus ditekan ke tingkat emisi tahun
1990. Intergovernmental Negotiating Committee (INC) yang dibentuk oleh PBB
mengadakan beberapa konferensi, antara lain konferensi di Kyoto pada bulan Desember
1997, yang menghasilkan “Protokol Kyoto”. Protokol ini secara jelas menetapkan target
reduksi gas rumah kaca sebesar 5,12 persen hingga tahun 2012.
Sebagai bagian dari rangkaian konferensi untuk menanggulangi pemanasan global
ini, tanggal 3-14 Desember 2007 di Nusa Dua, Bali, diselenggarakan United Nations
Climate Change Conference yang dihadiri perwakilan dari 180 negara dan peninjau dari
organisasi-organisasi antar pemerintah dan non-pemerintah. Konferensi besar ini meliputi
event Konferensi ke-13 United Nations Framework Convention on Climate Change (COP
13), pertemuan ketiga para pihak menyangkut Kyoto Protocol (MOP 3 or CMP 3), dan
beberapa pertemuan lain yang terkait isu perubahan iklim. Sekalipun konferensi ini tidak
menghasilkan keputusan-keputusan yang signifikan, namun Konferensi Bali ini dinilai

3
penting bagi rangkaian kerjasama antarbangsa dalam menanggulangi masalah pemanasan
global, yang telah menjadi keprihatinan bersama seluruh bangsa di dunia.

Salah satu persoalan mendasar yang muncul


dalam negosiasi-negosiasi internasional
menyangkut pemanasan global adalah posisi yang
berbeda antara negara-negara maju dan negara-
negara berkembang4. Meskipun dalam beberapa hal berbeda satu sama

lain, negara-negara maju umumnya berkeinginan untuk menerapkan prinsip universal,


yaitu pemberlakuan komitmen pengurangan emisi yang mengikat baik negara maju
maupun negara berkembang. Padahal, sejumlah negara maju terlihat enggan untuk
memberikan komitmen yang jelas, termasuk dalam pelaksanaan konvensi-konvensi yang
telah disepakati.
Sementara itu negara-negara berkembang yang melaksanakan industrialisasi yang
relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara maju memandang perlakuan yang
sama dalam hal komitmen penurunan emisi merupakan hal yang tidak adil.
Argumentasinya, negara-negara maju telah melampaui tahap-tahap perkembangan
industrialisasi yang memungkinkan mereka menerapkan arah pembangunan dan
teknologi yang lebih ramah lingkungan. Untuk itu negara-negara berkembang menuntut
diberlakukannya kewajiban bagi negara-negara maju dalam hal alih teknologi, dukungan
finansial dan penguatan kapasitas negara berkembang5.

4
“Setelah Pesta Usai: Bagaimana Rencana Aksi Perubahan Iklim?”, dalam
http://sydvoicehome.multiply.com/journal/item/13/Setelah_Pesta_Usai_Bagaimana_Rencana_Aksi
_Perubahan _Iklim
5
Ibid.

4
II. Identifikasi Masalah/Pertanyaan
Penelitian
Dalam kaitan dengan paparan di atas,
pertanyaan yang dapat diajukan adalah:
(a) Bagaimana posisi United Nations Climate
Change Conference (2007) di Bali dalam
konteks internasionalisasi isu pemanasan
global?
(b) Bagaimana hasil-hasil dan proses-proses
yang terjadi dalam konferensi tersebut
mencerminkan perbedaan posisi antara
negara-negara maju dan negara-negara
berkembang?
(c) Bagaimana posisi Indonesia dalam
konferensi tersebut?

III. Metodologi Penelitian


III.1. Perspektif Analisis
III.1.1. Isu Kerusakan Lingkungan Hidup dalam Hubungan Internasional

5
Dalam kaitan dengan isu lingkungan hidup dalam politik internasional, John
Volger menyatakan, sejak KTT Bumi di Rio muncul conventional wisdom yang melihat,
betapapun pemerintah negara-negara umumnya bersikap hipokrit dan self-interested,
keterlibatan mereka dalam menemukan solusi menyangkut sustainable development
merupakan suatu hal yang tidak tergantikan 6. Argumennya adalah, karena tidak adanya
otritas politik pada tingkat global yang dapat mengontrol lebih dari 190 negara berdaulat,
maka yang diperlukan adalah penyelesaian yang bersifat lintas batas negara
(transboundary) dan dalam konteks ini pencarian penyelesaian masalah-masalah
lingkungan global harus dilakukan dengan kerjasama antar negara. Situasinya adalah
bahwa persoalan lingkungan global tidak berada dalam sebuah yurisdiksi nasional namun
bersifat mengancam (critical) bagi kesejahteraan manusia. Tanpa beberapa bentuk
regulasi dipastikan terdapat godaan jangka pendek untuk mengeksploitasi kekayaan alam,
yang dalam jangka panjang akan menyebabkan degradasi dan kehancuran 7.
Dalam bukunya Global Environmental Politics, Porter dan Brown8 membahas
mengenai peran aktor – aktor dalam studi Hubungan Internasional dalam politik
lingkungan global. Aktor – aktor tersebut adalah negara, NGO lingkungan, Organisasi
Internasional dan rezim lingkungan, serta sektor industri. Porter dan Brown membahas
peran-peran tiap aktor tersebut secara garis besar dalam dua poin; peran aktor dalam
pembentukan rezim lingkungan, serta peran aktor dalam pembentukan kebijakan
lingkungan suatu negara.
Untuk aktor negara, negara memiliki empat peran dalam rezim lingkungan atau
kerhasama bidang lingkungan: lead state, supporting state, swing state dan veto state.
Lead state memiliki komitmen kuat dalam aksi internasional terhadap isu, terdepan dalam
negosiasi dengan mengajukan formula mereka sendiri serta berusaha meraih dukungan
dari negara lain. Supporting state tidak memiliki posisi sekuat lead state, dan mungkin
pada awalnya tidak berkomitmen dalam kerjasama/rezim tersebut, namun akhirnya
mendukung inisiatif negara lead state. Swing state tidak memiliki kepentingan terhadap

6
John Vogler, “Environment”, dalam Brian White, Richard Little dan Michael Smith (eds), Issues in World
Politics, New York: Palgrave, 2001, p. 201.
7
Ibid, hal. 102.
8
Garet Porter dan Janet Brown, Global Environment Politics (2nd edition), Boulder; Westview Press, 1996.

6
isu, sehingga perlu adanya ”penawaran” yang mampu menarik minat negara swing state
hingga akhirnya terlibat dalam kerjasama/rezim lingkungan. Negara veto menentang
rezim lingkungan efektif melalui ketidaksetujuan dalam negosiasi atau dengan tidak
mengimplementasikan kebijakan rezim9.

III.1.2. Teori Kebijakan Luar Negeri, Kepentingan Nasional dan Diplomasi

Proses negosiasi dalam membahas isu-sisu yang bersifat lintas negara, termasuk
isu lingkungan hidup, merupakan bagian dari pilihan kebijakan luar negeri suatu negara.
Daniel S. Papp (1997) mendefinisikan kebijakan luar negeri (foreign policy) sebagai
seperangkat tindakan yang diarahkan pada tujuan tertentu yang diambil oleh suatu negara
dalam rangka mencapai sasaran-sasaran tertentu dalam hubungan eksternalnya. Menurut
K.J. Holsti (1992), terdapat beberapa aspek dalam kebijakan luar negeri yang meliputi
gagasan-gagasan atau tindakan-tindakan yang dirancang oleh para pengambil kebijakan
untuk memecahkan sebuah problem atau mempromosikan beberapa perubahan dalam
kebijakan, sikap atau tindakan dari negara lain, atau aktor non-negara tertentu (misalnya
kelompok teroris), dalam ekonomi dan politik internasional.
Sudah menjadi asumsi yang sifatnya mendasar bahwa kebijakan luar negeri suatu
negara diambil terutama atas dasar kepentingan nasional negara bersangkutan. Donald A.
Nuchterlein (1979) mendefinisikan kepentingan nasional sebagai kebutuhan dan
keinginan yang dirasakan oleh suatu negara dalam hubungan dengan negara-negara lain
yang merupakan lingkungan eksternalnya. Coeloembis dan Wolfe (1981) menjelaskan
dengan baik bagaimana kepentingan nasional dapat bersifat subyektif, tergantung dari
sudut pandang elite pemerintahan sebagai otoritas politik.
Salah satu instrumen terpenting dalam diplomasi adalah diplomasi, yang di
dalamnya termasuk keterlibatan suatu negara dalam suatu negosiasi internasional, baik
yang bersifat bilateral maupun multilateral. G.R. Berridge (2005) mendefiniskan
diplomasi sebagai sebuah aktifitas politik esensial yang dilakukan dengan mengerahkan
seluruh sumber daya dan kemampuan, yang memungkinkan suatu negara untuk mencapai

9
Garet Porter dan Janet Brown, Global Environment PoliticsDilemma in World Politics, Boulder:
Westview Press, 1991, hal 38

7
tujuan-tujuan kebijakan luar negeri tanpa menggunakan kekerasan, propaganda atau
paksaan hukum10. Secara konvensional, diplomasi dilakukan oleh Departemen Luar
Negeri, dengan misi-misi diplomatik atau tim-tim negosiasi untuk memecahkan
persoalan-persoalan tertentu dalam hubungan internasional. Seiring dengan kompleksnya
isu yang berkembang dalam hubungan internasional, dukungan dari pihak-pihak terkait,
yang langsung berkaitan dengan keberadaan sebuah isu, menjadi sangat penting. Dalam
hal isu pemanasan global, dukungan dan keterlibatan kementerian lingkungan hidup dan
pihak-pihak terkait (seperti akademisi-akademisi dan aktivis-aktivis lingkungan hidup)
merupakan hal yang mendesak.

III.2. Metode Pengumpulan dan Analisis


Data

Secara keseluruhan penelitian ini

menggunakan metode kualitatif, dengan

metode pengumpulan data berdasarkan:

a.Studi pustaka atau dokumen. Studi ini

dilakukan dengan memperlajari dokumen-

dokumen terkait, seperti hasil konferensi,

10
G.R. Berridge, Diplomacy: Theory and Practice, Third Edition, New York: Palgrave, 2005, hal. 1.

8
notulensi, berita tertulis di media, analisis

dan tulisan-tulisan terkait baik di jurnal-

jurnal ilmiah, buku-buku, buletin, dan

surat kabar – surat kabar.

b.Interview atau wawancara mendalam (debt

interview). Penentuan sampel atau sumber

data berupa orang yang diwawancarai atau

narasumber bersifat purposive, yaitu dipilih

berdasarkan pertimbangan atau tujuan

tertentu. Dalam hal ini teknik snowball

sampling, yaitu teknik pengambilan sampel

sumber data, yang pada awalnya berjumlah

sedikit, lama-lama menjadi besar. Dengan

9
teknik tersebut peneliti berencana

mewawancarai para narasumber yang

dipandang sangat memahami dan

menguasai masalah yang sedang diteliti

seperti: (1) ahli/pengamat lingkungan yang

dianggap menguasai secara mendalam

masalah yang diteliti; (2) ketua dan

anggota delegasi dalam konferensi terkait;

(3) pejabat atau pengambil kebijakan

terkait; (4) aktivis Lembaga Swadaya

Masyarakat yang terlibat dalam isu terkait.

Interview atau wawancara yang akan

dilakukan bersifat tak berstruktur

10
(unstructured interview), yaitu wawancara

yang bebas di mana peneliti tidak

menggunakan pedoman wawancara yang

telah tersusun secara sistematis dan lengkap

untuk pengumpulan datanya, atau hanya

berupa garis-garis besar permasalahan

yang akan ditanyakan.

c. Triangulasi atau gabungan, yaitu teknik

pengumpulan data yang bersifat

menggabungkan dari dua teknik terdahulu,

yaitu studi pustaka/dokumen dengan

interview/wawancara mendalam. Seperti

dikatakan oleh Susan Stainback (1998),

11
tujuan dari triangulasi bukan untuk

mencari kebenaran tentang fenomena,

tetapi lebih pada peningkatan pemahaman

peneliti terhadap apa yang telah ditemukan.

Ini selaras dengan tujuan penelitian

kualitatif yang memang bukan semata-mata

mencari kebenaran, tetapi lebih pada

pemahaman subyek terhadap dunia

sekitarnya.

IV. Pembabakan dalam Laporan Penelitian

Laporan penelitian ini akan terdiri dari empat bab. Bab I merupakan pendahuluan
yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, dan metodologi penelitian. Bab
II akan berisi identifikasi tentang agenda-agenda khusus yang diperjuangkan Indonesia
sebagai tuan rumah United Nations Climate Change Conference (2007). Bab III akan
memberikan analisis dan evaluasi sejauh mana agenda-agenda khusus tersebut dapat
dicapai. Bab IV akan memuat kesimpulan dari penelitian ini.

12
V. Daftar Pustaka
 Bill McKibben, Deep Economy: The Wealth of Communities and the Durable
Future, New York: Times Book
 Brian White, Richard Little dan Michael Smith (eds), Issues in World Politics,
New York: Palgrave, 2001.
 G.R. Berridge, Diplomacy: Theory and Practice, New York: Palgrave, 2005.
 Garet Porter dan Janet Brown, Global Environment Politics: Dilemma in World
Politics, Boulder: Westview Press, 1991.
 Gatra, Edisi Laporan Khusus tentang Climate Change, 28 November 2007.
 Garet Porter dan Janet Brown, Global Environment Politics, 2nd edition, Boulder:
Westview Press, 1996.
 Jeffrey D. Sachs, Common Wealth: Economics for a Crowded Planet, New York:
Penguin Press, 2008.
 Prof. Dr. H.M. Burhan Bungin, S.Sos., M.Si., Penelitian Kualitatif: Komunikasi,
Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Prenada Media
Group, 2007.
 Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Jakarta:
Alfabeta, 2008.
 Syamsul Hadi, “Krisis Kapitalisme Global” dalam Kompas, 12 Juli 2008

13

Anda mungkin juga menyukai