Anda di halaman 1dari 96

KTT Lingkungan Hidup

Stockholm, Swedia (Juni 1972)

Konferensi internasional lingkungan hidup atau United Nations Conference on Human Environment
(UNCHE), di Stockholm, Swedia adalah konferensi yang sangat bersejarah, karena merupakan konferensi
pertama tentang lingkungan hidup yang diprakarsai oleh PBB yang diikuti oleh wakil dari 114 negara.
Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara
global.

Dalam konferensi Stockholm inilah untuk pertama kali moto “ Hanya ada satu bumi “ (Only one Earth)
untuk semua manusia, diperkenalkan. Motto itu sekaligus menjadi motto konferensi. Selain itu,
konferensi Stockholm menetapkan tanggal 5 Juni yang juga hari pembukaan konferensi tersebut sebagai
hari lingkungan hidup se-dunia (World environment day).

kesepakatan mengenai keterkaitan antara konsep pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Persoalan lingkungan hidup diidentikkan dengan kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pembangunan
yang masih rendah dan pendidikan rendah, intinya faktor kemiskinan yang menjadi penyebab utama
kerusakan lingkungan hidup didunia. Sehingga dalam forum tersebut disepakati suatu persepsi bahwa
kebijakan lingkungan hidup harus terkait dengan kebijakan pembangunan nasional.

menghasilkan resolusi monumental, yaitu pembentukan badan khusus PBB untuk masalah lingkungan
United Nations Environmental Programme (UNEP), yang markas besarnya ditetapkan di Nairobi, Kenya.
UNEP merupakan motor pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup dan telah melahirkan gagasan
besar pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Gagasan pembangunan berkelanjutan
diawali dengan terbitnya Laporan Brundtland (1987), “Our Common Future”, yang memformulasikan
prinsip dasar pembangunan berkelanjutan.

rekomendasi Konferensi Stockholm Nomor 99.3. ditindaklanjuti dengan melaksanakan Convention on


International Trade in Endangered Species (CITES) atau Konvensi PBB mengenai perdagangan
Internasional Jenis-Jenis Flora dan Fauna Terancam Punah. Misi dan tujuan CITES adalah untuk
menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam melalui sistem pengendalian
jenis-jenis tumbuhan dan satwa, serta produk-produknya secara internasional.

dalam dokumen konfrensi Stockholm “The Control of Industrial Pollution and International Trade”
secara langsung mendorong GATT untuk meninjau kembali kebijakannya agar tidak menimbulkan
diskriminasi terhadap Negara berkembang.

Rio de Janeiro, Brazil ( Juni 1992)


sejak Konferensi Stockholm, polarisasi di antara kaum developmentalist dan environmentalist semakin
menajam. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil, pada 1992,
merupakan upaya global untuk mengkompromikan kepentingan pembangunan dan lingkungan.

Jargon “Think globally, act locally”, yang menjadi tema KTT Bumi menjadi populer untuk
mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan.

Topik yang diangkat dalam konperensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan ozon,
penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan air, meluasnya penggundulan hutan, penggurunan
dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta penipisan keanekaragaman hayati.

Deklarasi Rio, Satu rangkaian dari 27 prinsip universal yang bisa membantu mengarahkan tanggung
jawab dasar gerakan internasional terhadap lingkungan dan ekonomi.

Konvensi Perubahan Iklim ( FCCC ). Kesepakatan Hukum yang telah mengikat telah ditandatangani oleh
152 pemerintah pada saat komperensi berlangsung. Tujuan pokok Konvensi ini adalah “ Stabilisasi
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat yang telah mencegah terjadinya intervensi yang
membahayakan oleh manusia terhadap system Iklim”

Konvensi Keanekaragaman hayati. Kesepakatan hukum yang mengikat telah ditandatangani sejauh ini
oleh 168 negara. Menguraikan langkah – langkah kedepan dalam pelestarian keragaman hayati dan
pemanfaatan berkelanjutan komponen – komponennya, serta pembagian keuntungan yang adil dan
pantas dari penggunaan sumber daya genetic.

Pernyataan Prinsip – Prinsip Kehutanan. Prinsip – prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan
internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip – prinsip ini seharusnya mewakili
konsesi pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.

Komisi Pembangunan Berkelanjutan Commission on Sustainable Development (CSD). Komisi ini di


bentuk pada bulan desember 1992. Tujuan CSD adalah untuk memastikan keefektifan tindak lanjut KTT
bumi. Mengawasi serta melaporkan pelaksanaan kesepakatan Konferensi Bumi baik di tingkat lokal ,
nasional, maupun internasional. CSD adalah komisi Funsional Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC)
yang beranggotakan 53 negara.

§ Agenda 21, merupakan sebuah program luas mengenai gerakan yang mengupayakan cara – cara baru
dalam berinvestasi di masa depan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan Global di abad 21.
Rekomendasi – rekomendasi Agenda 21 ini meliputi cara – cara baru dalam mendidik, memelihara
sumber daya alam, dan berpartisipasi untuk merancang sebuah ekonomi yangberkelanjutan. Tujuan
keseluruhan Agenda 21 ini adalah untuk menciptakan keselamatan, keamanan, dan hidup yang
bermartabat.
Genewa, Swiss (Juli 1996)

§ Amerika menerima temuan-temuan ilmiah mengenai perubahan iklim dari IPCC dalam penilaian
kedua dan menolak penyeragaman penyelarasan kebijakan dan menyerukan pengikatan secara hukum
target jangka menengah.

§ Menghasilkan Deklarasi Genewa. Berisi 10 butir deklarasi antara lain berisi ajakan kepada semua
pihak untuk mendukung pengembangan protocol dan instrumen legal lainnya yang didasarkan atas
temuan ilmiah. Deklarasi ini juga mengintruksikan kepada semua perwakilan para pihak untuk
mempercepat negoisasi terhadap teks protocol.

Johannesburg, Afrika Selatan (2002)

Penyelenggaraan KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) pada


2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, ditekankan pada plan of implementation, yang mengintegrasikan
elemen ekonomi, ekologi, dan sosial yang didasarkan pada tata penyelenggaraan pemerintahan yang
baik (good governance).

dilahirkan kesepakatan komprehensif bidang kehutanan, yaitu, dokumen Forest Principles (Non-Legally
Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on Management, Conservation and
Sustainable Development of all Types of Forests). Kendatipun bukan merupakan komitmen yang
mengikat, dalam proses-proses internasional bidang kehutanan, dokumen Forest Principles merupakan
referensi utama serta jiwa bagi kerjasama antar bangsa. (blm jelas masuk d’KTT mana)

Isu sentral yang dibahas adalah, antara lain: menghidupkan kembali komitmen politik pada tingkat
paling tinggi mengenai pengelolaan hutan berkelanjutan; peningkatan kontribusi sektor kehutanan
dalam upaya pengentasan kemiskinan; peningkatan pertumbuhan ekonomi; peningkatan lapangan
kerja; pembangunan pedesaan serta peningkatan kesejahteraan umat manusia.

Pada akhirnya KTT Pembangunan berkelanjutan mengadopsi tiga dokumen utama, yaitu:

1. Deklarasi Johannesburg yang menyatakan bahwa setiap negara memikul tanggung jawab dalam
pembangunan berkelanjutan dan kemiskinan.

2. Rencana Aksi Johannesburg mengenai pembangunan berkelanjutan (Johannesburg Plan of


Implementation/JPOI).

3. Program kemitraan (partnership) antar pemangku kepentingan dalam melaksanakan pembangunan


berkelanjutan.
Bali, Indonesia (Desember 2007)

Penyelenggaraan KTT Pemanasan Global di nusa dua, Bali pada tanggal 13 – 15 Desember 2007 tersebut
merupakan momentum dalam upaya untuk membangun kesadaran semua warga bumi untuk berbuat
sekecil apapun untuk menyelamatkan bumi, tempat yang menjadi sumber hidup dan hidup kita
bersama. Dalam konferensi tentang lingkungan hidup ini semua negara ambil bagian dalam menentukan
nasib bumi kita di waktu mendatang.

Dalam pertemuan ini disepakati Bali Road Map, sebuah peta yang akan menjadi jalan untuk mencapai
consensus baru pada 2009 sebagai pengganti Protokol Kyoto fase pertama yang akan berakhir pada
tahun 2012. Inti dari Bali Road Map adalah:

1. Respons atas temuan keempat Panel Antar Pemerintah (IPCC) bahwa keterlambatan pengurangan
emisi akan menghambat peluang mencapai tingkat stabilitas emisi yang rendah, serta meningkatkan
risiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan iklim.

2. Pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk mencapai
tujuan utama.

3. Keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh, yang memungkinkan dilaksanakannya


keputusan UNFCCC secara efektif dan berkelanjutan.

4. Penegasan kewajiban Negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara
terukur, dilaporkan dan dapat diverifikasi, termasuk pengurangan emisi yang terkuantifikasi.

5. Penegasan kesediaan sukarela Negara berkembang mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan
dan dapat diverifikasi, dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, didukung teknologi, dana, dan
peningkatan kapasitas.

6. Penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih teknologi
untuk mendukung mitigasi dan adaptasi.

7. Memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi, adaptasi dan
alih teknologi terkait perubahan iklim.
Konferensi Lingkungan Hidup

Membuka Era Baru di Cina

Oleh Grup Berita Florida (Asal dalam bahasa Inggris)

Pada bulan April 2006, ada suatu peristiwa bersejarah yang terjadi di Shanghai. Para pemimpin
lingkungan hidup Cina hadir bersama di Gedung Konser Shanghai dan berbicara secara terbuka
mengenai krisis lingkungan hidup di Cina. Peristiwa ini juga disiarkan ke seluruh dunia oleh CNN.

Beberapa tahun yang lalu peristiwa seperti ini tidak pernah terpikirkan dapat terjadi. Peristiwa ini
melambangkan munculnya gerakan pelestarian lingkungan hidup yang menyeluruh di Cina. Gerakan ini
adalah hasil dari kebijaksanaan para pemimpin di Cina. Badan Pelestarian Lingkungan Hidup Nasional
(SEPA), yang ditingkatkan statusnya menjadi kementerian di tahun 1998, baru-baru ini mengumumkan
rencana yang menghabiskan 156 miliar dolar AS dalam lima tahun mendatang untuk melestarikan
lingkungan. Yang paling menarik, beberapa bulan yang lalu, badan ini menandatangani perjanjian
dengan badan yang setara di Amerika Serikat (EPA) untuk bekerja sama dalam masalah lingkungan
hidup. Kerja sama ini menciptakan koalisi yang belum pernah terjadi sebelumnya di antara kedua negara
yang merupakan raksasa ekonomi dan penghasil polusi terbesar di dunia.

Perjanjian bilateral SEPA-EPA ini memperlihatkan keterbukaan dari pemerintah Cina untuk bekerja sama
dengan berbagai instansi dalam memecahkan masalah lingkungan hidup. Badan ini juga bekerja sama
dengan organisasi-organisasi nonpemerintah di Cina, yang 15 tahun lalu merupakan organisasi terlarang
di Cina. Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah organisasi nonpemerintah berkembang dari 1 menjadi
lebih dari 2.000. Kelompok ini menjadi lebih menonjol sejak berhasil mencegah pembangunan dam
raksasa di Sungai Nu, suatu aksi yang menjadi aspirasi di Cina.

Saat ini, semua pihak, baik pemerintah maupun organisasi nonpemerintah bekerja sama untuk
membersihkan Beijing sebagai persiapan Olimpiade 2008. Ini menjanjikan peningkatan standar
lingkungan hidup di negara itu, seperti yang terjadi di Jepang dan Korea yang menjadi penyelenggara
olimpiade-olimpiade sebelumnya.

Kemungkinan akan kemajuan lingkungan hidup yang pesat di Cina hampir tidak terbatas. Baik kalangan
pemerintah pusat maupun penduduk di Cina sedang mengalami peningkatan kesadaran terhadap
lingkungan hidup. Penduduk Cina optimis bahwa milenium baru akan membawa keberhasilan dengan
berlandaskan pada gaya hidup kuno yang percaya bahwa kemakmuran akan tercapai jika kita harmonis
dengan alam.
KTT BUMI RIO DE JENEIRO

by, Troy Makatita

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Setelah bertahun-tahun sejak revolusi industri pertengahan abad ke-18, baru pada pertengahan
abad ke-20 dunia mengalami kejutan yang merangsang kepedulian akan gawatnya masalah lingkungan
yang kita hadapi. Akhirnya atas usul Pemerintah Swedia diselenggarakanlah Konferensi Internasional
PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia ( United Nations Conference on the Human Environment ) di
Stockholm, Swedia tahun 1972, adalah konferensi yang sangat bersejarah, karena merupakan
konferensi pertama tentang lingkungan hidup. Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal
upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global.

Konferensi diselenggarakan dengan harapan untuk melindungi dan mengembangkan


kepentingan dan aspirasi negara berkembang. Pertemuan yang digagas PBB ini menghasilkan Deklarasi
Stockholm berupa Rencana Kerja, khususnya tentang perencanaan dan pengelolaan permukiman
manusia serta rekomendasi kelembagaan United Nations Environmental Programme (UNEP), yang
markas besarnya ditetapkan di Nairobi, Kenya. Dalam konferensi ini Indonesia menyampaikan laporan /
pandangan tentang lingkungan hidup dan pembangunan. Laporan ini merupakan hasil Seminar Nasional
Lingkungan dan Pembangunan di Universitas Padjadjaran, Mei 1972 yang diselenggarakan atas prakarsa
Prof. Soemarwoto ( Soerjani,1997 ).

Konferensi tingkat tinggi Lingkungan Hidup pertama di dunia yang di ikuti oleh wakil dari 114
negara, dan menghasilkan deklarasi lingkungan hidup : Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia
(actionplan) dan Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang mendukung rencana aksi
tersebut. Dalam konferensi Stockholm inilah menyepakati pentingnya pemeliharaan lingkungan hidup
melalui kesadaran dengan motto “Hanya Ada Satu Bumi” (The Only One Earth ) untuk semua manusia,
yang terdiri dari 109 rekomendasi dan deklarai mengenai 26 prinsip-prinsip lingkungan.
Diperkenalkannya motto itu sekaligus menjadi mottokonferensi. Selain itu konferensi Stockholm,
menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup sedunia World Environmental Day
(http://pin_impala.brawijaya.ac.id//earth summit.htm )

Setelah Konferensi Stockholm, problematika lingkungan hidup tidaklah surut, bahkan semakin
parah, ternyata banyak negara yang masih belum menjalankan kesepakatan, walaupun ikut
menandatangani.Masalah lingkungan hidup terjadi karena perilaku manusia selama ini telah mengubah
keteraturan alam. Alam tidak lagi sepenuhnya dapat berkompromi dengan kebutuhan manusia dalam
melangsungkan kehidupannya, maka kenestapaan manusia dengan mudah dapat ditemui di banyak
sudut muka bumi. Pengkajian yang dilaksanakan 10 tahun kemudian pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya,
justru menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan hidup semakin meningkat. Isu yang mengemuka
dalam dekade ini mencakup hujan asam, penipisan lapisan ozon, pemanasan global ( perubahan iklim ),
perusakan hutan, pengguguran, pelestarian keaneka ragaman hayati, perdagangan internasional bahan-
bahan berbahaya dan beracun serta limbah, serta permasalahan mengenai perlindungan lingkungan
pada saat konflik bersenjata ( Sdede, Androniko, 1993 dalam Koesdiyo, Purwanto, 2007).

Menginat kompleksitas permasalahan yang dihadapi maka beberapa perjanjian internasional


pada periode ini lebih mengarah kepada tercapainya consensus global, yang mencakup “ Viena
Convention for the Protection of the Ozone Layer, Viena 1985 “ dan “Montreal Protocol on Substances
that Deplete the Ozone Layer, Montreal 1987 “, yang bertujuan mereduksi dan mensubsitusi bahan-
bahan perusak ozon dengan bahan lain serta ketentuan yang mengikat khususnya mengenai produksi
dan penggunaan lima macam bahan kimia, CFC ( Chloro Fluoro Carbon ). “The United Nations
Convention on the Law og the Sea (UNCLOS) tahun 1982”,menetapkan pengaturan yang luas mengenai
kelautan termasuk ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan lingkungan laut. Selain itu disepakati
pula “Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hozardous Wastes and
Disposal, Basel 1989, “ The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNICEF) 1992”,
dan “ Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity /CBD) 1992”, tentang
pelesterian keanekaragaman hayati.

Menyadari semakin kompleksnya masalah lingkungan, perkembangan penting lain pada periode
ini adalah pembentukan lembaga independen oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1983 membentuk
World Commission on Environment and Development (WCED), Komisi Dunia untuk Lingkungan dan
Pembangunan, yang diketuai oleh Ny. Gro Brundtland, Perdana Menteri Norwegia. Komisi ini
menyelesaikan tugasnya pada 1987 dengan menerbitkan laporan “Our Common Future” yang dikenal
dengan Laporan Brundtland. Tema laporan ini adalah Sustainable Development ( pembengunan
berkelanjutan ). Komisi ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu upaya yang
mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa
mengorbankan standar lingkungan yang tinggi. Inilah underlying concept pembangunan berkelanjutan
yang hingga saat ini terus berkembang mengikuti dinamika perubahan.

Dua puluh tahun setelah Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, atau lima tahun setelah
tebitnya Laporan Brundtland, PBB menyelenggarakan United Nations Conference on Environment and
Development (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah lingkungan dan Pembangunan atau
yang lebih dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Jargon “
Think globally, act locally “, yang menjadi tema KTT Bumi menjadi popular untuk mengekspresikan
kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan. KTT Bumi menekankan pentingnya semangat
kebersamaan ( multilaterisme ) untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan
antara upaya-upaya melasanakaqn pembangunan ( oleh developmentalist ) dan upaya-upaya
melestarikan lingkungan ( oleh environmentalist ).
Dari uraian di atas, maka dalam makalah ini mencoba untuk mengkaji dari Konferensi Stockholm
menuju ke pelaksanaan KTT Bumi Rio de Jeneiro , yang berhubungan dengan isu-isu lingkungan global
dan hasil-hasil KTT Bumi, serta pelaksanaannya di Indonesia.

2. Perumusan Masalah : berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dalam makalah ini akan
membahas :

2.1. Masalah lingkungan hidup global, serta permasalahan lingkungan setelah Konferensi Stockholm.

2.2. Bagaimana Pelaksanaan Konferensi Rio de Janeiro serta hasil-hasil yang diratifikasi?

2.3. Bagaimana hasil-hasil Konferensi Rio de Janeiro dalam pelaksanaannya di Indonesia

3. Tujuan :

3.1. Menginformasikan masalah lingkungan hidup global, serta permasalahan lingkungan setelah
Konferensi Stockholm.

3.2. Mengungkap pelaksanaan Konferensi Rio de Janeiro, serta hasil-hasil yang diratifikasi

3.3. Mengkaji hasil-hasil Konferensi Rio de Janeiro dalam pelaksanaannya di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

DARI STOCKHOLM MENUJU KE RIO DE JANEIRO

1. Konferensi Nairobi dan WCED (World Commission on Environment and Development).

Setelah sepuluh tahun Konferensi Stockholm berselang, PBB kembali menggelar konferensi tentang
lingkungan hidup pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya. Pertemuan ini merupakan pertemuan wakil-wakil
pemerintah dalam Government Council UNEP, pertemuan tersebut mengusulkan pembentukan suatu
komisi yang bertujuan melakukan kajian tentang arah pembangunan di dunia. Usul yang dihasilkan dari
pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa ke sidang umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk
WCED/ World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan
Pembangunan ) yang diketuai oleh Ny. Gro Brundtland, dan ditugaskan untuk mencari dan merumuskan
permasalahan global lingkungan dan pembangunan. Komisi inilah yang melakukan pertemuan
diberbagai tempat di belahan dunia, serta berdialog dengan berbagai kalangan . Komisi ini
menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987 dengan menerbitkan laporan “Our Common Future” yang
dikenal dengan Laporan Brundtland (The Brundtland Report ). Tema laporan ini adalah sustainable
development ( pembangunan berkelanjutan ). Komisi ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan
sebagai suatu upaya yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya
pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan yang tinggi. Inilah underlying concept
pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini terus berkembang mengikuti dinamika perubahan.

Dua puluh tahun setelah Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, atau lima tahun setelah
terbitnya Laporan Brundtland, PBB menyelenggarakan United Nations Conference on Environment and
Devwelopment (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan atau
lebih dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit ).

2. KTT Bumi Rio de Janeiro

Dalam pandangan dan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Deklarasi Stockholm 1972, anata lain
ditegaskan bahwa sebagian besar problema lingkungan di negara berkembang disebabkan oleh
kemiskinan. Sedangkan di negara-negara maju justru disebabkan oleh industrialisasi dan kemajuan
teknologi. Pemanfaatan lingkungan hidup tetap diperlukan dalam memenuhi kebutuhan fisik manusia
dan sekaligus untuk berkembangnya nilai-nilai intelektual, moral, sosial dan spiritual. Seluruh
masyarakat dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang, semua unsur pemerintah dan
masyarakat termasuk dunia usaha, mempunyai kepentingan dan tanggung jawab yang sama untuk
menjaga dan memelihara lingkungan bagi generasi sekarang sampai generasi mendatang, dengan
mempertahankan tujuan mendasar dari perdamaian dan pembangunan ekonomi global. Topik yang
diangkat dalan konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan lapisan ozon,
penggunaan dan pengelolaan sumber daya air dan lautan, meluasnya penggundulan hutan,
penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta berkurangnya keanekaragaman
hayati.

KTT Bumi berupaya manyatukan perhatian dunia tentang masalah lingkungan yang terjadi.
Masalah tersebut sangat berkaitan erat de3ngan kondisi ekonomi dan masalah keadilan sosial. Kon
ferensi ini juga mendeklarasikan bahwa jika rakyat miskin dan ekonomi nasionalnya lemah, maka
lingkungannya yang menderita. Jika lingkungan hidup disalah gunakan dan sumber daya-nya dikonsumsi
secara berlebihan, akibatnya rakyat akan menderita dan perekonomian-pun akan morat-marit.

Tujuan utama KTT Bumi ini adalah untuk menghasilkan agenda lanjutan, sebagai sebuah
perencanaan bagi gerakan internasional dalam menghadapi isu-isu lingkungan hidup dan pemb
angunan. Perencanaan tersebut akan membantu memberi arahan bagi suatu kerja sama internasional
serta pembuatan kebujakan pembangunan ke depan.

Konferensi Rio kemudian menyepakati bahwa konsep pembangunan berkelanjutan merupakan


tujuan dari setiap manusia. Bagaimanapun, menyatukan dan menyeimbangkan perhatian di bidang
ekonomi, sosial dan lingkungan membutuhkan cara pandang baru. Baik mengenai bagaimana kita
menghasilkan dan memakai sumberdaya, bagaimana kita hidup, bagaimana kits bekerja, bagaimana kita
bergaul dengan orang lain, atau bagaimana cara kita membuat keputusan. Konsep ini menjadi
perdebatan panjang, baik dikalangan pemerintahan, juga antara pemerintah dan masyarakatnya
tentang bagaimana mencapai keberlanjutan tersebut.

Konferensi Rio de Janeiro menghasilkan lima dokumen, yaitu :

a) Deklarasi Rio de Janeiro ,tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (The Rio de Janeiro
Declaration on Environment and Development ) juga dikenal dengan “Earth Chapter” terdiri atas 27
prinsip yang memacu dan memprakarsai kerja sama internasional, perlunya pembangunan dilanjutkan
dengan prinsip perlindungan lingkungan, dan perlu adanya analisis mengenai dampak lingkungan.
Deklarasi ini juga mengakui pentingnya peran serta masyarakat yang tidak hanya dikonsultasi mengenai
rencana pembangunan, tetapi juga ikut serta dalam pengambilan keputusan, serta aktif dalam proses
pelaksanaan dan ikut menikmati hasil pembangunan itu.

Berikut ini adalah Prinsip Pembangunan Berkelanjutan pilihan dari Deklarasi Rio (UNCED,1992 dalam
Mitchel Bruce,dkk,2007) :

Prinsip 1 : Manusia menjadi pusat perhatian dari pembangunan berkelanjutan. Mereka hidup secara
sehat dan produktif, selaras dengan alam.

Prinsip 2 : Negara mempunyai, dalam hubungannya dengan the Charter of the United Nations dan
prinsip hukum internasional, hak penguasa untuk mengeksploitasi sumberdaya mereka yang sesuai
dengan kebijakan lingkungan dan pembangunan mereka……….

Prinsip 3 : Hak untuk melakukan pembangunan harus diisi guna memenuhi kebutuhan pembangunan
dan lingkungan yang sama dari generasi sekarang dan yang akan datang.

Prinsip 4 : Dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan seharusnya


menjadi bagian yang integral dari proses pembangunan dan tidak dapat dianggap sebagai bagian
terpisah dari proses tersebut.

Prinsip 5 : Semua nagara dan masyarakat harus bekerja sama memerangi kemiskinan yang merupakan
hambatan mencapai pembangunan berkelanjutan……..

Prinsip 8 : Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih
baik, negara harus menurunkan atau mengurangi pola konsumsi dan produksi, serta mempromosikan
kebijakan demografi yang sesuai.

Prinsip 9 : Negara harus memperkuat kapasitas yang dimiliki untuk pembangunan berlanjut melalui
peningkatan pemahaman secara keilmuan dengan pertukaran ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
dengan meningkatkan pembangunan, adaptasi, alih teknologi, termasuk teknologi baru dan inovasi
teknologi.

Prinsip 10 : Penanganan terbaik isu-isu lingkungan adalah dengan partisipasi seluruh masyarakat yang
tanggap terhadap lingkungan dari berbagai tingkatan. Di tingkat nasional, masing-masing individu harus
mempunyai akses terhadap informasi tentang lingkungan, termasuk informasi tentang material dan
kegiatan berbahaya dalam lingkungan masyarakat, serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan. Negara harus memfasilitasi dan mendorong masyarakat untuk tanggap dan
partisipasi melalui pembuatan informasi yang dapat diketahui secara luas.

Prinsip 15 : Dalam rangka mempertahankan lingkungan, pendekatan pencegahan harus diterapkan


secara menyeluruh oleh negara sesuai dengan kemampuannya. Apabila terdapat ancaman serius atau
kerusakan yang tak dapat dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan seharusnya tidak dipakai sebagai
alasan penundaan pengukuran biaya untuk mencegah penurunan kualitas lingkungan.

Prinsip 17 : Penilaian dampak lingkungan sebagai instrument nasional harus dilakukan untuk kegiatan-
kegiatan yang diusulkan, yang mungkin mempunysai dampak langsung terhadap lingkungan yang
memerlukan keputusan di tingkat nasional.

Prinsip 20 : Wanita mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan.
Partisipasi penuh mereka perlu untuk mencapai pembangunan berlanjut.

Prinsip 22 : Penduduk asli dan setempat mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan
pembangunan lingkungan karena pemahaman dan pengetahuan tradisional mereka. Negara harus
mengenal dan mendorong sepenuhnya identitas, budaya dan keinginan mereka serta menguatkan
partisipasi mereka secara efektif dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.

b) Konvensi Perubahan Iklim /“The Framework Convention on Climate Change (FCCC)” : Yang memuat
kesediaan negara-negara maju untuk membatasi emisi gas rumah kaca dan melaporkan secara terbuka
mengenai kemajuan yang diperolehnya dalam hubungan tersebut. Negara-negara maju juga sepakat
untuk membantu negara-negara berkembang dengan sumber daya dan teknologi dalam upaya negara-
negara berkembang untuk memenuhi kewajiban sebagaimana tercantum dalam konvensi. Kesepakatan
Hukum yang telah mengikat telah ditandatangani oleh 152 pemerintah pada saat konferensi
berlangsung. Tujuan pokok Konvensi ini adalah “ Stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer
pada tingkat yang telah mencegah terjadinya intervensi yang membahayakan oleh manusia terhadap
sistem iklim, yang mengharuskan pengurangan sumber emisi gas seperti CO2, emisi pabrik, transportasi
dan penggunaan energy fosil pada umumnya”. Dalam Pasal 3 Konvensi dicantumkan prinsip-prinsip
sebagai berikut :

(1) Para pihak harus melindungi sistem iklim untuk kepentingan kehidupan generasi kini dan yang akan
datang, atas dasar keadilan dan sesuai dengan tanggung jawab bersama yang berbeda-beda dan sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Sesuai dengan itu, pihak negara maju harus mengambil peranan
penting dalam menanggulangi perubahan iklim dan kerugian yang diakibatkan.

(2) Kebutuhan tertentu dan keadaan khusus dari pihak negara berkembang, terutama yang rawan
terhadap akibat perubahan iklim yang merugikan, dan bagi para pihak, teutama pihak negara
berkembang yang harus memikul ketidak seimbangan atau beban tidak wajar berdasarkan konvensi ini,
harus diberikan pertimbangan penuh.
(3) Para pihak harus mengambil tindakan pencegahan untuk mengantisipasi, mencegah atau
mengurangi penyebab dari perubahan iklim dan meringankan akibat yang merugikan. Apabila ada
ancaman serius atau kerusakan yang tidak dapat dipuilihkan, ketiadaan kepastian ilmiah yang lengkap
tidak boleh dijadikan alas an untuk menunda tindakan demikian itu, dengan pertimbangan bahwa
kebijaksanaan dan tindakan yang berkaitan dengan perubahan iklim harus berdasarkan efektifitas biaya
untuk terjaminnya manfaat secara global berdasarkan biaya serendah mungkin. Untuk mencapai ini,
kebijaksanaan dan tindakan demikian harus mempertimbangkan konteks sosio-ekonomi yang berbeda,
harus komprehensif, mencakup semua sumber yang relevan, bak cuci dan tempat penyimpan gas rumah
kaca serta penyesuaian dan mencakup semua sector ekonomi. Upaya-upaya untuk menghadapi
perubahan iklim dapat dilakukan secara kerjasama dengan berbagai pihak yang berkepentingan.

(4) Semua pihak mempunyai hak untuk dan harys memajukan pembangunan berkelanjutan.
Kebijaksanaan dan tindakan untuk melindungi sistem iklim terhadap perubahan akibat campur tangan
manusia harus memadai bagi keadaan khusus setiap pihak dan harus diintegrasikan dengan program
pembangunan nasional, dengan memperhityngkan bahwa pembangunan ekonomi adalah essensial bagi
dilakukannya tindakan-tindakan untuk menghadapi perubahan iklim.

(5) Semua pihak harus bekerjasama untuk mengembangkan sistem ekonomi internasional yang
menunjang dan bersifat terbuka menuju pada pwertumbuhan ekonomi dan permbangunan bagi semua
pihak, khususnya pihak negara berkembang, sehingga memungkinkan mereka untuk secara lebih baik
menghadapi perubahan iklim. Tindakan yang harus dilakukan untuk menanggulangi perubahan iklim,
termasuk tindakan unilateral, tidak boleh menjadi sarana bagi diskriminasi sewenang-wenang dan tidak
bertanggungjawab atau pembatasan perdagangan internasional yang terselubung.

Pasal 23 ayat 1 menyatakan, bahwa Konvensi akan berlaku pada hari ke-90 setelah hari/tanggal deposit
instrument ke-50 ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau akses.

Pasal 23 ayat 2 menyatakan, bahwa untuk setiap negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang
meratifikasi, menerima atau menyetujui atau ikut serta setelah deposit instrument ke-50 ratifikasi,
penerimaan, persetujuan atau akses. Konvensi diberlakukan pada hari ke-90 setelah tanggal deposit
negara itu atau organisasi integrasi ekonomi regional dari instrument ratifikasi, penerimaan,
persetujuian atau akses.

Pasal 23 ayat 3 menyatakan bahwa untuk maksud dari ayat 1 dan 2 di atas, setiap instrument yang
didepositokan oleh sesuatu organisasi integrasi ekonomi regional tidak dihitung sebagai tambahan pada
yang didepositokan oleh anggota-anggota negara dari organisasi tersebut. Konvensi ini dibuat di New
York pada tanggal 9 Mei 1992.

c) Konvensi Keanekaragaman Hayati / “The Convention on Biological Diversity “ : yang memberikan


landasan untuk kerjasama internasional dalam rangka konservasi spesies dan habitat. Kesepakatan
Hukum yang mengikat telah ditandatangani sejauh ini oleh 168 Negara. Menguraikan langkah-langkah
kedepan dalam pelestarian keragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan komponen – kompennya,
serta pembagian keuntungan yang adil dan pantas dari penggunaan sumber daya genetic. Konvensi
keanekaragaman hayati ini menyatakan dalam Pasal 1 tentang tujuannya, yaitu melestarikan dan
mendayagunakan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan berbagai keuntungan secara adil
dan merata dari hasil pemanfaatan sumber genetika melalui akses terhadap sumber genetika tersebut,
alih teknologi yang relevan, serta pembiayaan yang cukup dan memadai. Asas dalam Pasal 3
menyatakan, bahwa Negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber alamnya sesuai dengan
kebijaksanaan pembangunan dan lingkungannya, serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin
bahwa kegiatannya itu tidak akan merusak lingkungan baik di dalam maupun di luar wilayah negaranya.
Konvensi ini dibuat di Rio de Janeiro pada tanggal 5 Juni 1992. Pada waktu Konferensi Rio berakhir.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1994 pada tanggal 1
Agustus 1994.

d) Pernyataan Prinsip-Prinsip Kehutanan : Prinsip – prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan
internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya hutan global secara berkelanjutan yang bermakna ekonomi dan keselamatan
berbagai jenis biotanya. Prinsip-prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional
mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan. Prinsip tentang hutan ini mencakup tentang
semua jenis hutan, yaitu hutan boreal, hutan iklim, hutan tropic dan hutan austral. Dalam prinsip ini
diakui fungsi ganda hutan yaitu untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi, ekologi, cultural dan
spiritual generasi akan datang. Dengan demikian diakui hak setiap negara untuk menggunakan hutan
sebagai sumber daya untuk pembangunan. Namun pembangunan harus dilakukan dengan
berkelanjutan dengan mengingat kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam prinsip ini hutan diakui
perlunya alih teknologi dengan persyaratan yang menguntungkan. Prinsip lain adalah perlunya
dikembangkan ekonomi dan perdagangan internasional yang terbuka dan dilarangnya tindakan
unilateral dengan dalih lingkungan. Berdasarkan prinsip ini tidaklah dibenarkan untuk hanya
memperhatikan hutan tropic saja, baik yang berkaitan dengan pemanasan global maupun kepunahan
jenis, melainkan haruslah semua hutan ( Soemarwoto, Otto, 2004 ).

e) “Agenda 21” atau Komisi Pembangunan Berkelanjutan/Commission on Sustanable Development ( CSD


) : Komisi ini di bentuk pada bulan Desember 1992. Tujuan CSD adalah untuk memastikan keefektifan
tindak lanjut KTT Bumi. Mengawasi serta melaporkan pelaksanaan kesepakatan Konferensi Bumi baik di
tingkat lokal, nasional, maupun internasional. CSD adalah komisi Fungsional Dewan Ekonomi dan Sosial
PBB/ Economic and Social Commssion(ECOSOC) yang beranggotakan 53 negara. Agenda 21, sebuah
rancangan tentang cara mengupayakan pembangunan yang berkelanjutan dari segi sosial, ekonomi dan
lingkungan hidup. Telah disepakati bahwa tinjauan lima tahunan majelis Umum PBB tentang Konferensi
Bumi dan Agenda 21 harus dibuat pada bulan Juni 1997, dalam sidang istimewa rapat Earth Summit + 5,
atau Rio + 5 di New York.

Salah satu hasil KTT Bumi lainnya adalah Agenda 21, yang merupakan sebuah program luas
mengenai gerakan yang mengupayakan cara-cara baru dalam berinvestasi di masa depan untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan di abad 21. Rekomendasi – rekomendasi Agenda 21 ini meliputi
cara – cara baru dalam mendidik, memelihara sumberdaya alam, dan berpartisipasi untuk merancang
sebuah ekonomi yang berkelanjutan. Tujuan keseluruhan Agenda 21 ini adalah untuk menciptakan
keselamatan, keamanan dan hidup yang bermartabat. Agenda 21 merupakan “action plan “ di abad 21,
yang walaupun tidak mengikat secara resmi, tetapi memberi arah strategi dan integritas program
pembangunan dengan penyelamatan kualitas lingkungan. Agenda 21 ini disepakati untuk disusun oleh
dan untuk masing-masing negara peserta.

Pokok – pokok cakupan Agenda 21 yang merupakan program aksi pembangunan berkelanjutan
adalah sebagai berikut :

a) Social and Economic Dimension yang meliputi : (1) Kerjasama internasional untuk mempercepat
pembangunan berkelanjutan negara berkembang serta kebijakan domestiknya. (2) Memerangi
kemiskinan. (3) Merubah pola konsumsi. (4) Dinamika demografi dan sustainibilitasi. (5) Proteksi dan
peningkatan kesehatan manusia. (6) Promosi pembangunan pemukiman manusia berkelanjutan. (7)
Integrasi lingkungan dan pembangunan dalam pengambilan keputusan.

b) Conservation and Manajement of Resources for Development yang meliputi : (8) Proteksi atmosfer.
(9) Pendekatan terintegrasi dealam perencanaan dan manajemen sumber daya lahan. (10) Memerangi
deforestasi. (11) Pengelolaan ekosistem yang rawan, memerangi desertifikasi dan kekeringan. (12)
Pengelolaan ekosistem yang rawan, pembangunan pegunungan berkelanjutan. (13) Mempromosikan
pertanian yang berkelanjutan dan pembangunan pedesaan. (14) Konservasi keanekaragaman hayati.
(15) Pengelolaan bioteknologi berwawasan lingkungan. (16)Proteksi samudera, keanekaragaman
kelautan, termasuk lautan dan semi tertutup, kawasan pesisir serta proteksi dan penngunaan secara
rasional berikut pengembangan sumber alam hayati. (17) Proteksi kualitas dan supply air. (18)
Pengelolaan kimia toksik dan bahaya. (19) Pengelolaan limbah beracun dengan wawasan lingkungan,
termasuk pencegahan llintas internasional secara illegal dalam limbah beracun dan berbahaya. (20)
Pengelolaan limbah padat dan limbah cair berwawasan lingkungan. (21) Pengelolaan yang aman dan
berwawasan lingkungan dari limbah radio aktif.

c) Strengthening the Role of major Group yang meliputi : (22) Aksi global bagi perempuan
mengembangkan oembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan. (23) Anak dan Pemuda dalam
pembangunan berkelanjutan. (24) Mengakui dan memberdayakan peranan organisasi non-pemerintah,
mitra dalam pembangunan berkelanjutan. (26) Prakarsa otoritas lokal menunjang Agenda 21. (27)
Memberdayakan peranan buruh serta serikat buruhnya. (28) Memberdayakan peranan bisnis dan
industry. (29) Komunitas ilmuwan dan teknologi. (30) Memberdayakan peranan petani.

d) Means Of Implementation yang meliputi : (31) Sumber keuangan dan mekanismenya. (32)
Pengalihan teknologi berwawasan lingkungan, kerjasama serta pengembangan kapasitas. (33) Ilmu
pengetahuan bagi pembangunan berkelanjutan. (34) Mempromosikan pendidikan, kesadaran public dan
latihan. (35) Mekanisme nasional dan kerja sama internasional untuk mengembangkan kapasitas dalam
negara berkembang. (36) Pengaturan kelembagaan internasional, instrumental hukum dan mekanisme
internasional. (37) Informasi bagi pengambilan keputusan.

Pencapaian utama konferensi yang diadakan di Rio de Janeiro, adalah Konvensi Kerja PBB untuk
Perubahan Iklim: United Nations Framework Convention on Climate Change(UNFCCC). Konvensi ini
menjadi dasar pembahasan perubahan iklim ke depan dan menjadi dasar penyusunan Protokol Kyoto.
Protokol yang merupakan tindak lanjut dari Konvensi Perubahan Iklim ini merupakan rezim global
pertama yang menjadikan pemanasan global sebagai isi utamanya. Tujuan dari protocol ini adalah
membatasi emisi karbon tiap-tiap negara yang masuk dalam daftar negara Annex 1. Negara – negara ini
setidaknya harus mengurangi emisi karbonnya sampai 5 persen dari emisi tahun 1990 . Protokol ini
mulai dibuka penandatanganannya di Kyoto, Jepang, pada 11 Desember 1997 dan dinyatakan berlaku
mulai 16 Februari 2005. Namun sayang protocol ini dinilai tidak efektif karena mundurnya beberapa
negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia dan kemunculan negara industri baru, seperti China
dan India, yang tidak masuk dalam daftar negara Annex 1.

Bahan bakar fosil seperti minyak, batu bara dan gas sebagai penyumbang terbesar polusi planet
bumi sekaligus menyebabkan pemanasan global. Karbondioksida yang merupakan gas buangan dari
pembakaran bahan bakar fosil menyumbang 75 persen penyebab pemanasan global. Efek gas rumah
kaca itu memicu perubahan iklim, badai, banjir dan meningkatnya ketinggian permukaan laut. Sejumlah
negara telah menandatangani Protokol Kyoto, kecuali Amerika Serikat yang memilih untuk menolak
fakta itu. Washington mempunyai argument bahwa Protokol Kyoto terlalu mahal ongkosnya dan secara
tidak langsung menghindarkan Cina dan India sebagai penyumbang polusi harena percepatan
pembangunannya. Menurut Presiden Afsel, Cina dan AS sama-sama sebagai pengkonsumsi energy
terbanyak di dunia. Diprediksikan konsumsi minyak Cina malonjak hingga 80 juta barel per hari atau 6
juta barel lebih banyak ketimbang produksi minyak dunia yang Cuma 74 juta barel.

Pada tahun 1994 Dewan Bumi (Earth Council ) dibentuk atas inisiatif Maurice Strong, Sekretaris
Jenderal Konferensi Rio dan Mikhail Gorbachev Presiden Green Cross International. Hal ini merupakan
kelanjutan atau produk KTT Bumi di Rio tahun 1992 untuk memprakarsai perumusan kembali makna
konservasi lingkungan. Di samping itu juga untuk merumuskan kembali sustainable development serta
berupaya mambangun kesadaran bersama tentang makna kehidupan di Bumi ini. Komisi Piagam Bumi
yang dibentuk tahun 1997, telah merumuskan etika ekologi sebagai landasan pembangunan
berkelanjutan dalam sebuah Piagam Bumi (Earth Charter ). Pada tahun 2000 piagam ini dideklarasikan
dan disebarluaskan ke berbagai penjuru Dunia.

Indonesia dengan beraneka ragam budaya dan latar belakang lingkungan yang berbeda, menurut
Piagam Bumi perlu menerima kenyataan bahwa kita adalah bagian dari “keluarga manusia” dari
“masyarakat bumi” yang mempunyai tujuan (destiny ) yang sama. Dalam Komisi Piagam Bumi ini duduk
sebagai wakil Indonesia adalah Ir. Erna Witular Msi, sedang di Kepedulian dan Etika Lingkungan
(LENTING) yang dipimpin oleh Dr. Sony Keraf, salah seorang mantan Menteri Lingkungan Hidup.

Pada tahun 2002 diselenggarakan konferensi Puncak Rio+10 di Johannesburg yang dihadiri oleh
Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Untuk kesekian kali yang diperbincangkan adalah konsep dan
pelaksanaan sustainable development yang dinilai belum berhasil baik untuk membebaskan kemiskinan
dan keterbelakangan, ketimpangan dalam ketenagakerjaan, kinerja yang belum cukup produktif, dan
kesetaraan antara konsumsi dasar dengan tingkat produktivitas yang mendukungnya. Hal ini belum
cukup terlaksana karena belum terbina kelembagaan yang mendukung dan dinikmati hasilnya oleh
seluruh anggota masyarakat Bumi.

3. Tanggapan Indonesia Terhadap Hasil-hasil KTT Bumi


Indonesia pada prinsipnya terbuka untuk kemitraan global dengan negara maju yang antara lain
terkait dengan konsep alih teknologi drngan tetap memperhatikan pengembangan teknologi yang sesuai
dengan kondisi Indonesia. Isu lingkungan kemudian makin bergulir dan melahirkan kesepakatan-
kesepakatan, kerjasama bilateral, regional, multilateral. Sampai pada isu pemanasan global yang sudah
dianggap pada taraf serius mengancam kondisi bumi. Protokol Kyoto 1997 yang disepakati 159 negara
dimaksud untuk menahan pemanasan global melalui pengurangan konsumsi bahan bakar minyak bumi
atau energy yang berasal dari fosil.

Dengan adanya KTT Bumi, Pemerintah Indonesia dengan cepat telah menyusun suatu rancangan
guna memenuhi persyaratan umum dari peinsip-prinsip perjanjian lingkungan serta tujuan umum dari
KTT Bumi dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Indonesia dalam dokumen Agenda 21
nasional diselesaikan akhir tahun 1996, dokumen itu dicapai lewat proyek yang dibiayai oleh United
Nations Development Programme (UNDP) dan dilaksanakan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup, proyek ini diberi nama Post UNCED Planning and Capacity Building Activities Project, dan produk
utama dari proyek ini adalah dokumen Agenda 21 Indonesia. Pada bulan-bulan awal, pelaksanaan
proyek Agenda 21-Indonesia difokuskan pada penetapan lingkup dan tujuan proyek yang mencerminkan
isu penting serta perubahan yang terjadi sejak KTT Bumi pada 1992 serta arah pembangunan di masa
mendatang.

Identifikasi isu penting tentang pembangunan dan lingkungan dilakukan melalui survai ke-27 propinsi di
Indonesia dengan mewancarai semua pihak terkait. Dengan menggunakan metode Analisis Hirarki
Proses (AHP), data survai diolah yang kemudian disebarkan kepada konsultan penyusunan Agenda 21
sebagai bahan masukan. Dengan bantuan badan-badan PBB lainnya, jumlah konsultan penyusun
Agenda 21-Indonesia menjadi 22 konsultan nasional yang terlibat dalam proyek ini. Konsultan penyusun
Agenda-21 dibagi ke dalam 18 prioritas bidang dan mengorganisasi kelompok kerja yang terdiri dari
berbagai pihak terkait. Dalam kelompok kerja ini peserta terdiri dari wakil berbagai lembaga, antara lain
pegawai pemerintah, ORNOP, Akademisi, dan wakil masyarakat umum. Laporan yang dihasilkan dibahas
antar anggota kelompok guna memperoleh suatu kesepakatan tentang prioritas program, tujuan,
kegiatan yang duisulkan, serta sarana pelaksanaannya. Para konsultan dibantu oleh empat coordinator
dengan pembagian sebagai berikut : (1) Pelayanan Masyarakat; (2) Pengelolaan Limbah; (3) Pengelolaan
Sumber Daya Lahan; dan (4) Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Dalam rangka memperoleh hasil yang optimal, pendekatan broadbased-participation dilakukan


melalui berbagai seminar dan lokakarya yang melibatkan para pakar di bidang pembangunan dan
lingkungan baik dari kalangan pemerintah ( Bappenas, Departemen Teknik, dll), maupun dari kalangan
bisnis, dan masyarakat luas lainnya. Konsultan aktif secara terus menerus dilakukan dengan lembaga
pemerintah dan non-pemerintah serta dengan Kepala Biro Perencanaan Departemen terkait sedemikian
rupa sehingga publikasi awal Agenda 21-Indonesia dapat diterbitkan.

Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, maka


integrasi pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan merupakan syarat yang harus dianut oleh
semua sektor pembangunan terkait. Kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan ini adalah
dilaksanakannya kemitraan nasional oleh seluruh sector yang berkaitan dengan pembangunan dan
lingkungan, yang merupakan inti dari tujuan baik Agenda 21 Global maupun Agenda 21-Indonesia.
Agenda 21-Indonesia memberikan serangkaian pandangan dan inspirasi yang dapat dimasukkan ke
dalam proses perencanaan pada setiap tingkatan pembangunan di Indonesia, sedemikian rupa sehingga
lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat luas lainnya dapat memanfaatkan dokumen ini
sebagai referensi bagi penyusunan perencanaan dan program-program jangka pendek dan panjang
dalam menghadapi pasar bebas di masa mendatang dan dalam mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang diidam-idamkan. Agenda 21-Indonesia juga memberikan seperangkat saran dan
rekomendasi bagi kegiatan-kegiatan dan strategi pelaksanaannya untuk penyusunan GBHN, Repelita VII
dan berikutnya. Dokumen ini secara komprehensif dan rinci mengungkapkan kaitan antara
pembangunan ekonomi dan sosial, serta perlindungan terhadap lingkungan dan sumber daya alam,
serta memberikan “paradigma baru” bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Sebagai kesimpulan, Agenda 21-Indonesia dapat dijadikan sebagai suatu advisory document yang
mencakup aspek kebijakan, pengembangan program dan strategi yang meliputi hampir seluruh
perencanaan pembangunan bidang sosial, ekonomi dan lingkungan. Dokumen berisi rekomendasi untuk
pembangunan berkelanjutan sampai tahun 2020 untuk setiap sektor pembangunan, termasuk
pelayanan masyarakat dan partisipasi masyarakat.

Cakupan Agenda 21 Nasional yang dikembangkan di Indonesia adalah :

a) Pelayanan Masyarakat : (1) Pengentasan kemiskinan; (2) Perubahan pola konsumsi; (3) Dinamika
penelitian; (4) Pengelolaan dan peningkatan kesehatan; (5) Pembangunan perumahan dan pemukiman;
(6) Instrumen Ekonomi serta neraca ekonomi dan lingkungan terpadu.

b) Pengelolaan Limbah : (7) Perlindungan Atmosfer; (8) Pengelolaan Limbah Bahan Beracun dan
Berbahaya ; (9) Pengelolaan bahan kimia beracun; (10) Pengelolaan limbah radioaktif; (11) Pengelolaan
limnah padat dan cair.

c) Pengelolaan Sumber Daya Tanah : (12) Penataan sumber daya tanah; (13) Pengelolaan hutan; (14)
Pengembangan pertanian; (15) Pengembangan pedesaan; (16) Pengelolaan sumber daya air.

d) Pengelolaan Sumber Daya Alam : (17) Konservasi keanekaragaman hayati; (18) Pengembangan
bioteknologi; (19) Pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan.

Dalam masalah pengentasan kemiskinan yang masih menjadi isu sentral di Indonesia, meskipun
kemiskinan pernah menurun pada kurun waktu 1976 – 1996, dari 40,1% menjadi 11,3%, dari total
jumlah penduduk Indonesia. Jumlah orang miskin kembali meningkat pada periode 1996 – 1999, akibat
dari krisis multidimensial yang menerpa Indonesia. Jumlah penduduk miskin pada periode 1996 – 1998
meningkat tajam dari 22,5 juta jiwa ( 11,3% ) menjadi 49,5 juta jiwa ( 24,2% ), atau bertambah sebanyak
27 juta jiwa ( BPS,1999 dalam Huraera, Abu, 2007 ).

Hasil pendataan BPS pada tahun 2004, penduduk miskin di Indonesia sebanyak 36,1 juta jiwa atau
setara dengan 9 juta rumah tangga miskin. BPS memperkirakan rumah tangga miskin secara nasional
pada tahun 2005 mencapai 15,5 juta rumah tangga miskin, atau sama dengan 62 juta jiwa penduduk
miskin ( 17 September 2005 ).

Dalam upaya mengatasi kemiskinan tersebut maka telah dilakukan berbagai program, misalnya,
program Inpres Desa Tertinggal ( IDT ), No.5/1993, tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan.
Pada saat terjadinya krisi ekonomi yang kemudian berlanjut menjadi krisis multidimensional,
diluncurkan Program Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE), yang kemudian
dilanjutkan dengan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan ( P2KP ).

Dalam UU No. 5 tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity
( Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keaneka ragaman Hayati ) dijelaskan bahwa dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menggariskan agar Pemerintah Negara Republik
Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang – Undang Dasar 1945 menggariskan bahwa “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran Rakyat “, selain itu juga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis – Garis Besar Haluan Negara, khususnya tentang
Lingkungan Hidup dan Hubungan Luar Negeri, antara lain menegaskan sebagai berikut :

a) Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian penting dari ekosistem yang berfungsi
sebagai penyangga kehidupan seluruh makhluk hidup di muka bumi diarahkan pada terwujudnya
kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang dinamis dengan
perkembangan kependudukan agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Pembangunan lingkungan hidup bertujuan meningkatkan mutu, memanfaatkan sumber daya alam
secara berkelanjutan, merehabilitasi kerusakan lingkungan, mengendalikan pencemaran, dan
meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

b) Sumber daya alam di darat, di laut maupun di udara , dikelola dan dimanfaatkan dengan memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup agar dapat mengembangkan daya dukung dan daya tamping
lingkungan yang memadai untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi
generasi masa kini maupun bagi generasi masa depan. Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya
peranan lingkungan hidup dalam kehidupan manusia terus ditumbuhkembangkan melalui penerangan
dan pendidikan dalam dan luar sekolah, pemberian rangsangan, penegakan hukum, dan disertai dengan
dorongan peran aktif masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam setiap kegiatan
ekonomi sosial.

c) Konservasi kawasan hutan nasional termasuk flora dan faunanya serta keunikan alam terus
ditingkatkan untuk melindungi keanekaragaman plasma nutfah, jenis spesies, dan ekosistem. Penelitian
dan pengembangan potensi manfaat hutan bagi kepentingan kesejahteraan bangsa, terutama bagi
pengembangan pertanian, industry, dan kesehatan terus ditingkatkan. Inventarisasi, pemantauan dan
perhitungan nilai sumber daya alam dan lingkungan hidup terus dikembangkan untuk menjaga
keberlanjutan pemanfaatannya.

d) Kerja sama regional dan internasional mengenai pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup,
dan peran serta dalam pengembangan kebijaksanaan internasional serta kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi tentang lingkungan perlu terus ditingkatkan bagi kepentingan pembangunan
berkelanjutan.

e) Hubungan luar negeri merupakan kegiatan antar bangsa baik regional maupun global melalui
berbagai forum bilateral dan multilateral yang diabadikan pada kepentingan basional, dilandasi prinsip
politik luar negeri bebas aktif dan diarahkan untuk turut mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial serta ditujukan untuk lebih meningkatkan
kerjasama internasional, dengan lebih memantapkan dan meningkatkan peranan Gerakan Nonblok.

f) Peranan Indonesia di dunia internasional dalam membina dan mempererat persahabatan dan
kerjasama yang saling menguntungkan antara bangsa-bangsa terus diperluas dan ditingkatkan.
Perjuangan bangsa Indonesia di dunia internasional yang menyangkut kepentingan nasional, seperti
upaya lebih memantapkan dasar pemikiran kenusantaraan, memerlukan ekspor dan penanaman modal
dari luar negeri serta kerja sama ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu terus ditingkatkan.

g) Langkah bersama antar negara berkembang untuk mempercepat terwujudnya perjanjian


perdagangan internasional dan meniadakan hambatan serta pembatasan yang dilakukan oleh negara
industry terhadap eksport negara berkembang, dan untuk meningkatkan kerjasdama teknik antar
negara berkembang, terus dilanjutkan dalam rangka mewujudkan tata ekonomi serta tata informasi dan
komunikasi dunia baru.

Peranan aktif pemerintah RI disesuiakan dengan amanat yang digariskan baik GBHN maupun
program yang digariskan pemerintah dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan nasional
melalui pengelolaan sumber daya alam dan pemeliharaan daya dukungnya agar bermanfaat bagi
peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi. Pengakuan masyarakat internasional
kepada Indonesia menjadi ketua Preparatory Committee WSSD (World Summit on Sustainable
Development ) dan menjadi tuan rumah sidang persiapan terakhir pada tingkat Menteri WSSD
membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk memperoleh
manfaat sebesar-besarnya dari pelaksanaan WSSD. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang
yang mengeluarkan Agenda 21- In donesia mengenai strategi pembangunan berkelanjutan di tingkat
lokal dan nasional pada tahun 1997 serta memiliki Agenda 21 Sektoral yang dapat dijadikan dasar di
dalam meningkatkan pelaksanaan agenda pembangunan berkelanjutan. Indonesia meratifikasi seluruh
konvensi hasil UNCED 1992 ( UNFCCC, UNCBD, dan UNCCD ) dan memiliki perangkat normative
penunjang pelaksanaan agenda pembangunan berkelanjutan seperti Undang-Undang Lingkungan Hidup
serta beberapa ketentuan dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden
dan Keputusan Menteri.

Sebelum tahun 1982 peraturan hukum mengenai lingkungan tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut berdiri sendiri, tidak ada
ikatan antara satu dengan yang lainnya sehingga efektifitasnya sudah banyak yang berkurang (
Abdurachman, 1983). Karena itu dibutuhkan peraturan perundangan lingkungan yang menyeluruh,
integral dan komprehensif. Keinginan tersebut terwujud pada tanggal 11 Maret tahun 1982 yaitu
dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) oleh Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang ini menjadi
landasan hukum seluruh kebijakan dan penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia
selama 15 tahun yaitu dari tahun 1982 sampai tahun 1997. Pada tanggal 19 eptember 1997 Presiden
Republik Indonesia telah mensahkan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) sebagai pengganti UULH.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan :

Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.1. Topik yang diangkat dalam KTT Bumi Rio de Janeiro adalah permasalahan polusi, perubahan iklim,
penipisan lapisan ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya air dan lautan, meluasnya
penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta berkurangnya
keanekaragaman hayati.

1.2. Dalam KTT Rio de Janeiro, dihasilkan lima dokumen meliputi : (a) Deklarasi Rio juga dikenal dengan
“Earth Chapter” (b)Pernyataan Prinsip-Prinsip Kehutanan (c) Konvensi tentang perubahan iklim (d)
Konvensi Keanekaragaman Hayati (e) Agenda-21 merupakan “action plan” yaitu merupakan aksi
pembangunan bewrkelanjutan. Untuk mengawasi dan melaporkan pelaksanaan keefektifan tindak lanjut
dari KTT Bumi maka dibentuklah Komisi Pembangunan Berkelanjutan /Commission on Sustainable
Development (CSD) pada bulan Desember 1997.

1.3. Agenda-21 di tingkat nasional diselesaikan tahun 1996, dokumen itu dicapai lewat proyek yang
dibiayai oleh UNDP dan dilaksanakan oleh Kantor Menteri Nergara Lingkungan Hidup. Cakupan Agenda
21-Nasional meliputi :

(a) Pelayanan Masyarakat : (1) Pengentasan Kemiskinan; (2) Perubahan Pola Konsumsi ; (3) Dinamika
Penelitian ; (4) Pengelolaan dan Peningkatan Kesehatan; (5) Pengembangan perumahan dan
pemukiman; (6) Instrumen Ekonomi serta neraca ekonomi dan lingkungan terpadu.

(b) Pengelolaan Limbah : (7) Perlindungan Atmosfer ; (8) Pwengelolaan limbah bahan beracun dan
berbahaya ; (9) Pengelolaan bahan kimia beracun ; (10) Pengelolaan limbah radioaktif ; (11) Pengelolaan
limbah padat dan cair.
(c) Pengelolaan sumber daya tanah : (12) Penataan Sumber daya tanah ; (13) Pengelolaan hutan ; (14)
Pengembangan Pertanian ; (15) Pengembangan Pedesaan ; (16) Pengelolaan sumber daya air.

(d) Pengelolaan Sumber Daya Alam : (17) Konservasi keaneka ragaman hayati ; (18) Pengembangan
Bioteknologi; (19) Pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan.

1.4. Agenda 21-Indonesia dapat dijadikan sebagai suatu “advisory document” yang mencakup aspek
kebijakan, pengembangan program dan strategi yang meliputi hampir seluruh perencanaan
pembangunan bidang sosial, ekonomi dan lingkungan. Dokumen berisi rekomendasi untuk
pembangunan berkelanjutan sampai tahun 2020 untuk setiap sector pembangunan, termasuk
pelayanan masyarakat dan partisipasi masyarakat.

1.5. Indonesia meratifikasi seluruh konvensi hasil UNCED 1992 dan memiliki perangkat pelaksanaan
agenda pembangunan berkelanjutan seperti Undang-Undang Lingkungan Hidup serta beberapa
ketentuan dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan
Menteri.

2. Saran

Sebagai akhir dari penulisan makalah tentang Rio de Janeiro ini adalah sebuah harapan dan tantangan
akan kesadaran bagi kita semua sebagai manusia khususnya, dan sebagai masyarakat Indonesia maupun
dunia pada umumnya, dalam melihat dan berpartisipasi aktif keikutsertaannya menjaga dan memelihara
lingkungan hidup, demi untuk keberlanjutan bumi yang kita tempati.

DAFTAR PUSTAKA

http://pin-impala.brawijaya.ac.id//earth summit.htm

Koesnadi Hardjosoemantri , 2006, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Mitchel Bruce, Setiawan, Dwita, 2007, Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.

Supriadi, 2008 , Hukum Lingkungan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Soerjani, Arief, Dedi, 2006, Lingkungan Hidup Pendidikan, Pengelolaan Lingkungan Dan Pembangunan
Berkelanjutan, Yayasan ainstitut Pendidikan Dan Pengembangan Lingkungan (IPPL), Jakarta.

Soemarwoto, Otto, 2008, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lingkungan hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa kepada rakyat dan
bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan materinya sesuai dengan
wawasan nusantara. Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan
kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai
kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila.

Kaidah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia
terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4 yang pada pokoknya
mewajibkan pemerintah untuk mendayagunakan sumber daya alam yang ada untuk sebanyak-banyak
kesejahteraan rakyat. Pemikiran tentang kewajiban negara ini secara konstitusional tersebut lebih
dijabarkan lagi dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu prinsip negara, bumi dan segala
kekayaan yang terkandung didalamnya serta menjadi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
untuk digunakan untuk kehidupan orang banyak atau dengan kata lain negara bertindak sebgai
penyelenggara kepentingan umum (Bestuurzorg) .

Masalah lingkungan hidup secara formil baru menjadi perhatian dunia setelah terselenggaranya
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup, yang diselenggarakan pada
tanggal 5 sampai 16 Juni 1972 di Stockholm Swedia, terkenal dengan United Nations Conference on
Human Environment. Konferensi berhasil melahirkan kesepakatan internasional dalam menangani
masalah lingkungan hidup, dan mengembangkan hukum lingkungan hidup baik pada tingkat nasional,
regional, maupun internasional.

Kesadaran lingkungan di Indonesia tidak terlepas dari adanya pengaruh kesadaran hukum
lingkungan yang bersifat global atau internasional. Kesadaran lingkungan yang bersifat global atau
internasional tersebut merupakan wujud kepedulian masyarakat terhadap beberapa kejadian yang
timbul dibeberapa negara, diantaranya Jepang dan Amerika Serikat itu sendiri. Pada tahun 1962, di
Amerika Serikat terbit sebuah buku yang berjudul “The Silent Spring” (Musim Semi yang Sunyi) yang
dikarang oleh Rachel Carson. Dalam buku itu Carson menguraikan tentang adanya penyakit baru yang
mengerikan dan kematian hewan yang disebabkan oleh pencemaran. Musim semi pun mulai sunyi. Buku
Carson tersebut berpengaruh amat besar dikalangan masyarakat umum. Laporan ini semakin bertambah
dengan ditemukanya telur burung yang tidak dapat menetas, ikan, burung, dan hewan lain yang
mengalami kematian, kota besar Los Angeles di Amerika Serikat yang dilanda pencemaran udara yang
parah dan mengganggu kesehatan dan menyebabkan kerusakan pada tumbuhan, air susu ibu pun
mengandung residu pestisida. Berdasarkan kejadian diatas masyarakat pun makin vokal menyuarakan
keprihatinanya terhadap masalah lingkungan. Suara vokal mula-mula berasal dari negara maju yang
merasa bahwa hidupnya yang aman dan makmur terancam oleh berbagai masalah lingkungan itu.
Masyarakat negara maju tersebut tidak hanya mempersalahkan lingkungan di negara maju, melainkan
juga lingkungan di negara sedang berkembang. Protes yang dirasakan masyarakat internasional,
terutama masyarakat dinegara maju itu disampaikan pada waktu diselenggarakanya konferensi
Internasional di Amerika Serikat pada Tahun 1986.

Mengingat kenyataan bahwa dinegara yang sedang berkembang sebagian besar kegiatan
pembangunan berada dibawah penguasaan dan bimbingan pemerintah, sudah selayaknya bahwa
masalah perlindungan lingkungan ini diintegrasikan kedalam proses perencanaan pembangunan. Salah
satu alat perlindungan dan pelestarian lingkungan dalam rencana pembangunan adalah keharusan
untuk melakukan Amdal yang merupakan konsep pengaturan hukum yang bersifat revolusioner
dibidang hukum.

Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) merupakan salah satu instrumen pidana dalam
UUPPLH namun seakan terbantahkan karena asas yang dianut oleh undang-undang yang saat ini berlaku
adalah asas ultimum remedium sehingga menghambat penegakan sengketa pidana lingkungan di
Indonesia.

Berdasarkan salah satu tujuan hukum pidana yaitu teori gabungan yang diungkapkan salah satu
ahli yaitu Van Bemmelen :

“ pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud


mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya mempersiakan untuk
mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat”.

Grotius mengembangkan teori gabungan yang yang menitikberatkan keadilan mutlak yang
diwujudkan dalam pembalasan tetapi berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana adalah
penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi
sampai batas nama beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat
diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.

Penerapan sistem pidana lingkungan dapat menjadi instrumen preventif bagi keselarasan dan
keberlanjutan bumi yang kerusakanya dapat dirasakan tidak hanya dimasa sekarang tetapi juga dimasa
yang akan datang oleh anak cucu kita sehingga perlu optimalisassi dari penegak hukum.

Dari pembahasan tersebut diatas, maka dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul
“Penerapan Sistem Penyelesaian Sengketa Pidana Lingkungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”.

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka permasalahan pokok
yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana lingkungan ?

2. Bagaimana hambatan penerapan sistem penyelesaian hukum lingkungan berdasarkan Undang-


Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ?

3. Bagaimana penyelesaian hukum pidana lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunagn Hidup ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana lingkungan.

2. Untuk mengetahui hambatan penerapan sistem penyelesaian hukum lingkungan berdasarkan


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3. Untuk mengetahui penyelesaian hukum pidana lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor


32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Dalam bidang akademik, hasil penelitian ini dapat menambah keilmuan dan pemahaman tentang
penerapan penyelesaian sengketa pidana lingkungan dengan ketentuan normatif dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Secara Praktis

Dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi penegak hukum untuk mengambil kebijakan
hukum lingkungan dalam pembangunan serta agar peneyeelsaian sengketa pidana lingkungan dapat di
optimalisasi sebagai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

E. Kerangka Pemikiran

Bagi Indonesia, pembangunan nasional yang diselenggarakan adalah mengikuti pola


pembangunan berkelanjutan yang diakomodasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3).
Ketentuan tersebut memberikan dasar hukum bagi penyelenggaraan pengelolaan linkungan hidup yang
bertujuan melestarikan kemampuan lingkungan hidup agar dapat menunjang kesejahteraan dan mutu
hidup generasi mendatang.

Namun tidak hanya diamanatkan dari satu pasal saja terdapat pasal lain diantaranya Pasal 28H
Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dana sehat merupakan hak
asasi warga negara Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup :

“Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan
yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.”

Dalam hal ini hukum pidana menjadi salah satu intrumen bagi penyelesaian sengketa lingkungan
hidup serta dijadikan sebagai asas dalam lingkungan hidup.

Hukum pidana memainkan peranan dalam upaya penegakan hukum lingkungan, walaupun
beban yang ditimpakan pada hukum pidana tidak melebihi kapasitas yang dimilikinya, karena dalam
upaya penegakan hukum lingkungan sangat tergantung pada berbagai faktor yang hampir tidak ada
dipahami dalam keseluruhanya.

Dari keberadaan perkembangan pemikiran tentang teori-teori hukum pidana, maka terdapat
beberapa asas yang disepakati oleh para penulis atau pakar hukum pidana, yaitu asas legalitas (The
Principle of Legality) yang bersifat preventif umum, asas kesamaan, asas proporsionalitas, asas publisitas
dan asas subsidaritas , serta asas baru dalam UUPPLH yaitu asas ultimum remedium.

Konsep asas subsidaritas sangat tidak jelas dan kabur sekali untuk dipedomani dalam tataran
aplikatif dan juga dianggap sebagai kelemahan penerapan penyelesaian sengketa pidana UUPPLH dalam
melaksanakan fungsinya.

Penafsiran tersebut dapat dipertegas bahwa, pertama pendayagunaan hukum pidana


disandarkan pada tidak efektifnya hukum administrasi dan hukum perdata dan alternatif penyelesaian
sengketa. Pemaknaan kedua, hukum pidana dapat langsung didayagunakan bila tingkat kesalahan
pelaku relatif berat, dan/atau akibat perbuatanya menimbulkan keresahan masyarakat.

Dalam pengkajian terhadap ketentuan pemidanaan tindak kejahatan lingkungan, terlebih dahulu
perlu dipahami apakah yang dimaksud dengan pidana dan pemidanaan tersebut, kemudian dilanjutkan
makna filosofis yang terkandung dalam ketentuan-ketentuan pemidanaan yang berlaku (ius constitum).
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau
pengertian dari para sarjana sebagai berikut:

1) Soedarto:
Yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

2) Roeslan Saleh:

Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara
pada pembuat delik itu.

3) Fitzgerald:

Punishment is the authoritative infliction of suffering for anoffence.

4) Ted Honderich:

Punishment is an authority’s infliction of penalty (something involving deprivation or distress) on an


offender for an offence.

5) Black’s Law Dictionary:

Punishment is any fine, penalty or confinement inflicted upon aperson by authority of the law and the
judgment and sentence of a court, for some crime or offence committed by him or for his omission of a
duty enjoined by the law.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-
ciri sebagai berikut:

1) pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat lain-
lain yang tidak menyenangkan;

2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh seseorang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh
pihak yang berwenang);

3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-
undang. Sementara pembatasan makna untuk pengertian pemidanaan menjadi suatu pengertian yang
dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan
atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan
tingkah laku yang anti-sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut, jika tidak berhasil
dilakukan, memerlukan rumusan baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana.
Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori- teori tentang
pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang
pemidanaan, dapat dilihat dari beberapa pemandangan.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Tipe Penelitian


Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum normatif-empiris, yaitu penelitian hukum
yang objek kajianya meliputi ketentuan-ketentuan perundang-undangan (in abstracto) serta
penerapanya pada peristiwa hukum (in concreto). Tipe penelitian hukumnya adalah deskriptif, yaitu
memaparkan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian
sebagai karya ilmiah.

2. Data dan Sumber Data

Karena penelitian hukum ini tergolong penelitian hukum normatif-empiris, maka data yang
diperlukan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer
yang bersumber dari perundang-undangan dan dokumen hukum, bahan hukum sekunder yang
bersumber dari buku-buku ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum lainya. Bahan hukum primer dan
sekunder yang dibutuhkan tersebut adalah yang relevan dengan masalah penelitian.

3. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi sumber primer, yaitu
undang-undang yang relevan dengan permasalahan dan studi dokumen sebagai bukti perbuatan sudah
terjadi; sumber sekunder yaitu buku-buku literatur ilmu hukum serta tulisan-tulisan hukum lainya yang
relevan dengan permasalahan. Studi pustaka dan studi dokumen dilakukan melalui tahap-tahap
identifikasi pustaka dan dokumen hukum sumber data, identifikasi, dan inventarisasi bahan hukum yang
diperlukan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara berpatokan terhadap responden
yang telah ditemukan. Data yang sudah terkumpul kemudian diolah melalui tahap pemeriksaan
(editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing), dan sistematisasi (systematizing)
berdasarkan urutan pokok bahasan dan subpokok bahasan.

4. Analisis Data

Data sekunder dan data primer hasil pengolahan tersebut dianalisis secara kualitatif dan
kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan kemudian diambil kesimpulan secara
induktif sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.

G. Sistematika Penulisan

Sebagai hasil dari penelitian ini, maka disusun dalam suatu karya ilmiah berupa skripsi, yang
terdiri dari 5 (lima) bab. Untuk memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini, maka disusun dengan
sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan yang merupakan pengantar dan pedoman untuk pembahasan-pembahasan


berikutnya, yang terdiri dari latar belakang masalah, Raumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, sistematika Penulisan.

Bab II Tinjauan Teoritis yang berisi uraian mengenai tinjauan umum tentang Pengertian dan Fungsi
Hukum Pidana, Lingkungan, Hukum Lingkungan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Bab III Perkembangan Hukum Lingkungan, membahas tentang sejarah perkembangan hukum lingkungan
baik internasional maupun nasional. Bab IV Pembahasan, membahas tentang pelaksanaan penerapan
sistem penyelesaian hukum pidana lingkungan, faktor terjadinya tindak pidana lingkungan hambatan
serta kelemahan asas ultimum remedium dalam hukum lingkungan.

Bab V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

BAB II

TEORITIS YURIDIS

A. Pengertian

1. Lingkungan Hidup

Penyusun Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berusaha


untuk membuat definisi tentang lingkungan sebagai berikut.

“lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”

Istilah lingkungan dan lingkungan hidup atau lingkungan hidup manusia sebagai terjemahan dari
bahasa Inggris environment and human environment. Seringkali digunakan secara silih berganti dalam
pengertian sama. Sekalipun arti lingkungan dan lingkungan hidup manusia dapat diberi batasan yang
berbeda-beda berdasarkan persepsi setiap penulis.

“lingkungan atau lingkungan hidup manusia adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam
ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita”

Pengertian diatas bahwa lingkungan hidup dalam arti ini adalah semua benda, daya, dan
kehidupan termasuk didalamnya manusia dan tingkah lakunya yang terdapat dalam suatu ruang, yang
mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainya.

Manusia hanya salah satu unsur dalam lingkungan hidup, tetapi perilakuknya akan
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta serta makhluk hidup lain.
Makhluk hidup yang lain termasuk binatang tidaklah merusak, mencemari, atau menguras lingkungan.

Jadi, Hukum lingkungan mempunyai dua dimensi. Yang pertama ialah ketentuan tingkah laku
masyarakat, semuanya bertujuan supaya anggota masyarakat dihimbau bahkan kalau perlu dipaksa
memenuhi hukum lingkungan yang tujuanya memecahkan masalah lingkungan. Yang kedua ialah suatu
dimensi yang memberi hak, kewajiban dan wewenang badan-badan pemerintah dalam mengelola
lingkungan.

a. Makna Hukum Lingkungan

konseptual makna lingkungan hidup terdapat pada Pasal 1 angka 1 dari UUPPLH, sebagai berikut :

“lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”

Demikian pula RM Gatot P Soemartono merumuskan makna lingkungan hidup sebagaimana


mengutip pendapat para pakar sebagai berikut :

“secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang
terdapat dalam ruangan yang kita tempati, dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan
manusia. Batas ruang lingkungan menurut pengertian ini bisa sangat luas, namun praktisnya dibatasi
ruang lingkungan dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh manusia seperti faktor alam, faktor
politik, faktor ekonomi, faktor sosial dan lain-lain.”

Dari definisi lingkungan hidup tersebut diatas, maka tergambarlah bahwa dalam lingkungan
hidup terdapat berbagai macam unsur-unsur lingkungan hidup yang satu sama lain berinteraksi
membentuk suatu kesimbangan. Unsur-unsur lingkungan tersebut merupakan satu kesatuan tetapi tidak
semua unsur-unsur lingkungan hidup tersebut dapat dikatakan sebagai sumber daya, hanya unsur
lingkungan yang kemudian memiliki potensi dan memiliki manfaat bagi kehidupanlah yang bisa
dikatakan sumber daya baik hayati, non hayati, maupun sumber daya buatan.

Sedangkan Soejono mengartikan lingkungan hidup sebagai berikut :

“Sebagai lingkungan hidup fisik atau jasmani yang mencakup dan meliputi semua unsur dan faktor fisik
jasmaniah yang terdapat dalam alam. Dalam pengertian ini, maka manusia, hewan dan tumbuh-
tumbuhan tersebut dilihat dan dianggap sebagai perwujudan fisik jasmani belaka. Dalam hal ini
lingkungan diartikan mencakup lingkungan hidup manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ada
didalamnya.”

Menurut Munadjat Danusaputro lingkungan hidup adalah :

“Semua benda dan daya serta kondisi termasuk didalamnya manusia dan tingkah perbuatanya yang
tedapat dalam ruang di mana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta
kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainya. Dengan demikian tercakup segi lingkungan fisik dan segi
lingkungan budaya.”

Otto Soemarwoto berpendapat :

“Lingkungan adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang
mempengaruhi kehidupan kita. Secara teoritis ruang itu tidak terbatas jumlahnya, namun secara praktis
ruang iti selalu diberi batas menurut kebutuhan yang dapat ditentukan, misalnya: jurang, sungai atau
laut, faktor politik atau faktor lainya. Jadi lingkungan hidup harus diartikan luas, yaitu tidak hanya
lingkungan fisik dan biologi, tetapi juga lingkungan ekonomi, sosial dan budaya.”

Hukum lingkungan hidup merupakan instrumen yuridis yang memuat kaidah-kaidah tentang
pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk mencegah penyusutan dan kemerosotan mutu
lingkungan . Dikatakan oleh Danusaputro bahwa hukum lingkungan hidup adalah konsep studi
lingkungan hidup yang mengkhususkan pada ilmu hukum, dengan objek hukumnya adalah tingkat
perlindungan sebagai kebutuhan hidup.

Keberadaan hukum lingkungan dimaksudkan untuk melindungi dan mengamankan kepentingan


alam dari kemerosotan mutu dan kerusakanya dalam rangka menjaga kelestarianya.

Dengan singkat dapat dinyatakan bahwa hukum lingkungan adalah, hukum yang mengatur agar
seluruh manusia dan badan hukum mentaati ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan negara tentang
lingkungan, serta memberi sanksi bagi pelanggaran yang terjadi. Yang dimaksud adalah UUPPLH serta
UUPLH.

b. Peran dan Tujuan Hukum Lingkungan


Peran dan tujuan hukum menurut Yahya Harahap adalah untuk mengendalikan keadilan (law
want justice). Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan (equality), hak atas
individu (individual rights), kebenaran (truth), kepatutan (fairness), dan melindungi masyarakat
(protection public interest). Hukum yang mampu menegakan nilai-nilai tersebut, jika dapat menjawab :

a. Kenyataan realita yang dihadapi masyarakat.

b. Yang mampu menciptakan ketertiban (to achieve order).

c. Yang hendak diterbitkan adalah masyarakat, oleh karena order yang dikehendaki adalah
ketertiban sosial (social order) yang mampu berperan:

1) Menjamin penegakan hukum sesuai dengan ketentuan proses beracara yang tertib (ensuring
due proses).

2) Menjamin tegaknya kepastian hukum (ensuring uniformity).

3) Menjamin keseragaman penegakan hukum (ensuring unifomity).

4) Menjamin tegaknya prediksi penegakan hukum (ensuring predictability).

Hukum tidak dapat dipisahkan dari kultur, sejarah dan waktu dimana kita sedang berada (law is
not separate from the culture, history and time in wich it exists). Setiap perkembangan sejarah dan
sosial harus diimbangi dengan perkembangan hukum, karena setiap perubahan sosial pada dasarnya
akan mempengaruhi perkembangan hukum (social movement effect the development of law).

1) Peran Hukum Lingkungan

Dalam beberapa konferensi lingkungan hidup baik pada IUCN, UNEP maupun WWF dalam caring
for the earth : a strategy for sustainable menjelaskan tentang peranan hukum lingkungan hidup adalah
sebagai berikut :

a) Memberi efek kepada kebijakan –kebijakan yang dirumuskan dalam mendukung konsep
pembangunan yang berkelanjutan.

b) Sebagai sarana penataan melalui penerapan aneka sanksi (variety of sanction).

c) Memberi panduan kepada masyarakat tentang tindakan-tindakan yang dapat ditempuh oleh
masyarakat.

d) Memberi definisi tentang hak dan kewajiban dan perilaku-perilaku yang merugikan masyarakat.

e) Memberi dan memperkuat mandat serta otoritas kepada aparat pemerintah terkait untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya.
Selanjutnya caring for the earth juga mencoba memberikan usulan tentang bagaimana
seharusnya sistem hukum lingkungan yang komprehensif serta mekanisme penegakanya. Secara ringkas
sistem hukum lingkungan nasional serta mekanisme penegakan hukum paling tidak harus memberikan
wadah sebagai berikut :

a) Penerapan bisnis pencegahan dini (precautionary principle).

b) Prinsip yang merupakan prinsip 15 dari Deklarasi Rio ini menekankan pentingnya tindakan-
tindakan antisipatif sebagai upaya pencegahan walaupun belum terdapat bukti-bukti ilmiah yang pasti
dan meyakinkan terhadap suatu hal.

c) Pendayagunaan instrumen ekonomi melalui penerapan pajak dan pungutan-pungutan lainya.

d) Pemberlakuan AMDAL untuk proyek-proyek pembangunan dan rencana kebijakan.

e) Pemberlakuan sistem audit lingkungan bagi kegiatan industri swasta dan pemerintahan yang
telah berlangsung.

f) Sistem pemantauan dan inspeksi yang efektif.

g) Memberikan jaminan kepada masyarakat mendapatkan informasi AMDAL, audit lingkungan,


hasil pemantauan dan informasi tentang produksi, penggunaan dan pengelolaan limbah maupunbahan
beracun dan berbahaya.

h) Sanksi yang memadai bagi pelanggar dalam pengertian harus mampu memberikan efek penjera
bagi non complience.

i) Sistem pertanggungjawaban yang memberi dasar pembayaran kompensasi karena kerugiam


ekonomis, ekologi, maupun kerugian, imateril (intangible losses).

j) Pemberlakuan sistem pertanggungjawaban mutlak atau seketika (strict liability) untuk kegiatan-
kegiatan ynag melibatkan bahan-bahan berbahaya dan beracun.

k) Penyelenggaraan asuransi dan penataan mekanisme pendanaan lainya untuk mempercepat dan
memungkinkan pelaksanaan kompensasi.

l) Memberikan jaminan hak standing bagi kelompok-kelompok lingkungan dalam proses beracara
di forum-forum administrasi maupun pengadilan, sehingga kelompok tersebut dapat berfungsi sebagai
komponen penting dalam penegakan hukum lingkungan.

m) Memberikan jaminan bahwa tindakan-tindakan dari instansi pemerintah yang berwenang


dibidang penegakan hukum lingkungan dapat di pertanggungjawabkan (accountable).

Diatas merupakan peran dari hukum lingkungan yang diambil berdasarkan salah satu konferensi
lingkungan internasional.

2) Tujuan Hukum Perlindungan Lingkungan


Menciptakan keseimbangan kemampuan lingkungan yang serasi (environmental
harmony). Oleh karena itu langkah-langkah konkrit untuk menciptakan keserasian lingkungan harus
melalui fungsinya sebagai berikut :

a) Sebagai landasan interaksional terhadap lingkungan (basic to environment interactive).

b) Sebagai sarana kontrol atas setiap interaksi terhadap lingkungan (a tool of control).

c) Sebagai sarana ketertiban interaksional manusia dengan manusia lain, dalam kaitanya dengan
kehidupan lingkungan (a tool of social order).

d) Sebagai sarana pembaharuan (a tool of social engineering) menuju lingkungan yang serasi,
menurut arah yang dicita-citakan (agent of changes).

Oleh karena itu perangkat hukum yang diundangkan dapat menjadi pedoman dalam melakukan
pembangunan berwawasan lingkungan (ecodevelopment). Hukum dapat pula memerankan fungsinya
sebagai kontrol dan menjadi kepastian bagi semua pihak dalam menciptakan keserasian antara
pembangunan yang ditujukan untuk meraih kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak dengan
penggunaan sumber daya alam dengan sangat hati-hati karena sangat terbatas. Sehingga fungsi hukum
sebagai a tool of social engineering dapat diarahkan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan
berwawasan lingkungan. Sebagaimana tertera dalam UUPPLH, yaitu:

“Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.
Sebagai konsekuensinya, kebijakan rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh
kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan. Undang-undang ini mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan
telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana
dan/atau program.

Maka untuk efektifnya suatu sistem hukum Hans Kelsen dalam teori Rule of Law yang ia
kemukakan, menyoroti 5 (lima) aspek dari efektifnya suatu sistem hukum, yaitu :

a) Materi hukumnya.

b) Aparatur penegak hukumnya.

c) Sarana dan prasarana.

d) Kesadaran hukum masyarakatnya.

e) Budaya hukum.

Materi hukum lingkungan yang merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang paling strategis,
karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi, selain hukum administrasi, hukum perdata, hukum
pidana, dan juga mengandung aspek hukum pajak, hukum internasional, hukum penataan ruang.
Demikian juga masalah lingkungan memiliki aspek yang lebih kompleks tidak hanya bisa didekati
dari aspek hukum semata, namun juga memahami pengertian dasar ilmu lingkungan dan prinsip-prinsip
ekologi yang bersifat interdisipliner (cross disciplinary/multidisciplinary studies aiding law school
cources), lintas sektoral dan integral komprehensif.

2. Ekologi

Ekologi berasal dari kata Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah atau tempat untuk hidup dan
logos yang berarti ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup. Secara ekonomi, ekologi juga dikatakan
ekononi alam, yang melakukan transaksi dalam bentuk materi, energi dan informasi.

Istilah ekologi ini semakin populer, karena bila terjadi kerusakan/ pencemaran lingkungan, maka
pikiran seketika tertuju pada persoalan ekologi. Kerumitan persoalan ekologi saat ini, karena ada
kecenderungan manusia memisahkan masalah lingkungan hidup dengan manusia, masalah manusia
bukan merupakan bagian yang terintegrasi dengan lingkungan. Dengan demikian menurut Soerjani
bahwa :

“Ekologi adalah ilmu dasar untuk mempertanyakan, meyelidiki, dan memahami bagaimana alam
bekerja, bagaimana keberadaan makhluk hidup dalam sistem kehidupan, apa yang mereka perlukan dari
habitatnya untuk dapat melangsungkan kehidupanya, bagaimana dengan melakukan semuanya itu
dengan komponen lain dan spesies lain, bagaimana individu dalam spesies itu beradaptasi, bagaimana
makhluk hidup itu menghadapi keterbatasan dan harus toleran terhadap berbagai perubahan,
bagaimana individu-individu dalam spesies itu mengalami pertumbuhan sebagai bagian dari suatu
populasi atau komunitas. Semuanya ini berlangsung dalam suatu proses yang mengikuti tatanan, prinsip
dan ketentuan alam yang rumit tetapi cukup teratur, yang dengan ekologi kita memahaminya.”

Dengan ekologi, alam dilihat sebagai jalinan sistem kehidupan yang saling terkait satu sama
lainya. Setiap makhluk hidup berada dalam suatu proses penyesuaian diri (adaptasi) dalam sistem
kehidupan yang dipengaruhi oleh iklim, kawasan (geografis) dan lingkungan biota yang rumit (complex).
Sistem inilah yang menjamin berlangsungnya kehidupan di bumi (survive).

Kualitas lingkungan dapat diukur dengan menggunakan kualitas hidup sebagai acuan, yaitu
dalam lingkungan yang berkualitas tinggi terdapat potensi untuk berkembangnya hidup dengan kualitas
yang tinggi. Kualitas hidup ditentukan oleh tiga komponen yaitu i) derajat dipenuhinya kebutuhan untuk
kelangsungan hidup hayati, ii) derajat dipenuhinya kebutuhan untuk kelangsungan hidup manusiawi dan
iii) derajat kebebasan untuk memilih.

Hal yang paling penting dari ekologi ini ialah konsep ekosistem. Ekosistem ialah suatu sistem
ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkunganya. Dalam
sistem ini semua komponen bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh
komponen hidup (biotic) dan tak hidup (abiotic) disuatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu
kesatuan yang teratur.

Penurunan keanekaragaman biologi dalam ekosistem manusia akan mempengaruhi berbagai


macam mekanisme, misalnya terhadap hama penyakit, terhadap habitat yang tidak subur atau
terabaikan, terhadap kemantapan ekonomi, dan terhadap stagnasi ekonomi kota.

Pembangunan pada hakekatnya adalah “gangguan” terhadap keseimbangan lingkungan, yaitu


usaha sadar manusia untuk mengubah keseimbangan lingkungan dari tingkat kualitas yang dianggap
lebih tinggi. Dalam usaha ini harus dijaga agar lingkungan tetap mampu untuk mendukung tingkat hidup
pada kualitas yang lebih tinggi itu. Pembangunan itu berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

3. Sistem Ekologi

Ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berwawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat dan
jurisdiksinya. Menurut disiplin ilmu lingkungan hidup, pada dasarnya merupakan suatu sistem kesatuan
(kekerabatan) antara ekosistem dan sosiosistem.

Istilah ecosystem sebenarnya merupakan suatu singkatan dari kata ecological system. Dalam
bahasa Indonesia mestinya menjadi sistem ekologis, bukan ekosistem. Istilah ini pertama kali
dipergunakan oleh Arthur George Transley pada tahun 1935, tetapi sebagai suatu konsep, sampai tahun
1960 sistem ekologis itu belum diterapkan kepada kehidupan manusia secara keseluruhan. Hanya ada
bagian komponen seperti manajemen hutan, manajemen binatang liar, manajemen air dan konservasi
tanah. Belum ada pengawasan dan perencanaan terhadap keseluruhan kompleks lingkungan.

Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh
dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup.

Ekosistem, menurut batasan arti berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah :

“Tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi
dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.”

Salah satu komponen lingkungan hidup yang memegang kunci dalam ekosistem adalah manusia.
Peranan manusia dalam ekosistem menurut Moestadji bahwa sebagaimana hanya dengan kehidupan
manusia dalam suatu masyarakat, ekosistem juga dikendalikan oleh hukum alam tentang energi yang
disebut dengan hukum termodinamika. Ada dua hukum alam tentang energi yang perlu mendapat
perhatian, yaitu hukum termodinamika pertama dan hukum termodinamika kedua.
4. Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan Hidup

Dari kesalingtergantungan unsur lingkungan, ada yang membahas masalah lingkungan ini dari
masalah kependudukan, masalah dapat habisnya sumber daya alam (depletion) dan masalah
pencemaran . Pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup merupakan masalah lingkungan, secara
garis besar dapat diuraikan dibawah ini:

a. Masalah lingkungan terutama disebabkan oleh perkembangan ilmu dan oleh karenanya harus
dikaji dan dipecahkan melalui ilmu pula. Kelompok ini beranggapan ilmu telah digunakan untuk
mengendalikan alam (the control of nature).

b. Menurut teori ekonomi yang sangat vokal, misalnya John Maddox, yang merupakan editor
Nature memberikan argumentasi pula bahwa masalah lingkungan yang disebabkan oleh pertumbuhan
penduduk yang dipecahkan dengan menyediakan pangan dan papan (food and shelter) yang cukup.
Pencemaran akan dapat dipecahkan dengan menghitung ongkos-ongkos yang timbul (price). Dan
merupakan masalah ekonomi saja. Karena itu masalah pencemaran adalah persoalan ekonomi artinya
berapa kemampuan kita membayarnya, baik dengan program untuk menciptakan alat pencegah
pencemaran anti polution maupun secara tidak langsung dengan membayar kerugian yang disebabkan
oleh pencemaran. Pencemaran dapat dikendalikan secara ekonomis, misalnya dengan pengaturan
hukum seperti penerapan denda, pajak pada bahan yang diproses atau limbahnya.

c. Masalah lingkungan dapat pula dilihat dari sudut filosofisnya dengan memperhatikan gejalanya
secara mendasar. Dalam hal ini manusia dapat menganalisis cara pandang manusia tentang dirinya
dengan orang lain, dengan alam, dengan lingkungan berdasarkan ekosistem yang membimbingnya pada
persoalan lingkungan yang diperdebatkan (bandingkan cara pandang Indonesia tentang masalah
lingkungan dengan persepsi manusia dengan Tuhanya, lingkungan masyarakatnya, lingkungan alamnya).
Lynn White mengatakan bahwa kesalahan manusia yang menimbulkan masalah lingkungan disebabkan
cara pandangnya terhadap alam (man’s concept of nature) yang dianggap sebagai sesuatu yang dikuasai
dan untuk dimanfaatkan.

d. Masalah lingkungan yang dianalisis dengan adanya perubahan sosial, gejala sosial, secara umum
dapat pula terkait dengan maslah kependudukan, keterbatasan sumber daya alam, dan masalah
pencemaran. Namun demikian, perubahan gaya hidup telah dianggap hal yang baru pengaruhnya
daripada perubahan sosial dalam arti yang umum dibahas.

Agar hal ini dapat terintegrasi dalam suatu proses keputusan yang berwawasan lingkungan,
beberapa hal perlu dipertimbangkan, antara lain, sebagai berikut:

a. Kuantitas dan kualitas sumber kekayaan alam yang diketahui dan diperlukan;

b. Akibat-akibat dari pengambilan sumber kekayaan alam, didarat maupun dilaut, termasuk
kekayaan hayati laut, dan habisnya deposit dan stok;
c. Alternatif cara pengambilan kekayaan hayati laut dan akibatnya terhadap keadaan sumber
kekayaan itu;

d. Ada tidaknya teknologi pengganti;

e. Kemungkinan perkembangan teknologi-teknologi pengganti termasuk biayanya masing-masing;

f. Adanya lokasi lain yang sama baiknya atau lebih baik;

g. Kadar pencemaran air dan udara, kalau ada;

h. Adanya tempat pembuangan zat sisa dan kotoran serta pengolahanya kembali (recycling)
sebagai bahan mentah; dan

i. Pengaruh proyek pada lingkungan.

Karena mengingat kenyataan bahwa dinegara yang sedang berkembang sebagian besar kegiatan
pembangunan berada dibawah penguasaan dan bimbingan pemerintah, sudah selayaknya bahwa
masalah perlindungan lingkungan ini diintegrasikan kedalam proses perencanaan pembangunan salah
satunya adalah keharusan untuk melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang
merupakan konsep pengaturan hukum yang bersifat revolusioner di bidang hukum.

5. Hukum Pidana Lingkungan

Membahas hukum pidana lingkungan tidak terlepas dari hukum pidana, maka penulis akan
terlebih dahulu membahas tentang hukum pidana.

pidana positif kita merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda, yang telah disesuaikan
dengan alam kemerdekaan. Dewasa ini pemerintah sedang berusaha menyusun Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

Menurut Prof. Sudarto, SH. Mendefinisikan hukum pidana sebagai peraturan yang
mengikat kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa
pidana. Menurut beliau pula pada dasarnya hukum pidana berpokok pada dua hal, yaitu :

a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu

Yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya
pemberian pidana. Perbuatan semacam ini dapat disebut “perbuatan yang dapat dipidana” atau “
perbuatan jahat”, ini harus ada orang yang melakukanya maka persoalan tentang “perbuatan tertentu”
itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.

1. Pidana

Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Menurut Moeljatno yang dimaksud dengan hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku dari suatu negara, yang mengadakan dasar dan aturan-aturan hukum :

1) Menentukan perbuatan-perbuatan masyarakat yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan


disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Definisi lain yang dapat dikatakan berlaku secara umum, dirumuskan oleh Prof. W.P.J. Pompe,
yang menyatakan:

“hukum pidana itu sama halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari
hukum biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat
umum yang diabstrahir dari keadaan yang bersifat konkret.”

Menurut Van Hamel dalam bukunya Inleiding Studie Ned. Strafrecht 1972, yang menyatakan:

“Hukum Pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam
menyelenggarakan ketertiban umum (rechsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan
hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut”.

Dari definisi-definisi diatas nampak bahwa hukum pidana mendasar pada adanya kekuasaan
negara itu memberlakuakan norma-norma yang ditetapkan dan berlaku pada warga negaranya. Disini
ketaatan warga negara yang ditekankan. Disamping itu bagi mereka yang melanggar dikenal sanksi yang
berupa pidana atau nestapa.

Pada hukum pidana yang diperlu ditekankan tidak hanya pemidanaan terhadap terdakwa,
namun perlu diperhatikan apakah benar-benar terdakwa tersebut yang telah melakukan tindak pidana
yang dituduhkan atau tidak. Kemudian melangkah apakah terdakwa karena perbuatan pidana yang
dituduhkan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Hal ini berkaitan dengan asas kesalahan yaitu
“tiada pidana tanpa kesalahan”. Asas ini terdapat dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Pasal 6
ayat (2), yang menyatakan :

“Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat bukti yang sah
menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang, yang dianggap bertanggung jawab
telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.”
Selain asas kesalahan, untuk adanya suatu perbuatan dinyatakan tindak pidana oleh hukum
pidana maka harus ada aturan yang mengaturnya sebelum perbuatan itu dilakukan. Ini berkaitan
dengan asas legalitas yaitu “Nullum delictum noela poena sine previa lege poenali”, yang tercantum
dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang menyatakan :

“tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan hukum pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.”

Maka hukum pidana menyatakan suatu perbuatan yang termasuk dalan kategori tindak pidana
apabila memenuhi dua asas tersebut. Selain kedua asas tersebut ada asas-asas lain yang sifatnya hanya
melengkapi, yang terpenting adalah kedua asas tersebut.

1. Fungsi Hukum Pidana Lingkungan

Hartiwiningsih menjelaskan bahwa hukum pidana mempunyai peranan, kedudukan yang utama
dalam menyelesaikan kasus-kasus lingkungan hidup. Bila dibandingkan dengan kasus saat ini jelas
tampak bahwa menanggulangi permasalahan lingkungan justru semakin merososot.

Penegakan hukum pidana lingkungan merupakan serangkaian kegiatan dalam upaya tetap
mempertahankan lingkungan hidup dalam keadaan lestari yang memberi manfaat bagi generasi masa
kini dan juga generasi masa depan. Upaya tersebut sangat kompleks dan banyak sekali kendala dalam
tataran aplikatif.

Biezeveld mengemukakan bahwa pengertian penegakan hukum lingkungan adalah sebagai berikut:

“environmental law enforcement can be defined as the application of legal govermental powers to
ensure complience with environmental regulation by means of:

a. Administrative supervision of the complience with environmental regulations (inspection)


(mainly preventive activity).

b. Administrative measures or sanction in case of non complience (corrective activity).

c. Criminal investigation in case of presumed offences (repressive).

d. Criminal measures or sanction in case of offences (repressive activity).

e. Civil action (law suit) in case of (threatening) non complience (preventation or corrective
activity).

Pengertian penegakan hukum lingkungan menurut Tim Penyusun Kebijakan Strategi dan
Rencana Aksi Pengelolaan Lingkungan Hidup Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, bahwa
penegakan hukum lingkungan hidup adalah tindakan untuk menerapkan perangkat hukum melalui
upaya pemaksaan sanksi hukum guna menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan yang termuat dalam
peraturan perundang-undangan lingkungan hidup.
Keberhasilan penegakan hukum lingkungan erat terkait dengan kemampuan dari aparat
penegak hukum lingkungan erat terkait dengan kemampuan dari aparat penegak hukum serta
kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Adapun konsep
penegakan hukum lingkungan dalam UUPPLH terdiri penegakan hukum administrasi, perdata dan
pidana. Konsep penegakan hukum pidana berupa: tindak pidana materil, tindak pidana formil, tindak
pidana korporasi, tindakan tata tertib, dan tindak pidana lingkungan hidup adalah kejahatan.

B. Asas-Asas

1. Asas Lingkungan Hidup

UUPPLH merupakan perangkat hukum bagi kebijakan publik atau pemerintah dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Jika dalam UULH 1982 dan UULH 1997 memuat pula
sasaran di samping asas dan tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup, UUPPLH hanya memuat asas
dan tujuan.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menurut UUPPLH didasarkan pada 14 asas,
yaitu:

a. Tanggung jawab negara : negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa sekarang
maupun generasi masa mendatang.

b. Kelestarian dan keberlanjutan : bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab
terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya
pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

c. Keserasian dan keseimbangan : bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan


berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan perlindungan serta pelestarian
ekosistem.

d. Keterpaduan : bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan


memadukan berbagai unsur atau menyinergi berbagai komponen terkait.

e. Manfaat : bahwa segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan
dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan harkat manusia selaras dengan lingkunganya.

f. Kehati-hatian : bahwa setiap usaha harus meminimalisir atau menghindari ancaman terhadap
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

g. Keadilan : bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.
h. Ekoregion : bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan
karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat dan kearifan
lokal.

i. Keanekaragaman hayati : harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan


keberadaan, keragaman dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam
nabati dan hewani yang bersama dengan unsur nonhayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk
ekosistem.

j. Pencemar membayar : bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatanya
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan
lingkungan.

k. Partisipatif : bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara
langsung maupun tidak langsung.

l. Kearifan lokal : bahwa setiap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.

m. Tata kelola pemerintahan yang baik : bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.

n. Otonomi daerah : bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Asas Pidana Lingkungan Hidup

Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah mempunyai isi yang bersifat umum dan
normatif. Bersifat umum maksudnya karena berlaku bagi setiap orang, dan yang dimaksud dengan
normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, atau
yang harus dilakukan serta menentukan cara bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan kepada
peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah tersebut.

Beberapa prinsip hukum yang dianut baik dalam asas perundang-undangan maupun asas-asas
berlakunya hukum pidana, berkaitan erat dengan proses penerapan dan penegakan hukum.

Asas-asas perbuatan pidana yang terdapat dalam hukum lingkungan dapatlah disebutkan
sebagai berikut: asas legalitas (the principle of legality), asas pembangunan berkelanjutan (the principle
of of susteinable development), asas pencegahan (the principle of precautionary), dan asas
pengendalian (the principle of restraint). Asas yang lain asas kesalahan, asas tanggung jawab pidana
tanpa kesalahan (strict respontibility), asas pengendalian, dan asas praduga hubungan kausal
(presumption of causation).

a. Asas Subsidaritas

Kata subsidaritas dalam Kamus Inggris Indonesia dan Hassan Shadily ditemukan kata
“subsidiary” yang mengandung makna cabang, tambahan. Demikian pula dalam Kamus Hukum
didapatkan kata subsidair yang bermakna sebagai pengganti, tambahan jika hal pokok tidak tejadi atau
dapat dilakukan, maka sebagai penggantinya.

Walaupun penjelasan umum tentang asas subsidaritas tersebut sangat ringkas dan kabur, tetapi
dapat diambil satu kesimpulan yaitu apabila hendak digunakan instrumen penegakan hukum pidana
lingkungan hidup maka harus dipenuhi minimal salah satu persyaratan berikut:

a) Sanksi hukum administrasi, sanksi hukum perdata, upaya penyelesaian sengketa secara
alternatif melalui negosiasi/mediasi/ musyawarah yang dilakukan diluar pengadilan seteah diupayakan
tidak efektif; dan/atau

b) Apabila tingkat kesalahan pelaku relatif berat; dan/atau

c) Apabila akibat perbuatanya relatif besar dan/atau

d) Apabila perbuatanya menimbulkan keresahan masyarakat.

Siti Sundari Rangkuti berpendapat bahwa jika terjadi perbuatan yang dilarang, hukum pidana
dapat didayagunakan tidak perlu memperhatikan asas subsidaritas, sebab sanksi administrasi terutama
mempunyai sanksi instrumental, yaitu pengandalian perbuatan terlarang dan sanksi administrasi
terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh penguasa terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan lingkungan administratif pada dasarnya bertujuan untuk mngakhiri
secara langsung keadaan terlarang itu.

b. Asas Precautionary

Dari asas subsidaritas ini dalam penerapanya terkandung asas Precautionary (Precautionary
Principle) . Precautionary dalam Kamus Inggris Indonesia termasuk bermakna, yang berhubungan
dengan pencegahan atau tindakan pencegahan. Dengan demikian pencegahan lebih didahulukan dan
diutamakan dari penindakan. Sedangkan apabila akan dilakukan penindakan harus dilakukan harus
dilakukan secara bertahap dari tindakan yang teringan , tindakan sedang dan terakhir dengan tindakan
berat.

Prinsip Precautionary ini dapat juga kita jumpai pada prinsip nomor 15 dalam deklarasi Rio (Rio
Declaration on Environment and Development, 1992), yang memuat 21 prinsip untuk membangun
kerjasama global yang baru dan seimbang melalui kerjasama antar negara.
Dasar pemikiran dari asas Precautionary ini tercermin dalam rancangan Pasal 6 dan 7 naskah
international Covenant on Environment and Development.

Sebagaimana dikatakan Daud Silalahi, bahwa sistem hukum lingkungan dalam arti Precautionary
ini lebih bersifat preventif daripada represif. Asas ini katanya mengandung pengertian bahwa
pencemaran/perusakan lingkungan dapat ditafsirkan sebagai meliputi suatu perbuatan yang potensial
dapat menimbulkan bahaya atau ancaman pada lingkungan.

c. Asas Ultimum Remedium

Kesulitan atau hambatan asas subsidaritas pada praktek penegakan hukum pada UUPLH telah
diperbaiki pada UUPPLH dengan menghilangkan asas subsidaritas tersebut dengan memunculkan asas
ultimum remedium pada penjelasan umum angka 6 dan Pasal 100 ayat (2).

Asas Ultimum remedium terdapat pada penjelasan umum UUPPLH angka 6 menyatakan:

“penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas Ultimum Remedium yang mewajibkan
penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum
administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas Ultimum Remedium ini hanya berlaku bagi tindak
pidana formil tertentu, yaitu pelanggaran terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan
gangguan”.

Asas ini lebih dipertegas pemaknaanya sebagaimana tercantum dalam Pasal 100 ayat (2) yaitu,
setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan baru
dapat dipidana, jika sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan
lebih dari satu kali mengapa tidak dilakukan tindakan penegakan hukum administrasi sebagai upaya
preventif, tetapi langsung diterapkan hukum pidana. Kelemahan mendasar ini dapat dipastikan pada
penegakan hukum pidana pada UUPPLH akan mengalami hambatan seperti pada UUPLH yang lalu.

Dalam UUPPLH semakin dipertegas bahwa penegakan hukum pidana lingkungan tetap
memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana
sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.
Penerapan asas utimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu
pemidanaan terhadap pelanggaran yang disebutkan diatas. Dengan demikian dalam kerangka
operasionalisasi hukum pidana dikaitkan dengan asas utimum remedium jauh lebih tegas dibandingkan
operasionalisasi asas subsidaritas pada UUPLH. Hanya UUPPLH sanagat membatasi dengan delik formil
(yang berkaitan dengan hukum administrasi) tertentu saja, padahal masih banyak delik formil yang lain
namun justru hukum pidana didayagunakan secara primum remedium.
Dengan demikian utimum remedium dikaitkan dengan penegakan hukum pidana bidang
lingkungan harus dimaknai bahwa hukum administratif yang dinyatakan tidak berhasil barulah hukum
pidana didayagunakan sebagai upaya terakhir dalam memperbaiki lingkungan.

d. Asas Subsosialitas (subsocialiteit)

Asas ini berkaitan dengan asas ultimum remedium, dalam hukum pidana modern tidaklah
berarti bahwa hukum pidana pasti atau selalu berakhir dengan pidana penjara. Karena banyak alternatif
lain yang dapat diterapkan hakim.

Asas subsocailiteit ini mengandung makna, bahwa hakim dapat tidak menjatuhkan pidana
penjara walaupun terdakwa terbukti bersalah, jika pelanggaran yang dilakukanya terlalu ringan atau
melihat keadaan pada waktu perbuatan dilakukan, atau sesudah perbuatan dilakukan. Keberadaan asas
subsocialiteit telah dicantumkan dalam RUU KUHP.

C. Hukum Pidana Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup

1. Pengertian Tindak Pidana Lingkungan

Prof DR Takdir Rahmadi menjelaskan pengertian tindak pidana lingkungan dalam kata delik
lingkungan, delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang pada subjek hukum yang jika
dilanggar diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda, dengan
tujuan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsur-unsur dalam lingkungan
hidup seperti hutan satwa, lahan, udara, dan air serta manusia. Delik lingkungan hidup tidak hanya
ketentuan-ketentuan pidana yang dirumuskan dalam UUPPLH, tetapi juga ketentuan-ketentuan pidana
yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan lain sepanjang rumusan ketentuan itu
ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan atau bagian-bagianya.

Tindak pidana pada UUPPLH dikategorikan kejahatan, sanksi bagi pelaku yang melakukan
dengan sengaja lebih berat dibandingkan dengan yang dilakukan karena kealpaan. Pelaku pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan yang dilakukan dengan sengaja maupun dengan tidak sengaja atau
kealpaan diancam secara kumulatif antara hukuman pidana penjara dan hukuman denda dengan sanksi
minimal, sedangkan dalam UUPLH belum dikenal sanksi minimum.

Rumusan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (UUPPLH) merupakan
pengembangan dana revisi terhadap rumusan ketentuan pidana dalam UULH 1997 dan UULH 1982. Jika
UULH 1982 hanya memuat rumusan ketentuan pidana yang bersifat delik materiil, maka UULH 1997
memuat rumusan delik materiil dan formil.

a. Delik Materiil
Ada perbedaan rumusan delik materil terkait dengan pencemaran lingkungan hidup
berdasarkan UULH 1997 dengan rumusan berdasarkan UUPPLH. UULH 1997 masih mengadopsi rumusan
dalam rumusan UULH 1982, yaitu tetap menggunakan kata “pencemaran lingkungan hidup” sehingga
lebih abstrak dibandingkan dengan rumusan dalam UUPPLH. UULH 1997 memuat pengertian
pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup dan kedua pengertian itu dapat dijadikan acuan untuk
menentukan apakah unsur perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 12, yakni :

...masuknya atau dimasuknya makhluk, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup
oleh kegiatan manusia, sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukanya.

Untuk menentukan, bahwa kualitas lingkungan hidup turun, sehingga tidak dapat berfungsi lagi
sesuai dengan peruntukanya, maka harus diambil contoh atau sampel pada tubuh air dalam konteks
pencemaran air permukaan dan kandungan zat-zat dari ruang udara (air basin) dalam konteks
pencemaran udara. Sampel air atau kandungan zat kemudian dibandingkan dengan baku mutu ambien
yang berlaku. Oleh sebab itu, jika suatu kegiatan atau sumber pencemar didakwa telah mencemari air
atau udara, maka jaksa penuntut harus mampu membuktikan, bahwa baku mutu air atau baku mutu
udara ambien telah menurun akibat buangan dari kegiatan terdakwa. Baku mutu air dapat dilihat dalam
lampiran PP No. 20 Tahun 1990, sedangkan baku mutu udara ambien dapat dilihat dalam lampiran PP
No. 41 Tahun 1999.

Sebaliknya dalam UUPPLH merumuskan delik materiil terkait dengan pencemaran lingkungan
hidup tidak lagi menggunakan kata atau istilah “pencemaran lingkungan hidup” tetapi secara konseptual
tidak mengubah makna dan tujuan yang diinginkan. Rumusan UUPPLH tidak lagi abstrak, tetapi lebih
konkret karena menggunakan istilah “dilampauinya baku mutu ambien atau baku mutu air”. Dengan
kata lain, pencemaran lingkungan hidup terjadi apabila baku mutu udara ambien dalam hal pencemaran
udara atau baku air laut dalam hal pencemaran laut telah dilampaui. Rumusan delik materil ini dapat
ditemukan dalam Pasal 98 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1).

Pasal 99 ayat (1) menggunakan rumusan delik materiil yang mirip dengan Pasal 98 ayat (1)
tersebut. Bedanya terletak pada unsur mental atau “mens rea” dari pelaku. Jika rumusan Pasal 98 ayat
(1) untuk perbuatan yang dilakukan secara sengaja, Pasal 99 ayat (1) perbuatan terjadi akibat kelalaian si
pelaku . Dengan demikian, UUPPLH juga membedakan delik materiil atas dasar unsur kesalahan (mens
rea, schuld) pelaku, yaitu kesengajaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 91 ayat (1) dan kelalaian
dirumuskan dalam Pasal 99 ayat (1).

Selain itu, UUPPLH juga mengenal delik materiil dengan dua kategori pemberatan. Pertama,
pemberatan terkait dengan “mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia”. Kedua,
pemberatan berupa “ mengakibatkan orang luka berat atau mati”. Jika delik materiil yang dilakukan
dengan kesengajaan mengakibatkan orang luka atau bahaya kesehatan, pelaku dikenai ancaman
hukuman lebih berat, yaitu penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan denda paling banyak Rp.
12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah) . Jika delik materiil dengan kesengajaan mengakibatkan
orang luka berat atau mati, ancaman pidanaya lebih berat lagi, yaitu minimal 5 (lima ) tahun penjara dan
maksimal 15 (lima belas) tahun penjara, denda minimal Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
denda maksimal Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) . Jika delik materiil dilakukan dengan
kealpaan yang mengakibatkan orang luka atau bahaya kesehatan, ancaman hukumanya adalah penjara
minimal 2 (dua) tahun penjara dan maksimal 6 (enam) tahun dan denda minimal Rp 2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) dan maksimal sebesar Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) . Jika delik materiil
dilakukan dengan kealpaan mengakibatkan orang mati atau luka berat, ancaman hukuman adalah
penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 9 (sembilan) tahun dan denda minimal Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan maksimal Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).

UUPPLH juga memuat delik materiil yang diberlakukan kepada pejabat pemerintah yang
berwenang dibidang pengawasan lingkungan pemberlakuan delik materiil ini dapat dipandang sebagai
sebuah kebijakan pemidanaan yang maju dalam rangka mendorong para pejabat pemerintah untuk
sungguh-sungguh melaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. Delik materiil tersebut dirumuskan dalam
Pasal 112 yang menjelaskan bahwa apabila pejabat yang berwenang dengan sengaja tidak melakukan
pengawasan terhadap penanggung jawab usaha maka akan dikenakan pidana penjara maksimal 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak 5.000.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

b. Delik Formil

Pada UULH tahun 1982 yang lalu tidak dikenal adanya delik formil, karena delik-delik dalam
UULH itu hanya dirumuskan secara materiil.

Dimasukanya pasal-pasal delik formil merupakan hal baru dalam UUPLH, hal ini dimaksudkan
membantu memudahkan penuntut umum dalam membuktikan dakwaanya. Mengingat kesulitan
penuntut umum dalam daam UULH dalam membuktikan apakah suatu usaha atau industri benar-benar
telah mencemari atau merusak lingkungan. Salah satu kesulitan penuntut umum waktu itu terkendala
dengan metode pengambilan sampel, karena dari hasil pemeriksaan laboratorium yang berbeda serta
cara pengambilan dan waktu pengambilan sampel yang berbeda, menghasilkan kesimpulan yang
berbeda pula, tidak jelas limbah siapa yang mencemari lingkungan .

Untuk menghindarkan perbedaan hasil pemeriksaan laboratorium seperti pada kasus Sidoarjo
tersebut, saat ini telah ditentukan oleh gubernur masing-masing tentang penentuan laboratorium yang
ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan adanya pencemaran atau perusakan lingkungan
hidup. Dengan demikian tidak akan terjadi lagi tarik menarik kepentingan menggunakan hasil
pemeriksaan laboratorium yang berbeda dengan hasil yang berbeda pula.

Pada UUPLH yang lalu delik formil menggunakan kata-kata ...... sangat beralasan untuk
menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan ..... Dari kata dapat tersebut maka
sesungguhnya kejahatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan belum benar-benar terjadi.
Sedangkan pada rumusan UUPPLH kata dapa dihapuskan.

Delik formil berkaitan dengan hukum administrasi, merupakan tindakan pemerintahan atau
eksekutif atau bestuurmaatregel atau the measure/action of goverment terhadap pelanggaran
perundang-undangan yang berlaku dan bersifat reparatoir (mengadakan pada keadaan semula). Seperti
tidak dipenuhinya syarat pembuangan limbah ke alam bebas oleh suatu usaha atau kegiatan, maka
terhadap usaha atau kegiatan tersebut dapat dikenakan sanksi hukum administrasi.

Sanksi administrasi diatur dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 83 UUPPLH. Sanksi tersebut
dikenakan kepada pelanggar ketentuan administrasi dimulai dengan sanksi teringan semacam
peneguran atau peringatan baik teguran lisan, tertulis, dapat pula dilanjutkan dengan paksaan
pemerintah agar memperbaiki instalasi pengolahan limbahnya agar limbah yang dihasilkan sesuai
dengan ketentuan, sekaligus dapat pula dilakukan paksaan pemerintah atau uang paksa agar dilakukan
tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab
usaha atau kegiatan, dan dapat juga diwajibkan membayar denda administrasi. Dapat diperintahkan
pula agar dilakukan pula audit lingkungan secara sukarela untuk memverifikasi ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku. Dan terakhir pencabutan izin usaha,
apabila semua itu tidak membuat pengusaha atau penanggung jawab usaha jera dan tetap melanggar
peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi yang lebih berat lagi berupa pencabutan izin
sementara atau tetap. Atau apabila dipandang lebih bijaksana dilanjutkan dengan proses pidananya
tanpa harus melakukan pencabutan izin tetap karena dapat berdampak luas terhadap hajat hidup orang
banyak.

Mengingat kejahatan yang tercantum pada delik formil merupakan kejahatan yang sangat
ringan saja, hanya pelanggaran hukum administrasi yang ditentukan, maka penggunaan sarana non
penal merupakan kebijakan yang sangat dianjurkan. Mengingat, menjaga lingkungan agar tetap pada
keadaan yang baik dan utuh, sehat dan bermakna, meka pemulihan lingkungan harus diutamakan.
Demikian pula dalam sarana penggunaan sarana penal terhadap kasus yang sangat sederhana, akan
menimbulkan kontra produksi yang kurang bermanfaat.

Pengaturan delik formil ini memudahkan pembuktian bagi penuntut umum kerena cukup diukur
dari tempat limbah dibuang oleh suatu kegiatan atau industri. Manakala limbah yang dibuang kealam
bebas tersebut berada diatas ambang batas baku mutu yang ditentukan, maka pelaku sudah dapat
dijerat dengan hukuman pidana. Demikian pelaku usaha dan/atau kegiatan yang diduga melakukan
kegiatanya tanpa izin, maka cukup ditanyakan surat izinya.

2. Tindak Pidana Lingkungan Hidup sebagai Ultimum Remedium

Perkataan ultimum remedium ini pertama kali dipergunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda
yaitu Mr. Modderman dalam menjawab pertanyaan Mr. Mackay seorang parlemen Belanda mengenai
dasar hukum perlunya suatu penjatuhan hukuman bagi seseorang yang telah melakukan suatu
pelanggaran hukum. Atas pertanyaan tersebut Modderman menyatakan:

“......bahwa yang dapat dihukum itu pertama-tama adalah pelanggaran-pelanggaran hukum. Ini
merupakan suatu conditio sine qua non (syarat yang tidak boleh tidak ada). Kedua, yang dapat dihukum
adalah pelanggaran-pelanggaran hukum, yang menurut pengalaman tidaklah dapat ditiadakan dengan
cara-cara lain. Hukuman itu hendaknya merupakan suatu upaya terakhir (ultimum remedium). Memang
terhadap setiap ancaman pidana ada keberatanya. Setiap orang yang berpikiran sehat akan mengerti hal
tersebut tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi
selalu harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian ancaman pidana benar-benar menjadi upaya
penyembuh serta harus menjaga jangan sampai membuat penyakitnya menjadi lebih parah”.

Asas ultimum remedium sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UUPPLH


mengandung makna, bahwa pada dasarnya fungsi hukum pidana lingkungan untuk menunjang
berfungsinya hukum administrasi. Hukum pidana lingkungan hendaknya baru didayagunakan apabila
hukum administrasi sudah tidak berhasil. Fungsi hukum pidana yang berfungsi ultimum remedium
tersebut baru bisa dilaksanakan apabila terpenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut, delik formil
tersebut berupa pelanggaran terhadap baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

Van de Bunt mengemukakan bahwa hukum pidana sebagai ultimum remedium memiliki tiga
makna, yaitu:

Pertama, penerapan hukum pidana hanya terhadap orang yang melanggar hukum secara etis sangat
berat.

Kedua, hukum pidana sebagai ultimum remedium karena sanksi hukum pidana lebih berat dan lebih
keras daripada sanksi bidang hukum lain, bahkan sering membawa dampak sampingan, maka
hendaknya diterapkan jika sanksi bidang hukum lain tidak mampu menyelesaikan masalah pelanggaran
hukum (obat terakhir).

Ketiga, hukum pidana sebagai ultimum remedium karena pejabat administrasilah yang lebih dahulu
mengatahui terjadinya pelanggaran. Jadi merekalah yang diprioritaskan untuk mengambil langkah-
langkah dan tindakan daripada penegak hukum pidana.

Demikian pula Zevenbergen ketika membahas tentang tujuan pemidanaan, maka dia
berkesimpulan bahwa pada hakekatnya pidana itu hanya suatu ultimum remedium suatu jalan terakhir
yang boleh dipakai jika tiada lagi jalan lain. Ditambahkan oleh NHT. Siahaan bahwa berkaitan dengan
fungsinya yang represif, hukum pidana hendaknya dibantu oleh sejumlah kebijakan pengenaan
perangkat yang berperan kepada arah perlindungan lingkungan. Dengan mengutip pendapat Jaro
Madya, fungsi hukum pidana dinilai oleh para pakar sebagai perangkat pamungkas (ultimum remedium),
karena instrumen-instrumen yang lain dapat dinilai sebagai sarana yang melindungi lingkungan..

Dikaitkan dengan asas ultimum remedium sebagaimana dalam UUPPLH, maka pada prinsipnya
status fungsi pidana dalam hukum lingkungan tidak lebih sebagai sarana lapis terakhir (alternatif),
dimana berbagai perangkat dan sarana-sarana perlindungan lingkungan yang lebih didahulukan secara
fungsional, sementara bila sarana-sarana tersebut dirasakan belum mencapai hasil efektif maka hukum
pidana kemudian difungsikan.

3. Ketentuan Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dalam UUPPLH masalah perbuatan hukum dapat dibagi menjadi delik materil dan delik formil.
Delik materil diataur dalam Pasal 98 ayat (2,3) dan 99 ayat (2,3), sedangkan delik formil diatur dalam
Pasal 98 ayat (1), 99 ayat (1), dan Pasal 100-109, pasal lainya mengatur tentang kriminalisasi terhadap
penyusun AMDAL tanpa sertifikas, pejabat pemberi izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan AMDAL,
pemberi informasi palsu, penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah, juga orang yang mencegah menghalang-halangi atau mengagalkan tugas pejabat
pengawas, selebihnya delik terhadap korporasi.

Teknik perumusan tindak pidana pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup


yang luas dan abstrak, dapat memberi ruang gerak bagi penegak hukum (hakim) untuk, melakukan
inovasi hukum dalam menafsirkan hukum pidana lingkungan hidup guna merespon perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup dan adanya semangat, kepedulian hakim untuk
menegakan hukum dan keadilan dalam melindungi lingkungan hidup. Untuk mencapai maksud tersebut,
diperlukan adanya pengetahuan hakim yang mendalam dibidang lingkungan hidup dan adanya
semangat, kepedulian hakim untuk menegakan hukum dan keadilan dalam melindungi lingkungan
hidup. Selanjutnya diharapkan juga aparat penegak hukum (termasuk Hakim) untuk memanfaatkan ahli
dalam menangani kasus yang ditanganinya.

Pengaturan tentang delik materil sebagaimana tertera pada Pasal 98 ayat (2) berupa: perbuatan
setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, yang
mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia. Sanksi pidananya penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,-
(empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,- (dua belas miliar rupiah). Sedangkan untuk
ayat (3) yang berakibat oarang luka berat atau mati, dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

Sedangkan ketentuan ketentuan delik materil lainya Pasal 99 ayat (2) adalah, setiap orang yang
karena kelalainya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air
laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, yang berakibat orang luka dan/atau bahaya
kesehatan manusia, dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,- (enam
miliar rupiah). Dan bila perbuatan tersebut berakibat orang mati atau luka berat, diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun, dan denda paling sedikit
Rp 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,- (sembilan miliar rupiah).

Delik materil mengandung makna bahwa kejahatan tersebut telah selesai dilakukan. Hanya saja
pada Pasal 98 perbuatan pidana tersebut dilakukan secara sengaja, sedangkan Pasal 99 perbuatan
pidananya dilakukan tidak secara sengaja yang biasa dirumuskan dengan kata-kata karena kealpaan atau
kelalaianya. Delik sengaja gradasinya lebih berat dibandingtkan dengan delik kealpaan, karena dengan
sengaja berarti niat jahatnya belum ada sejak awal, namun akibat perbuatanya tersebut alam tercemar
dan/atau rusak.

Pasal 116-118 mengatur korporasi atau dalam UUPPLH disebut badan usaha, kalau dalam
UUPLH tidak saja mengenal badan hukum atau korporasi seperti perseroan dan yayasan, namun selain
badan hukum tersebut mengenalkan pula bentuk lain seperti perserikatan atau organisasi lain yang
dapat diberikan sanksi disamakan dengan badan hukum.

Sanksi pidana yang diberikan pada kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh badan hukum ini
diberikan sanksi kepada pemberi perintah atau pemimpin diperberat ditambah dengan sepertiganya.
Hal ini dimaksudkan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dampaknya dirasakan lebih berat
dan lebih parah dibandingkan dengan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh perorangan.

Pasal 116 ayat (1) ini memperjelas siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan
kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh badan usaha atau korporasi, maka pertanggungjawabanya
dapat dituntut pada badan usaha itu sendiri serta dapat digabungkan pula dengan pemberi perintah
atau pemimpin badan usaha tersebut.

Sedangkan Pasal 116 ayat (2) menegaskan bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan atas
kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatihkan kepada
pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memeperhatikan tindak pidana
tersebut dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Bagaimana merumuskan suatu perundang-undangan yang baik, maka MG Maura menyarankan


bahwa untuk dapat merumuskan suatu hukum pidana lingkungan yang ideal harus berisikan 3 (tiga)
kategori:

Kategori pertama : perumusan adanya ancaman bahaya konkrit

Kategori kedua : adanya perumusan yang memuat ancaman bahaya abstrak

Kategori ketiga : perumusan kejahatan mandiri untuk polusi dengan akibat yang sangat serius.

Tindak pidana kesengajaan yang merupakan ancaman bahaya konkrit menurut MG Faura dapat
dirumuskan sebagai berikut:
“Any person who intentionally introduces or discharges, either directly or indirectly in contravention of
the law substances, micro organism, noice and other vibrations or into the water, soil or atmosphere,
shall be punished...”.

Tindak/perbuatan pidana yang dilakukan dengan kesengajaan dalam UUPPLH diatur dalam Pasal
98 ayat (2, 3), sedangkan tindak/atau perbuatan pidana yang dilakukan secara tidak sengaja diatur
dalam Pasal 99 ayat (2, 3), delik-delik ini merupakan delik materil. Sedangkan delik materil tentang
lingkungan dalam RUU KUHP konsep tahun 2006 diatur pada Bagian ke-6, Bab VIII pada Pasal
384,385,387,388,389.
BAB III

PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA

A. Sejarah Perkembangan Hukum Lingkungan Indonesia

Perkembangan hukum lingkungan di Indonesia terbagi atas tiga kelompok diantaranya :

1. Zaman Hindia Belanda

Pada zaman ini hanya terdapat ordonansi mengenai beberapa peraturan yang terkait dengan
lingkungan hidup diantaranya adalah :

a. Ordonansi tentang perikanan mutiara dan perikanan bunga karang, yaitu Parelvisscherij,
Sponsenvisscherij Ordonantie Stb. 1916 No. 157, dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Idenburg
pada tanggal 29 Januari 1916.

b. Natuurmonumenten Ordonantie (Ordonansi Cagar Alam) S. 1916 No. 278 yang bertujuan
melindungi flora dan fauna. Ordonansi ini kemudian diganti dengan Natuurminumenten en Wld-
reservatenordonantie (Ordonansi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) S. 1932 No. 17). Kemudian
dicabut dengan ordonansi yang mengatur tentang perlindungan alam, yaitu
Natuurbeschermingsordinantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi yang
mengatur cagar alam dan suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en Wildreservaten ordonantie
1932 (Stbl. 1932 No. 17). Terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus 1990.

c. Pada tanggal 26 Mei 1920 dengan penetapan Gubernur Jenderal No. 86 telah diterbitkan
Visscherrijordonantie (Stb. 1920 No. 396), yaitu peraturan perikanan untuk melindungi keadaan ikan
termasuk telur ikan, benih ikan dan segala macam kerang-kerangan. Ordonansi lain tentang ikan adalah
Kustvisscherijordonantie (Stb. 1927 No. 144) berlaku sejak 1 September 1927. Ordonansi perikanan
telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang diundangkan pada
tanggal 19 Juni 1985.

d. Reeden Reglement (Peraturan Bandar) S. 1925. Yang melarang membuang barang-barang di


bandar sepanjang pantai dan alur pelayaran lainya (Pasal16).

e. Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah ordonansi gangguan (Hinder
Ordonantie), tanggal 13 Juni 1926 Stb. Tahun 1926 No. 226, mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1926
dirubah terakhir dengan Stb. Tahun 1940 No. 450.
f. Monumentenordonantie S. 1931. No. 238 dalam Pasal12 jo 6 ayat (2), melarang merusak atau
mengubah bentuk atau tujuan semula dari monumen tanpa izin.

g. Ordonansi tentang perlindungan satwa adalah Dierenbeschermingsordonantie (Stbl. 1931 No.


134) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia).

h. Ordonansi tentang perburuan, yaitu Jachtordonantie 1931 (Stbl. 1931 No. 133) dan
Jachtordonantie Java en Madoera 1940 (Stbl. 1940 No. 733) yang berlaku untuk Jawa dan Madura sejak
tanggal 1 Juli 1940.

i. Dalam bidang perusahaan telah pula dikeluarkan Bedrifsreglementteringsordonantie 1934 (Stbl.


1938 no. 86 Jo Stbl. 1948 No. 224)

j. Wegverskeersvordening (Peraturan Lalu Lintas Jalan) S. 1936 jo PP No. 2 Tahun 1964, dalam
Pasal 11 sub 4a, dilarang mengeluarkan suara keras, menyebarkan uap atau bahan-bahan lain. Dalam
Pasal 24 ayat (1c) kendaraan harus dengan alat peredam suara. Ketetentuan tentang lalu lintas telah
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya.

k. Dalam hubunganya dengan pembentukan kota, telah dikeluarkan Stadvormingsordonantie (Stbl.


1948 No. 168) disingkat SVO yang mulai berlaku pada 23 Juli 1948. Pada tahun tersebut sebenarnya
Indonesia telah merdeka, namun SVO ditetapkan diwilayah yang secara de facto masih diduduki
Belanda.

Terdapat pula beberapa pasal dalam KUHP yang sampai sekarang masih berlaku mengandung
aspek lingkungan :

a. Pasal 187, yaitu sengaja membakar, menjadikan letusan atau mengakibatkan kebanjiran.

b. Pasal 187 bis, yaitu membuat, menerima, berusaha untuk mendapatkan, mempunyai,
meyembunyikan, membawa atau memasukan ke Indonesia bahan-bahan atau benda-benda yang
diketahuinya atau patut disangkanya dapat digunakan sebagai bahan letusan yang dapat mendatangkan
maut atau bahaya umum bagi barang.

c. Pasal 188, yaitu menyebabkan kebakaran, peletusan atau banjir.

d. Pasal 191, yaitu menghancurkan dan sebagainya bangunan yang diperuntukan menahan atau
menyalurkan air.

e. Pasal 202, yaitu sengaja meracun mata air untuk kepentingan umum.

f. Pasal 203, yaitu karena kelapaanya mengakibatkan mata air untuk kepentingan umum teracuni.

g. Pasal 497, yaitu menyalakan api dijalan umum yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran.

h. Pasal 500, yaitu membuat obat ledak tanpa izin.


i. Pasal 501, yaitu menjual dan sebagainya barang makanan/minuman yang dipalsukan atau busuk
atau dari ternak sakit.

j. Pasal 502, yaitu berburu tanpa izin.

k. Pasal 503, yaitu berbuat onar pada malam hari atau dekat tempat ibadah atau pengadilan.

l. Pasal 548-549, yaitu membiarkan unggas, ternak berkeliaran.

2. Zaman Jepang

Pada zaman Jepang terdapat peraturan tentang larangan menebang kayu aghata, alba dan
balsem tanpa izin, yaitu Osamu S. Kanrei Nomor 6. Larangan tersebut berkaitan dengan kepentingan
Jepang terhadap ketiga jenis kayu tersebut sebagai bahan pembuatan pesawat peluncur (gliders).

3. Zaman Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, sebelum berlangsungnya Konferensi Stockholm


tahun 1972 yang dianggap sebagai tonggak perhatian dunia terhadap masalah lingkungan tersebut,
Indonesia telah memiliki beberapa perundangan yang bernuansa lingkungan. Demikian pula selanjutnya
secara bertahap ditetapkan beberapa Undang-Undang bernuansa lingkungan baik sebelum tahun 1972
maupun setelahnya, seperti :

a. UU No.5 Tahun 1960, tentang Undang-Undang Pokok Agraria.

b. UU No. 9 Tahun 1960, tetang Pokok Kesehatan.

c. UU No. 11 Tahun 1962, tentang Hygiene.

d. UU No. 5 Tahun 1967, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

e. UU No. 11 Tahun 1967, tentang Pertambangan.

f. UU No. 3 Tahun 1972, tentang Transimgrasi.

g. UU No. 4 Tahun 1982 (telah diganti dengan UU No. 23 Tahun 1997), tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan telah diterbitkan UU organik.

h. UU No. 5 Tahun 1983, tentang Zona Eksklusif, berkaitan dengan Pasal 2 dan 4 UULH.

Sejarah perkembangan peraturan masalah lingkungan Indonesia berkembang seiring dengan


perkembangan masalah lingkungan di tingkat global tersebut. Sebagai sebuah negara anggota PBB,
Indonesia telah turut ambil bagian aktif dalam konferensi dan segala dan segala kegiatan yang
bernuansa lingkungan. Seperti dalam konferensi Stockholm 1972, Indonesia bahkan turut
menyumbangkan pokok pemikiran tentang lingkungan berupa Indonesia’s Country Report sebagai
dokumen resmi yang pada awalnya disampaikan pada forum ECAFE Seminar on Development and
Environment di Bangkok pada tanggal 17-23 Agustus 1971. Laporan tersebut direvisi untuk kemudian
disajikan oleh delegasi Indonesia pada Konferensi Stockholm tersebut dengan judul Nation Report of
Indonesia Environment Problems in Indonesia. Selanjutnya untuk ketiga kalinya laporan tersebut
disajikan pada The IX International Forum on Industrialisation and Environment, yang dilangsungkan di
Tokyo pada 25 November - 1 Desember 1973.

Selain itu, dalam negeri sendiri Indonesia telah aktif berupaya mewujudkan satu undang-undang
lingkungan menyesuaikan dengan suasana global. Bukti bahwa didalam negeri sendiri Indonesia sangat
peduli dengan masalah lingkungan adalah telah diadakan seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup
Manusia dan Pembangunan Nasional di Bandung yang diprakarsai oleh Lembaga Ekologi UNPAD pada
tanggal 15-18 Mei 1972. Mochtar Kusumaatmadja telah menulis makalah berjudul Pengaturan Hukum
Masalah Lingkungan Hidup Manusia: Beberapa Pikiran dan Saran. Mengingat bahwa sajian tentang
pembinaan hukum lingkungan baru pertama kalinya dibahas di Indonesia, maka menurut Munadjat
Danusaputro bahwa kita tidak ragu untuk menyatakan di Indonesia yang pertama kali sebagai peletak
batu pertama untuk memperhatikan dan menangani hukum lingkungan adalah Prof. Mochtar
Kusumaatmadja.

Pengaruh Konferensi Stockholm pada tahun 1972 serta seminar yang telah dilaksanakan
tersebut bagi Indonesia adalah, kegiatan pengelolaan lingkungan mulai ditangani secara langsung oleh
pemerintah. Hal ini terlihat dari langkah-langkah tindak lanjut yang dilakukan pemerintah Indonesia
merupakan langkah yang tepat dan konkret yaitu dengan membentuk Komite Nasional Lingungan Hidup
berdasarkan Keppres No. 16 Tahun 1972. Komite ini bertugas merumuskan konsep pembangunan yang
berkelanjutan untuk dituangkan dalam GBHN periode 1973-1976 . Selain itu telah pula diterbitkan
Keputusan Presiden Nomor 60 tahun 1972 tanggal 17 Oktober 1972 tentang Pembentukan Panitia
Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang pengembangan Lingkungan Hidup. Panitia
tersebut diketuai oleh oleh Menteri Negara Urusan Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur
Negara/Deputi Ketua BAPPENAS Bidang Perencanaan Material dan Prasarana Dr. JB Sumarlin. Tugas
utama Panitia antar Departemen ini adalah menyusun, membuat investarisasi dan rencana kerja bagi
Pemerintah dibidang pengembangan lingkungan hidup.

Selanjutnya hasil kerja Panitia tersebut dijabarkan lebih lanjut dama TAP MPR No. IV/MPR/1973
tentang GBHN, pada BAB III, bagian b butir 10 dari pembukaan berbunyi sebagai berikut:

“Dalam melaksanakan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia harus digunakan secara rasionil.
Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup
manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yag menyeluruh dan dengan memperhitungkan
kenutuhan generasi yang akan datang”.

Dengan demikian gagasan pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada dasarnya telah


dirumuskan sejak tahun 1973 tersebut.
Penjabaran lebih lanjut mengenai arah pembangunan lingkungan, secara singkat adalah sebagai
berikut :

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita) II, pada Bab 4 tentang pengelongaan sumber sumber alam dan lingkungan hidup
selain itu pokok pokok sumber sumber alam dan lingkungan hidup. Selain itu pokok-pokok kebijakan
pengelolaan sumber-sumber alam dan lingkungan hidup, ditetapkan pula langkah-langkah pengelolaan
dalam proses pelaksanaan pembangunan.

2. 17 Februari 1975 Kepala Negara telah mengeluarkan Intruksi kepada Menteri Kehakiman untuk
menangani tata peraturan “Perlindungan Lingkungan Laut Nusantara”, kemudian pada 31 Maret 1975
Menteri Kehakiman membentuk “Tim Teknis Penyusunan RUU Pencegahan dan Penanggulangan
Pencemaran Laut, khusunya di Selat Malaka dan Selat Singapura”. Hal ini merupakan awal permulaan
Indonesia membebani hukum lingkungan secara konsepsional.

3. Kepala Negara pada 17 Februari 1975 mengintruksikan Menteri Kehakiman agar menangani tata
pengaturan Perlindungan Lingkungan Laut Nusantara secara fundamental. Atas intruksi Presiden
tersebut dibentuklah satuan-satuan tugas (task porce) di tingkat pusat secara interdepartemental
karena terjadinya kecelakaan kapal tanker showa maru yang kandas kurang lebih 3 mil dari pelabuhan
Singapura pada 6 Januari 1975. Karena Indonesia belum memiliki Undang-Undang Pencegahan dan
Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Laut dan belum meratifikasi konvensi-konvensi internasional,
maka Indonesia sangat mengalami kesulitan dalam upaya penyelesaian hukum dan tuntutan ganti rugi
akibat pencemaran lingkungan laut oleh tanker Showa Maru tersebut.

4. Tanggal 31 Maret 1975 Menteri Kehakiman membentuk tim teknis penyusunan RUU
Pencegahan dan Penaggulangan Pencemaran Laut, khususnya di selat Malaka dan selat singapura. Hal
ini merupakan langkah awal Indonesia membentuk hukum lingkungan secara konsepsional.

5. Sebagai tindak lanjut usaha Pemerintah menangani masalah lingkungan ini, pada tanggal 25 Juni
1975 telah dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1975 tentang
pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam (disebut Panitia Kekayaan alam) yang
merupakan wadah bagi penyelenggara koordinasi, sinkronisasi dan integrasi untuk mempersiapkan
kebijaksanaan umum Pemerintah di bidang Inventarisasi, evaluasi, pengelolaan, pengembangan dan
pengamanan kekkayaan alam. Panitia Kekayaan alam diketuai oleh Menteri Negara Riset.

6. Pada tanggal 25-27 Maret 1976 dilakukan seminar segi-segi hukum dan pengelolaan lingkungan
hidup yang diselenggarakan bersama oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
Republik Indonesia dengan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, di Lembang. Pemikiran
dalam seminar tersebut sangat berpengaruh terhadap pembangunan hukum lingkungan nasional.

7. pada 5-6 Juni 1978 dalam rangka memperingati hari lingkungan sedunia telah dilaksanakan pula
seminar nasional pengembangan lingkungan hidup. Yang kemudian dilanjutkan dengan survey dan
inventarisasi segala produk hukum bidang lingkungan hidup.
8. Arah pembangunan lingkungan hidup disempurnakan lagi dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV
Tahun 1978 tentang GBHN yang khusus memuat butir 13 sumber daya alam dan ekonomi. Penjabaran
lebih rinci dituangkan dalam Keputusan Presiden Ri Nomor 7 Tahun 1979 tentang REPELITA III. Keppres
No. 7 Tahun 1979 tersebut mengatur langkah-langkah pengelolaan sumber-sumber alam dan lingkungan
hidup dalam proses pelaksanaan pembangunan yang lebih luas daripada dalam Keppres Nomor 11
Tahun 1974 tentang REPELITA II.

9. Sejak pembentukan Kabinet Pembangunan III berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 59/M
Tahun 1978 telah diangkat Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH)
yang tugasnya diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1978 tentang Kedudukan, Tugas
Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi serta susunan Organisasi
stafnya dan mulailah lingkungan yang semula hanya terkait dengan masalah ilmiah dan perncanaan
semata, bergeser masuk kedalam bidang kebijakan (policies). Keputusan Presiden ini kemudian dirubah
dengan Keputusan Presiden RI Nomor 35 Tahun 1978, terutama berisi penyempurnaan terhadap
ketentuan angka 2 Pasal 2 Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1978, khusus menangani fungsi
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Dalam rangka melaksanakan tugas-
tugas yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 1978 tersebut, telah dikeluarkan
Keputusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Peran Menteri Negara
PPLH beserta stafnya dalam memajukan kesadaran lingkungan dan memupuk peran serta masyarakat
sangat menonjol selama Pelita III.

10. Sampai tahun 1978 ini Indonesia belum memiliki undang-undnag tentang pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup yang sesuai dengan arah kebijakan yang ditetapkan oleh Ketetapan
MPR RI Nomor IV/MPR/1978 tantang GBHN, maka ditetapkanlah Keputusan Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-006/MNPPLH/3/1979 tentang
Pembentukan Kelompok Kerja Dalam Bidang Pembinaan Hukum dan Aparatur Dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (disingkat “kelompok kerja”) yang diketuai oleh St. Munadjat
Danusaputro, SH. Kelompok kerja ini bertugas menyusun rancangan peraturan perundang-undangan
yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang tata pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup. Setelah pembentukan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional, pekerjaan
koordinasi perumusan kebijakan secara otomatis beralih kepada Kantor Menteri Negara PPLH. Pada saat
itu persiapan UU Lingkungan Hidup (yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982) dan
Peraturan Pemerintah mengenai AMDAL (yang kemudian menjadi PP. No. 29 Tahun 1986) dalam proses
pelaksanaan pembentukanya menjadi lebih terfokus dan lancar.

11. Sebelum diundangkan menjadi UU, telah diterbitkan surat Keputusan Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup RI Nomor KEP-027/MNPPLH/11/1981 tentang
Pembentukan Kelompok Ketja Pembinaan Hukum dan Aparatur Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang bertugas menyusun kebijakan lingkungan hidup dari segi pembinaan hukum dan aparatur,
melakukan konsultasi dan koordinasi antar sesama unsur pemerintah dan antara unsur pemerintah
dengan kalangan swasta yang berkepentingan dengan pembinaan hukum dan aparatur dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian tugasnya diperbaharui dengan Keputusan Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup RI Nomor KEP-21/MNPPLH/11/1982 tentang
Pembentukan Kelompok Kerja Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup, yang diketuai oleh Munadjat Danusaputro Kelompok kerja tersebut telah
beberapa kali menyampaikan sumbangan pikiran yang berharga bagi konsep peraturan perundang-
undangan untuk menunjang pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH), antara lain
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Masa kerja
kelompok kerja Hukum PPLH ini berakhir tanggal 31 Desember 1982.

Selanjutnya pada tahun 1983 telah dikeluarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN,
dimana isinya tidak jauh berbeda dengan TAP MPR Tahun 1978. Perbedaan Keppres tersebut dengan
Keppres Nomor 9 Tahun 1979 tentang REPELITA III adalah mengenai kebijakan dan langkah-langkah
pengelolaan lingkungan hidup.

B. Kebijakan Pembangunan Berwawasan Lingkungan

Konferensi yang dilaksanakan pada tahun 1968 tersebut merupakan awal dari adanya perhatian
masyarakat internasional terhadap kerusakan lingkungan secara gobal, yang kemudian diikuti oleh
Konferensi lainya.

1. Internasional

a. Kegiatan Sebelum Konferensi Stockholm

Kegiatan ini diawali dengan pertemuan yang dinamakan The Club of Rome yang bermula dari
pertemuan 30 orang terkemuka dari 10 negara yang berkumpul di Roma pada bulan April 1968, atas
inisiatif Dr. Aurelio Pecei seorang pengusaha terpandang di Itali, untuk membahas topik yang menonjol,
yaitu “the present and future predicament of man” yang cukup berperan dalam bidang lingkungan,
Meadows dan Meadows mengemukakan hasil:

a) If the presents growth trends in world population, industrializations, pollution food production,
and resource depletion continue unchanged, the limits to growth on this planet will be reached
sometime within the next one hundred years. The most probable result will be a rather sudden and
uncontrollable decline in both population and industrial capacity.

b) It is possible to alter these growth trends and to estabilish a condition of ecological and
economic stability that is sustainable far into the future. The state of global equalibrium could be
designed so that the basic material needs of each person on earth are satisfied and each person has an
equal opportunity to realize his individual human potential.

c) If the world’s people decide to strive for this second outcome rather than the first, the sooner
they begin working to attain it, the greter will be their chances of success.

Kemudian pada tahun 1974 telah dilaporkan pula laporan kedua kepada The Club of Rome
dengan judul “Mankind at the turning point” yang disusun oleh Measoronic dan Pestel. Laporan
tersebut membahas masalah kesenjangan manusia yang semakin melebar, yaitu the gap between man
and nature dan The gap between “North and South” rich and poor. Dan untuk menutup kesenjangan
tersebut diajukan alternatif pemecahanya, yaitu :

1. An essential prerequisite in understanding the nature of the gap between regions.

2. Since the change is to be brought about by men there must exist a framework conducive to
developmentin the desired direction.

3. Global anticipatory and adjustment procedures and mechanismsmust be developed to deal with
a stream of crises, which might well come in increasingly short succession, as the results of our study
indicate. Crises now must be prevented rather than reacted to.

b. Konferensi PBB Tentang Lingkungan Hidup Manusia

1) Konferensi Stockholm

Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang lazim disingkat dengan UNCHE 1972
(United Nation Conference on Human Environment) diselenggarakan di Stockholm Swedia pada tanggal
5-16 Juni 1972, diikuti oleh 113 negara, 21 organisasi PBB, 16 organisasi antar pemerintah, 258 LSM
(NGOs) dari berbagai negara.

Pada akhir sidang yaitu pada tanggal 16 Juni 1972 Konferensi mengesahkan hasil-hasil berupa
Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia terdiri dari:

a) Deklarasi tentang lingkungan hidup manusia, terdiri atas Preambule dan 26 asas atau prinsip
yang lazim disebut dengan Stockholm declaration.

b) Selain itu juga dihasilkan action plan (Rencana Aksi Lingkungan) lingkungan hidup manusia
terdiri dari 109 rekomendasi termasuk didalamnya 18 rekomendasi tentang perencanaan dan
pengelolaan pemukiman manusia.

c) Action Plan internasional yang terdiri atas 3 (tiga) bagian kerangka:

1. A global asessment programme, dikenal sebagai earthwatch.

2. Environmental management activities.

3. Supporting measures, education and training, public information and organization and financing
arrangements.

4. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang, pelaksanaan rencana aksi,
terdiri dari Dewan Pengurus, Sekertariat, dana lingkungan hidup, bahkan koordinasi lingkungan hidup.

Dari konferensi tersebut kemudian munculah satu konsep pembangunan berwawasan


lingkungan (ecodevelopment) dan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
kedua konsep pembangunan tersebut menekankan pada pentingnya keberlangsungan kelestarian
antara manusia, sumber daya dan lingkungan dalam pembangunan.

2) Kegiatan UNEP di Nairobi

Puncak kegiatan UNEP dilaksanakan pada sidang Governing Council pada tanggala 20 Mei – 2
Juni 1982 di Nairobi yang telah menerima Deklarasi Nairobi yang terdiri dari 10 butir pokok pikiran
sebagai tindak lanjut dari pertemuan-pertemuan sedunia untuk memperingati 10 tahun Konferensi
Stockholm, tanggal 10- 18 Mei 1082 di Nairobi. Dalam memasuki The Second Environmental Decade
(1982-1992, Deklarasi Nairobi mengemukakan tentang perlunya intensifikasi upaya melindungi dan
memajukan lingkungan hidup pada tahap global, regional dan nasional.

Dengan demikian cukup besar peranan UNEP dalam rangka mendorong dan memajukan upaya
untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan hidup di dunia, termasuk pula melalui
sarana hukum.

Selanjutnya pada tanggal 18-22 Maret 1985 diselenggarakan suatu pertemuan khusus di Wina
yang menghasilkan sebuah konvensi tentang perlindungan ozon (Vienna Convention for the Protection
of Ozone Layer, 1985) kemudian pertemuan ini dilanjutkan dengan pertemuan Montreal pada tanggal
14-16 September 1987 yang menghasilkan ketentuan tambahan untuk konvensi Wina 1985, yaitu
Montreal Protocol on substances that Deplate the Ozone Layer, 1987.

3) Komisi WCED (The World Commission on Environment and Development)

Menindaklanjuti hasil-hasil yang telah diputuskan dalam Konvensi Stockholm 1972, pada tahun
1983 oleh PBB dibentuklah suatu komisi yang diberi nama The World Comission on Environment and
Development (WCED) yang dikenal dengan komisi Burtland, dalam rangka memenuhi keputusan Sidang
Umum PBB Desember 1983 No. 38/161. WCED suatu komisi yang independen dengan tugas melakukan
investigai dan memberikan berbagai rekomendasi terhadap masalah-masalah lingkungan global. Pada
tahun 1987 WCED yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Bruntland (Norwegia) dengan anggota mencakup
pemuka-pemuka dari Zimbabwe, Jerman Barat, Hongaria, Jepang, Guyana, Amerika serikat, RRC, India,
Kanada, Kolumbia, Saudi Arabia, Italia, Mexico, Brazilia, Aljazair, Nigeria, Yugoslavia, dan Indonesia (Prof.
Emil Salim). Sekertaris jenderal WCED berkedudukan di Geneva. WCED mengeluarkan suatu laporan
yang diberi nama Our Common Future yang merupakan hasil investasi terhadap aktifitas dan program
lingkungan terpadu berkenaan dengan masalah-masalah pembangunan ekonomi pada tingkat
internasional, regional dan lokal. Dan memberikan banyak rekomendasi khusus untuk perubahan
institusional dan perubahan hukum.

4) Konferensi Rio
Konferensi ini diusulkan oleh WCED untuk membicarakan masalah-masalah lingkungan global
dalam kaitanya dengan upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable Development). Rekomendsi dan
usulan ini diterima oleh sidang Majelis Umum PBB dengan resolusi nomor 44/228. Implementasi dari
resolusi ini adalah diselenggarakanya United National Conference on Environment and Development
(UNICED) The Framework Convention on Climate Change di Rio de Janeiro, Brasil, yang berlangsung
pada tanggal 3-14 Juni 1992 yang merupakan peringatan 20 tahun Konferensi Stockholm 1972,
konferensi ini menghasilkan Rio Declaration. Konferensi ini diadakan dalam rangka pelaksanaan resolusi
Sidang Umum PBB No. 45/211 tanggal 21 Desember 1990 dan keputusan No. 46/468 tanggal 13 April
1992.

Dokumentasi penting yang dihasilkan UNICED, antara lain :

1. Rio Declaration on Environmental and Development yang menggariskan pinsip fundamental


tentang lingkungan dan pembangunan.

2. Agenda 21 (Agenda tentang Rencana Aksi untuk melaksanakan prinsip-prinsip Rio).

3. The Convention on Biological Diversity.

4. The Framework Convention on Climate Change.

5. The Statement of Principle for a Global Consensus on the Management,Conservation and


Sustainabe Dvelopment of all Types for Forest (the Statement of Forest Principles).

Selanjutnya dari 5 (lima) dokumen tersebut, maka dalam kaitanya dengan pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan UNICED telah menghasilkan 5 (prinsip) utama atau pokok
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, yaitu :

1. Keadilan antar generasi (intergenerational equity).

2. Keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity).

3. Prinsip pencegahan diri ( precautionary principle).

4. Perlindungan keanekaragaman hayati (conservation of biological diversity).

5. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif (Internalization of environment cost and
incentif mechanism).

Akhirnya untuk menjamin pelaksanaan dokumen KTT Bumi, khususnya Deklaraasi Rio dan
Agenda 21, PBB menetapkan 3 (tiga) resolusi penting sebagai upaya menjamin pelaksanaan Deklarasi rio
maupun agenda 21 :

1. Resolution 47/190 Endorsing Agenda 21.


Menyatakan dukungan terhadap seluruh dokumen yang dihasilkan di KTT Bumi, dan mendesak kepada
negara-negara dan kelembagaan dibawah sistem PBB serta lembaga-lembaga non pemerintah untuk
melakukan langkah-langkah nyata menindaklanjuti seefektif mungkin dokumen KTT Bumi, khususnya
Deklarasi Rio dan Agenda 21.

2. Resolution 27/191 Follow-up Agenda 21.

Resolusi ini meminta Ecosoc (Economic and Social Council) membentuk high level Comission on
sustainable development (CSD) yang berfungsi sebagai focal point untuk menindaklanjuti hasil KTT Bumi
melalui upaya peningkatan kerjasama Internasional, dan aspek lainya untuk merealisasikan
pembangunan berkelanjutan disemua negara di dunia.

3. Resolution 47/194 UNDP’s Capacity 21.

Meminta Governing Council UNDP dan CSD melaksanakan program-program nyata untuk melaksanakan
rekomendasi Agenda 21 tentang pengembangan kapasitas (capacity buiding) terutama dinegara-negara
sedang berkembang.

Prinsip-prinsip permbangunan berkelanjutan atau kemudian dikenal dengan prinsip-prinsip Rio


antara lain disebutkan: keadilan antar generasi, keadilan dalam satu (sesama) generasi, partisipasi
rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan akses rakyat terhadap informasi, internalisasi biaya
lingkungan dan pengembangan instrumen ekonomi, kerjasama internasional dalam pengembangan
kapasitas, serta dalam pencegahan relokasi industri kotor, prinsip pencegahan dini, peran penting
perempuan dan pemuda dalam pengelolaan lingkungan, pengakuan hak masyarakat asli,
pengembangan pengetahuan dan praktek masyarakat tradisional dalam pengelolaan lengkungan,
keterkaitan erat antar perdamaian, pembangunan dan perlindungan lingkungan.

c. Konferensi Johannesburg

KTT Johannesburg ini menghasilkan dokumen Rencana Pelaksanaan (Plan of implementation)


sebanyak 153 paragraf, yang secara komprehensif menyangkut semua segi kehidupan. Ada 3 (tiga) hal
pokok yang diagendakan WSSD, yaitu :

1) Pemberantasan kemiskinan.

2) Perubahan pola konsumsi dan produksi.

3) Pengelolaan sumber daya alam.

Ketiga hal tersebut menjadi dasar dari sepuluh action plan yang harus dilaksanakan oleh setiap
negara.
Upaya pemberantasan kemiskinan dilakukan dengan meningkatkan pendapatan,
pemberantasan kelaparan, penyediaan air bersih, pembukaan akses terhadap sumber daya produktif,
kredit dan kesempatan kerja yang melibatkan perempuan dan masyarakat tradisional, perluasan akses
energi, serta perbaikan kesehatan.

Setelah itu berkembang berbagai perjanjian internasional tentang kerjasama lingkungan hidup,
seperti Protokol Kyoto, Protokol Cartagena, dan lain-lainya.

2. Nasional

a. Kementrian Lingkungan Hidup

Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1978 tanggal 2 September 1978 telah menetapkan
Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja dari tiga Menteri Negara, yaitu Menteri Negara
Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup,
Menteri Negara Riset dan Teknologi. Pasal 1 ayat 3 menyebutkan tugas pokok Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (MENPPLH), yaitu mengendalikan pengawasan
pelaksanaan pembangunan dan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan lingkungan
hidup.

Dalam Kabinet Pembangunan IV, MENPPLH telah diubah menjadi Menteri Kependudukan dan
Lingkungan Hidup (MENKLH). Dalam keputusan presiden No. 25 Tahun 1983 telah ditetapkan
Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara serta Susunan Organisasi Staf Menteri
Negara. Pasal 1 ayat (4) Keputusan Presiden menyebutkan bahwa Menteri Negara adalah Pembantu
Presiden dengan tugas pokok menangani hal-hal yang berhubungan dengan kependudukan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kabinet pembangunan VI, perangkat kelembagaan setingkat
menteri diubah dari Men KLH menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (seterusnya disingkat dengan
sebutan Men LH). Penamaan Men LH ini tetap dipertahankan dalam Kabinet Presiden Abdurrahman
Wahid.

Selain Kementrian Lingkungan Hidup, di tingkat nasional juga pernah ada lembaga lainya yaitu:
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) namun pada masa Presiden Megawati, BAPEDAL
diadakan sedangkan fungsi BAPEDAL diintegrasikan ke dalam Kementrian Lingkungan Hidup berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 101
tentang kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara.
Meskipun saat ini BAPEDAL telah tiada, BAPEDAL di bentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 23
Tahun 1990.

b. Kelembagaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota

Ketentuan tentang kewenangan dan kelembagaan di daerah dapat diketahui dari rumusan Pasal
12 ayat (1) UULH 1997. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) a mengandung asas dekosentrasi, sedangkan Pasal
12 ayat (1) b mengandung asas pembantuan. Pasal 13 ayat (1) UULH 1997 berbunyi sebagai berikut:”
dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah dapat meyerahkan sebagian
urusan kepada pemerintah daerah menjadi urusan rumah tangganya.” Ketentuan ini mengandung asas
desentralisasi urusan pengelolaan lingkungan hidup.

Perkembangan penting tentang kelembagaan di daerah terjadi dengan keluarnya Keppres No.
77 Tahun 1994, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota dapat membentuk BAPEDAL Daerah (disingkat
BAPEDALDA). BAPEDALDA merupakan perangkat kelembagaan pemerintah daerah dan tidak berada di
bawah BAPEDAL. Sebelum pembentukan BAPEDALDA Provinsi, maka kelembagaan yang ada hanyalah
Biro Bina Lingkungan Hidup.

1) Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Karawang (BPLHD)

1. Tugas Pokok dan Fungsi

a. Kedudukan

Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah di
Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang berkududukan
dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati melalui Sekertaris Daerah.

b. Tugas Pokok dan fungsi

Tugas BPLH Kabupaten Karawang diatur dalam Peraturan Bupati Karawang Nomor 89 tahun
2008, tentang Uraian Tugas BPLH Kabupaten Karawang. Dalam melakukan tugas pokoknya BPLH
mempunyai fungsi sebagai berikut :

1) Pengaturan dan perumusan kebijakan pemerintah daerah dibidang pengelolaan lingkungan


hidup;

2) Pelaksanaan program pemerintah bidang pengelolaan lingkungan hidup.

2. Rincian Tugas dan Wewenang

Urusan lingkungan hidup merupakan salah satu urusan wajib yang harus diselenggarakan
Pemerintah Daerah, berkaitan dengan pelayanan dasar. Saat ini telah terbit Peraturan Bupati Nomor 50
tahun 2008 tentang Struktur Oganisasi dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten
Karawang dan Peraturan Bupati Karawang Nomor 89 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Badan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Karawang. Penerapan kedua Peraturan Bupati Karawang
tersebut mulai berlaku tahun 2009.

Sedangkan berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur tentang tugas dan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, antara lain :
1. Menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;

2. Menetapkan dan melaksanakan KLHS (Kajian Lngkungan Hidup strategis);

3. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota;

4. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai AMDAL dan UKL-UPL;

5. Menyelenggarakan inventarisasi sumberdaya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat
kabupaten/kota;

6. Mengembangkan dan melaksanakan kerjasama dan kemitraan;

7. Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;

8. Memfasilitasi penyelesaian sengketa;

9. Melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha terhadap ketentuan
lingkungan hidup;

10. Melaksanakan standar pelayanan minimal;

11. Melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat
yang terkait dengan PPLH pada tingkat kabupaten/kota;

12. Mengelola informasi lignkungan hidup tingkat kabupaten/kota;

13. Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat
kabupaten/kota;

14. Memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan dan penghargaan;

15. Menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota;

16. Melakukan penegakan hukum lingkungan pada tingkat kabupaten/kota.

Tugas dan wewenang ini secara jelas dilimpahkan kepada BPLH yang tercantum dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

C. Pandangan Umum Hukum Pidana Lingkungan

1. Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan instrumen-
instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata
dengan tujuan memaksa subjek hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan perundang-
undangan lingkungan hidup. Penggunaan instrumen dan sanksi hukum administrasi dilakukan oleh
instansi pemerintah dan juga oleh warga atau badan hukum perdata. Gugatan Tata Usaha Negara
merupakan sarana hukum administrasi negara yang dapat digunakan oleh warga atau badan hukum
perdata terhadap instansi atau pejabat pemerintah yang menerbitkan keputusan tata usaha negara yang
secara formal atau materiil bertentangan eraturan perundang-undangan lingkungan. Penggunaan
sanksi-sanksi hukum pidana hanya dapat dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah. Penggunaan
instrumen hukum perdata, yaitu gugatan perdata, dapat dilakukan oleh warga, badan hukum perdata
dan juga instansi pemerintah. Namun, jika dibandingkan diantara ketiga bidang hukum, sebagian norma-
norma hukum lingkungan termasuk kedalam wilayah hukum administrasi negara.

Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan
(regulatory chain) perencanaan kegiatan (policy planning) tentang lingkungan, yang urutanya sebagai
berikut :

1) Perundang-undangan ( legislation, wet en regelgeving)

2) Penentuan standar (standard setting, norm setting)

3) Pemberian izin (licensing, verguning verlening)

4) Penerapan (implementation, uitvoering)

5) Penegakan hukum (law enforcement, rechtshandhaving)

Dari mata rantai siklus pengaturan (regulatory) perencanaan kebijakan hukum lingkungan dapat
dilihat bahwa dimanapun dan terlebih-lebih di Indonesia, yang plaing lemah adalah penegakan hukum.

2. Pelanggaran yang Tidak Bisa di Selesaikan Hukum Administrasi dan Perdata

Hukum pidana (modern) dapat mencapai sasaranya (dalam hukum lingkungan terhentinya
pencemaran atau terpenuhi syarat-syarat izin yang ditentukan oleh pihak administrasi) tanpa
dilanjutkanya penuntutan dan dan pejatuhan pidana. Memang dapat dikatakan, bahwa pos pertama
dalam mempertahankan dan memelihara hukum lingkungan berada ditangan para pejabat administrasi,
karena merekalah yang mengeluarkan izin dan dengan senidrinya mereka yang terlebih dahulu
mengetahui jika tidak ada izin atau syarat-syarat dalam izin itu dilanggar.

Namun, tidaklah berarti sanksi administratif didahulukan penerapanya terhadap pelanggaran


hukum lingkungan. Bagaimana jika pejabat administrasi enggan bertindak atau pura-pura tidak tahu
adanya pelanggaran, bahkan bagaimana jika ia terlibat atau mempunyai interest dalam perusahaan yang
melanggar itu. Dalam hal semacam itu, instrumen hukum pidanalah yang sebaiknya diterapkan sebagai
premum remedium.

Pilihan jatuh pada hukum pidana jika suatu kerusakan tidak dapat diperbaiki atau dipulihkan,
misalnya penebangan pohon, pembunuhan terhadap burung atau binatang yang dilindungi atau
termasuk irreparability. Perbaikan atau pemulihan kerusakan tersebut tidak dapat dilakukan secara
fisik.
Penerapan instrumen administratif terutama dimaksudkan untuk pemulihan keadaan atau
perbaikan kerusakan atau dengan kata lain ditujukan kepada perbuatanya. Adapun penerapan
instrumen hukum pidana terutama ditujukan kepada orang atau pembuatnya. Oranya itulah yang perlu
diperbaiki. Penerapan instrumen hukum pidana diharapkan tidak menjerakan orang yang melanggar itu
saja, tetapi orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama jika tidak ingin dikenakan sanksi
hukum pidana (generale preventie). Disamping itu penerapan hukum pidana juga akan memuaskan
korban secara individual dan masyarakat sebagai korban kolektif. Lebih-lebih di Indonesia yang pada era
reformasi ini masyarakat luas ingin melihat semua perkara pidana diajukan ke pengadilan.

Kriteria oportunistis didasarkan pada instrumen yang lebih menguntungkan. Dalam hal suatu
perbuatan pencemaran atau perusakan yang dirasakan oleh masyarakat luas atau individu sebagai
perbuatan yang merugikan, tetapi jaksa atau tidak enggan bertindak, baik dalam mempergunakan
wewenangnya untuk menuntut berdasarkan pidana maupun menggugat atas nama masyarakat (actio
popularis), tentulah masyarakat baik secara kelompok (groepsactie) atau LSM atas nama masyarakat
mauapun individu yang merasa dirugikan oleh perbuatan pelanggaran lingkungan itu dapat mengajukan
gugatan perdata ke pengadilan. Disini pilihan instrumen hukum perdata merupakan jalan terbaik.

D. Penegakan Hukum Pidana Lingkungan

Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian “law enforcement” dalam arti sempit,
sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materiil diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam
bahasa Inggris juga dibedakan antara konsepsi “cort of law” dalam arti pengadilan hukum dan “cuort of
justice” atau pengadilan keadilan.

Dari penegakan pidana aspek pertama tersebut, diharapkan sekaligus dapat memperbaiki
pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh
pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. Dan sekaligus upaya menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat.

Dengan demikian yang dimaksudkan penegakan hukum pidana bidang lingkungan yang represif
(hukum pidana) adalah upaya menanggulangi kejahatan perusakan dan/atau pencemaran lingkungan
hidup dalam rangka memberikan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan
membahayakan masyarakat khususnya pelanggaran ketentuan delik formil UUPPLH dalam rangka
menerapkan sanksi bagi pelaku perusak dan/atau pencemar lingkungan hidup. Keterkaitan dengan asas
ultimum remedium di atas, maka sudah seharusnya fungsionalisasi hukum pidana dilakukan setelah
upaya non penal didayagunakan secara optimal. Selanjutnya penegakan hukum ini dilakukan oleh aparat
penegak hukum sebagaimana yang ditentukan dalam perundang-undangan yaitu UUPPLH.

penegakan hukum lingkungan pada dasarnya dimulai dengan upaya pembinaan ketaatan terhadap
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, kegiatan tersebut dapat berupa kegiatan penyuluhan,
pembinaan teknis, pemberian penghargaan dan berbagai bentuk insentif, pengawasan, pemantauan,
penindakan sampai kepada penjatuhan sanksi-sanksi hukum baik administrasi dan/atau pidana dan/atau
perdata. Salah satu upaya pembinaan teknis, pemberian penghargaan dan pengawasan kepada
perusahaan yang telah melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik sesuai undang-undang, dan juga
sebagai langkah awal untuk mendeteksi perusahaan-perusahaan mana yang tidak taat undang-undang
sehingga harus diberi sanksi pidana.

Pola penegakan hukum pidana lingkungan meliputi beberapa proses yang dapat dibagi dalam 3 (tiga)
tahapan, yaitu : tahapan preemtiv, tahapan preventif, tahapan represif.

1) Tahapan Pre-emtive yaitu, tindakan antisipasi yang menekankan faktor tindak pidana, yakni
faktor-faktor yang memungkinkan kerusakan atau pencemaran lingkungan. Dengan deteksi atas faktor
tindak pidana ini dapat dilakukan pencegahan dan tidak terjadi ancaman terhadap lingkungan.

2) Tahapan preventif adalah serangkaian tindakan nyata yang bertujuan mencegah perusakan atau
pencemaran lingkungan.

3) Tindakan represif adalah serangkaian tindakan yang dilakukan petugas hukum atau aparat
penegak hukum dalam rangka menegakan ketentuan-ketentuan hukum pidana lingkungan.

Pada dasarnya strategi penegakan hukum lingkungan nasional adalah upaya pencegahan atau preventif.
Secara preventif yang bersifat operasional adalah dilaksanakanya secara cermat, lengkap, jelas prosedur
perizinanya dan tahap berikutnya adalah terlaksananya kegiatan pembinaan, pengawasan dan
pemantauan secara konsisten, efisien dan efektif. Selanjutnya apabila hal tersebut tidak berhasil atau
tidak mampu mencegah terjadinya pelanggaran, baru memasuki tahapan yang represif . Upaya hukum
preventif ini merupakan bagian dari penegakan hukum yang dilakukan oleh rezim hukum administrasi
yaitu oleh pejabat atau aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya
pencemaran lingkungan. Upaya ini dimulai dengan penyuluhan, pemantauan dan penggunaan
kewenagan yang sifatnya pengawasan berupa pengambilan sampel, penghentian mesin, dan
sebagainya.

Sementara itu pada UULH yang lalu, penegakan hukum lingkungan hidup hanya mengenal dua dimensi
penegakan hukum lingkungan yaitu penegakan hukum perdata dan pidana. Berbeda dengan penegakan
hukum lingkungan sebagaimana yang tercermin dalam pengaturan UUPLH maupun UUPPLH penegakan
hukum administrasi diatur pada Pasal 76-83 termasuk Pasal 93, penegakan hukum perdata sebagaiman
diatur dalam Pasal 84-92, dan penegakan hukum pidana sebagaiman diatur dalam Pasal 94-120.

Ketentuan pidana yang termaktub dalam UUPPLH mencakup ketentuan delik materiil dan formil. Untuk
beberapa hal ketentuan tersebut merupakan pengaturan tersendiri diluar ketentuan KUHAP maupun
dalam KUHP. Ketentuan pidana dalam UUPPLH lebih lengkap bila dibandingkan dengan UULH.

Dalam upaya koordinasi penanganan terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup ini, telah
terjadi kesepakatan antar 5 instansi pemerintah yang terkait yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri
Kehakiman, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisisan.
Hanya saja yang terjadi adalah segala masalah lingkungan selalu dibawa keranah pidana atau dengan
kata lain hukum pidana difungsikan sebagai primum remedium, walaupun untuk hal-hal yang ringan,
korban belum ada dan lingkungan belum tercemar.

E. Pentingnya Hukum Pidana Lingkungan di Indonesia

Kepentingan nasional adalah suatu cita-cita, sasaran yang bersifat umum dan abadi yang
digunakan sebagai landasan suatu bangsa untuk bertindak. Dalam kaitan dengan pengelolaan
lingkungan, maka kepentingan nasional tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang
1945.

Kaitan dengan hukum pidana lingkungan dapat diartikan dari suatu kebijakan atau keinginan-
keinginan negara yang di format dalam peraturan kebijakan maupun peraturan perundang-undangan
sebagai kekeuatan negara untuk menghadapai kerusakan lingkungan hidup. Kebijakan yang diinginkan
oleh negara dalam hal ini, ialah pengembangan rencana penggunaan lahan dan tata ruang serta
melakukan kebijakan perencanaan terhadap rehabilitasi kerusakan sumber daya alam, seperti kerusakan
tanah, air, daerah aliran sungai (DAS), dan sebagainya.

Pembangunan berkelanjutan yang menempatkan lingkungan hidup sebagai bagian integral


dalam dinamika pembangunan nasional merupakan realitas kehidupan bernegara. Indonesia telah
mengambil prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai dasar pengambilan putusan di
pengadilan. Berarti dalam beberapa hal, nilai-nilai pembangunan berkelanjutan dapat berperan dalam
aspek lingkungan. Nilai-nilai pembangunan berkelanjutan penting artinya dalam rangka pembentukan
hukum, demikian pula dalam pembentukan hukum lingkungan.

Pemerintah berupaya mewujudkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan dalam


berbagai pembentukan dan pelaksanaan hukum lingkungan. UUPPLH yang disahkan pada tahun 2009
memuat prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai instrumen perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia. Prinsip-prinsip dimaksud yakni:

1. Prinsip Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Equity)

2. Prinsip Keadilan Dalam Satu Generasi

3. Prinsip Pencegahan Dini (Precautionary Principle)

4. Prinsip Perlindungan Keragaman Hayati (Biodiversity Conservation).

5. Prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan dalam suatu perusahann.

Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi landasan


negara termasuk Indonesia yang memiliki komitmen dan kesadaran untuk membangun tanpa
menimbulkan kerusakan lingkungan hidupnya. Bahkan, kelima prinsip pembangunan berkelanjutan
tersebut dapat dipandang memiliki nuansa positif untuk membangun Indonesia yang lebih menghargai
kehidupan generasi sekarang dan mendatang, berkenaan dengan rasa keadilan dalam pemanfaatan
sumber daya alam dan lingkungan hidup.

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Lingkungan

1. Isi Aturan

Isi dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana lingkungan hidup
yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup.

Perundang-undangan lingkungan hidup yang ada saat ini telah melalui proses panjang dalam
pembentukanya. Seperti yang dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa perkembanganya terbagi
menjadi 3 (tiga) yaitu :

1. Zaman sebelum kemerdekaan yang berupa ordonansi dan beberapa ketentuan umum yang
menyangkut lingkungan didalam KUHP.

2. Zaman kemerdekaan Indonesia telah mempunyai peraturan yang terkait dengan lingkungan
hidup sebelum dan sesudah tahun 1972. Saat itu sebagai awal perhatian dunia dalam masalah
lingkungan.

3. Konferensi Stockholm telah ikut berpartisipasi dalam penjelasan Indonesia’s report contry,
setelah Konferensi Stockholm Indonesia ikut membuat undang-undnag lingkungan hidup yang sesuai
dengan keadaan global. Kegiatan pengelolaan lingkungan ditangani oleh pemerintah. Saat itu juga
terbentuknya konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang tertuang dalam
TAP MPR No IV/73 dalam Repelita II Bab 4. Konferensi Stockholm menghasilkan 5 (lima) prinsip utama
atau pokok dalam pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang sudah diratifikasi
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
diantaranya adalah :

a. Keadilan antar generasi;

b. Keadilan satu generasi;

c. Prinsip pencegahan diri;


d. Perlindungan keanekaragaman hayati;

e. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif.

Jika kita berbicara tindak pidana lingkungan hidup maka tidak akan terlepas pada asas ultimum
remedium yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, asas ini tidak menjelaskan mengapa legislator memperlakukan asas
ultimum remedium hanya terhadap baku mutu air limbah, baku mutu emisi dan baku mutu gangguan
saja. Padahal karakteristik delik formil baru merupakan pelanggaran administrasi, yaitu berupa
pelanggaran syarat atau izin yang ditetapkan.

Kecenderungan memfungsikan hukum pidana dalam masalah lingkungan sebagai primum


remedium sangat menonjol dibandingkan dengan mendahulukan upaya hukum lain, padahal delik formil
lebih dominan dibandingkan dengan delik materil. UUPPLH lebih menonjolkan pidana penjara bagi
pelanggar hukum administrasi yang justru belum melakukan pemcemaran dan/atau perusakan
lingkungan.

Sesuai dengan pendapat Van de Bunt bahwa terhadap pelanggaran ringan dalam masalah
lingkungan, seharusnya hukum pidana difungsikan secara ultimum remedium dan diprioritaskan
penindakan terjadinya pelanggaran. Maka hukum pidana harus difungsikan secara ultimum remedium
sebagai perangkat pamungkas. Dengan demikian kriminalisasi terhadap pelanggaran administrasi atau
delik formil merupakan kebijakan yang berlebihan.

Kejaksaan Agung sebagai salah satu institusi penegak hukum telah membuat sebuah pedoman
bagi jajaran kejaksaan dalam menangani kasus lingkungan khusus menyangkut asas subsidaritas
dihubungkan dengan delik formil. Pedoman tersebut termuat dalam surat nomor: B-60/E/Ejp/01/2002
tertanggal 29 Januari 2002, perihal pedoman teknis yustisial penanganan perkara tindak pidana
lingkungan hidup yang berkaitan dengan asas subsidaritas.

Surat ini ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Seluruh Indonesia. Pedoman ini memberikan acuan
kerja sebelum menerapkan hukum pidana, ini mengandung makna bahwa kegiatan penegakan hukum
pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai bila telah dilaksanakanya
tindakan hukum dibawah ini:

1. Aparat yang berwenang menjatuhkan sanksi administrasi sudah menindak pelanggar dengan
menjatuhkan suatu sanksi administrasi tersbut tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi;
atau

2. Antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban
akibat terjadinya pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme alternatif
diluar pengadilan dalam bentuk musyawarah atau perdamaian, negosiasi, atau mediasi, namun upaya
yang dilakukan menemui jalan buntu; dan/atau
3. Litigasi melalui pengadilan, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru kegiatan dapat
dimulai/instrument penegakan hukum pidana lingkungan hidup dapat digunakan.

Ketiga syarat asas subsidaritas dalam bentuk upaya tersebut di atas dapat dikesampingkan
apabila dipenuhi tiga syarat atau kondisi tersebut dibawah ini :

a. Tingkat kesalahan pelaku relatif berat;

b. Akibat perbuatanya relatif besar;

c. Perbuatan pelaku menimbulkan keresahan masyarakat.

Pada surat tersebut kejaksaan menetapkan tindakan hukum tersebut bersifat alternatif, artinya
tidak semua harus dijalankan cukup salah satu diantaranya.

Tidak dijelaskan tahapan-tahapan tersebut diperlakukan untuk delik formil atau untuk delik
materiil saja. Namun dari surat tersebut dapat ditafsirkan bahwa tahapan tersebut diperuntukan untuk
delik formil, karena terhadap tingkat kesalahan pelaku relatif berat, akibat perbuatanya relatif besar,
dan perbuatan pelaku menimbulkan keresahan masyarakat prosedur tersebut dapat diabaikan.

Asas subsidaritas ini menurut kejaksaan agung merupakan penyimpangan terhadap asas
legalitas yang berlaku umum pada hukum pidana. Demikian pada halaman 12 pedoman teknis
disebutkan apabila penuntut umum menerima berkas perkara dari peyidik, perlu
dikonsultasikan/dibicarakan tentang sekilas asas subsidaritas apakah sudah dipenuhi atau belum,
mengenai riwayat ketaatan perusahaan tersebut dimasa yang lalu yang dapat dibuktikan dengan
dokumen-dokumen hasil pengawasan/pemantauan yang dilkukan oleh instansi yang berwenang/pemda
diwaktu lalu, kemudian apakah semua persyaratan teknis dan administrasi (kewajiban dan larangan)
yang tercantum dalalm surat izin usaha/kegiatan sudah ditaati dan selanjutnya diupayakan untuk
mendapat foto kopi surat izin pembuangan limbah ke lingkungan.

Hanya saja dalam penerapanya atau dalam kasus-kasus lingkungan yang diajukan ke pengadilan,
para jaksa tidak pernah menggunakan petunjuk teknis tersebut . Terbukti dari perkara-perkara yang
telah dikutip diatas, nampak bahwa jaksa selalu menuntut terdakwa dengan hukum pidana, artinya
selalu dituntut secara pidana tanpa terlebih dahulu dilalalui tahapan-tahapan diatas.

Tindak pidana lingkungan hidup dapat dilakukan secara terus menerus jika dilihat bahwa pidana
dijadikan sebagai upaya terakhir, karena yang akan terjadi adalah adanya upaya hukum lain yang
hasilnya malah tidak sama sekali menghukum pembuat kerusakan.

Di karawang sendiri dalam perkara PT Karawang Prima Sejahtera Steel (PT. KPSS) yang didakwa
karena dumping lingkungan limbah PT Karawang Prima Sejahtera Steel (KPSS). Dalam perkara ini bahwa
BPLH Karawang memberikan peringatan kepada PT Karawang Prima Sejahtera Steel (PT. KPSS) namun
tidak ada tindak lanjut dari terdakwa, dalam hal ini seperti yang dijelaskan sebelunya bahwa tidak jelas
penerapan sanksi administrasi yang diabaikan akan menimbulkan konsekuensi apa, dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak dijelaskan
secara jelas.

Banyak kasus yang dibebaskan oleh hakim, salah satu penyebabnya adalah perbedaan dalam
menafsirkan peraturan perundang-undangan. Menurut Firman Wijaya keberagaman persepsi aparatur
penegak hukum disebabkan mereka selalu terperangkap dalam rutinitas teknik yuridis. Seharusnya
standar rasio desidensi dapat dibangun dalam menangani kasus lingkungan oleh aparatur penegak
hukum, sehingga menunjukan bahwa badan peradilan juga memeiliki tanggung jawab kebijakan
penegak hukum terhadap dampak ekologis akibat eksploitasi lingkungan secara tidak bijaksana.

Setelah mendapatkan data-data dari wawancara pada tanggal 12 Juni 2013 pada Badan
Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Karawang (BPLHD) Bambang Triyanto sebagai kepala bidang
pengawasan dan pengendalian menyatakan bahwa Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UUPPLH) sudah lebih baik dibandingkan dengan
undang-undang lingkungan hidup sebelumnya yaitu Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang
lingkungan hidup (UULH) namun salah satu kendala yang dialami dilapangan beliau menuturkan bahwa
untuk kabupaten karawang hanya beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang seharusnya ada karena
menjadi petunjuk pelaksanaan suatu undang-undang agar tidak ada kerancuan dalam penerapan
undang-undang lingkungan hidup di lapangan.

2. Lembaga Terkait Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Lembaga terkait dalam Undang-undang lingkungan hidup telah dijelaskan di bab sebelumnya
yaitu Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Karawang (BPLHD) namun terdapat beberapa organ
yang secara langsung berhubungan dengan lingkungan, diantaranya adalah :

a. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH)

Awal mula terbentuknya PPLH yaitu sejak pembentukan Kabinet Pembangunan III berdasarkan
Keputusan Presiden RI Nomor 59/M Tahun 1978 telah diangkat Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang tugasnya diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor
28 Tahun 1978 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Penertiban
Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan, dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara
Riset dan Teknologi serta susunan organisasi stafnya.

Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) merupakan “ujung tombak” dalam


pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum lingkungan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 71
sampai dengan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 74 Undang-Undang 32 tahun 2009 kepada


saudara-saudara PPLH sedemikian tegas dan luas, yaitu bertugas melakukan pemantauan, evaluasi, dan
menetapkan status ketaatan (compliance) penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
kewajiban yang tercantum dalam persyaratan izin Lingkungan dan peraturan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup.

Kejahatan lingkungan dalam bentuk pencemaran dan kerusakan lingkungan, yang terjadi
di Indonesia, kecenderungannya makin meningkat. Hal itu dapat kita ketahui dari laporan, pemberitaan
media cetak, media elektronik maupun dari penglihatan langsung di lapangan. Penyelesaiannya apakah
melalui tindakan preventif maupun represif, tidak bisa dipisahkan dari instrumen penegakan hukum,
apakah melalui : Penerapan Sanksi Administratif berupa Teguran Tertulis, Paksaan Pemerintah; maupun
melalui jalur Penyelesaian Sengketa / Perdata ataupun penegakan hukum berupa Penegakan Hukum
Pidana, berbicara mengenai penerapan hukum administratif lingkungan, tidak bisa dilepaskan dari peran
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH).

Pusdiklat Kementerian Lingkungan Hidup telah mengadakan pendidikan dan pelatihan Pejabat
Pengawas Lingkungan Hidup baik di tingkat Pusat maupun di tingkat daerah, dan telah menghasilkan
825 orang PPLH/PPLHD yang tersebar hampir diseluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, yaitu
: 334 orang berada di KLH (247 orang di KLH Jakarta; 87 orang berada di 5 PPE), dan 1.491 orang berada
di Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang masih aktif 30% sisanya belum diangkat & dilantik atau mutasi.

Di karawang berdasarkan hasil wawancara kepada Badan Pengelola Lingkungan Hidup


Daerah Karawang (BPLHD) tanggal 12 Juni 2013 kepada Bambang Triyanto sebagai kepala bidang
pengawasan dan pengendalian menyatakan bahwa PPLH untuk kabupaten karawang hanya 5 (lima)
orang, diantaranya adalah :

TABELl I

DATA PERSONILl PPLH BPLHD KARAWANG

No Nama Pangkat/Gol Jabatan

1 Bambang Triyanto Pembina/ (IV/a) Kabid. Pengawasan dan Pengendalian

2 Ade Imam Asy’ari Penata/ (III/c) Kasubid. Pengendalaian

3 Permadi Utama Penata/ (III/c) Pelaksana

4 Agung Nugraha Penata/ (III/c) Pelaksana

5 Azis Kemal Fauzi Penata Muda TK.I (III/b) Pelaksana

Sumber : Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Karawang (BPLHD)

Kelima Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) diatas belum menjadi Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) karena meskipun mereka telah menjalani diklat tetapi belum diangkat atau
dilantik oleh Gubernur atau Menteri Lingkungan Hidup.
Berdasarkan data wawancara dengan staf Kasubag Kepegawaian Arief Purwanto, di
Karawang Jumlah industri pada tahun 2011 mencapai 9.763 unit; PMA 371 unit, PMDN 213 unit, Non
fasilitas 179 unit, Industri kecil 9.001 unit, industri di Karawang dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu zona
dan kawasan, zona merupakan industri yang tidak mempunyai pengelola kawasan industri, ia berdiri
sendiri tidak dalam lingkup kawasan industri, berbeda dengan kawasan yang mempunyai pengelola
kawasan yang berkumpul dengan industri-industri lain dalam suatu daerah khusus industri. Menurut
wawancara kepada Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian BPLHD Karawang kawasan cenderung
lebih tertib karena mempunyai pengelola kawasan dibandingan yang tidak mempunyai pengelola
sehingga tidak diketahui saat membuang limbah sedangkan pengawasan lingkungan dilakukan setiap
semester oleh BPLHD Karawang. Dibawah ini merupakan industri yang mempunyai Instalasi
Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air (IPALASA) adalah sebagai berikut :

TABEL II.

PERUSAHAAN YANG MEMILIKI IPALASA

No Nama Produk Alamat

Desa Kecamatan

1 PT Associated British Budi GlukosaCikalongsari Jatisari

2 PT Indotaisei Indah Development IPAL Kaw Kaw. Indotaisei Cikampek

3 PT Besland Pertiwi IPAL Kaw Kaw.Bukit Indah Cikampek

4 PT Asri Panca Warna Granit DaTeng Cikampek

5 PT Pulau Intan Lestari Tekstil DaTeng Cikampek

6 PT Asietex Sinar Indopratama Tekstil Cik Sel Cikampek

7 RS Saraswati Kesehatan Cik Sel Cikampek

8 RS Karya Husada Kesehatan Cik Sel Cikampek

9 CV Bakti Karya Plating Da Teng Cikampek

10 KIKC IPAL Kaw Da Teng Cikampek

11 PT Pupuk Kujang Pupuk Da Teng Cikampek

12 PT Knauff Gypsum Indonesia Gypsum Da Teng Cikampek

13 PT Central Pangan Pertiwi Pakan Ikan Purwasari Purwasari

14 PT Indospray Perkasa Painting Kom Pancawati Klari


15 PT Ultra Prima Abadi Makanan Walahar Klari

16 PT Heinz ABC Makanan Gintung Kerta Klari

17 PT ABC President Makanan Walahar Klari

18 PT Bhineka Karya Manunggal Tekstil Wlahar Klari

19 PT Asia Pacific Fibers Poliester Kiarapayung Klari

20 PT Mitra Kimia Tekstil Perdana Tekstil Gintungkerta Klari

21 PT Mitra Setia Eka Perwira Tekstil Gintungkerta Klari

22 PT Inni Pioneer Food Industri Makanan Gintungkerta Klari

23 PT Wonti Indonesia Palting Gintungkerta Klari

24 PT Triguna Pratama Abadi KertasBudaya Gintungkerta Klari

25 PT Masari Dwisepakat Fiber Fiberboard Gintungkerta Klari

26 PT Monokem Surya Chemical Anggadita Klari

27 PT Timuraya Tunggal Chemical Anggadita Klari

28 PT Tyco Eurapipe Pipa Anggadita Klari

29 PT Royal Standard Amplop Gintungkerta Klari

30 PT Pindodeli I Kertas Adiarsa Krw Timur

31 PT Fully Semitex Jaya Tekstil Wr bambu Krw Timur

32 PT Canvas Industri Tekstil Wr bambu Krw Timur

33 PT sandang Makmur Anugrah Tekstil Wr bambu Krw Timur

34 RS Cito Kesehatan Purwadana Tlk.Jambe Timur

35 PT Supravisi Rama OpticAlat optik Purwadana Tlk.Jambe Timur

36 Carefore Pertokoan Adiarsa Krw Timur

37 PT Ardi Putro Tekstil Wr bambu Krw Barat

38 PT Pertiwi Alam Samudra Pak udang Tunggakjati Krw Barat

39 RS Delima Asih Kesehatan Adiarsa Krw Barat


40 RS Dewi Sri Kesehatan Jl.A.R Hakim Krw Barat

41 RSUD Kesehatan Galuh Mas Krw Barat

42 RS Bayukarta Kesehatan Jl. Kertabumi TJ Timur

43 PT BMJ Kertas Purwadana TJ Timur

44 PT Maligi / KIIC IPAL Kaw KIIC TJ Timur

45 PT Hab & Son / KIIC IPAL Kaw KIIC TJ Timur

46 PT Rekayasa Putra Maderi Plating Purwadana TJ Timur

47 Pt Pilarco Plating Purwadana Ciampel

48 PT Polichem Indo Polyester Wanakerta Ciampel

49 PT Pindodeli II Kertas Kutamekar Ciampel

50 PT Surya Ciptagung Swadaya IPAL Kaw Kutamekar Ciampel

51 PT Mitra Karawang (KIM) IPAL Kaw Parung Mulya Ciampel

52 PT Bagus Agung Makmur Tekstil Parung Mulya Ciampel

53 PT Cahaya Putra Asa Keramik Keramik Kutapohaci Pangkalan

54 PT Peruri Kertas Parung mulya Rengasdengklok

55 PT Esa Kertas Nusantara Kertas Tamansari Pangkalan

56 RS Proklamasi Kesehatan Rengasdengklok Rengasdengklok

Sumber : Badan Pengelolan Lingkungan Hidup Daerah Karawang (BPLHD)

Jika dilihat jumlah perusahaan yang ada di Karawang, dan berdasarkan data diatas
industri yang mempunyai IPALASA hanya 56 industri dibandingkan dengan jumlah Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Hidup (PPLH) hanya 5 (lima) orang, maka dapat dikatakan bahwa kuantitas PPLH tidak
memadai untuk mencapai pengawasan dan pencegahan dalam pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.

Pada tahun 2012 BPLHD Karawang telah memanggil sedikitnya 10 (sepuluh) perusahaan
yang nakal yang diduga telah melakukan pencemaran membuang limbah tanpa melalui Instalasi
Pengolahan Limbah (IPAL) pada sungai Citarum dan Cilamaya, BPLHD telah memberikan sanksi teguran
dan memantau pembuangan sesuai aturan. Jika perusahaan itu masih membandel maka kegiatan
pengolahan limbahnya akan ditutup sementara sebelum memperbaiaki IPAL perusahaanya.
Berdasarkan wawancara kepada BPLHD sanjaya pada tanggal 5 Juni 2013 sebagai staf
pengendalian menjelaskan bahwa tahun 2013 terdapat 4 (empat) perusahaan yang melakukan
pencemaran dan diberikan sanksi administrasi oleh BPLHD Karawang, untuk nama perusahaan sanjaya
menolak untuk memberikan data. BPLHD Karawang sudah pernah memberikan sanksi sampai pada
paksaan pemerintah kepada perusahaan yang telah melakukan pencemaran, sanksi lain belum pernah
diberikan karena setelah diberi sanksi paksaan pemerintah perusahaan tersebut memperbaiki
kesalahan mereka.

Ade Imam Asy’ari dalam wawancara tanggal 5 Juni 2013 di BPLHD Karawang sebagai
kepala sub bidang pengendalian menjelaskan bahwa kegiatan pengawasan kepada industri-indutsri
dilapangan yang jumlahnya sekitar 700-800 industri menengah keatas dilakukan secara bergilir oleh
kelima pengawas tersebut selama 6 (bulan) sekali. Perusahaan juga mempunyai kewajiban untuk
melaporkan baku mutu emisi, air dan udara mereka sebagai komitmen menjalankan AMDAL
perusahaan, karena tidak jarang bahwa AMDAL hanya dijadikan sebagai dokumen perusahaan.

Standar Operasional (SOP) bagi pengawas lingkungan dijelaskan oleh Bambang Triyanto
terdiri dari 3 (tiga) tahap adalah persiapan objek pengawasan/industri, pelaksanaan (wawancara
terhadap objek pengawasan/industri) dan terakhir adalah penyusunan berita acara pengawasan.

Secara kuantitas, jumlah PPLH/PPLHD yang bertugas di unit pengawasan dan atau
penegakan hukum belum memadai, demikian juga dari segi kualitas penanganan pengawasan terhadap
suatu usaha dan/atau kegiatan yang diduga berpotensi menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan khususnya di daerah masih belum optimal. Hal ini tentu bukan semata-mata karena kinerja
PPLH, akan tetapi dapat disebabkan karena :

1. Belum semua PPLH/PPLHD bertugas dalam unit organisasi yang langsung menangani pengawasan dan
penegakan hukum.

2. Masih banyak PPLH Daerah yang belum diangkat dan dilantik oleh Gubernur, Bupati/Walikota, karena
Pemerintah Daerah belum dapat mengalokasikan anggaran tunjangan jabatan fungsional, atau karena
alasan lain banyak dilakukan mutasi, sehingga meskipun telah mempunyai PPLHD namun tidak dapat
melakukan pengawasan karena belum atau tidak memiliki persyaratan legalitas.

sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan kinerja Pejabat Pegawai Negeri
Sipil adalah sebagai berikut :

1. Untuk PPLHD Koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup agar mengeluarkan Surat Edaran
kepada gubernur dan bupati/walikota untuk segera mengangkat dan melantik para PPLHD yang telah
lulus diklat dan ditempatkan di unit yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang pengawasan
pada institusi yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup, dan tidak segera di mutasikan ke
Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) lain.

2. Menetapkan PPLH / PPLHD dalam jabatan fungsional melalui impassing setelah PPLH dan PPLHD
tersebut diangkat, dengan berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 39 Tahun 2011 tentang
Jabatan Fungsional Pengawas Lingkungan Hidup dan Angka Kreditnya.

3. Peningkatan kapasitas teknis dan operasional kepada PPLH dan PPLHD secara sistemik dan masif,
sehingga tugas pengawasan PPLH dan PPLHD dapat dilakukan secara baik dan benar.

b. Pembentukan Pos Pengaduan dan Pelayanan Penyelesaian Lingkungan Hidup (P3SLH)

Adalah Pembentukan Pos Pengaduan dan Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
(Pos P3SLH). Merupakan salah satu tugas dan wewenang Pemerintah Kabupaten/kota dalam
Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup salah satunya adalah mengelola
informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota. Salah satu bentuknya adalah pos pengaduan
masyarakat. Di karawang berdasarkan wawancara kepada kepala sub bidang pengendalian BPLHD
Karawang Ade Asy’ari menjelaskan bahwa di BPLHD Karawang belum dibentuk secara resmi Pos
Pengaduan dan Peyanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (P3SLH), namun setiap pengaduan
yang diberikan masyarakat akan dicatat pada formulir khusus pengaduan masyarakat yang sudah
disiapkan oleh BPLHD agar laporan tersebut dapat dipetanggungjawabkan oleh pengadu. Kemudian
akan diadakan pengecekan laporan apakah benar laporan tersebut merupakan pencemaran lingkungan.

c. Asisten Deputi Penegakan Hukum Pidana Lingkungan

Di dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2010 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Lingkungan Hidup sebagai dasar hukum pembentukan Deputi
Bidang Penaatan Hukum Lingkungan, dicantumkan dan ditetapkan tugas dan fungsi secara tegas pada
BAB VIII, Pasal 335 yaitu sebagai berikut:

“Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan mempunyai tugas menyiapkan perumusan kebijakan dan
koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penaatan hukum lingkungan.”

Hal tersebut menjadi landasan dalam melaksanakan kegiatan yang dituangkan sebagai
Program Peningkatan kualitas pengelolaan pengaduan dan penegakan hukum lingkungan serta akses
informasi lingkungan hidup antara lain:

1. Pengembangan Sistem Informasi Pengelolaan Pengaduan Lingkungan secara online dan terpadu;

2. Pengembangan Sistem Informasi Pengaduan Lingkungan via Short Messaging Service atau SMS;

3. Penyebarluasan Informasi Profil Penaatan Hukum Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup.

Program tersebut dapat mendukung kinerja Deputi Bidang Penaatan Lingkungan


Kementerian Negara Lingkungan Hidup dalam pengelolaan pengaduan dan penegakan hukum
lingkungan dengan lebih professional dan dalam menyelenggarakan fungsi- fungsi yang dijabarkan
dalam Pasal 336 yaitu sebagai berikut:

1. penyiapan perumusan kebijakan di bidang penaatan hukum lingkungan;

2. koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penaatan hukum lingkungan;

3. pelaksanaan fungsi teknis perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di bidang penaatan
hukum lingkungan;

4. pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan tentang masalah dan kegiatan penaatan hukum
lingkungan; danpelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Menteri Lingkungan Hidup.

Demikian diatas merupakan salah satu bagian yang digunakan untuk meningkatkan pengawasan
dan penindakan sengketa hukum pidana lingkungan. Deputi lingkungan ini berada ditingkat pusat,
terbagi dalam sub bagian deputi, untuk deputi penegakan pidana hukum lingkungan dibawahi oleh Drs.
Dasrul, MM. Merupakan Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum Pidana dan Administrasi Lingkungan
pada Deputi V MENLH.

Siti Mariam, SE. merupakan Kepala Sub Bidang Evaluasi Pelaksanaan Penegakan Hukum Pidana pada
Bidang Penegakan Hukum Pidana, Asdep Urusan Pengakan Hukum Pidana dan Administrasi Lingkungan,
Deputi V MENLH.

Tugas pokok asisten deputi adalah melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, koordinasi
pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan fungsi teknis, pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan
tentang masalah atau kegiatan di bidang penegakan hukum pidana lingkungan. Fungsi asisten deputi
adalah menyelenggarakan :

a) Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang penyidikan, koordinasi penuntutan, evaluasi,


dan tindak lanjut, dan pembinaan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS);

b) Penyiapan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penyidikan, koordinasi penuntutan,


evaluasi, dan tindak lanjut, dan pembinaan penyidik PPNS;

c) Pelaksanaan fungsi teknis di bidang penegakan hukum pidana lingkungan; dan

Pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan tentang masalah atau kegiatan di bidang penegakan
hukum pidana lingkungan. Jika dilihat organ pengawas lingkungan ini terbilang baru seperti diberitakan
di website penegakan hukum lingkungan Menteri Lingkungan Hidup, Unit kerja Asisten Deputi Urusan
Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa Lingkungan (Asdep 4/V) Kedeputian Bidang Penaatan Lingkungan
Kementerian Negara Lingkungan Hidup membuka kontak pos pengaduan dan pelayanan sengketa
lingkungan kepada masyarakat luas. Masyarakat luas yang secara langsung atau tidak langsung
bersentuhan atau berurusan dengan masalah lingkungan hidup dan hendak melaporkan.

3. Sumber Daya Manusia (SDM)


Sumber daya manusia menjadi bagian yang sangat penting apabila legislator telah membuat
aturan secara maksimal, aturan tidak berjalan bukan saja karena faktor kurang sempurnanya suatu
undang-undang sehingga harus selalu direvisi namun juga faktor penegak hukum yang menjalankan
undang-undang tersebut harus mempunyai kompetensi tinggi untuk menjalankanya.

SDM harus mempunyai keahlian dalam bidang lingkungan, salah satu SDM sudah dijelaskan
sebelumnya yaitu Pejabat Pegawai Lingkungan Hidup (PPLH) yang terhalang menjadi PPNS karena belum
diangkat secara formal oleh gubernur atau walikota atau menteri lingkungan hidup, PPNS dalam
implementasinya sangat dibutuhkan sebagai ujung tombak penanggulangn perusakan atau pencemaran
lingkungan hidup namun berbanding terbalik dengan jumlah PPNS yang ada, kendalanya adalah belum
diangkatnya PPLH oleh gubernur atau menteri lingkungan hidup. Salah satu kendala kurangnya PPNS
diungkapkan oleh Ade Asy’ari sebagai kasubid pengendalian di BPLHD Karawang dalam wawancara
bahwa minimnya PPNS juga disebabkan sulitnya resiko yang ditanggung oleh PPNS yang sudah pasti
banyak memiliki musuh dan rawan korupsi.

Hakim yang harus menjalani pelatihan apabila menjadi hakim perkara lingkungan. Sebanyak 36
hakim yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia mengikuti pelatihan sertifikasi hakim lingkungan
yang diadakan di Balai Diklat Mahkamah Agung, Ciawi, Bogor, Jawa Barat, 26 November hingga 7
Desember.

Melalui sertifikasi hakim lingkungan, penyelesaikan kasus lingkungan hidup baik secara pidana,
perdata, dan administrasi pada tingkat pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung dapat memenuhi
rasa keadilan. Pelatihan itu adalah tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman antara Ketua
Tim Pembaharuan Mahkamah Agung dan Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Penataan
Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup pada 18 Juni 2009 dan Keputusan Ketua MA pada 5
September 2011 tentang Program Sertifikasi Hakim Lingkungan.

Bagi hakim yang lulus dalam pelatihan itu, akan mendapatkan sertifikat sebagai Hakim
Lingkungan Hidup. Karena berdasarkan perkara yang masuk sebanyak 245 kasus dan yang bisa
diputuskan adalah 70 kasus. Kurang pahamnya hakim mengenai masalah lingkungan, menjadi salah satu
penyebab berlarut-larutnya kasus-kasus tersebut.

Jawa Barat menjadi daerah yang banyak terjadi pencemaran, sertifikasi hakim diutamakan bagi
daerah yang banyak melakukan pencemaran. Sertifikasi hakim juga harus ditindaklanjuti dengan
pengawasan yang tepat oeh Mahkamah Agung terhadap produk hukum yang dihasilkan oleh para hakim
bersertifikasi tersebut. Apabila setelah dievaluasi ternyata produk hukumnya tidak mencerminkan pro
lingkungan sudah seharusnya dicabut.

Karawang sendiri sudah pernah menangani perkara pidana lingkungan di Pengadilan Karawang
yaitu perkara nomor 434 /Pid.B/2011/PN.Krw. namun saat ini perkara tersebut sedang upaya hukum
kasasi. Ketua majelis hakim adalah ketua Pengadilan Negeri Karawang Torowa Daeli SH.,MH. Yang telah
bersertifikat hakim lingkungan.
Dalam wawancara terakhir 8 Juni 2013 di BPLHD Karawang, kami bertemu dengan salah satu
staf yang saat penulis bertanya tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tidak begitu mengetahui
tentang isi dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, ini merupakan salah satu bukti bahwa SDM yang digunakan sebagai ujung tombak
kurang berkualitas dalam bidangnya.

Dari ketiga SDM yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan bahwa sudah terlihat bahwa
kurangnya kuantitas dari setiap SDM, sudah seharusnya untuk pengawasan dan penegakan hukum
lingkungan baik diwilayah regional Karawang atau nasional agar ditambahnya kuantitas SDM yang
terkait lingkungan agar tercapainya lingkungan hidup yang sehat bagi masyarakat. Namun juga dibarengi
dengan kualitas bagi setiap SDM agar esensi dari Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat tercapai, serta yang paling mendasar adalah
kesiapan moral bagi setiap SDM yang berpotensi untuk diselewengkan, karena banyak kasus yang tidak
terungkap karena dialihkan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan dan menimbulkan kerugian bagi
rakyat dikemudian hari.

B. Hambatan Pelaksanaan Sistem Penyelesaian Hukum Lingkungan Berdasarkan Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

1. Kelemahan Asas Ultimum Remedium

Tujuan penegakan Hukum lingkungan (environmental enforcement) adalah compliance (penataan)


lingkungan. Sehingga tujuan utama dari penegakan hukum lingkungan sesungguhnya adalah
mempertahakan keberadaan lingkungan hidup yang baik, sehat demi kelangsungan makhluk hidup
diatas dunia ini khususnya bagi kehidupan manusia. Dengan demikian fungsi utama dari penegakan
hukum pidana pada pencemaran atau perusakan lingkungan hidup adalah ultimum remedium sebagai
penunjang hukum administrasi.

Implementasi yang terjadi adalah kecendrungan memfungsikan hukum pidana dalam masalah
lingkungan sebagai primum remedium sangat menonjol dibandingkan dengan mendahulukan upaya
hukum lain, padahal delik formil lebih dominan dibandingkan dengan delik materil. UUPPLH lebih
menonjolkan pidana pidana penjara bagi pelanggar hukum administrasi yang justru belum melakukan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Terlalu mengabaikan upaya pembenahan lingkungan
sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh rezim hukum administrasi.

Dalam delik formil ini perbuatan pelaku ini dapat dikategorikan relatif ringan dan juga akibat
perbuatanya belum berdampak besar bagi lingkungan, bahkan dapat saja belum ada dampaknya bagi
lingkungan, oleh karena itu tidak atau belum ada masyarakat yang resah. Sesuai dengan keterbatasan
fungsi hukum pidana sebagaimana diuraikan diawal, maka seharusnya pelanggaran terhadap delik formil
tersebut terlebih dahulu dilakukan tindakan hukum adminstrasi. Pencegahan serta pemulihan
lingkungan dari upaya tercemar dan/atau rusak lebih utama dari sekedar memasukan seseorang ke
penjara. Dipidananya seseorang atas pelanggaran hukum administrasi atau delik formil tidak dapat
mencegah dan memulihkan alam dari tindakan pencemaran dan/atau peusakan lingkungan.

Hukum pidana dalam tindak pidana lingkungan adalah ultimum remedium dan merupakan delik
formil, namun aparat penegak hukum selalu menerapkan fungsi hukum pidana primum remedium
terhadap delik formil.

Dalam Perkara nomor 161/pid.B/2003/PN.BB, perkara ini penuntut umum melampirkan hasil uji
laboratorium yang menyatakan bahwa limbah yang dibuang terdakwa telah melampaui batas baku
mutu lingkungan yang diperkenankan, tanpa adanya bukti kerusakan alam atau korban manusia.

Bila dicermati cara penuntut umum menyusun dakwaanya, ternyata sangat kurang hati-hati dan
tidak cermat atau ceroboh. Hal ini dapat kita baca pada dakwaan yang menyangkut delik materil Pasal
41 dan Pasal 42 pada ketiga perkara yang diajukan ke Pengadilan Negeri Bale Bandung. Penuntut Umum
dalam dakwaanya masih menggunakan kata dapat, padahal untuk delik materil tidak boleh
dipergunakan kata dapat, karena yang dituju dalam delik materil ini adalah akibat dari suatu perbuatan,
bukan perbuatanya itu sendiri. Delik materil memfokuskan pada adanya atau telah terjadinya
pencemaran atau perusakan lingkungan dengan contoh bukti misalnya matinya hewan atau biota air
dan matinya atau lukanya manusia, serta bukti tercemar atau rusaknya lingkungan. Adanya lingkungan
yang tercemar atau rusak serta adanya korban baik manusia atau hewan lain harus terurai dengan jelas
dan dibuktikan melalui pembuktian ilmiah, bahkan sangat ilmiah (untuk tercemar atau telah rusaknya
lingkungan) sifatnya tidak sederhana cara penuntut umum menyusun dakwaan tersebut.

Sementara kata dapat mengandung makna bahwa pencemaran atau kerusakan lingkungan
belum tentu terjadi dan ini merupakan bagian dari delik formil. Karena delik formil tidak membicarakan
akibat dari suatu perbuatan namun hanya membicarakan perbuatanya semata, yaitu berupa melanggar
peraturan perundang-undangan administrasi.

Selain daripada itu penuntut umum tidak menyertakan bukti bagaiman tercemar atau rusaknya
lingkungan, hanya dikatakan dapat mencemari atau merusak lingkungan hidup dan dapat berakibat
matinya boita air serta makhluk hidup termasuk manusia ....... dan seterusnya.

Penyusunan dakwaan terhadap delik materil semacam ini jelas menggambarkan kekurang
pahaman penuntut umum serta hakimnya terhadap eksistensi dari delik materil dalam UUPLH tersebut.
Seharusnya terhadap dakwaan semacam ini majelis harus menyatakan dakwaan obscuur libel atau
kabur.

Demikian pula dalam menyusun dakwaan pada delik formil Pasal 43 (ayat 1,2) dan 44 (ayat 1),
menggunakan kata-kata mengakibatkan terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup
dengan matinya biota air atau habitat makhluk hidup termasuk manusia. Kalimat semacam itu termasuk
kategori delik materil bukan delik formil. Kekacauan dalam penyusunan dakwaan ini berakibat dakwaan
obscuur libel atau kabur dan dapat berimplikasi batalnya atau batal demi hukum dakwaan penuntut
umum tersebut.
Seharusnya ketika penuntut umum mendakwakan dengan delik formil, maka sudah harus
tergambar bahwa sebetulnya telah dilakukan penindakan hukum administrasi namun terdakwa tetap
membandel, hingga perlu dilanjutkan dengan penindakan secara pidana. Maka dakwaan penuntut
umum semacam itu jelas telah melanggar asas subsidaritas.

Di Karawang sendiri terdapat satu perkara pidana lingkungan yang langsung dipidanakan yaitu
perkara Nomor : 434 /Pid.B/2011/PN.Krw, yang melanggar Pasal 103 Jo Pasal 116 ayat (1) huruf a dan
subsider melanggar Pasal 104 Jo Pasal 116 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun karena tidak memenuhi unsur maka perkara
ini dipuruskan secara onslag dan saat ini telah upaya hukum kasasi oleh jaksa penuntut umum.
Berdasarkan staf pengawasan dan pengendalian lingkungan BPLHD Karawang, Ade menjelaskan salah
satu hambatan bagi penyelesaian pidana lingkungan adalah yaitu pembuktian lingkungan yang sulit bagi
PPNS sehingga salah satu unsur tidak ada maka terdakwa akan dibebaskan dari tuntutan. Dalam Perkara
Nomor : 434 /Pid.B/2011/PN.Krw melanggar Pasal 103 Jo Pasal116 ayat (1) huruf a yang unsur-unsurnya
sebagai berikut :

1) Dakwaan Primair :

Ad 1 : Unsur setiap orang / terdakwa (PT Karawang Prima Sejahtera Steel) dan diwakili oleh Terdakwa
Wang Dong Bing;

Ad 2 : Unsur yang menghasilkan limbah B3 tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2009, dan terdakwa telah mempunyai ijin pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 maka unsur kedua ini
tidak terpenuhi dan terdakwa yang diwakili oleh Wang Dong Bing haruslah dibebaskan dari dakwaan
primair tersebut.

2) Dakwaan Subsidair :

Didakwa melanggar Pasal 104 Jo Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang
Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang unsurnya :

Ad 1 : setiap orang / PT KPSS

Ad 2 : Unsur melakukan dumping limbah ke media lingkungan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60. Unsur ini pada dasarnya menyatakan bahwa melakukan dumping diperbolehkan asalkan telah
mempunyai ijin dari pihak yang berwenang dan memenuhi ketentuan yang berlaku.

Dari fakta dipersidangan bahwa limbah yang dikelola oleh PT KPSS yang diwakili oleh terdakwa Wang
Dong Bing tidak dikelola dengan semestinya sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1999 jo.
No. 85 tahun 1999 tentang Limbah Bahan Beracun dan berbahaya serta keputusan Bapedal No.
04/Bapedal/09/1995. Bahwa terdakwa PT KPSS mempunyai penampungan limbah akan tetapi
berukuran kecil dan tidak jarang dibuang langsung ke sungai.
Terdakwa telah mengurus ijin tempat penyimpanan sementara dan surat ijin tempat penyimpanan
sementara sudah keluar akan tetapi keluar pada saat proses penyidikan. Terdakwa telah melakukan
clean up namun dilakukan setelah adanya pengawasan dan pembinaan. Dari fakta diatas meskipun
terdakwa telah mempunyai ijin dalam melakuakn dumping akan tetapi tidak menjadi alasan pemaaf dan
pembenar karena dilakukan saat perkara berjalan.

Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya yaitu melanggar Pasal 104 Jo Pasal 116 ayat (1) Undang-undang No 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Namun karena Wang Dong Bing bukan merupakan
wakil sah dari PT KPSS sehingga dinyatakan error in persona dan di denda sebanyak 500.000.000 (lima
ratus juta rupiah).

Dari perkara diatas diketahui bahwa jaksa penuntut umum tidak cermat melihat siapa orang yang benar-
benar merupakan orang yang dapat mempertanggungjawabkan tindakan suatu badan hukum. Wang
Dong Bing bukan merupakan jajaran direksi PT Karawang Prima Sejahtera Steel (KPSS).

Saat perkara ini dikonfirmasikan kepada BPLHD Jawa Barat kepada Kepala Sub Bidang Penataan Hukum
Lingkungan Erina Dalisaputra menjelaskan bahwa perkara ini sudah ditangani sejak 2010, sebelum
masuk ke ranah pidana kasus ini terlebih dahulu diberikan sanksi administrasi namun sanksi ini tidak
dihiraukan oleh pihak KPSS. Selanjutnya kasus ini masuk ke ranah hukum karena adanya pengaduan dari
masyarakat Desa Wanakerta mengalami banyak penyakit yang disebabkan oleh limbah yang mencemari
sungai Kreteg. Yang snagat disayangkan adalah kenapa setelah tidak dihiraukanya sanksi administrasi
oleh KPSS BPLHD Jawa Barat tidak menindak secara lanjut ke ranah hukum namun kasus masuk ke ranah
hukum setelah masyarakat terkena penyakit dari limbah tersebut, sehingga berkesan bahwa BPLHD
Jawa Barat terlalu fleksibel dalam menegakan sanksi kepada PT KPSS.

2. Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Lingkungan

Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan
kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Untuk membuktikan tindak pidana lingkungan hidup, maka harus memenuhi unsur unsur yang
terkadung dalam Pasal 97, 98 UUPLH no 32 tahun 2009 yaitu sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, air laut, atau kriteria baku mutu
kerusakan lingkungan hidup dan bahaya keselamatan manusia dan akibatkan orang luka berat atau mati
dapat dipidana dan memperoleh sanksi yang tegas.

Untuk melakukan penyelidikan tindak pidana maupun penyelidikan dalam kejahatan terhadap
lingkungan atau tindak pidana terhadap lingkungan, Undang-undang ini memberikan ruang gerak bagi
Polri sebagai head leader dan PPNS lingkungan hidup untuk melakukan penyidikan untuk ciptakan
penegakan hukum.

Alat bukti yang sah dalam Pasal 96 UU No.32 Tahun 2009 antara lain :
a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa; dan/atau

f. dan alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang – undangan;

Dalam perkara pidana lingkungan yang di Pengadilan Negeri Karawang, perkara nomor
:434/Pid.B/2011/PN.Krw dengan terdakwa PT Karawang Prima Sejahtera Steel (PT KPSS) yang diwakili
oleh Wang Dong Bing secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Dumping limbah
tanpa izin sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 104 jo Pasal 116 ayat (1) huruf a UU Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam dakwaan subsidair.

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa PT Karawang Prima Sejahtera Stell (PT KPSS) dalam hal
ini diwakili oleh Wang Dong Bing dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan, dan pidana denda Rp
1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) subsidair 6 bulan kurungan.

Menjatuhkan pidana tamabahan berupa perbaikan akibat tindak pidana yang dalam
pelaksanaanya dibawah pengawasan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Karawang.

Menyatakan barang bukti berupa :

1) 5 (lima) jerigen air buangan pendingin volume masing-masing 5 liter;

2) 4 (empat) jerigen air rembesan timbunan B3 volume masing-masing 4 liter;

3) Air sungai sebelum industri (up stream) 5 liter;

4) Air sungai sesudah industry (down stream) 5 liter; fly ash & bottom ash sebanyak 3 (tiga)
kantong plastik masing-masing volume 4 Kg;

5) Limbah slag dari produksi industri baja sebanyak 3 kantong plastik masing-masing volume 4 Kg;

Dirampas untuk dimusnahkan :

6) 4 (empat) bundle photo copy surat nomor 503/05/Tamben, tanggal 23 Agustus 2010;

7) 4 (empat) lembar photo copy surat perjanjian kerjasama pemanfaatan limbah B3, No.
01/KPSS/VIII/2010 bulan Agustus 2010 tentang permohonan surat keterangan TPS;

8) 1 (satu) bundel photo copy sertifikat pengolahan limbah;

9) 3 (tiga) lembar photo copy Keputusan Bupati Karawang No. 503/Kep.105-NPLH/2010;


10) 2 (dua) lembar photo copy report of analisis;

11) 1 (satu) bundel photo copy sertifikat hasil uji udara bebas PT. KPSS;

12) 1 (satu) bundel photo copy sertifikat hasil uji limbah cair PT. KPSS;

13) 1 (satu) bundel photo copy surat keterangan No. 141/59/Ds;

14) 1 (satu) bundel photo copy photo penghisap asap PT. KPSS.

Dalam wawancara dengan Kasubid pengendalian BPLHD Karwang Ade Imam Asy’ari menjelaskan
bahwa salah satu yang menyulitkan adalah pembuktian dalam hukum acara pidana lingkungan hidup,
pembuktianya sangat rumit dan mengharuskan adanya SDM yang ahli dalam membuktikan bahwa
korporasi tersebut bersalah. Serta apabila salah satu unsur pidanaya tidak terpenuhi maka akan
membebaskan terdakwa padahal keslahan yang dilakukan dapat mempengaruhi masyarakat.

C. Penyelesaian Sengketa Hukum Pidana Lingkungan

1. Hukum Acara Pidana Lingkungan

Hukum acara yang digunakan dalam peradilan tindak pidana lingkungan tidak beda dengan
peradilan pidana pada umumnya, namun yang membedakan adalah esensi yang harus dimengerti oleh
penegak hukum yang sampai saat ini belum bisa dipahami oleh para penegak hukum lingkungan di
Indonesia.

UUPPLH sebagai sumber formal utama hukum lingkungan di Indonesia selain memuat
ketentuan-ketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang terkandung dalam undang-
undang sebelumnya yaitu UULH 1982 dan UULH 1997 telah juga memuat norma-norma dan instrumen-
instrumen hukum hukum baru. Beberapa norma hukum baru yang penting adalah tentang perlindungan
hukum atas tiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, kewenangan Pejabat Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penciptaan delik-delik materil baru. Dalam tulisan ini beberapa norma
hukum baru yang akan diuraikan.

Pertama, UUPPLH telah secara tegas mengadopsi asas-asas yang terkandung dalam Delarasi Rio
1992, yaitu asas-asas tanggungjawab negara, keterpaduan, kehati-hatian, keadilan, pencemar
membayar, partisipatif dan kearifan lokal. Pengadopsian ini merupakan politik hukum yang penting
karena dapat memperkuat kepentingan pengelolaan lingkungan hidup manakala berhadapan dengan
kepentingan ekonomi jangka pendek. Hakim dalam mengadili sebuah perkara dapat menggunakan asas-
asas itu untuk memberikan perhatian atas kepentingan pengelolaan lingkungan hidup yang mungkin
tidak diperhatikan oleh pelaku usaha ataupun pejabat pemerintah yang berwenang.

Kedua, UUPPLH, khususnya dengan Pasal 66 UUPPLH sangat maju dalam memberikan
perlindungan hukum kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan
tuntutan pidana dan perdata. Perlindungan hukum ini sangat penting karena pada masa lalu telah ada
kasus-kasus di mana para aktivis lingkungan hidup yang melaporkan dugaan terjadinya pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup telah digugat secara perdata atau dituntut secara pidana atas dasar
pencemaran nama baik perusahaan-perusahaan yang diduga telah menimbulkan pencemaran atau
perusakan lingkungan hidup. Di dalam sistem hukum Amerika Serikat dan Phillipina, jaminan
perlindungan hukum seperti ini disebut dengan Anti SLAPP (strategic legal action against public
participation), yaitu gugatan yang dilakukan oleh perusahaan yang diduga telah mencemari atau
merusak lingkungan hidup kemudian menggugat si pelapor atau pemberi informasi atau whistle blower
dugaan terjadinya masalah-masalah lingkungan dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut dan
kerugian materil terhadap pelapor atau pemberi informasi maupun terhadap pihak-pihak lain di masa
datang.

Gugatan SLAPP dapat mematikan keberanian anggota-anggota masyarakat untuk bersikap kritis
dan menyampaikan laporan atau informasi tentang dugaan atau telah terjadinya masalah-masalah
lingkungan hidup oleh sektor-sektor usaha sehingga pada akhirnya dapat menggagalkan pengelolaan
lingkungan hidup yang melibatkan peran aktif masyarakat madani (civil socitey). Para hakim di Indonesia
penting sekali untuk memahami kehadiran dan kegunaan Pasal 66 UUPPLH

Ketiga, UUPPLH telah menimbulkan perubahan dalam bidang kewenangan penyidikan dalam
perkara-perkara lingkungan. Berdasarkan Pasal6 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (seterusnya disingkat dengan Polri)
dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (seterusnya disingkat dengan PPNS) tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang. UUPPLH merupakan salah satu undang-undang sebagaimana dimaksud
Pasal 6 ayat (1) yang menjadi dasar bagi keberadaan PPNS sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
Kewenangan Polri selain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP, antara lain, melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan surat dan
wewenang koordinasi atas pelaksanaan tugas PPNS (Pasal 7 ayat (2), Polri sebagai institusi yang
berwenang menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (Pasal8 ayat (2).

Dengan demikian, berdasarkan sistem KUHAP, PPNS tidak berwenang menyerahkan berkas hasil
penyidikan secara langsung kepada penuntut umum, tetapi harus melewati Polri. UUPPLH telah
mengubah ketentuan yang selama ini memberikan kewenangan kepada Polri sebagai institusi satu-
satunya yang dapat menyerahkan berkas hasil penyidikan kepada penuntut umum sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal8 ayat (2) KUHAP. Dengan diundangkannya UUPPLH telah menimbulkan
perubahan.

Perubahan ini terjadi melalui Pasal 94 ayat (6) UUPPLH yang menyatakan: ”hasil penyidikan yang
telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.” Dengan
demikian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkungan hidup dapat dan berwenang untuk
menyerahkan berkas hasil penyidikan secara langsung kepada penuntut umum tanpa melalui Polri lagi.
Pemberian kewenangan ini memang masih harus dibuktikan secara empiris pada masa depan apakah
akan membawa perkembangan positif bagi upaya penegakan hukum lingkungan pidana atau tidak
membawa perubahan apapun.

UUPPLH memberikan kewenangan PPNS dalam penyidikan untuk:


a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan
dan dokumen lain;

f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam
perkaratindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

h. menghentikan penyidikan;

i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;

j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan dan/atau tempat lain yang diduga
merupakan tempat dilakukannya tindak pidana;

k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.

Keempat, dalam UUPPLH pendekatan hukum pidana tidak sebagai upaya terakhir – yang lazim
disebut dengan istilah ”ultimum remedium” untuk menghukum perilaku usaha yang menimbulkan
masalah lingkungan hidup. Dalam UULH 1997 sanksi pidana menjadi upaya terakhir setelah penegakan
hukum administrasi negara tidak efektif. Dalam UUPPLH, ”ultimum remedium” hanya berlaku untuk satu
Pasalsaja, yaitu Pasal 100 UUPPLH yang menyatakan:

(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3000.000.000,
00.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi
administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.”

Dari rumusan Pasal 100 ayat (2) jelas dapat dipahami bahwa sanksi pidana yang tercantum dalam Pasal
100 ayat (1) baru dapat dikenakan jika saknis administratif tidak efektif atau pelanggaran dilakukan
berulang. Hal ini berarti sanksi pidana berfungsi sebagai upaya terakhir.
Kelima, UUPPLH telah secara tegas meletakkan pertanggungjawaban pidana kepada pimpinan
badan usaha yang telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Dalam UULH 1997
tidak disebut secara tegas pimpinan atau pengurus badan usaha dapat dikenai pertanggungjawab
pidana. UULH 1997 hanya menggunakan istilah “yang memberi perintah” atau “yang bertindak sebagai
pemimpin” dalam tindak pidana. Dalam UUPPLH 2009 pertanggungjawaban pidana pimpinan badan
usaha dirumuskan dalam Pasal 116 hingga Pasal 119. Namun, UUPPLH tetap mengadopsi
pertanggungjawab badan usaha (corporate liability). Pasal116 UUPPLH memuat kriteria bagi lahirnya
pertanggungjawaban badan usaha dan siapa-siapa yang harus bertanggungjawab.

Jika ditilik rumusan Pasal 116 UUPPLH, pertanggungjawaban badan usaha timbul dalam salah
satu kondisi berikut yaitu (1) tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha, atau atas
nama badan usaha atau (2) oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak dapat bekerja tanpa
digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik tetaplah manusia, yaitu orang atas nama badan usaha atau
orang yang berdasarkan perjanjian kerja, misalkan seorang karyawan atau hubungan lain, misalkan
perjanjian pemborongan kerja.

Hal penting berikutnya adalah menentukan siapakah yang harus bertanggungjawab jika sebuah
tindak pidana lingkungan hidup dinyatakan telah dilakukan oleh badan usaha atau korporasi. Pasal 116
ayat (1) menyebutkan ”tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: (a) badan usaha dan/ atau
(b) orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak
sebagai pemimpin dalam tindak pidana tersebut.” Selain itu, konsep pertanggungjawaban juga harus
dipedomani ketentuan Pasal 118 UUPPLH yang menyatakan:

“Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana
dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di
luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional”.

Dengan demikian, dari rumusan Pasal 116 dan Pasal 118 UUPPLH dapat diketahui bahwa ada
tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga pihak yaitu:

1. badan usaha itu sendiri;

2. orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana;

3. pengurus.

Pada dasarnya tanpa rumusan Pasal 118 UUPPLH yang menyebutkan ”sanksi dikenakan
terhadap badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar
pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional”, pengurus tetap
juga dapat dikenai pertanggungjawaban atas dasar kriteria ”orang yang memberi perintah atau orang
yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 116 ayat
(1) huruf b. Perbedaannya adalah rumusan Pasal 116 ayat (1) huruf b memang mengharuskan penyidik
dan penutut umum untuk membuktikan bahwa penguruslah yang telah bertindak sebagai orang yang
memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana, sehingga memerlukan
kerja keras penyidik dan penuntut umum untuk membuktikan peran para pengurus dalam tindak pidana
lingkungan.

Sebaliknya, menurut ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf b dikaitkan dengan Pasal 118, pengurus
karena jabatannya secara serta merta atau otomatis memikul pertanggungjawaban pidana, sehingga
lebih memudahkan dalam upaya penuntutan karena tidak membutuhkan pembuktian peran para
pengurus secara spesifik dalam sebuah peristiwa pidana lingkungan. Penjelasan Pasal 118 UUPPLH
memperkuat interpretasi bahwa jika badan usaha melakukan pelanggaran pidana lingkungan, tuntutan
dan hukuman ”dikenakan terhadap pimpinan badan usaha atas dasar pimpinan perusahaan yang
memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan tersebut”. Pengertian “menerima
tindakan tersebut” adalah “menyetujui, membiarkan atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap
tindakan pelaku fisik, atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut.”

Dengan demikian, pengurus perusahaan yang mengetahui dan membiarkan karyawan


perusahaan melepas pembuangan limbah tanpa melalui pengeolahan dianggap melakukan tindak
pidana atas nama badan usaha, sehingga dirinya harus bertanggungjawab.

Rumusan ketentuan dan penjelasan Pasal 118 UUPPLH merupakan sebuah terobosan atau
kemajuan jika ditilik dari segi upaya mendorong para pengurus perusahaan agar secara sungguh-
sungguh melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian dan pemulihan pencemaran atau perusakan
lingkungan manakala memimpin sebuah badan usaha. Rumusan Ketentuan Pasal 118 UUPPLH mirip
dengan vicarious liability dalam system hukum Anglo Saxon.

Keenam, UUPPLH juga memuat delik materil yang diberlakukan kepada pejabat pemerintah
yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan. pemberlakukan delik materil ini dapat dipandang
sebagai sebuah kebijakan pemidanaan yang maju dalam rangka mendorong para pejabat pemerintah
untuk sungguh-sungguh melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup. Delik materil tersebut
dirumuskan dalam Pasal 112 UUPPLH yaitu:

”Setiap pejabat yang berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin
lingkungan , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana
dengan pindan penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima
ratus juta rupiah).”

Hukum lingkungan Indonesia berkembang selain karena perkembangan legislasi seperti melalui
pengundangan UULH 1982, UULH 1997 dan UUPPLH 2009, juga berkembang melalui putusan-putusan
pengadilan. Dua putusan Pengadilan yang dapat dipandang sebagai putusan-putusan penting (landmark
decisions) adalah putusan Pengadilan Negara Jakarta Pusat dalam perkara WALHI melawan PT IIU,
Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan
Gubernur Provinsi Sumatera Utara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan WALHI diajukan pada
masa berlakunya UULH 1982 yang pada dasarnya tidak secara tegas mengakui hak Lembaga Swadaya
Masyarakat untuk mengajukan gugatan penegakan hukum lingkungan, tetapi majelis hakim dalam
perkara tersebut menginterpretasikan hak gugat itu dari konsep peran serta masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup yang memang diakui dalam UULH 1982 (Putusan perkara Walhi lawan PT
IIU No. 820/Pdt/G/1988).

Putusan ini kemudian memberikan inspirasi bagi pembuat undang-undang untuk merumuskan hak
gugat organisasi lingkungan hidup ke dalam undang-undang, yaitu Pasal 38 UULH 1997.

Putusan penting lainnya adalah gugatan oleh Dedi dan kawan-kawan (sebanyak delapan orang termasuk
Dedi) terhadap Presiden RI, Menteri Kehutanan, Perum Perhutani, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan
Pemerintah Kabupaten Garut di Pengadilan negeri Bandung. Para Penggugat dan orang-orang yang
diwakili mereka adalah korban tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora Kabupaten
Garut dan telah menderita kerugian berupa hilangnya harta benda, rusaknya lahan pertanian dan
ladang, meninggalnya sanak saudara dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat.
Majelis hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangnnya (No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28
Agustus 2003), antara lain, mengatakan bahwa negara memiliki tanggungjawab dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Tanggungjawab negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Presiden
Republik Indonesia, tetapi karena Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan
kehutanan sepenuhnya telah menjadi tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah
memberikan kewenangan kepada Perum Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung
Mandalawangi.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai dengan lingkup tugas masing-
masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah - yang berlaku pada waktu terjadinya banjir dan longsor di
Gunung Mandalawangi - juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan kawasan hutan
Mandalawangi karena kawasan hutan itu berada dalam wilayah hukum Provinsi Jawa Barat dan
Kabupaten Garut. Majelis Hakim juga dalam pertimbanggnya mengatakan bahwa telah terjadi
perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi yang dilakukan oleh
Menteri Kehutanan, yaitu dengan mengubah status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya kawasan
hutan lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK Menteri Kehutanan
No. 419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-akibatnya seperti berkurangnya jumlah tegakan pohon dan
kegagalan reboisasi sehingga kawasan hutan Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan resapan air.
Selanjutnya Majelis hakim mengatakan bahwa kerugian lingkungan dan kerugian materiil para
Penggugat yang disebabkan oleh banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi telah faktual sehingga
tidak perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan kausalitas,
yaitu perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi
kawasan hutan produksi yang didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin
dalam SK Menteri Kehutanan No. 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor. Hal yang
menarik adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya merujuk pada prinsip keberhati-hatian
(precautionary principle) yaitu prinsip ke 15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan
masalah tentang ”kurangnya ilmu pengetahuan” yang diperlihatkan dengan keterangan-keterangan
para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan sehingga keterangan mereka tidak dapat
dijadikan alat bukti untuk menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di Gunung
Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam perundang-undangan
Indonesia pada waktu perkara ini diadili, hakim ternyata telah menggunakan prinsip tersebut sebagai
dasar pertimbangan putusan. Pemikiran dan pertimbangan hakim dalam kasus ini tidak terlepas dari
fakta bahwa salah seorang majelis hakim di tingkat pertama yang mengadili pernah mengikuti pelatihan
hukum lingkungan yang antara lain membahas fungsi prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi Rio
sebagai sumber hukum.

Pengetahuannya yang diperoleh selama pelatihan telah memperluas wawasan dan digunakan
dalam praktik hukum. Fakta ini membuktikan pula pentingnya hakim terus menerus meningkatkan
pengetahuan melalui pendidikan gelar maupun non gelar, misalkan pelatihan-pelatihan. Oleh sebab itu,
kebijakan Ketua MA untuk menyelenggarakan program sertifikasi hakim lingkungan sebagaimana
didasarkan pada Keputusan Ketua MA RI No. 134/KMA/SKIX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan
Hidup merupakan sebuah kebijakan yang tepat karena melalui program ini kapasitas hakim dalam
menangani perkara lingkungan dapat terus ditingkatkan.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan dalam pembahasan dimuka, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Faktor penyebab terjadinya tindak pidana lingkungan telah jelas diatur dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu dilanggarnya delik
materil dan formil. Delik formil terjadi sebelum adanya kerusakan dan/atau pencemaran sehingga
diupayakan sanksi administratif sebagai pencegahan dan pidana sebagai ultimum remedium. Sedangkan
delik materil terjadi saat pencemaran dan/atau kerusakan telah terjadi sehingga langsung diupayakan
pidana dan disini pidana sebagai primum remedium.

2. Hambatan sistem penyelesaian hukum pidana lingkungan berdasarkan Undang-undang Nomor


32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup adalah :

a. Hukum pidana merupakan ultimum remedium sehingga tidak akan berjalan sebelum upaya lain
berjalan diantaranya adalah perdata dan administrasi;

b. Upaya administrasi tidak kalah menyulitkan dilapangan karena terkait dengan SDMnya yang
kurang memadai, di Kabupaten Karawang hanya 5 (lima) PPLH seangkan lebih dari 700 industri yang
harus diawasi.

c. Kendala lain adalah belum diangkatnya PPLH menjadi PPNS sehingga kendala formalitas
menyulitkan mereka dalam melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum administrasi yang
menyokong hukum pidana lingkungan.

3. Penyelesain hukum pidana lingkungan selama ini di jalankan sesuai ketentuan Hukum acara
pidana. Yang sangat menyulitkan bagi hukum acara pidana lingkungan adalah pembuktian yang dirasakn
oleh PPLH yang harus membuktikan terjadinya tindak pidana lingkungan.

B. Saran

1. Faktor tindak pidana lingkungan dapat diminimalisir dengan adanya sumber daya yang handal
dan dapat mengemban amanah agar dapat menjalankan perlindungan lingkungan secara maksimal
sehingga tidak terjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam penegakan Hukum lingkungan dalam
instrumen apapun.

2. Hambatan akan terus terjadi apabila tidak ada penempatan SDM yang tepat serta SDM yang
bersih dari KKN, karena pidana yag dijadikan upaya terakhir serta disokong oleh administrasi jika
dministrasi terhambat oleh adanya KKN maka sudah dipastikan pidana tidak akan berjalan sama sekali.
Serta perbanyak pengawas lingkungan dan segera di angkat menjadi PPNS sangat perlu karena personil
pengawas lingkungan sangat minim secara implementasi.

3. Memberikan satu pendidikan bagi penegak hukum pidana lingkungan agar mereka mengerti
esensi perbedaan delik materil dan formil dalam tindak pidana lingkungan dirasa sangat diperlukan serta
memberikan pendidikan bagi orang-orang yang bekerja dalam ranah lingkungan karena dalam
implementasi belum semua tahu tentang esensi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Anda mungkin juga menyukai