Anda di halaman 1dari 35

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

RUMUSAN MASALAH:
1. Bagaimana sejarah pembangunan berkelnjutan?
2. Bagaimana prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan?
3. Bagaimana masalah pembangunan berkelanjutan?
4. Bagaimana pembangunan berkelanjutan bagi negara berkembang?

SEJARAH PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN


Membahas ilmu lingkungan tidaklah lengkap tanpa membahas pembangunan berkelanjutan
atau sustainable development. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan menjadi bab yang
tidak terpisahkan dari ilmu lingkungan.
Di Eropa, ide pembangunan berkelanjutan pertama kali dikembangkan di bidang
kehutanan. Pada awal abad ke-13, beberapa ketentuan mengenai kesinambungan penggunaan
kayu (Hukum Kehutanan Nuremberg dari 1294). Tahun 1713, masalah mengenai penebangan
bersih (clear cut) tanpa memperhatikan penanaman kembali didiskusikan oleh Carlowitz,
seorang bangsawan dari Saxony dalam tulisannya yang berjudul Sylvicultura Oeconomica
Instruksi untuk Penanaman Alamiah dari Pohon Liar.
Carlowitz menyatakan bahwa manusia harus selalu meneliti aturan-aturan alam secara
terus menerus. Carlowitz menyarankan dalam bukunya beberapa hal pada konstruksi rumah
seperti peningkatan isolasi melawan panas dan dingin. Ia meminta penggunaan tungku
pelebur dan kompor hemat energi, serta penghijauan terjadwal dengan penanaman dan
penebangan. Kemudian, ia meminta surrogate atau penggantian fungsi dari kayu.
Berdasarkan ide-ide ini, George Ludwig Hartig memublikasikan sebuah tulisan pada
tahun 1795 yang berjudul, Instructions for the Taxation and Characterization of Forests,
untuk penggunaan kayu seminimal mungkin dengan mempertimbangkan kebutuhan generasi
yang akan datang. Ide besar mengenai pembangunan berkelanjutan lahir pada saat itu. Akan
tetapi, tujuannya masih sempit baru sebatas kepada aspek ekonomi dan sosial alamiah.
Prinsip-prinsip awal mengenai pembangunan berkelanjutan baru terfokus pada bidang
kehutanan dan belum pada bidang lainnya.
Gema protes para pencinta lingkungan (environmentalist) mulai membesar ketika
Rachel Carson (1962), dalam karya fenomenalnya, Silent Spring, menuturkan visi
futuristiknya tentang ancaman pencemaran dan bahaya nuklir bagi keselamatan penghuni
bumi. Carson memprediksi bahwa suatu saat kelak di masa depan bakal terjadi musim yang
sunyi-sepi tanpa kicauan burung dan rona bunga warna-warni. Analisis Carson tampaknya
sangat menggugah kepedulian umat manusia terhadap keselamatan bumi dari malapetaka dan
kehancuran, karena bertambah parahnya kerusakan lingkungan oleh ulah manusia yang tidak
terkendali. Selain itu, analisisnya menjadi kenyataan pada saat sekarang, yakni penggunaan
bahan-bahan tidak ramah lingkungan menyebabkan banyak makhluk hidup yang terancam
kehidupannya.
Karya tersebut menghentak kesadaran manusia dan turut mengilhami munculnya
kesadaran akan kelestarian lingkungan hidup di kalangan PBB. Oleh karena itu, pada 5 Juni
1972, para pemimpin dunia menghadiri Konferensi PBB mengenai lingkungan hidup di
Stockholm, Swedia dan ikut menandatangani kesepakatan untuk memperhatikan segi-segi
lingkungan dalam pembangunan.
Di sisi lain, terutama di negara berkembang terjadi kebalikannya, masalah lingkungan
timbul bukan karena pembangunan, melainkan justru karena kurangnya pembangunan. Oleh
karena itu, lahirlah konsep eco-development atau pembangunan berwawasan lingkungan.
Eco-development artinya pembangunan diperlukan dan harus dilaksanakan, tetapi
pembangunan itu tak boleh merusak fungsi lingkungan hidup.
Konferensi di Stockholm juga memperkenalkan Only One Earth (Ada Satu Bumi)
untuk semua manusia. Motto itu sekaligus menjadi motto konferensi. Selain itu, Konferensi
Stockholm menetapkan tanggal 5 Juni sebagai hari lingkungan hidup sedunia (World
Environment Day), serta saat itu dilahirkan pula resolusi pembentukan UNEP (United
Nations Environmental Program). Selanjutnya, UNEP merupakan motor pelaksana komitmen
mengenai lingkungan hidup dan telah melahirkan gagasan besar pembangunan berkelanjutan
(sustainable development).
Konferensi PBB di Stockholm tentang Lingkungan Hidup manusia yang menghasilkan
deklarasi dan pembentukan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 1972
telah memengaruhi penyusunan GBHN 1973. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang
GBHN terutama Bab III butir 10 merupakan kebijakan awal lingkungan hidup dalam
pelaksanaan pembangunan agar sumber-sumber alam Indonesia diusahakan secara rasional.
Hal ini mengisyaratkan penggalian sumber kekayaan alam harus diusahakan dengan
kebijaksanaan yang menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi mendatang.
Kebijakan dalam GBHN itu memaksa pemerintah untuk membentuk lembaga pemerintah
yang menangani lingkungan dan membantu presiden dalam merumuskan langkah konkret di
bidang lingkungan hidup. Lembaga tersebut adalah Kantor Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH).
Setelah 10 tahun konferensi Stockholm berselang, PBB kembali menggelar konferensi
tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya. Pertemuan ini merupakan
pertemuan wakil-wakil pemerintah dalam Government Council UNER. Pertemuan tersebut
mengusulkan pembentukan suatu komisi yang bertujuan melakukan kajian tentang arah
pembangunan di dunia. Usul yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di Nairobi ini
dibawa ke sidang umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED (World Comission
on Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland. Komisi inilah
yang melakukan pertemuan di berbagai tempat di belahan dunia, serta berdialog dengan
berbagai kalangan termasuk non-government organization (NGO/LSM). Komisi ini pula
yang menghasilkan dokumen "Our Common Future" pada tahun 1987, yang memuat analisis
dan saran bagi proses pembangunan berkelanjutan. Dalam dokumen tersebut diperkenalkan
suatu konsep baru yang disebut suatu konsep pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan pertama kali didefinisikan tahun 1987 oleh Komisi Dunia
pada Lingkunan dan Pembangunan, diketuai oleh Gro Harlem Bruntland, yang merupakan
perdana menteri Norwegia pada saat itu. Inti dari the Brundtland Report adalah
menambahkan aspek ekonomi pada aspek ekologi dan sosial.
Pada laporan akhir dari komisi itu, Masa Depan Kita Bersama atau Brundtland-
Report, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu pembangunan yang sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan saat ini tanpa mengompromikan kemampuan generasi yang
akan datang menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan mereka. Ini berarti pembangunan saat ini
harus selalu memperhatikan kebutuhan generasi di masa mendatang. Sumber daya tidak
boleh dihabiskan oleh generasi masa kini dan tidak boleh mewariskan lingkungan hidup yang
rusak. Misalnya, merusak hutan mengakibatkan banjir di musim hujan dan kekurangan air di
musim kemarau serta laju erosi tanah yang tinggi yang menurunkan kesuburan tanah. Contoh
ini menunjukkan bahwa pembangunan yang menyebabkan kerusakan hutan akan mengurangi
bahkan meniadakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Dengan kata lain, pembangunan adalah aktivitas penting untuk pemenuhan kebutuhan
manusia dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Namun pada prosesnya,
pembangunan harus berlandaskan pada efisiensi dan efektivitas agar penggunaan sumber
daya dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya untuk kepentingan generasi sekarang bahkan
sampai generasi mendatang.
Kegiatan penting lainnya setelah Konferensi PBB di Stockholm tentang Lingkungan
Hidup 1972 adalah Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) atau
Konvensi PBB mengenai perdagangan internasional jenis-jenis flora dan fauna terancam
punah. CITES merupakan tanggapan terhadap tindak lanjut dari rekomendasi Konferensi
Stockholm Nomor 99.3. CITES ditetapkan pada suatu konferensi diplomatik di Washington,
D.C. pada 3 Maret 1973 dan mulai diterapkan pada 1 Juli 1975. Misi dan tujuan CITES
adalah untuk menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam melalui
sistem pengendalian jenis-jenis tumbuhan dan satwa, serta produk-produknya secara
internasional.
Awal tahun 1980-an, keberadaan hutan tropis mulai diagendakan dalam dialog global.
Suatu proses negosiasi yang panjang telah berlangsung di bawah naungan UNCTAD (United
Nations Conference on Trade and Development) menghasilkan International Tropical Timber
Agreement (ITTA) atau Perjanjian Kayu Tropis Internasional. ITTA merupakan perjanjian
multilateral tentang komoditas yang diadopsi pada 18 November 1983 di Geneva dan mulai
diberlakukan pada 1 April 1985. ITTA melandasi pembentukan Organisasi Internasional
Kayu Tropis (International Tropical Timber OrganizationITTO) pada 1986. Saat ini, ITTO
beranggotakan 58 negara, yang terdiri atas 33 negara produsen dan 25 negara konsumen.
Indonesia termasuk tiga negara dengan vote terbesar (146) bersama Brazil (159) dan
Malaysia (103). Besarnya vote ini, antara lain ditentukan oleh luas hutan dan volume ekspor
negara anggota.
Fokus kegiatan ITTO adalah pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest
ManagementSFM). ITTO merupakan forum dialog multilateral untuk menciptakan
harmonisasi kebijakan dan panduan guna melestarikan persediaan kayu tropis di pasaran
internasional, melalui pelestarian sumber daya hutan tropis. Kegiatan ITTO selama periode
2002-2006 difokuskan pada enam sasaran sebagaimana tercantum dalam ITTO Yokohama
Action Plan, yaitu:
1. Meningkatkan transparansi pasar kayu internasional;
2. Promosi kayu tropis dari hutan yang dikelola secara lestari;
3. Mendukung kegiatan untuk pengamanan sumber kayu tropis;
4. Meningkatkan pengelolaan hutan berkelanjutan;
5. Meningkatkan pengelolaan kayu tropis dari sumber yang lestari; dan
6. Meningkatkan efisiensi industri pengolahan dan pemanfaatan kayu tropis secara
lestari
ITTO telah menerbitkan sejumlah panduan (policy documents) untuk meningkatkan
pengelolaan hutan tropis dan konservasi hutan, serta memberikan kegiatan kepada negara
anggotanya untuk menerapkan panduan tersebut dalam bentuk bantuan proyek. Dana
pelaksanaan proyek berasal dari negara-negara konsumen.
Pentingnya keberadaan organisasi ini tercermin dari adanya proses perpanjangan ITTA
1983 menjadi ITTA 1994. Selanjutnya, ITTA 1994 yang masa berlakunya akan berakhir pada
31 Desember 1996, kini sedang dalam tahap perundingan untuk diperbarui. Proses
perpanjangan ITTA 1994 telah dilakukan melalui beberapa pertemuan pendahuluan, dimulai
dari Sidang Preparatory Committee atau PrepCom I (Panama, Mei 2003), Sidang PrepCom
11 (Yokohama, November 2003), dan Pertemuan Friends of the Chair on the Negotiations of
a Successor Agreement to the ITTA, 1994 (Interlaken, April 2004). Pertemuan Interlaken
diharapkan dapat memuluskan proses perundingan berikutnya.
Hasil Pertemuan Interlaken mengindikasikan adanya tiga masalah utama yang menjadi
perdebatan dalam proses perundingan, yaitu Sidang UNCTAD for the Negotiation of a
Successor Agreement to the ITTA, 1994 (Geneva, Juli 2004). Ketiga masalah tersebut adalah
(1) ruang lingkup ITTO; (2) struktur organisasi; dan (3) masalah keuangan. Banyak negara
anggota, khususnya kelompok konsumen yang menghendaki agar ruang lingkup ITTO
diperluas. Kelompok konsumen menghendaki agar ITTO tidak hanya menangani kayo tropis,
tetapi mencakup pula produk-produk nonkayu hutan tropis serta jasa lingkungan. Dalam
struktur organisasi, masalah yang akan menjadi perdebatan adalah pembentukan dewan
eksekutif, yang disinyalir dapat mengurangi transparansi pengambilan keputusan (dapat
berarti mengambil alih tugas Dewan ITTO). Sementara dalam hal keuangan, menyangkut
penetapan mekanisme kontribusi sukarela yang akan menjadi perdebatan di antara kelompok
produsen dan konsumen. Kondisi keuangan ITTO yang sangat bergantung pada kontribusi
sukarela, selama ini sebagian besar (90%) berasal dari Jepang, Swiss, dan Amerika Serikat.
Setelah ditetapkannya Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Stockholm tahun 1972, pada
3-14 Juni 1992 Program Lingkungan Hidup PBB (UNEF) menyelenggarakan KTT Bumi
(Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil yang diikuti ribuan peserta termasuk sekitar 100
kepala negara, dengan semboyan Care and Share (peduli dan berbagi). Konferensi itu
berakhir dengan ditandatanganinya Piagam Bumi (Earth Charter) oleh lebih dari 100 kepala
negara.
Agenda utama Peringatan KTT Rio de Janeiro adalah refleksi dan peninjauan kembali
atas pelaksanaan Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan yang disepakati negara-
negara peserta pada KTT tersebut. Selain itu, yang menjadi fokus sorotan adalah sejauh mana
keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di masing-masing
negara dan di tingkat global setelah KTT di Rio de Janeiro.
Dengan adanya KTT Rio de Janeiro, masyarakat dunia diharapkan semakin menyadari
pentingnya lingkungan hidup yang memiliki nilai strategis, baik bagi negara maju maupun
negara berkembang. Oleh karena manusia hanya memiliki satu bumi, maka semua
berkepentingan dan bertanggung jawab atas keselamatan bumi. Artinya, lingkungan sudah
menjadi masalah global, bukan lagi persoalan negara sedang berkembang saja atau negara
maju saja, serta bukan negara utara saja, melainkan semua negara baik di utara, selatan,
timur, atau barat.
KTT di Rio de Janeiro menekankan kemitraan bersama untuk menyelamatkan
lingkungan dan memecahkan masalah bersama. Semboyan yang terkenal ketika itu yaitu
Think Globally, Act Locally. Semboyan tersebut mengandung maksud bahwa perlu berpikir
global mengenai keberadaan lingkungan dan bumi, namun untuk mencegah kerusakan bumi
dilakukan di masing-masing negara atau daerah. Setidaknya ada empat masalah lingkungan
global dalam, KTT Rio de Janeiro, yakni prinsip dasar pembangunan berkelanjutan, transfer
teknologi, dana tambahan pengelolaan lingkungan global, dan kelembagaan.
Meskipun demikian, paradigma pembangunan berkelanjutan yang disepakati di Rio de
Janeiro ternyata belum konsisten dilaksanakan, serta masih ada beberapa kendala dalam
upaya pemecahan masalah lingkungan global tersebut. Dari segi prinsip pembangunan
berkelanjutan, negara maju menginginkan Earth Charter hanya memuat prinsip dasar
pembangunan berkelanjutan secara umum dan setingkat. Namun, negara sedang berkembang
menghendaki membuat komitmen politis konkret tentang masalah lingkungan dan
pembangunan.
Alasan atau kehendak negara berkembang ini masuk akal sebab hutan-hutan di negara-
negara berkembang akan dijadikan "warisan alam" untuk dipakai sebagai paru-paru dunia.
Bagi negara berkembang, membiarkan hutan berarti mengurangi kesempatan mereka untuk
menambah pendapatan negara, mengelola aset-aset yang ada di negaranya, serta melanggar
hak untuk membangun dan mengentaskan kemiskinan. Selain itu, ada beban psikis dan
finansial di dalamnya. Hal itu menjadi masalah, karena dalam pertemuan di New York,
negara maju hanya bersedia menyiapkan dana 20% dari 625 miliar dolar Amerika Serikat
untuk program dana pemeliharaan lingkungan global per tahun. Dana tersebut tentu jauh dari
cukup buat negara berkembang sebagai modal pembangunan dan sebagai kompensasi
membiarkan hutan.
Oleh karena belum ada titik temu, negara maju dengan segala cara baik itu media,
organisasi, bantuan luar negeri, dan sebagainya selalu mengkaitkan isu lingkungan untuk
menekan negara berkembang. Negara maju tidak memosisikan diri menjadi mitra namun
sebagai majikan yang menekan negara berkembang untuk mematuhi isu lingkungan, apabila
negara berkembang bandel, maka sanksi siap menghadang. Hal tersebut sama seperti
strategi Stick and Carrot milik Amerika.
Negara maju seolah-olah lupa bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi sekarang baik
pemanasan global, perubahan iklim, menipisnya lapisan ozon, tumpahan minyak di laut
lepas, sampah radioaktif, dan sebagainya adalah dampak pembangunan yang dilakukan oleh
negara maju. Prinsip "polluter pay principle" tidak berlaku, dalam hal ini.
Indonesia sebagai salah satu pemilik hutan warisan di daerah katulistiwa dan sebagai
paru-paru dunia sekaligus merupakan salah satu dari empat negara yang punya flora dan
fauna terbesar di dunia, di samping Brasil, Kolumbia, dan Meksiko, perlu berpartisipasi aktif
terhadap permasalahan di atas. Kemitraan dengan ketiga negara lainnya dapat memberikan
kontribusi besar terhadap perbaikan lingkungan di masa depan.
Perlu menjadi catatan bahwa Indonesia memiliki persoalan serius dalam kaitan dengan
penggunaan sumber daya alam yang berlebihan dan besarnya utang luar negeri. Eksploitasi
sumber daya alam diandalkan untuk membiayai pembangunan, bunga pinjaman, dan utang
luar negeri. Hal ini berakibat sumber daya alam akan terkuras habis hanya untuk membayar
utang luar negeri.
Untuk itu, Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya perlu mendesak
negara-negara maju agar segera dilakukan sebuah komitmen baru menyangkut penghapusan
utang luar negeri negara-negara berkembang. Klausul ini penting untuk meminimalisir
eksploitasi hutan secara tidak terkendali oleh negara-negara sedang berkembang. Perlu
diingat, eksploitasi hutan yang terjadi di negara-negara sedang berkembang pun dilakukan
pula oleh perusahaan-perusahaan multinasional milik negara-negara maju. Negara-negara
maju tidak bisa begitu saja cuci tangan dan menuding negara-negara berkembang sebagai
pelaku tunggal perusakan lingkungan, misalnya perusahaan perkebunan kelapa sawit seperti
London Sumatera, yang dituduh telah merusak hutan Indonesia ternyata sebagian sahamnya
dimiliki oleh perusahaan Inggris.
Kembali pada tema sebelumnya yaitu KTT Bumi, pada konferensi tersebut pemimpin
dunia meratifikasikan lima instrumen mayor, yaitu Deklarasi Rio, Agenda 21, Konvensi
Kerangka Perubahan Iklim, Konvensi Keanekaragaman Hayati, dan Pernyataan Prinsip-
Prinsip Kehutanan. Semua dokumen sudah disepakati sebelum Rio, kecuali Agenda 21.
Hasil-hasil dari KTT Bumi adalah sebagai berikut.
1. Deklarasi Rio
Satu rangkaian dari 27 prinsip universal yang bisa membantu mengarahkan tanggung
jawab dasar gerakan internasional terhadap lingkungan dan ekonomi.
2. Konvensi Perubahan Iklim (FCCC)
Kesepakatan hukum yang telah mengikat telah ditandatangani oleh 152 pemerintah pada
saat komperensi berlangsung. Tujuan pokok konvensi adalah stabilisasi konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfir pada skala yang dapat mencegah terjadinya intervensi yang
membahayakan oleh manusia terhadap sistem iklim.
3. Konvensi Keanekaragaman Hayati
Kesepakatan hukum yang mengikat telah ditandatangani sejauh ini oleh 168 negara.
Konvensi ini menguraikan langkah-langkah ke depan dalam pelestarian keragaman
hayati dan pemanfaatan berkelanjutan komponen-komponennya, serta pembagian
keuntungan yang adil dan pantas dari penggunaan sumber daya genetik.
4. Pernyataan Prinsip-Prinsip Kehutanan
Prinsip-prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang
kehutanan. Hal ini dirancang untuk menjaga, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya
hutan global secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip ini seharusnya mewakili konsesi
pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.
5. Komisi Pembangunan Berkelanjutan Commission on Sustainable Development
(CSD)
Komisi ini di bentuk pada bulan Desember 1992. Tujuan CSD adalah untuk memastikan
efektivitas tindak lanjut KTT Bumi. Selain itu, komisi ini mengawasi serta melaporkan
pelaksanaan kesepakatan Konferensi Bumi baik di tingkat lokal, nasional, maupun
internasional. CSD adalah Komisi Funsional Dewan Ekonomi dan Sosial PBB
(Economic and Social CouncilECOSOC) yang beranggotakan 53 negara. Selain itu,
telah disepakati bahwa tinjauan lima tahunan Majelis Umum PBB tentang Konferensi
Bumi dan Agenda 21 harus dibuat pada bulan juni 1997, dalam sidang istimewa Earth
Summit +5 atau Rio +5 di New York.
Salah satu hasil KTT Bumi lainnya adalah Agenda 21, yang merupakan sebuah
program luas mengenai gerakan yang mengupayakan cara-cara baru dalam berinvestasi di
masa depan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan global di abad 21. Rekomendasi-
rekomendasi Agenda 21 ini meliputi cara-cara baru dalam mendidik, memelihara sumber
daya alam, dan berpartisipasi untuk merancang sebuah ekonomi yang berkelanjutan. Tujuan
keseluruhan Agenda 21 ini adalah untuk menciptakan keselamatan, keamanan, dan hidup
yang bermartabat.
Pokok-pokok cakupan Agenda 21 yang merupakan program aksi pembangunan
berkelanjutan adalah sebagai berikut.
1. Dimensi sosial dan ekonomi (social and economic dimension) yang meliputi:
a. Kerjasama internasional untuk mempercepat pembangunan berkelanjutan negara
berkembang serta kebijakan domestiknya;
b. Memerangi kemiskinan;
c. Mengubah pola konsumsi tidak berkelanjutan;
d. Dinamika demografi dan keberlanjutan;
e. Proteksi dan peningkatan kesehatan manusia;
f. Promosi pengembangan pemukiman manusia berkelanjutan;
g. Integrasi lingkungan dan pembangunan dalam pengambilan keputusan.
2. Konservasi dan manajemen sumber daya untuk pengembangan (conservation and
manajement of resources for development) yang meliputi:
a. Proteksi atmosfir;
b. Pendekatan terintegrasi dalam perencanaan dan manajemen sumber daya lahan;
c. Mencegah deforestasi;
d. Pengelolaan ekosistem yang rawan dengan mencegah desertifikasi dan kekeringan;
e. Pengelolaan ekosistem yang rawan dengan pengembangan kawasan pegunungan
berkelanjutan;
f. Mempromosikan pertanian yang berkelanjutan dan pembangunan pedesaan;
g. Konservasi keanekaragaman hayati;
h. Pengelolaan bioteknologi berwawasan lingkungan;
i. Proteksi samudra, keanekaragaman kelautan, termasuk lautan tertutup dan semi
tertutup, proteksi kawasan pesisir, serta proteksi dan penggunaan secara rasional
beserta pengembangan sumber alam hayati;
j. Proteksi kualitas dan persediaan air;
k. Pengelolaan kimia toksik dan bahava;
l. Pengelolaan limbah beracun dengan wawasan lingkungan, termasuk pencegahan,
lalu lintas internasional secara ilegal dalam limbah beracun dan berbahaya;
m. Pengelolaan limbah padat dan limbah cair berwawasan lingkungan;
n. Pengelolaan yang aman dan berwawasan lingkungan dari limbah radioaktif.
3. Memperkuat peran kelompok besar (strengthening the role of major group) yang;
meliputi:
a. Aksi global bagi perempuan untuk mengembangkan pembangunan yang
berkelanjutan dan berkeadilan;
b. Anak dan pemuda dalam pembangunan berkelanjutan;
c. Mengakui dan memberdayakan peranan organisasi non-pemerintah, yakni nntr;i
dalam pembangunan berkelanjutan;
d. Prakarsa otoritas lokal menunjang Agenda 21;
e. Memberdayakan peranan buruh serta serikat buruhnya;
f. Memberdayakan peranan bisnis dan industri;
g. Komunitas ilmuwan dan teknologi;
h. Memberdayakan peranan petani.
4. Sarana implementasi (means of implementation) meliputi:
a. Sumber keuangan dan mekanismenya;
b. Pengalihan teknologi berwawasan lingkungan, kerjasama, serta pengembangan
kapasitas;
c. Ilmu pengetahuan bagi pembangunan berkelanjutan;
d. Mempromosikan pendidikan, kesadaran publik, dan latihan;
e. Mekanisme nasional dan kerjasama internasional untuk mengembangkan kapasitas
dalam negara berkembang;
f. Pengaturan kelembagaan internasional, instrumental hukum, dan mekanisme
internasional;
g. Informasi bagi pengambilan keputusan.
Dalam konteks Indonesia, dokumen Agenda 21 nasional diselesaikan akhir tahun 1996.
Dokumen tersebut diselesaikan lewat proyek pembangunan kapasitas setelah konferensi
lingkungan hidup dan pembangunan PBB (UNCED), yang dilakukan oleh Menteri
Lingkungan Hidup dengan dukungan dari Program Pembangunan PBB (UNDP). Terdapat
sebanyak 22 konsultan nasional yang terlibat dalam proyek ini. Proyek ini juga melibatkan
berbagai pihak, antara lain pegawai pemerintah, LSM, akademisi, dan wakil masyarakat
umum. Dokumen berisi rekomendasi untuk pembangunan berkelanjutan sampai tahun 2020
untuk setiap sektor pembangunan, termasuk pelayanan masyarakat dan partisipasi
masyarakat.
Cakupan Agenda 21 nasional yang dikembangkan di Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Pelayanan masyarakat meliputi:
a. Pengentasan kemiskinan;
b. Perubahan pola konsumsi;
c. Dinamika penelitian;
d. Pengelolaan dan peningkatan kesehatan;
e. Pengembangan perumahan dan pemukiman;
f. Instrumen ekonomi serta neraca ekonomi dan lingkungan terpadu.
2. Pengelolaan limbah meliputi:
a. Perlindungan atmosfir;
b. Pengelolaan limbah bahan beracun dan berbahaya;
c. Pengelolaan bahan kimia beracun;
d. Pengelolaan limbah radioaktif;
e. Pengelolaan limbah padat dan cair.
3. Pengelolaan sumber daya tanah meliputi;
a. Penataan sumber daya tanah;
b. Pengelolaan hutan;
c. Pengembangan pertanian;
d. Pengembangan pedesaan;
e. Pengelolaan sumber daya air.
4. Pengelolaan sumber daya alam meliputi;
a. Konservasi keaneka ragaman hayati;
b. Pengembangan bioteknologi;
c. Pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan.
Pada tahun 1992, berbagai negara telah mengadopsi Agenda 21, PBB kembali
mengundang pemerintah berbagai negara, institusi internasional, dan berbagai kelompok
masyarakat lainnya. Pada 13-22 Juni 2012, ribuan acara diadakan menjelang dan selama
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang Pembangunan Berkelanjutan, di Rio de Janeiro,
Brasil, yang selanjutnya lebih dikenal dengan KTT Rio +20, yang merupakan konferensi
PBB terbesar yang pernah diselenggarakan dengan jumlah peserta sebanyak 29.373 orang
yang terdiri atas para pemimpin pemerintah, bisnis, organisasi kemasyarakatan, pejabat PBB,
akademisi, wartawan, dan masyarakat umum, dengan rincian delegasi sekitar 12.000 orang,
LSM dan kelompok utama 10.047 orang, serta media 3.989 orang.
KTT Pembangunan Berkelanjutan atau KTT Rio +20 diikuti oleh 191 negara yang
dihadiri 105 kepala negara dan kepala pemerintahan, serta 487 menteri. Delegasi Indonesia
dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, didampingi oleh
sejumlah menteri. Kehadiran Presiden RI dan sejumlah menteri menunjukkan keseriusan
Indonesia untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan, termasuk kesiapan peran
kepemimpinan Indonesia dalam agenda global.
KTT Rio +20 menyepakati Dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen
memuat pandangan terhadap mass depan yang diharapkan oleh dunia (common vision) dan
penguatan komitmen untuk menuju pembangunan berkelanjutan (renewing political
commitment). Dokumen ini memperkuat penerapan Rio Declaration 1992 dan Johannesburg
Plan of Implementation 2002.
Dalam dokumen The Future We Want, terdapat tiga isu utama bagi pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan, yaitu sebagai berikut.
1. Ekonomi Hijau dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan
(Green Economy in the context of sustainable development and poverty eradication).
2. Pengembangan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat global
(Institutional Framework for Sustainable Development).
3. Kerangka aksi dan instrumen pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Framework for
Action and Means of Implementation). Kerangka aksi tersebut termasuk penyusunan
Sustainable Development Goals (SDGs) post-2015 yang mencakup tiga pilar
pembangunan berkelanjutan secara inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium
Development Goals (MDGs).
Bagi Indonesia, dokumen tersebut akan menjadi rujukan dalam pelaksanaan rencana
pembangunan nasional secara konkret, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2014-2019 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005-
2025). Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup, instansi pemerintah terkait, dan seluruh
pemangku kepentingan telah menyusun langkah tindak lanjut yang lebih konkret untuk
pelaksanaan kebijakan di lingkup masing-masing.
Kebijakan Pemerintah Indonesia pro-growth, pro-poor, pro-job, pro-environment
pada dasarnya telah selaras dengan dokumen The Future We Want. Dalam sesi debat umum,
Presiden RI menekankan bahwa untuk mewujudkan tujuan utama pembangunan
berkelanjutan yaitu pengentasan kemiskinan, diperlukan tidak hanya sekedar pertumbuhan
ekonomi, namun pertumbuhan yang berkelanjutan dengan pemerataan atau Sustainable
Growth with Equity.
Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Balthasar Kambuaya, mengatakan bahwa hasil
KTT Rio +20 barns ditindaklanjuti dengan aksi nyata yang bermanfaat bagi peningkatan taraf
hidup masyarakat (people-centered development). Salah satu keuntungan yang dapat
diperoleh oleh masyarakat dalam waktu dekat ini adalah pengembangan barang dan jasa yang
ramah lingkungan, yang memungkinkan masyarakat untuk melaksanakan pola hidup hijau
(green lifestyle). Barang dan jasa yang ramah lingkungan tersebut diharapkan akan
memperkuat ekonomi domestik dan mendorong pelaku usaha melakukan produksi hijau.
Rio +20 ini menghasilkan lebih dari US$513 miliar yang dialokasikan dalam komitmen
untuk pembangunan berkelanjutan, termasuk di bidang energi, transportasi, ekonomi hijau,
pengurangan bencana, kekeringan, air, hutan, dan pertanian. Selain itu, terbangun sebanyak
719 komitmen sukarela untuk pembangunan berkelanjutan oleh pemerintah, dunia usaha,
kelompok masyarakat sipil, universitas, dan lain-lain.

PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN


Pesatnya pertumbuhan penduduk, beragamnya jenis barang, dan kebutuhan pada akhir
dekade ini telah meningkatkan polusi dan penurunan kualitas lingkungan. Peraturan-
peraturan mengenai lingkungan dianggap hambatan dalam pertumbuhan ekonomi selama
periode ini. Perluasan industri mengakibatkan tumbuhnya ekonomi secara pesat dan
meningkatnya ekspor dan pendapatan masyarakat, sehingga pemusatan limbah industri di
kawasan perkotaan memiliki pengaruh yang series dan menimbulkan potensi bahaya terhadap
kesehatan dan kehidupan penduduk. Kelompok masyarakat menengah atas menjadi semakin
sejahtera namun masyarakat miskin merupakan kelompok yang paling rentan terkena dampak
penyakit sebagai akibat dari lingkungan yang telah rusak.
Desakan penduduk mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian, lahan terbuka, lahan
gambut, dan ekologi lainnya, serta mengancam kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan
masyarakat perkotaan (World Bank, 2003). Oleh karena itu, pembangunan regional, baik
perkotaan maupun pedesaan, tidak lagi dapat didasarkan pada pembangunan ekonomi semata,
akan tetapi harus didasarkan pada pembangunan yang berkelanjutan (Hall dan Ulrich, 2000)
Istilah pembangunan menurut Todaro (1998), pada hakikatnya merupakan cerminan
proses terjadinya perubahan sosial suatu masyarakat, tanpa mengabaikan keragamaan
kebutuhan dasar dan keinginaan individual, kelompok sosial, atau institusi yang ada di
dalamnya untuk mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik. Sementara menurut
Brundtland Report dari PBB (1987), istilah pembangunan berkelanjutan atau sustainable
development adalah proses pembangunan yang mencakup tidak hanya wilayah (lahan, kota)
tetapi juga semua unsur, bisnis, masyarakat, dan sebagainya yang berprinsip memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
Definisi pembangunan berkelanjutan yang sangat terkenal atau bersifat universal
diberikan oleh The World Commission on Environment and Development (WCED) 1987,
dikenal sebagai definisinya Brundtland Commission, yaitu Sustainable development is the
development that meets the needs of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs Menurut WCED (dalam Hadi, 2001:2), terdapat dua
konsep utama dari definisi tersebut, yakni (1) konsep tentang kebutuhan atau needs yang
sangat esensial untuk penduduk miskin dan perlu diprioritaskan dan (2) konsep tentang
keterbatasan atau limitation dari kemampuan lingkungan untuk memenuhi generasi sekarang
dan yang akan datang. Untuk itu, diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap mampu
mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia (Hadi,
2001:2).
Menurut Otto Sumarwoto (dalam Sugandhy dan Hakim, 2007: 21), pembangunan
berkelanjutan didefinisikan sebagai perubahan positif sosial ekonomi yang tidak
mengabaikan sistem ekologi dan sosial yang masyarakat bergantung kepadanya.
Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan, dan proses pembelajaran
sosial yang terpadu, viabilitas politiknya bergantung pada dukungan penuh masyarakat
melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya.
Pearce dan Tunner (1990:42) berpendapat bahwa makna pembangunan berkelanjutan
terletak pada isu tentang bagaimana seharusnya lingkungan alam diperlakukan agar berperan
dalam keberlanjutan ekonomi sebagai suatu sumber daya perbaikan standar hidup.
Pembangunan berkelanjutan menurut Pearce dan Tunner (1990:24) berarti pemanfaatan
sumber daya terbarukan sebanding dengan ketersediaannya secara alami antarwaktu.
Perhitungan atau pertimbangan biaya dan kerusakan lingkungan juga merupakan instrumen
penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Salim (2009) mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan meliputi hal berikut.
1. Keberlanjutan lingkungan, berupa keseimbangan fungsi ekosistem dalam menopang
sistem kehidupan alami yang menghidupi seluruh komponen lingkungan hidup manusia.
2. Keberlanjutan ekonomi, berupa proses ekonomi yang berjalan secara berlanjut (steady),
dengan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan produktivitas yang memperkaya kualitas
kehidupan manusia.
3. Keberlanjutan sosial perilaku, dengan melibatkan peran serta masyarakat madam yang
berdaya diri.
Pembangunan berkelanjutan oleh Salim (2009) digambarkan dalam bentuk matriks di
bawah ini.
Tabel 7.1 Matrik Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan Ekonomi Sosial Ekologi
Ekonomi Kesejahteraan Dampak Dampak
Masyarakat
Sosial Dampak Pekerjaan Penuh/ Dampak
Kemisikinan Nol
Ekologi Dampak Dampak Daya Dukung/ Daya
TampungSistem
Pendukung Kehidupan
Terpelihara

Menurut Emil Salim, untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan dibutuhkan


pendekatan ekosistem dengan melihat interdepedensi dari setiap komponen ekosistem. Agar
keberlanjutan tetap terjaga harus ada komitmen setiap komponen penyangga kehidupan dan
campur tangan pemerintah dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat.
Dunia usaha yang selama ini menjadi pelaku tersangka kerusakan dan pencemaran
lingkungan harus dipahamkan mengenai tanggung jawabnya terhadap lingkungan. Bentuk
tanggung jawabnya dapat diwujudkan dalam bentuk membayar kompensasi jasa lingkungan
yang nantinya dapat digunakan untuk membiayai pemulihan lingkungan yang rusak atau
tercemar. Di negara-negara maju, biaya kompensasi lingkungan jauh-jauh hari sudah
dianggarkan dalam rencara pembiayaan dan pengeluaran perusahaan.
Konsep pembangunan berkelanjutan yang digagas negara-negara dunia ketiga pada
Pertemuan Komite Persiapan Konferensi Tingkat Tinggi mengenai Pembangunan
Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development), yang berlangsung di Bali pada
bulan Mei 2002 adalah terwujudnya pemerintah yang bertanggung jawab dan dipercaya,
transparan, akuntabilitas, membuka partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat (publik), dan
menjalankan penegakan hukum secara lebih tegas dan efektif. Gagasan ini ditindaklanjuti
pada Agenda 21, yakni dibukanya partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dan
mengedepankan hubungan kemitraan serta kepedulian terhadap masalah-masalah
kemiskinan. Dalam hal ini, pemerintah harus membatasi campur tangannya kepada rakyat,
bukan dalam rangka agar kekuasaan ekonomi dialihkan kepada pihak swasta atau bahkan
perusahaan multinasional.
Konsep pembangunan berkelanjutan meluas dari definisi sebelumnya sebagai isu
pelestarian lingkungan menjadi berbagai isu pembangunan yang saling bersifat
komplementer. Dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam World Summit tahun 2005
menyatakan pembangunan berkelanjutan terdiri atas tiga pilar yaitu pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial, dan pelestarian lingkungan yang saling berkaitan dan memperkuat
(interdependent and mutually reinforcing pillars of sustainable development as economic
development, social development, and environmental protection). Ketiga aspek tersebut tidak
bisa dipisahkan satu sama lain, karena ketiganya menimbulkan hubungan sebab-akibat.
Aspek yang satu akan mengakibatkan aspek yang lainnya terpengaruh. Istilah berkelanjutan
menjadi umum pada berbagai isu pembangunan seperti pertanian berkelanjutan, teknologi
berkelanjutan, ekonomi berkelanjutan, politik berkelanjutan, kola berkelanjutan, manajemen
berkelanjutan, produksi berkelanjutan, konsumsi berkelanjutan, dan sebagainya.
Tujuan pembangunan menyangkut tiga hal, yaitu (1) pertumbuhan, produktivitas, dan
efisiensi ekonomi (growth); (2) keadilan sosial, pemerataan dan peluang ekonomi (equity);
dan (3) kelestarian lingkungan (environmental protection). Ketiga tujuan pembangunan
tersebut tidak memiliki prinsip atau rasionalitas yang selalu selaras sehingga sering kali
timbul konflik tujuan dalam pembangunan. Banyak ragam rasionalitas dalam pembangunan
yang mengarahkan pilihan kebijakan pembangunan. Rasionalitas tersebut yaitu rasionalitas
ekonomi, rasionalitas legal, rasionalitas sosial, dan rasionalitas substantif sebagai rasionalitas
yang mempertimbangkan semua bentuk rasionalitas. Rasionalitas ekonomi berdasarkan
prinsip efisiensi dan efektivitas. Rasionalitas sosial berdasarkan nilai sosial seperti keadilan
dan pemerataan. Rasionalitas lingkungan berdasarkan nilai manfaat ekologi. Hal yang efisien
secara ekonomi belum tentu selaras dengan nilai keadilan sosial dan nilai ekologi manfaat.
Sebaliknya, memprioritaskan nilai manfaat ekologi bisa saja menimbulkan konflik dengan
nilai keadilan sosial dan nilai efisiensi ekonomi.
Konsep pembangunan berkelanjutan pada prinsipnya terdiri atas hubungan yang saling
mendukung antara pembangunan ekonomi, sosial, dan pelestarian lingkungan, menghadapi
berbagai konflik tujuan dan kepentingan dalam pengambilan kebijakan pembangunan terlihat
masih menjadi konsep yang samar-samar. Konsep pembangunan berkelanjutan ini lebih
merupakan gagasan normatif daripada gagasan preskriptif. Konsep ini belum memberi
kejelasan tentang bagaimana menyelaraskan konflik tujuan pembangunan yang mungkin
terjadi. Pembangunan memiliki beragam prioritas yang tidak mudah untuk disepakati.
Konsep, pembangunan berkelanjutan sebagai visi pembangunan jangka panjang belum taktis
untuk menjadi konsep yang bisa diterapkan untuk mengambil pembangunan dalam jangka
pendek. Sebagai model pembangunan, konsep pembangunan berkelanjutan masih belum bisa
menjadi pedoman dalam praktik perencanaan.
Idealnya pembangunan berkelanjutan membutuhkan pencapaian, di antaranya sebagai
berikut.
1. Pertama, keberlanjutan ekologis, yakni akan menjamin keberlanjutan eksistensi bumi.
Hal-hal yang perlu diupayakan antara lain:
a. Memelihara dan mempertahankan integrasi tatanan lingkungan, serta
keanekaragaman hayati;
b. Memelihara integrasi tatanan lingkungan agar sistem penunjang kehidupan bumi ini
tetap terjamin;
c. Memelihara keanekaragaman hayati, meliputi aspek keanekaragaman genetika,
keanekaragaman spesies, dan keanekaragaman tatanan lingkungan.
2. Kedua, keberlanjutan ekonomi; dalam perspektif ini pembangunan memiliki dua hal
utama, yakni keberlanjutan ekonomi makro dan ekonomi sektoral. Keberlanjutan
ekonomi makro adalah menjamin ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong efisiensi
ekonomi melalui reformasi struktural dan nasional. Keberlanjutan ekonomi sektoral
untuk mencapainya dapat dilakukan melalui:
a. Sumber daya alam, yang nilai ekonominya dapat dihitung dan diberlakukan sebagai
kapital yang tangible dalam rangka akunting ekonomi;
b. Koreksi terhadap harga barang dan jasa perlu diintroduksikan. Secara prinsip harga
sumber daya alam harus merefleksikan biaya ekstraksi atau pengiriman, ditambah
biaya lingkungan dan biaya pemanfaatan.
3. Ketiga, keberlanjutan sosial budaya, meliputi:
a. Stabilitas penduduk;
b. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia;
c. Mempertahankan keanekaragaman budaya; dan
d. Mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
4. Keempat, keberlanjutan politik dengan tujuan yang akan dicapai adalah
a. Penghargaan pada hak asasi manusia (human right), kebebasan individu, dan sosial
untuk berpartisipasi di bidang ekonomi, sosial dan politik, serta
b. Demokrasi, yakni memastikan proses demokrasi secara transparan dan bertanggung
jawab.
5. Kelima, keberlanjutan pertahanan dan keamanan. Keberlanjutan kemampuan
menghadapi dan mengatasi tantangan ancaman, dan gangguan baik dari dalam maupun
dari luar yang langsung ataupun tidak langsung yang dapat membahayakan integrasi,
identitas, serta kelangsungan bangsa dan negara.
Menurut Surya T. Djajadiningrat, agar proses pembangunan dapat berkelanjutan harus
bertumpu pada beberapa faktor, yakni sebagai berikut.
1. Pertama, kondisi sumber daya alam, agar dapat menopang proses pembangunan secara
berkelanjutan perlu memiliki kemampuan agar dapat berfungsi secara
berkesinambungan. Sumber daya alam tersebut perlu diolah dalam batas kemampuan
pulihnya. Bila batas tersebut terlampaui, maka sumber daya alam tidak dapat
memperbarui dirinya. Oleh karena itu, pemanfaatannya perlu dilakukan secara efesien
dan efektif serta perlu dikembangkan teknologi yang mampu mengganti bahan
substansinya.
2. Kedua, kualitas lingkungan, semakin tinggi kualitas lingkungan maka akan semakin
tinggi pula kualitas sumber daya alam yang mampu menopang pembangunan yang
berkualitas.
3. Ketiga, faktor kependudukan, merupakan unsur yang dapat menjadi beban sekaligus
dapat menjadi unsur yang menimbulkan dinamika dalam proses pembangunan. Oleh
karena itu, faktor kependudukan perlu diubah dari faktor yang menambah beban menjadi
faktor yang dapat menjadi modal pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan berkonsentrasi pada tiga pilar yaitu pembangunan
ekonomi, sosial, dan lingkungan. John Elkington menyatakan konsep tersebut dengan 3P,
yaitu orang (people), planet, dan keuntungan (profits). John Elkington menuangkan konsep
tersebut dalam bukunya Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century
Business yang diterbitkan pada tallun 1997. Ia berpendapat bahwa jika perusahaan ingin
mendukung pembangunan berkelanjutan, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni, bukan
cuma keuntungan yang diburu, melainkan juga harus memberikan kontribusi positif kepada
masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

People

Bearable Equitable

Sustainability

Planet Profit
Viable

Gambar Konsep 3P John Elkington

Konsep people menekankan pentingnya praktik bisnis suatu perusahaan yang


mendukung kepentingan tenaga kerja. Detailnya, konsep people melindungi kepentingan
tenaga kerja dengan menentang adanya eksploitasi yang mempekerjakan anak di bawah
umur, pembayaran upah yang pantas, lingkungan kerja yang aman, dan jam kerja yang
manusiawi. Bukan hanya itu, konsep ini juga meminta perusahaan memperhatikan kesehatan
dan pendidikan bagi tenaga kerja.
Konsep planet berarti mengelola dengan baik penggunaan energi khususnya terhadap
sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, mengurangi hasil limbah produksi, mengolah
kembali menjadi limbah yang aman bagi lingkungan, mengurangi emisi CO 2 atau pemakaian
energi, mitigasi dan adaptasi pemanasan global, serta penggunaan bahan-bahan yang ramah
lingkungan. Perusahaan-perusahaan yang menerapkan konsep ini di antaranya The Body
Shop, dalam Values Report 2005, mencantumkan salah satu target inisiatif Protect Our
Planet untuk tahun 2006 dengan mengurangi hingga 5% emisi CO2 dari listrik yang
digunakan di gerainya. Starbucks memiliki program Coffee and Farmer Equity (CAFE) untuk
memperoleh dan mengolah kopi dengan memperhatikan dampak ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Starbucks mendefinisikan keberlanjutan (sustainability) sebagai model yang
layak secara ekonomis untuk menjawab kebutuhan sosial dan lingkungan dari semua
partisipan dalam rantai pasokan dari petani sampai konsumen.
Konsep profit adalah lebih dari sekadar laba atau keuntungan. Profit berarti
menciptakan perdagangan yang adil (fair trade) dan perdagangan yang etis (ethical trade)
dalam berbisnis. Untuk mendapatkan keuntungan, maka diperlukan sebuah etika. Etika yang
dimaksud yaitu tidak mengikat pemasok dengan menekan harga serendah-rendahnya, serta
ikut pada program pemberdayaan produsen, misalnya petani Starbucks dan The Body Shop
selalu mengaplikasikan fair tradebukan mencari harga termurah dalam mencari bahan
bakunya.
Pembangunan berkelanjutan harus diletakkan sebagai kebutuhan dan aspirasi manusia
kini dan masa depan. Oleh karena itu, hak-hak asasi manusia seperti hak-hak ekonomi, sosial,
budaya, serta hak atas pembangunan dapat membantu memperjelas arah dan orientasi
perumusan konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Hak manusia atas lingkungan hidup yang sehat dan baik menjadi kebutuhan mendesak
sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hak atas pembangunan tidak lepas dari ketentuan
bahwa proses pembangunan haruslah meningkatkan harkat dan martabat manusia, serta
tujuan pembangunan adalah demi kemajuan yang terus-menerus secara berkelanjutan untuk
kesejahteraan manusia secara adil merata.
Prinsip dasar pembangunan berkelanjutan meliputi hal berikut.
1. Pemerataan dan keadilan sosial
Pembangunan berkelanjutan harus menjamin adanya pemerataan untuk generasi
sekarang dan yang akan datang. Pemerataan yang dimaksud mencakup distribusi sumber
lahan, faktor produksi, dan ekonomi yang berkeseimbangan berupa kesejahteraan semua
kalangan masyarakat.
2. Penghargaan terhadap keanekaragaman (diversity)
Keanekaragaman yang perlu dijaga yaitu keanekaragaman hayati dan budaya.
Keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa sumber daya alam
selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan yang akan datang. Pemeliharaan
keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan merata terhadap setiap orang. Selain
itu, keanekaragaman budaya dapat memberikan pemahaman bahwa adat dan tradisi
berbagai masyarakat merupakan bagian dari cara mereka untuk melindungi lingkungan.
3. Penggunaan pendekatan integratif
Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam.
Manusia mengintervensi alam dengan cara memanfaatkan atau merusaknya. Oleh karena
itu, pemanfaatan harus didasarkan pada pemahaman akan kompleksnya keterkaitan
antara sistem alam dan sistem sosial dengan cara-cara yang lebih integratif dalam
pelaksanaan pembangunan.
4. Perspektif jangka panjang
Pembangunan berkelanjutan sering kali diabaikan, karena masyarakat cenderung menilai
masa kini lebih utama dari masa akan datang. Persepsi semacam itu perlu diubah karena
tidak ada seorang manusia pun yang bersedia menjadi generasi terakhir di bumi.
Menurut J. Barros dan J. M. Johnston, kerusakan dan pencemaran lingkungan erat
kaitannya dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia, antara lain disebabkan hal
sebagai berikut.
1. Kegiatan-kegiatan industri dalam bentuk limbah dan zat-zat buangan yang berbahaya,
seperti logam berat, residu zat kimia, zat radio aktif, dan lain-lain.
2. Kegiatan pertambangan, misalnya terjadi kerusakan instalasi, kebocoran, pencemaran
buangan penambangan, pencemaran udara, pencemaran sungai, dan rusaknya lahan
bekas pertambangan.
3. Kegiatan transportasi, berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kebisingan
kendaraan bermotor, tumpahan bahan bakar, serta berupa minyak bumi dari kapal tanker.
4. Kegiatan pertanian, terutama akibat dari residu pemakaian zat-zat kimia untuk
memberantas serangga atau tumbuhan pengganggu, seperti insektisida, pestisida,
herbisida, fungisida, pemakaian pupuk anorganik, dan kehilangan unsur hara karena
penanaman monoton dan homogen selama bertahun-tahun.
Dampak dari pencemaran dan kerusakan lingkungan yang memprihatinkan dan
mengkhawatirkan akibat aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia secara lebih luas
dapat berupa hal berikut.
1. Pemanasan global telah menjadi isu internasional yang merupakan topik hangat di
berbagai negara. Dampak dari pemanasan global adalah terjadinya perubahan iklim
secara global, mencairnya es di kutub, dan kenaikan permukaan laut.
2. Hujan asam disebabkan karena sektor industri dan transportasi dalam aktivitasnya
menggunakan bahan bakar minyak atau batu bara yang dapat menghasilkan gas buang ke
udara. Gas buang tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran udara. Pencemaran
udara yang berasal dari pembakaran bahan bakar, terutama bahan bakar fosil
mengakibatkan terbentuknya asam sulfat dan asam nitrat. Asam tersebut dapat
diendapkan oleh hutan, tanaman pertanian, danau, dan gedung sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan dan kematian organisme hidup.
3. Lubang ozon ditemukan sejak tahun 1985 di berbagai tempat di belahan bumi, seperti di
Amerika Serikat dan Antartika. Penyebab terjadinya lubang ozon adalah zat kimia
semacam kloroflurokarbon (CFC), yang merupakan zat buatan manusia yang sangat
berguna dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti untuk lemari es dan AC.
Sebagai reaksi dari akibat pembangunan dan industrialisasi yang telah menyebabkan
berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan, maka di seluruh dunia sedang terjadi
gerakan yang disebut gerakan ekologi dalam (deep ecology). Gerakan tersebut dilakukan oleh
banyak aktivis organisasi lingkungan yang berjuang berdasarkan visi untuk menyelamatkan
lingkungan agar dapat berkelanjutan.
Gerakan ini merupakan perlawanan dari gerakan lingkungan dangkal (shallow ecology)
yang berperilaku eksploitatif terhadap lingkungan dan menuding agama sebagai penyebab
terjadinya kerusakan alam lingkungan. Gerakan lingkungan dangkal beranggapan bahwa
bumi dengan sumber daya alam yang ada diciptakan untuk kesejahteraan manusia. Oleh
karena itu, kalau manusia ingin sukses dalam membangun peradaban melalui industrialisasi,
maka bumi harus ditaklukkan untuk diambil kekayaannya.
Sebagai tindak lanjut dari implementasi pembangunan berkelanjutan, pemerintah
Indonesia telah merintis dilakukannya Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak
Pembangunan Berkelanjutan. Kesepakatan nasional berisi:
1. Penegasan komitmen bagi pelaksanaan dan pencapaian pembangunan berkelanjutan
sesuai dengan peraturan perundangan dan sejalan dengan komitmen global;
2. Perlunya keseimbangan yang proporsional dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan
(ekonomi, sosial, dan lingkungan) serta saling bergantung dan saling memperkuat;
3. Penanggulangan kemiskinan, perubahan pola produksi dan konsumsi, serta pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan;
4. Peningkatan kemandirian nasional;
5. Penegasan bahwa keragaman sumber daya alam dan budaya sebagai modal
pembangunan dan perekat bangsa;
6. Perlunya melanjutkan proses reformasi sebagai prakondisi dalam mewujudkan tujuan
pembangunan berkelanjutan;
7. Penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik, pengelolaan sumber daya alam, dan
pengembangan kelembagaan merupakan dimensi utama keberhasilan pembangunan
berkelanjutan;
8. Perwujudan dalam pencapaian rencana pelaksanaan pembangunan berkelanjutan bagi
seluruh masyarakat, khususnya kelompok perempuan, anak-anak, dan kaum rentan;
9. Perwujudan sumber daya manusia terdidik untuk dapat memahami dan melaksanakan
pembangunan berkelanjutan;
10. Pengintegrasian prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam strategi dan program
pembangunan nasional.
Agar pembangunan memungkinkan dapat berkelanjutan maka diperlukan pokok- pokok
kebijaksanaan sebagai berikut.
1. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung
lingkungan. Dengan memperhatikan kondisi lingkungan (geografis, demografis, biofisik,
sosial, ekonomi, dan budaya), maka setiap daerah yang dibangun harus sesuai dengan
zona peruntukannya, seperti zona perkebunan, pertanian, dan lain-lain. Hal tersebut
memerlukan perencanaan tata ruang wilayah (RTRW), sehingga diharapkan akan dapat
dihindari pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungannya.
2. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap, lingkungan perlu dikendalikan
melalui penerapan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari
studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek. Melalui studi AMDAL, maka dapat
diperkirakan dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan.
3. Mengutamakan penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah.
4. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan
lingkungan.
5. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan.
6. Pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan, dan SDM dalam pengelolaan
lingkungan hidup.
7. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong peradilan menyelesaikan sengketa
melalui penerapan hukum lingkungan.
8. Pengembangan kerja sama luar negeri.
Soemarwoto (2006) mengajukan enam tolok ukur pembangunan berkelanjutan dalam
konteks ke-Indonesia-an. Tolok ukur itu meliputi pro dengan bentuk negara kesatuan RI, pro
lingkungan hidup, pro rakyat miskin, pro kesetaraan gender, pro penciptaan lapangan kerja,
dan harus antikorupsi, kolusi, serta nepotisme.
Pro dengan bentuk negara kesatuan RI berarti aspek pemenuhan kebutuhan masyarakat
dalam rangka mendukung negara kesatuan RI dan tidak memecah belah kesatuan bangsa.
Misalnya, konflik Dayak-Madura di Kalimantan akibat distribusi sumber daya alam yang
tidak merata. Selain itu, aktivitas ekspor pasir ke Singapura yang sangat merugikan batas
negara Indonesia, yaitu Pulau Nipah sebagai pulau terluar yang berbatasan dengan Singapura
harus direklamasi karena pengerukan pasir besar-besaran dan sangat disayangkan pengerukan
sumber daya alam tersebut hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat.
Pro lingkungan hidup, pada tahun 2002 kerjasama antara The World Economic Forum's
Global Leaders for Tomorrow Environmental Task Force, the Yale Center for Environmental
Law and Policy, dan the Columbia University Center for International Earth Science
Information Network menghasilkan indeks keberlanjutan lingkungan (IKL) atau
environmental sustainability index (ESI). IKI, ini telah digunakan untuk mengukur arah
perkembangan keberlanjutan lingkungan pada 142 negara dengan menggunakan 20 indikator
yang dirinci lebih lanjut menjadi 68 variabel. Lima negara yang ada pada peringkat tertinggi
adalah Finlandia, Norwegia, Swedia, Kanada, dan Swiss. Sementara itu, lima negara yang
berada pada peringkat terendah adalah Haiti, Irak, Korea Utara, Kuwait, dan Uni Emirat
Arab. Jumlah variabel yang begitu banyak menyebabkan IKL tidak mudah diterapkan. Selain
itu, peringkat IKL tampak berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita (Soerjani, 2005:7-
9). Pada indeks keberlanjutan lingkungan tersebut Indonesia berada di bawah ambang batas
pembangunan yang berkelanjutan karena depresiasi sumber daya alamnya 17% yang lebih
tinggi dari tabungan nasionainya untuk investasi sektor yang produktif yang hanya 15%.
(Pearce dan Atkinson, 1993)
Pro rakyat miskin bukan berarti anti orang kaya, karena yang dimaksud adalah rakyat
miskin memerlukan perhatian khusus. Rakyat miskin identik dengan pendidikan rendah,
penghasilan kecil, tingkat kesehatannya rendah, dan tidak punya modal usaha, sehingga daya
saingnya juga rendah. Rakyat miskin tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar, karena
mereka tidak memiliki sumber daya apapun untuk bertahan. Oleh karena itu, menjadi
kewajiban pemerintah untuk mengangkat perekonomian rakyat. Apabila rakyat miskin
dibiarkan saja dan tidak diberi ruang untuk mendapatkan penghasilan, maka risikonya mereka
mengambil jalan pintas dengan cara mengambil sumber daya alam dengan merusak
lingkungan.
Mengangkat rakyat miskin tidak dengan cara memberikan bantuan instan yang justru
akan membuat rakyat menjadi manja dan tidak mandiri. Rakyat miskin diangkat dengan
memberikan bekal berupa keterampilan agar mereka memiliki modal sosial untuk bersaing,
sehingga upaya pengentasan kemiskinan menjadi lebih bermakna.
Mengharapkan rakyat miskin agar dapat bersekolah dengan memberikan program
pendidikan gratis dapat bermanfaat dengan memberikan pengertian bahwa pendidikan adalah
jalan yang paling efektif untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup. Oleh karena
itu, program pengentasan kemiskinan harus melihat berbagai aspek menyeluruh dan holistik.
Pro kesetaraan gender berarti laki-laki dan perempuan punya kesempatan yang sama
berpartisipasi dalam pembangunan. Partisipasi perempuan bukan berarti menyingkirkan laki-
laki atau mendikotomikan laki-laki dan perempuan. Selama ini partisipasi dalam membangun
bangsa selalu digambarkan sebagai laki-laki yang bekerja di luar rumah. Sementara itu,
pekerjaan rumah atau domestik yang biasanya dicap sebagai pekerjaan wanita tidak pernah
dianggap sebagai pekerjaan yang punya andil dalam pembangunan.
Sejarah gerakan perempuan bangsa melupakan peran domestik yang dilakukan sangat
banyak perempuan. Peran kaum perempuan di dapur-dapur umum untuk membantu logistik
para serdadu pejuang, peran merawat serdadu terluka, peran mengurus rumah tangga, dan
mengasuh anak yang dilakukan sendiri ketika suami pergi berperang.
Pro penciptaan lapangan kerja berguna menjaga kesinambungan pembangunan. Krisis
moneter yang menerpa Indonesia tahun 1998 menyebabkan tutupnya industri lokal dan
berkurangnya investasi asing sehingga menghasilkan pengangguran besar-besaran. Untuk
tetap bertahan hidup, maka banyak masyarakat korban PHK tersebut bekerja pada sektor
informal. Kegiatan-kegiatan yang digeluti sektor informal secara kasar dapat dikelompokkan
menjadi berikut (Hart, 1973).
1. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder, misalnya pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan (semua dilaksanakan dalam skala terbatas dan subsisten), pengrajin kecil,
penjahit, produsen makanan kecil, dan semacamnya.
2. Kegiatan-kegiatan tersier, transportasi (dalam berbagai bentuk), kegiatan sewa menyewa
baik permukiman, tanah, maupun alat produksi.
3. Kegiatan-kegiatan distribusi, pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima,
penyalur dan agen, serta usaha sejenisnya.
4. Kegiatan-kegiatan jasa lain, pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, montir, tukang
sampah, juru potret jalanan, dan sebagainya.
Kegiatan primer seperti pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan selama
beberapa dasawarsa terakhir mendapatkan tekanan struktural dari pemerintah sebagai akibat
kebijakan yang menekankan pada pertumbuhan industri dan menuntut upah buruh yang
rendah. Upah buruh rendah hanya dapat tercapai apabila salah satu komponen utamanya yaitu
makan juga rendah. sebagai akibatnya, kegiatan primer ditekan untuk menyediakan pangan
murah yang diperlukan bagi pertumbuhan industri. Orientasi pada industri juga menyebabkan
berbagai kegiatan di masyarakat seperti pengrajin, penjahit, produsen makanan, dan
semacamnya karena skalanya yang terbatas tidak mendapatkan perhatian bahkan tidak dilihat
sebagai aktivitas ekonomi yang perlu dipertimbangkan.
Dalam kegiatan yang diketompokkan sebagai tersier, transportasi baik orang maupun
barang banyak diusahakan sendiri oleh rakyat. Hal ini merupakan gejala umum pada negara
berkembang seperti telah diungkapkan oleh Hernando de Soto (1991). Negara memang telah
mengusahakan berbagai sarana transportasi namun dalam kenyataannya transportasi yang
diusahakan sendiri oleh rakyat tetap lebih dominan (meskipun sering kali ilegal). Kegiatan
sewa menyewa, seperti tempat tinggal (baik kamar maupun rumah) di kota dan tanah atau
pekarangan di desa adalah kegiatan yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi dan tidak
banyak tercatat. Di kota besar, seperti Jakarta, kegiatan ini telah secara efektif mendorong
datang dan berkembangnya banyak wirausaha mikro seperti penjual bakso dan pedagang
keliling lainnya dari berbagai daerah.
Kegiatan-kegiatan distribusi merupakan salah satu kegiatan yang paling populer bagi
ekonomi rakyat karena relatif mudah dikerjakan, tidak menuntut keterampilan khusus, dan
memiliki margin keuntungan yang relatif besar. Kegiatan distribusi juga merupakan tempat
perputaran uang yang besar dan cepat. Berbagai produk baik yang dihasilkan oleh perusahaan
besar maupun usaha rumah tangga mampu menjangkau masyarakat secara efektif melalui
kegiatan distribusi yang sebagian besar dilaksanakan secara informal (tanpa izin).
Berbagai kegiatan jasa lain yang diungkap di atas, dalam kenyataannya merupakan
suatu jaring pengaman social bagi kelompok masyarakat bawah yang menggantikan
ketiadaan pelayanan dasar yang semestinya disediakan oleh pemerintah. sebagian besar
masyarakat pada kegiatan ini berada dalam tahapan bertahan hidup (survival) dan menjadikan
aktivitas yang dijalaninya sebagai persiapan untuk masuk ke dalam kegiatan ekonomi lain
yang lebih mapan Meskipun demikian, beberapa yang lain menjadikan kegiatan mereka
sebagai profesi dan mampu menghidupi keluarganya secara relatif memadai. Dengan
memperhatikan keunikan kegiatan jasa ini, maka tindakan pemerintah terutama pemerintah
daerah untuk menertibkan atau mengatur kegiatan-kegiatan ini pada kenyataannya sering
kali merusak jaring pengaman sosial yang secara riil telah mampu menyediakan pekerjaan
pada masyarakat bawah.
Pembangunan berkelanjutan harus anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) karena
menyebabkan pemborosan sumber daya, ketidakprotesionalan kinerja, dan tidak berjalannya
fungsi evaluasi. Korupsi, kolusi, dan nepotisme juga menyebabkan hilangnya daya saing,
pengaburan visi dan misi, serta kesenjangan antara tujuan dan kinerja sebenarnya.
Semangat anti-KKN yang dicanangkan pemerintah beralih kepada isu reformasi
birokrasi pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government). Pada setiap
kesempatan kunjungan kepala negara Indonesia ke luar negeri atau kunjungan kepala
pemerintahan asing ke dalam negeri selalu diberi oleh-oleh agar pemerintah mempercepat
program reformasi birokrasi. Bahkan LSM yang bergerak di isu lingkungan, KKN, keadilan
sosial, dan sebagainya selalu menyuarakan reformasi birokrasi. Isu reformasi menjadi hangat
karena pelaku KKN atau pengawas KKN sebagian besar berasal dari birokrasi.
Korupsi merupakan penyakit kronis bangsa Indonesia yang tidak hanya merusak sendi-
sendi kebangsaan tetapi juga merusak lingkungan hidup. Praktik korupsi dalam bentuk kolusi
antara lain para elit politik yang korup dan elit ekonomi mengeksploitasi sumber daya alam
secara semena-mena untuk keuntungan pribadi, tanpa menghiraukan kesejahteraan warga
dunia dan ekonomi bangsa sendiri. Misalnya, terjadinya alih fungsi hutan lindung di beberapa
daerah di Sumatera adalah salah satu contoh nyata dalam perusakan lingkungan hidup. Selain
itu, masuknya limbah berbahaya dari negara tetangga yang mengancam kelestarian
lingkungan hidup (termasuknya di dalamnya manusia) ke Indonesia terjadi karena adanya
jalinan kerja korupsi yang melibatkan banyak pihak.
Korupsi juga telah menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan yang amat parah
akibat eksploitasi sumber daya alam berlebihan dan ugal-ugalan. Pembabatan hutan semena-
mena, alih fungsi hutan lindung tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya bagi
lingkungan, masuknya limbah barang berbahaya beracun (B3) secara ilegal, terjadinya
bencana banjir karena pembangunan yang didasarkan pada dokumen AMDAL (Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan) hasil manipulasi, mewabahnya berbagai ragam penyakit
karena pembuangan limbah, clan sebagainya bila ditelusuri di dalamnya terdapat pengaruh
adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Korupsi di zaman orde reformasi lebih meluas. Pada zaman orde baru, korupsi
dilakukan oleh pemerintah pusat, sedangkan zaman orde reformasi korupsi mewabah sampai
tingkat daerah. Kepala daerah menjadikan sumber daya alam sebagai modal politik untuk
meraih dan mempertahankan kekuasaan. Mereka memberikan konsesi pengerukan sumber
daya alam kepada para pengusaha dan calo. Intensitas pengerukan kekayaan alam sudah
mencapai tingkat yang mencengangkan, misalnya, ekspor bauksit yang pada tahun 2004 baru
satu juta ton melesat menjadi 27 juta ton pada tahun 2010 dan 40 juta ton pada tahun 2011.
Padahal, sumber daya alam yang tak terbarukan ini juga merupakan hak generasi mendatang.
Dari 16 negara Asia Pasifik yang disurvei oleh Political and Economic Risk
Consultancy yang berbasis di Hong Kong, Indonesia mendapatkan status negara terkorup
pada tahun 2009 dan 2010. Pada tahun 2011, posisi Indonesia satu peringkat lebih baik,
namun dengan skor yang tetap di atas 9 (nol untuk skor terendah atau paling bersih dan 10
untuk skor tertinggi atau paling korup).
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Lingkungan dan Pembangunan (The
United Nations Conference on Environment and DevelopmentUNCED) atau yang dikenal
dengan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) yang diselenggarakan bulan Juni
1992 di Rio de Janeiro, merupakan suatu tonggak sejarah yang menyatukan para kepala
negara dan pejabat pemerintahan seluruh dunia bersama dengan utusan badan-badan PBB,
organisasi internasional, dan utusan lainnya dari berbagai organisasi nonpemerintah.
Konferensi itu menghasilkan kesepakatan yang disebut dengan Agenda 21.
Menurut Soerjani (2000:14), Agenda 21 terdiri atas 40 bab clan mencakup antara lain
perdagangan internasional, pengentasan kemiskinan, konsumsi dan produksi yang
berkesinambungan, masalah kependudukan, masalah perkotaan, kesehatan, atmost-cl, sumber
daya lahan dan pertanian, hutan, kekeringan, keanekaragaman hayati, bioteknologi, kelautan,
air tawar, bahan beracun clan berbahaya, limbah padat, limbah radioaktif, peranai i golongan
rentan (wanita, masyarakat terasing clan anak-anak), serta golongan swasta termasuk dunia
perdagangan.
Dalam rangkaian konferensi pembangunan berkelanjutan tahun 2002 diadakan KTT
Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, dicanangkan tiga pilar
pembangunan berkelanjutan. Tiga pilar itu ialah pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial,
dan pelestarian lingkungan hidup.
Pertumbuhan ekonomi menjadi tolak ukur kemajuan ekonomi yang dicapai suatu
negara. Pertumbuhan ekonomi tinggi berarti tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
juga meningkat. Pertumbuhan ekonomi diukur dari pertumbuhan konsumsi, investasi, dan
simpanan suatu negara. Semakin tinggi konsumsi, investasi, dan simpanan, maka semakin
balk tingkat pertumbuhan ekonominya.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu menunjukkan tingkat kesejahteraan
seluruh rakyat, misalnya hasil penelitian LIPI membuktikan bahwa sebelum krisis tahun
1997, sebanyak 5.000 orang Indonesia atau 0,02% dari penduduk Indonesia menguasai 30%
perekonomian nasional. Penelitian Aris Ananta dkk. (1995) menunjukkan bahwa pada tahun
1993, 40% (75,3 juta jiwa) lapisan masyarakat yang berpendapatan paling bawah (US$266)
hanya menikmati 14,6% pendapatan nasional dan 40% (75,3 juta jiwa) lagi penduduk lapisan
berpendapatan menengah (US$755) menikmati 41,52 persen pendapatan nasional, sedangkan
20% (37,7 juta jiwa) lapisan masyarakat berpendapatan tertinggi (US$2.592) menikmati
43,87% pendapatan nasional. Hasil analisis konsultan McKinsey berdasarkan potensi aset
private banking (uang yang dimiliki nasabah secara personal) menyebutkan bahwa 64 ribu
orang Indonesia menyimpan sekitar 257 miliar dolar Amerika di perbankan luar negeri. Ini
berarti semakin ke depan, pembangunan ekonomi Indonesia malah semakin memperlebar
jurang kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin walaupun pertumbuhan
ekonomi Indonesia tinggi. Oleh karena itu, PBB mengembangkan suatu indikator baru untuk
mengukur keberhasilan pembangunan nasional yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut PBB adalah nilai yang menunjukkan
tingkat kemiskinan, kemampuan baca tulis, pendidikan, harapan hidup, dan faktor-faktor
lainnya pada negara-negara di seluruh dunia. Indeks ini dikembangkan pada tahun 1990 oleh
ekonom Pakistan, yaitu Mahbub ul Haq, dan telah digunakan sejak tahun 1993 oleh UNDP
pada laporan tahunannya. Nilai IPM menunjukkan pencapaian rata-rata pada sebuah negara
dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yakni usia yang panjang dan sehat yang
diukur dengan angka harapan hidup; pendidikan yang diukur dengan dengan tingkat baca
tulis dengan pembobotan dua per tiga; serta angka partisipasi kasar dengan pembobotan satu
per tiga; standar hidup yang layak yang diukur dengan produk domestik bruto per kapita pada
paritas daya beli dalam mata uang dolar AS.
Aktivitas ekonomi yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
sosial tidak akan banyak berarti bagi pembangunan berkelanjutan kalau ternyata merusak
lingkungan dan menghabiskan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Kerusakan
lingkungan akan menurunkan derajat kualitas manusia dan lingkungan itu sendiri. Habisnya
sumber daya alam akan menurunkan aktivitas ekonomi atau pertumbuhan ekonomi.
Kerusakan lingkungan dan habisnya SDA pada akhirnya akan menggerogoti nilai
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial.

MASALAH PEMBANGUNAN
Pertumbuhan ekonomi dunia berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari 42% tahun 1990
menjadi 15% tahun 2015. Akan tetapi, pertumbuhan menyisakan persoalan besar di bidang
lingkungan dan sumber daya alam. Data Bank Dunia (2012) mencatat bahwa sebesar 13
miliar hektar hutan hilang setiap tahun, konsumsi air naik 300% dalam 30 tahun terakhir,
emisi karbon dioksida meningkat, dan 85% ikan di laut dieksploitasi. Setiap tahun dibutuhkan
1 triliun dolar AS untuk subsidi bahan bakar minyak.
Di Indonesia, upaya memasukkan faktor kerusakan lingkungan dan eksploitasi berlebih
sumber daya alam dalam produk domestik bruto (PDB) pernah dilakukan, tetapi tak
diperbarui sejak tahun 2004. Namun, dari pengukuran itu diketahui, kekayaan Indonesia
sebenarnya sudah menipis. Jika pembangunan terus berjalan dengan prinsip business as
usual (BAU), Indonesia berada diambang bahaya.
Neraca perdagangan saat ini memang surplus oleh ekspor perkebunan dan tambang,
tetapi pembangunan tak akan berkelanjutan kalau satu-satunya cara untuk bertahan dilakukan
dengan merusak sumber daya alam. Ekspor bauksit, misalnya, menurut catatan Prof. Emil
Salim kalau pada tahun 2004 diekspor 1 juta ton, tahun 2010 sudah 27 juta ton, tahun 2011
naik menjadi 40 juta ton, maka cadangan bauksit akan habis sekitar tahun 2018.
Cadangan besi akan habis dalam 10 tahun, nikel dalam waktu 15 tahun, dan tembaga
dalam waktu 45 tahun. Cadangan minyak bumf dan gas alam akan habis dalam 11 clan 33
tahun. Cadangan batubara habis dalam 64 tahun. Berbagai data juga menunjukkan bahwa
sedikitnya I juta hektar hutan di Indonesia rusak dan hilang per tahun.
Dalam diskusi lain, Prof. Emil Salim menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi
selama ini didominasi oleh paradigma pasar sebagai alokasi sumber daya untuk hasil yang
efisien. Perkembangan pembangunan melahirkan dampak sosial serius dan pelanggaran hak-
hak asasi manusia, seperti kemiskinan, ketimpangan, konflik, serta persoalan lingkungan,
termasuk ancaman perubahan iklim dan merosotnya keragaman hayati.
Melihat luasnya spektrum perusakan atas nama pertumbuhan, maka istilah
pertumbuhan hijau (green growth) tak cukup memadai karena kerusakan dan menipisnya
sumber daya alam. Istilah pertumbuhan inklusif (inclusive growth) dipilih karena
mencakup konteks lebih luas, termasuk permasalahan sosial akibat eksploitasi sumber daya
alam (sosial-ekologis) yang dihilangkan dalam penghitungan pertumbuhan.
Selama ini kemajuan lebih dipahami sebagai tingginya PDB. Namun, indikator
konvensional itu dikritik sebagai dukungan terhadap pertumbuhan jangka pendek dan tidak
berkelanjutan karena mengabaikan dampak penghancuran terhadap ekosistem lingkungan dan
sosial. PDB ternyata tidak mampu mencerminkan kesejahteraan manusia dan situasi sumber
daya slam suatu negara.
Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Lingkungan (UNEP) bersama Program
Dimensi Manusia Universitas PBB (IHDP) di Rio de Janeiro meluncurkan ukuran baru, yakni
Inclusive Wealth Index (IWI) atau Indeks Kekayaan Inklusif dalam Rio +20 dalam laporan
yang berjudul Inclusive Wealth Report 2012: Measuring Progress Toward Sustainability
IWI menegaskan bahwa pencapaian yang hakiki harus terfokus pada kesejahteraan manusia
saat ini dan pada generasi mendatang.
Survei dilakukan pada 20 negara untuk menghitung ulang angka pertumbuhan pada 20
negara melalui valuasi layanan ekosistem bagi kesejahteraan manusia. Perhitungan itu
menghadapkan angka pertumbuhan ekonomi dengan kerusakan lingkungan, dihitung dari
menurunnya cakupan hutan, menipisnya sumber bahan bakar fosil dan cadangan mineral,
menyusutnya lahan pertanian, serta situasi perikanan di perairan setiap negara. Laporan
tersebut memperlihatkan pertukaran bentuk kapital yang berbeda (manufaktur, manusia, dan
modal alam) cenderung meningkatkan kerusakan sumber daya alam. Enam negara
menunjukkan jejak tidak berkelanjutan, sedangkan lima negara menunjukkan tingkat PDB
dan Indeks Pembangunan Manusia yang positif, tetapi negatif dalam IWI.
Dengan perhitungan ulang, pertumbuhan ekonomi China sebesar 422% (1990-2008)
sebenarnya hanya 45% kalau diperhitungkan dengan kerusakan sumber daya alam. Di Brasil,
perhitungan awal 31% menjadi 18%, di Amerika Serikat dari 37% menjadi 13%, Afrika
Selatan sebesar 24% menjadi malah minus 1% setelah penghitungan ulang. Antara tahun
1990 dan 2008, sumber daya alam per kapita turun 33% di Afrika Selatan, 25% di Brasil,
20% di AS, dan 17% di China. Dengan penghitungan ulang, angka pertumbuhan Indonesia
yang 7% bisa jadi di bawahnya atau bahkan jauh di bawah nol.

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BAGI NEGARA BERKEMBANG


Implementasi pembangunan berkelanjutan bagi negara berkembang bukan hal yang mudah.
Di tengah-tengah rencana pengentasan kemiskinan dengan memanfaatkan sumber daya alam
yang ada pada negara berkembang, negara maju menuntut agar negara berkembang
melakukan hal yang sama atas nama pembangunan berkelanjutan. Model pembangunan
berkelanjutan yang selama ini dipromosikan merupakan adopsi model Barat yang untuk
penerapannya negara berkembang membutuhkan dana yang besar, teknologi yang canggih,
dan SDM berkualitas tinggi. Oleh karena itu, wajar apabila ada kritikan bahwa aturan yang
ditetapkan institusi internasional hanya merupakan bentuk neo-imperialisme dan neo-
kolonialisme dari negara maju (Baker, 2006: 159). Dengan kata lain, umuk menerapkan
pembangunan berkelanjutan di negara berkembang, mereka membutuhkan negara maju
dalam penerapannya.
Salah satu cara agar pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang pro
negara berkembang adalah dibutuhkan definisi ulang, konseptualisasi ulang, dan
reaktualisasi mengenai pembangunan berkelanjutan yang juga sesuai dengan kebutuhan dan
tujuan negara berkembang. Konsep baru pembangunan berkelanjutan perlu menjabarkan
mengenai hubungan kekuatan struktural yang menjadi penyebab utama krisis lingkungan
serta batasan-batasan struktural dalam pembangunan berkelanjutan (Baker, 2006:160). Selain
itu, perlu juga dibahas mengenai alternatif pembangunan yang mengubah sistem ekonomi
politik dengan meninggalkan logika kapital dan pasar seperti yang selama ini dijalankan.
Argumen mengenai perlunya transformasi struktur politik dan ekonomi ini sebenarnya juga
sudah terdapat dalam formulasi Brundtland. Laporan Brundtland menyebutkan bahwa
persamaan global dalam hal level konsumsi tidak akan terwujud (Baker, 2006:161), sehingga
tanggung jawab pun tidak bisa disamaratakan. Negara berkembang dan maju memiliki tugas
tersendiri, yakni menghapus tantangan pembangunan berkelanjutan di negara berkembang
dan mengurangi level konsumsi di negara maju.
Setelah lebih dari 40 tahun, Indonesia telah menempatkan pertumbuhan ekonomi
sebagai indikator keberhasilan. Dengan paradigma pembangunan yang dianut, maka
pertumbuhan ekonomi, paling tidak sebelum terjadi krisis ekonomi, melaju dengan tingkat
pertumbuhan hampir mencapai 8% per tahun. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa
laju pertumbuhan ekonomi tersebut harus ditebus dengan kerusakan sumber daya alam dan
lingkungan yang hebat. Kerusakan lingkungan justru tidak menurun bahkan cenderung
meningkat. Hal ini terlihat pada beberapa sektor strategis di dalam pembangunan Indonesia
seperti sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan, dan pertambangan. Hal ini
sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang cenderung mengarah
pada pola pengelolaan yang berorientasi jangka pendek.
Sumber daya alam dan lingkungan dijadikan sebagai tumpuan bagi pertumbuhan
ekonomi, sehingga pemanfaatannya tidak lagi memperdulikan prinsip-prinsip dasar
konservasi. Walaupun saat ini kebijakan dan peraturan yang mengatur tentang keharusan
untuk mengendalikan dan melestarikan fungsi lingkungan telah diatur demikian tegas, pada
kenyataannya ketika berhadapan dengan pemilik modal tidak bisa berbuat apa-apa.
Untuk mencegah keadaan yang lebih buruk, maka harus ada penegasan tentang arah
pembangunan ke depan. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan harus dilakukan
secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab, dan sesuai dengan kemampuan daya
dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan
yang berkelanjutan. Dalam menentukan strategi pembangunan, aspek lingkungan harus
dijadikan pertimbangan utama. Konsep ini pada dasarnya mengandung aspek daya dukung
lingkungan dan solidaritas antargenerasi.
Kerusakan lingkungan dan sumber daya alam dapat karena paradigma pembangunan
yang terlalu menekankan kepada pertumbuhan ekonomi serta lemahnya koordinasi,
wewenang, dan kapasitas lembaga atau institusi pembangunan yang dimiliki. Hal ini dapat
terlihat dari pola perencanaan yang sektoral, parsial, dan fragmentatif. Lemahnya koordinasi
antardepartemen atau komponen pembangunan mengakibatkan lemahnya upaya memadukan
perencanaan pembangunan yang mengkaitkan pertumbuhan ekonomi, keseimbangan sosial,
dan keselarasan ekologi. Kondisi ini diperburuk lagi dengan kurang berfungsinya lembaga
legislatif, lemahnya pengawasan, dan disorientasi birokrasi.
Lembaga legislatif yang diharapkan dapat memberikan arahan pembangunan kepada
pemerintah masih belum memiliki kemampuan perencanaan yang memadai. Walaupun sudah
didukung dengan diangkatnya staf ahli untuk memperkuat fungsi legislatif, hal tersebut tidak
berarti banyak. Selain itu, masih banyaknya politik pada lembaga legislatif yang dapat
mengakibatkan biasnya pola perencanaan pembangunan dengan agenda politik kekuasaan.
Sementara itu, lembaga yang bertugas untuk menjabarkan program pembangunan nasional
yang disusun oleh lembaga legislatif juga masih belum dapat mengambil alih tugas
memadukan tersebut. Hal itu dapat disebabkan karena belum tuntasnya reformasi birokrasi
dan kurangnya pemahaman tentang konsep pembangunan berkelanjutan.
Permasalahan degradasi kualitas lingkungan dan sumber daya alam juga disebabkan
karena tidak terselenggaranya pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean
government). Hal ini terlihat dari tidak efisiennya lembaga perwakilan, mewabahnya korupsi,
dan belum berdayanya masyarakat. Hal ini disebabkan karena belum terciptanya mekanisme
yang dapat menjembatani kepentingan masyarakat, sektor bisnis, dan pemerintah, terutama
untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mekanisme
tersebut bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kesetaraan, serta meningkatkan kualitas
hidup.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah konvensi internasional yang berkenaan dengan
pembangunan dan isu-isu lingkungan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Namun,
konvensi-konvensi tersebut belum dapat diaplikasikan meskipun telah diturunkan ke dalam
undang-undang. Hal tersebut karena pengawasan terhadap pelaksanaan dan penegakan
hukumnya masih sangat lemah. Misalnya, terlihat pada Konvensi Keanekaragaman Hayati
(CBD), Konvensi Perubahan lklim (UNFCC), Konvensi Hukum Laut (UNCLOS), Konvensi
Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam (CITES), Konvensi Lahan Basah (RAMSAR),
Konvensi Lintas Batas Limbah (Basel Convention), Konvensi Perlindungan Ozon (Montreal
Protokol), dan sebagainya.
Dari paparan tersebut, terlihat bahwa pemerintah belum optimal melaksanakan tugas
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia seperti yang tertuang pada
pembukaan UUD 1945. Konsep pembangunan berkelanjutan yang.tengah berkembang, di
dunia dan yang diterima Indonesia melalui KTT Bumi 1992 belum diterjemahkan dalam
konteks ke-Indonesia-an. Konsep Ketahanan Nasional, yang selama ini coba dikembangkan,
walaupun sering dianggap identik dengan pembangunan berkelanjutan, penjabarannya belum
merefleksikan konsep pembangunan berkelanjutan. Ketahanan nasional hanya dimaknai
dengan kekuatan militer, politik, dan ekonomi, padahal lingkungan dapat memberikan andil
bagi penguatan ketahanan nasional. Daerah-daerah terluar Indonesia dapat dijaga dari klaim
negara asing dengan memberikan ciri khas lingkungan pada daerah tersebut, misalnya dengan
menanam pohon khas Indonesia yang sesuai dengan lahan di daerah tersebut. Selain itu, juga
dapat dengan membuat suatu lokasi konservasi sebagai tanda kepemilikan Indonesia.
Oleh karena kompleks dan holitistiknya masalah lingkungan, maka perlu dibentuk
sebuah lembaga yang berwibawa, dengan kekuasaan penuh, dan mampu memberikan
pertimbangan kepada pengambil kebijakan untuk hal sebagai berikut.
1. Menerjemahkan dan mengembangkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam
konteks ke-Indonesia-an.
2. Merumuskan arah pembangunan jangka panjang dalam kerangka pikir keberlanjutan.
3. Memadukan pemikiran konservasi lingkungan dan pembangunan.
4. Mengakomodasikan pandangan pemerintah, badan usaha, dan masyarakat sipil.
5. Menjabarkan dan memantau pengimplementasian berbagai kesepakatan dan konvensi
internasional yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan.
Untuk meningkatkan penerapan pembangunan berkelanjutan di negara berkembang,
Susan Baker memberikan lima poin yang menghubungkan lingkungan dan pembangunan,
yaitu sebagai berikut (Baker, 2006).
1. Poin pertama adalah menetapkan agenda yang relevan. Negara berkembang memiliki
prioritas yang berbeda bergantung pada kemampuan mereka dan prioritas inipun berbeda
dengan negara maju. Di negara berkembang, permasalahan yang diutamakan lebih
kepada masalah dasar seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, air bersih, penebangan
hutan, dan sebagainya.
2. Poin yang kedua adalah menghubungkan gender dan lingkungan. Keterlibatan
perempuan dalam proses pengambilan kebijakan ini dapat dilakukan dalam hubungan
pemerintah secara internasional atau domestik. Selama ini wanita kurang dilibatkan
dalam pembangunan berkelanjutan, padahal wanita mendapat kesulitan yang lebih dari
kerusakan lingkungan. Selain itu, peran wanita sebenarnya dapat berguna karena hal ini
akan mendorong persamaan dan partisipasi yang merupakan konsep utama pembangunan
berkelanjutan.
3. Poin yang ketiga adalah memperhatikan hubungan perdagangan, lingkungan, dan WTO.
WTO disebutkan karena peran pentingnya dalam menentukan aturan perdagangan
internasional dan sanksi yang dikenakan atas pelanggarannya. Banyak kritik yang
menyebutkan bahwa regulasi perdagangan WTO justru menghalangi negara untuk
menerapkan pembangunan berkelanjutan. Hal ini didukung dengan kurangnya
transparansi dan partisipasi aktivis lingkungan dalam pertemuannya. Kebanyakan
masalah yang muncul adalah aturan negara untuk menunjang pembangunan
berkelanjutan dianggap sebagai langkah proteksi, terutama aturan yang mengarah pada
pembatasan impor untuk barang tanpa standar lingkungan tertentu. Untuk
mengakomodasi kepentingan perdagangan dan pembangunan berkelanjutan, maka
diadakanlah pertemuan di Doha yang nilai perdagangan bebas akan disesuaikan dengan
pembangunan berkelanjutan. Selain itu, diutarakan pula prinsip perbedaan tanggung
jawab dan kemampuan antarnegara. Meskipun begitu, hal ini tidak lepas dari kritik
mengenai peningkatan ketergantungan sampai model Barat yang selalu dipaksakan.
4. Poin keempat adalah hubungan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan pembangunan
berkelanjutan. Hal ini berkaitan dengan peran baru ilmuwan dalam identifikasi dan
merumuskan solusi bagi masalah lingkungan. Ilmu pengetahuan yang digunakan ini
tidak memihak pada negara berkembang karena kurangnya kemampuan, salah satu
contohnya adalah penggunaan hak kekayaan intelektual. Selain itu, ilmu pengetahuan
pun sifatnva tidak mutlak dan memungkinkan adanya revisi sehingga membuka
kemungkinan bagi kesalahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih
buruk.
5. Poin kelima adalah rekonstruksi institusi keuangan pemerintah global, seperti IMF, Bank
Dunia, dan WTO sebagai agen yang penting dalam penerapan pembangunan
berkelanjutan di negara berkembang. Untuk itu dibentuk Global Environment Facility
yang menyediakan mekanisme pendanaan bagi kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Masalah yang muncul adalah kurangnya transparansi dan ketidakpuasan negara
berkembang akan pengaturan keuangan yang ada. Selain itu, masalah juga muncul dari
syarat Bank Dunia untuk pinjaman yang tidak berujung sehingga menyebabkan
eksploitasi yang tidak terkendali. Meskipun Bank Dunia menyatakan telah berkomitmen
pada proyek ramah lingkungan, namun model yang diterapkan dikritik masih
berdasarkan konsepsi Barat mengenai pembangunan yang hanya fokus pada ekonomi.
Penerapan pembangunan berkelanjutan di negara berkembang bukanlah tugas yang
mudah karena adanya perbedaan kemampuan dengan negara maju, sehingga perlu definisi
ulang, rekonstruksi ulang, dan reaktulisasi mengenai pengertian pembangunan berkelanjutan
serta peran dan tanggung jawab negara yang tentu berbeda-beda. Lima poin yang ditawarkan
Baker untuk implementasi pembangunan berkelanjutan di negara berkembang dapat
dijadikan acuan model kerjasama antara negara berkembang dan negara maju.

Anda mungkin juga menyukai