RUMUSAN MASALAH:
1. Bagaimana sejarah pembangunan berkelnjutan?
2. Bagaimana prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan?
3. Bagaimana masalah pembangunan berkelanjutan?
4. Bagaimana pembangunan berkelanjutan bagi negara berkembang?
People
Bearable Equitable
Sustainability
Planet Profit
Viable
MASALAH PEMBANGUNAN
Pertumbuhan ekonomi dunia berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari 42% tahun 1990
menjadi 15% tahun 2015. Akan tetapi, pertumbuhan menyisakan persoalan besar di bidang
lingkungan dan sumber daya alam. Data Bank Dunia (2012) mencatat bahwa sebesar 13
miliar hektar hutan hilang setiap tahun, konsumsi air naik 300% dalam 30 tahun terakhir,
emisi karbon dioksida meningkat, dan 85% ikan di laut dieksploitasi. Setiap tahun dibutuhkan
1 triliun dolar AS untuk subsidi bahan bakar minyak.
Di Indonesia, upaya memasukkan faktor kerusakan lingkungan dan eksploitasi berlebih
sumber daya alam dalam produk domestik bruto (PDB) pernah dilakukan, tetapi tak
diperbarui sejak tahun 2004. Namun, dari pengukuran itu diketahui, kekayaan Indonesia
sebenarnya sudah menipis. Jika pembangunan terus berjalan dengan prinsip business as
usual (BAU), Indonesia berada diambang bahaya.
Neraca perdagangan saat ini memang surplus oleh ekspor perkebunan dan tambang,
tetapi pembangunan tak akan berkelanjutan kalau satu-satunya cara untuk bertahan dilakukan
dengan merusak sumber daya alam. Ekspor bauksit, misalnya, menurut catatan Prof. Emil
Salim kalau pada tahun 2004 diekspor 1 juta ton, tahun 2010 sudah 27 juta ton, tahun 2011
naik menjadi 40 juta ton, maka cadangan bauksit akan habis sekitar tahun 2018.
Cadangan besi akan habis dalam 10 tahun, nikel dalam waktu 15 tahun, dan tembaga
dalam waktu 45 tahun. Cadangan minyak bumf dan gas alam akan habis dalam 11 clan 33
tahun. Cadangan batubara habis dalam 64 tahun. Berbagai data juga menunjukkan bahwa
sedikitnya I juta hektar hutan di Indonesia rusak dan hilang per tahun.
Dalam diskusi lain, Prof. Emil Salim menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi
selama ini didominasi oleh paradigma pasar sebagai alokasi sumber daya untuk hasil yang
efisien. Perkembangan pembangunan melahirkan dampak sosial serius dan pelanggaran hak-
hak asasi manusia, seperti kemiskinan, ketimpangan, konflik, serta persoalan lingkungan,
termasuk ancaman perubahan iklim dan merosotnya keragaman hayati.
Melihat luasnya spektrum perusakan atas nama pertumbuhan, maka istilah
pertumbuhan hijau (green growth) tak cukup memadai karena kerusakan dan menipisnya
sumber daya alam. Istilah pertumbuhan inklusif (inclusive growth) dipilih karena
mencakup konteks lebih luas, termasuk permasalahan sosial akibat eksploitasi sumber daya
alam (sosial-ekologis) yang dihilangkan dalam penghitungan pertumbuhan.
Selama ini kemajuan lebih dipahami sebagai tingginya PDB. Namun, indikator
konvensional itu dikritik sebagai dukungan terhadap pertumbuhan jangka pendek dan tidak
berkelanjutan karena mengabaikan dampak penghancuran terhadap ekosistem lingkungan dan
sosial. PDB ternyata tidak mampu mencerminkan kesejahteraan manusia dan situasi sumber
daya slam suatu negara.
Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Lingkungan (UNEP) bersama Program
Dimensi Manusia Universitas PBB (IHDP) di Rio de Janeiro meluncurkan ukuran baru, yakni
Inclusive Wealth Index (IWI) atau Indeks Kekayaan Inklusif dalam Rio +20 dalam laporan
yang berjudul Inclusive Wealth Report 2012: Measuring Progress Toward Sustainability
IWI menegaskan bahwa pencapaian yang hakiki harus terfokus pada kesejahteraan manusia
saat ini dan pada generasi mendatang.
Survei dilakukan pada 20 negara untuk menghitung ulang angka pertumbuhan pada 20
negara melalui valuasi layanan ekosistem bagi kesejahteraan manusia. Perhitungan itu
menghadapkan angka pertumbuhan ekonomi dengan kerusakan lingkungan, dihitung dari
menurunnya cakupan hutan, menipisnya sumber bahan bakar fosil dan cadangan mineral,
menyusutnya lahan pertanian, serta situasi perikanan di perairan setiap negara. Laporan
tersebut memperlihatkan pertukaran bentuk kapital yang berbeda (manufaktur, manusia, dan
modal alam) cenderung meningkatkan kerusakan sumber daya alam. Enam negara
menunjukkan jejak tidak berkelanjutan, sedangkan lima negara menunjukkan tingkat PDB
dan Indeks Pembangunan Manusia yang positif, tetapi negatif dalam IWI.
Dengan perhitungan ulang, pertumbuhan ekonomi China sebesar 422% (1990-2008)
sebenarnya hanya 45% kalau diperhitungkan dengan kerusakan sumber daya alam. Di Brasil,
perhitungan awal 31% menjadi 18%, di Amerika Serikat dari 37% menjadi 13%, Afrika
Selatan sebesar 24% menjadi malah minus 1% setelah penghitungan ulang. Antara tahun
1990 dan 2008, sumber daya alam per kapita turun 33% di Afrika Selatan, 25% di Brasil,
20% di AS, dan 17% di China. Dengan penghitungan ulang, angka pertumbuhan Indonesia
yang 7% bisa jadi di bawahnya atau bahkan jauh di bawah nol.