Disusun Oleh :
KELOMPOK 5
Abdul Aziz_D10121361 Michelle Christie Katingide_D10121214
Adam Prayoga Saputra_D10121038 Nuhra Lala Aulia_D10121372
Helmalia Putri_D10121156 Oktafeiyen_D10121380
Lastiani Pakidi_D10121372 Riskayanti_D10121028
Moh.Rizaldy_D10121601 Saskia Afifa Zahira_D10121094
Miftahul Rizka_D10121018 Wahyuni Annisa Karolind Nento_D10121343
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
A. Sejarah pengelolaan lingkungan hidup dalam perkembangan global
Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk
memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat lingkungan hidup
menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup sedunia.
Perhatian terhadap masalah lingkunnga ini dimulai dikalangan ekonomi dan social PBB
pada waktu diadakan peninjauan terhadap hasilhasil gerakan “Dasawarsa Pembangunan
Dunia ke-1 (1960-1970)” guna merumuskan strategi “(Dasawarsa Pembangunan Dunia
ke-2 (1970-1980)”.
Pembicaraan tentang masalah lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil dari swedia
pada tanggal 28 Mei 1968,1 disertai saran untuk dijajaki kemungkinan guna
menyelenggarakan suatu konferensi internasional mengenai lingkungan hidup 3. Dalam
laporan sekretaris jenderal PBB dinyatakan betapa mutlak perlunya dikembangkan “sikap
dan tanggapan baru terhadap linkungan hidup”. Empat Laporan sektretaris jendral PBB
tersebut diajukan kepada siding umum tahun 1969. Siding umum PBB menerima 1.2
1
Varindra Tarzie, The Polutan of Property, Newsweek, 1977, hlm. 27
2
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkuangan, Gadjah Mada University press, Yogyakarta, 2002, hlm.62
B. Sejarah Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia
1. Sejarah pembentukan UULH
Awalnya pembinaan lingkungan hidup dari segi yuridis di Indonesia secara
konkrit tertuang dalam Keputusanm Menteri Negara Pengawasan Pembangunan Dan
Lingkungan Hidup No.KEP-006//MNPPLH/3/1979 tentang pembentukan kelompok
kerja dalam Bidang Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber
Alam dan Lingkungan Hidup (Pokja Hukum).Pokja hukum ini bertugas menyusun
rancangan peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok
tentang Tata pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup.Hasil karya pokja
tersebut merupakan konsep rintisan dari Rancangan Undang-undang Pengelolaan
lingkungan hidup. Setelah mengalami pembahasan dan saran berbagai pihak bulan
Maret 1981 RUU tersebut disempurnakan oleh suatu tim kerja Kantor Menteri
Negara PPLH.
Perbaikan konsep RUU hasil tim kerja tersebut kemudian diajukan ke forum
antar departemen tanggal 16 s.d. 18 Maret 1981 untuk dibahas dan memperoleh
persetujuan dari menteri yang bersangkutan. Akhirnya RUU tentang
Ketentuanketentuan Pokok pengelolaan lingkungan hidup berhasil diajuka kepada
siding DPR bulan Januari 1982 sebelum masa reses menghadapi pemilihan umum,
yaitu dengan Surat Presiden No. R.01/PU/I/1982 tanggal 12 Januari 1982 untuk
mendapatkan persetujuan pada tahun 1982.
Pada tanggal 2 Februari 1982 diadakan pandangan umum para anggota DPR
dari semua fraksi dan juga dihadiri Meneri Negara PPLH.Tehadap pemandangan
umum tersebut diberikan jawaban pemerintah pada tanggal 15 Februari 1982 oleh
menteri Negara PPLH.Pembahasan tingkat III diadakan pada tanggal 17 Februari
1982 oleh panitia khusus DPR (Pansus DPR).Tanggal 17-20 Februari 1982 semua
peserta pansus dikonsinyasi untuk membahas secara intensif RUUPPLH.Dengan
sistem kerja nonstop tersebut dalam waktu relative singkat hasil maksimal dapat
dicapai.Untuk pertama kali dalam pembahasan RUU telah diikutsertakan ahli bahasa
Indonesia.
Pada tanggal 25 Februari 1982 RUULH yang telh dirumuskan kembali oleh
PANSUS DPR diajukan ke siding pleno DPR, yang dengan aklamasi menetapkan
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan hidup.
Seterusnya pada tanggal 27 Februari 1982 Menteri Negara PPLH melaporkan
segala sesuatu yang berkenaan dengan proses penyelesaian Undang-Undang
Lingkungan Hidup tersebut kepada Presiden. Akhirnya, pada tanggal 11 Maret 1982
Uundangundang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UULH) disahkan oleh presiden dan diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 No. 12, TLN RI No. 3215.
Kemudian, pada tanggal 19 September 1997, UULH disempurnakan dengan
diundangkannya Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang disingkat UUPLH. UUPLH diundangkan dalam LNRI
Tahun 1997 No. 68 dan TLNRI No. 3699.
Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat seperti rumah/pemukiman, pabrik,
pasar, gedung dan lain-lain dilanda api yang menimbulkan korban dan/atau kerugian.
Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan di mana hutan dan lahan dilanda api, sehingga
mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai
lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali menyebabkan bencana asap yang dapat
mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar.
Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tiba-tiba, mempunyai pusat,
bergerak melingkar menyerupai spiral dengan kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh
permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu singkat (3-5 menit).
Gelombang pasang atau badai adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena efek terjadinya
siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam.
Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan
pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras.
Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat
merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini
dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa
disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi.
Kecelakaan transportasi adalah kecelakaan moda transportasi yang terjadi di darat, laut dan
udara.
Kecelakaan industri adalah kecelakaan yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu perilaku kerja
yang berbahaya (unsafe human act) dan kondisi yang berbahaya (unsafe conditions). Adapun
jenis kecelakaan yang terjadi sangat bergantung pada macam industrinya, misalnya bahan dan
peralatan kerja yang dipergunakan, proses kerja, kondisi tempat kerja, bahkan pekerja yang
terlibat di dalamnya.
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau
kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
949/MENKES/SK/VII/2004.
Konflik Sosial atau kerusuhan sosial atau huru hara adalah suatu gerakan massal yang bersifat
merusak tatanan dan tata tertib sosial yang ada, yang dipicu oleh kecemburuan sosial, budaya
dan ekonomi yang biasanya dikemas sebagai pertentangan antar suku, agama, ras (SARA).
Aksi Teror adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara merampas
kemerdekaan sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda, mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik internasional.
Sabotase adalah tindakan yang dilakukan untuk melemahkan musuh melalui subversi,
penghambatan, pengacauan dan/ atau penghancuran. Dalam perang, istilah ini digunakan untuk
mendiskripsikan aktivitas individu atau grup yang tidak berhubungan dengan militer, tetapi
dengan spionase. Sabotase dapat dilakukan terhadap beberapa sruktur penting, seperti
infrastruktur, struktur ekonomi, dan lain-lain.
D.
E. Respon pemerintah dari segi hukum dalam menindaklanjuti bencana alam di
lingkungan hidup
Menebang pohon sembarangan berarti melakukan aktivitas penebangan pohon, tanpa
memperhatikan faktor lain, seperti lingkungan dan makhluk hidup. Menebang pohon secara
sembarangan akan menimbulkan dampak bagi lingkungan dan juga orang lain.
Menurut Destri Kharisma Utami dalam Kajian tentang Penebangan Pohon di luar Kawasan
Hutan (2019), penebangan pohon adalah aktivitas penebangan terhadap pohon yang
dilakukan untuk memanfaatkan seluruh bagian pohon yang berkayu.
Aktivitas penebangan pohon ini dilakukan dengan menggunakan peralatan mesin, seperti
gergaji, agar mendapatkan bagian pohon yang pas atau sesuai.
Dilansir dari situs Pusat Krisis Kesehatan - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
menebang pohon sembarangan menimbulkan dampak bagi lingkungan. Berikut contoh kunci
jawaban materi tema 3 kelas 4 mengenai dampak menebang pohon bagi lingkungan, yakni:
Timbulnya banjir
Selain dampak di atas, menebang hutan sembarangan juga menimbulkan bencana banjir.
Karena pohon berfungsi untuk menyerap dan menyimpan air dalam jumlah besar, khususnya
ketika musim hujan tiba. Ketika pohon ditebang, sumber penyerapan dan penyimpanan air
menghilang, dan akhirnya terjadilah banjir.
Jadi tidakan pemerintah bagi korporasi atau sekumpulan orang yang melakukan
perbuatan perusakan hutan yang dapat mengakibatkan bencana alam yaitu dengan
menetapkan undang undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang
bertujuan untuk menjaga hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia
sehingga keberadaanya menjadi tumpuan keberlangsungan kehidupan bangsa-bangsa di
dunia, khususnya dalam mengurangi dampak perubahan iklim global.
Oleh karena itu, dalam UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan, pemanfaatan dan penggunaannya harus dilakukan secara terencana,
rasional, optimal, dan bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan daya dukung serta
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup guna mendukung
pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan bagi kemakmuran
rakyat.
Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dengan demikian, hutan sebagai salah satu sumber kekayaan alam
bangsa Indonesia dikuasai oleh negara. Namun tetap saja rusak.
Sanksi merupakan salah satu sarana terapi yang paling ampuh diberikan kepada orang,
masyarakat, dan badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap hukum, terutama
dalam bidang kehutanan. Sebab dengan pemberian hukuman yang setimpal dengan perbuatan
yang dilakukan oleh perusak lingkungan, masalah kehutanan ini akan dapat dicegah dari
adanya kegiatan yang mengarah ke perbuatan yang merusak dan mengeksploitasi hutan
secara tidak beraturan. Dalam Pasal 42 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, setiap
orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (2), diancam
dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Ke-hutanan. Sementara itu, sanksi pidana yang berkaitan
dengan pelanggaran diatur dalam Pasal 43 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa,
setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (2),
diancam pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Pada sisi lain penjatuhan sanksi dapat dilakukan
juga terhadap pe-ngangkutan hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan surat keterangan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 44 PP-
Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, semua hail hutan yang tidak dilengkapi bersama-
sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSt-IH), sebagalimana dimaksud pada
Pasal 12 ayat (2) dirampas untuk negara (ayat (1)). Alat alat termasuk alat angkut yang
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirampas untuk negara (ayat (2)). Salah
satu dari wujud sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggaran pidana adalah penjatuhan sanksi
berupa pemberian ganti rug kepada penanggung jawab kegiatan yang mengakibatkan hutan
rusak. Dalam Pasal 45 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, setiap perbuatan
melanggar hukum yang diatur dalam Undang-Undang Kehutanan, dengan Hidak mengurangi
sanksi pidana, mewajibkan kepada penanggung jawab
perbuatan untuk membayar ganti rugi (ayat (1)). Pembayaran ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disetor oleh penanggung jawab ke Kas Negara (ayat (2)). Uang ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk biaya rehabilitasi, pemulihan
kondisi hutan atau tindakan yang diperlukan (ayat (3)). Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengelolaan dan penggunaan biaya ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) diatur bersama antara Menteri dan Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan
(ayat (4)). Namun, pada satu sisi menyangkut besarnya pengenaan pembayaran ganti rugi
diatur dalam Pasal 46 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, pengenaan pembayaran
dan besarnya ganti rugi oleh penanggung jawab perbuatan sebagaimana dimaksud pada Pasal
45 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri (ayat (1)). Penetapan besarnya ganti rugi yang harus
dibayar oleh penanggung jawab perbuatan sebagaimana dimaksud Pada ayat (1) didasarkan
pada tingkat kerusakan hutan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara (ayat (2)). Tingkat
kerusakan hutan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), didasarkan pada perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya (ayat (3). Ketentuan
lebih lanjut tentang tingkat kerusakan hutan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh menteri (ayat (4)).
Perlindungan hutan merupakan suatu kegiatan yang membutunkan perhatian yang serius,
karena apabila salah melakukan pengawasan maka akan berdampak pada gagalnya
pelaksanaan perlindungan hutan tersebut Dalam “Pasal 47 PP/ Nomor45 Tahun 2007
dinyatakan bahwa, untuk menjamin terbitnya penyelenggaraan perlindungan hutan, Menteri
berwenang melakukan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap kebijakan
Gubernur layat (1). Gubernur melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan
Sementara itu, penindakan terhadap pelanggaran mengenai ketentuan yang berkaitan dengan
perlindungan hutan, termasuk di dalamnya menyangkut barang bukti dari hasil perbuatan
pidana, maka barang bukti persebut disimpan dengan sebaik-baiknya. Dalam Pasal 53 PP
Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, barang bukti dalam perkara pidana kehutanan di-
simpan atau dikumpulkan di tempat yang tersedia pada instansi kehutanan yang
bersangkutan, rumah penyimpanan benda sitaan negara, atau lembaga konservasi tumbuhan
dan satwa liar (ayat (1)). Hasil hutan yang cepat rusak dan memerlukan biaya tinggi untuk
penyimpanannya diupayakan segera dilelang (ayat (2)). Barang bukti berupa tumbuhan dan
satwa yang dilindungi dan/atau termasuk di dalam daftar Apendix I CITES tidak dapat
dilelang (ayat (3)). Semua hasil hutan dari hasil-hasil kejahatan dan pelanggaran dan/atau
alat-alat termasuk akat angkutnya yang dipergunakan melakukan kejahatan dan atau
pelanggaran dirampas untuk negara (ayat (4)). Alat bukti yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana dilakukan pelelangan atau dikembalikan kepada yang berhak setelah adanya
keputusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap (ayat (5)). Pelaksanaan pengurusan barang bukti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri
(ayat (6)).
F. Lingkungan Hidup dan Bencana Alam
Dilihat dari perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, masalah-masalah
lingkungan hanya di kelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni pencemaran lingkungan
(environmental pollution) dan perusakan lingkungan hidup. Pembedaan masalah
lingkungan ke dalam dua bentuk dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) yang
kemudian dicabut oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH). UUPLH juga hanya mengenal dua bentuk masalah
lingkungan hidup, yaitu: pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan1.
Dalam Pasal 1 Ayat 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, yang dimaksud
dengan pencemaran lingkungan yaitu: “masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan, sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya”.
Sedangkan definisi perusakan lingkungan, menurut Pasal 1 ayat 14, yaitu:
“Tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat
fisik dan/atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam
menunjang pembangunan berkelanjutan”.
Bencana merupakan sesuatu yang dapat menyebabkan (menimbulkan)
kesusahan , kerugian atau penderitaan; kecelakaan; bahaya. Pengertian bencana dalam
Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-
alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Jika dilihat mengenai pengertian bencana seperti dalam Pasal 1 ayat (1) UU
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa bencana dapat
diklasifikasikan menjadi ke dalam:
1. Bencana Alam = diakibatkan karena faktor alam.
2. Bencana non-alam = diakibatkan karena faktor non alam.
3. Bencana Sosial = diakibatkan karena faktor manusia.
3
Takdir Rahmadi, 2019, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, hlm. 1-8