Anda di halaman 1dari 11

Konsep AMDAL pertama kali tercetus di Amerika Serikat pada tahun 1969 dengan istilah Environmental

Impact Assesment (EIA) dan mulai berlaku Januari 1970, akibat dari bermunculannya gerakan-gerakan
dari aktivis lingkungan yang anti pembangunan dan anti teknologi tinggi. AMDAL adalah hasil studi
mengenai dampak suatu kegiatan yang sedang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. AMDAL mempunyai maksud sebagai alat untuk
merencanakan tindakan preventif terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin akan ditimbulkan oleh
suatu aktivitas pembangunan yang sedang direncanakan.

AMDAL mulai berlaku di Indonesia tahun 1986 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 29
Tahun 1086. Karena pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 mengalami beberapa hambatan yang bersifat
birokratis maupun metodologis, maka sejak tanggal 23 Oktober 1993 pemerintah mencabut PP No. 29
Tahun 1986 dan menggantikannya dengan PP No. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL dalam rangka
efektivitas dan efisiensi pelaksanaan AMDAL. Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 23 Tahun
1997, maka PP No. 51 Tahun 1993 perlu disesuaikan.Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1999,
pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999.Melalui PP No. 27 Tahun 1999 ini
diharapkan pengelolaan lingkungan hidup dapat lebih optimal.

Konsep AMDAL pertama kali tercetus di Amerika Serikat pada tahun 1969 dengan
istilah Environmental Impact Assesment (EIA), akibat dari bermunculannya gerakan-gerakan dari
aktivis lingkungan yang anti pembangunan dan anti teknologi tinggi.AMDAL adalah hasil studi
mengenai dampak suatu kegiatan yang sedang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. AMDAL mempunyai maksud sebagai alat untuk
merencanakan tindakan preventif terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin akan ditimbulkan
oleh suatu aktivitas pembangunan yang sedang direncanakan. Di Indonesia, AMDAL tertera dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan pelaksanaannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999. Dengan demikian AMDAL merupakan
sarana teknis yang dipergunakan untuk memperkirakan dampak negatif dan positif yang akan
ditimbulkan oleh suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup. Dengan
dilaksanakannya AMDAL, maka pengambilan keputusan terhadap rencana suatu kegiatan telah
didasarkan kepada pertimbangan aspek ekologis. Dari uraian di atas, maka permasalahan yang kita
hadapi adalah bagaimana malaksanakan pembangunan yang tidak merusak lingkungan dan sumber-
sumber daya alam, sehingga pembangunan dapat meningkatkan kemampuan lingkungan dalam
mendukung terlanjutkannya pembangunan. Dengan dukungan kemampuan lingkungan yang terjaga
dan terbina keserasian dan keseimbangannya, pelaksanaan pembangunan, dan hasil-hasil
pembangunan dapat dilaksanakan dan dinikmati secara berkesinambungan dari generasi ke
generasi.
AMDAL mulai berlaku di Indonesia tahun 1986 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah
No. 29 Tahun 1086. Karena pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 mengalami beberapa hambatan
yang bersifat birokratis maupun metodologis, maka sejak tanggal 23 Oktober 1993 pemerintah
mencabut PP No. 29 Tahun 1986 dan menggantikannya dengan PP No. 51 Tahun 1993 tentang
AMDAL dalam rangka efektivitas dan efisiensi pelaksanaan AMDAL. Dengan diterbitkannya Undang-
undang No. 23 Tahun 1997, maka PP No. 51 Tahun 1993 perlu disesuaikan.Oleh karena itu, pada
tanggal 7 Mei 1999, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999.Melalui PP
No. 27 Tahun 1999 ini diharapkan pengelolaan lingkungan hidup dapat lebih optimal.

Dari segi sejarah dulu bahwa transportasi sungai di Indonesia sampai tahun 1920 masih dominan
seperti kota Majapahit di Jatim, dimana kota tersebut dikelilingi oleh sungai alur dan sungai buatan
manusia sebagai sarana transportasi kota. Di Jogjakarta sendiri terkenal dengan kota airnya yaitu
Taman Sari. Dan tahun 1950 di Semarang kapal dagang kecil bisa ditengah kota. dan di Jakarta
kapal barang & penumpang ukuran sedang bisa masuk sampai di belakang istana
merdeka.sementara di Sumatra dan Kalimantan sungai sudah secara tradisional digunakan sebagai
tansportasi. namun sudah 40 tahun ini transportasi sungai tidak menunjukkan
perkembanganya,bahkan kemunduran yang drastis. ini semua diantaranya ketidakpedulian
pemerintah terhadap angkutan angkutan sungai tersebut,sebagai contoh pemerintah membangun
jembatan yang melintasi sungai tidak memperhatikan ketinggian sehingga menyebabkan kapal-kapal
tidak bisa lewat dan juga jarang sekali pemerintah mengadakan perbaikan terhadap alur pelayaran.
Rakyat juga menganggap sungai bukan lagi alur transportasi melainkan tempat membuang sampah
dan tempat tinggal,sehingga muncul rumah-rumah yang dibangun dipinggir sungai.
Analisis dampak lingkungan lalu dengan di undangkanya Undang-Undang tentang lingkungan
hidup di Amerika Serikat,dengan nama National Environmental Policy (NEVA) pada tahun 1969 dan
mulai berlaku 1 Januari 1970. Neva merupakan suatu reaksi terhadap kerusakan lingkungan oleh
aktivitas manusia yang mulai meningkat,antara lain tercemarnya lingkungan oleh pestisida serta
limbah industri & transportasi. rusaknya habitat tumbuhan &hewan langka serta menurunya nilai
estetika alam.
Di Indonesia tahun 1982 telah di undangkan Undang-Undang RI nomor 4 tahun 1982 tentang
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian disusul dengan peraturan pem RI
nomor 29 tahun 1986 yang mengatur tentang Pelaksanaan Amdal, dan mulai berlaku 5 Juni 1987.

Sejarah Singkat & Prinsip Sustainable Development Dalam Hukum Lingkungan di


Indonesia
02.21 | Label: HAN, HTN, Lingkungan, Pemerintahan

Sejarah lahirnya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam


hukum lingkungan di Indonesia, bermula dari analisis dan saran yang terdokumentasikan
dalam dokume Our Common Future (hari depan bersama) dan dipublikasikan pada tahun 1987

oleh The World Commision on Environmental and Development (WCED), suatu lembaga

yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB). Konsep ini mendorong perubahan

paradigma yang mendasar dari pembangunan berwawasan lingkungan (eco developmentalism)

yang lebih menitik – beratkan pada intra generation equity dalam berbagai kegiatan

pembangunan, kini turut juga memperhatikan, selain intra generation

equity, juga extra generation equity.[1]

Namun sebelumnya, pada Tahun 1972, di Stockholm – Swedia, PBB menggelar

konferensi tentang lingkungan hidup. Kegiatan itu diselenggarakan pada tanggal 5 – 16 Juni

1972. Konferensi ini merupakan cikal bakal dari tumbuh dan berkembangnya hukum

lingkungan internasional maupun nasional. Pada kegiatan itu melahirkan suatu dokumen yakni

Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia atau biasa disebut Deklarasi Stockholm yang

terdiri atas preambule dan 26 asas serta dokumen – dokumen lainnya. Dokumem lainnya,

sebagai berikut :[2]

1. Rencana Tindak (Action Plan) yang terdiri atas 109 rekomendasi.

2. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang terdiri dari :

a. Dewan pengurus (Governing Council) Program Lingkungan Hidup (the UN Environment

Programme = UNEP)

b. Sekretariat, dipimpin oleh seorang Direktur Eksekutif.

c. Dana lingkungan hidup.

d. Badan Kordinasi Lingkungan Hidup.


3. Menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Dari hasil itu, barulah PBB membentuk WCED atau komisi ini dikenal juga dengan

sebutan Komisi Brutland. Komisi ini diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia, Gro Harlem

Brutland dan diserahi tugas sebagai berikut :[3]

1. Reexamine the critical issue of the envoriment and development and formulate innovative,
concrete, and realistic action proposals to deal with them.
2. Strengthen international cooperation on environment and develompment, and asses dan

propose news forms of coperation that can break out of existing patterns and influence policies

and events in th direction of needed changes, and


3. Raise the level of understanding and commitment to action on the part of
individuals, voluntary organizations, business, institutes and governments.
Dari tugas itulah, WCED akhirnya mempublikasikan konsep pembangunan
berkelanjutan (Sustainable Development) dan merumuskan defenisinya yaitu
“development that needs of the present without compromising the ability of future
generation to met their own needs.” Tindak lanjut dari itu, dilaksanakanlah
Konfereni Rio de Janeiro[4], Brasil pada tahun 1992, yang menghasilkan berbagai
kesepakatan sebagai berikut :[5]
1. Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
2. Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (the Biodeversity Convention).
3. Konvensi tentang Perubahan Iklim (the Climatic Change Convention).
4. Agenda 21, sebuah dokumen 800 halaman yang berisi “cetak biru” pembangunan
berkelanjutan abad 21.
5. Prinsip – prinsip pengelolaan hutan yang tidak mengikat.
6. Pengembangan lebih lanjut instrumen – instrumen hukum dari konvensi tentang
disertifikasi, konvensi pencemaran laut yang bersumber dari daratan.
7. Perjanjian untuk membentuk komisi pembangunan berkelanjutan yang tugasnya
memantau pelaksanaan kesepakatan – kesepakatan Rio dan Agenda 21.
Di Association of Southeast Asian Nations (ASEN), kesadaran untuk
melaksanakan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup ditandai adanya
beberapa kerja sama antar negara – negara anggota ASEAN. Diantaranya, kerjasama
“Tripartite Agreement” dan Deklarasi Manila. “Tripartite Agreement” adalah
kesepakatan yang dibuat antara Indonesia, Malaysia dan Singapura mengenai
pencegahan dan penanggulanangan pencemaran laut di Selat Malaka dan Selat
Singapura. Materi dalam kesepakatan itu dituangkan dalam “Indonesia, Malysia –
Singapura (IMS) Traffic Separation Scheme, Rules dan Recommendations” yang
memuat tentang penataan lalulintas laut di kedua selat dimaksud. [6] Sementara
Deklarasi Manila menghasilkan sasaran dan kebijakan penting
yaitu Objectif dan Policy Guidelines, yang kemudian ditahun 1976
menyusun ASEAN Contingensy Plan. Ruang lingkupnya adalah pengendalian
mitigasi terhadap pencemaran laut karena tumpahan minyak. Tujuannya adalah
untuk melembagakan langkah – langkah yang tepat dalam pengendalian pencemaran
laut. Kemudian dibentuklah jaringak kontak antara instansi – instansi berwenangan
dalam masing – masing negara ASEAN. Disamping itu mereka juga
menyusun Action Plan yang sasaran utamanya adalah pengembangan dan
perlindungan lingkungan laut, kawasan dan kawasan pesisir bagi kemajuan,
kesejahteraan, dan kesehatan generasi sekarang dan masa mendatang. Adapun
komponen rencana tindak ini terdiri dari analisis lingkungan (enviromental
assisment), pengelolaan lingkungan (enviromental management), dan langkah –
langkah koordinasi (coordinating measures).[7]
Terkait Deklarasi Rio maupun Deklarasi Stockholm, N.H.T.
Siahaan[8] berpendapat bahwa masing – masing telah mencoba mengakomodir eco
develompent maupun sustainable development. Keduanya dimaknai sebagai
pembangunan dengan tidak mengorbankan kepentingan lingkungan dan senantiasa
memperhatikan aspek lingkungan. Eco developement diartikan dengan
pembangungan berwawasan lingkungan yang kemudian diakomodir dalam sistem
kebijakan hukum lingkungan di Indonesia, diartikan sebagai upaya sadar dan
berencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam
pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup.
Sementara, sustainable development adalah upaya – upaya mencapai kesejahteraan
tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencapai
kesejahteraan sebagaimana yang termaktub dalam Prinsip 1 dan 3 Deklarasio Rio.
Dalam hal ini yang penting diperhatikan adalah prinsip menuju kedepan yang tidak
merugikan kepentingan generasi mendatang meskipun pembangunan merupakan
faktor penting meningkatkan kesejahteraan. Jadi bukan hanya demi kepentingan
hidup saat ini, namun kepentingan masa mendatang perlu diperhatikan.
Pembangunan berkelanjutan menurut Hadi Setia Tunggal[9] adalah
pemanfaatan sumber daya alam melalui pembangunan untuk memenuhi kebutuhan
rakyat yang dilakukan tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan, sehingga ada
keterkaitan yang erat antar hak atas pembangunan (right to development) dengan hak
atas lingkungan hidup yang sehat. Pembangunan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan
datang untuk memenuhi kebutuhannya. Inti dari pembangunan berkelanjutan adalah
keadilan dan berkelanjutan.
Sementara itu, Sustainable Development dalam konsep hukum positif di
Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam UUPLH Pasal 1 Angka 3 mengandung
pengertian yuridis yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek
lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk
menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan
dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Terkait permasalahan AMDAL,
guna melaksanakan ketentuan di dalam Pasal 33, Pasal 41 dan Pasal 56 UUPPLH
dan guna memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan teknis, Pemerintah RI
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
Hidup.
Sebelum berlakunya UUPPLH, terkait pengelolaan lingkungan hidup diatur di
dalam Undang – undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 3699), yang juga menggantikan undang – undang sebelumnya
yakni Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215). Terkait peraturan teknis dari ketentuan
undang – undang di atas, pernah berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1999 tentang AMDAL (Lembaran Negara RI Tahun1999 Nomor 59) Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 3838, yang juga menggantikan Peraturan Pemerintah
sebelumnya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang AMDAL
(Lembaran Negara RI Tahun 1993 Nomor 84) Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 3538.
Namun menurut Muhammad Erwin, untuk diketahui, bahwa konsep
pembangunan berkelanjutan untuk pertama kali dituangkan dalam kebijakan
nasional melalui Keppres Nomor 13 Tahun 1989 tentang Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita) dan TAP MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis – garis
Besar Haluan Negara.[10]
Jauh sebelumnya, pada zaman Hindia Belanda pernah juga berlaku peraturan
terkait dengan lingkungan yang dikeluarkan Penetapan Gubernur Jenderal
Indenburg pada tahun 1916 yaitu Parelvisscherij,
Sponssenvisscherijordonantie (Stbl. 1916 Nomor 157. Aturan ini mengenai
perikanan mutiara dan perikanan bunga karang. Kemudian, pada tahun 1920,
Penetapan Gubernur Jenderal Nomor 86, yaitu Visscherijodonnatie (Stbl 1920
Nomor 396) yaitu peraturan perikanan untuk melindungi keadaan ikan. Ordinansi
lain dibidang yang sama adalah Kustvisscherijordonnatie (Stbl 1927 Nomor 144).
Sementara ordonansie yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah Hidnder
- Ordonnantie (Stbl 1926 Nomor 226) yang diubah / ditambah terakhir dengan Stbl
1940 Nomor 450 yaitu Ordonansi Gangguan. Dibidang perusahaan telah pula
dikeluarkan Bedrijfsregelemen – teringsordonnantie 1934 (Stbl 1938 Nomor 80 jo.
Stbl 1948 Nomor 224). Dan banyak lagi.[11]
Sementara di zaman penjajahan Jepang di Indonesia, boleh dikatakan tidak ada
aturan khusus mengenai lingkungan. Adapun aturan yang dikeluarkan pemerintah
Jepang kala itu terkait pelarangan penebangan pohon aghata, alba dan balsem.
Penebangan dapat dilakukan berdasarkan izin dari Gunzeikan. Hal tersebut
berdasarkan Osuma S. Kanrei Nomor 6 yaitu mengenai larangan dimaksud di atas.
Adanya ketentuan ini erat kaitannya dengan kebutuhan pemerintah Jepang terhadap
tiga jenis kayu dimaksud yang mereka gunakan untuk membuat pesawat peluncur
(gliders) sebagai alat transportasi mengangkut logistik tentara.[12]
1. Prinsip – Prinsip Pembangunan Berkelanjutan.
Deklarasi Rio tentang Linkungan Hidup dan Pembangunan disebut juga
sebagai the Earth Chapter yang merupakan soft – low agreements yang memuat 27
prinsip pembangunan berkelanjutan. Adapun prinsip yang menjadi unsur penting
dalam pembangunan berkelanjutan ada 10, diantaranya adalah :[13]
a. Prinsip Kedaulatan dan Tanggung Jawab Negara (Souvereignity and state
responsibility).
Prinsip ini dirumuskan dalam Prinsip ke – 2 Deklarasi Rio yang berbunyi
“State have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principle
of international law, the souvereignity right to exploit their own resources persuant
to their own environtmental and development policies, and responsibility to ensure
that activities within their jurisdiction or contorl do not cause damage to the
environmental of other states or of areas beyond limits of national jursdiction.”
Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap negara diakui kedaulatannya
untuk memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berada dalam
batas – batas teritorial atau yuriksi negara yang bersangkutan. Namun kedaulatan
atas hak atau pemanfaatan pelaksanaan hak harus disertai tanggung jawab.
Pemanfaatan tidak boleh merugikan negara – negara lain. Prinsip ini sesuai dengan
adigium latin yakni sic utere tuo ut alienum non leadas yang artinya gunakan hak
anda sedemikian rupa agar tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Pertanggung jawaban negara amat relevan dalam konteks hukum internasional.
b. Prinsip keadilan antar generasi (Intergenerational equity).
Prinsip ini dirumuskan dalam prinpsip ke – 3 Deklarasi Rio, yang berbunyi “the
right to development must be fulfilled so as to equitably meet development and
enviromental needs of present and future generations.”
Prinsip ini mengandung makna bahwa pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan hidup oleh generasi sekarang masa data atas sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Prinsip ini juga mengandung makna bahwa generasi sekarang
memiliki kewajiban menggunakan sumber daya akan secara hemat dan bijaksana
serta melaksanakan konversi sumber daya alam sehingga sumber daya alam tetap
tersedia dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk dimanfaatkan oleh
generasi mendatang. Adalah tidak bijaksana jika generasi sekarang meninggalkan
sumber – sumber air, tanah, dan udara yang telah tercemar sehingga generasi masa
datang tidak lagi dapat memandaatkan sumber daya alam untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Prinsip ini diharapkan menjadi dasar pengembangan hukum
lingkungan nasional maupun hukum internasional.
c. Prinsip keadilan intragenerasi (intragenerational equity).
Prinsip intragenerational equity ini termaktub dalam Prinsip 5 dan Prinsip 6
Deklarasi Rio. Pada Prinsip 5 berbunyi yaitu “all states and all people shall
corporate in the esensial task of eradicating poverity as an indespensible
requirement for sustainable development, in order to decrease the disparities in
standards of living and better needs of the majory of the people of the world.”
Prinsip 6 yaitu “the special situation and needs of developing countries,
particularly the least develope and those most environmentally vurnerable, shall be
given special priority. International actions in the field of environment and
development should also addres the internest and needs of all countries.”
Prinsip ini mengandung dua makna, yakni dalam konteks hukum nasional dan
makna hukum internasional. Pasalnya prinsip keadilan intragenerasi ini relevan bagi
pengembangan hukum nasional dan hukum internasional.
Dalam konteks hukum nasional, prinsip ini mengandung makna bahwa
kemiskinan dan kesejangan kehidupan dalam masyarakat merupakan masalah –
masalah yang perlu diberantas. Maka dari itu akses pemanfaatan atas sumber daya
alam tidak boleh dimonopoli oleh kelompok tertentu. Tetapi sumber daya alam
semestinya menjadi modal untuk peningkatan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Sebagai contoh, salah satu kebijakan yang bertentangan dengan prinsip
di atas adalah kebijakan kehutanan berdasarkan pada Undang – undang Nomor 5
Tahun 1967 tentang Pokok – Pokok Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 21
1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak pemungutan Hasil Hutan yang mana
memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada perusahaan – perusahaan
swasta yang dikuasai oleh beberap gelintir orang atau keluarga, sehingga kawasan –
kawasan hutan Indonesia dikuasai oleh beberapa orang atau keluarga saja.
Sementara di sisi lain, masyarakat adat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan
hidupnya tetap miskin dan terkadang sering kali haknya untuk memanfaatkan
sumber daya hutan ditolak oleh pemegang HPH.
Dalam konteks hukum internasional, prinsip ini mengandung makna bahwa
pembangunan merupakan upaya – upaya negara berkembangan untuk memenuhi
kebuhan dan memperbaiki kualitas kehidupan mereka. Dewasa ini, terjadi
kesenjangan tingkat kosumsi negara – negara maju dengan negara – negara
berkembang. Contohnya kosumsi terhadap minyaki, tingkat kosumsi negara –
negara maju lebih besar bila dibanding dengan negara – negara berkembang.
d. Prinsip keterpaduan antara perlindungan lingkungan hidup dan
pembangunan.
Prinsip ini tercermin dalam Prinsip ke – 4 Deklarasi Rio yang berbunyi “in
order to achieve sustainable sustainable development, environment protection shall
constitute an integral part of the development procces and cannot be cinsidered in
isolation form it.”
Perwujudan dari prinsip keterpaduan antara perlindungan lingkungan hidup
dan pembangunan adalah pemberlakuan AMDAL dan perlunya ketersediaan
informasi lingkungan dalam proses pengambilan keputusan pemerintah.[14]
e. Prinsip tanggung jawab bersama tetapi berbeda (common but differentiaded
principle).
Prinsip ini dirumuskan dalam Pprinsip 7 Deklarasi Rio yang berbunyi “state
shall cooporate in a spirit of global partneship of earth’s ecosystem. In view of the
different contribution to global environmental degradation countries acknowladge
the responsibility tha they bear in the international pursuit of sustaninable
development in view of the pressure their societies place on th global environment
and of the tecnologies and financial resources the command.”
Prinsip ini mengakui adanya tanggung jawab negara – negara maju dalam
penanggulangan masalah – masalah lingkungan. Dalam konvensi perubahan iklim
negara – negara maju diminta untuk memainkan peran utama dalam penanggulangan
perubahan iklim. Namun konsep tanggung jawab bersama, tetapi berbeda
merupakan masalah yang pelik di antara negara – negara maju berkembang karena
masih belum begitu jelas sejauhmana konsep ini mengandung kewajiban hukum
negara – negara maju untuk misalkan memberi bantuan keuangan, pembangunan
kapasitas, alih teknolog kepada negara – negara berkembangan dan tolerasi atas
ketidaktaatan negara – negara berkembang terhadap konvesi perubahan iklim.[15]
f. Prinsip tindakan pencegahan.
Prinsip pencegahan mewajibkan agar langkah pencegahan dilakukan pada
tahap seidini mungkin. Dalam konteks pengendalian pencemaran, perlindungan
lingkungan paling baik dilakukan dengan cara pencegahan pencemaran daripada
penanggulangan atau pemberian ganti kerugian. Dalam Deklarasi Rio pencegahan
dirumuskan dalam Prinsip 11 yang berbunyi “state all enact effective environmental
legislation”.... Prinsip ini berhubungan dengan prinsip kehati – hatian. Kedua
prinsip menekankan pentingnya langkah antisipasi pencegahan terjadinya masalah
– masalah lingkungan.
g. Prinsip keberhati – hatian (precauntionary principle).
Prinsip keberhati – hatian dirumuskan dalam Prinsip 15 Deklarasi Rio
berbunyi “in order to protect the environment, the precauntionary approach shall
be widely applied by states according to capabilities. Where the are threat of serious
or irreversible damage, lack of full scientific certainly shall no be used as a reason
for postponing cost – effective easures to prevent environmental degradation.”
Prinsip ini mencerinkan pengakuan bahwa kepastian ilmiah sering datangnya
terlambat untuk dapat digunakan menjadi dasar perbuatan kebijakan atau
pengambilan keputusan. Langkah – langkah pencegahan tidak boleh ditunda hanya
karena alasan bahwa kerugian lingkungan belum pasti terwujud atau karena adanya
perbedaan pandangan di antara para ahli. Pengtahuan para ahli tentang hubungan
sebab akibat antara industrialisasi dan teknologi dengan lingkungan tidak selalu
sempurna dan serba pasti sehingga dampak negatif baru dapat diungkapkan atau
diketahui setelah bertahun – tahun kemudian. Dampak negatif itu sendiri sering kali
bersifat kerugian yang tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible damage). Maka
dari itu, langkah – langkah perlindungan tetap perlu dilakukan meskipun terdapat
ketidakpastian ilmiah tentang dampak negatif suatu rencana kegiatan.
h. Prinsip bekerjasama dan bertetangga baik dan bekerjasama internasional.
Prinsip ini dirumuskan dalam Prinsip 18, 19, dan 27 Deklarasi Rio. Pada
prinsip ke – 18 mengandung pengertian bahwa negara – negara yang mengetahui
terjadinya bencana lingkungan – yang berkemungkinan membahayakan lingkungan
negara tetangganya – berkewajiban untuk memberitahu negara tetangganya tentang
bencana tersebut.
Pada Prinsip 19, mengandung makna bahwa negara – negara yang di
dalamnya wilayah mereka terdapat kegiatan – kegiatan yang mungkin menimbulkan
dampak negatif lintas batas, berkewajiban untuk memberi tahu secepatnya negara –
negara tetangga tentang kegiatan – kegiatan itu dan melakukan konsultasi awal
dengan itikad baik.
Sementara pada Prinsip ke – 27, mewajibkan negara – negara untuk
membangun semangat kerja sama dengan itikad baik dan kemintraan dalam
mewujudkan prinsip – prinsip yang tercantum dalam Deklarasi Rio serta dalam
pengembangan lebih lanjut hukum iternasional dalam kaitannya dengan
pembangunan berkelanjutan. Ketiga prinsip ini menjadi fundamen penting bagi
pengembangan hukum lingkungan internasional.
i. Prinsip pencemaran berbayar.
Rumusan Prinsip ke – 16 Deklarasi Rio ini mengandung makna bahwa
pemerintah negara peserta Konferensi Rio harus menerapkan kebijakan internalisasi
biaya lingkungan dan penggunaan instrumen ekonomi. Internalisasi biaya berarti
setiap pelaku usaha harus memasukan biaya – biaya lingkunga yang ditimbulkan
oleh usahanya ke dalam biaya produksi.
j. Prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat.
Prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat atau kadang disebut prinsip
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dirumuskan di dalam Prinsip ke – 10
Deklarasi Rio. Keberadaan prinsip ini menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan
hidup bukan semata – mata urusan aparatur pemerintah atau para ahli yang bekerja
di instansi – instansi pemerintah, tetapi juga warga atau masyarakat, baik secara
perorangan maupun kelompok. Meskipun pemerintah biasanya didukung oleh para
ahli, rencana, kebijakan atau program pemerintah tidak dapat begitu saja diterima
dan dilaksanakan tanpa pelibatan masyarakat.
Unsur penting dari konsep peran serta masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup adalah bahwa warga, baik secara perorangan maupun kelompok,
memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang lingkungan hidup dari instansi
pemerintah yang menguasai informasi. Maka dari itu, negara perlu membuat dan
menyediakan prosedur atau mekanisme yang memungkinkan bagi warga mengakses
informasi yang tersedia. Negara juga perlu mengembangkan prosedur administrasi
maupun hukum yang memungkinkan masyarakat untuk mempertahankan dan
memulihkan hak – haknya.

[1]Muhammad Erwin, Op. Cit, Hal 51.


[2]Takdir Rahmadi, Op. Cit, Hal 11.
[3]Takdir Rahmadi, Op. Cit, Hal 12.
[4]Konferensi ini dihadiri 178 utusan negara, 115 Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan, 1400 orang perwakilan LSM. Konferensi ini disebut juga
sebagai Earth Summit karena pesertanya mewakili kepentingan negara di
dunia. Ibid, Hal 12 – 13.
[5]Ibid. Lihat juga, David Hunter, James Salman, Durwood Zaelke,
“Intertional Environmental Law and Policy, University Book Series,” Washington
DC, 1998, Hal 303.
[6]Munadjat Danusaputro, “Hukum Lingkungan Buku I : Umum,” Bina Cipta,
Bandung, 1981, Hal 79.
[7]Takdir Rahmadi, Op. Cit, Hal 24 – 25. Lihat Juga, Munadjat Danusaputro,
“Environmental Law Book IV Sectoral Volume 1B,” Bina Cipta, Bandung, 1983,
Hal 121.
[8]N.H.T. Siahaan, Op. Cit, Hal 10.
[9]Hadi Setia Tunggal, “Himpunan Peraturan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup,” Edisi 2011, Hevarindo, Jakarta, 2011, Hal 7.
[10]Muhammad Erwin, Op. Cit, Hal 51.
[11]Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan,” Op. Cit, Hal 65 –
68.
[12]Ibid, Hal 68.
[13]N.H.T. Siahaan, Op. Cit, 13 – 24.
[14]Philippe Sands, “International in the Field of Sustainable Development :
Emerging Legal Principles,” dalam Winfired Lang (ed), “Sustainable Development
and International Law,” Graham & Trotman / Martinus Nijhoof, 1995, Hal 61.
[15]Hunter, Salzman dan Durwood, Op. Cit, Hal 358 – 359

Anda mungkin juga menyukai