B. Deklarasi Stockholm, Rio de Jenairo dan Perkembangan Global
1. Judul Jurnal : “Perlindungan Hukum Terhadap Lingkungan Di Kawasan Pertambangan
Morowali Ditinjau Dari Hukum Lingkungan” Hukum internasional memainkan peran penting dalam masyarakat internasional. Melalui hukum internasional negara-negara merumuskan prinsip-prinsip hubungan dan kerja sama diberbagai kegiatan untuk mencapai tujuan bersama. Globalisasi yang mewarnai sistem internasional saat ini telah pula menciptakan interaksi yang intensif antara indonesia dengan masyarakat internasional bukan hanya antara pemerintah tetapi juga antara individu. Melalui hukum internasional yang dirumuskan dalam berbagai bentuk perjanjian, negara-negara menggabungkan upaya untuk menangani berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat internasional. Di Kabupaten Morowali sendiri ditemukan empat perusahaan yang bermasalah, seperti PT. Gemba Multi Mineral, PT. Mulia Pasific Resources, PT. Sinosteel Indonesia Mining dan PT. Hoffmen International, dimana masing–masing perusahaan PT. Gemba Multi Mineral dan PT. Mulia Pasific Resources, tidak memiliki izin pembuangan limbah ke badan sungai dan perusahaan tidak menyampaikan laporan rencana pengelolaan lingkungan dan laporan pemantauan lingkungan, sementara PT. Sinosteel Indonesia diketemukan tidak memiliki dokumen lingkungan, tidak melakukan kegiatan pemantauan mutu lingkungan, tidak memiliki izin pembuangan limbah tambang, dan PT. Hoffmen International, melakukan penimbunan pantai tanpa menyisahkan jalur hijau pada garis pantai. Proyek pertambangan di Kabupaten Morowali menimbulkan masalah lingkungan hidup yang beragam, perusahaan pertambangan karena sifat kegiatannya pada dasarnya selalu menimbulkan perubahan pada alam lingkungannya dan selalu diasosiasikan dengan kegiatan menggali, mengeruk, mengupas dan membongkar sehingga kata yang tepat untuk melukiskan setiap kegiatan pertambangan ialah tiada usaha pertambangan tanpa resiko pengubahan terhadap lingkungan. Selain itu masalah lingkungan yang mendasar dapat timbul karena sifat dan bentuknya. Pertama, usaha pertambangan dalam waktu yang relatif singkat dapat mengubah bentuk topografi dan keadaan muka tanah (land impact), sehingga dapat mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya. Kedua, usaha pertambangan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan antara lain; pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan zat-zat beracun. Gangguan juga berupa suara bising dari berbagai alat berat, suara ledakan eksplosif (bahan peledak) dan dapat menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuhan tambang dan gempa. Permasalahan lingkungan hidup, telah menjadi isu global yang menjadi perdebatan negara-negara di dunia. Kesadaran global akan perlunya kebersamaan masyarakat dunia untuk menyelamatkan planet bumi dan mahluk hidup yang berada di dalamnya semakin menguat dan kongkrit dengan dibentuknya badan atau lembaga oleh PBB khusus untuk lingkungan hidup yaitu, United NationEnfironmental Programme (UNEP). Selain lembaga yang dibentuk khusus untuk lingkungan hidup, masyarakat internasional juga selalu merumuskan konferensi-konferensi baru sehingga dapat menjangkau permasalahan yang belum tersentuh dalam konferensi sebelumnya. Berikut beberapa konferensi dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup diantaranya: Konferensi Stockholm, 5 Juni 1972 di Swedia, Konferensi Nairobi, 1982 di Kenya, Konferensi Bumi di Rio de Jeneiro, 3-14 Juni 1992 di Brasil, Konferensi Pembangunan Berkelanjutan, Tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan dan Konferensi Basel, Rotterdam dan Stockholm 22-24 Februari 2010 di Bali, Republik Indonesia. Melihat perkembangan global saat ini, perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini. Hukum Internasional mengenai lingkungan hidup sebagaimana telah diatur dalam berbagai Konvensi dan Deklarasi yang telah diratifikasi dalam bentuk Peraturan perundang-undangan sebenarnya sudah cukup menjanjikan. Kegiatan pertambangan di kabupaten morowali masih jauh dari harapan hukum Internnasional pasalnya kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan masih terjadi. Memanfaatkan potensi daerah secara maksimal untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakat khususnya di daerah dan masyarakat nasional pada umumnya. Selain itu pengetahuan tentang hukum internasional dalam bidang lingkungan hidup lebih ditingkatkan sehingga pengelolaan lingkungan hidup di daerah dapat terlaksana dengan baik.
Link Jurnal : https://www.neliti.com/publications/153089/perlindungan-hukum-terhadap-
lingkungan-di-kawasan-pertambangan-morowali-ditinjau 2. Judul Jurnal : Penegakan Hukum Lingkungan Pidana Terhadap Perusahaan yang Melakukan Dumping Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3) Kehadiran suatu perusahaan di tengah-tengah masyarakat terlebih lagi perusahaan tersebut membuka lahan yang semula belum tersentuh oleh teknologi canggih, suka atau tidak suka, akan membawa dampak sosial khususnya dampak lingkungan bagi masyarakat, antara lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3), yang apabila dibuang (dumping) ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Pengaturan hukum lingkungan terkait dumping limbah B3, terbagi atas pengaturan hukum lingkungan global internasional, antara lain : Konferensi Stockholm, Konferensi Nairobi, Konferensi Rio de Janeiro dan Konferensi ohannesburg. Pengaturan hukum lingkungan nasional secara umum meliputi : UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba. Secara khusus pengaturan lingkungan hidup dimulai dengan disahkannya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, diganti dengan UU No. 23 Tahun 1997, dan yang terbaru UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun khusus terkait pengaturan limbah B3 (dumping) diatur PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun selain juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 59, Pasal 60 dan Pasal 61. Penegakan hukum lingkungan pidana terhadap perusahaan yang melakukan dumping Limbah B3 telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 dan juga dalam PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, selain itu juga diatur dalam berbagai peratura perundang-undangan lainnya yang terkait dengan limbah B3. Namun implementasi aturan melalui penegakan hukum lingkungan pidana terhadap perusahaan yang melakukan dumping limbah B3 masih lemah dan belum maksimal, dikarenakan terkendala oleh berbagai faktor baik faktor hukumnya sendiri dimana sanksi pidana masih dijadikan sebagai sarana terakhir dalam penyelesaian pencemaran limbah, faktor penegak hukum tidak tegasnya aparat penegak hukum serta kurangnya SDM dalam bidang lingkungan hidup dari aparat penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas yang tidak mendukung, faktor masyarakat dan budaya yaitu pemahaman akan bahayanya limbah serta kepatuhan dan kesadaran hukum masyarakat masih kurang. Link Jurnal : https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/31264 3. Judul Jurnal : Implementasi Green Constitution di Indonesia: Jaminan Hak Konstitusional Pembangunan Lingkungan Hidup Berkelanjutan Secara khusus, permasalahan di bidang lingkungan hidup yang menjadi kompleks di era globalisasi ini, yang tidak sesuai lagi dengan konsepsi doktrinal dari lingkungan hidup itu sendiri. Bahwa dalam kajian hukum lingkungan nasional, bahwa yang menjadi konsepsi perlindungan dan pemeliharaan atas tempat hidup manusia atau lingkungan atau lingkungan hidup secara teratur dan pasti, dan yang kemudian diikuti dan ditaati semua pihak maka terkemudian dituangkan ke dalam instrumen hukum nasional sehingga mencerminkan hukum yang berbasis atau berorientasi kepada kepentingan lingkungan (environment oriented law), yang dalam hal ini berkaitan erat dengan pengaturan hukum terhadap perilaku subjek hukum dalam konteks memanfaatkan sumber daya alam di samping upaya perlindungan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup serta perlindungan terhadap segala dampak negatif yang ditimbulkan dari pemanfaatan tersebut. Dalam perkembangannya, dengan kesadaran dunia Internasional akan urgensi dari lingkungan hidup dan menjadi salah satu konsepsi dari perkembangan generasi Hak Asasi Manusia Ketiga, yang nampak jelas dengan adanya Konferensi Stockholm, Swedia dalam rangka penatalaksanaan Dasawarsa Pembangunan Dunia Ke-2 (1970-1980), Konferensi Rio de Janeiro 1992, Konferensi Johannesburg 2002, dan Konferensi Rio+20 pada Tahun 2012, melalui komitmen konferensi tersebut salah satunya mengupayakan pembangunan berkelanjutan dalam kerangka pembangunan jangka panjang dan dibutuhkannya partisipasi yang lebih luas dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan dan implementasi di semua tingkat yang simetris dengan kewajiban negara untuk membuat pengaturan perlindungan lingkungan nasional sebagai jawaban atas penurunan fungsi lingkungan. Konsep Green Constitution di dunia yang telah dipraktekkan dalam Konstitusi Ekuador 2008 dan Konstitusi Perancis 2005, tidak terlepas dengan adanya kajian ekokrasi yang menjadi antitesa dari adanya konsep kedaulatan hukum (nomokrasi) dan kedaulatan rakyat (demokrasi), yang secara nyata menjadi salah satu solusi dalam menata lingkungan hidup di dunia serta menegaskan jaminan atas hak kolektif dan hak pembangunan, salah satunya hak asasi manusia atas lingkungan hidup. Di Indonesia, setelah adanya amandemen atas UUD 1945, secara eksplisit dalam UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan perihal adanya konsep Green Constitution yang diadopsi dalam UUD Indonesia, yakni pada Pasal 28 H ayat (1) yang mencerminkan dijamin secara konstitusionalnya hak atas lingkungan hidup, serta Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang mencerminkan pembangunan berwawasan lingkungan hidup dan berkelanjutan. Disamping itu, konsiderans huruf a,b,f, Pasal 1 angka (2), Pasal 44, Penjelasan Bagian I. Umum angka (1) dan (5) UUPPLH 2009. Implementasi konsep green constitution sebagai cerminan jaminan hak konstitusional atas pembangunan lingkungan hidup berkelanjutan dapat diukur dalam beberapa indikator yakni indikator hukumnya sendiri, indikator pihak pelaksana praktik hukum, indikator masyarakat, serta indikator kebudayaan. Implementasi ini telah didukung dengan indikator masyarakat yang telah berpartisipasi aktif namun belum didukung secara optimal dengan indikator hukum, pelaksana praktik hukum serta budaya hukum aparatur negara.
Link Jurnal : https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/view/1524
4. Judul Jurnal : Kerjasama Negara-Negara ASEAN dalam Pengendalian Pencemaran Udara Lintas Batas Negara di Lihat Dari Hukum Internasional Pencemaran udara merupakan masalah yang serius.Masalah ini tidak hanya terbatas pada tingkat domestik namun sudah merambah ke lintas Negara. Pencemaran udara yang meresahkan ini terutama yaitu polusi asap (haze). Indonesia sebagai salah satu Negara pencemar udara terbesar saat yang berasal dari kebakaran hutan sejak tahun 1980-an hingga saat ini belum meratifikasi perjanjian AATHP (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution) yang merupakan perjanjian kerja sama dan terdiri dari Negara-negara anggota ASEAN. Hal ini tentu meresahkan Negara-negara tetangga antara lain Malaysia dan Singapura yang sangat dirugikan, baik secara ekonomi, sosial, ekologi serta kesehatan. Perlunya kerjasama dibidang lingkungan ini khususnya di kawasan Asia Tenggara agar kasus pencemaran udara ini dapat teratasi sebab masalah ini merupakan masalah global yang tidak hanya merugikan satu negara saja namun dapat meluas kelintas batas negara lainnya. Masalah pencemaran udara ini menyebabkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran Pernafasan Atas, radang paru–paru dan gangguan dalam aktifitas sehari– hari karena asap tebal tersebut serta kualitas udara yang buruk.Prinsip 14 Deklarasi Rio 1992 menunjukan bahwa pencegahan pencemaran lingkungan lintas batas negara adalah tanggung jawab pemerintah untuk melaksanakannya, namun apabila kita melihat peristiwa kebakaran hutan di Indonesia yang mengakibatkan pencemaran udara di ASEAN ini menunjukan bahwa pemerintah Indonesia tidak melaksanakan amanat prinsip tersebut dengan baik. Terbukti dengan pencemaran udara di Malaysia yang hampir setiap tahun terjadi, sejak tahun 80-an hingga 2006 Indonesia terus menerus menjadi pengirim asap kenegara–negara tetangga. Sebenarnya instrument hukum nasional Indonesia sudah sangat ketat memuat tentang pencegahan kerusakan lingkungan, perlindungan lingkungan dan hutan, namun apalah artinya sebuah hukum jika tidak terapkan. Dengan demikian sangat jelas bahwa Indonesia telah melanggar hak untuk hidup sehat dan produktif penduduk ASEAN maupun penduduk Indonesia sendiri akibat dari kebakaran hutan dan lahan. Bedasarkan Pasal 2 Konvensi Perubahan Iklim 1992 yang di ratifikasi Indonesia melalui Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1994 tentang pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change, Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim menyebutkan, bahwa Negara harus melindungi, sistem iklim, memerangi perubahan iklim dan dampak dari perubahan iklim, namun kenyataannya Indonesia yang seharusnya menjadi tameng dalam perlindungan iklim malah menjadi Negara perubah iklim terbesar akibat dari kebakaran hutan di wilayah nasionalnya. Pemerintah sebagai penyelenggara Negara di haruskan mengambil langkah pencegahan kebakaran hutan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan dan pecemaran lintas batas Negara. Untuk tidak membahayakan Kesehatan manusia atau meminimalisir dampak dari kebakaran hutan di Indonesia yang berupa kabut asap yang mana kabut asap tersebut sangat mengganggu aktifitas dan kesehatan manusia yang dirasakan rakyat Indonesia sendiri maupun oleh rakyat Negara tetangga.
Link Jurnal : https://www.academia.edu/download/53496667/pdf.pdf
5. Judul Jurnal : Pertanggungjawaban Pemerintah Terhadap Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu Berdasarkan Hukum Lingkungan Internasional Memasuki masa modern dimana teknologi dan informasi semakin canggih, membuat manusia lebih berperan sebagi subyek bagi dirinya sendiri. Manusia mulai menguasai dan mengeksplorasi alam untuk kepentingan pribadi, inilah yang menjadi ciri sikap Anthropocentris. Akibat nyata yang timbul kemudian adalah rusaknya lingkungan yang pada akhirnya merugikan manusia itu sendiri. Dalam perkembangannya semakin banyak lahir program lingkungan internasional dari badan-badan khusus organisasi internasional, salah satunya adalah UNESCO yang merancang suatu program untuk menjawab permasalahan lingkungan hidup melalui program cagar biosfer atau yang lebih dikenal dengan Man And Biosphere (MAB) program, dengan tujuan untuk menyelaraskan konservasi keanekaragaman hayati, pencaharian bagi perkembangan ekonomi dan sosial sekaligus melestarikan nilai-nilai budaya terkait. Salah satunya yaitu Cagar biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu yang memiliki keunggulan sebagai hutan rawa gambut terbesar di dunia. Ekosistem hutan rawa gambut mempunyai variasi kekayaan jenis fauna tersendiri yang langka dan masih terlindungi. Giam siak kecil bukit batu ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO dalam sidang 21st Session Of The International Coordinating Council Of The Man And biosphere dari 22 Cagar Biosfer yang diusulkan oleh 17 negara-negara di dunia yang diterima oleh sidang MAB/ICC, sementara 9 usulan ditunda dan satu ditolak. Cagar Biosfer GSK-BB ini merupakan cagar biosfer Indonesia yang ke tujuh setelah 6 cagar biosfer sebelumnya yang ditetapkan oleh UNESCO 28 tahun yang lalu. Pemerintah bertanggungjawab meningkatkan peranan cagar biosfer dengan menyebarluaskan bahan-bahan informasi, mengembangkan kebijakan komunikasi, memobilisasi dana untuk kepentingan cagar biosfer serta memantau, menentukan dan menindaklanjuti implementasi strategi Seville, dan menganalisa faktor-faktor yang membantu maupun yang menghambat indikator-indikator tersebut. Untuk mewujudkan tanggungjawab tersebut, Gubernur Riau mengeluarkan surat keputusan yang berisikan koordinasi dan kerjasama antar pihak pengelola yang memiliki kepentingan. Namun, pada faktanya pemerintah gagal melindungi cagar biosfer, hal ini dikarenakan banyaknya program pemerintah yang tidak berjalan serta belum adanya partisipasi pemerintah dalam tahap pemantauan dan evaluasi sehingga tidak ada kontrol antar pengelola. Upaya pemerintah dalam perlindungan cagar biosfer tidak lepas dari perlunya aturan hukum yang mengatur peran dan sanksi tegas dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Pemerintah juga perlu mengadakan aturan dasar kolaborasi antar Lembaga inti yang bertanggungjawab dalam pengelolaan cagar biosfer serta memberi perhatian dan menajemen kinerja yang baik terhadap 15 stakeholders pengelola cagar biosfer agar dapat berperan maksimal dan saling berkoordinasi satu dengan yang lainnya.
Link Jurnal : https://www.neliti.com/publications/34389/pertanggungjawaban-pemerintah-