Anda di halaman 1dari 11

NAMA : ENGGITA ANGGRAENI OKTA

NIM : 2199016350

MATA KULIAH : HUKUM LINGKUNGAN

KELAS :C

B. Deklarasi Stockholm, Rio de Jenairo dan Perkembangan Global

1. Judul Jurnal : “Perlindungan Hukum Terhadap Lingkungan Di Kawasan Pertambangan


Morowali Ditinjau Dari Hukum Lingkungan”
Hukum internasional memainkan peran penting dalam masyarakat internasional.
Melalui hukum internasional negara-negara merumuskan prinsip-prinsip hubungan dan
kerja sama diberbagai kegiatan untuk mencapai tujuan bersama. Globalisasi yang
mewarnai sistem internasional saat ini telah pula menciptakan interaksi yang intensif
antara indonesia dengan masyarakat internasional bukan hanya antara pemerintah tetapi
juga antara individu.
Melalui hukum internasional yang dirumuskan dalam berbagai bentuk perjanjian,
negara-negara menggabungkan upaya untuk menangani berbagai macam permasalahan
yang dihadapi oleh masyarakat internasional. Di Kabupaten Morowali sendiri ditemukan
empat perusahaan yang bermasalah, seperti PT. Gemba Multi Mineral, PT. Mulia Pasific
Resources, PT. Sinosteel Indonesia Mining dan PT. Hoffmen International, dimana
masing–masing perusahaan PT. Gemba Multi Mineral dan PT. Mulia Pasific Resources,
tidak memiliki izin pembuangan limbah ke badan sungai dan perusahaan tidak
menyampaikan laporan rencana pengelolaan lingkungan dan laporan pemantauan
lingkungan, sementara PT. Sinosteel Indonesia diketemukan tidak memiliki dokumen
lingkungan, tidak melakukan kegiatan pemantauan mutu lingkungan, tidak memiliki izin
pembuangan limbah tambang, dan PT. Hoffmen International, melakukan penimbunan
pantai tanpa menyisahkan jalur hijau pada garis pantai.
Proyek pertambangan di Kabupaten Morowali menimbulkan masalah lingkungan
hidup yang beragam, perusahaan pertambangan karena sifat kegiatannya pada dasarnya
selalu menimbulkan perubahan pada alam lingkungannya dan selalu diasosiasikan dengan
kegiatan menggali, mengeruk, mengupas dan membongkar sehingga kata yang tepat untuk
melukiskan setiap kegiatan pertambangan ialah tiada usaha pertambangan tanpa resiko
pengubahan terhadap lingkungan.
Selain itu masalah lingkungan yang mendasar dapat timbul karena sifat dan
bentuknya. Pertama, usaha pertambangan dalam waktu yang relatif singkat dapat
mengubah bentuk topografi dan keadaan muka tanah (land impact), sehingga dapat
mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya. Kedua, usaha
pertambangan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan antara lain; pencemaran
akibat debu dan asap yang mengotori udara dan zat-zat beracun. Gangguan juga berupa
suara bising dari berbagai alat berat, suara ledakan eksplosif (bahan peledak) dan dapat
menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuhan tambang dan gempa.
Permasalahan lingkungan hidup, telah menjadi isu global yang menjadi perdebatan
negara-negara di dunia. Kesadaran global akan perlunya kebersamaan masyarakat dunia
untuk menyelamatkan planet bumi dan mahluk hidup yang berada di dalamnya semakin
menguat dan kongkrit dengan dibentuknya badan atau lembaga oleh PBB khusus untuk
lingkungan hidup yaitu, United NationEnfironmental Programme (UNEP). Selain lembaga
yang dibentuk khusus untuk lingkungan hidup, masyarakat internasional juga selalu
merumuskan konferensi-konferensi baru sehingga dapat menjangkau permasalahan yang
belum tersentuh dalam konferensi sebelumnya. Berikut beberapa konferensi dan perjanjian
internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup diantaranya: Konferensi
Stockholm, 5 Juni 1972 di Swedia, Konferensi Nairobi, 1982 di Kenya, Konferensi Bumi
di Rio de Jeneiro, 3-14 Juni 1992 di Brasil, Konferensi Pembangunan Berkelanjutan,
Tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan dan Konferensi Basel, Rotterdam dan
Stockholm 22-24 Februari 2010 di Bali, Republik Indonesia. Melihat perkembangan
global saat ini, perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan
sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat
kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi
bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini.
Hukum Internasional mengenai lingkungan hidup sebagaimana telah diatur dalam
berbagai Konvensi dan Deklarasi yang telah diratifikasi dalam bentuk Peraturan
perundang-undangan sebenarnya sudah cukup menjanjikan. Kegiatan pertambangan di
kabupaten morowali masih jauh dari harapan hukum Internnasional pasalnya kerusakan
lingkungan akibat kegiatan pertambangan masih terjadi. Memanfaatkan potensi daerah
secara maksimal untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakat khususnya di daerah
dan masyarakat nasional pada umumnya. Selain itu pengetahuan tentang hukum
internasional dalam bidang lingkungan hidup lebih ditingkatkan sehingga pengelolaan
lingkungan hidup di daerah dapat terlaksana dengan baik.

Link Jurnal : https://www.neliti.com/publications/153089/perlindungan-hukum-terhadap-


lingkungan-di-kawasan-pertambangan-morowali-ditinjau
2. Judul Jurnal : Penegakan Hukum Lingkungan Pidana Terhadap Perusahaan yang
Melakukan Dumping Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3)
Kehadiran suatu perusahaan di tengah-tengah masyarakat terlebih lagi perusahaan
tersebut membuka lahan yang semula belum tersentuh oleh teknologi canggih, suka atau
tidak suka, akan membawa dampak sosial khususnya dampak lingkungan bagi
masyarakat, antara lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3),
yang apabila dibuang (dumping) ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam
lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Pengaturan hukum lingkungan terkait dumping limbah B3, terbagi atas pengaturan
hukum lingkungan global internasional, antara lain : Konferensi Stockholm, Konferensi
Nairobi, Konferensi Rio de Janeiro dan Konferensi ohannesburg. Pengaturan hukum
lingkungan nasional secara umum meliputi : UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan
Pokok Agraria, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 3 Tahun 2020
tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba. Secara khusus pengaturan
lingkungan hidup dimulai dengan disahkannya UU No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, diganti dengan UU No. 23
Tahun 1997, dan yang terbaru UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun khusus terkait pengaturan limbah B3 (dumping)
diatur PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun selain juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 59, Pasal 60 dan Pasal 61.
Penegakan hukum lingkungan pidana terhadap perusahaan yang melakukan dumping
Limbah B3 telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 dan juga dalam PP No.
101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, selain itu
juga diatur dalam berbagai peratura perundang-undangan lainnya yang terkait dengan
limbah B3. Namun implementasi aturan melalui penegakan hukum lingkungan pidana
terhadap perusahaan yang melakukan dumping limbah B3 masih lemah dan belum
maksimal, dikarenakan terkendala oleh berbagai faktor baik faktor hukumnya sendiri
dimana sanksi pidana masih dijadikan sebagai sarana terakhir dalam penyelesaian
pencemaran limbah, faktor penegak hukum tidak tegasnya aparat penegak hukum serta
kurangnya SDM dalam bidang lingkungan hidup dari aparat penegak hukum, faktor sarana
dan fasilitas yang tidak mendukung, faktor masyarakat dan budaya yaitu pemahaman akan
bahayanya limbah serta kepatuhan dan kesadaran hukum masyarakat masih kurang.
Link Jurnal : https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/31264
3. Judul Jurnal : Implementasi Green Constitution di Indonesia: Jaminan Hak Konstitusional
Pembangunan Lingkungan Hidup Berkelanjutan
Secara khusus, permasalahan di bidang lingkungan hidup yang menjadi kompleks di
era globalisasi ini, yang tidak sesuai lagi dengan konsepsi doktrinal dari lingkungan hidup
itu sendiri. Bahwa dalam kajian hukum lingkungan nasional, bahwa yang menjadi
konsepsi perlindungan dan pemeliharaan atas tempat hidup manusia atau lingkungan atau
lingkungan hidup secara teratur dan pasti, dan yang kemudian diikuti dan ditaati semua
pihak maka terkemudian dituangkan ke dalam instrumen hukum nasional sehingga
mencerminkan hukum yang berbasis atau berorientasi kepada kepentingan lingkungan
(environment oriented law), yang dalam hal ini berkaitan erat dengan pengaturan hukum
terhadap perilaku subjek hukum dalam konteks memanfaatkan sumber daya alam di
samping upaya perlindungan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup serta
perlindungan terhadap segala dampak negatif yang ditimbulkan dari pemanfaatan tersebut.
Dalam perkembangannya, dengan kesadaran dunia Internasional akan urgensi dari
lingkungan hidup dan menjadi salah satu konsepsi dari perkembangan generasi Hak Asasi
Manusia Ketiga, yang nampak jelas dengan adanya Konferensi Stockholm, Swedia dalam
rangka penatalaksanaan Dasawarsa Pembangunan Dunia Ke-2 (1970-1980), Konferensi
Rio de Janeiro 1992, Konferensi Johannesburg 2002, dan Konferensi Rio+20 pada Tahun
2012, melalui komitmen konferensi tersebut salah satunya mengupayakan pembangunan
berkelanjutan dalam kerangka pembangunan jangka panjang dan dibutuhkannya
partisipasi yang lebih luas dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan dan
implementasi di semua tingkat yang simetris dengan kewajiban negara untuk membuat
pengaturan perlindungan lingkungan nasional sebagai jawaban atas penurunan fungsi
lingkungan.
Konsep Green Constitution di dunia yang telah dipraktekkan dalam Konstitusi
Ekuador 2008 dan Konstitusi Perancis 2005, tidak terlepas dengan adanya kajian ekokrasi
yang menjadi antitesa dari adanya konsep kedaulatan hukum (nomokrasi) dan kedaulatan
rakyat (demokrasi), yang secara nyata menjadi salah satu solusi dalam menata lingkungan
hidup di dunia serta menegaskan jaminan atas hak kolektif dan hak pembangunan, salah
satunya hak asasi manusia atas lingkungan hidup. Di Indonesia, setelah adanya
amandemen atas UUD 1945, secara eksplisit dalam UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan
perihal adanya konsep Green Constitution yang diadopsi dalam UUD Indonesia, yakni
pada Pasal 28 H ayat (1) yang mencerminkan dijamin secara konstitusionalnya hak atas
lingkungan hidup, serta Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang mencerminkan
pembangunan berwawasan lingkungan hidup dan berkelanjutan. Disamping itu,
konsiderans huruf a,b,f, Pasal 1 angka (2), Pasal 44, Penjelasan Bagian I. Umum angka (1)
dan (5) UUPPLH 2009.
Implementasi konsep green constitution sebagai cerminan jaminan hak konstitusional
atas pembangunan lingkungan hidup berkelanjutan dapat diukur dalam beberapa indikator
yakni indikator hukumnya sendiri, indikator pihak pelaksana praktik hukum, indikator
masyarakat, serta indikator kebudayaan. Implementasi ini telah didukung dengan indikator
masyarakat yang telah berpartisipasi aktif namun belum didukung secara optimal dengan
indikator hukum, pelaksana praktik hukum serta budaya hukum aparatur negara.

Link Jurnal : https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/view/1524


4. Judul Jurnal : Kerjasama Negara-Negara ASEAN dalam Pengendalian Pencemaran Udara
Lintas Batas Negara di Lihat Dari Hukum Internasional
Pencemaran udara merupakan masalah yang serius.Masalah ini tidak hanya terbatas
pada tingkat domestik namun sudah merambah ke lintas Negara. Pencemaran udara yang
meresahkan ini terutama yaitu polusi asap (haze). Indonesia sebagai salah satu Negara
pencemar udara terbesar saat yang berasal dari kebakaran hutan sejak tahun 1980-an
hingga saat ini belum meratifikasi perjanjian AATHP (ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution) yang merupakan perjanjian kerja sama dan terdiri dari
Negara-negara anggota ASEAN. Hal ini tentu meresahkan Negara-negara tetangga antara
lain Malaysia dan Singapura yang sangat dirugikan, baik secara ekonomi, sosial, ekologi
serta kesehatan.
Perlunya kerjasama dibidang lingkungan ini khususnya di kawasan Asia Tenggara
agar kasus pencemaran udara ini dapat teratasi sebab masalah ini merupakan masalah
global yang tidak hanya merugikan satu negara saja namun dapat meluas kelintas batas
negara lainnya. Masalah pencemaran udara ini menyebabkan gangguan kesehatan seperti
infeksi saluran Pernafasan Atas, radang paru–paru dan gangguan dalam aktifitas sehari–
hari karena asap tebal tersebut serta kualitas udara yang buruk.Prinsip 14 Deklarasi Rio
1992 menunjukan bahwa pencegahan pencemaran lingkungan lintas batas negara adalah
tanggung jawab pemerintah untuk melaksanakannya, namun apabila kita melihat peristiwa
kebakaran hutan di Indonesia yang mengakibatkan pencemaran udara di ASEAN ini
menunjukan bahwa pemerintah Indonesia tidak melaksanakan amanat prinsip tersebut
dengan baik. Terbukti dengan pencemaran udara di Malaysia yang hampir setiap tahun
terjadi, sejak tahun 80-an hingga 2006 Indonesia terus menerus menjadi pengirim asap
kenegara–negara tetangga. Sebenarnya instrument hukum nasional Indonesia sudah sangat
ketat memuat tentang pencegahan kerusakan lingkungan, perlindungan lingkungan dan
hutan, namun apalah artinya sebuah hukum jika tidak terapkan. Dengan demikian sangat
jelas bahwa Indonesia telah melanggar hak untuk hidup sehat dan produktif penduduk
ASEAN maupun penduduk Indonesia sendiri akibat dari kebakaran hutan dan lahan.
Bedasarkan Pasal 2 Konvensi Perubahan Iklim 1992 yang di ratifikasi Indonesia
melalui Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1994 tentang pengesahan
United Nations Framework Convention On Climate Change, Konvensi Kerangka Kerja
PBB Mengenai Perubahan Iklim menyebutkan, bahwa Negara harus melindungi, sistem
iklim, memerangi perubahan iklim dan dampak dari perubahan iklim, namun
kenyataannya Indonesia yang seharusnya menjadi tameng dalam perlindungan iklim
malah menjadi Negara perubah iklim terbesar akibat dari kebakaran hutan di wilayah
nasionalnya.
Pemerintah sebagai penyelenggara Negara di haruskan mengambil langkah
pencegahan kebakaran hutan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan dan pecemaran lintas
batas Negara. Untuk tidak membahayakan Kesehatan manusia atau meminimalisir dampak
dari kebakaran hutan di Indonesia yang berupa kabut asap yang mana kabut asap tersebut
sangat mengganggu aktifitas dan kesehatan manusia yang dirasakan rakyat Indonesia
sendiri maupun oleh rakyat Negara tetangga.

Link Jurnal : https://www.academia.edu/download/53496667/pdf.pdf


5. Judul Jurnal : Pertanggungjawaban Pemerintah Terhadap Cagar Biosfer Giam Siak Kecil
Bukit Batu Berdasarkan Hukum Lingkungan Internasional
Memasuki masa modern dimana teknologi dan informasi semakin canggih, membuat
manusia lebih berperan sebagi subyek bagi dirinya sendiri. Manusia mulai menguasai
dan mengeksplorasi alam untuk kepentingan pribadi, inilah yang menjadi ciri sikap
Anthropocentris. Akibat nyata yang timbul kemudian adalah rusaknya lingkungan yang
pada akhirnya merugikan manusia itu sendiri.
Dalam perkembangannya semakin banyak lahir program lingkungan internasional
dari badan-badan khusus organisasi internasional, salah satunya adalah UNESCO yang
merancang suatu program untuk menjawab permasalahan lingkungan hidup melalui
program cagar biosfer atau yang lebih dikenal dengan Man And Biosphere (MAB)
program, dengan tujuan untuk menyelaraskan konservasi keanekaragaman hayati,
pencaharian bagi perkembangan ekonomi dan sosial sekaligus melestarikan nilai-nilai
budaya terkait.
Salah satunya yaitu Cagar biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu yang memiliki
keunggulan sebagai hutan rawa gambut terbesar di dunia. Ekosistem hutan rawa
gambut mempunyai variasi kekayaan jenis fauna tersendiri yang langka dan masih
terlindungi. Giam siak kecil bukit batu ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO
dalam sidang 21st Session Of The International Coordinating Council Of The Man And
biosphere dari 22 Cagar Biosfer yang diusulkan oleh 17 negara-negara di dunia yang
diterima oleh sidang MAB/ICC, sementara 9 usulan ditunda dan satu ditolak. Cagar
Biosfer GSK-BB ini merupakan cagar biosfer Indonesia yang ke tujuh setelah 6 cagar
biosfer sebelumnya yang ditetapkan oleh UNESCO 28 tahun yang lalu.
Pemerintah bertanggungjawab meningkatkan peranan cagar biosfer dengan
menyebarluaskan bahan-bahan informasi, mengembangkan kebijakan komunikasi,
memobilisasi dana untuk kepentingan cagar biosfer serta memantau, menentukan dan
menindaklanjuti implementasi strategi Seville, dan menganalisa faktor-faktor yang
membantu maupun yang menghambat indikator-indikator tersebut. Untuk mewujudkan
tanggungjawab tersebut, Gubernur Riau mengeluarkan surat keputusan yang berisikan
koordinasi dan kerjasama antar pihak pengelola yang memiliki kepentingan. Namun, pada
faktanya pemerintah gagal melindungi cagar biosfer, hal ini dikarenakan banyaknya
program pemerintah yang tidak berjalan serta belum adanya partisipasi pemerintah dalam
tahap pemantauan dan evaluasi sehingga tidak ada kontrol antar pengelola.
Upaya pemerintah dalam perlindungan cagar biosfer tidak lepas dari perlunya aturan
hukum yang mengatur peran dan sanksi tegas dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
Pemerintah juga perlu mengadakan aturan dasar kolaborasi antar Lembaga inti yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan cagar biosfer serta memberi perhatian dan
menajemen kinerja yang baik terhadap 15 stakeholders pengelola cagar biosfer agar dapat
berperan maksimal dan saling berkoordinasi satu dengan yang lainnya.

Link Jurnal : https://www.neliti.com/publications/34389/pertanggungjawaban-pemerintah-


terhadap-cagar-biosfer-giam-siak-kecil-bukit-batu

Anda mungkin juga menyukai