Anda di halaman 1dari 3

Albertus Redy Gunadi

031911133167

1. Semenjak perang dunia , terjadi banyak sekali dampak dampak perang yang masih dapat
dirasakan oleh dunia, salah satu dampak negatifnya ialah pencemaran lingkungan. Oleh karena
lingkungan merupakan salah satu obyek masalah yang menyangkut keberlangsungan hidup
sedunia dan generasi mendatang. Namun begitu, kesadaran untuk memeberikan perhatian khusus
pada masalah lingkungan tidak langsung terbentuk, namun berawal dari sejumlah negara maju
Amerika Serikat, Belanda, dan jepang yang telah membentuk hukum lingkungannya masing-
masing dalam bentuk peraturan perundang-undangan pada akhir 1960-an. Hal ini terlihat dari
Amerika serikat dengan National Environmental policy Act 1969 (NEPA), Belanda dengan Wet
Verontreiniging Oppervlaktewateren 1969 (WVO) dan Wet Inzake de Luchtverontreiniging
1970 (WLV), serta jepang dengan Basic Law for Environmental Protection 1967.
Perkembangannya hinga ketahap internasional dimulai oleh wakil dari Swedia pada tanggal 28
Mei 1968, yang juga disertai saran untuk kemungkinan diadakannya konferensi internasional
mengenai lingkungan hidup pada PBB. Saran tersebut didukung juga oleh laporan sekretaris
jenderal PBB yang menyatakan betapa mutlak perlunya dikembangkan “sikap dan tanggapan
baru terhadap linkungan hidup”.Laporan tersebut diajukan kepada sidang umum tahun 1969 dan
menerima baik tawaran pemerintah swedia untuk menyelenggarakan konferensi PBB tentang
Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm pada bulan Juni 1972. Konferensi PBB tentang
lingkungan hidup di selenggarakan di Stockholm pada tanggal 5-16 Juni 1972, yang diikuti oleh
113 negara dan beberapa puluh peninjau. Konferensi ini dianggap sebagai titik bangkitnya
perhatian internasional pada masalah lingkungan hidup. Namun Uni Soviet dan beberapa negara
eropa timur memboikot konferensi ni karena alasan politik. Konferensi Stockholm menghasilkan
suatu konsep hukum lingkungan yang disebut suitanable development(Pembangunan yang
berkelanjutan). Hasil konferensi Stockholm ini mengalami tindak lanjut dan mewajibkan negara
peserta koferensi meratifikasinya.

Setelah konferensi Stockholm, perhatian internasional terhadap lingkungan hidup terus


berkembang kedepannya hingga menghasilkan Deklarasi Rio 1992. Deklarasi ini ialah hasil dari
Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Lingkungan dan Pembangunan
(UNCED). Konferensi ini digelar di Rio de Jenairo, Brazil, 3-14 Juni 1992 dengan dihadiri 108
kepala negara/kepala pemerintahan dari 172 negara yang berpartisipasi.Dalam deklarasi ini
muncul sejumlah prinsip penting dalam huku lingkungan, yakni yaitu asas tanggung jawab
negara, asas keterpaduan, asas kehati-hatian, asas keadilan, asas pencemar membayar, asas
partisipatif dan asas kearifan lokal. Prinsip ini bertujuan untuk melengkapi hasil konferensi
sebelumnya tentang masalah lingkungan hidup dan diadopsi oleh negara-negara anggota
konferensi.

2. Indonesia juga ikut sebagai negara konferensi Stockholm , salah satu perannya dalam
konferensi tersebut ialah memberikan dokumen Indonesia’s country report yang dahulunya
disampaikan oleh forum ECAFE Seminar on development and environtment di Bangkok, tanggal
17-23 Agustus 1971. Dari dokumen tersebut diketahui bahwa Indonesia masih minim pengertian
tentang pentingnya lingkungan hidup dan secara yuridis belum cukup mengatur tentang masalah
lingkungan hidup. Semenjak konferensi Stockholm tersebut, Indonesia baru meratifikasi hasilnya
dengan diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup pada tanggal 11 Maret 1982 *disebut juga UULH 1982).
UULH 1982 pada tanggal 19 September 1997 kemudia digantikan oleh Undang-undang No. 23
Tahun 1997 dan digantikan oleh UU No. 23 Tahun 1997 (UULH 1997). Pada tahun 2009 UULH
1997 juga dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN tahun 209 No. 140 (disingkat dengan UUPPLH).

Meskipun semua undang-undang tenatng lingkungan di Indoenisa sama-sama mengatur


tentang ketentuan-ketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum, ada yang berbeda dari
UUPPLH dibandingkan dengan unndang-undang lingkungan sebelunya. Pertama, UUPPLH
telah mengadopsi asas-asas yang terdapat dalam Deklarasi Rio pada Tahun 1992 secara
tegas, yang belum diadopsi oleh undang-undang lingkungan sebelumnya, yakni asas tanggung
jawab negara, asas keterpaduan, asas kehati-hatian, asas keadilan, asas pencemar
membayar, asas partisipatif dan asas kearifan lokal. Hal ini menjadi penting karena dalam
menghadapi kepentingan ekonomi jangka pendek yang mengancam kepentingan lingkungan
hidup. Hakim dapat memerhatikan asas-asas itu unutk memerhatikan kepentingan lingkungan
hidup terhadap kepentingan pelaku usaha atau pejabat negara yang melangggar hukum. Kedua,
UUPPLH lebih maju dalam memberikan perlindungan hukum pada perjuang hak-hak atas
lingkungan hidup dari kemungkinan adanya tuntutan pidana dan gugatan perdata, hal ini
dijelaskan dalam Pasal 66 dari UUPPLH. Perlindungan hukum ini sangat penting karena dahulu
terjadi banyak kasus di mana para aktivis lingkungan hidup yang melaporkan dugaan terjadinya
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup telah digugat secara perdata atau dituntut secara
pidana atas dasar pencemaran nama baik perusahaan-perusahaan yang diduga telah menimbulkan
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Ketiga, UUPPLH telah melakukan perubahan
terkait “kewenangan penyidikan” dalam perkara-perkara lingkungan, seperti yang dijelaskan
dalam Pasal 94 ayat (6) dari UUPPLH. Melalui pasal tersebut, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) lingkungan hidup dapat dan berwenang untuk menyerahkan berkas hasil penyidikan
secara langsung kepada penuntut umum tanpa melalui Polri lagi, yang dahulu menjadi saatu-
satunya institusi yang dapat enyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum. Keempat,
UUPPLH telah mengatur “delik materil”yang berlaku pada pejabat pemerintah yang
berwenang dalam bidang pengawasan lingkungan, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 112 dari
UUPPLH. Hal ini dianggap kebijakan pemidanaan yang maju dalam rangka mendorong para
pejabat pemerintah untuk sungguh-sungguh melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup
Kelima, Pendekatan hukum pidana dalam UUPPLH bukanlah merupakan ultimum remedium
(upaya terakhir) untuk menghukum para pelaku usaha yang telah menimbulkan masalah dalam
bidang lingkungan hidup. Dalam UUPPLH, ultimum remedium hanya berlaku pada pasal 100
UUPPLH. Sebelumnya, upaya penegakkan hukum administratif menjadi jalan pertama sebelum
penegakkan hukum pidana. Keenam, UUPPLH ecara tegas mengatur bahwa pertanggung-
jawaban pidana berada di tangan pimpinan suatu badan usaha yang sudah mengakibatkan
terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, seperti yang diatur dalam Pasal 116-119
UUPPLH. Namun, UUPPLH tetap mengadopsi pertanggungjawab badan usaha (corporate
liability). Pasal 116 UUPPLH memuat kriteria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha
dan siapa yang harus bertanggung jawab.

Anda mungkin juga menyukai