Anda di halaman 1dari 4

Argumentasi Van Vollenhoven tahun 1905 cukup menghambat niat pejabat" menundukan hukum adat

Amandemen Idsinga- Hukum adat hanya boleh digantikan oleh hukum eropa manakala dibutuhkan

Van Vollenhoven: Penerapan hukum eropa tidak sesuai dengan kebutuhan pribumi, mengancam
tatanan pribumi. Mengkaji dahulu hukum hukum adat, dan kebutuhan humum adat pribumi

Amandemen Van Idsinga tidak segera diimplementasikan pemerjntah Belanda.

Pada tahun 1914, Pemerintah Belanda menerbitkan rancsngan KUHP untuk seluruh golongan Hindia
Belanda, berlawanan dgn amanden Van Idsinga

Oleh Van Vollenhoven dikritik pedas melalui tulisan tulisannya, akhirnya rancangan KUHP itu
ditinggalkan dan tidak pernah dibawa ke parlemen

Pada tahun 1919 usaha mengabaikan hukum adat dengan rancangan unifikasi hukum eropa oleh Th. B.
Pleyte berupa rancangan UU Tentang Hak Kepemilikan Tanah Orang orsng Pribumi

Van Vollenhoven mengkritik pemerintah yang mengingkari hak kepemilikan rakyat (beschikkingsrecht).
Pada tahun yang sama rancangan UU tsb ditarik kembali.

Amandemen Van Idsinga dinyatakan mulai berlaku untuk menyemppurnakan 75 RR 1854 yang kelak
dimasukkan dalam pasal 121 IS

Pada tahun 1923 F. J. H. Cowan (direktur kehakiman pada pemerintahan kolonial di batavia)
memperkenalkan rancangan UU untuk mengkodifikasi Kitab UU Hak Perdata untuk Hindia Belanda.
Sebenarnya telah selesai pd 1920.

Pd 1925 Cowan berargumentasi dengan dua dalih:

a. Hukum adat menimbulkan ketidakpastian hukum, mempersulit hakim dalam memberi keputusan
b. Corak hukum pluralistik membuat situasi kebingungan. Penggunaan hukum eropa karena
pertimbangan masyarakat yang mengambil pranata pranata barat daripada timur.

Van Vollenhoven mengkritik bahwa Cowan mengabaikan bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup
yang tidak mungkin direkayasa dengan cara menerbitkan sesuatu dalam Staatsblad.

Pemerintah pada akhirnya menolak rancangan itu karena dianggap ruwet, terdiri dari 2200 pasal dengan
banyak perkecualian.

Rancangan UU Cowan adalah rancangan terakhir Pemerintah Hindia Belanda untuk merealisasikan
kodifikasi dan unifikasi

Pada tahun 1922 Van Vollenhoven dengan J. Oppenheim menerbitkan naskah akademik tentang
konstitusi Hindia Belanda. Naskah ini dikesampingkan oleh Menteri Kolonel S. de Graff , terutama
mengenai otonomi tanah jajahan yang dinilai akan menghambat pemerintah kolonial ikut campur dalam
hukum adat.

Menurut John Ball pada tahun 1927 hukum adat mulai dihormati pemerintah dan tidak ada usaha untuk
menggantinga dgn hukum barat, seperti unifikasi hukum perburuhan yang ditinggalkan pd tahun itu, dan
yang baru hanya ditetapkan bagi orang eropa saja.

Dualisme tetap dipertahankan, dgn catatan bahwa hukum adat perlu dikaji lagi jika ada usaha
pengkodifikasian hukum.

Salah satu murid Van Vollenhoven yang berjasa melesfarikan hukum adat adalah B. ter Haar Bzn,
seorang guru besar di Univ. Leiden pd tahun 1930-an. Ia turun kelapangan untuk memastikan lestarinya
hk. adat

Ter Haar berhasil mempertahankan hukum adat sepanjang 1930-an sampai pecahnya Perang Pasifik pd
1942 dengan mempertahankan hukum adat sbg hukum yg hidup dan terpakai di badan pengadilan
negara (landraad) atas dasar yurisprudensi landraad.

Pada 1930an banyak landraad yang sdh diketuai oleh hakim pribumi. Hukum adat memperoleh
bentuknya yang formal sbg hukum pengadilan negara dan tersistemasi lewat yurisprudensi.
Haar berjasa dlm merawat kelestarian hukum adat lewat sistem common law dan tdk menggunakan
kodifikasi yang sebenarnya lebih disarankan oleh Van Vallenhoven

Setelah masa ter Haar, ketika Indonesia merdeka, pola kerja yang tersusun menurut common law Anglo
Saxon banyak tidak dikenali orang dan lebih mengarah pada common law(perundang undangan), sesuai
saran Van Vallonhoven.

Usaha pengkodifikasian hukum adat yang sebenarnya memiliki kekuatan sebagai wujud realita pola
perilaku (pattern of actual behavior) kini kehilangan kekuatan itu melalui kodifikasi hukum (pattern for
behavior). Ter Haar sebenarnya hanya memodernisasi hukum adat dalam ihwal forum dan fungsinya
saja, namun menyerahkan pemutakhiran nilai/ modernisasi substansinya pada masyarakat langsung

Hukum adat menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law nenurut konsep legal
realism dan bukan sbg hukum kodifikasi berdasarkan kinsep analytical jurisprudence.

Dalam prakteknya selalu ada celah perbedaan antara kodifikasi dan unifikasi dengan yang terjadi di
lapangan, seperti unifikasi hukum tanah dan hukum perkawinan

Hukum pada faktanya tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, oleh karena itu muncul self
regulating mechanism yang bersifat informal, yang dapat menyelesaikan permasalahan.

Kebijakan yang realistik dalam upaya unifikasi hukum seharusnya mempertimbangkan masalah obyektif
yang menyebabkan gagalnya unifikasi hukum adat pada masa kolonial.

Perbedaan pendekatan dan penghmgarapan hukum adat

Van Vollenhoven: melihat hk.adat sbg gedragsregels, sbg milik rakyat, lebih cocok digunakan semasa
hukum adat belum memperoleh pengakuan dari pemerintah, keputusan Van Vollenhoven ini
dipengaruhi kesan hk. adat yang dikhotomik/konfrontatif terhadap hukum kodifikasi.
Ter Haar: hk. adat sbg gedragsregels, melihat h. adat sbg bagian dr kebijakan penguasa, keputusan ter
Haar dlm penerapan common law dipengaruhi oleh keaadaan dimana hk. adat sudah mendapat
pengskuan dan tempat dr pemerintah, dualisme hukum tak lagi dipermasalahkan dan mencapai
enlightened dualism, yaitu penyelesaian secara hukum intergentil/antar gol. hukum adat yang bersifat
informal dan terpraktekan dalam hidup masyarakat, maju sebagai rechtsbeslissingen

Buah usaha Van Vollenhoven dan ter Haar berhasil memantapkan Hk. adat yg dpt mengimplementasi
pasal 131 IS guna mencukupi kebutuhan rakyat pribumi.

Argumentasi I. a. Nedenburgh tentang bagaimana suatu saat hukum adat akan tergerus oleh hukum
hukum eropa - yang pada saat zaman Vollenhoven terlihat idealis - terbukti benar.

Tantangan lain terhadap eksponen eksponen hk. adat adalah politisi dan tokoh intelektual konservatif,
seperti Gerretson dan mantan menteri M. W. F. L Treub yang membela kepentingan pemerintah hindia
belanda daripada sisi pribumi saja. Mereka dengan dana dari pengusaha minyak di bumi hindia belanda
mendirikan fakultas indologi di univ Utrecht untuk menandingi fakultas serupa di univ. Leiden yang
dianggap telah dipengaruhi para simpatisan pribumi.

Treub yang menjabat ketua dewan industri di hindia belanda beserta Gerretson membuat kritik dan
perseteruan dengan Van Vollenhoven, yang menyebut dirinya melebih lebihkan hukum adat dan
meragukan integritas dan patriotisme univ. Leiden Akan tetapi pengaruh univ. Leiden tak banyak
tergoyahkan.

Pada 1930 sekelompok sarjana Leiden menerbitkan majalah De Stew yang progresif bahkan sampai pada
kemungkinan kemerdekaan Indonesia. Byk pandangan Vollenhoven yg sejalan dgn ini. Sedangkan untuk
ter Haar banyak membeei pengaruh besar pada murid muridnya yang nasionalis, bahkan mendominasi
sumpah pemuda.

Anda mungkin juga menyukai