Anda di halaman 1dari 14

UJIAN TENGAH SEMESTER

SEJARAH HUKUM

Dosen Pembimbing :

Dr. Dedy Hernawan,S.H, M.Hum

Disusun Oleh :

208040041 Rini Bintaria

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM KESEHATAN

PASCASARJANA UNIVERSITAS PASUNDAN

BANDUNG - 2020
I. Hukum adat bukan hukum internasional tetapi merupakan hukum modern yang sulit tertinggal
karena sifatnya yang dinamis, sehingga mudah menyesuaikan diri. Karena itu perubahan dalam
Hukum Adat tidak revolusioner tapi bersifat evolusi. Dengan demikian Hukum Adat dapat
mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan ke-Indonesia-an.
Uraikan bagaimana pandangan anda terhadap pernyataan tersebut diatas.

Pembahasan :

Menurut R. Van Dijk, Hukum Adat adalah hukum yang hidup (the living law)
dalam msyarakat, sehingga disamping sifatnya yang tradisional karena diwariskan secara
turun temurun dari nenek moyang, hukum adat juga juga mempunyai sifat yang dinamis
dan fleksibel, dapat berubah dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri.
Dengan begitu, di satu sisi hukum adat mampu melestarikan keunggulan-keunggulan nilai-
nilai hukum yang diwariskan oleh nenek moyang, namun juga senantiasa bersifat responsif
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi disekelilingnya. Pernyataan mengenai sifat
hukum adat yang dinamis itu sesungguhnya bukanlah pernyataan yang baru, sebab
sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo, C. van Vollenhoven sendiri menyatakan
bahwa hukum adat adalah suatu fenomena dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa
bergerak, yang senantiasa berada dalam proses berhubungan timbal balik, proses dorong
mendorong, dengan fenomena lain dalam masyarakat. Pengertian demikian, jelas
mengarah pada pengertian tentang hukum sebagai suatu kenyataan yang hidup, dapat
berubah (dinamis) dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan jaman
(fleksibel).
Disamping sifatnya yang tradisional, Hukum Adat juga mempunyai corak “Dapat
berubah/ Dinamis” dan mempunyai “Kesanggupan Menyesuaikan Diri/ Plastisch”. Hukum
bersifat Plastisch bilamana dalam pelaksanaannya dapat diperhatikan hal–hal yang
tersendiri. Sedangkan perubahan dapat dilakukan dengan cara menghapuskan dan
mengganti peraturan itu dengan yang lain secara tiba-tiba atau perubahan itu terjadi oleh
karena pengaruh kejadian, perikehidupan yang silih berganti. Sedangkan kesanggupannya
untuk menyesuaikan diri oleh karena bentuknya Hukum Adat itu tidak tertulis dan tidak
dikodifikasikan, maka dengan sifat elastisitasnya yang luas sewaktu–waktu dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Hukum Adat tumbuh dan berakar dari kenyataan-
kenyataan hidup dalam masyarakat, karena proses terjadi dan terbentuknya yang lalu
ditaati (proses pengkaidahannya) tidak tergantung dari penguasa masyarakat.
Menurut Prof. Soepomo, Hukum Adat terus–menerus dalam keadaan tumbuh dan
berkembang seperti hidup itu sendiri. Sedangkan Prof. Djojodigoeno, SH bahwa dalam
pelaksanaannya Hukum Adat sama sekali tidak terikat oleh norma–norma hukum bukanlah
rangkaian norma melainkan suatu proses yang tidak ada hentinya. Lebih lanjut dikatakan
oleh Van Vollenhoven, Hukum Adat berkembang dan terus maju, keputusan–keputusan
adat menimbulkan hukum. Hukum Adat pada waktu yang lampau agak berbeda isinya
dengan Hukum Adat pada waktu sekarang, karena Hukum Adat selalu menunjukkan
perkembangan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa : ‘Hukum Adat Indonesia adalah Hukum yang
hidup dalam masyarakat (the living law) yang selalu hidup, berubah dan atau dapat
menerima perubahan dan menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat modern sekarang
ini’.

II. Uraikan bagaimana perkembangan berlakunya Hukum Adat pada masa Kolonial Belanda,
Pendudukan Jepang, Orde Lama Orde Baru, Masa Reformasi sampai saat ini.
Kemukakan pula kesimpulan apa yang anda dapatkan atas uraian tersebut diatas.

Pembahasan :

Pada masa VOC sebenarnya telah dimulai kajian hukum adat, tetapi istilah “hukum
adat” (adatrecht) baru pertama kali digunakan pada tahun 1900 oleh Hurgronje, yang
digunakan untuk menunjuk bentuk-bentuk adat yang mempunyai konsekwensi hukum.
Mengenai arti hukum adat, terdapat beberapa definisi yang menunjukan pemahaman dari
para ahli tentang subyek ini. Namun mereka semua tetap merefleksikan satu ide bahwa
hukum adat merupakan hukum yang muncul sebagai hasil dari pemikiran dan keinginan
hukum dalam masyarakat. Karena hukum adat merupakan suatu sistem hukum, maka ia
juga dilengkapi dengan sanksi untuk mendorong keefektifan hukumnya.
Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda
akan memberlakukan hukum eropa atau huku yang berlaku di Belanda menjadi hukum
positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi. Asas konkordansi : yaitu
asas bahwa hukum yang berlaku di Indonesia harus mengikuti asas-asas hukum yang
berlaku di Belanda. Dengan kata lain : Hukum Adat harus diganti dengan Hukum Tertulis,
hukum yang sama untuk seluruh Indonesia, dan hukum yang asas-asasnya sama dengan
hukum yang berlaku di Belanda.
Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda di
negerinya sendiri maupun pemerintah kolonial yang ada di Indonesia ini, maka secara
ringkasnys undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum
adat seterusnya didalam sistem perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut:
a. Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki apakah
hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi Barat. Rencana
kodifikasi Wichers gagal.
b. Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan
penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk
kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
c. Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan kodifikasi
local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah daerah yang
penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum terlaksana.
d. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undangundang
untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda
menghendaki supaya seluruh penduduk asli tundukpada unifikasi hukum secara
Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen
yakni amandemen Van Idsinga.
e. Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen
Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk
di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal.
f. Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat
rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah
Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena
kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu
bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undangundang kesatuan itu tidak mungkin.
Hukum Adat sejak tahun 1928 yang tidak lagi didasarkan atas suatu asas Asimilasi
ke arah Hukum Eropa, tetapi atas asas non asimilasi. Di dalam karangannya “Setengah
Jalan Politik Hukum Adat Baru” Ter Haar menggambarkan hasil perundang-undangan di
lapangan Hukum Adat itu sebagai berikut :
a. Peradilan Adat di daerah yang diperintah secara langsung diberi aturan dasar
dalam Ordonasi (S. 1932 – 80) dan dalam peraturan pelaksanaannya yang dibuat
oleh Resident setempat.
b. Peradilan Swapraja diberi beberapa aturan dasar dalam Zelf-Bestuursregelen 1938
(S. 1938 – 529) dalam Lang Contract dan dalam peraturan daerah Swapraja yang
bersangkutan serta peraturan yang dibuat oleh Residen setempat.
c. Hakim Desa diberi pengakuan perundang-undangan dalam S.1935 – 102 yang
menyisipkan pasal 3 a ke dalam R.O.
d. Sebagai salah satu hasil usaha untuk memperbaiki peradilan agama, dalam Pasal
134 I.S (vide ayat 2) diadakan perubahan (menurut S.1929– 221jo 487). Kemudian
pada tahun 1931 diadakan penegasan tentang Susunan dan Kompetensi Pengadilan
Agama (S. 1931 – 53) (direalisasikan pada Tahun 1937 – 116). Pada tanggal 1
Januari 1938 didirikan “Mahkamah Urusan Agama Islam” sebagai pengadilan di
banding atas keputusan Pengadilan Agama yang dikenal dengan nama RAAD
AGAMA (S. 1937 – 610).
e. Tanggal 1 Januari 1938 merupakan hari bersejarah bagi Hukum Adat, karena pada
waktu itu Raad van Justitie di Kota Betawi didirikan suatu Adat Kamer (Kamar
Adat) yang mengadili dalam tingkat banding perkara-perkara hukum privat adat
yang telah diputuskan oleh Landraaden di Jawa, Palembang, Jambi, Bangka-
Belitung, Kalimantan dan Bali (S. 1937– 631).
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, sehari berikutnya
tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah UndangUndang Dasar 1945. Dasar hukum
berlakunya hukum adat ketika jaman penjajahan masuk ke wilayah setelah Indonesia
merdeka melalui pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan
bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, secara eksplisit tidak ada satu pasal pun yang
menyatakan berlakunya hukum adat di Indonesia. Hal ini berbeda apabila dibandingkan
dengan Konstitusi RIS, yang secara konstitusional dapat diketemukan pasal-pasal yang
merupakan landasan hukum berlakunya hukum adat, sebagaimana dinyatakan dalam pasal
146 ayat (1) yang menyatakan bahwa keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasan dan
dalam perkara hukuman harus menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan hukum
adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Pasal 146 ayat (1) Konsitusi RIS tersebut
ditegaskan kembali dalam pasal 104 (1) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Pada zaman sesudah Perang Dunia ke II terutama pada zaman Revolusi Fisik antara
tahun 1945 dan tahun 1950 dan pada beberapa tahun pertama sesudah tahun 1950, yaitu
pada zaman yang kita perlukan untuk mengkonsulidasi segala yang telah kita peroleh
sebagai hasil revolusi fisik antara tahun 1945 – 1950, kegiatan menyelidiki dan
mempelajari Hukum Adat sangat berkurang. Sebab berkurangnya kegiatan tersebut adalah
karena para Sarjana Hukum bangsa Indonesia masih sangat terikat perhatian dan tenaganya
oleh berbagai persoalan yang sangat banyak berhubung dengan tugas pembangunan.
Mereka belum mempunyai waktu yang cukup tenang untuk mengadakan penyelidikan dan
pelajaran tentang Hukum Adat.
Pada masa sekarang konfigurasi hukum telah berubah dan hukum adat adalah
bagian organik dari hukum negara.21 Realisasi tersebut tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang diatur di dalam pasal 25 ayat
(1) yang menyatakan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Pasal tersebut diperkuat oleh pasal 28 yang menyatakan bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Dari 2 (dua) pasal tersebut di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa secara implisit
hukum adat dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam mengadili dan memutus perkara di
pengadilan, karena yang dimaksud sumber hukum tidak tertulis dalam pasal 25 ayat (1)
adalah hukum adat. Pada era reformasi terjadi empat kali amandemen UUD 1945. Pasal
yang berkenaandengan hukum adat mulai dimasukkan dalam Pasal Pasal 18B ayat 2 dan
Pasal 28 ayat 3 UUD1945 amandemen kedua dan belum mengalami perubahan hingga
amandemen keempat. Namun,konsep masyarakat hukum adat adalah konsep yang masih
terlalu umum, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.

III. Simak kembali film Bumi Manusia. Masalah-masalah hukum dan masalah-masalah Hukum
Antar-Golongan apa sajakah yang mungkin timbul dari cerita tersebut.
Kemukakan paling sedikit 5 (lima) masalah dan bagaimana penyelesaiannya. (Lengkapi
dengan menjelaskan Kualifikasi, Titik Taut Primer dan Titik Taut Sekundernya.)

Pembahasan :

Teori yang digunakan untuk mengungkap kolonialisme yang terdapat dalam novel
Bumi Manusia ini yang dikemukakan oleh Ania Loomba yang berpendapat bahwa
kolonialisme merupakan penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat
lain. Kolonialisme tidak hanya melakukan penindasan terhadap fisik saja namun telah
melakukan penjajahan terhadap ekonomi. Budaya dan kehidupan sosial bangsa pribumi
(Loomba, 2016:3). Oleh karena itu pembahasan pada penelitian ini, peneliti tujukkan untuk
mengulas bentuk-bentuk tindakan kolonialisme yang dilakukan bangsa penjajah Belanda
terhadap kaum terjajah di Indonesia yang terdapat dalam novel Bumi Manusia karya
Pramoedya Ananta Toer.

1) Bentuk Tindakan Penghinaan


Bentuk tindakan penghinaan bangsa kolonial Eropa terhadap bangsa pribumi
sangat banyak sekali, diantaranya menganggap bangsa pribumi sebagai manusia bawah,
sebagai benda, dan dianggap rendah dengan bangsa kolonial Eropa. Seperti lazimnya
bangsa Eropa yang menganggap bangsanya lebih berkuasa terhadap manusia pribumi maka
bangsa Eropa melakukan hal yang tidak sepantasnya terhadap pribumi dengan melakukan
tindakan penghinaan dan cacian .
Sudah sangat jelas bahwa bangsa belanda merasa lebih berkuasa, mempunyai hak
yang lebih tinggi terhadap bangsa pribumi, dan merasa bebas melakukan apa saja kepada
bangsa pribumi. Hal tersebut dapat dilihat dari ucapan salah satu teman Mienke yaitu
Robert Shuurhof, dia mengakatakan kepada Mienke “si philoghinik, mata keranjang, dan
buaya” pada dasarnya kata-kata tersebut tidak pantas diucapkan, dan kata buaya merujuk
kepada kata binatang. Dan sudah sangat jelas bahwa dalam ucapan Robert Shuurhof
merupakan sebuah bentuk tindakan pelecehan bangsa Belanda terhadap bangsa pribumi.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa Robert Shuurhof teman Mienke yang
merupakan representasi bangsa Belanda merasa lebih tinggi dari pada Mienke. Sementara
disisi lain Mienke seorang pelajar H.B.S yang sangat berbakat dan juga pandai di
sekolahnya hanya menjadi bahan ejekan temennya yang Belanda ini. Mienke yang seorang
pribumi menyapa bangsa Eropa. Pada masa penjajahan Belanda, tidak setiap pribumi dapat
masuk ke dalam ruang publik. Walaupun mereka bangsa pribumi dari lapisan atas yang
telah mendapat pendidikan tinggi dan bergaul dengan bangsa Belanda, dan meskipin
mereka berpakaian cara bumi putra, bangsa pribumi tetap tidak dianggap masuk hitungan
dalam lingkungan Belanda, manusia pribumi tetaplah manusia pribumi yang rendah.
Ir.Maurits Mallema menyelidiki kenapa ayahnya meninggalkan sang ibu di Eropa dan
bukan hanya itu tuan Maurits Mallema juga menghina nyai Ontosoroh dan juga Nama
Penulis anak-anaknya, bahkan orang Eropa menghina bahwa anak yang lahir dari darah
Eropadan pribumi adalah anak kafir, tindakan penghinaan yang begitu kejam itu dilakukan
Ir.Maurits Mallema dirumah nyai Ontosoroh sendiri. Hal tersebut menunjukkan tindakan
penghinaan orang Eropa terhadap pribumi. Orang Eropa bukan hanya menghina satu
pribumi tapi semuanya bahkan keturunannya pun mereka hina.
Pada masa kolonialisme, bangsa penjajah memang melakukan tindakan yang
sewenang-wenang terhadap bangsa penjajah bukan hanya tindakan kekerasaan tapi juga
tindakan penhinaan yang sangat memalukan. Pada kutipan di atas menunjukkan bentuk
tindakan yang dilakukan bangsa Eropa terhadap bangsa pribumi. Kutipan diatas
menunjukkan teman Mienke yang bernama Miria de la Croix bukan hanya menghina
Mienke tapi dia juga melakukan tindakan penghinaan terhadap semua bangsa pribumi dan
kepercayaan pribumi terhadap nenek moyangnya mereka juga melakukan penghinaan. Hal
tersebut sudah sangat menjelaskan bentuk tindakan yang dilakukan bangsa penjajah
terhadap bangsa terjajah.
Dari pendapat tersebut bahwa Shuurhof memberikan pendapat tentang penulis Max
Tollenar. Dari pendapat Shurrhof itu sangat jelas sekali dan penuh penekanaan penghinaan
bahwa bangsa pribumi sangat rendah ditanahnya sendiri dan merasa bahwa bangsa Eropa
yang mempunyai kekuasaan penuh dan kelas paling tinggi diantara kaum Indo dan juga
pribumi. Terlihat dalam film tersebut menunjukkan betapa jahatnya Robert Shuurhof
teman sekelas Mienke. Robert Shuurhof selalu menghina Mienke sebagai makhluk yang
tidak beradap dan berderajat. Di sisi lain Mienke seolah-olah tidak dipandang dan tidak
mempunyai harga padalah Mienke adala sosok terbaik. Sebagai siswa berprestasi Mienke
tidak pernah mendapat perlakuan pendidikan yang sama dengan siswa lainnya tetap
perlakuan diskriminatif pendidikan. Praktik kolonial berlangsung karena diperkuat oleh
hubungan sosial kemasyarakatan antara terjajah dan penjajah yang memandang
kekurangan masyarakat terjajah tidak jarang melakukan peniruan yang selalu berdampak
pada penjajah, yang lebih mudah dan lebih cepat dilakukan adalah peniruan gaya hidup
orang Eropa. Masa kolonial Belanda sangat membenci manusia pribumi, semua hal tentang
pribumi mereka membencinya. Bahkan Farah Farhana dan Aflahah mereka akan
melakukan apa saja untuk menjatuhkan pribumi, tidak ada yang berpihak kepada pribumi
bahkan hukum pemerintahanpun tidak akan perpihak pada pribumi. Sesuai kutipan di atas
adalah ungkapan dari nyai Ontosoroh kepada Mienke, pribumi di mata Eropa selalu salah,
jadi pribumi sudah salah, apalagi dilahirkan sebagai pribumi.

2) Bentuk Tindakan Kekuasaan

Bentuk tindakan kekuasaan bangsa kolonial terhadap bangsa terjajah sesuatu hal
yang biasa, seperti kerja paksa, menguasai tanah pribumi, dan lain sebagainya. Penguasaan
wilayah bangsa lain merupakan salah satu tujuan kolonial bangsa penjajah, dengan
menaklukan suatu wilayah maka bangsa penjajah dapat melakukan semua tujuan
kolonialnya.
Menurut Loomba, yang mengatakan bahwa kolonialisme adalah penaklukan atau
penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat lain. Terdapat percakapan Mienke dan
Annalise dalam film tersebut menunjukkan bahwa bangsa kolonial Belanda sudah
menguasai tanah bangsa pribumi dan bukan hanya tanah, mereka juga berhasil menguasai
penduduk pribumi di waktu itu. Bangsa Belanda bukan hanya menguasai tanah tetapi
mereka juga berhasil melakukan politik tanam paksa. Bangsa pribumi yang seharusnya
menikmati tanah mereka dan harta benda mereka namun semua yang seharusnya mereka
nikmati dikuasai oleh bangsa kolonial belanda bahkan mereka menjadi budak untuk bangsa
kolonial Belanda di tanah mereka sendiri.
Kekuasaan pengadilan putih terhadap manusia pribumi, bahkan mereka tidak ingin
membela sesame pribumi dan lebih berpihak kepada bangsa Belanda. Hal tersebut
ditunjukkan oleh sikap hakim di pengadilan tersebut saat nyai Ontosoroh ingin
mempertahankan haknya sebagai ibu dari Annalise. Bahkan nyai Ontosoroh tidak dapat
berbicara banyak di depan hakim karena dia pribumi, pribumi tidak bisa berurusan dengan
pengadilan besar seperti pengadilan putih karena pribumi tidak mempunyai kekuasaan
apapun untuk melawan hukum. Hal tersebut menunjukkan bahwa bentuk tindakan yang
dilakukan hakim terhadap pribumi adalah bentuk tindakan kekuasaan. Bangsa Eropa
memang sangat menguasai pribumi, mereka bukan hanya menjajah tanah dan harta benda
bahkan hukum yang berada di tanah jajahan juga mereka kuasai untuk melancarkan tujuan
mereka terhadap manusia pribumi.

3) Bentuk Tindakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Bangsa kolonial Eropa sangat ingin menguasai bangsa jajahannya, mereka bukan
hanya merampas wilayah jajahan tapi juga merampas hak bangsa terjajah. Mereka
memperalat bangsa pribumi yang mempunyai kedudukan tinggi diantara pribumi yang lain
itu semua hanya rencana mereka untuk merampas hak manusia pribumi dan menguasai
segala kehidupan manusia pribumi.
Bangsa kolonial bukan hanya merampas tanah dan harta benda bangsa pribumi
tetapi juga hak manusia pribumi mereka rampas, bahkan aturan hukum bangsa pribumi
sudah dikuasai oleh bangsa Belanda. Nyai Ontosoroh sebagai ibu kandung dari Annalise
bahkan tidak bisa memperoleh hak nya sebagai ibu dari anaknya karena semua hidup
bangsa pribumi sudah dikuasai oleh bangsa penjajah. Pelanggaran hak asasi yang
dilakukan bangsa Eropa sangat keterlaluan, hasil jerih payah kerja Annalise dan ibunya
akan percuma karena hukum pemerintahan kolonial yang merampas semua hak manusia
pribumi. Meskipun nyai Ontosoroh istri dari bangsa Belanda, dia tetap tidak akan
memperoleh haknya karena nyai Ontosoroh adalah seorang pribumi.
Pelanggaran hak asasi pada masa colonial memang sering sekali terjadi, pribumi
sama sekali tidak memperoleh haknya dan harus mengikuti hukum Belanda yang ada di
bangsa Mereka. Bahkan ketidak adilan juga dirasakan bangsa pribumi di masa kolonial
Belanda. Anak-anak perempuan mereka dijual kepada bangsa Belanda untuk menjadi
gundik atau istri simpanan, dan pelanggaran hak asasi lainnya adalah meskipun mereka
menikah dengan bangsa Belanda pernikahan mereka tidak sah dan tidak diakui oleh
hukum. Dari kutipan data tersebut sudah sangat jelas bahwa saat para pribumi mempunyai
anak dengan bangsa Belanda anak merekapun tidak mempunyai nasib yang baik. Saat anak
Indo diakui oleh sang ayah anak itu akan dianggap sebagai Eropa, dan jika tidak diakui
maka anak itu sama seperti ibunya, seorang pribumi dan akan dihina, dilecehkan, dan
bahkan direndakan. Hal tersebut sudah sangat jelas bahwa tindakan jaksa dan hakim
benarbenar tidak ada rasa keadilan bagi pribumi, bahkan pribumi yang melakukan
pembelaan dianggap tidak ada gunanya, dan itu sama aja merenggut hak asasi bangsa
pribumi untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya dan anak-anaknya.
Sikap ketidak adilan yang lainnya adalah Annalise hak walinya akan diserahkan
kepada Ir. Maurits Mallema sedangkan Annalise masih mempunyai ibu kandung yang
masih hidup. Hal tersebut sudah sangat menunjukkan ketidakadilan hukum pengadilan
putih kepada rakyat pribumi, pengadilan hukum hanya menyetujui surat kuasa dari
pengadilan Amsterdam. Bahkan nyai tidak bisa menyanggah karena dia bukan istri sah dan
hanya seorang pribumi.

4) Perlakuan Hukum bagi Kaum Pribumi

Sejumlah isu yang ditemukan dalam film Bumi Manusia menunjukkan hal yang
sangat signifikan yakni: (1) “perlakuan hukum secara diskriminatif terhadap kaum
pribumi” bahwa tampak adanya perubahan dari status seorang Nyai Ontosoroh akan
kewenangan membela Anellies, anaknya sendiri menjadi ketidakwenangan untuk membela
anaknya sendiri; dan (2) “pembelaan terhadap hak-hak kaum pribumi” bahwa tampak
adanya perubahan dari kedudukan kaum pribumi yang selalu kalah menjadi sikap yang
melawan terhadap hukum pada saat itu; (3) “sebagai pribumi, Nyai tidak punya hak apapun
terhadap anaknya” bahwa Nyai tidak mempunyai hak apapun terhadap anaknya tampak
adanya perubahan dari status seorang Nyai mempunyai kewenangan atas anaknya sendiri
menjadi seorang Nyai tidak mempunyai kewenangan atas anaknya sendiri. Proses
resistensi ini terjadi seiring dengan kesewenang-wenangan kaum feodal Belanda terhadap
kaum pribumi. Sosok Nyai Ontosoroh yang tidak mampu membela hak-hak anaknya
sendiri menjadi cerminan betapa perlakuan diskriminatif kaum feodal Belanda terhadap
kaum pribumi. Masih merupakan isu isu resistensi yang ditemukan dalam “perlakuan
hukum terhadap kaum pribumi” yaitu: (4) “perlakuan diskriminatif penggunaan bahasa
Belanda” bahwa tampak adanya perubahan dari kebiasaan sehari-hari seorang Nyai
Ontosoroh berbahasa Belanda di lingkungan keluarganya, tetapi pada saat di pengadilan
Nyai tetap dianggap sebagai pribumi yang tidak pantas menggunakan bahasa Belanda. Hak
penggunaan bahasa Belanda bagi kaum pribumi, terutama seorang Nyai di lingkungan
keluarga tidak menjamin untuk dapat menggunakan bahasa Belanda di situasi resmi.
Misalnya, di pengadilan sorang Nyai dianggap tidak pantas menggunakan bahasa Belanda.
Proses resistensi mengarah kepada penurunan harkat dan martabat seorang pribumi,
meskipun ber-status sebagai Nyai. Status sebagai seorang Nyai yang sehari-hari di
lingkungan keluarga berbahasa Belanda tidak serta merta memeiliki keleluasaan
menggunakan bahasa Belanda di pengadilan.

5) Perlakuan Hukum bagi Kaum Feodal Jawa

Sejumlah isu yang ditemukan yakni: (1) “diskriminasi dalam lembaga pendidikan
HBS” bahwa tampak dengan adanya perubahan bahwa anak feodal Jawa dapat sekolah di
HBS harus memiliki nama keluarga dan beragama Kristen menjadi anak feodal Jawa dapat
bersekolah di HBS meskipun tanpa nama keluarga; (2) “perlakuan HBS terhadap siswa
pribumi” bahwa tampak denganadanya perubahan dari aturan yang mengharuskan anak
feodal Jawa yang akan sekolah di HBS ada orang berpangkat yang menanggungnya
menjadi lebih sulit lagi, meskipun begitu belum tentu diterima.Resistensi “diskriminasi
dalam lembaga pendidikan HBS” dan “perlakuan HBS terhadap siswa pribumi”
merupakan kenyataan yang kontradiktif. Di satu pihak anak pribumi dapat bersekolah
tanpa memiliki nama keluarga feodal, di pihak lain anak pribumi harus ada yang orang
berpang-kat yang menanggungnya. Ini suatu kenyataan betapa sulitnya sekolah di HBS,
sehingga proses resistensi yang terjadi pada perlakuan hukum terhadap kaum feodal Jawa
nyaris tidak berubah.

Titik Taut Primer


Titik pertalian primer adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau sekumpulan
fakta yang melahirkan atau menciptakan hubungan Hukum Perdata Internasional (HPI).
Faktor-faktor yang termasuk ke dalam titik pertautan primer yaitu:
a) Kewarganegaraan;
Perbedaan kewarganegaraan di antara para pihak yang melakukan suatu hubungan
hukum akan melahirkan persoalan HPI. Misalnya : seorang warga negara Indonesia
menikah dengan warga negara Belanda, atau seorang warga negara Indonesia
melakukan suatu transaksi jual beli dengan seorang warga negara Jerman.
b) Domisili dan Tempat Kediaman
Persoalan domisili dapat juga menjadi faktor penting timbulnya persoalan HPI.
Misalnya : seorang warga negara Inggris (Albert) yang berdomisili di Negara Yunani
melangsungkan perkawinan dengan warga negara Inggris (Bertha) yang berdomisili
di negara Perancis. Persoalan tempat kediaman seseorang juga dapat melahirkan
masalah HPI. Misalnya : dua orang warga negara Malaysia yang berkediaman
sementara di Indonesia melangsungkan pernikahan di Indonesia.
c) Tempat Kedudukan Badan Hukum
Badan hukum sebagai subyek hukum juga memiliki kebangsaan dan tempat
kedudukan (legal seat). Umumnya kebangsaan badan hukum ditentukan berdasarkan
tempat (atau negara) di mana pendirian badan hukum tersebut di daftarkan. Misalnya:
PT. Indokohindo, sebuah perusahaan joint venture antara beberapa pengusaha Jepang
dan Indonesia. PT tersebut didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan
di Jakarta (Indonesia). Dengan demikian status hukum PT tersebut adalah badan
hukum Indonesia. Contoh lain : Hong Ming Co. Ltd sebuah perusahaan joint venture
antara pengusaha Indonesia dan Singapura, didirikan dan berkedudukan di Singapura,
maka perusahaan yang bersangkutan berbadan hukum Singapura. Begitu juga
perusahaan yang didirikan oleh beberapa pengusaha yang berkewarganegaraan
Indonesia mendirikan perusahaan di Hongkong, karena didirikan dan beroperasi di
Hongkong maka perusahaan tersebut harus tunduk pada hukum Hongkong.
d) Pilihan Hukum Intern
Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan pilihan hukum intern dapat
dikemukakan contoh sebagai berikut : dua orang WNI di Jakarta mengadakan
transaksi jual beli barang-barang bahan suatu pabrik yang penyerahannya memakan
waktu jangka panjang dan barangnya diimpor dari Inggris. Dalam kontrak jual beli itu
dinyatakan bahwa perjanjian jual beli itu diatur oleh hukum Inggris. Karena adanya
pilihan hukum oleh para pihak yang menutup kontrak jual beli ke arah hukum yang
berlainan dari nasional mereka akan melahirkan hubungan HPI.

Titik Taut Sekunder


Titik pertalian sekunder adalah faktor-faktor atau sekumpulan fakta yangmenentukan
hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan HPI. Yang
termasuk dalam titik pertautan sekunder adalah :
a. Tempat terletak benda (lex situs / lex rei sitae)
b. Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum (lex loci actus)
c. Tempat dilangsungkannya atau diresmikan perkawinan (lex loci celebrationis)
d. Tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus)
e. Tempat dilaksanakannya perjanjian (lex loci solutionis / lex loci executionis)
f. Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti commisi)
g. Pilihan hukum (choice of law); menurut Sudargo Gautama ada kemungkinan titik
taut sekunder jatuhnya bersamaan dengan titik taut primer
h. Kewarganegaraan
i. Bendera kapal dan pesawat udara
j. Domisili
k. Tempat kediaman
l. Tempat kedudukan badan hukum.

Anda mungkin juga menyukai