Anda di halaman 1dari 6

Aspek Hukum Kesehatan dalam Penggunaan Telemedicine Sebagai

Bentuk Pelayanan Kesehatan di Era Pandemi Covid-19

Rini Bintaria (208040041)


Program Magister Hukum Kesehatan
Universitas Pasundan Bandung, Jawa Barat

1. Pendahuluan
Hukum Kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya (Satjipto Rahardjo,
2009; 11). Hal ini berarti bahwa hukum kesehatan merupakan aturan tertulis mengenai
hubungan antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan masyarakat atau anggota
masyarakat. Dengan sendirinya hukum kesehatan ini mengatur hak dan kewajiban masing-
masing penyelenggara pelayanan dan penerima pelayanan atau masyarakat, baik
perorangan atau pasien maupun kelompok masyarakat (Soekidjo Notoatmodjo, 2010; 44).
Secara yuridis, hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien dalam pelayanan
medis secara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan
keterampilan tertentu di bidang kesehatan disebut perjanjian terapeutik. Menurut seorang
pakar hukum H.H. Koeswadji, transaksi terapeutik adalah perjanjian (Verbintenis) untuk
mencari atau menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter dan tenaga
kesehatan. Sedangkan menurut, Veronica Komalawati, transaksi terapeutik adalah hubungan
hukum antara dokter (tenaga kesehatan) dan pasien dalam pelayanan medis secara
profesional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu
di bidang kedokteran (Hargianti Dini, 2006; 52).
Menurut Allen (2001), penyelenggaraan praktek kedokteran merupakan inti dari
berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Berbagai kegiatan ini
seyogyanya dilakukan oleh dokter yang memiliki etika moral yang tinggi. Selain itu keahlian
dan kewenangan secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan
pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan dan pengawasan serta
pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Eryati Darwin, 2014; 11). Dalam rangka mengarahkan dan
memberi landasan hukum serta menata berbagai perangkat hukum yang mengatur
penyelenggaraan praktik kedokteran agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi maka praktik kedokteran diatur dalam suatu undang undang, yaitu
Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Adanya wabah penyakit virus corona (COVID-19) yang muncul pertama kali di Wuhan,
Provinsi Hubei, Cina pada Desember 2019 dan telah menyebar ke seluruh dunia saat ini
merupakan kasus serius bagi pemerintah. Di Indonesia, kasus positif pertama terkonfirmasi
pada 2 Maret 2020 dan terus meningkat hingga tulisan ini dibuat. Pelayanan kesehatan yang
belum siap untuk menghadapi COVID-19 menyebabkan peningkatan kasus terus terjadi di
Indonesia. Berbagai langkah kebijakan pun diambil pemerintah, mulai dari mengimplemen-
tasikan Pembatasan Soisal Berskala Besar (PSBB) pada Maret 2020, kebijakan untuk
membatasi diri dalam beraktivitas diluar rumah dan bertemu dengan orang (physical
distancing) serta himbauan menggunakan platform telemedicine untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan (Zidni Imanurrohmah, 2020; 46). Berkat telemedicine kini pelayanan
medis dapat diberikan via telekomunikasi, audio, visual dan data yang dapat menghubungkan
fasilitas pelayanan kesehatan meskipun secara geografis terpisah sehingga perbedaan
waktu, tempat dan jarak sudah tidak lagi menjadi kendala dalam hubungan terapeutik dokter
dan pasien (Arman Anwar, 2016).
2. Permasalahan
Terlepas dari permasalahan Pandemi Covid-19, adanya kesenjangan pelayanan
kesehatan, persebaran dokter di Indonesia yang tidak merata, apalagi dokter spesialis,
merupakan kendala yang sulit diatasi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran di
Indonesia. Untuk menanggapi krisis kesehatan di daerah pedesaan dan perbatasan di
Indonesia seperti yang dijelaskan diatas maka diperlukan satu cara yang dapat mengatasi
persoalan itu secara efektif dan efisien. Strategi yang ditempuh merupakan model pelayanan
kesehatan yang tidak biasa yakni antara dokter dan pasien tidak bertemu secara langsung
melainkan dihubungkan dengan teknologi informasi dan komunikasi yang disebut dengan
Telemedicine (Arman Anwar, 2016).
Disamping manfaat yang diperoleh dari penggunaan telemedicine perlu pula disadari
bahwa penggunaan telemedicine juga berpotensi menimbulkan berbagai problema hukum,
Beberapa permasalahan hukum tersebut mencakup antara lain: pemberian lisensi, akreditasi,
privasi dan kerahasiaan catatan medis elektornik pasien, tanggung gugat bila terjadi
malpraktek, pedoman klinis, dan asuransi (Baskoro Aris, 2020) Maka dari itu, penulis akan
mengkaji “Bagaimanakah karakteristik dan prinsip hukum dalam penggunaan telemedicine
dalam praktik kedokteran di Indonesia ?”

3. Tinjauan Pustaka
Menurut Levey dan Loomba, pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan
sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan
kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat. Jadi pelayanan kesehatan
adalah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah promotif (memelihara
dan meningkatkan kesehatan), preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan
rehabilitasi (pemulihan) kesehatan perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat dan
lingkungan. Yang dimaksud sub sistem disini adalah sub sistem dalam pelayanan kesehatan
adalah input, proses, output, dampak, umpan balik (Soekidjo Notoatmodjo, 2010; 51).
Menurut Eryati Darwin (2014; 12), transaksi terapeutik merupakan kegiatan didalam
penyelenggaraan praktik dokter berupa pemberian pelayanan medis. Sedangkan pelayanan
medis itu sendiri merupakan bagian pokok dari kegiatan upaya kesehatan yang menyangkut
sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraannya, yang harus tetap
dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya. Beliau juga mengutip pendapat
Fred Ameln yang mengartikan kontrak atau perjanjian terapeutik dengan “kontrak dimana
pihak dokter berupaya maksimal menyembuhkan pasien (inspaningsverbintenis) jarang
merupakan kontrak yang sudah pasti (resultastsverbintenis). Secara yuridis, perjanjian
terapeutik diartikan sebagai hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam pelayanan
medis secara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan
keterampilan tertentu di bidang kesehatan.
Bentuk hubungan hukum antara dokter dan pasien ini idealnya bersifat demokratis, yaitu
hubungan horizontal kontraktual atau partisipasi bersama, hubungan hukum kesederajatan
antara pasien dan dokternya, segala sesuatu dikomunikasikan antara kedua belah pihak,
kesepakatan ini lazim disebut dengan Informed Consent atau persetujuan tindakan medik,
sehingga tuntutan kehati-hatian dan profesionalitas di kalangan dokter akan semakin
mengemuka (Saiful Bakhri, 2020). Pada saat pasien datang ke dokter untuk mendapatkan
pelayanan medis, dimana dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan tindakan,
dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut melalui isyarat dari pasien
misalnya dengan menurunkan celananya pada saat akan dilakukan injeksi. Persetujuan ini
merupakan persetujuan tersirat dan disebut sebagai Implied consent. (Yann Joly, et.al, 2014;
27).
Sejak Maret 2020, Indonesia menghadapi tantangan dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan. Wabah Covid-19 tidak hanya membuat pemerintah memutar otak
dalam penanggulangannya, penyelenggara pelayanan kesehatan juga merasa kewalahan.
Telemedicine adalah salah satu strategi pencegahan penyebaran Covid-19 di banyak negara,
karena telemedicine merupakan penyediaan pelayanan kesehatan menggunakan teknologi
komunikasi elektronik. Pasien dan tenaga medis tidak perlu bertemu langsung dalam suatu
tempat namun tetap berkomunikasi melalui sutau aplikasi. (Zidni Imanurrohmah, 2020; 47).
Secara umum telemedicine adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang
digabungkan dengan kepakaran medis untuk memberikan layanan kesehatan, mulai dari
konsultasi, diagnosa dan tindakan medis, tanpa terbatas ruang atau dilaksanakan dari jarak
jauh. Untuk dapat berjalan dengan baik, sistem ini membutuhkan teknologi komunikasi yang
memungkinkan transfer data berupa video, suara, dan gambar secara interaktif yang
dilakukan secara real time dengan mengintegrasikannya ke dalam teknologi pendukung
video-conference. Termasuk sebagai teknologi pendukung telemedicine adalah teknologi
pengolahan citra untuk menganalisis citra medis (Arman Anwar, 2016).
Perkembangan telemedicine di Indonesia tidak dimulai sejak tahun ini. Setidaknya sejak
2015 pelayanan telemedicine mulai dikenal oleh lapisan luas masyarakat. Namun demikian,
dikarenakan usianya yang baru, aturan-aturan mengenai pelaksanaannya pun baru-baru ini
diterbitkan. Secara mendasar, ada satu produk hukum yang menjadi induk dasar hukum
dalam pengelolaan telemedicine. Produk hukum tersebut adalah Peraturan Menteri
Kesehatan No. 20 Tahun 2019. Permenkes ini secara formal berbicara tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Baskoro
Aris, 2020). Pasal 1 Ayat 1 Permenkes No. 20 Tahun 2019 yang memuat pengertian
telemedicine, diartikan sebagai; “pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional
kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran
informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi,
dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan
kesehatan individu dan masyarakat.” Masing-masing faskes penyelenggara memiliki hak dan
kewajibannya. Hak dan kewajiban dalam pemberian layanan telemedicine diatur dalam Pasal
17 Ayat 1 dan Ayat 2 serta Pasal 18 Ayat 1 dan Ayat 2 Permenkes ini.
Pengertian yang digunakan dalam Permenkes ini sama dengan definisi telemedicine
yang diberikan oleh World Health Organization (WHO). WHO pernah merilis panduan utuh
mengenai telemedicine pada tahun 2010 dan dijadikan rujukan oleh banyak negara dunia.
Pendekatan-pendekatan menggunakan platform digital memungkinkan sistem kesehatan
untuk lebih baik dalam mengelola penanggulangan Covid-19 dan mempertahankan layanan
kesehatan esensial dan mengomunikasikan cara mengakses layanan-layanan ini kepada
masyarakat. (WHO, 2020). Siapa yang berhak memberikan pelayanan telemedicine? Pada
Pasal 2 Permenkes No. 20 Tahun 2019 disebutkan bahwa pelayanan telemedicine
dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki surat izin praktik di fasyankes
penyelenggara. Fasyankes penyelenggara meliputi 2 kelompok, yaitu Fasyankes Pemberi
Konsultasi dan Fasyankes Peminta Konsultasi. Yang dimaksud dengan Fasyankes Pemberi
Konsultasi adalah rumah sakit milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta yang
memenuhi persyaratan. Berikutnya, yang dimaksud dengan Fasyankes Peminta Konsultasi
adalah rumah sakit (di luar kategori sebelumnya), fasyankes tingkat pertama, dan fasyankes
lain. Permenkes tersebut juga menjelaskan tentang jenis-jenis pelayanan telemedicine yang
dapat diberikan. (Baskoro Aris, 2020).
4. Analisa Kualitatif
Belajar dari pengalaman beberapa negara, diketahui bahwa Malaysia telah membuat
Undang-Undang tentang telemedicine dengan nama Telemedicine Act 1997. India juga telah
memiliki Undang-Undang tentang telemedicine dengan nama Telemedicine Act 2003.
Sementara itu di Negara Bagian California Amerika Serikat berdasarkan persetujuan
Gubernur California, Brown, pada tanggal 7 Oktober 2011, Senat telah mengesahkan
Telehealth Advancement Act of 2011 untuk menggantikan Telemedicine Development Act of
1996. Di Indonesia sendiri perkembangan telemedicine belum sepesat di negara lain ada
beberapa hal yang memengaruhi, diantaranya adalah keterbatasan sumber daya manusia
yang menguasai bidang kesehatan dan teknologi informasi secara terpadu, sehingga masih
minimnya infrastruktur untuk menerapkan sistem informasi di dunia pelayanan kesehatan
serta belum adanya payung hukum yang jelas mengenai batasan-batasan layanan
telemedicine menjadi suatu permasalahan sendiri yang harus menjadi perhatian pemerintah
(Zidni Imanurrohmah, 2020; 49).
Praktek kedokteran dengan menggunakan telemedicine mengandung potensi
kerawanan yang dapat menyebabkan terjadi perubahan orientasi, baik dalam tata nilai
maupun pemikiran karena dipengaruhi faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi sejauh ini belum
ada aturan perizinan yang dibuat khususnya bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang
menggunakan telemedicine baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Demikian pula
ketentuan tentang akreditasinya. Fasilitas pelayanan kesehatan semacam ini tidak dapat
disamakan dengan fasilitas pelayanan kesehatan biasa. Dengan demikian maka sertifikat
atau lisensinya juga harus berbeda. Adanya perbedaan ini memerlukan pengaturan hukum
yang berbeda pula. Oleh sebab itu perlu ditetapkan standar dan pedoman nasional
penggunaan telemedicine sehingga dapat tercipta penyelengaraan pelayanan kesehatan
yang bertanggung jawab, aman, bermutu, dan merata serta tidak diskriminatif. Semunyanya
ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, praktisi kesehatan dan
masyarakat sebagai bentuk upaya pencegahan dan penanggulangan Covid-19 (Arman
Anwar, 2016).
Dalam artikelnya, Baskoro Aris (2020) menuliskan bebrapa pelayanan yang dapat
dilakukan lewat telemedicine, Permenkes No. 20 Tahun 2019 mengatur 5 (lima) pelayanan
telemedicine yang dapat diberikan, yaitu:
1. Teleradiologi: pelayanan radiologi diagnostik dengan menggunakan transmisi elektronik
berbasis gambar dari semua modalitas radiologi beserta data pendukung dari Fasyankes
Peminta Konsultasi ke Fasyankes Pemberi Konsultasi untuk mendapatkan ketepatan dan
akurasi dalam penegakan diagnosis;
2. Teleelektrokardiografi: pelayanan elektrokardiografi dengan menggunakan transmisi
elektronik gambar dari Fasyankes Peminta Konsultasi ke Fasyankes Pemberi Konsultasi;
3. Teleultrasonografi: pelayanan ultrasonografi obsterik dengan menggunakan transmisi
elektronik gambar dari Fasyankes Peminta Konsultasi ke Fasyankes Pemberi Konsultasi;
4. Telekonsultasi klinis: pelayanan konsultasi klinis jarak jauh untuk membantu menegakkan
diagnosis, dan/atau memberikan pertimbangan/saran tata laksana baik secara tertulis,
suara, dan/atau video serta harus terekam dan tercatat dalam rekam medis;
5. Pelayanan konsultasi Telemedicine lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Dalam dasar hukum telemedicine di Indonesia haruslah dilaksanakan melalui
fasyankes. Hal ini tentu bertujuan untuk melindungi pasien dan menjaga agar alur
pertanggungjawaban tetap jelas. Mengingat pada saat ini semua layanan kesehatan yang
berbasis online memang belum ada aturan spesifik yang mengatur tentang bagaimana praktik
kedokteran melalui online sehingga belum ada batasan-batasan praktik yang dapat dilakukan.
Adanya media baru sebagai wadah praktik kedokteran, para dokter juga perlu diingatkan dan
berhati-hati dalam melakukan praktik kedokteraan secara online karena di era digital ini dokter
terlibat langsung ke media sehingga profesi dokter tekadang rawan terlibat masalah kode etik
(Zidni Imanurrohmah, 2020; 49).
Mengutip Arman Anwar (2016) merujuk pada pendapat para ahli, hadirnya telemedicine
di tengah masyarakat disamping memberi kemudahan dari segi konsumen atas
penggunaannya karena dapat memangkas jarak dan memberi efisiensi waktu, perlu juga
disadari bahwa penggunaan layanan medis berbasis online ini berpotensi menimbulkan
permasalahan hukum. Beberapa masalah hukum meliputi antara lain pemberian lisensi, hak
privasi pasien dan kerahasian rekam medis elektronik pasien, pedoman dan tata cara klinis,
dan tanggung gugat bila terjadi kerugian yang dialami pasien. Oleh karena itu, menurut
Bernadetha Aurelia (2019) harus dibedakan antara platform penghubung atau penyedia jasa
dengan pelayanan atau penyelenggara telemedicine. Fasyankes pemberi maupun peminta
konsultasi harus melakukan registrasi yang diajukan kepada Menteri Kesehatan melalui
Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. Sementara itu, platform digital layanan
konsultasi online dengan para dokter yang banyak kita temui bukanlah bagian dari fasyankes
tersebut, sehingga pelayanannya tidak dapat dikatakan sebagai telemedicine.
Selanjutnya, setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan (Pasal 57 ayat (1) Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Dalam penggunaan telemedicine,
Perlindungan hak-hak privasi pasien atas data kesehatannya yang terekam secara elektronik
pada fasilitas pelayanan kesehatan, perlu diatur agar tidak mudah diakses oleh pihak-pihak
yang tidak berkepentingan. Untuk itu, harus dilaksanakan oleh petugas yang berwenang dan
memiliki izin khusus untuk hal itu. Jaminan kerahasiaan atas data medis pasien tersebut
dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis dengan pasiennya, sehingga dapat berimplikasi
hukum bila terjadi penyalahgunaannya (Baskoro Aris, 2020).
Melihat ketentuan di atas, sudah seharusnya telemedicine perlu dijalankan secara aman
dan handal, dengan meperhatikan ketentuan mengenai proteksi terhadap data pasien.
Mengingat karena di dalam layanan tersebut dijalankan oleh tenaga profesional yaitu dokter,
yang diamana dalam profesinya tersebut melakat suatu kewajiban terhadap pasiennya untuk
menjaga rahasia kedokteran. Hal ini sesuai Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam Pasal 15 ayat (1) bahwa “setiap penyelenggara
sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta
bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya”.
Jaminan keamanan dan kehandalan sistem elektronik dalam praktek telemedicine perlu
dilakukan oleh suatu badan hukum atau lembaga yang berkompeten yang mendapat
pengakuan baik nasional maupun internasional.
Prinsip dan aturan penggunaaan telemedicine dalam praktek kedokteran adalah:
kemudahan akses, tanggung jawab negara, kompetensi, integritas, dan kualitas, itikad baik,
keamanan dan kerahasiaan data, standarisasi, otonomi pasien dan kebebasan memilih
teknologi atau netral teknologi. manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan,
perlindungan hukum. Sedangkan, penyelesaian sengketa telemedicine atas dugaan
malpraketek dokter dilakukan berdasarkan prinsip hukum bahwa hukum yang berlaku adalah
hukum dimana pasien bertempat tinggal karena kepentingan pasien sebagai pihak yang
dirugikan harus diutamakan. Dalam hal pembuktian maka berlaku prinsip proteksi data,
prinsip forensic IT, prinsip penerapan terbaik (best practices), dan Standar Pemeriksaan
Hukum (Legal Audit), serta keadilan. Pasien juga memiliki kebebasan memilih teknologi atau
netral teknologi. Setelah diberikan informasi tentang manfaat dan resiko penggunaan
teknologi tersebut. Sehingga apapun keputusan yang diambil oleh pasien dapat sama-sama
memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum.
5. Kesimpulan dan Saran
Pengaturan penyelenggaraan praktik kedokteran dilandaskan pada asas kenegaraan,
keilmuan, kemanfaatan, kemanusiaan dan keadilan dan diselenggarakanberdasarkan
kesepakatan antara dokter (atau dokter gigi) dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan
pemulihan kesehatan. Sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19, pemerintah di
Indonesia aktif menghimbau masyarakat dan tenaga medis untuk menggunakan pelayan
kesehatan berbasis online, yaitu telemedicine sebagai aplikasi layanan kesehatan
masyarakat jarak jauh atau online antara rumah sakit dan pasien. Revolusi Industri 4.0
dengan ciri khasnya yaitu penggunaan basis teknologi internet dan digital database telah
merambah bidang pelayanan kesehatan. Pengobatan jarak jauh ini dilakukan melaui
sensorisasi data internet. Beberapa layanan seperti eHealth, Talk to doctor, Buy medicines,
Get a lab check up, pager doctor,Detik Health, Solusi sehat, Megle, layanan konseling melalui
YouTube dan sebagainya sudah bukan hal yang asing.
Penggunaan telemedicine oleh tenaga medis dan pasien dapat membuat pelayanan
menjadi efektif dan efisien baik dalam monitoring, evaluating maupun educating di masa
pandemi seperti saat ini. Dengan beragamnya metode telemedicine, pasien dapat
melaporkan gejala yang dirasakan dan mendapatkan saran maupun arahan terkait
penyakitnya. Namun dalam penyelenggaraannya, ada beberapa tantangan yang muncul
seperti kemampuan teknologi, keamanan data dan privasi pasien, peraturan perundangan,
pedoman penggunaan dan masalah pasien secara individu itu sendiri. Isu hukum yang
mungkin muncul pada penggunaan telemedicine dalam praktek kedoteran adalah pemberian
lisensi, akreditasi, privasi dan kerahasiaan catatan medis elektornik pasien, SOP, tanggung
gugat bila terjadi malpraktek, dan kewenangan yurisdiksi.
Telemedicine merupakan alternatif pilihan atas pertimbangan ekonomis dan praktis
karena pasien tidak harus datang ke rumah sakit dan bertemu secara fisik. Tetapi hal ini tidak
menjawab kebutuhan pasien dalam pelayanan medis yang sesungguhnya. Pelayanan
kesehatan yang baik meliputi holitic care dan komprehensif. yaitu: mencakup seluruh tubuh
jasmani dan rohani pasien (whole body system) termasuk nutrisi , tidak hanya berorientasi
organ tetapi berorientasi pasien dan keluarga serta memandang manusia sebagai makhluk
bio-psikososial dalam ekosistemnya. Komprehensif artinya tidak hanya kuratif saja tetapi juga
berorientasi pencegahan meliputi health promotion, spesific protection (primer), early case
detection, prompth treatment (sekunder) dan disability limitation/ rehabilitation (tersier).
Searah dengan perkembangan industri kesehatan dan untuk menjawab kebutuhan
pelayanan medik di masyarakat, perlu Konstruksi hukum yang berfungsi sebagai sarana
perlindungan bagi penyedia layanan kesehatan dan pasien sebagai penerima layanan
kesehatan. Konstruksi hukum yang direkomendasikan yaitu: merevisi perundang-undangan
terkait praktik kedokteran dengan memberi perlindungan hukum dokter – pasien secara
proporsional pada taraf anamnese dan diagnosa telemedicine, serta penggunaan perekaman
sebagai alat bukti pada penyelesaian sengketa transformasi digital telemedicine. Hal ini
dimaksudkan agar perkembangan teknologi praktik kedokteran berkesesuaian dengan asas
Pancasila yang didasarkan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien.

Anda mungkin juga menyukai