Anda di halaman 1dari 17

1.

Hubungan Hukum Kesehatan dengan Bedah Saraf

1. Pengertian Hukum Kesehatan

Hukum kesehatan merupakan peraturan perundangan yang menyangkut pelayanan


kesehatan baik untuk penyelenggaraan maupun penerimaan pelayanan kesehatan. Hukum
kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI)
merupakan semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan
kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan
masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan
kesehatan dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman standar pelayanan medik,
hukum di bidang kesehatan yurispudensi serta ilmu pengetahuan bidang kedokteran/kesehatan.
Yang dimaksud dengan hukum kedokteran ialah bagian hukum kesehatan yang menyangkut
pelayanan medis (Konas PERHUKI, 1993).
Hukum kesehatan mencangkup komponen hukum bidang kesehatan yang bersinggungan
satu sama lain, yaitu hukum kedokteran/kedokteran gigi, hukum keperawatan, hukum farmasi
klinik, hukum rumah sakit, hukum kesehatan masyarakat, hukum kesehatan lingkungan, dsb
(Konas PERHUKI, 1993).
Undang-undang Praktik Kedokteran (2004) merupakan aturan hukum atas ketentuan
hukum yang mengatur tentang pelayanan kedokteran/kesehatan (Konas PERHUKI, 1993).
2. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan / Kedokteran

Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam hukum kesehatan dikemukakan oleh Leenen,
sebagai berikut:
1. Hak atas pemeliharaan kesehatan
2. Hak untuk hidup
3. Mengenai pelaksanaan profesi kesehatan
4. Mengenai hubungan perdata
5. Mengenai aspek-aspek hukum pidana
6. Mengenai pemeliharaan kesehatan kuratif
7. Mengenai pemeliharaan kesehatan preventif dan social
8. Undang-undang candu, undang-undang absint, peraturan-peraturan internasional
9. Mengenai kesehatan lingkungan
10. Undang-undang tentang barang dan dewan urusan makanan
11. Peraturan perundang-undangan tentang organisasi
12. Menyangkut pembiayaan sakit
13. Hukum kesehatan internasional (yang dikeluarkan WHO, Konvensi Jenewa, dll)
Hukum kesehatan (Health Law) sangat luas dan melingkupi hukum kedokteran (Medical
Law), hukum keperawatan (Nurse Law), hukum rumah sakit (Hospital Law), hukum lingkungan
(Enviranmental Law), hukum farmasi (pharmacy Law) (Konas PERHUKI, 1993).
Hak atas pemeliharaan kesehatan diatur pada Undang-Undang no 9 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Kesehatan.
1. Pasal 1 menyatakan bahwa tiap warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya dan perlu diikutsertakan dalam usaha-usaha kesehatan
pemerintah.
2. Pasal 2 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesehatan tidak hanya keadaan
bebas dari penyakit, cacad dan kelemahan, tetapi juga meliputi kesehatan badan,
rohani, dan social. Sedangkan hak atas bantuan medis tidak diatur oleh perundang-
undangan kita. Hak ini mewajibkan pihak pemberi jasa pemeliharaan kesehatan untuk
memberikan bantuan medis kepada pihak yang memerlukannya.
Menurut Undang-Undang no 9 Tahun 1960, penguasa tidak hanya melakukan tindakan
langsung, seperti memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat dengan
menyelenggarakan dan menggiatkan usaha-usaha dalam lapangan pencegahan dan pemberantasan
penyakit, pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan pada rakyat, pendidikan tenaga
kesehatan, perlengkapan obat-obatan dan alat-alat kesehatan, penyelidikan-penyelidikan dan
pengawasan, tetapi juga mengatur, membimbing, membantu dan mengawasi usaha-usaha
kesehatan badan-badan swasta (Konas PERHUKI, 1993).
Pada pengelompokkan keempat disebutkan hal-hal yang paling relevan dengan materi
hukum kedokteran. Inti dari hukum kedokteran adalah hubungan hukum yang dilakukan oleh
dokter dalam menjalankan profesinya, atau hubungan hukum yang dilakukan dokter mengenai
pemberian pelayanan medis (Konas PERHUKI, 1993).
Ruang lingkup hukum kedokteran:
1. Hubungan dokter dengan pasien
2. Kewajiban untuk merawat
3. Kekeliruan diagnosis
4. Kesalahan pengobatan
5. Cedera karena sarana fisik
6. Cedera karena peralatan dan janji dokter
7. Tanggungjawab terhadap perbuatan pihak ketiga
8. Persetujuan untuk dirawat
2. Hubungan Undang-undang Kesehatan dengan Bedah Saraf
Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
disebutkan bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum. Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus
diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat (KBSI,
2007).
Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan masyarakat
mempunyai peran yang sangat penting dan terkait secara langsung dengan proses pelayanan
kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Ilmu pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku
sebagai kompetensi yang didapat selama pendidikan akan merupakan landasan utama bagi dokter
untuk dapat melakukan tindakan dalam upaya pelayanan kesehatan. Pendidikan kedokteran pada
dasarnya bertujuan untuk meningkatkan mutu kesehatan bagi seluruh masyarakat. Hal ini yang
juga merupakan misi dari Federasi Dunia untuk Pendidikan Kedokteran (World Federation for
Medical Education, WFME), sebagai badan internasional representasi dosen dan institusi
pendidikan kedokteran. WFME berusaha untuk meningkatkan standar keilmuan dan etika tertinggi
pendidikan kedokteran, mengajukan metoda pembelajaran dan sarana instruksional baru, serta
pengelolaan inovatif pendidikan kedokteran (KBSI, 2007).
Pendidikan dokter adalah pendidikan akademik dan profesi yang menghasilkan dokter
umum sedangkan pendidikan dokter spesialis adalah suatu program pendidikan untuk mencapai
kompetensi tertentu dan merupakan jenjang pendidikan lanjut pendidikan dokter. Pendidikan
dokter spesialis mencakup pula pendidikan dokter spesialis-konsultan yang merupakan jenjang
pendidikan lanjut dari pendidikan dokter spesialis (KBSI, 2007).
Di dalam ketentuan umum Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, 11 Juni 2003,
disebutkan bahwa standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan
yang berlaku di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar lulusan pendidikan
dokter spesialis di seluruh Indonesia mempunyai mutu yang setara maka perlu ditetapkan standar
nasional pendidikan profesi dokter spesialis (KBSI, 2007).
Di dalam penjelasan pasal 7 ayat 2 Undang Undang Praktik Kedokteran , No 29 Tahun
2004 disebutkan bahwa standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi adalah pendidikan
profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan sistem
pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang
saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian,
apabila setiap komponen pendidikan yang terkait dengan pendidikan dokter spesialis mempunyai
standar yang sama maka dokter spesialis yang dihasilkan akan dijamin mempunyai mutu yang
sama pula (KBSI, 2007).
Standar pendidikan dokter spesialis bedah saraf Indonesia merupakan suatu instrumen
yang dapat dipergunakan untuk menjaga mutu serta menilai perbaikan kualitas proses pendidikan
dokter spesialis bedah saraf oleh institusi pendidikan dokter spesialis (IPDS) bedah saraf yang
bertanggung jawab untuk hal tersebut. Standar bertujuan untuk menjamin tercapainya tujuan
pendidikan sesuai kompetensi yang ditetapkan. Standar dapat pula dipergunakan oleh IPDS untuk
menilai dirinya sendiri serta sebagai dasar perencanaan program perbaikan kualitas proses
pendidikan secara berkelanjutan (KBSI, 2007).
Komponen standar pendidikan meliputi isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan,serta evaluasi proses pendidikan.
Standar dari masing-masing komponen pendidikan tersebut harus selalu ditingkatkan secara
berencana dan berkala mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
(medical science and technology), perkembangan ilmu dan teknologi pendidikan kedokteran
(medical education and technology) dan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan (health
needs and demands) (KBSI, 2007).
Standar pendidikan dokter spesialis dan sub-spesialis disusun secara garis besar sehingga
dapat diimplementasikan untuk semua program studi pendidikan dokter spesialis dan sub-spesialis
yang saat ini sudah ada. Dokumen WFME dipergunakan sebagai acuan untuk pengembangan
standar pendidikan dokter spesialis dan subspesialis. Substansi standar pendidikan yang terinci
dan terukur untuk masing masing program studi perlu dikembangkan oleh masing-masing
kolegium yang terkait (KBSI, 2007).
Untuk memenuhi standar pendidikan dokter spesialis bedah saraf , setiap IPDS bedah saraf
seharusnya mampu menunjukkan dokumen yang dibutuhkan, baik dokumen tentang proses
penyusunan maupun dokumen tentang implementasi proses pendidikan yang dilakukan (KBSI,
2007).
3. Hubungan Rekam Medis dengan Bedah Saraf
Definisi rekam medis dalam berbagai kepustakaan dituliskan dalam berbagai pengertian,
seperti dibawab ini:
1. Definisi Rekam Medis Menurut Edna K Huffman:
Rekam Medis adalab berkas yang menyatakan siapa, apa, mengapa, dimana, kapan dan
bagaimana pelayanan yang diperoleb seorang pasien selama dirawat atau menjalani
pengobatan.
2. Definisi Rekam Medis Menurut Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989:
Rekam Medis adalah berkas yang beiisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien,
basil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang diterima pasien pada
sarana kesebatan, baik rawat jalan maupun rawat inap.
3. Definisi Rekam Medis Menurut Gemala Hatta
Rekam Medis merupakan kumpulan fakta tentang `kehidupan seseorang dan riwayat
penyakitnya, termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis oleb
para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien.
4. Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989 Menurut Waters dan Murphy :
Rekam Medis adalah kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi tentang keadaan pasien
selama perawatan atau selama pemeliharaan kesehatan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan informasi tentang
identitas pasien, anamnese, penentuan fisik laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan tindakan
medis yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik yang dirawat nginap, rawat jalan
maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat (Sally, 2008).
Rekam medis digunakan sebagai acuan pasien selanjutnya, terutama pada saat pasien itu
berobat kembali (Petunjuk Teknis Penyelenggaraan rekam medis, 1991). Rekam medis pasien
harus siap apabila pasien berobat kembali. Tenaga kesehatan akan sulit dalam melakukan tindakan
atau terapi sebelum mengetahui sejarah penyakit, tindakan atau terapi yang pernah diberikan
kepada pasien yang terdapat di dalam berkas rekam medis. Hal penting dalam berkas rekam medis
adalah ketersediaannya saat dibutuhkan dan kelengkapan pengisiannya (Sally, 2008).
Kelengkapan pengisian berkas rekam medis oleh tenaga kesehatan akan memudahkan
tenaga kesehatan lain dalam memberikan tindakan atau terapi kepada pasien. Selain itu juga
sebagai sumber data pada bagian rekam medis dalam pengolahan data yang kemudian akan
menjadi informasi yang berguna bagi pihak manajemen dalam menentukan langkah-langkah
strategis untuk pengembangan pelayanan kesehatan (Sally, 2008).
Penyajian informasi harus disesuaikan dengan nilai kegunaan, kedudukan dan fungsi
masing-masing bagian. Dokter misalnya, tidak membutuhkan laporan keuangan pelayanan
kesehatan. Begitu pula dengan manajer yang perlu mengetahui informasi dalam bentuk laporan
dan statistik dari masing - masing bagian untuk mendukung dalam pengambilan keputusan.
Informasi adalah data yang telah diolah dan dianalisa secara formal, dengan cara yang benar dan
secara efektif, sehingga hasilnya dapat bermanfaat dalam operasional dan manajemen (Sabarguna,
2005). Penyimpanan berkas rekam medis yang terkomputerisasi, menjadikan rekam medis tersebut
mudah dan cepat diolah untuk memudahkan bagian
rekam medis dalam pengolahan data rekam medis menjadi informasi dalam bentuk laporan-
laporan maupun statistik perkembangan pelayanan kesehatan maupun statistik penyakit (Sally,
2008).
Secara garis besar kegiatan rekam medis terdiri dari 3 kegiatan yaitu
1) Pencatatan,
2) Pengelolaan berkas/dokumen atau pengarsipan,
3) Pengelolaan data,
Kegunaan Rekam Medis :
1. Aspek administrasi
Isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis
dan paramedis dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan.
2. Aspek Medis
Dipergunakan sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan/perawatan yang harus diberikan
kepada seorang pasien.
3. Aspek Hukum
Karena isinya menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan, dalam
rangka usaha menegakan hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakan
keadilan.
4. Aspek Keuangan
Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai uang, karena isinya mengandung data/informasi yang
dapat dipergunakan sebagai aspek keuangan.
5. Aspek Penelitian
Karena isinya menyangkut data/informasi yang dapat dipergunakan sebagai aspek penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan.
6. Aspek Pendidikan
Karena isinya menyangkut data/informasi tentang perkembangan kronologis dan kegiatan
pelayanan medik yang diberikan kepada pasien. Informasi tersebut dapat dipergunakan sebagai
bahan/referensi pengajaran di bidang profesi si pemakai.
7. Aspek Dokumentasi
Suatu berkam rekam medis mempunyai nilai penelitian, karena isinya menyangkut sumber ingatan
yang harus didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan rumah
sakit.
Kegunaan rekam medis secara umum adalah
a. Sebagai alat komunikasi antara dokter antara tenaga ahli lainnya yang ikut ambil bagian di
dalam memberikan pelayanan, pengobatan, perawatan kepada pasien.
b. Sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan perawatan yang harns diberikan kepada seorang
pasien
c. Sebagai bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan
selama pasien berkunjung dirawat di rumah sakit.
d. Sebagai bahan yang berguna untuk analisa, penelitian, dan evaluasi terhadap kualitas pelayanan
yang diberikan kepada pasien
e. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga kesehatan
lainnya.
f. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan peneJitian dan
pendidikan.
g. Sebagai dasar didalarn perhitungan biaya pernbayaran pelayanan medik pasien.
h. Menjadi surnber ingatan yang harus didokumentasikan. serta sebagai bahan pertanggung
jawaban dan laporan.
i. Untuk mengidentifikasi insiden penyakit sehingga rencana bisa disusun untuk memperbaiki
kesehatan menyeluruh
j. Sebagai dasar untuk perencanaan dan pemasaran dengan mengidentifikasi data yang perlu untuk
memilih dan mempromosikan fasilitas pelayanan kesehatan

Manfaat Rekam Medis

Permenkes no. 749a tahun 1989 menyebutkan bahwa rekam medis memiliki 5 ,manfaat yaitu:

1. Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien


2. Sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum
3. Bahan untuk kepentingan penelitian
4. Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan dan
5. Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.

Dalam kepustakaan dikatakan bahwa rekam medis memiliki 5 manfaat, yang untuk mudahnya
disingkat sebagai ALFRED, yaitu:
1. Adminstratlve value: Rekam medis merupakan rekaman data adminitratif pelayanan
kesehatan.
2. Legal value: Rekam medis dapat.dijadikan bahan pembuktian di pengadilan
3. Financial value: Rekam medis dapat dijadikan dasar untuk perincian biaya pelayanan
kesehatan yang harus dibayar oleh pasien
4. Research value: Data rekam medis dapat dijadikan bahan untuk penelitian dalam lapangan
kedokteran, keperawatan dan kesehatan.
5. Education value: Data-data dalam rekam medis dapat menjadi bahan pengajaran dan
pendidikan mahasiswa kedokteran, keperawatan serta tenaga kesehatan lainnya.
Pengumpulan data pada sistem rekam medis

Secara umum isi rekam medis dapat dibagi dalam dua kelompok data yaitu:
1. Data medis atau data klinis:
Yang termasuk data medis adalah segala data tentang riwayat penyakit, hasil pemeriksaan
fisik, diagnosis, pengobatan serta hasilnya, laporan dokter, perawat, hasil pemeriksaan
laboratorium, ronsen dsb. Data-data ini merupakan data yang bersifat rahasia sehingga
tidak dapat dibuka kepada pibak ketiga tanpa izin dari pasien yang bersangkutan kecuali
jika ada alasan lain berdasarkan peraturan atau perundang -undangan yang memaksa
dibukanya informasi tersebut.
2. Data sosiologis atau data non-medis:
Yang termasuk data ini adalah segala data lain yang tidak berkaitan langsung dengan data
medis, seperti data identitas, data sosial ekonomi, alamat dsb. Data ini oleh sebagian orang
dianggap bukan rahasia, tetapi menurut sebagian lainnya merupakan data yang juga
bersifat rahasia.
Bukti-bukti ini harus dijaga secara baik oleh pihak-pihak penyimpan hasil dokumentasi
tersebut lalu data tersebut disimpan dalam berkas rekam medis dalam satu manajemen berkas yang
terorganisasi, pada rumah sakit yang telah memanfaatkan komputer sebagai alat penyimpanan data
berkas tersebut disimpan pada database yang telah ter organisasi juga dalam sistem komputer
tersebut, pemanfaatan komputer ini mempermudah kegiatankegiatan yang ada di rumah sakit
terutama bila harus mencari rekam medis satu pasien, tidak perlu mencari secara manual tetapi
komputer yang secara otomatis mencari data pasien tersebut (Sally, 2008).
Keberhasilan satu rumah sakit dalam mengelola sistem manajement informasi sangat erat
hubungannya dengan menajemen perolehan dan penyimpanan sumber data. Bila manajemen
berantakan maka informasi yang dimasukkan kedalam MIS juga akan bernasib sama. Oleh karena
itu pengolahan MIS rumah sakit harus memberikan pemahaman kepada pengelola data agar
mereka melaksanakan pelaporan dan penyimpanan data sesuai jalur MIS rumah sakit yang
dikehendaki dan yang berdasarkan sistem. Melalui cara ini maka peranan data/informasi yang
diteruskan dalam MIS rumah sakit dapat berguna dalam pengambilan keputusan/tindakan oleh
rumah sakit (Sally, 2008).

Penyelenggaraan Rekam Medis

Penyelenggaraan rekam medis pada suatu sarana pelayanan kesehatan merupakan salah
satu indikator mutu pelayanan pada institusi tersebut. Berdasarkan data pada rekam medis tersebut
akan dapat dinilai apakah pelayanan yang diberikan sudah cukup baik mutunya atau tidak, serta
apakah sudah sesuai standar atau tidak. Untuk itulah, maka pemerintah, dalam hal ini Departemen
Kesehatan merasa perlu mengatur tata cara penyelenggaraan rekam medis dalam suatu peraturan
menteri keehatan agar jelas rambu-rambunya, yaitu berupa Permenkes
No.749a1Menkes/Per/XII/1989 (Sally, 2008).
Secara garis besar penyelenggaraan rekam medis dalam Permenkes tersebut diatur sebagai berikut:
1. Rekam medis harus segera dibuat dan dilengkapi seluruhnya setelah pasien menerima
pelayanan (pasal 4). Hal ini dimaksudkan agar data yang dicatat masih original dan tidak
ada yang terlupakan karena adanya tenggang waktu.
2. Setiap pencatatan rekam medis harus dibubuhi nama dan tanda tangan petugas pelayanan
kesehatan. Hal ini diperlukan untuk memudahkan sistim pertanggung-jawaban atas
pencatatan tersebut (pasal 5).
Pada saat seorang pasien berobat ke dokter, sebenamya telah terjadi suatu hubungan
kontrak terapeutik antara pasien dan dokter. Hubungan tersebut didasarkan atas kepercayaan
pasien bahwa dokter tersebut mampu mengobatinya, dan akan merahasiakan semua rahasia pasien
yang diketahuinya pada saat hubungan tersebut terjadi.
Dalam hubungan tersebut secara otomatis akan banyak data pribadi pasien tersebut yang akan
diketahui oleh dokter serta tenaga kesehatan yang memeriksa pasien tersebut. Sebagian dari
rahasia tadi dibuat dalam bentuk tulisan yang kita kenal sebagai rekam medis. Dengan demikian,
kewajiban tenaga kesehatan untuk menjaga rahasia kedokteran, mencakup juga kewajiban untuk
menjaga kerahasiaan isi rekam medis. Pada prinsipnya isi rekam medis adalah milik pasien,
sedangkan berkas rekam medis (secara fisik) adalah milik Rumah Sakit atau institusi kesehatan.
Pasal 10 Permenkes No. 749a menyatakan bahwa berkas rekam medis itu merupakan milik sarana
pelayanan kesehatan, yang harus disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 tahun
terhitung sejak tanggal terakhir pasien berobat. Untuk tujuan itulah di setiap institusi pelayanan
kesehatan, dibentuk Unit rekam medis yang bertugas menyelenggarakan proses pengelolaan serta
penyimpanan rekam medis di institusi tersebut (Sally, 2008).
4. Hubungan Informed Consent dengan Bedah Saraf
DEFINISI INFORMED CONSENT
Informed consent merupakan suatu izin (consent) atau pernyataan setuju dari pasien yang
diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter dan yang sudah
dimengertinya. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan N0. 585/MEN.KES/ PER/IX/1989,
Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik untuk tujuan
diagnosis ataupun terapi, yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Handayani, 2016).
Dokter harus memberikan penjelasan tentang tindakan medik apa yang hendak dilakukan,
apa resikonya, apa manfaat dan kerugiannya, apa tidak ada alternatif lain, apa yang mungkin terjadi
bila tindakan itu tidak dilakukan. Penjelasan ini harus diberikan dengan jelas dan dalam bahasa
sederhana yang dapat dimengerti dengan memperhatikan tingkat pendidikan, intelektual, kondisi
dan situasi pasien. Jika pasien sudah mengerti sepenuhnya dan memberikan persetujuan maka
barulah dokter boleh melakukan tindakan medik tersebut. Dalam hal ini perlu dibedakan antara:
1) persetujuan atau ijin pasien, yang diberikan secara lisan setelah dialog dokter-pasien
2) penanda-tanganan formulir oleh pasien, yang merupakan pengukuhan dan kelanjutan dari
kesepakatan dokter-pasien
Penanda-tanganan formulit tersebut hanya sebagai penegasan bahwa sudah ada persetujuan dan
untuk memudahkan pembuktian jika pasien kemudian menyangkal telah memberikan
persetujuannya. Tetapi jika pasien menanda-tangani saja tanpa diberikan penjelasan lebih dahulu
oleh dokter, maka secara yuridis secarik kertas itu tidak merupakan bukti kuat bagi dokter
(Handayani, 2016).
MANFAAT INFORMED CONSENT
Informed Consent bermanfaat untuk :
1) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa sepengetahuan
pasien. Misalnya tindakan medik yang tidak perlu atau tanpa indikasi, penggunaan alat
canggih dengan biaya tinggi dsbnya.
2) Memberikan perlindungan hukum bagi dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan
bersifat negatif. Misalnya terhadap resiko pengobatan yang tidak dapat dihindari walaupun
dokter telah bertindak seteliti mungkin.
Dengan adanya informed consent maka hak autonomy perorangan di kembangkan, pasien dan
subjek dilindungi, mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, merangsang profesi medis untuk
mengadakan introspeksi, mengajukan keputusan-keputusan yang rasional dan melibatkan
masyarakat dalam memajukan prinsip autonomy sebagai suatu nilai sosial serta mengadakan
pengawasan dalam penelitian biomedik (Handayani, 2016).

BENTUK INFORMED CONSENT


Informed Consent dapat berbentuk :
1) Dinyatakan (expressed) :
- lisan (oral)
- tertulis (written)
2) Tersirat atau dianggap diberikan (implied or tacit or presumed consent)
- dalam keadaan biasa (normal)
- dalam keadaan darurat (emergency)

Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis.
Tindakan medik yang tidak mengandung resiko tinggi tidak memerlukan persetujuan tertulis,
cukup dengan persetujuan lisan (Handayani, 2016).
Tidak semua tindakan medik perlu dimintakan persetujuan dari pasien terlebih dahulu,
misalnya tindakan yang biasa dilakukan dan sudah diketahui umum seperti pengukuran tekanan
darah, pemeriksaan dengan stetoskop, atau pengambilan darah pada pasien yang datang ke
laboratorium, pasien yang datang ke Poliklinik Bedah atau ke Unit Gawat darurat dengan
perlukaan, wanita yang datang ke rumah sakit untuk melahirkan. Pada keadaan-keadaan tersebut
persetujuan secara tersirat sudah diberikan (implied, tacit, or presumed consent). Pada keadaan
darurat di mana persetujuan tidak dapat dimintakan dari pasien (misalnya tidak sadar), maka bisa
diminta dari anggota keluarganya. Jika persetujuan juga tidak dapat dimintakan dari keluarga,
maka dokter tidak boleh ragu-ragu untuk bertindak tanpa menunda-nunda lagi. Pada pasien yang
masih di bawah umur, persetujuan diminta dari orang tua atau walinya. Pada pasien dewasa yang
di bawah pengampuan atau menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orang tua atau
wali. Persetujuan yang didapat bukan dari pasien, sebaiknya pada pemberian informasi
(penjelasan) disaksikan oleh perawat atau paramedik lain. Dalam hal tindakan medik yang
dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah untuk melindungi masyarakat banyak, maka
informed consent tidak diperlukan (Handayani, 2016).
HAK WAIVER
Hak waiver adalah hak pasien untuk melepaskan haknya guna memperoleh informasi atau
menolak diberikan informasi dan menolak untuk memutuskan sendiri dan menyerahkan
sepenuhnya kepada dokter. Biasanya pasien dalam keadaan sangat labil, takut, tegang dan gugup.
Jika diberikan informasi malah akan memperburuk keadaan pasien. Manfaat hak waiver adalah
membuka kemungkinan agar pikiran pasien bisa tenang dan tenteram (Handayani, 2016).
BLANKET CONSENT DAN PRO-FORMA CONSENT
Blanket consent adalah surat pernyataan secara umum dari pasien pada waktu masuk rumah
sakit untuk menjalani perawatan yang menyatakan bahwa ia setuju atas segala tindakan medik
yang akan dilakukan selama perawatan (Handayani, 2016).
Pro-forma consent adalah formulir persetujuan medik yang ditanda tangani pasien saat ia
dibawa masuk ke Kamar Bedah tanpa diberikan informasi terlebih dahulu tentang tindakan medik
yang akan dilakukan. Keduanya bukan merupakan informed consent dan tidak mempunyai nilai
yuridis untuk membebaskan diri dari tanggung jawab dan tuntutan hukum untuk kesalahan atau
kelalaian yang mungkin terjadi (Handayani, 2016).

INFORMED CONSENT PADA TINDAKAN BEDAH


Sebelum melakukan operasi, dokter operator sendiri harus memberikan penjelasan (informasi)
kepada pasien yang akan dioperasi tentang segala sesuatu yang menyangkut tindakan bedah yang
akan dilakukan. Dokter operator harus menjelaskan tentang tindakan operasi apa yang akan
dilakukan, manfaat operasi, resiko-resiko yang melekat pada operasinya, alternatif lain yang ada
dan apa akibatnya jika tidak dilakukan operasi.. Penjelasan ini harus diberikan supaya pasien dapat
mengerti, memilih dan memutuskan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya dengan
mempertimbangkan aspek medis, agama, sosial budaya, finansial, prospek kehidupan dan lain-
lain. Menurut PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989, pada keadaan tertentu di mana tidak ada
dokter operator, maka informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan atau
petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Pemberian penjelasan (informasi) tidak dapat
diwakilkan oleh perawat. Dalam tindakan bukan pembedahan dan tindakan yang tidak invasif
(tidak mempengaruhi keutuhan jaringan lain) lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain
atau perawat dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.. Dalam
keadaan gawat darurat tidak diperlukan Informed consent (Handayani, 2016).
Persetujuan untuk pemberian anestesi biasanya dianggap sudah termasuk di dalam persetujuan
pasien untuk tindakan operasi. Bila pasien menolak untuk dibedah maka dokter bedah sebaiknya
menekankan lagi pentingnya operasi itu dan resiko-resiko yang mungkin timbul akibat pembatalan
operasi tersebut. Jika pasien tetap menolak maka pasien diminta untuk menanda-tangani Surat
Penolakan Tindakan Medik (Informed Refusal) (Handayani, 2016).
Perluasan operasi (Extended operation) tidak boleh dilakukan kecuali jika pada waktu operasi
ditemukan hal yang tidak terduga sebelumnya dan sangat membahayakan jiwa jika tidak segera
dilakukan tindakan medik. Faktor-faktor yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk melakukan
perluasan operasi adalah: 1) Kondisi yang ditemukan secara wajar tidak mungkin didiagnosis
sebelum operasi; 2) Tidak ada indikasi bahwa pasien menginginkannya; 3) Perluasan operasi
masih terletak di dalam lokasi insisi; 4) Praktek medik yang baik mengharuskan dilakukan
perluasan operasi; 5) Baik pasien maupun keluarganya tidak bisa langsung dimintakan
persetujuannya. Selain faktor-faktor di atas, perluasan operasi itu juga tidak berkaitan dengan
pembuangan organ atau anggota tubuh, tidak mengakibatkan perubahan fungsi seksual dan tidak
memberi resiko tambahan yang serius (Handayani, 2016).

INFORMED CONSENT PADA KEADAAN GAWAT DARURAT


Pada keadaan gawat darurat tidak perlu dimintakan pesretujuan tindakan medik karena
keadaannya sudah sangat gawat dan tidak ada waktu lagi untuk mencari atau menghubungi
anggota keluarga pasien, sedangkan dokter harus bertindak cepat (implied, tacit, atau presumed
consent). Implied consent khusus untuk keadaan gawat darurat dinamakan juga Constructive
consent (Handayani, 2016).
Dalam keadaan gawat darurat dokter harus membatasi operasinya hanya untuk penyelamatan jiwa
(life-saving) atau penyelamatan anggota tubuh (limb-saving) saja. Tidak boleh diperluas dengan
operasi lain yang tidak ada hubungan dengan penyelamatan jiwa atau anggota tubuh karena untuk
tindakan tersebut harus dimintakan Informed consent (Handayani, 2016).

INFORMED CONSENT PADA BEDAH MAYAT KLINIS DAN TRANSPLANTASI


Peraturan Pemerintah No, 18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat
Anatomis serta Transplantasi alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya untuk bedah mayat klnis setelah penderita
meninggal, demikian pula untuk Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia. Persetujuan tidak
diperlukan jika diduga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau
masyarakat sekitarnya, atau bila dalam waktu 2 kali 24 jam tidak ada keluarga terdekat dating ke
rumah sakit.
Informed consent juga diperlukan pada penelitian biomedik yang melibatkan subyek manusia.
INFORMED CONSENT TIDAK SAH
Informed consent menjadi tidak sah jika diperoleh dengan paksaan (duress), dari seorang yang
tidak berwenang, dari seorang yang belum dewasa, diberikan dengan gambaran yang salah atau
berlainan dan dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar (Handayani, 2016).
Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary
relationship). Pasien harus merasa bebas dan aman mengungkapkan segala keluhan baik fisik
maupun mental bahkan rahasia pribadinya kepada dokter. Pasien harus percaya bahwa dokter tidak
akan menceritakan persoalan pribadinya kepada orang lain. Pasien menganggap bahwa dokter
yang lebih mengetahui tentang penyakitnya dan pasrah saja akan apa yang akan dilakukan dokter
terhadapnya. Pandangan paternalistik (paternalisme) ini menguasai hubungan antara dokter-
pasien pada masa lalu (Handayani, 2016).
Dengan perkembangan zaman, cara berpikir masyarakat berubah. Masyarakat mulai kritis
terhadap hak-haknya. Mereka tidak begitu saja menerima pendapat dokter tentang penyakitnya
tetapi ingin mengetahui lebih jelas tentang rencana pengobatan, resiko yang mungkin terjadi,
alternatif pengobatan lain, prognosis dan sebagainya. Prinsip autonomy berkembang di mana
seseorang bebas untuk menentukan apa yang dikehendakinya terhadap dirinya sendiri tanpa
campur tangan orang lain (the right to self determination) (Handayani, 2016).
Jay Katz mengemukakan teori The Idea of Informed Consent dengan mengatakan bahwa
keputusan tentang pengobatan kepada seorang pasien harus terjadi secara kolaboratif (kerja sama)
antara pasien dan dokter. Pada prinsipnya Informed consent adalah suatu proses, bukan hanya
sekedar meminta pasien menandatangani suatu formulir. Penandatanganan oleh pasien hanya
merupakan kelanjutan atau pengukuhan apa yang sebenarnya sudah disepakati sebelumnya. Di
Indonesia istilah Informed Consent diterjemahkan sebagai Persetujuan Tindakan Medik
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 yang telah berlaku sejak 4 September
1989 (Handayani, 2016).
Kelengkapan berkas rekam medis sangat penting dilakukan salah satunya pada lembar
informed consent. Dilihat dari salah satu kegunaannya dapat dijadikan alat bukti hukum, apabila
terjadi gugatan atas kesalahan tindakan kedokteran. Maka dari itu kelengkapan indormed consent
harus diisi secara lengkap. Menurut Permenkes Republik Indonesia Nomor 290/ Menkes/ Per/ III/
2008 pasal 7, dalam memberikan penjelasan mencakup diagnosis, tujuan tindakan, alternatif
tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
serta perkiraan pembiayaan. Penjelasan tersebut termasuk jenis informasi yang harus dituliskan
dokter di lembar informed consent (Handayani, 2016).
Menurut undang-undang nomor 29 tahun 2004 pasal 46 yang menyebutkan bahwa setiap
catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan tandatangan petugas yang memberikan
pelayanan atau tindakan. Standar pelayanan minimal kelengkapan pengisian informed consent
adalah 100% (Depkes, 2007). Berdasarkan hasil penelitian di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
dengan melakukan perhitungan analisis kelengkapan pengisian informed consent rawat inap kasus
bedah saraf dengan kelengkapan terendah pada variabel laporan penting komponen analisis
perkiraan biaya 40%, sedangkan untuk variabel autentikasi komponen analisis nama nama terang
dokter 34,28%. Hal ini dikarenakan oleh petugas assembling tidak melakukan pengecekan analisis
kuantitatif kelengkapan lembar informed consent saat berkas datang dari bangsal ke bidang rekam
medis, berkas datang yang dilihat hanya kelengkapan pada resume dan ringkasan masuk keluar
(Handayani, 2016).
Masih rendahnya kelengkapan pada variabel laporan penting dan autentikasi tidak
menyebabkan pengaruh secara langsung terhadap mutu pelayanan akan tetapi kelengkapan data
yang ada pada lembar informed consent sangat penting dibutuhkan. Karena kelengkapan pengisian
informed consent dapat digunakan sebagai alat bukti hukum yang sah. Data yang ada didalam
lembar informed consent juga menjadi bukti tertulis oleh oleh rumah sakit bahwa dokter telah
memberikan tindakan kedokteran, tindakan medis serta perawatan kepada pasien dengan adanya
persetujuan terlebih dahulu dari pasien atau keluarga pasien (Handayani, 2016).
Pada variabel laporan penting komponen analisis perkiraan biaya dari tindakan yang akan
dilakukan, karena pasien atau juga berhak memperoleh perkiraan biaya yang akan dikeluarkan
untuk melakukan tindakan tersebut. Ketidaktahuan dokter serta tenaga kesehatan lain mengenai
perkiraan biaya mengenai tarif dari tindakan tersebut menyebabkan tidak terisi lengkap komponen
perkiraan biaya. Jadi isi informasi harus disampaikan secara terperinci oleh dokter kepada pasien
baik secara lisan maupun tertulis pada lembar informed consent. Variabel autentikasi komponen
analisis nama dokter tidak disi lengkap, padahal setiap autentikasi harus dibubuhi tanda tangan
dan nama terang dari tenaga kesehatan yang bertanggung jawab melakukan tindakan kedokteran,
maka dari itu autentikasi juga sangat penting dilengkapi (Handayani, 2016).
Sehubungan dengan hal ini, kelengkapan berkas rekam medis dilakukan pengecekan
kelengkapan oleh petugas assembling pada waktu berkas tiba di bidang rekam medis setelah pasien
selesai menerima pelayanan. Oleh karena itu analisis kelengkapan pengisian informed consent
harus dilakukan juga secara terperinci untuk menjaga konsistensi dan kelengkapan isi, baik dari
segi aspek hukumnya saat digunakan untuk perlindungan rumah sakit sebagai instasi pelayanan
kesehatan, dokter, perawat dan pasien sendiri (Handayani, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

1. KBSI, 2007. Standar Pendidikan dokter spesialis bedah saraf. Available from:
http://www.perspebsi.org/doc/info/regulation/REG-STSPES/pdf-
bckp/Standar%20Spesialis.pdf
2. Handayani, A., 2016. Kelengkapan Pengisian Informed Consent Rawat Inap pada
Kasus Bedah Saraf di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Tahun 2016. Available from:
http://repository.stikesayaniyk.ac.id/339/1/Anas%20Handayani_1313013_nonfull%2
0resize.pdf.
3. Hanafiah, J., Amir, A., Etika Kedokteran dan hukum Kesehatan. Available from:
https://books.google.co.id/books?id=9vnO9z5CxK0C&pg=PA6&lpg=PA6&dq=Huk
um+kesehatan+merupakan+peraturan+perundangan+yang+menyangkut+pelayanan&
source=bl&ots=KEGNj9T5_-
&sig=gMweFkWEEuNMcDbsSbgjtbHIzTM&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiDj6up2
4_UAhVCQ48KHY_pBpUQ6AEITTAH#v=onepage&q=Hukum%20kesehatan%20
merupakan%20peraturan%20perundangan%20yang%20menyangkut%20pelayanan&
f=false.
4. Sally, T. 2008. Analiis Ketidaklengkapan Pengisian Berkas Rekam Medis Rawat Inap
Non Psikiatri bulan April di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2008.
Available from: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122863-S-5414-
Analisis%20ketidaklengkapan-Literatur.pdf

Anda mungkin juga menyukai