Istilah kesehatan pada dasarnya berasal dari kata sehat yang artinya terbebas dari
segala gangguan atau pun penyakit baik penyakit fisik maupun psikis. Jika diarikan dari
kata dasarnya, maka kesehatan merupakan kondisi atau pun keadaan yang
menggambarkan tubuh yang terbebas dari segala penyakit atau pun gangguan fisik
atau pun psikis.
Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya sebagian besar tenaga hukum kedokteran
yaitu ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan atau
pemeliharaan kesehatan dalam menjalankan profesinya seperti dokter, dokter gigi,
apoteker, perawat, bidan, nutrisionis, fisioterapis, ahli rekam medik dan lain-lain.
Sedangkan menurut WHO, Rumah Sakit adalah suatu badan usaha yang menyediakan
pemondokan yang memberikan jasa pelayanan medis jangka pendek dan jangka
panjang yang terdiri atas tindakan observasi, diagnostik, terpeutik dan rehabilitatif untuk
orang-orang yang menderita sakit, terluka, mereka yang mau melahirkan dan
menyediakan pelayanan berobat jalan.
Masing-masing disiplin ini umunnya telah mempunyai etik profesi yang harus diamalkan
anggotanya. Begitu pula rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan
kesehatan juga telah mempunyai etika yang di Indonesia terhimpun dalam Etik Rumah
Sakit Indonesia (ERSI).
Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik
merupakan morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu
dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.
Etik dan hukum memeiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengatur tertib dan tentramnya
pergaulan hidup dalam masyarakat.
Sumbernya adalah hasi pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota senior.
Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi. Hukum disusun oleh badan
pemerintah.
Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara terinci dalam kitab undang-
undang dan lembaran/berita negara.
Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), yang
dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kalau perlu diteruskan kepada Panitia
Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK), yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan
(DEPKES). Pelanggaran hukum diselesaikan melalui pengadilan.
Etika rumah sakit adalah etika terapan (applied ethics) atau etika praktis (practical
ethics), yaitu moralitas atau etika umum yang diterapkan pada isu-isu praktis, seperti
perlakuan terhadap etnik-etnik minoritas, keadilan untuk kaum perempuan, penggunaan
hewan untuk bahan makanan atau penelitian, pelestarian lingkungan hidup, aborsi,
etanasia, kewajiban bagi yang mampu untuk membantu yang tidak mampu, dan
sebagainya. Jadi, etika rumah sakit adalah etika umum yang diterapkan pada
(pengoperasian) rumah sakit.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang
moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem
tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk.
Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha
manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus
hidup dan bertindak? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika
dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya
secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan
budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan
lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi)
profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika
adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan
penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung
jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap
diri sendiri dan profesi, terhadap pemerintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak
langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat
tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Etika Rumah Sakit adalah suatu etika praktis yang dikembangkan untuk Rumah Sakit
sebagai suatu institusi lahir pada waktu yang hampir bersamaan dengan kehadiran
etika biomedis. Atau dapat juga dikatakan etika institusional rumah sakit adalah
pengembangan dari etika biomedika (bioetika). Karena masalah-masalah atau dilema
etika yang baru sama sekali sebagai dampak atau akibat dari penerapan kemajuan
pesat ilmu dan teknologi biomedis, justru terjadi di rumah sakit. Sebagai contoh, dapat
disebut kegiatan reproduksi dibantu transplantasi organ.
v Etika administratif
v Etika biomedis
Secara umum masalah etik rumah sakit yang perlu diatur adalah tentang:
1. Rekam medis
2. Keperawatan
3. Pelayanan laboratorium
8. Pelayanan radiologi
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan kepastian dan
perlindungan hukum, baik bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun bagi
penerima jasa pelayanan kesehatan, untuk meningkatkan, mengarahkan dan
memberikan dasar bagi pembangunan di bidang kesehatan diperlukan adanya
perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Banyak terjadi perubahan terhadap kaidah-
kaidah kesehatan, terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak yang terkait di
dalam upaya kesehatan serta perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.
Sesuai dengan pengertian hukum kesehatan, maka hukum rumah sakit dapat disebut
sebagai semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan
atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban segenap lapisan
masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara
pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam segala aspek organisasi, sarana,
pedoman medik serta sumber-sumber hukum lainnya.
Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah
sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu :
a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien
bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan di mana tenaga
perawatan melakukan tindakan perawatan.
b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan
pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk
menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis (Fred Ameln,
1991: 75-76).
Rumah sakit dalam menjamin perlindungan hukum bagi dokter/ tenaga kesehatan agar
tidak menimbulkan kesalahan medik dalam menangani pasien, sekaligus pasien
mendapatkan perlindungan hukum dari suatu tanggungjawab rumah sakit dan dokter/
tenaga kesehatan.
Dalam kaitan dengan tanggung jawab rumah sakit, maka pada prinsipnya rumah sakit
bertanggung jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu rumah
sakit juga bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (1243,
1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata) (Fred Ameln, 1991: 71).
Peran dan fungsi Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan
(YANKES) yang profesional akan erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur, yaitu yang
terdiri dari :
2) Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan; dan
3) Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan atau
medik khususnya (Hermien Hadiati Koeswadji, 2002: 118).
Dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memahami adanya landasan
hukum dalam transaksi terapetik antara dokter dengan pasien (kontrak-terapetik),
mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pasien serta hak dan kewajiban dokter
dan adanya wajib simpan rahasia kedokteran, rahasia jabatan dan pekerjaan (M.Jusuf
Hanafiah dan Amri Amir, 1999: 29).
Didalam memberikan pelayanan kepada pasien dan bermitra dengan dokter rumah
sakit memiliki hak dan kewajiban yang diatur sesuai dengan Kode Etik Rumah Sakit
(KODERSI), Surat Edaran Dirjen Yan Med No: YM 02.04.3.5.2504 tentang Pedoman
Hak & Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit
Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI) disusun oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI). ERSI ini memuat tentang kewajiban umum rumah sakit, kewajiban
rumah sakit terhadap masyarakat, kewajiban rumah sakit terhadap pasien, kewajiban
rumah sakit terhadap staf dan lain-lain.
Pada saat ini beberapa rumah sakit telah mulai merasakan perlunya sebuah badan
yang menangani pelanggaran etik yang terjadi di rumah sakit. Di rumah sakit besar di
Indonesia telah ada badan yang dibentuk di bawah nama Panitia Etika Rumah Sakit
(PERS) yang di luar negeri disebut Hospital Ethical Commitee dimana anggotanya
terdiri dari staf medis, perawatan, administratif dan pihak lain yang berkaitan dengan
tugas rumah sakit.
1. Sebagai sumber informasi yang relevan untuk menyelesaikan masalah etik di rumah
sakit.
3. Memberikan nasihat kepada direksi rumah sakit untuk meneruskan atau tidak,
perkara pelanggaran etik ke MKEK.
Tugas PERS adalah membantu para dokter, perawat dan anggota tim kesehatan di
rumah sakit dalam menghadapi masalah-masalah pelanggaran etik maupun
pemantapan pengalaman kode etik masing-masing profesi.
Hospital Bylaw
Istilah Hospital Bylaw itu terdiri dari dua kata ‘Hospital’ dan ‘Bylaw’. Kata ‘Hospital’
mungkin sudah cukup familiar bagi kita, yang berarti rumah sakit. Sementara kata
‘Bylaw’ terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli. Menurut The Oxford
Illustrated Dictionary:Bylaw is regulation made by local authority or corporation.
Pengertian lainnya, Bylaws means a set of laws or rules formally adopted internally by a
faculty, organization, or specified group of persons to govern internal functions or
practices within that group, facility, or organization (Guwandi, 2004). Dengan demikian,
pengertian Bylaw tersebut dapat disimpulkan sebagai peraturan dan ketentuan yang
dibuat suatu organisasi atau perkumpulan untuk mengatur para anggota-anggotanya.
Keberadaan Hospital Bylaw memegang peranan penting sebagai tata tertib dan
menjamin kepastian hukum di rumah sakit. Ia adalah ‘rules of the game’ dari dan dalam
manajemen rumah sakit.
Ada beberapa ciri dan sifat Hospital Bylaw yaitu pertama tailor-made. Hal ini berarti
bahwa isi, substansi, dan rumusan rinci Hospital Bylaw tidaklah mesti sama. Hal ini
disebabkan oleh karena tiap rumah sakit memiliki latar belakang, maksud, tujuan,
kepemilikan, situasi, dan kondisi yang berbeda. Adapun ciri kedua, Hospital Bylaw
dapat berfungsi sebagai ‘perpanjangan tangan hukum’. Fungsi hukum adalah membuat
peraturan-peraturan yang bersifat umum dan yang berlaku secara umum dalam
berbagai hal. Sedangkan kasus-kasus hukum kedokteran dan rumah sakit bersifat
kasuistis. Dengan demikian, maka peraturan perundang-undangannya masih harus
ditafsirkan lagi dengan peraturan yang lebih rinci, yaitu Hospital Bylaw. Sebagaimana
diketahui, hampir tidak ada kasus kedokteran yang persis sama, karena sangat
tergantung kepada situasi dan kondisi pasien, seperti kegawatannya, tingkat
penyakitnya, umur, daya tahan tubuh, komplikasi penyakitnya, lama pengobatan yang
sudah dilakukan, dan sebagainya. Ketiga, Hospital Bylaw mengatur bidang yang
berkaitan dengan seluruh manajemen rumah sakit meliputi administrasi, medik,
perawatan, pasien, dokter, karyawan, dan lain-lain. Keempat, rumusan Hospital Bylaw
harus tegas, jelas, dan terperinci. Hospital Bylaw tidak membuka peluang untuk
ditafsirkan lagi secara individual. Kelima, Hospital Bylaw harus bersifat sistematis dan
berjenjang.
Hospital Bylaw merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain: tata
tertib rawat inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah
sakit, informed consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia
kedokteran, komite medik, panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses
dokter terhadap fasilitas rumah sakit, persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan
kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga kesehatan dan rekanan. Adapun bentuk HBL
dapat merupakan kumpulan dari Peraturan Rumah Sakit, Standar Operating
Procedure(SOP), Surat Keputusan, Surat Penugasan, Pengumuman, Pemberitahuan
dan Perjanjian (MOU). Namun demikian, peraturan internal rumah sakit tidak boleh
bertentangan dengan peraturan diatasnya seperti Keputusan Menteri, Keputusan
Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-undang. Dalam bidang kesehatan
pengaturan tersebut harus selaras dengan Undang-undang nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya.
Belakangan ini tidak jarang keluhan masyarakat bahwa rumah sakit tidak melayani
masyarakat dengan baik. Bahkan beberapa rumah sakit saat ini telah dituntut karena
pelayanan yang tidak sesuai harapan. Ini bisa menjadi salah satu indikasi bahwa masih
ada rumah sakit yang belum mempunyai aturan rumah sakit yang jelas, sistematis, dan
rinci. Karena itu, sesuai prinsip tailor made rumah sakit seharusnya mempunyai
Hospital Bylaw yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Banyaknya kasus malapraktik di negara ini merupakan salah satu bentuk dari kurang
demokratisnya dokter dalam melayani pasien. Tidak dapat disangkal bahwa di negara
ini masih banyak rumah sakit yang menerapkan doctor-oriented. Padahal, seharusnya
manajemen rumah sakit menetapkan patient-oriented.
Akibat manajemen rumah sakit yang kerap kali ”menganakemaskan” para dokternya,
dalam artian mengelola rumah sakit berdasarkan keinginan para dokter, telah menjadi
bumerang bagi perkembangan rumah sakit di negara ini. Contoh kecil berkembangnya
sikap doctor-oriented dapat dilihat dari perekrutan dokter oleh pihak pengelola rumah
sakit. Dalam hal ini, pihak manajemen akan mempekerjakan dokter-dokter yang sudah
terkenal dan mempunyai pasien tetap.
Secara ekonomis, praktik seperti ini memang menguntungan. Pasien-pasien dokter
yang direkrut tersebut akan berpindah ke rumah sakit di mana si dokter berpraktik,
selain berpraktik secara pribadi. Padahal, hal seperti ini tidak boleh dilakukan karena
dokter dengan kemampuannya yang terbatas, tidak mungkin bisa menangani begitu
banyak pasien. Otak dan tubuh kita perlu istirahat setelah digunakan dalam jangka
waktu tertentu. Tapi, hal ini sering diabaikan karena sejumlah dokter lebih
mementingkan nilai material yang dapat diraihnya.
Dengan demikian, kepentingan Hospital Bylaw dapat dilihat dari tiga sudut yaitu
pertama, untuk kepentingan peningkatan mutu pelayanan. Dalam hal ini Hospital Bylaw
dapat menjadi instrumen akreditasi rumah sakit. Rumah sakit perlu membuat standar-
standar yang berlaku baik untuk tingkat rumah sakit maupun untuk masing-masing
pelayanan misalnya pelayanan medis, pelayananan keperawatan, administrasi dan
manajemen, rekam medis, pelayanan gawat darurat, dan sebagainya. Standar-standar
ini terdiri dari elemen struktur, proses, dan hasil. Adapun elemen struktur meliputi
fasilitas fisik, organisasi, sumber daya manusianya, sistem keuangan, peralatan medis
dan non-medis, AD/ART, kebijakan, SOP/Protap, dan program. Proses adalah semua
pelaksanaan operasional dari staf/unit/bagian rumah sakit kepada
pasien/keluarga/masyarakat pengguna jasa rumah sakit tersebut. Hasil (outcome)
adalah perubahan status kesehatan pasien, perubahan pengetahuan/pemahaman serta
perilaku yang mempengaruhi status kesehatannya di masa depan, dan kepuasan
pasien.
Kepentingan yang kedua, dilihat dari segi hukum Hospital Bylaw dapat menjadi tolak
ukur mengenai ada tidaknya suatu kelalaian atau kesalahan di dalam suatu kasus
hukum kedokteran. Di dalam Hukum Rumah Sakit pembuktian yang lebih rinci harus
terdapat dalam Hospital Bylaw. Ketiga, dilihat dari segi manajemen risiko, maka HBL
dapat menjadi alat (tool) untuk mencegah timbulnya atau mencegah terulangnya suatu
risiko yang merugikan. Dengan demikian, pasien akan semakin terlindungi sesuai
prinsip patient safety. Hospital Bylaw juga akan memperjelas fungsi dan kedudukan
dokter dalam sebuah rumah sakit . Sebagai tenaga medis, dokter dituntut melakukan
tindakan medis sesuai dengan standar profesi yang ditetapkan dalam upaya
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit, dan pemulihan kesehatan. Apalagi, berdasarkan strategi WTO pada tahun
2010 Indonesia akan membuka peluang dokter asing untuk berpraktik. Sementara itu,
ASEAN bersepakat dua tahu lebih cepat yaitu pada tahun 2008 membuka peluang
yang sama untuk tenaga kesehatan.
Masalah etika dan hukum di rumah sakit yang paling marak saat ini adalah
malpraktek. Malpraktek (medis) sebenarnya adalah istilah hukum yang berarti
kesalahan dalam menjalankan profesi. Berkhouwer dan Borstman (dikutip oleh
Veronica Komalawati) mengatakan, seorang dokter melakukan kesalahan profesi,
apabila ia tidak memeriksa, tidak membuat penilaian, tidak melakukan tindakan atau
tidak menghindari tindakan (tertentu), sedangkan dokter-dokter yang baik pada
umumnya pada situasi yang sama akan melakukan pemeriksaan, membuat penilaian,
melakukan tindakan atau menghindari tindakan (tertentu).
Kita dapat melihat bahwa: Pertama, definisi ini bersifat relatif. Baik buruknya seorang
dokter menjalankan profesinya dibandingkan dengan rata-rata dokter lain. Tentu ini ada
kelemahan-kelemahannya, dapat saja seorang dokter yang inovatif di tuduh melakukan
malpraktek karena ia melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan kebanyakan dokter
lain, padahal yang ia lakukan adalah baik dan bermanfaat bagi pasien. Soal standar
profesi tidak disinggung dalam devinisi itu,mungkin karena belum ada, karena buku dua
ahli hukum Belanda itu diterbitkan lebih daripada setengah abad yang lalu dalam tahun
1950.
Kedua, walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan, dalam definisi ini dengan kesalahan
profesional ditonjolkan tentang kelainan; dokter tentu tidak melakukan pemeriksaan.
tidak membuat penilaian, tidak melakukan tindakan, dan tidak menghindari tindakan
tertentu. Ini sesuai dengan pemahaman, bahwa malpraktek adalah sama dengan
negligence.
Sesuai dengan konteks makalah ini, tentang malpraktek dengan latar belakang
pelanggaran hukum tidak dibicarakan lebih jauh. Fokus utama adalah pada masalah
etika medis di rumah sakit.
1. Etika dalam hal ini diartikan sebagai kewajiban dan tanggung jawab.
2. Etika rumah sakit adalah etika institusi, jadi kewajiban dan tanggng jawab itu adalah
institusional, bukan individual.
3. Namun, eksekutif puncak rumah sakit- sebagai yang oleh pemilik melalui Governing
Body (Badan Pengampu, Majelis Wali Amanah, Dewan Pembina, atau nama jenis yang
lain) diberi kekuasaan mengelola dan tanggung jawab rumah sakit, dengan sendirinya
juga adalah penanggung jawab moral dan etika institusional.
4. Etika medis berhubungan dengan hidup dan kesehatan. Objek kewajiban dan
tanggung jawab pada etika medis adalah hidup dan kesehatan manusia dan kelompok
manusia dilingkungan luar rumah sakit. itu berarti pasien staf serta karyawan rumah
sakit,dan masyarakat.
5. Masalah etika rumah sakit timbul apabila terjadi pelanggaran terhadap asas-asas
etika (umum)dan Kode Etik Rumah Sakit, yang adalah uraian lebih operasional dari
asas-asas etika.
6. Asas-asas etika yang diterapkan pada etika rumah sakit sebagai etika praktis adalah:
o Rumah sakit berbuat kebaikan (benifecence) dan tidak menimbulkan mudharat atau
cidera (nonmalifecence) pada pasien, staf dan karyawan,masyarakat umum,serta
lingkungan hidup. Dua asas etika klasik ini sudah ada dalam lafal Sumpah Hipprokrates
sejak lebih 23 abad yang lalu. Dua asas ini adalah juga ajaran semua agama. Ajaran
islam hampir selalu menyebut dua asas itu dalam satu kalimat (Amar ma ‘arupnahi
mungkar).dalam ajaran agama hindu, nonmaleficence adalah Ahimsa.
o Asas keadilan (justice): keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan perlakuan yang
‘fair’terhadap pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum.
Kurt Darr mengatakan, bahwa seorang eksekutuf rumah sakit tidak perlu sampai
mengikuti kursus tentang pilosofi atau etika untuk dapat mengidentifikasikan masalah
etika, walaupun kursus-kursus demikian akan banyak menolong. yang penting,harus
ada kepekaan, kebiasaan melakukan refleksi (an inquiring mind), dan etika pribadi
(personal etics)yang cukup baik. tiga pertanyaan berikut ini dianjurkan diajukan pada
diri sendiri untuk mengidentifikasikan kemungkinan adanya etika pada kasus tertentu.
Apakah pasien, staf dan karyawan, atau masyarakat umum dalam kasus tertentu itu
diperlakukan seperti saya ingin diperlakukan dalam kasus seperti itu? ini dinamakan
The Golden Rule.
Apakah pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum cukup dilindungi terhadap
kemungkinan cidera dalam keberadaan dan pelayanan di rumah sakit?
Apakah penjelasan tentang informed conset kepada pasien cukup memberi informasi
baginya tentang apa yang akan dilakukan pada dirinya?
Jika salah satu atau lebih dari tiga pertanyaan itu terjawab dengan “tidak”,ada indikasi
masalah etika pada kasus yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah:
Jika masih perlu untuk lebih memastikan: Teori etika mana yang dapat dipakai untuk
pembenaran keputusan atau tindakan rumah sakit yang menimbulkan masalah etika
administratif atau etika biomedis.
Dianjurkan langkah langkah umum sebagai berikut untuk pemecahan masalah etika
rumah sakit:
2. Melakukan analisis lebih dalam tentang akar masalah yang sudah ditemukan (root
cause analysis),untuk menetapkan arah pemecahannya.
Kesimpulan
1. Hukum rumah sakit adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan
kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam
segala aspek organisasi, sarana, pedoman medik serta sumber-sumber hukum lainnya.
2. Rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan kesehatan telah mempunyai
etika yang di Indonesia terhimpun dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI).
Saran
Referensi
Hanafiah, M.Jusuf dan Amri Amir. 1998. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.
Medan: EGC
http://www.pdpersi.co.id
http://www.rspondokindah.co.id
http://www.tantos.web.id
http://www.mail-archive.com/dokter@yahoogroups.com/maillist.html
http://mashuri.blogspot.com/2007/01/hospital-bylaw.html