Anda di halaman 1dari 15

Definisi dan Pengertian Kesehatan

Istilah kesehatan pada dasarnya berasal dari kata sehat yang artinya terbebas dari
segala gangguan atau pun penyakit baik penyakit fisik maupun psikis. Jika diarikan dari
kata dasarnya, maka kesehatan merupakan kondisi atau pun keadaan yang
menggambarkan tubuh yang terbebas dari segala penyakit atau pun gangguan fisik
atau pun psikis.

Menurut Undang – Undang Republik Indonesia, pengertian kesehatan adalah keadaan


sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkikan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.

Kesehatann sendiri melibatkan rumah sakit doker dan perawat .

Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia


(PERHUKI) adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini meyangkut hak
dan kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya,
organisasi, saranan, pedoman standar pelayanan medik , ilmu pengetahuan kesehatan
dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.

Hukum Kesehatan terdiri dari banyak disiplin diantaranya: hukum kedokteran/


kedokteran gigi, hukum keperawatan, hukum farmasi klinik, hukum apotik, hukum
kesehatan masyarakat, hukum perobatan, hukum rumah sakit, hukum kesehatan
lingkungan dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).

Rumah Sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor:


159b/Men.Kes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit adalah ”Sarana upaya kesehatan yang
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk
pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian”.

Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya sebagian besar tenaga hukum kedokteran
yaitu ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan atau
pemeliharaan kesehatan dalam menjalankan profesinya seperti dokter, dokter gigi,
apoteker, perawat, bidan, nutrisionis, fisioterapis, ahli rekam medik dan lain-lain.

Sedangkan menurut WHO, Rumah Sakit adalah suatu badan usaha yang menyediakan
pemondokan yang memberikan jasa pelayanan medis jangka pendek dan jangka
panjang yang terdiri atas tindakan observasi, diagnostik, terpeutik dan rehabilitatif untuk
orang-orang yang menderita sakit, terluka, mereka yang mau melahirkan dan
menyediakan pelayanan berobat jalan.

Masing-masing disiplin ini umunnya telah mempunyai etik profesi yang harus diamalkan
anggotanya. Begitu pula rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan
kesehatan juga telah mempunyai etika yang di Indonesia terhimpun dalam Etik Rumah
Sakit Indonesia (ERSI).

Dengan demikian dalam menjalankan pelayanan kesehatan masing-masing profesi


harus berpedoman pada etika profesinya dan harus pula memahami etika profesi
disiplin lainnya apalagi dalam wadah dimana mereka berkumpul (rumah sakit) agar
tidak saling berbenturan.

Etik dan Hukum

Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik
merupakan morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu
dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.

Hukum adalah pereturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuaaan,


dalam mengatur pergaulan hidup masyarakat.

Etik dan hukum memeiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengatur tertib dan tentramnya
pergaulan hidup dalam masyarakat.

Persamaan etik dan hukum adalah sebagai berikut:

Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat.

Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia.

Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat agar tidak saling


merugikan.

Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi.

Sumbernya adalah hasi pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota senior.

Sedangkan perbedaan Etik dan hukum adalah sebagai berikut:

Etik berlaku untuk lingkungan profesi . Hukum berlaku untuk umum.

Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi. Hukum disusun oleh badan
pemerintah.
Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara terinci dalam kitab undang-
undang dan lembaran/berita negara.

Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntunan. Sanksi terhadap pelanggaran


hukum berupa tuntutan.

Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), yang
dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kalau perlu diteruskan kepada Panitia
Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK), yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan
(DEPKES). Pelanggaran hukum diselesaikan melalui pengadilan.

Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik. Penyelesaian


pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik.

Etika Rumah Sakit

Etika rumah sakit adalah etika terapan (applied ethics) atau etika praktis (practical
ethics), yaitu moralitas atau etika umum yang diterapkan pada isu-isu praktis, seperti
perlakuan terhadap etnik-etnik minoritas, keadilan untuk kaum perempuan, penggunaan
hewan untuk bahan makanan atau penelitian, pelestarian lingkungan hidup, aborsi,
etanasia, kewajiban bagi yang mampu untuk membantu yang tidak mampu, dan
sebagainya. Jadi, etika rumah sakit adalah etika umum yang diterapkan pada
(pengoperasian) rumah sakit.

Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang
moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem
tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk.
Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha
manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus
hidup dan bertindak? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika
dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya
secara tertukar-tukar.

Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan
budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan
lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi)
profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika
adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan
penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.

Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung
jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap
diri sendiri dan profesi, terhadap pemerintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak
langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat
tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.

Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk


diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan
buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.

Etika Rumah Sakit adalah suatu etika praktis yang dikembangkan untuk Rumah Sakit
sebagai suatu institusi lahir pada waktu yang hampir bersamaan dengan kehadiran
etika biomedis. Atau dapat juga dikatakan etika institusional rumah sakit adalah
pengembangan dari etika biomedika (bioetika). Karena masalah-masalah atau dilema
etika yang baru sama sekali sebagai dampak atau akibat dari penerapan kemajuan
pesat ilmu dan teknologi biomedis, justru terjadi di rumah sakit. Sebagai contoh, dapat
disebut kegiatan reproduksi dibantu transplantasi organ.

Etika rumah sakit terdiri atas dua komponen :

v Etika administratif

v Etika biomedis

Secara umum masalah etik rumah sakit yang perlu diatur adalah tentang:

1. Rekam medis

2. Keperawatan

3. Pelayanan laboratorium

4. Pelayanan pasien dewasa

5. Pelayanan kesehatan anak

6. Pelayanan klinik medik

7. Pelayanan intensif, anestesi dan euthanasia

8. Pelayanan radiologi

9. Pelayanan kamar operasi

10. Pelayanan rehabilitasi medik

11. Pelayanan gawat darurat

12. Pelayanan medikolegal dan lain-lain


Hukum Rumah Sakit

Hukum kesehatan eksistensinya masih sangat relatif baru, dalam perkembangannya di


Indonesia, semula dikembangkan oleh Fred Ameln dan Almarhum Prof. Oetama dalam
bentuk ilmu hukum kedokteran. Perkembangan kehidupan yang pesat di bidang
kesehatan dalam bentuk sistem kesehatan nasional mengakibatkan di perlukannya
pengaturan yang lebih luas, dari hukum kedokteran ke hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan (hukum kesehatan).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan kepastian dan
perlindungan hukum, baik bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun bagi
penerima jasa pelayanan kesehatan, untuk meningkatkan, mengarahkan dan
memberikan dasar bagi pembangunan di bidang kesehatan diperlukan adanya
perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Banyak terjadi perubahan terhadap kaidah-
kaidah kesehatan, terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak yang terkait di
dalam upaya kesehatan serta perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.

Sesuai dengan pengertian hukum kesehatan, maka hukum rumah sakit dapat disebut
sebagai semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan
atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban segenap lapisan
masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara
pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam segala aspek organisasi, sarana,
pedoman medik serta sumber-sumber hukum lainnya.

Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah
sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu :

a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien
bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan di mana tenaga
perawatan melakukan tindakan perawatan.

b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan
pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk
menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis (Fred Ameln,
1991: 75-76).

Rumah sakit dalam menjamin perlindungan hukum bagi dokter/ tenaga kesehatan agar
tidak menimbulkan kesalahan medik dalam menangani pasien, sekaligus pasien
mendapatkan perlindungan hukum dari suatu tanggungjawab rumah sakit dan dokter/
tenaga kesehatan.

Dalam kaitan dengan tanggung jawab rumah sakit, maka pada prinsipnya rumah sakit
bertanggung jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu rumah
sakit juga bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (1243,
1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata) (Fred Ameln, 1991: 71).

Peran dan fungsi Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan
(YANKES) yang profesional akan erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur, yaitu yang
terdiri dari :

1) Unsur mutu yang dijamin kualitasnya;

2) Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan; dan

3) Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan atau
medik khususnya (Hermien Hadiati Koeswadji, 2002: 118).

Dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memahami adanya landasan
hukum dalam transaksi terapetik antara dokter dengan pasien (kontrak-terapetik),
mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pasien serta hak dan kewajiban dokter
dan adanya wajib simpan rahasia kedokteran, rahasia jabatan dan pekerjaan (M.Jusuf
Hanafiah dan Amri Amir, 1999: 29).

Didalam memberikan pelayanan kepada pasien dan bermitra dengan dokter rumah
sakit memiliki hak dan kewajiban yang diatur sesuai dengan Kode Etik Rumah Sakit
(KODERSI), Surat Edaran Dirjen Yan Med No: YM 02.04.3.5.2504 tentang Pedoman
Hak & Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit

Panitia Etika Rumah Sakit (PERS)

Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI) disusun oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI). ERSI ini memuat tentang kewajiban umum rumah sakit, kewajiban
rumah sakit terhadap masyarakat, kewajiban rumah sakit terhadap pasien, kewajiban
rumah sakit terhadap staf dan lain-lain.

Pada saat ini beberapa rumah sakit telah mulai merasakan perlunya sebuah badan
yang menangani pelanggaran etik yang terjadi di rumah sakit. Di rumah sakit besar di
Indonesia telah ada badan yang dibentuk di bawah nama Panitia Etika Rumah Sakit
(PERS) yang di luar negeri disebut Hospital Ethical Commitee dimana anggotanya
terdiri dari staf medis, perawatan, administratif dan pihak lain yang berkaitan dengan
tugas rumah sakit.

Fungsi Panitia Etika Rumah Sakit


Fungsi PERS ini adalah memberikan nasihat atau konsultasi melalui diskusi atau
berperan dalam menilai penyelesaian melalui kebijaksanaan, pendidikan pada
lingkungannya dan memberikan anjuran-anjuran pada pelayan kasus-kasus sulit.

Dengan demikian PERS dapat memberikan manfaat :

1. Sebagai sumber informasi yang relevan untuk menyelesaikan masalah etik di rumah
sakit.

2. Mengidentifikasi masalah pelanggaran etik di rumah sakit dan memberikan pendapat


untuk penyelesaian.

3. Memberikan nasihat kepada direksi rumah sakit untuk meneruskan atau tidak,
perkara pelanggaran etik ke MKEK.

Tugas PERS adalah membantu para dokter, perawat dan anggota tim kesehatan di
rumah sakit dalam menghadapi masalah-masalah pelanggaran etik maupun
pemantapan pengalaman kode etik masing-masing profesi.

Hospital Bylaw

Istilah Hospital Bylaw itu terdiri dari dua kata ‘Hospital’ dan ‘Bylaw’. Kata ‘Hospital’
mungkin sudah cukup familiar bagi kita, yang berarti rumah sakit. Sementara kata
‘Bylaw’ terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli. Menurut The Oxford
Illustrated Dictionary:Bylaw is regulation made by local authority or corporation.
Pengertian lainnya, Bylaws means a set of laws or rules formally adopted internally by a
faculty, organization, or specified group of persons to govern internal functions or
practices within that group, facility, or organization (Guwandi, 2004). Dengan demikian,
pengertian Bylaw tersebut dapat disimpulkan sebagai peraturan dan ketentuan yang
dibuat suatu organisasi atau perkumpulan untuk mengatur para anggota-anggotanya.
Keberadaan Hospital Bylaw memegang peranan penting sebagai tata tertib dan
menjamin kepastian hukum di rumah sakit. Ia adalah ‘rules of the game’ dari dan dalam
manajemen rumah sakit.

Ada beberapa ciri dan sifat Hospital Bylaw yaitu pertama tailor-made. Hal ini berarti
bahwa isi, substansi, dan rumusan rinci Hospital Bylaw tidaklah mesti sama. Hal ini
disebabkan oleh karena tiap rumah sakit memiliki latar belakang, maksud, tujuan,
kepemilikan, situasi, dan kondisi yang berbeda. Adapun ciri kedua, Hospital Bylaw
dapat berfungsi sebagai ‘perpanjangan tangan hukum’. Fungsi hukum adalah membuat
peraturan-peraturan yang bersifat umum dan yang berlaku secara umum dalam
berbagai hal. Sedangkan kasus-kasus hukum kedokteran dan rumah sakit bersifat
kasuistis. Dengan demikian, maka peraturan perundang-undangannya masih harus
ditafsirkan lagi dengan peraturan yang lebih rinci, yaitu Hospital Bylaw. Sebagaimana
diketahui, hampir tidak ada kasus kedokteran yang persis sama, karena sangat
tergantung kepada situasi dan kondisi pasien, seperti kegawatannya, tingkat
penyakitnya, umur, daya tahan tubuh, komplikasi penyakitnya, lama pengobatan yang
sudah dilakukan, dan sebagainya. Ketiga, Hospital Bylaw mengatur bidang yang
berkaitan dengan seluruh manajemen rumah sakit meliputi administrasi, medik,
perawatan, pasien, dokter, karyawan, dan lain-lain. Keempat, rumusan Hospital Bylaw
harus tegas, jelas, dan terperinci. Hospital Bylaw tidak membuka peluang untuk
ditafsirkan lagi secara individual. Kelima, Hospital Bylaw harus bersifat sistematis dan
berjenjang.

Hospital Bylaw merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain: tata
tertib rawat inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah
sakit, informed consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia
kedokteran, komite medik, panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses
dokter terhadap fasilitas rumah sakit, persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan
kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga kesehatan dan rekanan. Adapun bentuk HBL
dapat merupakan kumpulan dari Peraturan Rumah Sakit, Standar Operating
Procedure(SOP), Surat Keputusan, Surat Penugasan, Pengumuman, Pemberitahuan
dan Perjanjian (MOU). Namun demikian, peraturan internal rumah sakit tidak boleh
bertentangan dengan peraturan diatasnya seperti Keputusan Menteri, Keputusan
Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-undang. Dalam bidang kesehatan
pengaturan tersebut harus selaras dengan Undang-undang nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya.

Belakangan ini tidak jarang keluhan masyarakat bahwa rumah sakit tidak melayani
masyarakat dengan baik. Bahkan beberapa rumah sakit saat ini telah dituntut karena
pelayanan yang tidak sesuai harapan. Ini bisa menjadi salah satu indikasi bahwa masih
ada rumah sakit yang belum mempunyai aturan rumah sakit yang jelas, sistematis, dan
rinci. Karena itu, sesuai prinsip tailor made rumah sakit seharusnya mempunyai
Hospital Bylaw yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Banyaknya kasus malapraktik di negara ini merupakan salah satu bentuk dari kurang
demokratisnya dokter dalam melayani pasien. Tidak dapat disangkal bahwa di negara
ini masih banyak rumah sakit yang menerapkan doctor-oriented. Padahal, seharusnya
manajemen rumah sakit menetapkan patient-oriented.

Akibat manajemen rumah sakit yang kerap kali ”menganakemaskan” para dokternya,
dalam artian mengelola rumah sakit berdasarkan keinginan para dokter, telah menjadi
bumerang bagi perkembangan rumah sakit di negara ini. Contoh kecil berkembangnya
sikap doctor-oriented dapat dilihat dari perekrutan dokter oleh pihak pengelola rumah
sakit. Dalam hal ini, pihak manajemen akan mempekerjakan dokter-dokter yang sudah
terkenal dan mempunyai pasien tetap.
Secara ekonomis, praktik seperti ini memang menguntungan. Pasien-pasien dokter
yang direkrut tersebut akan berpindah ke rumah sakit di mana si dokter berpraktik,
selain berpraktik secara pribadi. Padahal, hal seperti ini tidak boleh dilakukan karena
dokter dengan kemampuannya yang terbatas, tidak mungkin bisa menangani begitu
banyak pasien. Otak dan tubuh kita perlu istirahat setelah digunakan dalam jangka
waktu tertentu. Tapi, hal ini sering diabaikan karena sejumlah dokter lebih
mementingkan nilai material yang dapat diraihnya.

Dengan demikian, kepentingan Hospital Bylaw dapat dilihat dari tiga sudut yaitu
pertama, untuk kepentingan peningkatan mutu pelayanan. Dalam hal ini Hospital Bylaw
dapat menjadi instrumen akreditasi rumah sakit. Rumah sakit perlu membuat standar-
standar yang berlaku baik untuk tingkat rumah sakit maupun untuk masing-masing
pelayanan misalnya pelayanan medis, pelayananan keperawatan, administrasi dan
manajemen, rekam medis, pelayanan gawat darurat, dan sebagainya. Standar-standar
ini terdiri dari elemen struktur, proses, dan hasil. Adapun elemen struktur meliputi
fasilitas fisik, organisasi, sumber daya manusianya, sistem keuangan, peralatan medis
dan non-medis, AD/ART, kebijakan, SOP/Protap, dan program. Proses adalah semua
pelaksanaan operasional dari staf/unit/bagian rumah sakit kepada
pasien/keluarga/masyarakat pengguna jasa rumah sakit tersebut. Hasil (outcome)
adalah perubahan status kesehatan pasien, perubahan pengetahuan/pemahaman serta
perilaku yang mempengaruhi status kesehatannya di masa depan, dan kepuasan
pasien.

Kepentingan yang kedua, dilihat dari segi hukum Hospital Bylaw dapat menjadi tolak
ukur mengenai ada tidaknya suatu kelalaian atau kesalahan di dalam suatu kasus
hukum kedokteran. Di dalam Hukum Rumah Sakit pembuktian yang lebih rinci harus
terdapat dalam Hospital Bylaw. Ketiga, dilihat dari segi manajemen risiko, maka HBL
dapat menjadi alat (tool) untuk mencegah timbulnya atau mencegah terulangnya suatu
risiko yang merugikan. Dengan demikian, pasien akan semakin terlindungi sesuai
prinsip patient safety. Hospital Bylaw juga akan memperjelas fungsi dan kedudukan
dokter dalam sebuah rumah sakit . Sebagai tenaga medis, dokter dituntut melakukan
tindakan medis sesuai dengan standar profesi yang ditetapkan dalam upaya
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit, dan pemulihan kesehatan. Apalagi, berdasarkan strategi WTO pada tahun
2010 Indonesia akan membuka peluang dokter asing untuk berpraktik. Sementara itu,
ASEAN bersepakat dua tahu lebih cepat yaitu pada tahun 2008 membuka peluang
yang sama untuk tenaga kesehatan.

Masalah Etika dan Hukum di Rumah Sakit

Masalah etika dan hukum di rumah sakit yang paling marak saat ini adalah
malpraktek. Malpraktek (medis) sebenarnya adalah istilah hukum yang berarti
kesalahan dalam menjalankan profesi. Berkhouwer dan Borstman (dikutip oleh
Veronica Komalawati) mengatakan, seorang dokter melakukan kesalahan profesi,
apabila ia tidak memeriksa, tidak membuat penilaian, tidak melakukan tindakan atau
tidak menghindari tindakan (tertentu), sedangkan dokter-dokter yang baik pada
umumnya pada situasi yang sama akan melakukan pemeriksaan, membuat penilaian,
melakukan tindakan atau menghindari tindakan (tertentu).

Kita dapat melihat bahwa: Pertama, definisi ini bersifat relatif. Baik buruknya seorang
dokter menjalankan profesinya dibandingkan dengan rata-rata dokter lain. Tentu ini ada
kelemahan-kelemahannya, dapat saja seorang dokter yang inovatif di tuduh melakukan
malpraktek karena ia melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan kebanyakan dokter
lain, padahal yang ia lakukan adalah baik dan bermanfaat bagi pasien. Soal standar
profesi tidak disinggung dalam devinisi itu,mungkin karena belum ada, karena buku dua
ahli hukum Belanda itu diterbitkan lebih daripada setengah abad yang lalu dalam tahun
1950.

Kedua, walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan, dalam definisi ini dengan kesalahan
profesional ditonjolkan tentang kelainan; dokter tentu tidak melakukan pemeriksaan.
tidak membuat penilaian, tidak melakukan tindakan, dan tidak menghindari tindakan
tertentu. Ini sesuai dengan pemahaman, bahwa malpraktek adalah sama dengan
negligence.

Sesuai dengan konteks makalah ini, tentang malpraktek dengan latar belakang
pelanggaran hukum tidak dibicarakan lebih jauh. Fokus utama adalah pada masalah
etika medis di rumah sakit.

1. Etika dalam hal ini diartikan sebagai kewajiban dan tanggung jawab.

2. Etika rumah sakit adalah etika institusi, jadi kewajiban dan tanggng jawab itu adalah
institusional, bukan individual.

3. Namun, eksekutif puncak rumah sakit- sebagai yang oleh pemilik melalui Governing
Body (Badan Pengampu, Majelis Wali Amanah, Dewan Pembina, atau nama jenis yang
lain) diberi kekuasaan mengelola dan tanggung jawab rumah sakit, dengan sendirinya
juga adalah penanggung jawab moral dan etika institusional.

4. Etika medis berhubungan dengan hidup dan kesehatan. Objek kewajiban dan
tanggung jawab pada etika medis adalah hidup dan kesehatan manusia dan kelompok
manusia dilingkungan luar rumah sakit. itu berarti pasien staf serta karyawan rumah
sakit,dan masyarakat.
5. Masalah etika rumah sakit timbul apabila terjadi pelanggaran terhadap asas-asas
etika (umum)dan Kode Etik Rumah Sakit, yang adalah uraian lebih operasional dari
asas-asas etika.

6. Asas-asas etika yang diterapkan pada etika rumah sakit sebagai etika praktis adalah:

o Rumah sakit berbuat kebaikan (benifecence) dan tidak menimbulkan mudharat atau
cidera (nonmalifecence) pada pasien, staf dan karyawan,masyarakat umum,serta
lingkungan hidup. Dua asas etika klasik ini sudah ada dalam lafal Sumpah Hipprokrates
sejak lebih 23 abad yang lalu. Dua asas ini adalah juga ajaran semua agama. Ajaran
islam hampir selalu menyebut dua asas itu dalam satu kalimat (Amar ma ‘arupnahi
mungkar).dalam ajaran agama hindu, nonmaleficence adalah Ahimsa.

o Asas menghormati manusia (respect for persons) berarti menghormati pasien,staf


dan karyawan,serta masyarakat dalam hal hidup dan kesehatan mereka. itu berarti
menghormati otonomi (hak untuk mengambil keputusan tentang diri sendiri),hak-hak
asasi sebagai warga negara, hak atas informasi,hak atas privasi,hak atas
kerahasiaan,seta harkat dan mertabat mereka sebagai manusia dan lain-lain.

o Asas keadilan (justice): keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan perlakuan yang
‘fair’terhadap pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum.

Identifikasi Masalah Etika Di Rumah Sakit

Kurt Darr mengatakan, bahwa seorang eksekutuf rumah sakit tidak perlu sampai
mengikuti kursus tentang pilosofi atau etika untuk dapat mengidentifikasikan masalah
etika, walaupun kursus-kursus demikian akan banyak menolong. yang penting,harus
ada kepekaan, kebiasaan melakukan refleksi (an inquiring mind), dan etika pribadi
(personal etics)yang cukup baik. tiga pertanyaan berikut ini dianjurkan diajukan pada
diri sendiri untuk mengidentifikasikan kemungkinan adanya etika pada kasus tertentu.

Apakah pasien, staf dan karyawan, atau masyarakat umum dalam kasus tertentu itu
diperlakukan seperti saya ingin diperlakukan dalam kasus seperti itu? ini dinamakan
The Golden Rule.

Apakah pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum cukup dilindungi terhadap
kemungkinan cidera dalam keberadaan dan pelayanan di rumah sakit?

Apakah penjelasan tentang informed conset kepada pasien cukup memberi informasi
baginya tentang apa yang akan dilakukan pada dirinya?

Jika salah satu atau lebih dari tiga pertanyaan itu terjawab dengan “tidak”,ada indikasi
masalah etika pada kasus yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah:

Adakah pasal-pasal dalam Kode Etik Rumah Sakit yang dilanggar?


Adakah asas-asas etika umum yang dilanggar?

Jika masih perlu untuk lebih memastikan: Teori etika mana yang dapat dipakai untuk
pembenaran keputusan atau tindakan rumah sakit yang menimbulkan masalah etika
administratif atau etika biomedis.

Sama halnya dengan proses pemecahan masalah secara umum, mengajukan


pertanyaan-pertanyaan yang tepat adalah bagian penting proses itu.

Pemecahan Masalah Etika Di Rumah Sakit

Setelah berhasil mengidentifikasikan adanya masalah etika administratif, masalah


bioetika, masalah medis tradisional, atau gabungan berbagai masalah etika itu dirumah
sakit, langkah berikutnya adalah mencari solusi untuk masalah-masalah itu. Perlu
segera ditambahkan, bahwa pemecahan masalah etika secara umum tidak mudah.
Pada dasarnya ada dua model untuk pemecahan masalah secara umum; model
terprogram (rasional) dan model tak terprogram.

Model rasional terprogram mungkin dapat diterapkan pada pemecahan banyak


masalah manajemen umum, tetapi rasio saja tidak selalu berhasil diterapkan pada
pemecahan masalah etika. Masalah etika administratif tertentu di rumah sakit yang
menyangkut proses atau prosedur mungkin dapat lebih mudah dipecahkan secara
rasional. Tetapi, masalah etika biomedis yang menyangkut substansi atau prinsif sering
kali sangat sensitif, karena itu rasio saja tidak selalu efektif. Diperlukan kebijaksanaan
yang umumnya tidak dapt diprogramkan.

Dianjurkan langkah langkah umum sebagai berikut untuk pemecahan masalah etika
rumah sakit:

1. Memecahkan struktur masalah yang sudah teridentifikasi kedalam komponen-


komponennya, menganalisis komponen-komponen itu sehingga ditemukan
akar masalah.Akar masalah adalah penyebab paling dasar dari masalah etika yang
terjadi. Ia dapat berupa kelemahan pada manusia, kepemimpinan, manajemen, budaya
organisasi, sarana, alat, sistem, prosedur, atau faktor-faktor lain.

2. Melakukan analisis lebih dalam tentang akar masalah yang sudah ditemukan (root
cause analysis),untuk menetapkan arah pemecahannya.

3. Menetapkan beberapa alternatif untuk pemecahan akar masalah.

4. Memilih alternatif yang situasional terbaik untuk pemecahan masalah itu.

5. Memantau dan mengevaluasi penerapan upaya pemecahan yang sudah


dilaksanakan.
6. Melakukan tindakan koreksi jika masalah etika belum terpecahkan atau terulang lagi
terjadi. Tindakan koreksi yang dapat menimbulkan masalah etika baru adalah jika
manusia sebagai penyebab akar masalah yang berulang-ulang dikeluarkan dari rumah
sakit.

Kesimpulan

1. Hukum rumah sakit adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan
kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam
segala aspek organisasi, sarana, pedoman medik serta sumber-sumber hukum lainnya.

2. Rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan kesehatan telah mempunyai
etika yang di Indonesia terhimpun dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI).

Saran

Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, masing-masing profesi harus berpedoman


pada etika profesinya dan harus pula memahami etika profesi disiplin lainnya apalagi
dalam wadah dimana mereka berkumpul (rumah sakit) agar tidak saling berbenturan.

Referensi

Guwandi, J. 2005. Rahasia Medis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Hanafiah, M.Jusuf dan Amri Amir. 1998. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.
Medan: EGC

http://www.pdpersi.co.id

http://www.rspondokindah.co.id

http://www.tantos.web.id

http://www.mail-archive.com/dokter@yahoogroups.com/maillist.html

http://mashuri.blogspot.com/2007/01/hospital-bylaw.html

Hukum kesehatan adalah hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan


kesehatan yang meliputi penerapan perangkat hukum perdata, pidana, dan tata usaha
Negara. Di Indonesia, hukum kesehatan tersebut sudah diatur dalam UU Kesehatan,
yaitu bersumber pada peraturan hukum tertulis yang dibuat oleh lembaga yang
berwenang. Selain hukum kesehatan, hukum yang terkait dalam bidang kesehatan
adalah hukum kedokteran atau hukum medis yang merupakan terjemahan dari medical
law. Hukum ini merupakan bagian dari hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan
medis atau praktik yang dilakukan oleh dokter termasuk dalam tindakan medik.5 Setiap
tindakan medik yang dilakukan merupakan suatu keputusan etik karena tindakan
tersebut akan diberikan kepada manusia lain, yang umumnya memerlukan pertolongan.
Keputusan etik harus memenuhi tiga syarat yaitu bahwa keputusan tersebut harus
benar sesuai ketentuan yang berlaku, juga harus baik tujuan dan akibatnya, dan
keputusan tersebut harus tepat sesuai dengan konteks serta situasi dan kondisi saat
itu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Dalam konteks hukum, hal ini diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. Nomor 1419/MENKES/PER/X/2005 tentang
penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan
bahwa praktik kedokteran adalah rangkaian tindakan yang dilakukan oleh dokter dan
dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.6

TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM DUNIA KESEHATAN Pertanggungjawaban


terhadap hukum dalam dunia kesehatan terutama dalam pelaksanaan suatu pelayanan
medis, dapat dibagi menjadi 3 yaitu : 1. Pertanggungjawaban secara Hukum Perdata
Hukum perdata yang dimaksud dalam suatu pertanggungjawaban tindakan medis
adalah adanya unsur ganti-rugi jika dalam suatu tindakan medis terdapat suatu
kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tenaga medis. Hukum perdata ini, juga
dikaitkan dengan isi Undang-undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 pasal 29
yang menyebutkan bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui mediasi.” Dimana yang dimaksud dalam mediasi ini adalah suatu rangkaian
proses yang harus dilewati oleh setiap perkara sebelum masuk ke pengadilan. Mediasi
ini merupakan upaya dari pihak-pihak yang berpekara untuk berdamai demi
kepentingan pihak-pihak itu sendiri. Mengenai seberapa besar biaya yang dikeluarkan
akibat suatu proses mediasi merupakan tanggung jawab dari pihak yang memiliki
perkara. Dalam hukum perdata terdapat beberapa jenis tindakan yang dianggap
melanggar hukum tersebut, yaitu Wanprestasi, dimana terjadi kegagalan dalam suatu
tindakan medis yang memang telah dilakukan informed concent kepada pasien atau
keluarga pasien, dimana diatur dalam pasal 1243-1289 Kitab Undang- undang Hukum
Perdata. Kemudian kelalaian dalam tindakan medis, diatur dalam pasal 1365-1366
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jika tindakan medis tersebut hingga
menimbulkan suatu kematian, maka diatur dalam pasal 1370 Kitab 5 Undang-undang
Hukum Perdata dan jika terjadi kecacatan diatur dalam pasal 1371 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata.7,8,9,10 2. Pertanggungjawaban secara Hukum Pidana Dalam
suatu praktek tenaga kesehatan, tanggung jawab secara pidana timbul jika terbukti
adanya suatu tindakan dalam pelayanan kesehatan yang memiliki unsur tindak pidana
sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang- undang lainnya.
Contoh dalam tindakan pidana dalam praktek kesehatan seperti melakukan aborsi
tanpa adanya indikasi medis, yang diatur dalam Pasal 194 Undang-undang RI No. 36
tahun 2009 tentang keshatan, dimana disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).7,8,9 3.
Pertanggungjawaban secara Hukum Administrasi Yang dimaksud dalam pelanggaran
hukum administrasi adalah pelanggaran terhadap hukum yang mengatur hubungan
hukum antara jabatan-jabatan dalam negara. Dalam lingkungan kesehatan, hukum
administrasi terkait erat dengan adanya Surat Izin Praktek yang dimiliki oleh tenaga
kesehatan baik dokter dan perawat. Dasar dari adanya hukum administrasi ini, yaitu
Undang-undang RI No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu pasal 23 ayat (3) dan
pasal 24 ayat (1).2 Bagi tenaga dokter hal tersebut diatur dalam Permenkes RI
512/2007 pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “setiap dokter dan dokter gigi yang
akan melakukan praktik kedokteran wajib memiliki SIP”, sedangkan bagi tenaga
keperawatan diatur 6 dalam Permenkes No. HK.02.02/MENKES/148/I/2010 pasal 3
ayat (1) yang menyebutkan bahwa “setiap perawat yang menjalankan praktik wajib
memiliki SIPP”. Contohnya yaitu melakukan praktek kesehatan tanpa memiliki surat izin
praktek, dimana diatur dalam Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran pasal 76 menyebutkan bahwa “setiap dokter atau dokter gigi yang dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Selain itu, sanksi
dalam pelanggaran hukum administrasi dapat berupa teguran (lisan atau tertulis),
mutasi, penundaan kenaikan pangkat, penurunan jabatan, skorsing bahkan pemecatan

Anda mungkin juga menyukai