Anda di halaman 1dari 16

I.

PENDAHULUAN
Pentingnya etika dalam praktik kedokteran telah dibuktikan disepanjang
sejarah. Paling tidak 2500 tahun lalu Hipocrates telah menekankan kebajikan yang
diharapkan menjadi ciri dan petunjuk perilaku dokter. Sumbangan yang paling
menonjol pada sejarah etika kedokteran setelah Hipocrates diberikan oleh Thomas
Pervical, 1803 dengan menerbitkan buku Code of medical Ethics yang kemudian
dijaadikan kode etik kedokteran internasional. Kode etik kedokteran ini sangat
penting sehingga dijadikan bahan rujukan utama untuk kode etik kedokteran
diseluruh dunia termasuk Indonesia.1
Hipokrates (469 377 SM) merupakan tokoh kedokteran dan filsafat Yunani,
yang dianggap Bapak Ilmu Kedokteran Modern, dengan menegakkan diagnosis
secara sistematis, mempelajari gejala penyakit, dan berusaha mencari jalan
pengobatan dengan metode empirik dan rasional. Dengan demikian, Hipokrates yang
telah berusaha untuk memisahkan bahwa penyakit bukan disebabkan oleh kutukan /
hukuman dewa atau kekuatan lainnya. Akan tetapi, dalam pengobatan tetap
memperhatikan aspek agama yang dapat mempengaruhinya. 1
Dalam pelayanan kesehatan saat ini kembali memandang manusia seutuhnya
sehingga pengobatan secara holistik makin mendapat perhatian. Pengertian aspek
agama dalam pengobatan, terutama dalam etika dan estetika sehingga Hipokrates
mengemukakan, ilmu kedokteran adalah ilmu yang mulia sehingga hanya orang
orang yang sanggup menjunjung tinggi kehormatan diri dan kemampuan profesinya
layak menjadi dokter.1
Saat ini seorang dokter dipandang sebagai ilmuwan. Pengetahuannya sangat
diperlukan guna meningkatkan kesehatan dan untuk tujuan kesembuhan atau
meringankan penderitaan pasien. Kedudukan dan peranan dokter di tengah
masyarakat tetap mendapatkan kehormatan. Kepada seorang dokter, dituntut untuk
tetap memelihara dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran telah
1

sedemikian majunya, sehingga menambah kemampuan dokter untuk memberikan


pelayanan dalam arti luas, tetapi diikuti permintaan etik yang makin tinggi sehingga
tidak terjadi penyimpangan dari keluhuran tujuan profesi atau erosi etik profesi.2
Standar penilaian dari keluhuran tujuan profesi dijabarkan dalam Lafal
Sumpah Dokter (PP 26/1960). Kode Etik Kedokteran Indonesia (SK Men.Kes RI
434/Men.Kes/ SK/X/1993) dan Standar Profesi Medis (SPM) dengan tekanan
memberikan tingkat pelayanan tertinggi. Dalam Lafal Sumpah Dokter Indonesia
(LSDI) dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) telah tercantum secara garis
besar perilaku dan tindakan-tindakan yang layak atau tidak layak dilakukan seorang
dokter dalam menjalankan profesinya. Namun ada saja dokter yang tega melakukan
pelanggaran etik bahkan pelanggaran etik sekaligus hukum (etikolegal), terlebih
dalam lingkungan masyarakat yang sedang mengalami krisis akhir-akhir ini.
Kenyataan menunjukkan pula bahwa sanksi yang diberikan oleh atasan atau oleh
organisasi profesi kedokteran selama ini terhadap pelanggaran etik itu tidak tegas dan
konsisten. Hal ini disebabkan antara lain belum dimanfaatkannya organisasi profesi
kedokteran oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan-keluhannya. Inilah
bedanya etik dengan hukum. Hukum lebih tegas dan lebih objektif menunjukkan halhal yang merupakan pelanggaran hukum, sehingga jika terjadi pelanggaran dapat
diproses sesuai dengan hukum yang berlaku1,2
Pada paruh terakhir abad ke-20, teknologi kedokteran berkembang demikian
cepat, sehingga dokter obstetrik dan ginekologi menghadapi pertanyaan-pertanyaan
etik yang kompleks, seperti teknologi reproduksi buatan, diagnosis prenatal, aborsi
selektif, masalah awal dan akhir kehidupan, dan penggunaan informasi genetik.
Masalah-masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan pengetahuan kedokteran
semata. Keputusan-keputusan dibidang ini bergantung pada pertimbangan yang
dalam dari unsur-unsur nilai, kepentingan, tujuan, serta hak dan kewajiban orangorang yang terlibat yang peduli dengan etika kedokteran1,2
Etika merupakan dimensi penting dari praktik obstetri dan ginekologi. Dalam
bab ini kami menyajikan kerangka etis untuk penilaian klinis dan pengambilan
2

keputusan dalam hubungan dokter kandungan-pasien. Juga menekankan pendekatan


etika preventif, yang menghargai potensi konflik etis dan mengadopsi strategi etis
untuk mencegah terjadi konflik. Etika pencegahan membantu untuk membangun dan
mempertahankan hubungan dokter-pasien yang kuat dalam praktek kebidanan dan
ginekologi. Komponen kunci dari kerangka etika adalah definisi etika dan etika medis
dan penjelasan dari prinsip-prinsip etis dasar etika kedokteran, kebaikan dan
menghormati otonomi. Kami kemudian menunjukkan bagaimana kedua prinsip etika
harus berinteraksi dalam penilaian klinis dan ginekologi praktek. Kami selanjutnya
menunjukkan bagaimana kedua prinsip etika harus berinteraksi dalam penilaian
obstetri dan praktek, dengan penekanan pada konsep janin sebagai pasien. Kami
menjelaskan konsep yang berbeda dari prinsip-prinsip etika keadilan serta sumber
daya yang bertanggung jawab dan

menekankan kebajikan dokter sebagai seorang

profesional. Isu etika yang muncul dalam perawatan wanita hamil menantang untuk
dokter, politisi, pengacara, dan ahli etika. Salah satu yang mendasar dari tujuan
kedokteran untuk masyarakat yakni mengoptimalkan hasil dari kehamilan. Baru-baru
ini, beberapa upaya nyata untuk mendorong tujuan ini telah ditandai oleh tindakan
hukum dan kebijakan yang bertujuan melindungi janin khusus sebagai

bagian

terpisah dari wanita. 3


I.

PENGERTIAN ETIKA
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata etika yaitu

ethos. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama, etika mempunyai arti sebagai :
ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sedangkan kata etika dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru, mempunyai arti :
1.

Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak).

2.

Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.

3.

Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
3

Etika diartikan sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam
hidup manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehendak dengan
didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan. Etik ialah suatu cabang
ilmu filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik adalah disiplin yang
mempelajari tentang baik atau buruk sikap tindakan manusia. Etika merupakan
bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu
tindakan, apakah benar atau salah, dan penyelesaiannya baik atau tidak 4
Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi kedokteran
dalam hubungannya dengan klien / pasien, teman sejawat dan masyarakat umumnya
serta merupakan bagian dari keseluruhan proses pengambilan keputusan dan tindakan
medik ditinjau dari segi norma-norma / nilai-nilai moral. Etika medis adalah studi
disiplin moralitas dalam kedokteran dan kewajiban dokter dan organisasi perawatan
kesehatan untuk pasien serta kewajiban pasien.3,4
Sedangkan dalam konteks lain secara luas dinyatakan bahwa etik adalah
aplikasi dari proses dan teori filsafat moral terhadap kenyataan yang sebenarnya. Hal
ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar

dan konsep yang membimbing

makhluk hidup dalam berpikir dan bertindak serta menekankan nilai-nilai mereka. 4
Pengertian Hukum
Pada umumnya yang dimaksud hukum adalah segala peraturan-peraturan atau
kaedah-kaedah dalam kehidupan bersama yang dapat dikenakan dengan suatu sanksi
dalam pelaksanaannya. Pandangan tiap-tiap orang ataupun tiap ahli hukum tentang
pengertian hukum itu berbeda-beda. Berikut pendapat para tokoh mengenai definisi

hukum.4
1.

Aristoteles:
Particular law is that which each community lays down and applies to its own
member. Universal law is the law of nature.

2. Grotius:
Law is a rule of moral action obliging to that which is right.
4

3.

Hobbes:
Where as law, properly is the word of him, that by right had command over
others.

4.

Prof. Mr Dr C. van Vollenhoven : Recht is een verschijnsel in rusteloze


wisselwerking van stuw en tegenstuw.

Definisi Hukum :
1. Immanuel Kant : keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas
dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari
orang lain, menuruti hukum tentang kebebasan.4
2. Leon Duguit : adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat , aturan
yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar
menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran.4
Kesimpulan

Merupakan aturan (perintah atau larangan).

Mengikat/memaksa (harus dipatuhi).

Memiliki sanksi atau akibat.

Ada peran kekuasaan negara/penguasa.

Melindungi kepentingan-kebebasan anggota masyarakat.


Pada dasarnya hukum merupakan cerminan nilai-nilai yang berlaku di

masyarakat dan memegang nilai-nilai secara konsisten merupakan tindakan yang etis,
sehingga antara hukum dan etika juga memiliki keterkaitan.4
II.

SISTEMATIKA ETIKA
Sebagai suatu ilmu maka Etika terdiri atas berbagai macam jenis dan ragamnya

antara lain:

a) Etika deskriptif,

memberikan gambaran dan ilustrasi tentang tingakah laku

manusia ditinjau dari nilai baik dan buruk serta hal-hal mana yang boleh
dilakukan sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat 5
b) Etika Normatif,membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan manusia,
yang biasanya dikelompokkan menjadi :
1.

Etika umum; yang membahas berbagai hal yang berhubungan dengan


kondisi manusia untuk bertindak etis dalam mengambil kebijakan berdasarkan
teori-teori dan prinsip-prinsip moral.

2.

Etika khusus ; terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika Terapan.

Etika sosial menekankan tanggungjawab sosial dan hubungan


antarsesama manusia dalam aktivitasnya,

Etika individu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban manusia


sebagai pribadi,

Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi

Pada tahun 2001 ditetapkan oleh MPR-RI dengan ketetapan MPR-RI


No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa. Etika kehidupan bangsa
bersumber pada agama yang universal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yaitu
Pancasila. Etika kehidupan berbangsa antara lain meliputi: Etika Sosial Budaya, Etika
Politik dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakkan Hukum yang
Berkeadilan, Etika Keilmuan, Etika Lingkungan, Etika Kedokteran dan Etika
Kebidanan.5
III. SUMBER ETIKA
Pancasila adalah sumber sumber nilai, maka nilai dasar Pancasila dapat
dijadikan sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai pancasila adalah nilai moral.
Oleh karena itu, nilai pancasila juga dapat diwujudkan kedalam norma-norma moral
(etik). Norma-norma etik tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau
6

acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.6
Pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik
di negara ini. Disetiap saat dan dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika
disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum di sila ke dua kemanusian yang adil
dan beadab tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun
etika bangsa ini sangat berandil besar.7
IV. DASAR

ETIKA

KEDOKTERAN

DALAM

OBSTETRI

DAN

GINEKOLOGI
Demikianlah dalam menjalankan profesi kedokteran yang didasari oleh
kepercayaan dan penuh kerahasiaan aspek etika profesi sangat penting. Untuk
dapat menjunjung tinggi martabat profesi, diperlukan kemampuan kontrol profesi
yang berlandaskan norma masyarakat, norma hukum, dan norma profesi dokter.7
Sumpah dokter yang bersumber dari Sumpah Hipokrates merupakan dasar
motivasi dan sumber etika profesi dokter, sehingga pemahaman terhadap hakekat dan
makna sumpah dokter merupakan modal utama dalam menjalankan profesi dokter.
Dalam sumpah dokter terdapat tiga hal pokok yang menjadi dasar transaksi medis
dalam obstetri, yaitu :7
Saya akan membuktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan.
Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran telah meningkatkan
peranan profesi, dalam upaya meningkatkan kemampuan profesi mulai diagnosis dini
sampai terapi yang canggih. Dampak dari perkembangan tersebut telah menyebabkan
ketergantungan kemampuan intelektual terhadap teknologi kedokteran yang dapat
disebut sebagai erosi intelektual.7

Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan telah


mendorong masyarakat ikut serta mempersoalkan kesehatannya dan merasa
mendapatkan hak dan perlindungan hukum. Masyarakat merasa berhak untuk
mendapatkan penjelasan medis sebelum transaksi terapeutik dilaksanakan, terutama
dalam tindakan operasi dan mengikatkan diri mempergunakan informed consent.7
V.

MASALAH ETIKA KEDOKTERAN DALAM OBSTETRI DAN


GINEKOLOGI
Dalam menjalankan etika kedokteran dalam obstetrik dan ginekologi kita
sering menghadapi berbagai masalah etik seperti :

Ruang gerak pekerjaan dokter sangat dibatasi oleh kaidah kaidah yang
berlaku dalam masyarakat dan kaidah profesi, yaitu :
o Kaidah etika masyarakat yang menilai apakah seorang dokter telah
menjalankan profesinya sesuai dengan tatasusila yang berlaku dalam
masyarakat.
o

Kaidah hukum menunjukkan bahwa dokter tidak kebal hukum, tetapi


dapat dituntut hukum, bila melakukan pelanggaran.

Kaidah profesi yang dilandasi oleh Sumpah Dokter dan Kode Etik
Kedokteran Indonesia.

Dengan demikian seorang dokter diperlukan kemampuan adaptasi dalam ruang


gerak yang sempit, tetapi dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang bernilai tinggi.
VII.

PRINSIP-PRINSIP ETIKA KEDOKTERAN DALAM OBSTETRI DAN

GINEKOLOGI
a. Otonomi
Otonomi berasal dari bahasa Yunani autos (self atau diri sendiri) dan nomos
(rule/ governance atau aturan) yang berarti self rule. Dalam praktik kedokteran
8

otonomi mengandung arti mengatur diri sendiri yaitu bebas dari kontrol oleh pihak
lain dan dari perbatasan pribadi. Menghormati otonomi pasien berarti mengakui hak
individu. Otonomi memberikan dasar moral yang kuat bagi informed consent.
Menghormati otonomi setiap pasien, seperti semua prinsip etika, tak dapat dianggap
absolute dan pada suatu saat mungkin

terjadi konflik dengan prinsip lain atau

pertimbangan moral lain. Sebagai contoh prinsip ini adalah seorang ibu yang
meminta seksio sesarea. Permintaan seksio sesarea adalah hak pasien, tetapi dokter
harus mendiskusikannya mengenai alasan khusus, risiko, dan manfaatnya. Jika pasien
takut melahirkan dokter perlu melakukan konseling.1,2
b. Beneficence dan Nonmalefience
Beneficence adalah berarti berbuat baik. Ini prinsip yang mengharuskan dokter
bertindak dengan cara menguntunkan pasien. Nonmalefience berarti tidak merugikan
atau menyebabkan luka dan dikenal dengan maximum primum non nocere. Jika kita
tidak bisa berbuat baik kepada seorang atau menguntungkan bagi pasien, paling tidak
kita tidak merugikannya. Walaupun terdapat perbedaan halus antara keduanya,
beneficence ini ada bersama pada hampir setiap keputusan pengobatan pasien,
sebagai resiko dan manfaat.1,2
Beneficence, suatu keharusan untuk meningkatkan kesehatan pasien mungkin
terjadi konflik dengan otonomi. Sebagai contoh seorang pasien ingin melahirkan
janin dengan kelainan kongenital yang fatal dengan seksio sesarea karena dia yakin
bahwa prosedur ini akan meningkatkan kesempatan banyinya untuk survive.
Pertimbangan terbaik dokter adalah bahwa resiko seksio sesarea bagi ibu lebih besar
daripada kemungkinan bagi bayinya untuk survive. Pada situasi demikian kesulitan
dokter adalah mempertimbangkan keadaan spiritual, fisik, dan psikologis pasien.1,2,7
c. Justice
Justice (keadilan ) adalah prinsip yang paling belakangan diterima. Ini adalah
prinsip etik yang paling kompleks, karena tidak hanya kewajiban dokter untuk
memberikan yang terbaik, tetapi juga peran dokter dalam mengalokasikan sumber
daya medik yang terbatas. Prinsip ini memperlakukan orang-orang dalam situasi yang
9

sama dengan penekanan kebutuhan, bukannya kekayaan dan kedudukan sosial.


Penentuan kriteria dimana pertimbangan adalah berdasarkan suatu keputusan moral
dan sangat kompleks menyebabkan kontroversi etik.1,2,7
d. Pengambilan Keputusan Etik
Pengambilan keputusan etik dalam bidang klinik tidak dapat secara khusus
mengandalkan pendekatan tunggal etika biomedik. Masalah klinik yang sering terlalu
kompleks untuk diselesaikan dengan aturan sederhana atau aplikasi yang kaku dari
prinsip-prinsip etik. Kebajikan seperti

kehati-hatian, kejujuran dan kepercayaan,

yang memungkinkan prinsip-prinsip etik digunakan secara efektif pada situasi dimana
terdapat konflik

prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral. Kebajikan khusus yang

ditekankan mungkin bervariasi dari satu keadaan ke yang lainnya,tetapi pada


penanganan kesehatan perempuan,haruslah ada kepekaan khusus untuk kebutuhan
perempuan. Selanjutnya pada hampir setiap situasi sulit yang membutuhkan wawasan
etik, terdapat tekanan antara keadaan dan kepentingan pasien individual dan
kepentingan komunitas. Dokter harus mengambil keputusan untuk bertindak, yang
mungkin saja betul menurut analisis rasional tertentu.1,2
Seringkali lebih dari satu cara tindakan dapat dibenarkan secara moral. Namun,
pada suatu saat tidak ada yang dapat diterima, karena menghasilkan kerugian secara
bermakna. Meskipun demikian,salah satu dari pilihan yang tersedia harus ditentukan
dan pilihannya didukung oleh pertimbangan etik. Usaha untuk menyelesaikan
masalah harus dilakukan dengan analisis rasional dari bermacam-macam faktor yang
terlibat. Konsultasi dengan ahli yang berhubungan atau komite etik rumah sakit dapat
sangat membantu untuk pengambilan keputusan. Penting bagi dokter secara individu
untuk mengembangkan langkah-langkah pengambilan keputusan yang dapat
digunakan secara kosisten ketika masalah etik dihadapi.1,2
Berikut ini langkah-langkah yang merupakan pedoman dalam pengambillan
keputusan etik.
1) Identifikasi pembuat keputusan .

10

Umumnya pasien dianggap mempunyai

otoritas menerima atau menolak

pengobatan. Suatu saat kemampuan pasien mengambil

keputusan tidak jelas.

Kapasitas untuk membuat keputusan bergantung pada kemampuan pasien tersebut


untuk mengerti informasi dan implikasinya, penilaian harus dibuat. Jika pasien
diperkirakan tidak mampu membuat keputusan, wali atau anggota keluarga pasien
harus berperan. Dalam kasus obstetrik wanita hamil biasanya dianggap kompeten.1
2) Kumpulkan data,tetapkan fakta dan masalahnya.
3) Identifikasi semua pilihan tindakan.
4) Evaluasi pilihan-pilihan tindakan sesuai dengan nila-nilai dan prinsip-prinsip
yang terlibat.
5) Identifikasi konflik etika dan coba terapkan prioritas.
Coba terapkan masalah dalam kaitan prinsip etika yang terlihat (misalnya
beneficence-nonmalefience vs autonomy ). Pertimbangkan prinsip-prinsip yang
mendasari tiap-tiap alasan yang dibuat.
6) Seleksi tindakan yang paling baik. Coba dengan penyelesaian masalah secara
rasional.
7) Evaluasi ulang keputusan setelah diimplementasikan. Apakah keputusan terbaik
telah dibuat, pelajaran apa yang dapat diambil dari diskusi dan penyelesaian
masalah tersebut.
VIII. ASPEK ETIK PADA BEBERAPA MASALAH OBSTETRI
Pengendalian Kesuburan
Sejak program Keluarga Berencana (KB) menjadi program nasional pada tahun
1970, berbagai cara kontrasepsi telah ditawarkan dalam pelayanan KB di Indonesia,
mulai dari cara tradisional, barier, hormonal (pil, suntikan, susuk KB), IUD/AKDR,
dan kontrasepsi mantap (Kontap). Program-program dalam upaya pengendalian
fertilitas (program Keluarga Berencana) telah dikembangkan demi kepentingan umat
manusia. Seorang dokter harus memberikan konseling kepada pasangan suami istri
11

(pasutri) atau calon akseptor, dengan penjelasan lebih dahulu tentang kontraindikasi,
efektifitas dan efek samping atau keamanan setiap jenis kontrasepsi, dan akhirnya
pasutri yang menentukan pilihannya 8
Meskipun demikian, tidak ada satu pun metode KB yang hingga saat ini dapat
memenuhi keamanan yang ideal, efektif, reversibel, mudah, dan dapat diterima
agama. Upaya pengendalian fertilitas sejauh dilakukan dengan bertanggungjawab
memakai metode-metode yang teruji, termasuk kontrasepsi mantap secara etis dapat
diterima. Dari cara-cara kontrasepsi tersebut di atas, maka cara AKDR dan kontap
menjadi bahan diskusi yang hangat, terutama karena menyangkut aspek agama dan
hukum. Mekanisme kerja AKDR adalah sebagai kontrasepsi dan juga kontranidasi,
sehingga menimbulkan dilema bagi seorang dokter. 8
Pelaksanaan kontrasepsi mantap (kontap) pada perempuan harus melalui
konseling yang hati-hati, sehingga merupakan keputusan melalui pilihan yang matang
yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi kesehatan, etik, dan agama dari
pasangan yang bersangkutan. Kontap merupakan prosedur

bedah dengan tujuan

penghentian kesuburan (KB permanen walaupun masih ada teknik rekanalisasi ) dan
memiliki konsekuensi yang jauh. Kontap umumnya dilakukan bukan atas indikasi
medik. Oleh karena itu dampak kontap tidak hanya pada individu melainkan pada
pasangan suami istri dan mungkin juga keluarga besar kedua pihak, sehingga
diperlukan konseling yang hati-hati. Informed consent harus ditandatangani oleh
suami istri.8
Masalah Aborsi
Masalah aborsi telah dibahas di berbagai pertemuan ilmiah dalam lebih dari 3
dekade terakhir ini, baik di tingkat nasional maupun regional, namun hingga waktu
ini Rancangan Pengaturan Pengguguran berdasarkan Pertimbangan Kesehatan belum
terwujud. Secara umum hal ini telah dicantumkan dalam undang-undang kesehatan,
namun penjabarannya belum selesai juga. Kehampaan hukum itu menyangkut pula
tindakan abortus provokatus pada kasus-kasus kehamilan karena perkosaan,
12

kehamilan pada usia remaja putri (usia kurang dari 16 tahun, yang belum mempunyai
hak untuk menikah), kehamilan pada wanita dengan gangguan jiwa, kegagalan
kontrasepsi dan wanita dengan multipara.6,8
Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi
hidup insani (KODEKI pasal 10). Undang-undang no.23 tahun 1992 tentang
kesehatan menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, sebagai upaya menyelamatkan
jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medik tertentu dan ini
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian, dengan persetujuan ibu
hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya dan dilakukan pada sarana
kesehatan tertentu. Dokter hendaknya menyikapi dengan arif agar tidak terjebak
dalam pertentangan tajam antara aliran Pro-Life yang secara ekstrim menolak aborsi
dan aliran Pro-Choice yang menghormati hak perempuan untuk secara bebas
menentukan apakah harus melanjutkan atau menghentikan kehamilannya dengan cara
aborsi. Pandangan yang simplistis tentang aliran pro-Life dan pro-Choice melahirkan
dua pandangan ekstrim yang merugikan. Seharusnya lebih banyak nuansa yang harus
dipertimbangkan secara arif. Disamping kehidupan janin, disisi lain ada kesehatan ibu
dan keluarganya. Mengutamakan kehidupan janin dengan mengabaikan kondisi ibu
juga tidak manusiawi. Perlu dicari penyelesaian yang bijak apabila terjadi konflik
antara mempertahankan kehidupan janin dan kepentingan ibu agar diperoleh nuansa
yang etis.
Kewajiban dokter untuk menghormati kehidupan sesuai dengan lafal
sumpahnya seringkali menimbulkan dilema. Hadirnya janin dalam kandungan pada
kondisi tertentu dapat mengancam nyawa atau kesehatan ibu secara serius. Pada
tahun 1970 asosiasi kedokteran sedunia (WMA) mengeluarkan maklumat yang
dikenal dengan deklarasi Oslo Isinya membenarkan tindakan aborsi atas indikasi
medik,

dengan

syarat

diizinkan

oleh

undang-undang

negara

yang

bersangkutan,diputuskan oleh sedikitnya dua orang dokter yang kompeten dalam


bidangnya dan dilaksanakan oleh dokter yang berkompeten. Dalam konstitusi WHO
(1946) diberikan interpretasi yang luas tentang sehat yaitu keadaan sejahtera baik
13

fisik, psikis, maupun sosial yang menyeluruh, bukan hanya ketiadaan sakit atau cacat.
Bila seorang ibu hamil tapi tidak dikehendakinya, berarti ibu tersebut terganggu
secara psikis, dengan kata lain ibu tersebut terganggu kesehatannya dan dibenarkan
melakukan aborsi atas indikasi medik. Tetapi bila kehamilannya dilanjutkan akan
menimbulkan dampak psikososial yang berat, misalnya pada kasus incest, perkosaan,
retardasi mental, kehamilan remaja, kegagalan KB, janin cacat berat, dan kehamilan
usia lanjut. Keadaan yang dramatis seperti itu dapat dipertimbangkan kasus demi
kasus. Tidak semua keadaan tersebut akan menyebabkan seorang ibu meminta untuk
aborsi. Keputusan untuk melakukan aborsi pada keadaan-keadaan seperti tersebut
diatas harus dibuat melalui konseling yang aman dan dapat dipertanggungjawabakan.

Teknologi Reproduksi Buatan


Yang dimaksud Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) ialah penanganan
terhadap gamet (sel telur, spermatozoa)

atau embrio sebagai upaya untuk

memperoleh kehamilan dari pasangan suami istri, apabila cara-cara alami atau teknik
kedokteran konvensional tidak memperoleh hasil. Pada tahun 1978, Steptoe &
Edwards melahirkan bayi tabung pertama Louise Brown di Inggris, hasil Fertilisasi In
Vitro (IVF) dan Pemindahan Embrio (PE). Ini merupakan terobosan yang telah
mengubah dunia kedokteran terutama di bidang reproduksi manusia.
Di Indonesia, bayi tabung pertama lahir 10 tahun kemudian (1988) hasil upaya
Tim Melati RSAB Harapan Kita Jakarta. IVF dan PE merupakan upaya terakhir
untuk menolong pasangan suami istri memperoleh keturunannya, karena upaya ini
memerlukan biaya yang besar, keberhasilan take home baby yang rendah dan
menyebabkan stres pada pasangan suami istri yang bersangkutan. Selain cara IVF dan
PE telah dikembangkan pula teknologi reproduksi buatan lainnya seperti Tandur Alih
Gamet atau Embrio Intra Tuba dan Suntikan Sperma Intra Sitoplasmik. Yang
termasuk TRB yaitu inseminasi buatan, Fertilisasi in Vitro dan pemindahan embrio,
14

Gamete Intra Fallopian Transfer (GIFT), Zygote Intra Fallopian Transfer (ZIFT),
Cryopreservation dan Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI). Penyelenggaraan
TRB harus berpegang pada prinsip beneficence, nonmalefience, autonomy dan
justice. Sebelum menjalani TRB pasangan suami istri berhak mendapatkan informed
consent

yang

memadai tentang pilihan teknik, kemungkinan kegagalan,

kemungkinan terjadinya kehamilan ganda serta kondisi lingkungan, kultur sosial dan
moral/agama yang akan mempengaruhi teknik yang akan dijalankan. 6,8
Dari segi hukum, di Indonesia telah terdapat peraturan perundang-undangan
tentang kehamilan di luar cara alami itu, yaitu bahwa cara tersebut hanya dapat
dilakukan pada pasangan suami istri yang sah, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan pada sarana kesehatan yang
memenuhi syarat (UU Kesehatan, pasal 16). Dengan demikian, masalah donasi oosit,
sperma dan embrio, masalah ibu pengganti adalah bertentangan dengan hukum yang
berlaku dan juga etik kedokteran.6,8

DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo S.Etika Dalam Pelayanan Kebidanan, dalam ilmu Kebidanan edisi
keempat. Jakarta : PT BINA PUSTAKA SARWONO PRAWIROHARDJO. 2008.
Hal 81-7.
2.

Mina. Masalah Kesalahan Profesi Medis. [online]. 2011. [cited on 2016,


December 31]. Available from: http://obstetriginekologi.com/category/pelayanankesehatan-obtetri-ginekologi.

3. Chervenak F,McCullough L. Etika Dalam Obstetri dan Ginekologi. [online].


2008. [cited on 2016, December 31]. Alvailable from: Weill Medical College,
Cornell University, New York.

15

4. Hanafiah Jusuf M. Reproduksi Manusia dalam Etika Kedokteran dan Hukum


Kesehatan edisi 3. Jakarta: EGC. 2002. Hal : 1-101.
5. Vincler L. Hukum dan Etika Kedokteran.[online]. Department of Medical History
and Ethics Fakultas Associate. 2008. [cited on 2016,December 31]. Alvailable
from : University of Washington. All rights Reserved.
6. Muchtar Rustam. Abortus dan Kelainan Dalam Tua Kehamilan dalam Sinopsis
Obstetri edisi 2. Jakarta: EGC. . Hal : 209-23.
7. Hanafiah Jusuf M. Etik Kedokteran dan Hukum Kesehatan dalam Obstetri dan
Ginekologi. [internet]. 2008. Alvailable from : Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatra Utara. Medan.
8. Macer Darryl. Etika dan Reproduksi Manusia Dibantu. [internet] Neue
Technologien der Reproduktionsmedizin(Assisted reproduction). 1999. Alvailable
from : Evangelische Akademie Loccum.

16

Anda mungkin juga menyukai