PENDAHULUAN
Pentingnya etika dalam praktik kedokteran telah dibuktikan disepanjang
sejarah. Paling tidak 2500 tahun lalu Hipocrates telah menekankan kebajikan yang
diharapkan menjadi ciri dan petunjuk perilaku dokter. Sumbangan yang paling
menonjol pada sejarah etika kedokteran setelah Hipocrates diberikan oleh Thomas
Pervical, 1803 dengan menerbitkan buku Code of medical Ethics yang kemudian
dijaadikan kode etik kedokteran internasional. Kode etik kedokteran ini sangat
penting sehingga dijadikan bahan rujukan utama untuk kode etik kedokteran
diseluruh dunia termasuk Indonesia.1
Hipokrates (469 377 SM) merupakan tokoh kedokteran dan filsafat Yunani,
yang dianggap Bapak Ilmu Kedokteran Modern, dengan menegakkan diagnosis
secara sistematis, mempelajari gejala penyakit, dan berusaha mencari jalan
pengobatan dengan metode empirik dan rasional. Dengan demikian, Hipokrates yang
telah berusaha untuk memisahkan bahwa penyakit bukan disebabkan oleh kutukan /
hukuman dewa atau kekuatan lainnya. Akan tetapi, dalam pengobatan tetap
memperhatikan aspek agama yang dapat mempengaruhinya. 1
Dalam pelayanan kesehatan saat ini kembali memandang manusia seutuhnya
sehingga pengobatan secara holistik makin mendapat perhatian. Pengertian aspek
agama dalam pengobatan, terutama dalam etika dan estetika sehingga Hipokrates
mengemukakan, ilmu kedokteran adalah ilmu yang mulia sehingga hanya orang
orang yang sanggup menjunjung tinggi kehormatan diri dan kemampuan profesinya
layak menjadi dokter.1
Saat ini seorang dokter dipandang sebagai ilmuwan. Pengetahuannya sangat
diperlukan guna meningkatkan kesehatan dan untuk tujuan kesembuhan atau
meringankan penderitaan pasien. Kedudukan dan peranan dokter di tengah
masyarakat tetap mendapatkan kehormatan. Kepada seorang dokter, dituntut untuk
tetap memelihara dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran telah
1
profesional. Isu etika yang muncul dalam perawatan wanita hamil menantang untuk
dokter, politisi, pengacara, dan ahli etika. Salah satu yang mendasar dari tujuan
kedokteran untuk masyarakat yakni mengoptimalkan hasil dari kehamilan. Baru-baru
ini, beberapa upaya nyata untuk mendorong tujuan ini telah ditandai oleh tindakan
hukum dan kebijakan yang bertujuan melindungi janin khusus sebagai
bagian
PENGERTIAN ETIKA
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata etika yaitu
ethos. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama, etika mempunyai arti sebagai :
ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sedangkan kata etika dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru, mempunyai arti :
1.
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak).
2.
3.
Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
3
Etika diartikan sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam
hidup manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehendak dengan
didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan. Etik ialah suatu cabang
ilmu filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik adalah disiplin yang
mempelajari tentang baik atau buruk sikap tindakan manusia. Etika merupakan
bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu
tindakan, apakah benar atau salah, dan penyelesaiannya baik atau tidak 4
Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi kedokteran
dalam hubungannya dengan klien / pasien, teman sejawat dan masyarakat umumnya
serta merupakan bagian dari keseluruhan proses pengambilan keputusan dan tindakan
medik ditinjau dari segi norma-norma / nilai-nilai moral. Etika medis adalah studi
disiplin moralitas dalam kedokteran dan kewajiban dokter dan organisasi perawatan
kesehatan untuk pasien serta kewajiban pasien.3,4
Sedangkan dalam konteks lain secara luas dinyatakan bahwa etik adalah
aplikasi dari proses dan teori filsafat moral terhadap kenyataan yang sebenarnya. Hal
ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar
makhluk hidup dalam berpikir dan bertindak serta menekankan nilai-nilai mereka. 4
Pengertian Hukum
Pada umumnya yang dimaksud hukum adalah segala peraturan-peraturan atau
kaedah-kaedah dalam kehidupan bersama yang dapat dikenakan dengan suatu sanksi
dalam pelaksanaannya. Pandangan tiap-tiap orang ataupun tiap ahli hukum tentang
pengertian hukum itu berbeda-beda. Berikut pendapat para tokoh mengenai definisi
hukum.4
1.
Aristoteles:
Particular law is that which each community lays down and applies to its own
member. Universal law is the law of nature.
2. Grotius:
Law is a rule of moral action obliging to that which is right.
4
3.
Hobbes:
Where as law, properly is the word of him, that by right had command over
others.
4.
Definisi Hukum :
1. Immanuel Kant : keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas
dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari
orang lain, menuruti hukum tentang kebebasan.4
2. Leon Duguit : adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat , aturan
yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar
menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran.4
Kesimpulan
masyarakat dan memegang nilai-nilai secara konsisten merupakan tindakan yang etis,
sehingga antara hukum dan etika juga memiliki keterkaitan.4
II.
SISTEMATIKA ETIKA
Sebagai suatu ilmu maka Etika terdiri atas berbagai macam jenis dan ragamnya
antara lain:
a) Etika deskriptif,
manusia ditinjau dari nilai baik dan buruk serta hal-hal mana yang boleh
dilakukan sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat 5
b) Etika Normatif,membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan manusia,
yang biasanya dikelompokkan menjadi :
1.
2.
Etika khusus ; terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika Terapan.
acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.6
Pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik
di negara ini. Disetiap saat dan dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika
disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum di sila ke dua kemanusian yang adil
dan beadab tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun
etika bangsa ini sangat berandil besar.7
IV. DASAR
ETIKA
KEDOKTERAN
DALAM
OBSTETRI
DAN
GINEKOLOGI
Demikianlah dalam menjalankan profesi kedokteran yang didasari oleh
kepercayaan dan penuh kerahasiaan aspek etika profesi sangat penting. Untuk
dapat menjunjung tinggi martabat profesi, diperlukan kemampuan kontrol profesi
yang berlandaskan norma masyarakat, norma hukum, dan norma profesi dokter.7
Sumpah dokter yang bersumber dari Sumpah Hipokrates merupakan dasar
motivasi dan sumber etika profesi dokter, sehingga pemahaman terhadap hakekat dan
makna sumpah dokter merupakan modal utama dalam menjalankan profesi dokter.
Dalam sumpah dokter terdapat tiga hal pokok yang menjadi dasar transaksi medis
dalam obstetri, yaitu :7
Saya akan membuktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan.
Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran telah meningkatkan
peranan profesi, dalam upaya meningkatkan kemampuan profesi mulai diagnosis dini
sampai terapi yang canggih. Dampak dari perkembangan tersebut telah menyebabkan
ketergantungan kemampuan intelektual terhadap teknologi kedokteran yang dapat
disebut sebagai erosi intelektual.7
Ruang gerak pekerjaan dokter sangat dibatasi oleh kaidah kaidah yang
berlaku dalam masyarakat dan kaidah profesi, yaitu :
o Kaidah etika masyarakat yang menilai apakah seorang dokter telah
menjalankan profesinya sesuai dengan tatasusila yang berlaku dalam
masyarakat.
o
Kaidah profesi yang dilandasi oleh Sumpah Dokter dan Kode Etik
Kedokteran Indonesia.
GINEKOLOGI
a. Otonomi
Otonomi berasal dari bahasa Yunani autos (self atau diri sendiri) dan nomos
(rule/ governance atau aturan) yang berarti self rule. Dalam praktik kedokteran
8
otonomi mengandung arti mengatur diri sendiri yaitu bebas dari kontrol oleh pihak
lain dan dari perbatasan pribadi. Menghormati otonomi pasien berarti mengakui hak
individu. Otonomi memberikan dasar moral yang kuat bagi informed consent.
Menghormati otonomi setiap pasien, seperti semua prinsip etika, tak dapat dianggap
absolute dan pada suatu saat mungkin
pertimbangan moral lain. Sebagai contoh prinsip ini adalah seorang ibu yang
meminta seksio sesarea. Permintaan seksio sesarea adalah hak pasien, tetapi dokter
harus mendiskusikannya mengenai alasan khusus, risiko, dan manfaatnya. Jika pasien
takut melahirkan dokter perlu melakukan konseling.1,2
b. Beneficence dan Nonmalefience
Beneficence adalah berarti berbuat baik. Ini prinsip yang mengharuskan dokter
bertindak dengan cara menguntunkan pasien. Nonmalefience berarti tidak merugikan
atau menyebabkan luka dan dikenal dengan maximum primum non nocere. Jika kita
tidak bisa berbuat baik kepada seorang atau menguntungkan bagi pasien, paling tidak
kita tidak merugikannya. Walaupun terdapat perbedaan halus antara keduanya,
beneficence ini ada bersama pada hampir setiap keputusan pengobatan pasien,
sebagai resiko dan manfaat.1,2
Beneficence, suatu keharusan untuk meningkatkan kesehatan pasien mungkin
terjadi konflik dengan otonomi. Sebagai contoh seorang pasien ingin melahirkan
janin dengan kelainan kongenital yang fatal dengan seksio sesarea karena dia yakin
bahwa prosedur ini akan meningkatkan kesempatan banyinya untuk survive.
Pertimbangan terbaik dokter adalah bahwa resiko seksio sesarea bagi ibu lebih besar
daripada kemungkinan bagi bayinya untuk survive. Pada situasi demikian kesulitan
dokter adalah mempertimbangkan keadaan spiritual, fisik, dan psikologis pasien.1,2,7
c. Justice
Justice (keadilan ) adalah prinsip yang paling belakangan diterima. Ini adalah
prinsip etik yang paling kompleks, karena tidak hanya kewajiban dokter untuk
memberikan yang terbaik, tetapi juga peran dokter dalam mengalokasikan sumber
daya medik yang terbatas. Prinsip ini memperlakukan orang-orang dalam situasi yang
9
yang memungkinkan prinsip-prinsip etik digunakan secara efektif pada situasi dimana
terdapat konflik
10
(pasutri) atau calon akseptor, dengan penjelasan lebih dahulu tentang kontraindikasi,
efektifitas dan efek samping atau keamanan setiap jenis kontrasepsi, dan akhirnya
pasutri yang menentukan pilihannya 8
Meskipun demikian, tidak ada satu pun metode KB yang hingga saat ini dapat
memenuhi keamanan yang ideal, efektif, reversibel, mudah, dan dapat diterima
agama. Upaya pengendalian fertilitas sejauh dilakukan dengan bertanggungjawab
memakai metode-metode yang teruji, termasuk kontrasepsi mantap secara etis dapat
diterima. Dari cara-cara kontrasepsi tersebut di atas, maka cara AKDR dan kontap
menjadi bahan diskusi yang hangat, terutama karena menyangkut aspek agama dan
hukum. Mekanisme kerja AKDR adalah sebagai kontrasepsi dan juga kontranidasi,
sehingga menimbulkan dilema bagi seorang dokter. 8
Pelaksanaan kontrasepsi mantap (kontap) pada perempuan harus melalui
konseling yang hati-hati, sehingga merupakan keputusan melalui pilihan yang matang
yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi kesehatan, etik, dan agama dari
pasangan yang bersangkutan. Kontap merupakan prosedur
penghentian kesuburan (KB permanen walaupun masih ada teknik rekanalisasi ) dan
memiliki konsekuensi yang jauh. Kontap umumnya dilakukan bukan atas indikasi
medik. Oleh karena itu dampak kontap tidak hanya pada individu melainkan pada
pasangan suami istri dan mungkin juga keluarga besar kedua pihak, sehingga
diperlukan konseling yang hati-hati. Informed consent harus ditandatangani oleh
suami istri.8
Masalah Aborsi
Masalah aborsi telah dibahas di berbagai pertemuan ilmiah dalam lebih dari 3
dekade terakhir ini, baik di tingkat nasional maupun regional, namun hingga waktu
ini Rancangan Pengaturan Pengguguran berdasarkan Pertimbangan Kesehatan belum
terwujud. Secara umum hal ini telah dicantumkan dalam undang-undang kesehatan,
namun penjabarannya belum selesai juga. Kehampaan hukum itu menyangkut pula
tindakan abortus provokatus pada kasus-kasus kehamilan karena perkosaan,
12
kehamilan pada usia remaja putri (usia kurang dari 16 tahun, yang belum mempunyai
hak untuk menikah), kehamilan pada wanita dengan gangguan jiwa, kegagalan
kontrasepsi dan wanita dengan multipara.6,8
Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi
hidup insani (KODEKI pasal 10). Undang-undang no.23 tahun 1992 tentang
kesehatan menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, sebagai upaya menyelamatkan
jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medik tertentu dan ini
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian, dengan persetujuan ibu
hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya dan dilakukan pada sarana
kesehatan tertentu. Dokter hendaknya menyikapi dengan arif agar tidak terjebak
dalam pertentangan tajam antara aliran Pro-Life yang secara ekstrim menolak aborsi
dan aliran Pro-Choice yang menghormati hak perempuan untuk secara bebas
menentukan apakah harus melanjutkan atau menghentikan kehamilannya dengan cara
aborsi. Pandangan yang simplistis tentang aliran pro-Life dan pro-Choice melahirkan
dua pandangan ekstrim yang merugikan. Seharusnya lebih banyak nuansa yang harus
dipertimbangkan secara arif. Disamping kehidupan janin, disisi lain ada kesehatan ibu
dan keluarganya. Mengutamakan kehidupan janin dengan mengabaikan kondisi ibu
juga tidak manusiawi. Perlu dicari penyelesaian yang bijak apabila terjadi konflik
antara mempertahankan kehidupan janin dan kepentingan ibu agar diperoleh nuansa
yang etis.
Kewajiban dokter untuk menghormati kehidupan sesuai dengan lafal
sumpahnya seringkali menimbulkan dilema. Hadirnya janin dalam kandungan pada
kondisi tertentu dapat mengancam nyawa atau kesehatan ibu secara serius. Pada
tahun 1970 asosiasi kedokteran sedunia (WMA) mengeluarkan maklumat yang
dikenal dengan deklarasi Oslo Isinya membenarkan tindakan aborsi atas indikasi
medik,
dengan
syarat
diizinkan
oleh
undang-undang
negara
yang
fisik, psikis, maupun sosial yang menyeluruh, bukan hanya ketiadaan sakit atau cacat.
Bila seorang ibu hamil tapi tidak dikehendakinya, berarti ibu tersebut terganggu
secara psikis, dengan kata lain ibu tersebut terganggu kesehatannya dan dibenarkan
melakukan aborsi atas indikasi medik. Tetapi bila kehamilannya dilanjutkan akan
menimbulkan dampak psikososial yang berat, misalnya pada kasus incest, perkosaan,
retardasi mental, kehamilan remaja, kegagalan KB, janin cacat berat, dan kehamilan
usia lanjut. Keadaan yang dramatis seperti itu dapat dipertimbangkan kasus demi
kasus. Tidak semua keadaan tersebut akan menyebabkan seorang ibu meminta untuk
aborsi. Keputusan untuk melakukan aborsi pada keadaan-keadaan seperti tersebut
diatas harus dibuat melalui konseling yang aman dan dapat dipertanggungjawabakan.
memperoleh kehamilan dari pasangan suami istri, apabila cara-cara alami atau teknik
kedokteran konvensional tidak memperoleh hasil. Pada tahun 1978, Steptoe &
Edwards melahirkan bayi tabung pertama Louise Brown di Inggris, hasil Fertilisasi In
Vitro (IVF) dan Pemindahan Embrio (PE). Ini merupakan terobosan yang telah
mengubah dunia kedokteran terutama di bidang reproduksi manusia.
Di Indonesia, bayi tabung pertama lahir 10 tahun kemudian (1988) hasil upaya
Tim Melati RSAB Harapan Kita Jakarta. IVF dan PE merupakan upaya terakhir
untuk menolong pasangan suami istri memperoleh keturunannya, karena upaya ini
memerlukan biaya yang besar, keberhasilan take home baby yang rendah dan
menyebabkan stres pada pasangan suami istri yang bersangkutan. Selain cara IVF dan
PE telah dikembangkan pula teknologi reproduksi buatan lainnya seperti Tandur Alih
Gamet atau Embrio Intra Tuba dan Suntikan Sperma Intra Sitoplasmik. Yang
termasuk TRB yaitu inseminasi buatan, Fertilisasi in Vitro dan pemindahan embrio,
14
Gamete Intra Fallopian Transfer (GIFT), Zygote Intra Fallopian Transfer (ZIFT),
Cryopreservation dan Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI). Penyelenggaraan
TRB harus berpegang pada prinsip beneficence, nonmalefience, autonomy dan
justice. Sebelum menjalani TRB pasangan suami istri berhak mendapatkan informed
consent
yang
kemungkinan terjadinya kehamilan ganda serta kondisi lingkungan, kultur sosial dan
moral/agama yang akan mempengaruhi teknik yang akan dijalankan. 6,8
Dari segi hukum, di Indonesia telah terdapat peraturan perundang-undangan
tentang kehamilan di luar cara alami itu, yaitu bahwa cara tersebut hanya dapat
dilakukan pada pasangan suami istri yang sah, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan pada sarana kesehatan yang
memenuhi syarat (UU Kesehatan, pasal 16). Dengan demikian, masalah donasi oosit,
sperma dan embrio, masalah ibu pengganti adalah bertentangan dengan hukum yang
berlaku dan juga etik kedokteran.6,8
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo S.Etika Dalam Pelayanan Kebidanan, dalam ilmu Kebidanan edisi
keempat. Jakarta : PT BINA PUSTAKA SARWONO PRAWIROHARDJO. 2008.
Hal 81-7.
2.
15
16