Anda di halaman 1dari 17

Aspek Etikolegal Pelayanan Kesehatan

Oleh: Asri Tadda ~ 27/09/2006

Dewasa ini semakin muncul ke permukaan kasus-kasus kelalaian pelayanan kesehatan, baik
yang dilakukan oleh tenaga medis, khususnya dokter dan dokter gigi, maupun rumah sakit
secara institusional.

Semakin berkembangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat atas hak mereka khususnya
dalam pelayanan kesehatan, menyebabkan jumlah kasus medik yang dilaporkan ke
Lembaga Bantuan Hukum dan lembaga advokasi konsumen kesehatan lainnya meningkat.

Hanya saja, dugaan kelalaian pelayanan kesehatan, yang menjadi sengketa medik ketika telah
dilaporkan ke yang berwajib, belum memiliki formula yang pas dalam penyelesaiannya.

Tarik menarik cenderung tergambar antara berbagai pihak yang masing-masing punya
kepentingan di dalamnya, antara lain departemen kesehatan, anggota parlemen (DPR), dan
kalangan lembaga swadaya masyarakat, khususnya untuk menempatkan posisi hukum proses
peradilan sengketa medis jika terdapat pengaduan dari pasien yang merasa dirugikan.

Keberadaan Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 belum cukup


memadai untuk dijadikan parameter penyelesaian sengketa medik. Dalam pada yang lain,
keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Nomor 8 Tahun 1999 tidak
memiliki alasan yang rasional untuk digunakan sebagai acuan penyelesaian sengketa medik,
karena dianggap bahwa hubungan dokter dengan pasiennya merupakan relasi yang unik, dan
tidak tepat kalau dikategorikan sebagai hubungan antara pelaku usaha dengan konsumennya.

Hubungan dokter-pasien, hakikatnya menyangkut kepercayaan kesehatan. Minimnya


Peraturan Pemerintah dalam bidang kesehatan (baru 4 PP dari 29 PP yang seharusnya ada) ,
terutama PP yang menetapkan standar profesi kedokteran dan hak-hak pasien, turut
memberikan kontribusi kacau-balaunya penanganan kasus kejahatan dan pelanggaran
hukum dalam pelayanan medis. Hal ini diperparah oleh lambannya penetapan RUU Praktik
Kedokteran oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam kondisi seperti ini, pasien semakin sulit untuk menuntut dokter secara hukum, sebab
belum ada standar yang membedakan mana tindakan malpraktik, kecelakaan dan kelalaian
dalam pelayanan medik.

Sementara, belakangan kasus malpraktik cenderung menunjukkan grafik yang meningkat dari
sebelumnya, menyebabkan banyaknya kerugian pada pihak pasien, pihak yang selama ini
menjadi objek suboordinat pelayanan kesehatan.

Dalam tiga tahun terakhir, berdasarkan data dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen
Kesehatan Indonesia (YPKKI), terdapat 149 kasus, dan 75 persen dari yang melapor adalah
tenaga kesehatan yang menjadi konsumen. Sebuah ironi yang cukup meyakinkan buruknya
pelayanan kesehatan negara kita.
Profesi dokter memang banyak berhubungan dengan dilema etik yang dapat berpotensi
menjadi sengketa medik. Seorang dokter yang profesional selalu tidak boleh terlepas dari dua
hal, yakni memiliki watak dan etika yang baik, dan kompeten di bidangnya.

Dalam aktivitas profesinya, seorang dokter harus memegang teguh etika kedokteran
berdasarkan sumpahnya sewaktu diangkat menjadi dokter; dimulai dengan kemurnian niat,
kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmu, integritas sosial, kesejawatan dan
ketuhanan.

Bertolak dari pandangan normatif inilah yang mendasari pemunculan wacana etikolegal
sebagai sebuah paradigma baru penyelesaian sengketa medik, khususnya di negara kita.

Konsep etikolegal hendak menunjuk pada sebuah pandangan yang saling mempengaruhi
antara etika dan hukum. Paradigma etikolegal adalah cara berpikir yang menganggap bahwa
dalam pelayanan kedokteran dan kerumahsakitan, hukum merupakan kristalisasi dari etika,
sehingga ketika pembentukannya (kemudian juga ketika penerapannya) tak boleh
mengesampingkan etika karena masih merupakan suatu proses yang berkesinambungan
dalam hukum (MKEK Pusat; 2003).

Dalam fokus tersendiri, paradigma etikolegal menempatkan integritas yang tak dapat
terpisahkan begitu saja antara etika dan hokum, karena pelayanan kedokteran dan
kerumahsakitan sejak dahulu telah dibingkai oleh etika yang kedudukannya lebih tinggi.

Meski merupakan sebuah kesatuan yang tak boleh terpisah begitu saja, etika tetap berbeda
dengan hukum dalam pandangan norma. Norma etika bertujuan untuk kebaikan hidup pribadi
atau kebersihan/kemurnian hati nurani, sehingga masuk dalam kaidah intra-pribadi.
Sedangkan norma hukum bertujuan untuk kedamaian hidup bersama, karena itu tergolong
kaidah antar-pribadi.

Paradigma etikolegal menjadi sebuah alternatif penyelesaian sengketa medik saat ini karena
didasari oleh munculnya berbagai fenomena yang terjadi dalam praktik tenaga kesehatan.

Tenaga kesehatan yang mengecewakan pasiennya akan menghadapi kemungkinan untuk


digugat atau dituntut yang sulit-sulit. Pada realitas seperti ini, pengklasifikasian masalah
cenderung membantu dalam penyelesaiannya. Sehingga harus dapat dibedakan antara mana
pelanggaran etik dan mana pelanggaran hukum.

Sebagai institusi yang bertanggung jawab melaksanakan pelayanan kesehatan, rumah sakit
sekaligus tenaga medisnya memang kerap menuai masalah. Perkembangan teknologi,
kebutuhan pembiayaan dan perubahan sikap masyarakat dan negara merupakan kekuatan-
kekuatan yang akhirnya banyak mendorong lahirnya beragam model dan sifat rumah sakit.

Kecenderungan perubahan evolutif dari orientasi kedermawanan rumah sakit ke fase


komersialisasi pelayanan kesehatan menjadi titik rawan timbulnya sengketa medik.
Awamnya sebahagian besar konsumen kesehatan di rumah sakit terhadap hak-hak mereka
menjadi portal of entry semakin menjamurnya beragam modus operandi pemerasan dan
praktek bulan-bulanan pasien.

Tercatat banyaknya kasus pelanggaran dalam pelayanan pasien di rumah sakit, misalnya
kecenderungan anjuran keras bagi ibu-ibu hamil untuk melaksanakan secsio
caesar(melahirkan melalui operasi) meskipun masih dapat melahirkan secara normal,
tonsilektomi dan appendektomi yang belum seharusnya dilakukan tetap dipaksakan, serta
berbagai paket diagnosis keroyokan pasien yang salah satunya dikenal dengan paket lima;
begitu pasien masuk ke RS, langsung diperiksa oleh lima dokter spesialis sekaligus.
Akibatnya tentu berakhir pada membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan pasien.

Kesadaran untuk tetap memegang teguh etika menjadi pekerjaan yang sangat sulit dilakukan
oleh seorang dokter di tengah tuntutan ekonomi dewasa ini.

Profesi kedokteran perlahan menuju kearah proletar dan bukan lagi professional, maka yang
diutamakan hanyalah kompetensi tanpa watak baik, sehingga sisi kemanusiaannya semakin
terkikis. Dalam polemik ini, pelayanan kesehatan tidak lagi berdasarkan kemanusiaan, tetapi
berorientasi kepada bisnis.

Dalam etika profesi, menyelamatkan kehidupan adalah nilai etik yang baik dan sudah
sepantasnya setiap dokter melakukan hal itu. Tetapi pada sisi ini pula telah timbul konflik
tersendiri, menyangkut kualitas kehidupan yang bagaimana yang akan dipertahankan. Belum
lagi dari segi biaya pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan pasien.

Jika untuk mempertahankan kehidupan diperlukan biaya yang amat besar dan pasien tidak
mampu menyediakannya, apakah dokter akan memaksakan atau bagaimana jika pasien
menolak perawatan dan penanganan medik untuknya? Semua hal di atas sepenuhnya jelas
merupakan aspek etika dalam pelayanan kesehatan.

Pelanggaran etika dalam praktik kedokteran menjadi bagian dari tugas pengawasan Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Seorang dokter dikatakan melanggar etika
apabila melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan mutu professional yang tinggi
maupun kebiasaan dan cara-cara atau policies seperti yang lazim digunakan.

Dalam bidang kesehatan, melanggar etik termasuk melanggar prinsip-prinsip moral, nilai dan
kewajiban-kewajiban yang meminta diambilnya tindakan sanksi, baik berupa teguran atau
schorsing dari tempat kerja, atau organisasi profesinya.

Jika melihat deretan kasus pelanggaran etik dan sengketa medik di Indonesia pada beberapa
waktu terakhir, maka akan didapatkan bahwa hampir semua dokter yang diadukan pasiennya
adalah dokter spesialis yang langsung menangani pasiennya, bekerja di rumah sakit, dan rata-
rata mereka termasuk figur dokter yang banyak pasiennya dan umumnya terjadi pada
kasus-kasus yang lama selesai/sembuh. Sebagian besar pengaduan berisi pengabaian dan
pelecehan hak-hak pasien atas informasi medik dan mahalnya pelayanan kesehatan
dokter/RS.

Secara lebih spesifik, pengalaman organisasi profesi dan lembaga kesehatan di banyak negara
lain di dunia menunjukkan bahwa sejumlah dokter bermasalah baik secara etis maupun
hukum, antara lain disebabkan oleh kekurangpahaman dan atau tekanan kerja, konflik
interpersonal/kepribadian, kecacatan dalam hal ini termasuk lansia, dan karena perilaku jahat
atau kriminal.

Jika dikaitkan dengan kesalahannya, dokter bermasalah dapat dikelompokkan menjadi lima
bagian, yaitu:
(1) kesalahan atau kecelakaan jelas namun dipandang masih kompeten secara professional;

(2) kesalahan jelas dan dipandang inkompeten secara professional;

(3) watak yang menyebalkan;

(4) perilaku tidak profesioanl dan

(5) dokter yang bersangkutan cacat.

Untuk membuktikan secara hukum kesalahan-kesalahan etis yang telah dilakukan oleh para
dokter bermasalah, maka mutlak dibutuhkan sebuah peradilan khusus untuk profesi medik,
tetapi tidak bertentangan dengan sistem peradilan yang berlaku umum.

Sebagai hukum alamiah yang tertinggi sejak dulu, pedoman-pedoman professional secara etis
sering melampaui batas-batas yang dikehendaki oleh hukum.

Jika demikian, dalam konsep etikolegal, maka sebenarnya pada setiap pelanggaran hukum,
sudah pasti merupakan pelanggaran etik, tetapi pelanggaran etik harus dicermati dulu dalam
mengungkapkan kebenarannya secara material untuk diklaim sebagai pelanggaran hukum.

Pelanggaran hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dapat melahirkan hukum pidana
maupun perdata. Hanya saja, di negara kita belum ada pengaturan pemerintah tentang
penatalaksanaan sengketa medik ditinjau secara hukum.

Bahkan yang lebih parah adalah belum jelasnya hak-hak pasien selama menjalani perawatan
kesehatan, baik yang dilakukan oleh dokter praktik maupun oleh rumah sakit. Harus diingat
pula bahwa hubungan pasien dan tenaga kesehatan akan memasuki dimensi baru jika pasien
itu harus masuk rumah sakit untuk perawatan.

Karenanya, hukum telah menentukan bahwa lembaga-lembaga medis bertanggung jawab


terhadap pasiennya, termasuk melengkapi setiap pasiennya dengan medical record, sehingga
komunikasi dapat tetap terbangun antara dokter dan pasiennya.

Perlu menjadi perhatian laporan Bank Dunia (World Bank) pada tahun 2003 lalu yang
melansir 70 persen dokter Indonesia tidak membuat medical record atau catatan medik
perkembangan penyakit serta terapi yang pernah diberikan pada pasiennya.

Diharapkan dengan ditetapkannya UU Praktik Kedokteran, maka sedikit banyak akan ada
kejelasan terhadap perlindungan konsumen kesehatan di Indonesia, sehingga dapat dipastikan
bahwa hak-hak pasien itu adalah penting, minimal hak mereka atas informed consent,
semacam pemberitahuan tentang penyakit pasien, tindakan yang akan dilakukan, dan resiko
apa yang mungkin akan terjadi dari suatu tindakan medik, sebelum tindakan itu dilakukan
padanya, serta medical record, seperti yang dijelaskan di muka, sebagai bagian dari upaya
perlindungan hukum baginya.

Pada akhirnya, konsep etikolegal memandang perlunya pencermatan secara professional atas
setiap pengaduan sengketa medik, khususnya untuk wilayah etis yang secara profetik harus
diselesaikan tersendiri melalui Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan wilayah
hukum yang mengacu pada sistem perundangan yang berlaku di negara kita.
Untuk itu, ke depannya sebagai konsekuensi mutlak dibutuhkan sebuah Konsil Kedokteran
(Medical Council) yang antara lain bertugas untuk mengawasi, memproses dan
menyelenggarakan pengadilan sengketa medik, dan dalam skala yang lebih luas, untuk
melindungi pasien, melindungi dokter dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di
Indonesia. []

ARTIKEL TERKAIT:

Analisis Biaya Pelayanan Rumah Sakit


Industrialisasi Kedokteran
Karakteristik Pelayanan Kesehatan
Menakar Kegilaan; Mengkritisi Pelayanan Kesehatan Kita
Memilukan, Pelayanan Kesehatan Kita
Masalah Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Share artikel ini!

Click to print (Opens in new window)


Click to email this to a friend (Opens in new window)
Share on Facebook (Opens in new window)
Click to share on Twitter (Opens in new window)
Click to share on Pinterest (Opens in new window)
Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
Click to share on Google+ (Opens in new window)
Click to share on StumbleUpon (Opens in new window)
Click to share on Pocket (Opens in new window)
Click to share on Tumblr (Opens in new window)
Click to share on Reddit (Opens in new window)
Selasa, 21 Juli 2009
KONFLIK ETIKO-LEGAL dan SENGKETA MEDIK DI RUMAH SAKIT

Pendahuluan
Dewasa ini terdapat perubahan pola hubungan dokter pasien di rumah sakit. Pendapat lama
tentang doctor know best mengalami pergeseran ke arah kesetaraan dan autonomi.
Peningkatan taraf pendidikan, sosial-ekonomi, pengaruh media massa dan alat-alat
komunikasi tampaknya ikut berperan dalam perubahan tersebut. Pasien menjadi lebih kritis
dan mulai menyadari hak-haknya dan menuntut dokter untuk melaksanakan kewajibannya.
Ketidak sesuaian hubungan antara dokter dan pasien dapat menimbulkan suatu sengketa
medik di rumah sakit, yang merupakan pertentangan antara dokter dan/rumah sakit di satu
pihak dan pasien di pihak yang lain. Sengketa medik di rumah sakit dapat disebabkan
pelanggaran kode etik kedokteran, pelanggaran hak orang lain (perdata) maupun pelanggaran
kepentingan masyarakat (pidana).
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 983 Pasal 42 di semua rumah sakit
dibentuk Komite Medik untuk membantu Direktur dalam meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit. Komite Medik dilengkapi dengan kepanitiaan, yang jumlah dan jenis
kepanitiaannya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing rumah sakit. Salah satu
kepanitiaan yang penting adalah Panitia Etik, yang akhir-akhir ini di beberapa rumah sakit
bahkan ditetapkan sebagai Komite Etik atau pun Komite Etik dan Hukum.
Perkembangan dan perubahan masyarakat serta perubahan pola hubungan dokter pasien
mendorong Komite Medik dan Panitia/Komite Etik untuk lebih aktif berperan serta dalam
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan melakukan pemantauan, pembinaan, terhadap
anggota-anggotanya.

Konflik Etiko-legal
Konflik etiko-legal merupakan pertentangan kepentingan inter dan antar manusia profesional
RS yang belum melibatkan pasien sebagai pihak ketiga; bersamaan atau tidak dengan
penguatan dilema etik intra RS secara berlarut-larut, yang berpotensi menimbulkan.sengketa
medik, kesalahan professional, kejahatan professional, atau kejahatan korporasi dengan atau
tanpa malapraktik.[1]
Permasalahan etiko-legal yang bersumber pada dokter biasanya diselesaikan melalui
peradilan profesi yang didasarkan pada standar profesi dan standar pelayanan medik; lebih
banyak dihadapkan pada KODEKi dan prinsip dasar etika medik.
Permasalahan etiko-legal yang melibatkan rumah sakit, kecuali melibatkan dokter yang
bekerja di rumah sakit, juga menyangkut keperawatan, manajer, komite-komite di RS, dewan
penyantun, yayasan, pemodal, dsb. Contoh: konflik antara spesialis senior vs direktur RS,
direktur RS vs dewan penyantun, kepala unit pembelian vs kepala SMF, dsb.[2]

Sengketa Medik di Rumah Sakit [3]


Sengketa medik di rumah sakit merupakan pertentangan antara dokter/ RS di satu pihak dan
pasien sebagai pihak lain

[
[
[
Dapat berupa pelanggaran kode etik kedokteran, pelanggaran hak orang lain (perdata)
maupun pelanggaran kepentingan masyarakat (pidana)

Sengketa medik di rumah sakit dapat berwujud pengaduan, dapat disertai atau tanpa
malapraktik. Acapkali sengketa medik dipicu oleh modus operandi pengacara, maupun
persaingan antar dokter/rumah sakit.
Beberapa peristiwa (kejadian) di rumah sakit yang bersifat negatif dan berpotensi
menimbulkan kerugian pada rumah sakit dapat berasal dari: pengaduan langsung, berita pada
mass media, tulisan pada pikiran pembaca, hasil evaluasi internal baik oleh pimpinan rumah
sakit atau Komite Medik.

Komite Medik
Komite Medik merupakan suatu wadah non struktural di rumah sakit yang bertugas untuk: [4]
membantu Direktur dalam menyusun standar pelayanan dan memantau pelaksanaannya,
melaksanakan pembinaan etika profesi,
mengatur kewenangan anggota Staf Medik Fungsional (SMF),
meningkatkan program pelayanan pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan
pengembangan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Komite Medik dapat dibantu oleh Panitia
Panitia merupakan kelompok kerja khusus di dalam Komite Medik yang dibentuk untuk
mengatasi masalah khusus. Panitia yang ada disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit,
misalnya Panitia Infeksi Nosokomial, Panitia Farmasi dan Terapi, Panitia Peningkatan Mutu
Pelayanan, Panitia Kredensial dan lain-lain.

Komite Etik/ Panitia Etik


Masalah etika profesi merupakan aspek penting dalam pelaksanaan kegiatan profesi,
sehingga etika profesi perlu dijunjung tinggi oleh setiap tenaga profesi. Pembentukan Panitia
Etik (sebagai bagian dari Komite Medik) atau Komite Etik (berkedudukan sejajar dengan
Komite Medik) disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing rumah sakit. Bahkan sekarang
mulai dibentuk Komite Etik dan Hukum di beberapa rumah sakit.

Fungsi Komite Etik rumah sakit antara lain:[5]


Pendidikan, memahami masalah etika dan dsikusi kasus medico-legal dan proses
pengambilan keputusan
Penyusunan kebijakan, pedoman untuk bertindak apabila menghadapi kasus-kasus pasien
gawat darurat, pasien terminal, vegetative state, tidak lagi melakukan resusitasi, penghentian
pengobatan dan lain-lain.

Sebagai pegangan dalam melaksanakan kegiatan profesi selalu berdasar pada etik kedokteran
(Childress & Beauchamp) yang menyebutkan 4 (empat) kaidah dasar moral (KDM), yaitu [6]
Memberi kebaikan (beneficence) pada setiap pasien
Tidak merugikan (non-maleficence) pasien, dan menghindari tindakan yang merugikan
pasien. Primum non nocere
Menghormati hak otonomi dalam mengambil keputusan dari pasien
Keadilan (justice) sebagai prinsip dalam pelayanan medis
[
[
[
Masalah etik di rumah sakit, merupakan masalah intern, dapat berupa konflik antara:
Dokter dokter
Dokter tenaga kesehatan lain
Dokter manajemen rumah sakit, direksi, pemilik

Alur Penyelesaian Sengketa Medik di Rumah Sakit [7]


Bedakan antara masalah etik dan hukum (hukum pidana, hukum perdata dan hukum
administratif)
Cek semua peraturan yang terkait, termasuk Kode Etik Kedokteran, Kode Etik Rumah
Sakit
Analisa kasus dalam case review
Tentukan posisi dokter pasien

Penutup
Untuk menghindari konflik etiko-legal dan sengketa medik di rumah sakit, dokter sebaikanya
mematuhi 10 pedoman pelaksanaan profesi medis berikut;[8]
1. Sumpah Dokter
2. Kode Etik Kedokteran Indonesia
3. Prasyarat Pelaksanaan Profesi Medis
4. Standar Profesi Medis
5. Indikasi Medis
6. Informasi dan Informed Consent
7. Rekam Medis
8. Rahasia Kedokteran
9. Hukum Kedokteran
10. Komunikasi
Perlu disadari bahwa problem medik di rumah sakit akan selalu ada. Antisipasi pencegahan
secara proaktif harus dilakukan oleh Komite Medik.

Daftar Pustaka

Darsono, Soeraryo. Perlindungan Hukum bagi Dokter (makalah disampaikan pada HUT
RSUP Dr. Soeradi Tirtonegoro, Klaten) 2003

Gunawan, Sintak . Fungsi, Struktur, dan Peran Komite Etik Rumah Sakit (makalah
disampaikan dalam pertemuan Nasional III Bioetika & Humaniora Kesehatan, 2004

Purwadianto, Agus. Pola Pemilahan Konflik Etikolegal dan Sengketa Medik &
Penyelesaiannya (dalam Kursus Singkat Tenaga Penanganan Dini Konflik Etikolegal dan
Sengketa Medik di RS), 2001
[
1] Agus Purwadianto: Pola Pemilahan Konflik Etikolegal dan Sengketa Medik &

Selasa, 21 Juli 2009


[
[
[
KONFLIK ETIKO-LEGAL dan SENGKETA MEDIK DI RUMAH SAKIT

Pendahuluan
Dewasa ini terdapat perubahan pola hubungan dokter pasien di rumah sakit. Pendapat lama
tentang doctor know best mengalami pergeseran ke arah kesetaraan dan autonomi.
Peningkatan taraf pendidikan, sosial-ekonomi, pengaruh media massa dan alat-alat
komunikasi tampaknya ikut berperan dalam perubahan tersebut. Pasien menjadi lebih kritis
dan mulai menyadari hak-haknya dan menuntut dokter untuk melaksanakan kewajibannya.
Ketidak sesuaian hubungan antara dokter dan pasien dapat menimbulkan suatu sengketa
medik di rumah sakit, yang merupakan pertentangan antara dokter dan/rumah sakit di satu
pihak dan pasien di pihak yang lain. Sengketa medik di rumah sakit dapat disebabkan
pelanggaran kode etik kedokteran, pelanggaran hak orang lain (perdata) maupun pelanggaran
kepentingan masyarakat (pidana).
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 983 Pasal 42 di semua rumah sakit
dibentuk Komite Medik untuk membantu Direktur dalam meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit. Komite Medik dilengkapi dengan kepanitiaan, yang jumlah dan jenis
kepanitiaannya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing rumah sakit. Salah satu
kepanitiaan yang penting adalah Panitia Etik, yang akhir-akhir ini di beberapa rumah sakit
bahkan ditetapkan sebagai Komite Etik atau pun Komite Etik dan Hukum.
Perkembangan dan perubahan masyarakat serta perubahan pola hubungan dokter pasien
mendorong Komite Medik dan Panitia/Komite Etik untuk lebih aktif berperan serta dalam
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan melakukan pemantauan, pembinaan, terhadap
anggota-anggotanya.

Konflik Etiko-legal
Konflik etiko-legal merupakan pertentangan kepentingan inter dan antar manusia profesional
RS yang belum melibatkan pasien sebagai pihak ketiga; bersamaan atau tidak dengan
penguatan dilema etik intra RS secara berlarut-larut, yang berpotensi menimbulkan.sengketa
medik, kesalahan professional, kejahatan professional, atau kejahatan korporasi dengan atau
tanpa malapraktik.[1]
Permasalahan etiko-legal yang bersumber pada dokter biasanya diselesaikan melalui
peradilan profesi yang didasarkan pada standar profesi dan standar pelayanan medik; lebih
banyak dihadapkan pada KODEKi dan prinsip dasar etika medik.
Permasalahan etiko-legal yang melibatkan rumah sakit, kecuali melibatkan dokter yang
bekerja di rumah sakit, juga menyangkut keperawatan, manajer, komite-komite di RS, dewan
penyantun, yayasan, pemodal, dsb. Contoh: konflik antara spesialis senior vs direktur RS,
direktur RS vs dewan penyantun, kepala unit pembelian vs kepala SMF, dsb.[2]

Sengketa Medik di Rumah Sakit [3]


Sengketa medik di rumah sakit merupakan pertentangan antara dokter/ RS di satu pihak dan
pasien sebagai pihak lain
Dapat berupa pelanggaran kode etik kedokteran, pelanggaran hak orang lain (perdata)
maupun pelanggaran kepentingan masyarakat (pidana)

Sengketa medik di rumah sakit dapat berwujud pengaduan, dapat disertai atau tanpa
malapraktik. Acapkali sengketa medik dipicu oleh modus operandi pengacara, maupun
persaingan antar dokter/rumah sakit.
[
[
[
Beberapa peristiwa (kejadian) di rumah sakit yang bersifat negatif dan berpotensi
menimbulkan kerugian pada rumah sakit dapat berasal dari: pengaduan langsung, berita pada
mass media, tulisan pada pikiran pembaca, hasil evaluasi internal baik oleh pimpinan rumah
sakit atau Komite Medik.

Komite Medik
Komite Medik merupakan suatu wadah non struktural di rumah sakit yang bertugas untuk: [4]
membantu Direktur dalam menyusun standar pelayanan dan memantau pelaksanaannya,
melaksanakan pembinaan etika profesi,
mengatur kewenangan anggota Staf Medik Fungsional (SMF),
meningkatkan program pelayanan pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan
pengembangan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Komite Medik dapat dibantu oleh Panitia
Panitia merupakan kelompok kerja khusus di dalam Komite Medik yang dibentuk untuk
mengatasi masalah khusus. Panitia yang ada disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit,
misalnya Panitia Infeksi Nosokomial, Panitia Farmasi dan Terapi, Panitia Peningkatan Mutu
Pelayanan, Panitia Kredensial dan lain-lain.

Komite Etik/ Panitia Etik


Masalah etika profesi merupakan aspek penting dalam pelaksanaan kegiatan profesi,
sehingga etika profesi perlu dijunjung tinggi oleh setiap tenaga profesi. Pembentukan Panitia
Etik (sebagai bagian dari Komite Medik) atau Komite Etik (berkedudukan sejajar dengan
Komite Medik) disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing rumah sakit. Bahkan sekarang
mulai dibentuk Komite Etik dan Hukum di beberapa rumah sakit.

Fungsi Komite Etik rumah sakit antara lain:[5]


Pendidikan, memahami masalah etika dan dsikusi kasus medico-legal dan proses
pengambilan keputusan
Penyusunan kebijakan, pedoman untuk bertindak apabila menghadapi kasus-kasus pasien
gawat darurat, pasien terminal, vegetative state, tidak lagi melakukan resusitasi, penghentian
pengobatan dan lain-lain.

Sebagai pegangan dalam melaksanakan kegiatan profesi selalu berdasar pada etik kedokteran
(Childress & Beauchamp) yang menyebutkan 4 (empat) kaidah dasar moral (KDM), yaitu [6]
Memberi kebaikan (beneficence) pada setiap pasien
Tidak merugikan (non-maleficence) pasien, dan menghindari tindakan yang merugikan
pasien. Primum non nocere
Menghormati hak otonomi dalam mengambil keputusan dari pasien
Keadilan (justice) sebagai prinsip dalam pelayanan medis

Masalah etik di rumah sakit, merupakan masalah intern, dapat berupa konflik antara:
Dokter dokter
Dokter tenaga kesehatan lain
Dokter manajemen rumah sakit, direksi, pemilik

[
[
[
Alur Penyelesaian Sengketa Medik di Rumah Sakit [7]
Bedakan antara masalah etik dan hukum (hukum pidana, hukum perdata dan hukum
administratif)
Cek semua peraturan yang terkait, termasuk Kode Etik Kedokteran, Kode Etik Rumah
Sakit
Analisa kasus dalam case review
Tentukan posisi dokter pasien

Penutup
Untuk menghindari konflik etiko-legal dan sengketa medik di rumah sakit, dokter sebaikanya
mematuhi 10 pedoman pelaksanaan profesi medis berikut;[8]
1. Sumpah Dokter
2. Kode Etik Kedokteran Indonesia
3. Prasyarat Pelaksanaan Profesi Medis
4. Standar Profesi Medis
5. Indikasi Medis
6. Informasi dan Informed Consent
7. Rekam Medis
8. Rahasia Kedokteran
9. Hukum Kedokteran
10. Komunikasi
Perlu disadari bahwa problem medik di rumah sakit akan selalu ada. Antisipasi pencegahan
secara proaktif harus dilakukan oleh Komite Medik.

Daftar Pustaka

Darsono, Soeraryo. Perlindungan Hukum bagi Dokter (makalah disampaikan pada HUT
RSUP Dr. Soeradi Tirtonegoro, Klaten) 2003

Gunawan, Sintak . Fungsi, Struktur, dan Peran Komite Etik Rumah Sakit (makalah
disampaikan dalam pertemuan Nasional III Bioetika & Humaniora Kesehatan, 2004

Purwadianto, Agus. Pola Pemilahan Konflik Etikolegal dan Sengketa Medik &
Penyelesaiannya (dalam Kursus Singkat Tenaga Penanganan Dini Konflik Etikolegal dan
Sengketa Medik di RS), 2001
[
1] Agus Purwadianto: Pola Pemilahan Konflik Etikolegal dan Sengketa Medik &
Penyelesaiannya (dalam Kursus Singkat Tenaga Penanganan Dini Konflik Etikolegal dan
Sengketa Medik di Rumah Sakit), 2001
[
2] Haryatmoko: Memahami Konflik Etiko-legal dari Perspektif Etika Sosial (dalam Kursus
Singkat Tenaga Penanganan Dini Konflik Etikolegal dan Sengketa Medik di Rumah Sakit).
Jakarta. 2001
[
3] Agus Purwadianto. op.cit. 2001
1 Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor: HK.00.06.2.3.730 tahun 1995
[
[
[
[
[
[5] Sintak Gunawan: Fungsi, Struktur, dan Peran Komite Etik Rumah Sakit, 2004
[6] Soeraryo Darsono: Perlindungan Hukum bagi Dokter (makalah disampaikan pada HUT
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro, Klaten 2003)
[7] Ibid
[8] Soeraryo Darsono: Perlindungan Hukum bagi Dokter, 2003

Malpraktek di Indonesia
Posted on Oktober 8, 2012 by sembuhnatural

Kasus Malpraktek. Sejak 2003 hingga 2006, LBH Kesehatan telah menerima 373 kasus
kesehatan dari seluruh Indonesia, 90 kasus diantaranya malpraktek. Berdasarkan data yang
dimiliki LBH Kesehatan, sampai dengan empat tahun terakhir, jumlah kasus yang LBH
Kesehatan tangani rata-rata meningkat sekitar 80 persen. Ini baru kasus yang terdokumentasi.
Bagaimana dengan banyaknya kasus malpraktek yang tidak terdokumentasi. Siapa sangka
Anda dan keluarga Anda adalah salah satu korbannya!?!

Kasus AIDS. Jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia dalam waktu 10 tahun terakhir
berdasarkan laporan Ditjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan hingga
bulan Juni 2008 mencapai 12.686 jiwa. Kasus AIDS terbanyak dari daerah DKI Jakarta, Jawa
Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi
Selatan, dan Kepulauan Riau. Jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Denpasar yang tercatat
hingga akhir Juli mencapai 1.085 orang dari 2.208 kasus di Bali.

Nah, jika tadi kita sudah melihat contoh kasus-kasus yang terjadi Amerika, mari sekarang kita
melihat yang terjadi di Indonesia yang saya ambil dari beberapa artikel di Internet:

Ramai-Ramai Menggugat Dokter

Pengaduan masyarakat atas dugaan malpraktek semakin marak. Perlu lembaga audit medis
dan standar profesi dokter.

ANA Kusmanto tak bisa menyembunyikan kepedihannya. Setiap kali memandang Dherens,
bayinya yang kini berumur empat bulan, hati perempuan itu tersayat. Kaki Dherens tak
tumbuh normal. Kaki kanan lebih pendek ketimbang yang kiri, dari paha kaki kanan itu
tumbuh tulang baru yang mendesak tulang kulit paha. Tulang paha kanan itu kemudian
membesar, mengikuti bentuk tulang baru.

Bagi Ana, ini bukan pertumbuhan alamiah. Ia yakin anak keduanya itu korban malpraktek
dokter di Rumah Sakit Medistra ketika ia menjalani persalinan lewat bedah caesar di sana, 9
Juli silam. Menurut Ana, beberapa saat setelah dilahirkan, Dherens terus menangis. Kaki
Dherens, kata Ana, ketika itu berwarna biru lebam dan gerakannya tak normal. Ketika
dilakukan rontgen, diketahui tulang paha kanan bayinya patah.

Tetapi dokter yang menangani persalinannya meminta Ana tenang. Kasus patah tulang
seperti ini biasa, dua atau tiga bulan lagi akan sembuh, kata sang dokter seperti ditirukan
Ana. Tapi, ya, itu: kaki Dherens tak kunjung normal. Kusmanto dan Ana melayangkan somasi
ke rumah sakit terkenal di Ibu Kota itu. Mereka meminta Medistra ikut bertanggung jawab
atas keadaan yang dialami bayinya.

Karena jawaban Medistra tak memuaskan, Ana membawa kasus ini ke polisi. Ia menuduh
Medistra melakukan kelalaian sehingga bayinya cacat. Pasangan ini juga berencana menuntut
ganti rugi Rp 17 miliar. Tuduhan dugaan malpraktek yang dilakukan dokter di rumah sakit ini
juga datang dari keluarga Sukma Ayu. Mereka menduga ada kejanggalan yang dilakukan tim
dokter saat menangani almarhumah.

Sukma dirawat di Rumah Sakit Medistra mulai 9 April lalu, setelah lengannya dioperasi
karena mengalami kecelakaan. Sukma kemudian koma selama lima bulan, sebelum akhirnya
wafat pada akhir September lalu. Keluarga Sukma, lewat pengacara Hotman Paris Hutapea,
mengajukan somasi. Mereka menduga artis ini meninggal karena adanya penanganan tak
benar dari dokter.

Persidangan terhadap dugaan malpraktek dua pekan lalu juga muncul di Pengadilan Jakarta
Pusat. Indra Syafri Yacub menggugat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, RS Pelni
Petamburan, dan RS Palang Merah Indonesia (PMI) Bogor dengan tuduhan telah melakukan
malpraktek terhadap istrinya, Adya Vitry Harisusanti.

Menurut Indra, pada 10 November 2002, Adya memeriksakan kesehatannya ke RS PMI


Bogor. Karena informasi medis di rumah sakit itu tak memuaskan, Indra membawa istrinya
ke RS Pelni, Jakarta. Dari tempat itu, setelah meminta rujukan, pada 17 Desember ia
memindahkan istrinya ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM). Di RSCM, kata Indra, terjadi
kesalahan pemasangan alat CVP (central vena pressure).

Pemasangan alat yang menggunakan jarum suntik itu, menurut Indra, tidak pada tempatnya.
Darah yang muncrat adalah darah segar yang berasal dari arteri, dan bukan masuk ke vena,
ujarnya. Beberapa saat kemudian, Adya tewas. Namun, gugatan Indra ditolak. Menurut
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan Indra terlalu prematur karena tidak
ada autopsi terhadap pasien sehingga tak diketahui penyebab kematiannya.

Indra tak menyerah. Lewat Pengacara Erna Ratnaningsih, yang juga Wakil Direktur Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, ia melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya. Erna yakin
terjadi malpraktek terhadap Adya. Apalagi, menurut dia, dokter yang memasang CVP, Dokter
Fahrurozi, adalah dokter residen?dokter yang masih ikut pendidikan spesialisasi anestesi di
RSCM. Dokter itu melanggar Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
karena kelalaiannya menyebabkan Adya meninggal, kata Erna. Erna juga mengadukan
atasan Fahrurozi karena tidak melakukan pengawasan terhadap bawahannya.

Gugatan kasus malpraktek kini marak di mana-mana. LBH Kesehatan, misalnya, saat ini
menangani tak kurang dari 180 kasus berkaitan dengan dugaan malpraktek. Beberapa kasus
sudah dilaporkan ke polisi, kata Iskandar Sitorus, Ketua LBH Kesehatan. Jumlah ini jauh
lebih besar dari yang ditangani LBH Jakarta. Sepanjang 2001-2004, LBH Jakarta menangani
21 kasus. Menurut Erna Ratnaningsih, tiga kasus di antaranya sudah ke pengadilan.

Banyaknya laporan pengaduan kasus dugaan malpraktek tentu saja mengkhawatirkan para
dokter. Tentu saja tak semua dokter setuju dengan istilah malpraktek ini. Mantan Ketua
Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Kartono Mohamad, misalnya, menyatakan tidak semua
kesalahan medis yang dilakukan dokter akan berujung sebagai kasus dugaan malpraktek.
Malpraktek, kata Kartono, adalah istilah hukum untuk kasus kesalahan medis yang diadukan
ke pengadilan.

Erna tak sependapat dengan Kartono. Menurut dia, seorang dokter diduga malpraktek jika
salah mengambil tindakan medis. Tindakan pembiaran pun, kata Erna, dikategorikan
malpraktek. Dokter yang seharusnya melakukan sesuatu tapi tidak melakukannya, itu pun
termasuk malpraktek. Atau sebaliknya, melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan,
tuturnya.

Erna sendiri menyatakan pihaknya tak pernah langsung menuduh seorang dokter melakukan
malpraktek. Menurut dia, LBH lebih dulu akan meminta data rekaman medis untuk
mengetahui apakah tindakan dokter sudah sesuai dengan standar atau belum. Kami
berkonsultasi dan meminta second opinion dari dokter lain berdasarkan rekaman medis itu,
katanya.

Ganjalannya: tak mudah mendapatkan rekaman medis. Pihak rumah sakit enggan
memberikan data dengan alasan milik rumah sakit, kata Erna. Meminta second opinion dari
dokter lain juga tak mudah. Karena itu, menurut Erna, perlu ada lembaga audit medis yang
independen untuk memberikan pendapat mengenai rekaman medis itu.

Ketua Umum IDI, Farid Anfasa Moeloek, memandang masalah ini dari kurangnya
komunikasi pasien dengan dokter. Farid mengakui, tindakan medis yang dilakukan dokter
kadang tak sesuai dengan harapan pasien. Menurut dia, tindakan medis yang dilakukan dokter
selalu mengandung risiko, dan tidak menjanjikan kesembuhan. Ada tiga kemungkinan:
kesembuhan, cacat, atau meninggal, kata Farid kepada Edy Can dariTempo.

Tindakan medis yang dilakukan dokter, kata Farid, sudah ada prosedurnya. Jika pun ada
dugaan malpraktek, majelis kode etik akan menanganinya, meminta klarifikasi tindakan yang
dilakukan dokter tersebut. Namun, pasien tidak bisa mengetahui tindakan dokter itu sudah
sesuai atau tidak. Hanya majelis kode etik yang mengetahuinya, kata Farid. Klarifikasi
tindakan medis seorang dokter bisa dilakukan karena adanya pengaduan masyarakat, atau
inisiatif IDI.

Bagi Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia


(YPKKI), kasus malpraktek timbul karena selama ini dokter tidak punya standar profesi.
Sejak enam tahun silam pihaknya telah menuntut perlunya standar itu bagi profesi kedokteran
dan tenaga kesehatan. Bukan standar terhadap 200 jenis penyakit yang dibuat IDI,
melainkan standar yang harus dibuat sekitar 30 perhimpunan dokter, mulai dari dokter bedah,
penyakit dalam, kebidanan, dan sebagainya, kata Marius.

Hubungan dokter dengan pasien pun menurut Marius adalah sederajat. Karena itu, jika
terjadi sesuatu, sah saja masyarakat mengatakan ini malpraktek. Sebab, aturan mainnya tidak
ada, katanya. Marius juga mengkritik dokter yang kerap mengelak dengan menyatakan
tindakan medis yang diambilnya telah sesuai dengan SOP (standard operational
procedure). Menurut dia, tak ada standar SOP di Indonesia karena, jika ada, masyarakat pasti
mengetahuinya. Kalau sekarang kan SOP-SOP-an. Rumah sakit yang satu berbeda SOP-nya
dengan rumah sakit lain, katanya.

Rancangan Undang-Undang Praktek Kedokteran, yang disahkan DPR September lalu, dinilai
tidak memihak pada pasien. Marius melihat RUU Praktek Kedokteran hanya mengatur
hulunya, dokternya, dan tidak melindungi pasien. Padahal undang-undang itu seharusnya
mencakup hulu, hilir, dan mudik, katanya. Lantaran tak adanya standar profesi dan aturan
hukum yang jelas inilah, menurut Marius, tidak bisa dibedakan antara malpraktek, kelalaian,
dan kegagalan tindakan medis seorang dokter. Dari sisi hukum, ini sulit, semua dianggap
kecelakaan, ujarnya.

Sumber: TempoInteraktif.Com, Sukma N. Loppies, 11 Oktober 2004

100 Kasus Dugaan Mal Praktek Terbengkalai

Sedikitnya 100 kasus dugaan mal praktek tidak tertangani dengan baik oleh kepolisian.
Bahkan hampir seluruh kasus gagal memenangkan gugatan pidananya.

Kalau penanganan di perdata selalu menang, tapi kalau di pidana tidak sesuai yang
diharapkan, karena tim penyidik hanya mendasarkan pada keterangan saksi ahli, ujar
Direktur LBH Kesehatan Sentot Sedayu Aji, saat mendampingi dua korban mal praktek di
Polda Metro Jaya, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Sabtu (8/3/2008).

Saksi ahli, menurut Sentot, selalu berargumen para dokter telah melakukan tindakannya
sesuai dengan SOP Kedokteran, sehingga kasus otomatis terhenti. Mestinya tim penyidik
meminta resume medis untuk dilakukan analisa, apa sudah masuk ke dalam pelanggaran kode
etik kedokteran, sesal Sentot.

Sementara itu, dua korban yang melaporkan dugaan mal praktek adalah keluarga Ibrahim
Adenan, warga Jalan Kembang III/36 RT09 RW01, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat dan
Martin, warga kompleks Setneg Blok A31 No 1 RT06 RW09, Sunter Agung, Tanjung Priok,
Jakarta Utara.

Keluarga Adenan menuntut RS Bunda Menteng yang dituding melakukan kekeliruan yang
mengakibatkan anak dalam kandungan istrinya meninggal dalam kandungan. Sedangkan
Martin kehilangan anaknya setelah menjalani dua kali operasi di RS Satya Negara.

Katanya kekurangan cairan, ternyata paskaoperasi muncul benjolan dan akhirnya


meninggal, padahal banyak biaya yang dikeluarkan untuk operasi, diagnosanya juga tidak
jelas, terang Sentot.

Dalam dua kasus tersebut, Sentot menuntut kedua rumah sakit dengan UU Praktek
Kedokteran No 29/ 2004 pasal 51 jo 79c, serta pasal 359 KUHP atas tindakan yang
mengakibatkan korban meninggal dunia.

Sumber: news.okezone.com, Yuni Herlina Sinambela, 8 Maret 2008

Dokter Kejar Setoran Memicu Malpraktek

Mata Murnawati berkaca-kaca menahan tangis. Walau sudah tiga tahun peristiwa itu berlalu,
masih terlekat jelas bagaimana Oka, putrinya, kehilangan nyawa. Barangkali hati ibu
setengah baya ini tak terlalu perih kalau kematian Oka normal-normal saja. Namun nyawa
Oka melayang dalam usia begitu muda, 5,5 tahun, justru karena tindakan malpraktek dokter.

Tiga orang dokter di sebuah rumah sakit anak terkemuka di Jakarta terlibat dalam
malpraktek yang membuat anak saya meninggal. Padahal rumah sakit tersebut sudah menjadi
langganan keluarga saya selama sepuluh tahun, ungkap Murnawati kepada pers dalam acara
peluncuran buku Sang Dokter di Jakarta baru-baru ini.

Oka yang demam disertai muntah-muntah selama satu malam tidak mendapat perawatan apa
pun dari dokter di rumah sakit. Padahal Murnawati tidak kurang rewel memohon agar
dokter segera menangani putrinya.

Dokter pertama hanya menuliskan resep tanpa menyentuh putri saya. Dokter kedua justru
menegur saya yang tidak memberi minum, padahal anak saya selalu muntah tiap kali disuapi
sesuatu. Dan dokter ketiga lagi-lagi cuma menjanjikan akan memberi resep, menyentuh anak
saya pun tidak, ujar perempuan ini dengan nada terisak. Baru setelah anaknya
menghembuskan nafas terakhir, seluruh tim medis berdatangan.

Murnawati tidak diam saja terhadap peristiwa ini. Ia menghadap direktur rumah sakit dan
mengadukan semuanya. Sang direktur berjanji akan menindak tegas dokter-dokternya. Tapi
hari berganti minggu dan minggu berganti bulan, ketiga dokter tersebut tetap bebas merdeka
berpraktek di rumah sakit yang sama.

Ibu tiga anak ini tak patah semangat. Ia bahkan berani mengadu ke Menteri Kesehatan
(Menkes) saat itu, Dr.FA. Moeloek. Namun sampai era Menkes saat ini, Ahmad Sujudi, kerja
keras Murnawati belum mendapat titik cerah. Sekarang ibu ini tengah menunggu proses
tuntutan terhadap ketiga dokter tersebut melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Ia
tak tergoda dengan tawaran uang ganti rugi sebesar Rp10 juta dari rumah sakit. Tuntutan
ganti rugi yang diajukannya Rp 1,5 miliar, tanpa bergeming sepeser pun.

Murnawati hanya salah satu dari warga masyarakat yang dirugikan oleh kesalahan ahli medis
berprofesi dokter. Menurut Dr. Hendrawan Nadesul, dokter sekaligus kolomnis pemerhati
masalah sosial, antara dokter dengan pasien ada satu jurang yang luar biasa dalam.

Dari hari ke hari, dokter menjadi tambah pintar berkat makin banyaknya kasus dan
pergaulan sesama dokter. Tapi di sisi lain pasien tak pernah bertambah pintar. Mereka adalah
orang awam yang polos, lugu dan pasrah pada apa kata dokter, papar Hendrawan yang
banyak mengasuh rubrik konsultasi kesehatan di media massa ini.

Ibarat kata, kalau ada pertandingan antara tim dokter melawan tim pasien maka selamanya
tim pasien tidak akan pernah bisa menang melawan. Kondisi memprihatinkan macam inilah
yang kerap terjadi di Indonesia.

Memang tidak semua dokter berlaku sewenang-wenang terhadap pasien. Semua kembali
pada tipe dokter macam apakah ia. Dr. Bahar Azwar, penulis buku Sang Dokter
mengategorikan dokter di Indonesia ke dalam empat tipe.

Pertama adalah dokter dengan jurus angin puyuh, yakni terdapat di banyak klinik swasta.
Rata-rata pasiennya 40-50 orang per hari. Ia buka praktik dari pukul 16.00 sampai pukul
22.00. Dikurangi waktu untuk acara makan ringan, sembahyang, berarti ia memberi waktu
enam menit per pasien, papar dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Siaga Raya, Jakarta ini
pada kesempatan serupa.

Tipe kedua adalah dokter ban berjalan. Bahar memberi contoh dokter kebidanan di sebuah
rumah sakit swasta dengan pasien rata-rata 30 orang, sedangkan jam praktiknya hanya dua
jam. Para pasien akan disuruh antri di beberapa tempat tidur sekaligus. Saat memeriksa
tempat tidur pertama, pasien lain disuruh membuka baju, begitu seterusnya. Mirip dengan
tipe angin puyuh, dokter jenis ini harus cepat bertindak dan menekankan efisiensi.

Dokter memukul angin adalah tipe ketiga. Di sini terjadi di mana sekali periksa, seorang
dokter langsung memutuskan agar pasien dioperasi tanpa banyak perundingan dengan pasien
atau keluarganya. Dan tipe terakhir adalah yang jarang ditemui di kota besar, yakni dokter
amanah. Biasanya dokter ini ada di desa-desa terpencil, di mana pasiennya tidak bisa
membayar dengan uang nominal.

Sumber: sinarharapan.co.id, Merry Magdalena, 2002

Penyelesaiannya (dalam Kursus Singkat Tenaga Penanganan Dini Konflik Etikolegal dan
Sengketa Medik di Rumah Sakit), 2001
[2] Haryatmoko: Memahami Konflik Etiko-legal dari Perspektif Etika Sosial (dalam
Kursus Singkat Tenaga Penanganan Dini Konflik Etikolegal dan Sengketa Medik di Rumah
Sakit). Jakarta. 2001
[3] Agus Purwadianto. op.cit. 2001
1 Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor: HK.00.06.2.3.730 tahun 1995
[5] Sintak Gunawan: Fungsi, Struktur, dan Peran Komite Etik Rumah Sakit, 2004
[6] Soeraryo Darsono: Perlindungan Hukum bagi Dokter (makalah disampaikan pada HUT
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro, Klaten 2003)
[7] Ibid
[8] Soeraryo Darsono: Perlindungan Hukum bagi Dokter, 2003

Anda mungkin juga menyukai