Sejak awal sejarah umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan
antara dua insan yaitu manusia penyembuh dan pasien. Dalam zamar' modern, hubungan ini disebut transaksi atau kontrak terapetik antara dokter dan pasien. Hubungan ini. dilakukan secara konfidensial, dalam suasana saling percaya mempercayai, dan hormat menghormati.1 Sejak terwujudnya praktik kedokteran, masyarakat mengetahui dan mengakui adanya beberapa sifat mendasar yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan moral yang tidak diragukan.1 Dalam sejarahnya, etika kedokteran bermula dari kodik (code) Hammurabi dari Babylonia tahun 2000 SM. Dokumen ini berisi kompetensi pelayanan medis (kedokteran), pengaturan honorarium dan ketentuan yang bersangkutan dengan malpraktik beserta sanksinya. Suatu dokumen yang memuat pesan moral pertama kali ditemukan pada sumpah hipocrates 400 SM. Sumpah ini kemudian disepakati sebagai dasar (cornerstone) etika kedokteran pada umumnya dan kedokteran Barat pada khususnya.2 Imhotep dari Mesir, Hippokrates dari Yunani, dan Galenus dari Roma, mempakan beberapa pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendi awal terbinanya suatu tradisi kedokteran yang luhur dan mulia. Tokoh-tokoh ilmuwan kedokteran Internasional yang tampil kemudian seperti Ibnu Sina (Avicena) dokter Islam dari Persi dan lainlain, menyusun dasar-dasar disiplin kedokteran tersebut atas suatu Kode Etik Kedokteran internasional yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.1
1 Amir, Amri dan M. Jusuf Hanifah. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC. 2012. Hlm. 272. Daldiyono, dr, Dr, Prof. Bagaimana Dokter Berpikir Dan Bekerja, menuju seni ilmu kedokteran, PT. Gramedia pustaka utama. Jakarta. 2006. Hlm 403