Anda di halaman 1dari 119

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

SKRIPSI

MUHAMMAD RAMADHIANSYAH 2004 41 272

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ESA UNGGUL JAKARTA 2010

UNIVERSITAS

ESA UNGGUL

Kampus Emas : JL. Arjuna Utara No. 9, Tol Tomang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertandatangan dibawah ini : NAMA NIM JUDUL : MUHAMMAD RAMADHIANSYAH : 2004-41-272 : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN

HUKUM PIDANA DI INDONESIA .

Menyatakan bahwa isi skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap-tiap satunya telah saya sebutkan sumbernya.

Jakarta, 28 Agustus 2010 Penulis

( MUHAMMAD RAMADHIANSYAH)

UNIVERSITAS

ESA UNGGUL

Kampus Emas : JL. Arjuna Utara No. 9, Tol Tomang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510

TANDA PESETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

NAMA NIM JUDUL

: MUHAMMAD RAMADHIANSYAH : 2004-41-272 : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN

HUKUM PIDANA DI INDONESIA.

Dosen Pembimbing

(Nugraha Abdulkadir, SH, M.H)

Mengetahui,

(Wasis Susetio, SH, M.A, M.H) Ka. Program Kekhususan Hukum pidana

ii

UNIVERSITAS

ESA UNGGUL

Kampus Emas : JL. Arjuna Utara No. 9, Tol Tomang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

NAMA NIM JUDUL

: MUHAMMAD RAMADHIANSYAH : 2004-41-272 : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan siding Penguji Skripsi Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul pada tanggal 28 Agustus 2010 dan telah dinyatakan: LULUS Tim Penguji Ketua Sidang Wasis Susetio, S.H, M.A, M.H. Pembimbing Nugraha Abdulkadir, SH, M.H Penguji I : ( ( ) ) : ( ) : ( )

1. Nur Hayati, S.H, M.Kn. 2. Henry Arianto, S.H, M.H.

iii

ABSTRAK Euthanasia, mati layak atau mati yang baik atau kematian yang lembut, tenang dan tanpa penderitaan, mulai mendapat perhatian khalayak ramai karena keberadaannya yang kontraversial dan banyak bersinggungan dengan hukum, agama, moral ataupun HAM. Bagi dokter euthanasia merupakan suatu dilemma di samping teknologi kedokteran telah sedemikian maju, sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang secara vegetatif sedangkan di sisi lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak individu (hak pasien) juga berkembang tidak kalah pesat. Berdasarkan hal tersebutlah, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai keberadaan euthanasia di Indonesia dilihat dari perspektif dunia kedokteran, agama, dan hukum yang berlaku. Normatif empiris yang bersifat deskriptis analisis dengan pendekatan yuridis dirasa sangat cocok untuk membantu penulis dalam menentukan kesimpulan dari peneilitian ini. penulis telah melakuakan penilitian yang sifatnya mewawancarai berapa narasumber dari beberapa organisasi keagamaan dan pakar hukum kesehatan yang dapat disimpulkan dari semuanya bahwa hasil wawancara semua organisasi keagamaan adalah tidak membenarkan adanya tindakan euthanasia karena nyawa manusia bukan ditentukan oleh manusia tetapi ditentukan oleh Tuhan. Sedangkan menurut pendapat pakar hukum kesehatan euthanasia tidak dapat terjawabkan selama definisi dari mati di Indonesia belum jelas, apabila definisi tentang mati telah dapat diketahui maka pro dan kontra akan hal tersebut akan terjawab. Sedangkan di Indonesia tidak ada pengaturan perundang-undangan yang jelas akan larangan adanya tindakan euthanasia di Indonesia. Walaupun pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia pada pasal 344 KUHP sering disebut sebagai pasal larangan tentang euthanasia, namun pada dasarnya pasal tersebut tidak sepenuhnya dapat mengatasi kesimpangsiuran, baik pro dan kontra masalah tentang euthanasia di Indonesia baik bagi pihak para medis maupun masyarakat atau pasien maupun keluarga pasien, maka saran dari penulis terkait dengan masalah yang menjadi judul skripsi ini yaitu Pertama, Ditujukan kepada Pemerintah/Pejabat yang berwenang, agar adanya kejelasan tentang pengaturan euthanasia di Negara Indonesia, agar mendapatkan kejelasan atas pro dan kontra di masyarakat dapat teratasi, dengan cara: membuat Undang-undang yang menjelaskan tentang euthanasia baik itu dilarang atau tidak dilarang dengan pengecualian-pengecualiannya dengan berdasarkan dari aspek-aspek pendukung lainnya seperti aspek agama, psikologis, dll, maupun definisi dari mati itu sendiri. Dimana aturan tersebut sesuai dengan keadaan masyarakat dan permasalahan yang ada di masyarakat. Diharapkan peraturan tersebut dapat menyelesaikan permasalahanpermasalahan tersebut. Dan juga kepada Departemen terkait dan Organisasi organisasi keagamaan agar memeberi penyuluhan terhadap masyarakat, sehingga masyarakat lebih mengerti apa inti dari permasalahan yang disebut euthanasia.

iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam

menyelesaikan program pendidikan Strata 1 (S-1) guna mendapatkan gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul. Mengingat sangat terbatasnya pengetahuan dan kemampuan penulis, maka tentunya dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Yang terhormat Fachri Bey, SH. MM, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta. 2. Heru Susetyo, SH, L.L.M, M.Si, selaku Pudek I Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul. 3. Dhoni Yusra, SH, M.H selaku Pudek II Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul. 4. Wasis Susetio, SH, MA, M.H selaku Pudek III Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul.
v

5. Yang terhormat Nugraha Abdulkadir, SH, M.H, selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pemikirannya serta telah membimbing dan memberikan nasehat-nasehat kepada penulis dengan segala kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Yang terhormat Ibu Fitria Olivia, SH, M.H, selaku program kekhususan Hukum Ekonomi yang telah membantu penulis dalam memberikan banyak bantuan dan bimbingan dalam belajar disaat penulis menjalani masa perkuliahan. 7. Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Mba Nina dan Mba Ika yang selalu siap membantu disaat di butuhkan kepada Penulis dan telah membantu penulisan dalam hal administrasi selama Penulis kuliah di Fakultas Hukum. 8. Terima kasih kepada Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul yang telah memberikan wawasan yang luas dan ilmu yang bermanfaat bagi Penulis. 9. Terima kasih yang tak terhingga teruntuk yang tercinta Papa M. Adam, SH dan Mama Dra.Cut Rozanna yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta doa yang sangat tulus sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang tidak henti-hentinya memberikan kasih sayangnya dan perhatiannya pada Penulis, (skripsi ini abang persembahkan untuk papa dan mama, maaf abang lulusnya terlambat).

vi

10. Terima kasih kepada kakek H. Yusuf Daud dan nenek Hj. Asda Yusuf, SH yang telah memberikan dukungan serta doa kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan. 11. Kepada adik-adik ku Muhammad Rizkiansyah dan Dinda Aprilita putri terima kasih selalu mendukung dan mendoakan penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Serta terima kasih kepada seluruh keluarga besar yang selalu mendukung serta mendoakan Penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Serta terima kasih untuk Algra yang sudah membantu penulis. 12. Ucah ku Yang telah hadir di dalam kehidupan penulis, membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini hingga rela untuk begadang dan selalu memberikan semangat kepada penulis disaat penulis merasa jenuh

menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas hubungan yang abstrak namun nyata, adik junior ku yang takkan terlupakan RESTI RUMSYAH SH. 13. Terima kasih yang tak terhingga teruntuk Bapa dan Ibu yang ada di Cianjur yang telah memberikan dukungan moril sehingga Penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Dan tidak lupa penulis ucapkan terima kasih untuk keluarga di Cianjur mohon maaf Rama selalu merepotkan kalau datang ke Cianjur. 14. Terima kasih kepada Bapak DR. KH. M. Hamdan Rasyid, MA. Sebagai ketua MUI, Propinsi DKI Jakarta yang telah banyak membantu penulis dalam menujang data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan skripsi ini.

vii

15. Terima kasih kepada Bapak Dr. Faiq Bahfen sekalu pakar hukum kesehatan dan kedokteran pada Staf Ahli di Departemen kesehatan RI. 16. Terima kasih kepada Bapak Romo Ruby Santamoko S.ag MMPD selaku Wakil sekjen dari pihak perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI). 17. Terima kasih kepada Bapak DR. Nyoman Budiarna, MH dan Bapak I Gusti Komang Widana S.Ag.M.Fil.H. Selaku perwakilan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia yang membantu penulis untuk memberikan sumber-sumber guna untuk merampunkan skripsi ini. 18. Terima kasih kepada Bapak Novel Matindas, M.TH selaku perwakilan dari persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancara. 19. Terima kasih banyak kepada kedua sahabat ku Dimas Prianto S.com dan Ahmad Syaifullah S.com beserta keluarga, yang selalu mendukung dan mendoakan Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak. (Kalian berdua memang sahabat sepanjang masa.) 20. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Teman-teman seperjuangan ku: Rani Kubangkidol, Pradit, Wahyu Wibisono, Mas Adit, Aldimar, Alif, Fanni Permadi, Eka Media Ramadhan, Ikbal, Metha Ramadhani, Engkong, Asep Uban, Agung Tabrani, Alex, Bayu Febriono, Denis, Bedul, Fajri, Uyung, Majos, Lanov, Lucky, Gepeng, Gamma, Ray, Sures, Toto, Mahong, Tohap, Binsar, Angga, Febry Wonkenobi, Mba boy, Tika dan Ivan, Fattah dan Yai, A Dicky Ali permana SE, Mas Tukiyoo, Ivan dan Tya (Resident Net), Rama mardika, Tim Futsal Hard kids Serta ucapan terima kasih Kepada Culun

viii

Communnity tempat dimana penulis bernaung dan semua teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih banyak untuk kalian semua. 21. Serta kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, semoga amal baik dan dukungan kalian mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin Penulis berharap skripsi ini membawa manfaat bagi penulis khususnya bagi masyarakat umumnya. Wassalamualaikum Wr.Wb.

Jakarta,28 Agustus 2010

MUHAMMAD RAMADHIANSYAH

ix

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .i LEMBAR TANDA PERSETUJUAN PEMBIMBING ..ii LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI....iii ABSTRAK .iv KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI ...x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang.. 1 B. Pokok Permasalahan..... 6 C. Tujuan Penulisan... 6 D. Metode Penelitian.. 7 E. Definisi Operasional 11 F. Sistematika Penulisan ..13 BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI EUTHANASIA A. Pengertian Euthanasia 15 B. Perkembangan Euthanasia...19 C. Bentuk-Bentuk Euthanasia. 24

D. Macam-Macam Euthanasia 26 1. Euthanasia Dari Sudut Bentuk..27 2. Euthanasia Dari Sudut Otonomi Penderita...... 29 3. Euthanasia Dari Sudut Motif dan Prakarsa...... 29 4. Euthanasia Semu ..... 29

E. Euthanasia Dari Berbagai Macam Perspektif..31 1. Menurut Pandangan Agama .31 a) Dalam Ajaran Gereja Katolik.....31 b) Dalam Ajaran Agama Hindu ..32 c) Dalam Ajaran Agama Buddha........34 d) Dalam Ajaran Agama Islam ...34 e) Dalam Ajaran Agama Protestan .... 37 2. Euthanasia Menurut Pandangan Hukum ..39 a) Menurut Hukum Kesehatan ...39 b) Menurut Kode Etik Kedokteran ....43 c) Euthanasia Menurut Pandangan HAM ..44 BAB III TINJAUAN MENGENAI EUTHANASIA BESERTA PERMASALAHAN - PERMASALAHANNYA A. Permasalahan Dalam Euthanasia 46 B. Perkembangan Euthanasia Di Berbagai Negara .........53 1. Negara Belanda ....53 2. Negara Amerika Serikat 54
xi

3. Negara Jepang... 55 4. Negara Uruguay ... 56 5. Negara Cekoslovakia ....56 C. Euthanasia Menurut Pandangan Hukum kedokteran ......56 BAB IV EUTHANASIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF AGAMA & HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Euthanasia Ditinjau Dari Perspektif Agama Di Indonesia...64 1. Menurut Pandangan Agama Islam (MUI)66 2. Menurut Pandangan Buddha (WALUBI).70 3. Menurut Pandangan Kristen (PGI)...72 4. Menurut Pandangan Hindu (PHDI)..75

B. Euthanasia Berdasarkan Dari Perspektif Hukum Di Indonesia serta menurut undang-undang kesehatan No 36 tahun 2009. 78 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN... 95 B. SARAN....... 96 DAFTAR PUSTAKA BIODATA LAMPIRAN

xii

xiii

xiv

BAB I PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG Dalam kehidupan, lahir dan mati adalah sesuatu yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada setiap mahluk ciptaan-Nya. Kehidupan dan kematian adalah sebuah takdir, demikianlah pendapat dari sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa itu merupakan suatu kenyataan di dalam kehidupannya, dan tidak ada seorang pun yang dapat menghindari atau menentukan mengenai kelahiran dan kematian yang dapat terjadi pada siapa pun. Dalam hal ini melalui pesatnya kemajuan teknologi di bidang kedokteran, seorang pasien dapat dengan mudah mendapatkan hasil diagnosa suatu penyakit dengan cepat, akurat, dan sempurna. Dengan ditunjang oleh peralatan kedokteran yang sudah sangat modern sehingga rasa sakit yang diderita seseorang dapat diringankan, bahkan dapat disembuhkan dalam waktu yang sangat singkat, maka hidup seseorangpun dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang bisa diperkirakan hanya dengan memasang sebuah alat yang dinamakan respirator. Respirator adalah sebuah alat yang dapat menghasilkan oksigen untuk membantu pernafasan seorang pasien yang biasa

berbentuk seperti masker atau selang yang ujungnya langsung dimasukan ke dalam rongga pernafasan seperti hidung 1 Namun setiap orang memiliki pemikiran tersendiri dalam menyikapi dan menghadapi suatu permasalahan. Sebagian besar orang mungkin bisa menerima dengan lapang dada ketika dokter memvonis bahwa ia mengidap suatu penyakit yang nihil kemungkian untuk disembuhkan, misalnya AIDS, kanker, dan lain-lain. Sebagiannya orang juga berusaha mati-matian dengan rela membayar sejumlah uang yang tidak sedikit untuk kesembuhannya. Selain itu beberapa orang mengalami depresi, putus asa, stres, dan berpikir ingin mengakhiri hidupnya karena tidak mempunyai biaya untuk pengobatan atau selain itu karena sudah tidak sanggup menahan rasa sakit yang ditimbulkan akibat penyakit tersebut, maka orang itu meminta untuk diakhiri hidupnya, dimana hal ini disebut dengan euthanasia. Secara umum dapat dijabarkan ada 3 (tiga) jenis euthanasia , yaitu : 1. Euthanasia aktif, yaitu secara sengaja melakukan tindakan, langkah, perbuatan mengakhiri atau memperpendek hidup penderita. 2. Euthanasia pasif, yakni secara sengaja tidak (lagi) memberikan perawatan atau bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup penderita. 3. Auto-euthanasia, yakni penolakan secara tegas oleh pasien untuk memperoleh bantuan atau perawatan medis terhadap dirinya, dan ia tahu pasti bahwa hal itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. 2

1 Pengertian Respirator tersedia di (http://bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=respirator) 2 Chisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman ,(Jakarta : EGC, 2006), hlm 182.

Euthanasia mulai menarik dan mendapat perhatian dunia, setelah diadakannya Konferensi Hukum Sedunia pada tahun 1977 dimana dalam Konferensi tersebut ada disebutkan tentang hak untuk mati. Kodrat daripada hak manusia yang terutama adalah hak untuk hidup yang mana di dalamnya tercakup pula adanya hak untuk mati. Mengenai hak untuk hidup telah diakui oleh dunia dengan adanya Universal Declaration of Human Rights oleh Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 10 Desember 1948. Mengenai hak untuk mati, karena tidak dicantumkan secara tegas dalam deklarasi tersebut maka hal itu masih merupakan pembicaraan dan perdebatan di kalangan para ahli dari berbagai Negara. Pada kenyataannya, perdebatan tentang euthanasia memang telah di perkirakan oleh beberapa ahli, bersama beberapa masalah lainnya, yakni transplantasi organ tubuh manusia, Inseminasi buatan, Sterilisasi, bayi tabung dan abortus provokatus (pengguguran kandungan). Kontroversi masalahmasalah tersebut lebih terfokus kepada soal moralitas, etika maupun hukumnya. Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran yang begitu pesat akhir-akhir ini, ternyata tidak diikuti dengan kemajuan di bidang hukum dan etika. Profesor Separovic, seorang pakar Hukum Kedokteran, menyatakan : Contemporary developments have posed a whole series of new problem. One could even say: if medicane is in trouble because of too much change, law is in trouble because of too little change.3 Bagi seorang dokter, masalah euthanasia merupakan suatu dilema yang menempatkannya pada posisi yang sangat sulit. Di satu pihak teknologi
3

Ibid.,hlm 180.

kedokteran telah sedemikian maju, sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun hidup yang vegetatif atau vegetatif state4); sedangkan di sisi lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga berkembang tidak kalah pesat. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini telah dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral dan hukum.5 Dalam prakteknya, Hak Asasi Manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, hak atas pendidikan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, justru tidak tercantum dengan jelas mengenai hak seseorang untuk mati itu sendiri. Bahkan dalam HAM kata-kata mati identik dengan pelanggaran HAM itu sendiri. Secara tidak sadar timbul pola pikir dalam masyarakat bahwa hidup dan mati merupakan hak pribadi atau yang biasa disebut dengan The Right of Self-Determination (TROS). Sehingga mengakhiri hidupnya sendiri seakan-akan menjadi pilihan yang sah dan penolakan atas pengakuan hak untuk mati adalah pelanggaran terhadap HAM. Akan tetapi, hukum positif di Indonesia lebih tepatnya hukum pidana yang mengharamkan eutahanasia adalah suatu perbuatan yang melawan hukum. Hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi :

Sintak Gunawan, tersedia cetak/0505/04/ilpeng/1726494.htm, Rabu, 4 Mei 2005.


5

di

(http://www2.kompas.com/kompas

Chrisdiono M. Achdiat, Op Cit., hlm 181.

Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.6 Selain itu juga demikian tampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan euthanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara Indonesia memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia dilakukan terhadap siapapun. Begitu juga dengan kaum religius yang tidak membenarkan

dilakukannya euthanasia dalam kondisi apapun meskipun yang bersangkutan memintanya sendiri. Lalu bagaimanakah dengan pasien penderita penyakit yang kecil kemungkinannya untuk sembuh, yang harus menahan rasa sakit dan penderitaan yang begitu luar biasa setiap detiknya? Mungkin mati adalah satusatunya pilihan yang terlintas di otak mereka atau mungkin sudah tidak memiliki biaya pengobatan lagi? Lalu bagaimana dengan pasien yang sakit dan menolak pengobatan atau meminta dihentikan pengobatannya, apakah hal tersebut termasuk ke dalam euthanasia? Dengan keberadaan permasalahan di atas, penulis termotivasi untuk menganalisa dan mengkaji yang akan dituangkan dalam bentuk penulisan skripsi terkait dengan permasalahan euthanasia dilihat dari perspektif hukum pidana di Indonesia dengan judul skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA.

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2005), hlm.

124.

B.

POKOK PERMASALAHAN Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah terurai di atas dan judul penelitian tentang Euthanasia ditinjau dari perspektif hukum pidana di Indonesia, maka penulis akan meneliti, dan menganalisa, pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Bagaimanakah euthanasia ditintau dari segi hukum pidana atau perbuatannya? 2. Bagaimanakah akibat hukum dari perbuatan euthanasia di Indonesia?

Dengan merumuskan ruang lingkup permasalahan tersebut, maka penulis sekaligus akan membatasi penulisan skripsi ini sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan. C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini disusun sesuai berdasarkan dengan uraian di dalam perumusan masalah yaitu : 1. Untuk mengetahui bagaimana euthanasia ditinjau dari segi hukum pidana atau perbuatannya. 2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari perbuatan euthanasia di Indonesia.

D.

METODE PENELITIAN Metode penelitian atau metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang ilmuan mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya. Menurut Webster Dictionary, scientific method adalah principles and procedures for the systematic pursuit of knowledge involving the recognition and formulating and testing of hypotheses. Sebenarnya yang pertama mengemukakan tentang metode ilmiah secara sistematis adalah Francis Bacon. Meskipun, formulasi yang ia kemukakan mengalami beberapa penyempurnaan, secara umum apa yang dikemukanan oleh Bacon tersebut dapat diterima sejak abad XVII sampai dengan saat ini. 7 Dalam buku hasil karya Peter Mahmud Marzuki, penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang seksama, penuh ketekunan dan tuntas terhadap suatu hal tertentu dengan tujuan mengembangkan ilmu pengetahuan yang menyangkut kegiatan-kegiatan menganalisa menggunakan metode tertentu yang sistematis dan konsisten terhadap suatu cara tertentu.8 Dalam penelitian ini, langkah-langkah penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini secara sistematis adalah penentuan metode yang digunakan, menentukan sumber data dan jenis data, teknik pengumpulan data, dan analisis data sebagai berikut :

Peter marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 26. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III ( Jakarta : UI-press, 1986), hlm.

3.

1. Tipe penelitian Tipe penelitian yang dipakai oleh penulis adalah tipe penelitian Hukum Normatif Empiris, dimana penelitian hukum Normatif disebut juga penelitian kepustakaan (Library Research), adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menelusuri dan menelaah dan menganalisis bahan pustaka atau bahan dokumen siap pakai. Kegiatan yang dilakukan dapat dalam bentuk menelusuri peraturan, mengumpulkan data, membaca dan membuat rangkuman. Penelitian hukum bentuk ini dikenal dengan legal research, dan jenis data yang akan diperoleh adalah data sekunder. Kegiatan yang dilakukan memiliki berbagai macam bentuk, antara lain: menelusuri dan menganalisis peraturan, mengumpulkan data, membaca dan menganalisis data.9 Menurut Soerjono Soekanto & Sri Mamudji pada penelitian hukum Normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Penelitian Hukum Empiris dikenal juga dengan penelitian lapangan ( Field Research) adalah pengumpulan materi atau bahan penelitian yang harus diupayakan atau dicari sendiri dikarenakan belum tersedia. Kegiatan yang dilakukan dapat berbentuk membuat daftar wawancara dan diikuti dengan mencari serta mewawancarai para informan,

Valerine J.L. Krickhon, Penelitian Kepustakaan dan Lapangan dalam penulisan skripsi, ( Jakarta : Universitas Tarumanagara, 1996), hlm. 18

menyusun kuisioner dan kemudian mengedarkan kuisioner itu pada responden, melakukan pengamatan.10

2. Sifat Penelitian Sifat penulisan yang penulis gunakan di dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat Deskriptif Analisis. Sifat penelitian deskriptif analisis adalah karangan yang melukiskan sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sehingga pembaca dapat melihat, mendengar, merasakan, apa yang dilukiskan itu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penulis. Penelitian deskriptif analisis mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-

pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruhpengaruh dari suatu fenomena.

3. Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan yuridis yaitu dengan pendekatan berdasarkan ilmu hukum yang ada, khususnya mengenai Euthanasia dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia.

10

Ibid,

4. Teknik Pengumpulan Data A. Penelitian Kepustakaan Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder guna memperoleh bahan-bahan hukum : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Kode Etik Kedokteran (KODEKI), Undangundang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran. 2. Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum khususnya di bidang hukum. B. Wawancara Melakukan wawancara dengan informan yang merupakan pihak yang berwenang sehubungan dengan masalah yang diteliti dengan cara mengadakan tanya jawab dengan cara seperti mewawancarai instansi-instansi terkait baik itu pemerintah ataupun non-pemerintah yang berkaitan guna pengumpulan data pada penulisan ini.

10

5. Analisis Data Analisis penelitian dilakukan secara kualitatif baik terhadap data sekunder ataupun data primer yang sudah dikumpulkan dan diolah guna perumusan kesimpulan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E.

DEFINISI OPERASIONAL Guna menghindarkan kesalahan pengertian dan memberikan pegangan dalam penulisan skripsi ini, dirasakan perlunya definisi operasional yang berasal dari beberapa konsep yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini. Definisi operasional disusun berdasarkan data sekunder atau pendukung yaitu berupa data-data yang diambil dari bahan pustaka yang didasarkan pada sumber dokumen atau bahan bacaan berupa Undang-undang. Hasil-hasil seminar, hasil karya dan pemikiran dari kalangan hukum, dan kamus-kamus. 1. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.11 2. Euthanasia adalah mati dengan baik. 12 3. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri di dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan ataupun keterampilan

Indonesia (b), Undang-undang Republik Indonesia tentang Kesehatan, UU No.23 Tahun 1992, LN No.100 Tahun 1992. Aris Wibudi, Euthanasia, Tersedia di (http://tumoutou.net/702_04212/aris_wibudi.htm), 30 Mei 2002.
12

11

11

melalui pendidikan di bidang kesehatan untuk jenis tertentu yang diperlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. 13 4. Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.14 5. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter.15 6. Vegetatif state adalah keadaan dimana seseorang masih bernapas spontan, respons tubuh terhadap cahaya dan bunyi masih ada, masih bisa menelan, namun tidak ada tanda-tanda kesadaran, fungsi otak besar, dan emosi.16 7. Tindakan medis adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien berupa diagnosa atau terapeutik.17 8. Hak adalah suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum.18 9. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan.19

13

Ibid,

Indonesia (c), Undang-undang Republik Indonesia tentang Kedokteran, UU No.29 Tahun 2004, LN No.116 Tahun 2004.
15

14

Ibid., hal. 6.

Sintak Gunawan, Euthanasia Dan HAM, Tersedia di (http://www2.kompas.com/kompascetak/0505/04/ilpeng/1726494.htm). Rabu, 4 Mei 2005.
17

16

Hendrojono Soewono, Op.Cit., hal. 17. Ibid. Yadianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung, M2S : 1997). hal. 675.

18

19

12

10. Hukum positif adalah hukum yang berlaku di suatu masyarakat pada tempat dan waktu saat ini. 20 11. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. 21

F.

SISTEMATIKA PENULISAN Maksud dan tujuan dari sistematika penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh mengenai pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas. Sistematika penulisan skripsi ini akan di bagi menjadi 5 (lima) bab, sebagai berikut :

BAB I

PENDAHULUAN Membahas tentang latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS MENGENAI EUTHANASIA Pada bab ini akan diuraikan mengenai eutahanasia yang ditinjau secara umum dari sejarah, pengertian, jenis jenisnya euthanasia . yang kemudian akan dilanjutkan dengan

Soleh Hasibuan, Hukum Positif Indonesia, (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid), Senin 16 Oktober 2008. Wahyu Sutanto, Pengertian Hukum Pidana, (http://id.Wikipedia.org/wiki/Hukum_Pidana), Kamis 30 April 2009.
21

20

Tersedia

Tersedia

di

13

membahas

euthanasia

menurut

pandangan

kedokteran,

pandangan agama serta Hukum dan HAM.

BAB III

TINJAUAN

MENGENAI

EUTHANASIA

BESERTA

PERMASALAHAN-PERMASALAHANNYA. Dalam bab ini mengungkapkan masalah-masalah yang berhubungan dengan euthanasia di Indonesia dan di beberapa negara di luar Indonesia serta contoh-contoh pelaksanaan euthanasia dan perbedaan euthanasia dengan pseudoeuthanasia.

BAB IV

EUTHANASIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF AGAMA & HUKUM PIDANA DI INDONESIA Pada bab ini akan dibahas mengenai euthanasia dalam perspektif agama & hukum pidana di Indonesia, serta menguraikan kasus-kasus euthanasia di dalam negeri serta kasus-kasus di luar negeri.

BAB V

PENUTUP Pada bab ini diuraikan mengenai kesimpulan pembahasan dan saran-saran dari penulis setelah dilakukannya penelitian, pengkajian dan analisa data yang didapat.

14

BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI EUTHANASIA

A. PENGERTIAN EUTHANASIA Pada dasarnya lahir dan mati adalah suatu takdir dan itu adalah sesuatu yang hanya dapat ditentukan oleh Sang Pencipta. Demikianlah pendapat sebagian besar masyarakat Indonesia dan tidak ada seorangpun yang dapat menghindari atau menentukan mengenai kelahiran dan kematian. Dalam hal ini kelahiran dapat terjadi baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki, begitu pula kematian dapat terjadi baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki. Selain itu karena faktor umur seseorang yang sudah tua, penyakit, kecelakaan, bunuh diri, bahkan dengan diakhiri nyawanya oleh orang lain dengan kata lain dengan cara dibunuh, semua ini menurut sebagian besar masyarakat Indonesia adalah sebuah takdir. Takdir ini tidak dapat ditentang bagi semua umat manusia yang memiliki kepercayaan terhadap agamanya masing-masing. Sudah menjadi hakikatnya bahwa kelahiran selalu membawa kebahagiaan dan kematian selalu membawa kesedihan. Kematian secara alamiah atau secara normal, selalu dapat diterima sebagai hal yang wajar, sebab manusia pada saatnya akan mati, tetapi bila mati tidak secara alamiah adalah mati yang tidak diharapkan atau mati secara tidak wajar.

15

Membicarakan kematian sangatlah berkaitan dengan diagnosis kematian dunia medis. Dalam hal ini diagnosis kematian dapat diuraikan menjadi 3 (tiga) hal sebagai berikut : 22 1. Berhentinya pernafasan. 2. Berhentinya denyut jantung. 3. EEG menjadi datar (menentukan otak tidak memproduksi listrik lagi). Yang dimaksud dengan kematian secara normal adalah kematian secara alami atau wajar, seperti mati karena faktor usia, kecelakaan, atau yang lainnya. Sedangkan mati secara tidak alamiah adalah mati karena bunuh diri, minta dimatikan (dibunuh), atau yang biasa dikenal dengan sebutan Euthanasia. Istilah Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu EUTHANASIA. EU = baik, dan THANATOS = mati, secara keseluruhan diartikan sebagai kematian yang senang dan wajar.23 Kemudian istilah ini diartikan sebagai Pembunuhan tanpa penderitaan terhadap pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi, yang dalam bahasa Inggris lebih populer dengan sebutan istilah mercy killing .24 Jadi secara harafiah euthanasia dapat diartikan sebagai mati layak atau mati yang baik ataupun kematian yang lembut, tenang dan tanpa penderitaan.
Pertus Yoyo Karyadi, Eutahanasia Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia (Bandung : 2001, Penerbit ), hlm. 21.
23 22

Imron Halimy, Euthanasia cara mati terhormat yang modern .(Solo : Ramadhani , 1990),

hlm. 35.
24

Ibid., hlm. 35.

16

Beberapa pengertian tentang euthanasia pun dikemukakan oleh para ahli, yaitu :25 1. Menurut pendapat St. Thomas dalam analisisnya, euthanasia adalah bentuk pengakhiran hidup yang penuh sengsara secara bebas dan dengan berhenti makan atau dengan minum racun yang membinasakan. 2. Menurut pendapat Gezondheidsraad, bahwa euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja memperpendek hidup ataupun dengan sengaja tidak berbuat untuk memperpanjang hidup demi kepentingan pasien oleh seorang dokter atau bawahannya yang bertanggung jawab padanya. 3. Menurut pendapat Van Hattum, euthanasia adalah sikap mempercepat proses kematian pada penderita-penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud untuk membantu korban menghindarkan diri dari penderitaan dalam menghadapi kematiaannya dan untuk membantu keluarganya menghindarkan diri melihat penderitaan korban dalam menghadapi saat kematiannya. Lemerton dan Thiroux menyusun 4 (empat) kategori yang berkaitan dengan euthanasia, yaitu membiarkan seseorang mati, kematian belas kasihan, pembunuhan belas kasihan, dan kematian otak atau batang otak.26

25

Ibid, hlm 27-28

17

Setelah itu Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dikenal 3 (tiga) pengertian yang berkaitan dengan Euthanasia, yaitu: 1. berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir; 2. ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si pasien yang menderita sakit dengan memberikan obat penenang; 3. mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya 27 Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut :28 1. 2. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu; Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak

memperpanjang hidup pasien. 3. 4. 5. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Ada atau tidaknya permintaan dari pasien maupun keluarganya. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya

26

Ibid., hlm. 181.

27 Chisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, (Jakarta : EGC, 2006), hlm. 181. 28

Ibid, hlm 29

18

B. PERKEMBANGAN EUTHANASIA Dewasa ini, euthanasia menjadi suatu permasalahan yang menarik dalam dunia hukum dan medis. Terdapat pro dan kontra mengenai pelaksanaan dari euthanasia tersebut. Terlebih lagi bagi pelaku dunia medis, euthanasia menjadi suatu hal yang sangat dilematis. Dalam hal ini Euthanasia adalah praktek pencabutan kehidupan manusia (pasien) melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit yang sangat berlebihan, yang biasanya dilakukan dengan memberikan suntikan yang mematikan. Dengan demikian penyebab dari dilakukannya tindakan euthanasia adalah kerena sudah tidak mungkin lagi dilakukannya tindakan medis untuk mempertahankan hidup seseorang hingga sembuh kembali. Jika dilihat dari istilahnya sendiri itupun dapat kita ketahui bahwa, euthanasia sudah ada sejak zaman dahulu kala, yaitu zaman Yunani-Romawi Kuno. Pemahaman euthanasia dalam era ini dapat dilihat dalam beberapa pandangan beberapa tokoh kuno seperti Possidipos, Philo, Suetonius, Cicero, Seneca, Plato, Aristoteles dan Phytagoras. Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi, menulis dalam karyanya, Dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 Sebelum Masehi 50 Sesudah Masehi, mengartikan euthanasia sebagai kematian tenang dan baik (Philo 1, 182: de Sacrificiis Abelis et Caini 100). Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Sebelum Masehi. Dalam

19

tulisannya

29

tentang Kaisar Agustus, ia mengatakan demikian : Ia mendapat

kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa memohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya euthanasia bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya (Divus Augustus 99). Cicero, seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 Sebelum Masehi, memakai istilah euthanasia dalam arti kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan kelayakan (Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh diri tahun 65 M malah menganjurkan : lebih baik mati daripada sengsara merana. Dalam sejarah pun mengatakan, misalnya Plato yang mendukung tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang untuk mengakhiri penderitaan dari penyakit yang dialaminya; begitu juga Aristoteles yang telah membenarkan adanya infaanticide yaitu membunuh anak yang

berpenyakitan sejak lahir dan tidak dapat hidup menjadi manusia yang perkasa.30 Adapun pendapat seorang tokoh lainnya yaitu Pythagoras dan kawan-kawannya yang telah menyokong perlakuan pembunuhan terhadap orang-orang yang mengalami lemah mental dan moral.

Nurudin Jauhari, 1 November 2008, Euthanasia, Segi Medis, Etis, Moral, dan Pastoral, Tersedia di (http://bagusarsj.blog.friendster.com/2007/11/eutanasiasegi-medis-etis-moral-danpastoral/), 28 Juli 2009 Ratna Suprapti Samil, Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagian Obsteri dan Ginekologi, (Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1980), hlm. 23.
30

29

20

Euthanasia juga dikenal pada zaman Renaissance, beberapa tokoh pada zaman ini seperti Thomas More dan Francis Bacon memberikan pendapat, pandangan serta gagasan mengenai euthanasia. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan euthanasia medica, yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan euthanasia untuk membantu orang yang menderita sewaktu ingin meninggal dunia. Thomas More dalam the Best Form of Government and The New Island of Utopia yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang membiuskan. 31 Selanjutnya mati secara terhormat atau euthanasia ini juga dikenal pada abad XVII-XX. David Hume seorang tokoh terkenal pada abad ini, menentang habis-habisan argumentasi tradisonal. Akan tetapi justru sebaliknya, kontraversinya terhadap euthanasia justru menjadi pengaruh dan membuka gagasan euthanasia. Sejak abad ke-19, euthanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undangundang anti euthanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang

31

Nurudin Jauhari,Op. Cit.

21

pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.32 Tahun 20-30an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920 . Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Action T 4 dengan dasar hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.33 Tindakan ini dilakukan karena Hiltler berpandangan bahawa anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, memilik cacat tubuh atau gangguan lainya tersebut yang menjadikan hidup mereka tidak berguna, begitupun dengan para lansia. Sama halnya dengan David Hume, Bapak Ilmu Kedokteran Hippocrates itu sendiri pun menentang adanya euthanasia. Ia adalah seorang dokter dari Yunani yang untuk pertama kalinya berhasil merealisasikan paham mistis, gaib, dan filsafat tentang penyakit yang pada waktu itu tengah berkembang di masyarakat dimana pada zaman itu yang mempercayai

32

Ibid Ibid

33

22

keberadaan dewa penyembuh yaitu Aesculapsius, dengan menegakkan


diagnosa kedokteran yang rasional. Berkat ajaran-ajaran dan tulisan-tulisannya yang dikenal dengan Hipocrates Corpus yang memberikan dasar pemikiran rasional serta sistematika ilmiah dalam dunia kedokteran, ia disebut sebagai Bapak Ilmu Kedokteran (Father of Medicine). Selain itu, ia juga menetapkan garis dasar etika kedokteran yang dituangkan dalam sumpahnya yang dikenal

dengan Sumpah Hipokrates (Hipocratic Oath ). Sampai saat ini pun sumpah Hipokrates dijadikan sebagai dasar dari sumpah kedokteran dan dasar kode etika kedokteran di seluruh dunia. Salah satu dari isi Sumpah Hipokrates yang membuktikan bahwa ia tidak menyetujui euthanasia adalah sebagai berikut: Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun dimintanya, atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu.34 Pandangan lain dari Hippocrates yang dikutip oleh Elliot-Binns, adalah Adalah gila untuk menuntut dari dokter upaya penyembuhan yang tidak dimungkinkan oleh ilmu kedokteran, seperti menuntut agar tubuh melawan penyakit yang dapat dihindarkan.Mengapa merisaukan pikiran kita dengan penyakit yang tidak mungkin disembuhkan?Tetapi adalah menjadi tugas ilmu ini pula untuk melakukan penelitian terhadap.35 Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa Hipokrates menolak adanya euthanasia secara aktif. Karena baginya sudah menjadi tugas mulia dari seorang dokter untuk menyelamatkan atau mengobati pasien

semampunya atau semaksimalnya. Kalaupun pasien tersebut meninggal

34

Ibid Imron Halimy, Op.Cit., hlm. 84.

35

23

karena tidak dapat disembuhkan, akan tetapi sudah dilakukan pertolongan maksimal terhadapnya. Apabila pasien tersebut meninggal, itu adalah merupakan suatu hal yang wajar (euthanasia pasif). Dapat diketahui bahwa euthanasia sudah dikenal dan menjadi kontraversi sejak zaman Yunani-Romawi Kuno sampai saat ini. Karena manusia sebagai objek sekaligus pelaku euthanasia memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Dimana hak ini disebut dengan TROS (The Right Self Of Human Rights). Hak untuk menentukan nasib sendiri (TROS) adalah hak yang melekat dalam diri manusia, dalam arti seseorang berhak menentukan apa yang akan/perlu/harus dilakukan atas dirinya (tubuhnya).36

C. BENTUK-BENTUK EUTHANASIA Secara garis besar bentuk-bentuk euthanasia dibagi menjadi dua (2) golongan : 1. Euthanasia aktif (active euthanasia), yaitu tindakan sengaja untuk memperpendek hidup pasien dengan permintaan dari pasien itu sendiri. 2. Euthanasia pasif (passive euthanasia ), yaitu dimana dokter atau tenaga medis secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis kepada pasien yang dapat memperpanjang hidupnya dengan catatan bahwa perawatan pasien diberikan secara terus-menerus dan secara optimal dalam usaha mendampingi atau membantu

36

Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung : Mandar Maju, 2001), hlm. 104.

24

pasien dalam fase hidup yang terakhir. Euthanasia pasif atas permintaan dapat dinamakan (auto euthanasia) : dimana seorang pasien menolak tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah codisil (pernyataan tertulis tangan).37 Selanjutnya dalam euthanasia aktif dapat dibedakan menjadi : 1. Euthanasia aktif secara langsung (direct). Dimana dokter atau tenaga kesehatan lain dengan sengaja melakukan suatu tindakan medis untuk mengakhiri penderitaan pasien, misalnya dengan suntikan over dossis morfin yang mengakibatkan matinya pasien. Tujuan utama, memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. 2. Euthanasia aktif secara tidak langsung (indirect). Dimana dokter atau tenaga kesehatan lain tanpa maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien dengan melakukan tindakan medis, untuk meringankan penderitaan pasien dengan adanya resiko bahwa tindakan medis ini dapat mengakibatkan perpendek atau

mengakhiri hidup pasien, misalnya dengan memberikan suntikan morfin dengan dosis yang wajar tiap kali pasien menderita sakit yang amat sangat. Disini, tujuan utama meringankan penderitaan dengan akibat samping (resiko) hidup pasien diperpendek.38

37

Fred Ameln, Op. Cit., hlm. 133. Ibid., hlm.133-134.

38

25

Pada World Congress on Medical Law yang kelima, bulan Agustus tahun 1979 di Gent, Belgia. Beberapa sarjana mengemukakan berbagai teori dan pendapat tentang euthanasia. Berikut ini beberapa pendapat para sarjana : a. Menurut Profesor Z.P. Seprarovic dari Fakultas Hukum Universitas Zagerb, Yugoslavia, yang mengemukakan empat kategori tentang euthanasia. b. No assistance in the process of death without the intention to shorthen life : Dalam kategori ini pasien mati ajal atau mati alamiah (natural death) jika ia meninggal. c. No assistance in the process of death without the intention to shorten life : Dalam kategori terdapat unsur kelalaian (schuld element). d. No assistance in the process of death with the intentoin to shorten life : Dalam kategori ini disebut juga euthanasia pasif. e. Assistance in the process of death with the intention to shorten life : Dalam kategori ini disebut euthanasia aktif atau positif.39

D. MACAM MACAM EUTHANASIA Secara garis besar euthanasia dapat dibedakan dalam beberapa macam dilihat dari berbagai sisi misalnya dari sudut cara/bentuk, dari sudut maksud, dari sudut otonomi penderita maupun dari sudut motif dan prakarsa dan euthanasia semu.

39

Ibid., hlm.134-135.

26

1. Euthanasia Dari Sudut Bentuk Euthanasia dari sudut/bentuk dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) bentuk antara lain : a. Euthanasia Aktif (murni) Euthanasia aktif adalah suatu peristiwa dimana dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja melakukan sesuatu tindakan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. 40 Euthanasia ini memang ditujukan untuk langsung mematikan si pasien, yang biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan atau obat secara oral. Euthanasia aktif atau murni ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk yaitu : 1) Euthanasia Aktif Langsung (direct) Yang dimaksud dengan euthanasia aktif secara langsung (direct) adalah di mana dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan suatu tindakan medis dengan maksud untuk meringankan penderitaan si pasien sedemikian rupa sehingga secara logis dapat diperkirakan atau diharapkan bahwa kehidupan si pasien diperpendek atau diakhiri. 41 2) Euthanasia Aktif Tidak Langsung (indirect)

40

Imron Halimy, Op.Cit. , hlm. 39. Ibid., hlm. 40.

41

27

Yang dimaksud dengan euthanasia aktif secara tidak langsung (indirect) adalah keadaan dimana dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan tindakan medis untuk

meringankan penderitaan si pasien tanpa bermaksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien tersebut.42

b. Euthanasia Pasif Euthanasia pasif adalah suatu keadaan dimana dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja tidak memberikan bantuan medis terhadap pasien yang dapat memperpanjang hidupnya. 43 Akan tetapi bukan berati pengobatan secara langsung dihentikan, perawatan dan pengobatan tersebut tetap diberikan kepada si pasien secara terus-menerus secara optimal yang dimaksudkan untuk membantu si pasien dalam kondisi atau fase hidup yang terakhir. Euthanasia yang termasuk dalam jenis ini adalah Auto euthanasia. Yang dimaksud dengan auto euthanasia adalah situasi dimana seseorang pasien dengan sadar menolak secara tegas untuk menerima perawatan medis, bahkan dia telah menyadari bahwa hal ini akan dapat memperpendek atau mengakhiri hidupnya

42

Ibid. Ibid.

43

28

sendiri. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah cocodicit yaitu suatu pernyataan tulisan tangan.44

2. Euthanasia Dari Sudut Otonomi Penderita Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam 3 (tiga) jenis yaitu :45 a) Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan tidak dapat menyatakan kehendak (incompentent), b) Pasien tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh orang lain (transmitted judgement), c) Tidak sadar dan kehendaknya diduga oleh orang lain (substitued judgement).

3. Euthanasia Dari Sudut Motif dan Prakarsa Dari sudut motif dan prakarsa, permintaan atau persetujuan penderita atau keluarganya untuk menghentikan beban (penderitaan pasien karena belas kasihan atau beban keluarga) atau menghormati kehendak penderita yang diperlakukan sebagai subjek dengan hak menentukan dirinya sendiri. Dan juga perintah penguasa berdasarkan ideologi tertentu atau kepentingan yang lain.

44

Ibid. Nurdin Jauhari, Loc.Cit.

45

29

4. Euthanasia Semu Disebut bentuk-bentuk semu dari euthansia ini karena mirip dengan euthanasia , tetapi sebetulnya bukan euthanasia. Bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang mirip dengan euthanasia ini disebut oleh H.J.J. Leenen adalah sebangai schijngestaten van euthanasie. Adapun yang termasuk ke dalam bentuk semu dari euthanasia adalah sebagai berikut :46 a. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada gunanya (zinloos). b. Penolakan perawatan medis oleh pasien (keluarganya). c. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis karena mati otak (braindeath). d. Pengakhiran hidup pasien akibat persedian alat medis terbatas (emergency). e. Euthanasia akibat sikon. Untuk lebih mendapatkan gambaran yang jelas lagi mengenai bentuk-bentuk euthanasia, dapat dilihat pada skema berikut dibawah ini : 47

46

Petrus yoyo karyadi, Op. Cit Imron Halimiy, Op.Cit., hlm. 43.

47

30

Euthanasia

Atas Permintaan

Tidak Atas Permintaan

Pasif

Aktif

Pasif

Aktif

Langsung

Tidak Langsung

Langsung

Tidak Langsung

E. EUTHANASIA MENURUT BERBAGAI MACAM PERSPEKTIF 1. Euthanasia Menurut Pandangan Agama a) Dalam ajaran gereja Katolik Roma Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan terhadap pedoman mereka sejelas yang mungkin menderita mengenai sakit tak

penanganan

tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongres untuk ajaran iman telah menerbitkan deklarasi tentang euthanasia

31

("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya

kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi euthanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek euthanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu. Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa euthanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung (Evangelium Vitae, nomor 66).

b) Dalam ajaran agama Hindu 48 Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekuensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk,

48

Ibid

32

lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip anti kekerasan atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu faktor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan karma buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada di dunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk

33

menyelesaikan karma nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.

c) Dalam ajaran agama Buddha 49 Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Buddha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka tampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Buddha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Buddha sangat menekankan pada welas asih ("karuna"), yakni belas kasih. Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Buddha yang dengan demikian dapat menjadi karma negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.

d) Dalam ajaran Islam Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah SWT kepada

49

Ibid

34

manusia. Hanya Allah SWT yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66: 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al-Quran maupun Hadist yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah SWT, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri. Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si pasien, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan

35

berdasarkan belas kasihan (mercy killing ) dalam alasan apapun juga. Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (euthanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian pasien karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh pasien dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara over dossis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan. Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada pasien dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Yang Menciptakannya. Karena itu

serahkanlah urusan tersebut kepada Allah SWT, karena Dia-Lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya. Euthanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkahlangkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si pasien, tetapi ia

36

hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si pasien, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).50

e) Dalam ajaran Protestan Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap euthanasia dan orang yang membantu pelaksanaan euthanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :

50

Ibid

37

Gereja Methodis (United Methodist Church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan tentang hingga

kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".

Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan

membiarkan kematian terjadi. Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini

38

dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga di masa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan. Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan.

Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.51

2. Euthanasia Menurut Pandangan Hukum A. Menurut Hukum Kesehatan Hukum Kesehatan sebagai bagian dari ilmu hukum dapat memainkan peran yang berarti dalam menemukan hukum dan dalam mengkonstruksikan peraturan hukum yang diperlukan dalam bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dapat dicapai dengan peraturan perundang-undangan maupun melalui putusan hakim, tapi dapat pula dengan mengatur diri melalui norma-norma etik dalam suatu bidang medis tertentu. Masing-masing cara

mengandung segi positif dan negatifnya.52

51

Ibid, Fred Ameln, Op. Cit., hlm. 159.

52

39

Motivasi

yang

menonjol

untuk

pengaturan

dalam

pemeliharaan atau pelayanan kesehatan, pertama-tama untuk menjaga kualitasnya dan juga untuk memberikan perlindungan kepada hak pasien. Khusus pengaturan dalam bidang medis seperti uji klinik kedokteran, motivasi tersebut itu juga berlaku, terlebih dalam hal uji klinik kedokteran motivasi pengaturan yang paling utama ialah untuk memberikan perlindungan khusus kepada orang, karena mereka berada pada posisi yang amat peka (vulvrernable) yang berhubungan dengan bermacam-macam aspek seperti aspek psikis, etis, hukum dan sosial. 53 Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak mengatur tentang euthanasia. Euthanasia

dilakukan bukan karena putus asa, tetapi beritikad baik mengurangi penderitaan seorang pasien yang sakit berat dan mungkin juga karena pertimbangan ekonomi dan hal lain sebagainya. Secara etimologis euthanasia berarti mati yang baik atau terhormat, berdasarkan hal tersebut timbul pengertian euthanasia yang bermacam-macam, seperti kematian yang senang dan wajar. 54 Mati tenang atau mati tanpa banyak rasa penderitaan. Jika dijabarkan lagi lebih jelas, maka menurut Imron Halimy euthanasia berarti :

53

Ibid., hlm. 160. Ibid., hlm.161.

54

40

Menghentikan nyawa seseorang yang sedang menderita karena penyakitnya, baik dilakukan secara cepat atau lambat oleh dokter atau tim kesehatan yang merawatnya baik atas permintaan atau tanpa permintaan pasien atau keluarga dengan tujuan untuk meringankan beban penderitaannya.55 Hal ini juga dapat dilihat dari pendapat seorang penulis Yunani yang bernama Soetonius dalam bukunya Vita Caesarium yang mengatakan bahwa euthanasia sebagai mati cepat tanpa derita.56 Akan tetapi dewasa ini orang sudah tidak memperhatikan lagi akan arti dan makna euthanasia yang sebenarnya, melainkan penekanannya sudah lebih terarah pada pertolongan dokter untuk menghindarkan rasa sakit atau meringankan rasa sakit atau meringankan penderitaan pasien yang sedang menghadapi saat-saat kematiannya. Bahkan pengertiannya seringkali lebih ditekankan kepada tindakan memberi pertolongan untuk mempercepat proses kematian. Berdasarkan pemahaman makna euthanasia pada pengertian yang terakhir ini, muncul pengertian euthanasia sebagai pembunuhan tanpa penderitaan terhadap pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi, yang populer dengan istilah mercy killing.57 Berdasarkan uraian di atas terlihat adanya perubahan pengertian euthanasia sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga terjadi pula perubahan pemahaman mengenai maknanya.

55

Imron Halimy, Op.Cit., hlm. 36. Ibid.

56

Chrisdiono M., Pemahaman Baru tentang Euthanasia dari Segi Hukum, (Jakarta : Kompas), 3 januari 1995.

57

41

Menurut Lamerton, walaupun euthanasia berarti kematian yang menyenangkan, dewasa ini diartikan sebagai pembunuhan kelas kasihan atau pembunuhan saja (murder). Dalam hal ini ia bersama J. P. Thiroux membedakan empat istilah, yaitu : 1. Membiarkan seseorang mati (allowing someone to die), yaitu pasien dalam kasus penyakit terminal dan upaya pengobatan tidak berfaedah lagi, pasien diijinkan meninggal secara wajar (proses kematian alamiah menyenangkan, kedamaian dan harga diri) tanpa interfensi dari pihak lain, misalnya tenaga kesehatan dan bantuan teknologi kesehatan. 2. Kematian belas kasihan (mercy death), yaitu suatu pertolongan untuk mengakhiri hidup atas permintaannya sendiri. Yang menonjol di sini adalah aspek kesiapan pasien dalam menerima kematiannya dengan tenang dan pasrah. 3. Pembunuhan belas kasihan (mercy klling), yaitu tindakan mengakhiri hidup pasien dengan atau tanpa permintaan pasien. Penekanannya di sini adalah unsur kesengajaan mengakhiri hidup pasien, sehingga tidak dapat dibedakan antara tindakan membunuh dengan tindakan bunuh diri. Tindakan ini dilakukan atas dasar anggapan bahwa hidup pasien tidak berarti lagi. 4. Kematian otak (brain death), yaitu suatu keadaan dimana seorang pasien mengalami gangguan otak sehingga tidak

42

berfungsi lagi, keadaan sepeti ini mengakibatkan jantung dan paru-paru dengan sendirnya tidak berfungsi. Oleh karena itu tidak diperlukan lagi upaya medis, karena secara medis pasien tersebut telah mati. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 mengenai kriteria kematian yang menyebutkan bahwa : Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan denyut jantung seseorang telah berhenti.58 Selain pengertian di atas ada pula pengertian euthanasia menurut studi grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) yang isinya sebagai berikut : Euthanasia dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.59

B.

Menurut Kode Etik Kedokteran Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Bab II Pasal 10, disebutkan bahwa : Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi makhluk hidup insani. Naluri yang kuat pada makhluk bernyawa, termasuk manusia adalah mempertahankan hidupnya, untuk itu manusia diberi akal,

58

Imron Halimy, Op. Cit., hlm. 45. Fred Ameln, Op.Cit., hlm. 132.

59

43

kemampuan berpikir dan mengumpulkan pengalamannya, dengan demikian membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan menghindarkan diri dari bahaya maut, ini semua termasuk tugas dokter. Maka dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani, ini berarti pula bahwa dokter, menurut agama, undang-undang dan etik kedokteran tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang pasien yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin dapat disembuhkan lagi.60 Dari penjelasan di atas disimpulka bahwa di seluruh dunia setiap dokter berkewajiban untuk menghormati dan melindungi setiap kehidupan insani mulai dari saat pembuahan. Hal tersebut sama dengan sumpah Hipokrates yang isinya menuntut para dokter untuk mengabdikan dirinya dalam memelihara, merawat dan kesehatan penderita yang diserahkan kepadanya, oleh karena itu setiap dokter dituntut untuk selalu ingat akan kewajiban tersebut, sehingga setiap perbuatan dokter terhadap seorang manusia harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan serta mempertahankan jiwa manusia, meskipun pada akhirnya mengalami kegagalan. Hal ini dalam Kode Etik disebutkan bahwa :

Ratna Suprapti Samil, Kode Etik Kedokteran Indonesia, bagian Obstetri dan Ginekologi, (Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1980), hlm. 53.

60

44

Tuhan seru sekalian alam, menciptakan manusia dan menentukan bahwa ciptaan-Nya pada suatu waktu akan menemui ajalnya, tidak seorang dokter yang betapapun pintarnya akan dapat mencegahnya.61

3.

Euthanasia Menurut Pandangan HAM Menurut Universal Declaration of Human Right yang terdiri dari 30 pasal yang secara garis besar telah menggambarkan tentang perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia di dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan, dan keselamatan seseorang. Jika kita teliti isi pasal tersebut, ada tiga hal yang menjadi hak utama dari seorang manusia, yaitu : a. Hak untuk hidup. b. Hak untuk merdeka. c. Hak untuk keselamatan. Sedangkan di dalam Pasal 6 disebutkan bahwa hak tersebut merupakan hak pribadi yang dilindungi oleh undang-undang dimanapun ia berada, di samping hak untuk hidup, menurut Pasal 25 yang berbunyi : setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan, baik dari sendiri maupun keluarganya. Oleh karena itu setiap orang atau manusia mempunyai hak untuk hidup dimana hak ini dilindungi oleh hukum dan tak seorang pun secara sewenang-wenang dapat dirampas hidupnya.

61

Imron, Op. Cit., hlm. 89.

45

BAB III TINJAUAN MENGENAI EUTHANASIA BESERTA PERMASALAHANPERMASALAHANYA

A. Permasalahan Dalam Euthanasia Euthanasia adalah salah satu permasalahan dalam dunia medis kedokteran yang menjadi sesuatu yang sangat dilematis bagi pelaku dunia medis kedokteran dimana sebuah keadaan harus mempertahankan hidup seseorang yang sesungguhnya sudah tidak dapat dipertahankan lagi dalam keadaan kondisi yang sudah sangat melemah tingkat kesadarannya ataupun tidak sadarkan diri sama sekali, permohonan sebuah tindakan euthanasia bisa disebabkan karena pasien yang sedang dipertahankan hidupnya sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan di dalam proses perawatannya, selain itu faktor penyebab lainnya adalah faktor keinginan dari pasien itu sendiri untuk mengakhiri hidupnya dengan meminta bantuan dari tenaga medis untuk mengakhiri hidupnya, keadaan hal ini yang disebabkan karena pasien sudah merasa tersiksa dengan berbagai macam bentuk pengobatan yang sudah tidak ada artinya lagi bagi tubuhnya, dan penyebab lainnya adalah faktor keuangan yang menjadi kendala dari pasien itu sendiri dan keluarganya guna untuk membiayai pengobatannya yang semakin mahal. Pada saat ini bidang kedokteran dan kesehatan Indonesia sedang dihadapkan dengan permasalahan yang berhubungan dengan aspek hukum, dimana hal ini selalu aktual

46

dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik, suatu situasi dimana sebuah keadaan sulit yang harus diambil oleh seorang tenaga medis untuk melakukan tindakan euthanasia atau tidak sama sekali, dalam bidang kedokteran dan kesehatan permasalahanpermasalahan tersebut merupakan faktor-faktor penyebabnya, di Indonesia salah satu masalah itu adalah tentang euthanasia, dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hipocrates (460-377 SM), masalah ini telah ditulis dan diingatkan hingga saat ini persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah euthanasia belum bisa diatasi dan diselesaikan dengan baik.62 Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat, maka dalam situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini, dan tidak ingin diperpanjang lagi hidupnya atau di lain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadarkan diri. Oleh karena itu, masalah ini makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian, karena semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah ditemukannya tindakan di dalam dunia pengobatan, dengan menggunakan teknologi canggih dalam mengatasi keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup, banyak kasuskasus di pusat pelayanan kesehatan terutama di bagian gawat darurat dan bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu sudah merupakan kasus
Pertrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Prespektif Hak Azazi Manusia (Yogjakarta : Media Presindo 2001), hlm. 82
62

47

yang tidak dapat dibantu lagi. Namun walaupun demikian pada kasus-kasus tertentu tetap saja muncul persoalan dasar kembali.63 Masalah euthanasia ini semakin kompleks karena definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur, pada masa-masa sebelumnya seseorang dinyatakan meninggal jika ia sudah tidak dapat melakukan aktifitas bernapas dan berhentinya fungsi jantung, sejak fungsi-fungsi organ vital tersebut sudah dapat dipertahankan dengan menggunakan alat-alat yang modern seiring dengan perkembangan dunia kedokteran maka definisi kematian termasuk juga kematian otak, kurangnya aktifitas listrik untuk waktu yang cukup lama sehingga tidak dapat mengembalikan fungsi otak juga dapat diterima.64 Selain itu dibahas pula beberapa macam bentuk penyebab terjadinya euthanasia, antara lain adalah:

1. Menghentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada gunanya (zinloos). Dalam hal memberhentikan pengobatan atau perawatan medis yang sudah tidak ada gunanya lagi (zinloos), masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menyebutnya sebagai bentuk euthanasia pasif, tapi ada juga yang

M. Jusuf hanafiah, dan Amri amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, , (Jakarta : Buku Kedokteran, EEC 1999), hlm 104. Ietha. Sumber ; Aikon, Mobil Terbang Euthanasia, tersedia di http : // remmanet, tripod. Com / serba-serba. Htm) hlm 1.
64

70

48

menyebutnya sebagai betuk semu dari euthanasia. Dalam literatur lebih banyak bentuk semu, bukan Euthanasia pasif.65

2. Penolakan perawatan medik oleh pasien (keluarganya). Penolakan perawatan medik oleh keluarga si pasien ini ada yang mengakibatkan kematian pasien, dan ada juga yang tidak mengakibatkan matinya pasien. Pada umumnya bila tidak ada izin dari pasien, dokter tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan medis dalam bentuk apapun, walaupun akhirnya akan mengakibatkan meninggalnya pasien tersebut. Penolakan perawatan medis ini erat kaitannya dengan hak-hak pasien. Pasien mempunyai hak untuk menolak seluruh terapi atau tindakan medis ataupun sebagian terapi. Adapun yang melandasi hak-hak pasien ini adalah karena adanya The right of self determination atas badannya sendiri.66

3. Menghentikan pengobatan (perawatan) medik karena mati otak (Braindeath) Manusia yang hanya hidup secara vegetatif berarti ia tidak ada bedanya dengan tumbuh-tumbuhan. Ia sudah tidak mempunyai rohani karena otaknya sudah tidak berfungsi lagi (braindeath). Ia sudah tidak mampu memberikan tanggapan, sedangkan kita tahu bahwa manusia itu mempunyai

65

Petrus yoyo karyadi, Op.Cit Ibid, hlm.36

66

49

dua aspek, yaitu aspek jasmani dan rohani. Aspek rohani inilah yang merupakan fungsi hakikinya bagi manusia dan yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Jadi, kematian rohanilah yang harus menjadi dasar utama untuk menentukan kapan seseorang sudah dianggap mati.67 Mati rohani ini berkenaan dengan berhentinya fungsi otak. Apabila otak manusia sudah tidak berfungsi lagi (Braindeath), maka fungsi rohani pun sudah tidak ada. Dunia medis saat ini mengatakan bahwa manusia tersebut sudah dianggap meninggal dunia.68 Kriteria mati otak benar-benar mulai diperhatikan sejak tahun 1970an. Ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi biomedis yang begitu pesat, sehingga mendesak dunia medis untuk merumuskan kembali pengertian matinya seseorang. Dahulu, pengertian kapan matinya seseorang ditentukan oleh denyut jantung. Dalam hal ini apabila si pasien mendapatkan perawatan oleh medis maka EEG (Electro encephalo graphy) menjadi datar dalam artian menentukan otak tidak memproduksi listrik lagi. Apabila jantung seseorang sudah tidak berdenyut lagi (tidak bernafas) maka orang tersebut sudah dianggap meninggal dunia. Akan tetapi, sekarang dengan adanya teknologi yang semakin maju dan pesat di dunia medis, orang dapat bernafas kembali walaupun secara atrifisial. Denyut jantung yang tersendat-sendat

67

Ibid, hlm.21 Ibid

68

50

dapat dipacu dengan alat pacu jantung, sehingga sekarang sudah dapat berbicara tentang mayat hidup.69

4. Pengakhiran hidup pasien akibat persedian peralatan medis yang terbatas (emergency). Bentuk euthanasia semu ini dapat terjadi apabila di suatu rumah sakit kekurangan alat medis untuk menunjang usaha penyelamatan pasien. Misalnya, terjadi tabrakan bis dan banyak korban yang harus ditolong. Kemudian para korban tersebut segera dibawa ke ruang gawat darurat (emergency). Ternyata banyak korban yang harus dipasangi respirator, sedangkan alat tersebut sangat terbatas. Respirator tidak mungkin dipasang secara bergantian dari pasien yang satu ke pasien yang lainnya sehingga ada beberapa pasien yang tidak terpasang respirator, dan kemudian mereka meninggal dunia. Maka dalam hal demikian, tidak terjadi kasus euthanasia. Dokter atau tenaga medis lainya yang sedang bertugas di ruang darurat tersebut tidak dapat disalahkan telah melakukan euthanasia .70 Di antara sekian banyaknya penemuan-penemuan teknologi yang tidak kalah penting dan pesatnya dalam perkembangannya adalah di bidang kedokteran. Melalui perkembangan teknologi kedokteran yang maju tersebut, diagnosa mengenai sesuatu penyakit dapat dilakukan lebih sempurna dan pengobatan penyakitpun dapat dilakukan secara efektif. Salah

69

Ibid, hlm. 37 Ibid, hlm. 40

70

51

satu perkembangan di dunia medis yaitu dimana hidup seseorang pasien pun dapat diperpanjang untuk sesuatu waktu tertentu, yaitu dengan memasang sebuah Respirator. Perhitungan saat kematian seseorang penderita penyakit tertentu dapat dilakukan secara lebih tepat. Suatu kenyataan, walau teknologi di bidang kedokteran begitu majunya, namun beberapa pasien tetap tak dapat dihindarkan dari penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, sehingga masalah tersebut tetap merupakan ganjalan yang memerlukan pemecahan dan penanganan yang lebih sempurna lagi. Lagi pula kita semestinya harus ingat bahwa penemuan dan perkembangan teknologi di bidang kedokteran tersebut bukan tidak mustahil justru akan mendatangkan dan mengundang berbagai masalah yang sangat pelik dan rumit. Kadang-kadang kita mesti tidak boleh lupa bahwa manusia itu tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan dasar dalam hidup ini, walau bagaimanapun majunya ilmu pengetahuan. misalnya, persoalan kelahiran, kesehatan dan kematian. Khusus mengenai kematian, tidak dapat seorang pun mengetahui kapan pasti ia akan mati, bagaimana cara ia mati dan apa yang dialaminya setelah ia mati, ilmu pengetahuan pun belum bisa menjawab persoalan-persoalan tersebut. hal ini tetap merupakan satu tantangan bagi manusia untuk menyelidiki dengan ilmunya.

52

B.

PERKEMBANGAN EUTHANASIA DI BERBAGAI NEGARA Perkembangan yang terjadi di berbagai negara merupakan suatu bentuk kemajuan di bidang dunia medis diantaranya ada di beberapa negara yaitu :71 1. BELANDA Di Belanda, euthanasia atau The right to die masih dianggap tindakan ilegal berdasarkan undang-undang kriminalnya. Akan tetapi, sejumlah kasus euthanasia boleh dilakukan setelah dokter tidak mampu lagi memberikan pengobatan yang berarti terhadap pasiennya. Sekarang di Belanda sudah ada sebuah organisasi yang menampung permintaan warga negara Belanda untuk mati. Organisasi tersebut diberi nama Dutch Society for Voluntary Euthanasia. Badan ini dibentuk dan diakui sebagai badan resmi sejak tahun 1980. Dalam sejarah euthanasia di Belanda terdapat pula tokoh yang berperan memperjuangkan euthanasia, yaitu: Jeane Tromp Meesters adalah salah seorang yang paling aktif mengkampanyekan The right to die di negeri Belanda. Secara demonstratif ia mengajak masyarakat belanda untuk memperjuangkan The right to die. Ternyata kampanye -kampanyenya cukup gencar, sehingga setiap tahunnya ada sekitar 600 sampai dengan 700 orang yang mengatakan keinginannya untuk mati lewat badan sosial tempat berkumpulnya para sukarelawan

71

Ibid, hlm 43- 48.

53

euthanasia tersebut. Sepertiga dari mereka yang menuntut hak mati adalah penderita penyakit kanker. Sebagian lagi karena usia sudah tua dan penderita penyakit lain yang kronis dan sangat menyiksa. Semua kasus kematian lewat euthanasia yang melalui organisasi sosial tersebut ditangani oleh dokter yang bersedia melakukannya. Akan tetapi, dari sejumlah kasus hanya sedikit yang diekspos secara terang-terangan. Ini dikarenakan rasa takut mereka (para dokter) untuk berurusan dengan pengadilan, jika di kemudian hari ada yang menyatakan keberatan. Karena euthanasia di Belanda masih dianggap sebagai tindakan ilegal.

2.

AMERIKA SERIKAT Perkembangan euthanasia di Amerika Serikat cukup menarik untuk disimak. Pada tahun 1973 mayoritas orang Amerika Serikat (53 persen) berpendapat bahwa salah untuk memberikan hak kepada seseorang pasien yang sakit berkepanjangan dan tidak punya harapan sembuh untuk melepaskan diri dari penderitaan. Riset ini dilakukan oleh Lousi Harris and Associates. Pada tahun 1985 publik Amerika berubah drastis. Untuk pertanyaan yang sama seperti tersebut di atas, 61 persen dari orangorang yang diminta mengisi angket menyatakan bahwa benar memberikan hak untuk mati kepada pasien.

54

Hasil angket lainya pada tahun 1973, menunjukan bahwa 62 persen percaya bahwa seseorang pasien yang sakit berkepanjangan dan terus menerus bergantung pada alat penopang hidupnya mempunyai hak untuk meminta kepada dokternya agar mencabut alat penopang hidupnya dan membiarkannya mati. Jumlah yang setuju atas hak pasien untuk mati ini kemudian menjadi 85 persen pada tahun 1985.

3.

JEPANG Di Nagoya (Jepang) telah terjadi beberapa kasus euthanasia. Berdasarkan Yurisprudensi dari Pengadilan Tinggi Nagoya ada enam syarat untuk dapat melakukan euthanasia, antara lain yaitu: a. Pasien atau calon korban harus masih dapat membuat keputusan dan mengajukan permintaan tersebut dengan serius. b. Pasien harus menderita nyeri yang tidak tertahankan. c. Pasien harus menderita penyakit yang tidak terobati pada stadium akhir/dekat pada kematiannya. d. Tujuannya adalah sekedar melepaskan diri dari rasa nyeri. e. Dilakukan oleh Dokter yang berwenang atau atas petunjuknya. f. Kematian harus melalui cara kedokteran dan manusiawi

55

4.

URUGUAY Dalam hal euthanasia Undang-undang hukum pidana Uruguay melangkah jauh. Dalam Undang-undang hukum pidana tersebut disebutkan bahwa hakim dapat menganggap seseorang tidak bersalah, bila melakukan pembunuhan yang bermotifkan adanya perasaan belas kasihan sebagai kelanjutan dari permintaan pasien kepadanya yang berulang-ulang. Hal ini berarti di Uruguay, euthanasia aktif atas permintaan pasien itu sendiri bukan tindakan kriminal.

5.

CEKOSLOVAKIA Menurut perundang-undangan yang berlaku di Cekoslovakia, tindakan euthanasia dapat dibenarkan (tidak bertentangan dengan hukum positif), asalkan dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Adapun batasan-batasan tersebut antara lain adalah berupa syarat, yaitu bahwa euthanasia hanya dapat dilakukan jika ada suatu keputusan bulat antara sanak keluarga dan sejumlah ahli-ahli tertentu, serta mendapat persetujuan dari pasien.

C. EUTHANASIA MENURUT PANDANGAN HUKUM KEDOKTERAN Memberikan hak kepada individu untuk mendapatkan pertolongan dalam pengakhiran hidupnya, bagi banyak Negara masih menjadi perdebatan yang sengit. Sampai sekarang ini, kaidah non-hukum yang

56

manapun (agama, moral, kesopanan), menentukan bagaimana membantu orang lain untuk mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh adalah perbuatan tidak baik. 72 Di Indonesia, pemberian bantuan kepada pasien yang dalam keadaan kritis untuk diakhiri hidupnya dengan cara, antara lain, menyuntikkan obat yang membuat pasien mati. 73 Yang seringkali terjadi adalah penolakan pasien untuk diberikan bantuan/pertolongan pelayanan kesehatan, sehingga pasien yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan meninggal dunia, dan dokter/rumah sakit yang ditentukannya karena TROS, tidak dapat memaksakan pasien untuk menerima pertolongan kesehatan, padahal jika pasien mau menerima pertolongan, kemungkinan pasien untuk sembuh sangat besar. Terdapat juga keadaan, keluarga pasien meminta kepada dokter agar pasien yang sudah mati batang otak, tidak diteruskan lagi penanganannya, misalnya mencabut alat infus, sehingga pasien akan meninggal dunia secara alamiah, begitu kelihatannya. Rumah sakit atau dokter, menghadapi permintaan pasien/keluarga pasien, karena takut pada tuntutan hukum, kemudian menyuruh

pasien/keluarga pasien untuk mencabut sendiri peralatan infus atau respirator. Konstruksi pemikiran rumah sakit/dokter, dengan dilakukan

72

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum kedokteran, ( Bandung : Mandar Maju, 2001), hlm. Ibid, hlm 107

106.
73

57

sendiri oleh pasien/keluarga pasien, maka mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.74 Seringkali terjadi, rumah sakit/dokter meminta surat yang berisi pertanyaan pasien/keluarga pasien yang menghendaki dihentikannya upaya penyembuhan pasien, barulah rumah sakit/dokter berani mencabut peralatan infus/respirator. Tindakan yang diuraikan di atas, bukanlah perbuatan yang dapat di kategorikan memenuhi unsur-unsur dalam pasal 344 KUHP, sebab tenaga kesehatan (dokter), dalam hal ini tidak membantu mengakhiri hidup pasien. Tindakan pengakhiran hidup pasien yang menderita kematian batang otak sudah seringkali dilakukan di Indonesia, namun tidak sesuai dengan pasal 344 KUHP, sebab tidak terdapat unsur permintaan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dari pasien, pertimbangan dihentikan pertolongan kepada pasien karena pasien sudah tidak memiliki kemungkinan sembuh dan dengan kematian dari batang otak, dapat dikatakan pasien telah mati secara klinis.75 Keadaan dimana keluarga pasien harus melakukan sendiri peralatan infus/respirator, membuat keadaan tidak nyaman, karena keluarga pasien dibebani oleh perasaan tidak menyenangkan, selain telah kehilangan salah satu anggota keluarga, ditambah lagi dengan perasaan bersalah telah mengakhiri hidup pasien dengan mencabut peralatan hidup

pasien/respirator.
74

Wila Chandrawila Supriadi, Op.Cit

75

Ibid,

58

Pertanyaannya, apakah keadaan seperti ini perlu berlarut-larut terjadi? Di satu sisi ada kebutuhan akan tindakan tertentu, dan di sisi lain ada ketakutan dari tenaga medis/rumah sakit terhadap tuntutan hukum dari keluarga pasien atau penegak hukum. Bahwa pihak rumah sakit/dokter telah melakukan pembunuhan. Dalam permasalahan ini agar hal tersebut tidak berlarut-larut dan dapat memberikan suatu kejelasan yang tidak simpangsiur maka terdapat adanya pengaturan di dalam undang-undang nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran pada pasal 45 yang mengatur tentang setiap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter harus mendapat persetuajuan atau pun penolakan tindakan medis dari si pasien itu sendiri atau pun dari pihak keluarganya. Dalam hal untuk menjawab pertanyaan tersebut, Penulis melakukan wawancara langsung dengan seorang narasumber yaitu Dr. Faiq Bahfen, beliau menerangkan bahwa untuk perdebatan masalah tentang euthanasia di dasari oleh suatu persoalan yaitu apa sebenarnya definisi dari mati, menurut Dr. Faiq Bahfen definisi tentang mati dapat diukur dengan tidak berfungsinya batang otak seorang pasien, bila masih berfungsinya batang otak masih ada kemungkinan dapat diberi nafas dan bila mati batang otak berarti sudah dianggap telah mati, menurut Bapak Dr. Faiq Bahfen

persoalannya bahwa semua orang harus mengetahui dahulu apa arti mati, apakah setiap pengakhiran itu adalah permintaan mati, sedangkan batang otak sudah mati tetapi masih dipasang pentilator atau Respirator dan bila pasien masih bernafas apakah itu termasuk dalam permintaan mati?

59

Menurut pandangan Bapak Dr. Faiq Bahfen, persepsi tentang hal tersebut adalah tidak benar. Menurutnya, tidak ada pengaturan seperti itu di Negara Indonesia dan keadaan jika mati batang otak dan masih bernafas maka dapat disebut dalam keadaan vegetatif dan seharusnya sudah mati dalam keadaan bila dicabut respirator tersebut tidak jelas adanya. Sedangkan, di Negara Belanda sudah ada pengaturan atau Undang-undang mengenai Euthanasia dan diperbolehkan melakukan tindakan Euthanasia walaupun batang otak pasien masih berfungsi. Seseorang yang meminta mati, misalnya seseoarang yang sedang sakit kanker pada stadium akhir dan sangat menderita, dia meminta untuk dimatikan maka permintaan si pasien tersebut dikabulkan. Akan tetapi hal tersebut mempunyai batasan, yaitu bila seorang yang sehat meminta untuk dimatikan maka permintaan orang tersebut tidak dapat diperbolehkan, tetapi apabila ada orang yang sudah mengalami sakit yang betahun-tahun dan sudah tidak mempunyai kemungkinan untuk kembali pada kondisi tubuh sehat maka dapat dipertimbangkan untuk dilakukannya tindakan euthanasia. Jadi hal untuk melakukan tindakan euthanasia tidak sembarangan, dengan adanya Undang-undang Euthanasia di Negara Belanda hak hidup atas seseorang berarti ada hak untuk mati, sedangkan di Negara Indonesia hak untuk mati pada dasarnya ada di tangan Tuhan. Oleh sebab itu, di Indonesia masih belum jelas untuk menentukan definisi mati yang sebenarnya, apabila definisi dari mati sudah jelas barulah dapat ditentukan lebih jelas tentang tindakan dari yang menyebabkan atau telah matinya seseorang, apabila di Indonesia telah sepakat suatu kematian itu

60

ditentukan dengan berfungsi atau tidaknya batang otak seorang pasien, maka dengan ketentuan tersebut seorang dokter akan memeriksa bagian batang otak tersebut untuk diambilnya kesimpulan bahwa pasien tersebut telah mati. Kalaupun batang otak seorang pasien sudah tidak berfungsi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa itu bukanlah permintaan untuk mati seorang pasien ( Euthanasia) dan keadaan tersebut memang keadaan dimana pasien memang sudah seharusnya untuk mati. Jadi, sebaiknya kondisi dimana pasien memang seharusnya untuk mati tidak harus ditunjang dengan peralatan medis yang berlebihan, karena kondisi tersebut akan percuma saja. Pada faktanya di Indonesia tidak seperti itu, bila seseorang masih bernafas berarti masih dianggap hidup, padahal kondisi seperti itu tidak memungkinkan untuk hidup dalam keadaan normal bila tidak di bantu dengan alat respirator atau alat bantu pernafasan.76 Dalam euthanasia dapat dilakukan misalnya, dengan permintaan ataupun karena penyakit dari si pasien itu sendiri. Bila euthanasia itu dengan permintaan maka harus dipertimbangkan terlebih dahulu dari segi Agama, Kedokteran, Psikologi, dan hal yang lainnya, bahwa tindakan tersebut sudah betul atau tidak dilakukan pada orang/pasien yang meminta untuk dilakukannya euthanasia. Jadi menurut Bapak Dr. Faiq Bahfen dalam hal pro dan kontra tentang Euthanasia di Indonesia yaitu harus adanya kesepakatan definisi tentang mati. Sedangkan menurut paham di Indonesia tidak ada pengaturan untuk
Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. Faiq Bahfen, Pakar Hukum Kesehatan dan Kedokteran, Staf Ahli Departemen Kesehatan RI, 11 Mei 2010, Pukul 09:00 WIB
76

61

mengajukan permintaan mati, bila hal tersebut ingin dilakukan di Indonesia maka para ahli medis atau dokter dan pakar hukum kedokteran harus sepakat terlebih dahulu mengenai definisi kematian, apakah ditentukan dengan tidak berfungsinya batang otak atau berhentinya pernafasan, barulah dapat dilakukan Euthanasia di Indonesia.77 Hukum di Indonesia belum mengatur hal-hal seperti ini, sebaiknya pemerintah Indonesia membentuk Undang-undang untuk mengatur tentang hak pasien untuk mati dalam hal ini bukan membentuk suatu Undangundang tentang Euthanasia seperti di Negara Belanda, namun melalui peraturan hak pasien, namun membentuk peraturan seperti itu tidaklah mudah, sebab memberikan hak kepada seseorang atau kepada satu pihak , berarti meletakkan kewajiban pada pihak lainnya. Mendapatkan hak selalu menyenangkan, tetapi mendapatkan kewajiban sangatlah tidak selalu menyenangkan. Dari sudut pandang kedokteran, dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, terdapat apa yang dikenal dengan hubungan medis, dalam hubungan dokterpasien dikenal juga dengan hubungan hukum, bila hubungan itu dilihat dari sudut pandang hukum. Hubungan ini terkadang sering berbenturan, sebab berbicara tentang pasien, maka segi yuridis dari hubungan dokter-pasien yang akan mendominasi. Berbicara tentang hubungan medik, maka peran dokter yang lebih menonjol, dengan perkataan lain, kadangkala terjadi benturan antara hubungan yuridis dengan hubungan medis bila terjadi benturan antara kedua macam hubungan ini, maka akan

77

Ibid Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. Faiq Bahfen,

62

timbul masalah. Pengaturan yang harmonis dalam hubungan dokter-pasien, baik dari segi hukum, maupun dari segi medik dapat dilakukan apabila kedua belah pihak sadar akan hak dan kewajibannya masing-masing, sehingga rumah sakit/dokter tidak ragu-ragu lagi untuk melakukan suatu tindakan kepada seorang pasien.78 Banyak orang yang berpendapat, kalau Indonesia mengakui bunuh diri itu hak untuk mati, maka perlu pula diatur untuk hal-hal tertentu bagi pasien yang tidak mampu untuk melakukan bunuh diri, tetapi

penderitaannya tidak tertahankan, untuk mendapatkan pertolongan untuk mengakhiri hidupnya dengan tidak membebani pihak lain dengan perasaan bersalah atau tidak nyaman atas suatu tindakan yang telah dilakukan pada orang lain.79 Perlu kiranya direnungkan/dipikirkan, selain hak seseorang untuk mendapatkan hidup sehat, ada hak seseorang, apabila kualitas hidup sudah sedemikian buruknya, untuk mati dengan keadaan sebaik mungkin, dengan catatan tanpa perlu membebani pihak manapun juga dalam hal untuk mengakhiri hidup orang tersebut, tentunya untuk kasus-kasus tertentu saja.80 .

78

Wila Chandrawila Supriadi, Op. Cit Ibid Ibid

79

80

63

BAB IV EUTHANASIA DI TINJAU DARI PERSPEKTIF AGAMA & HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. EUTHANASIA DI TINJAU DARI SEGI PERSPEKTIF AGAMA DI INDONESIA Di negara hukum seperti di Negara Republik Indonesia ini, segenap warga negara harus tunduk dan taat kepada hukum tanpa terkecuali. Segala hal diatur dan mempunyai peraturan sendiri. Dimana seseorang tidak dapat bertindak semena-mena di luar peraturan yang berlaku dalam negara. Apabila seorang masyarakat baik itu pribadi maupun kelompok atau badan melakukan perbuatan dengan tanpa menghiraukan atau dengan tanpa mengindahkan peraturan yang sudah ditentukan, maka apabila tindakan atau perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan yang ada maka dalam hal ini orang baik pribadi kelompok atau badan harus diberikan sanksi yang berlaku sesuai dengan apa yang sudah ditentukan dalam peraturan yang dilanggarnya. Dalam hal profesi kedokteran, bisa saja terjadi hal-hal yang tidak disengaja atau diluar kemampuan manusia itu sendiri untuk mengatasinya. Bukan tidak mungkin pula kelalaian, kesalahan atau bahkan pelanggaran hukum dilakukan oleh paramedis tersebut.81 Dalam kaitan inilah harus diingat, selain tanggung jawab medis, seorang dokter justru harus dapat mempertanggungjawabkan semua perbuatannya terhadap pasiennya menurut hukum yang berlaku, seperti
81

Chrisdiono M Achdiat , Op.Cit

64

halnya pada euthanasia yang tampaknya akan semakin sering dihadapi oleh para dokter disebabkan banyaknya penyakit yang semakin tidak dapat diatasi lagi ataupun disebabkan dari faktor keluarga yang telah tidak mampu untuk membiayai perawatan yang diberikan rumah sakit kepada pasien. Harus disadari bahwa euthanasia ternyata lebih banyak muatan hukumnya dibandingkan sekedar masalah teknis-medis belaka karena dalam hal ini euthanasia erat hubungannya dengan nyawa seseorang dimana seorang dokter diberikan pilihan yang sulit untuk menghadapinya.82 Baik menurut hukum maupun sumpah dokter dan etika kedokteran, euthanasia tidak diperbolehkan oleh para dokter terhadap pasiennya. Selama ini belum pernah terdengar adanya kasus euthanasia digelar di pengadilan, tapi hal itu bukan berarti bahwa kasus euthanasia tidak pernah dihadapi oleh para dokter. Jika kita meneliti sejarah perkembangan hukum di Indonesia, terutama hukum pidananya hingga saat ini dilihat dari aspek yuridis praktisnya nampaknya belum pernah ada permasalahan euthanasia itu dijadikan dan diajukan sebagai suatu perkara pidana sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Oleh karena itu dalam setiap pembahasan masalah euthanasia khususnya aspek yuridis, maka

perkembangan euthanasia baik mengenai pelaksanaannya pun demikian pula yurisprudensi dari perundang-undangan mengenai euthanasia di negara-

82

Ibid,

65

negara lain yang serupa itu cukup mempunyai peran penting sebagai bahan pembanding.

1. MENURUT PANDANGAN AGAMA ISLAM (MUI) Dalam hal euthanasia di Indonesia, karena Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman kepercayaan agama dalam masyarakatnya. Penulis melakukan wawancara secara langsung dengan para tokoh agama yang mewakili agamanya masing-masing serta pakar hukum kesehatan. Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara secara langsung dengan Bapak DR.K.H.M. Hamdan Rasyid, MA selaku Ketua MUI Majelis Ulama Indonesia) untuk Propinsi DKI yang merupakan salah satu organisasi keagamaan di Indonesia dari pihak yang mewakili masyarakat Islam, beliau menjelaskan bahwa MUI sebagai salah satu organisasi umat Islam di Indonesia yang memberikan Fatwa atau sebuah larangan bagi umat Islam untuk melakukan tindakan medis euthanasia, menurut Majelis Ulama Indonesia, euthanasia adalah suatu tindakan yang diharamkan menurut Agama Islam, karena tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang mempercepat proses kematian seseorang yang dilakukan oleh tenaga medis, dengan cara menyuntikkan sejenis obat-obatan dengan dosis yang tinggi guna mempercepat proses kematian seseorang ataupun pencabutan alat bantu pernapasan yang berguna mempertahankan hidup si pasien yang sudah dalam keadaan kritis atau sudah tidak ada harapan lagi untuk kembali sembuh. Namun menurut MUI, bilamana dalam sebuah keadaan yang terpaksa

66

misalnya pasien yang keluarganya tidak memiliki biaya untuk proses penyembuhannya, maka dapat diperbolehkan suatu tindakan pengakhiran hidup pada pasien tersebut, karena faktor sudah tidak ada biaya lagi. Terkait masalah ini MUI mengeluarkan Fatwa tentang larangan euthanasia khususnya di Indonesia berdasarkan ayat-ayat Al-Quran yaitu surat AliImran ayat 3:156, 1. Menurut Islam, Hukum Euthanasia adalah haram, karena hak untuk menghidupkan dan mematikan manusia hanya berada di tangan Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Ali Imran ayat 156:

Artinya: Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. Ali Imran, 3: 156. 2. Menurut ketentuan surat An-Nisa ayat 4:29, berbunyi : Euthanasia merupakan suatu tindakan bunuh diri yang diharamkan oleh Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat An-Nisa ayat 29:

Artinya:

67

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu. An-Nisa, 4:29. 3. Demikian juga firman-Nya dalam surat Al-Anam ayat 151:

Artinya: Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Al-Anam, 6:151. 4. Seseorang yang sengaja melakukan tindakan bunuh diri, meskipun dengan cara melakukan Euthanasia maka selamanya akan menjadi penghuni neraka jahannam. Sebagaimana telah disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Abu Hurairah RA. Sebagai berikut:

68

Artinya: Barangsiapa segaja menjatuhkan diri dari gunung untuk bunuh diri kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka jahannam selama-lamanya dalam keadaan selalu menjatuhkan diri. Barangsiapa sengaja menenggak racun untuk bunuh diri kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka jahannam selama-lamanya dalam keadaan menenggak racun. Dan barangsiapa sengaja melakukan bunuh diri dengan besi kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka jahannam selamalamanya dalam keadaan sakit karena menusukkan besi ke dalam tubuhnya sendiri83 5. Seorang yang menderita suatu penyakit, betapapun parahnya dan sekalipun tidak ada harapan untuk disembuhkan adalah sedang diuji oleh Allah SWT; apakah dia bersabar dalam menghadapi musibah atau tidak. Demikian juga keluarganya. Oleh karena itu ia tidak boleh meminta kepada Dokter atau orang lain agar dipercepat kematiannya. Satu-satunya yang boleh dilakukan adalah berdoa kepada Allah SWT dengan doa sebagai berikut:

Artinya: Ya Allah hidupkanlah aku sepanjang hidup itu lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku sepanjang kematian itu lebih baik bagiku.84

Muhammad bin ismailil Abu Abdullah Al-Bukhari, al-jami as-Shahih al-Mukhatashar, (Beirut: Dar al-fiqr, 1987), juz ke- 5, hlm. 2179, no. 5442. Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mariy an-Nawawi, Shahil Muslim bi syarh an-Nawawi, (Beirut: Dar ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H), Juz 17. Hal 7
84

83

69

Menurut pihak dari MUI bahwa Fatwa tentang larangan euthanasia sudah dikeluarkan dan sudah diberlakukan secara efektif sejak tahun 90-an Fatwa ini sudah berlaku sebelum adanya pengajuan permohonan tindakan euthanasia kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh Panca Satria Hasan Kesuma kepada isterinya Ny. Agian Isna Nauli yang sedang dalam keadaan koma atau tidak sadarkan diri di tahun 2004. Bentuk dari Fatwa tidak dapat memberikan sanksi atas pihak yang melanggar Fatwa tersebut dikarenakan Fatwa hanya bersifat sebuah penjelasan tentang sesuatu larangan ataupun sebuah himbauan bagi umat muslim di seluruh Indonesia agar tidak melanggar larangan tersebut berkaitan dengan dosa orang yang melakukan tersebut terhadap Allah SWT. Adapun cara atau upaya yang dilakukan oleh pihak MUI adalah dengan melakukan sosialisasi dan mengumumkan bahwa euthanasia tersebut merupakan perbuatan yang bersifat mendahului takdir yang ditentukan oleh Allah SWT karena pada dasarnya yang berhak mematikan manusia adalah Allah SWT yang menciptakannya, namun bila hal tersebut dilanggar maka akan mendapatkan dosa.85

2. MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA (WALUBI) Penulis juga melakukan wawancara kepada pihak Walubi yaitu perwakilan organisasi keagamaan yang mewakili umat Buddha mengenai euthanasia yang diwakilkan oleh Romo Ruby S.Ag, MM.

Hasil Penelitian, Wawancara dengan Bapak K.H. Hamdan Rasyid selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Tanggal 10 mei 2010, Pukul 13.00 WIB

85

70

Euthanasia di dalam agama Buddha yang namanya melakukan pembunuhan dengan apapun bentuknya, baik mengatasnamakan agama itupun sangat tidak dibenarkan, karena dalam agama Buddha mengenal 5 Pancasila Buddies yang menjadi lambang Pancasila Negara Indonesia, ada Pancasila Buddies yang harus dipegang teguh oleh umat Buddha serta harus menghindari pembunuhan apapun bentuknya dan sekecil apapun perbuatan tersebut, karena agama Buddha berpegangan teguh pada moralitas sila, yaitu: 1. Sila pertama, dilarang untuk membunuh 2. Sila kedua dilarang untuk mencuri 3. Sila ketiga dilarang untuk melakukan perbuatan asusila atau berzinah, melakukan hubungan di luar dari suami atau isterinya sendiri. 4. Dilarang berbicara yang tidak benar atau berbohong dan yang terakhir adalah larangan untuk tidak memakan dan meminum sesuatu yang mengakibatkan lemahnya kesadaran. Pancasila Buddies inilah yang menjadi dasar yang dipegang teguh oleh umat Buddha, jadi bilamana ada pertanyaan tentang dapatkah euthanasia dibenarkan menurut agama Buddha? Menurut ajaran agama Buddha apapun alasannya walaupun dengan mengatasnamakan agama Buddha, agama Buddha tidak membenarkan hal tersebut. Contohnya Apabila seseorang mempunyai penyakit kronis, menurut pandangan agama Buddha seseorang yang mengalami sakit tersebut baik anak, suami-isterinya, atau keluarganya diberikan kesempatan untuk melakukan suatu kebaikan kepada leluhur,

71

dimana leluhur tersebut mempunyai jasa yang luar biasa atas hidup di masa lalu, karena dalam agama Buddha dikenal dengan istilah Karma, baik itu Karma baik maupun Karma buruk. Dimana apabila seseorang melakukan kebajikan kepada orang lain maka di kehidupan yang akan datang atau lebih dikenal dengan istilah Reinkarnasi, orang tersebut akan mendapatkan kebaikan yang setimpal atas kebaikan yang telah dia lakukan di kehidupan yang lalu. Begitupun sebaliknya apabila seseorang yang melakukan Karma buruk akan mendapatkan balasan atas kejahatan yang telah dilakukannya. Dalam agama Buddha hukuman atau sanksi yang akan didapatkan oleh orang yang telah melakukan tindakan euthanasia ataupun yang menganjurkan tindakan tersebut, menyuruh, berarti sudah melakukan Karma buruk karena tindakan tersebut telah membuat sebuah penderitaan bagi orang lain. 86

3. MENURUT PANDANGAN AGAMA KRISTEN (PGI) Menurut Agama Kristen Penulis melakukan wawancara kepada pihak Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang mewakili umat Kristen di Indonesia yang diwakili oleh Bapak Novel Matindas, M.TH mengenai masalah Euthanasia.87 Menurut bapak Novel Matindas pandangan Agama Kristen mengenai masalah euthanasia tidak bisa dikatakan dari sudut pandang Protestan ataupun Katolik karena sifatnya beragam pandangan, bahkan

Hasil Penelitian Wawancara dengan Romo Rubby S.Ag, MM Pihak dari WALUBI, Daerah khusus Ibukota Jakarta, Tanggal 19 mei 2010, Pukul 15.00 WIB Hasil Penelitian Wawancara dengan Novel Matindas, M.TH Pihak dari PGI (persatuan Gereja-greja di Indonesia daerah khusus Ibukota Jakarta, Tanggal 1 Juni 2010, Pukul 14.30 WIB.
87

86

72

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sendiri pun belum dapat menentukan pandangannya secara khusus melarang tindakan euthanasia. Mengenai pengaturan masalah euthanasia pada ajaran agama Kristen, tergantung bagaimana penerapan ajaran-ajaran masing-masing Gereja. Di dalam Persekutuan Gereja-gereja Indonesia sendri terdapat 88 Synode Gereja yang ajarannya tidak sama. Tetapi baik di Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sendiri sudah pasti tidak sama dengan 88 ajaran Synode yang ada, PGI lebih memilih jalan Moderat artinya tidak menolak 100% dan tidak juga menyetujui 100% karena euthanasia ini bersifat etika. Sebenarnya kehidupan ini diyakini dari Tuhan asalnya dan ada orang yang beranggapan ketika seorang Dokter atau keluarga melakukan euthanasia berarti kita telah dianggap membunuh orang itu, tetapi orang yang memang sistem kehidupannya sudah tidak berfungsi lagi dengan baik dan harus ditopang dengan alat-alat kedokteran yang bisa membuat orang tersebut dalam keadaan bernafas walaupun tingkat kesadarannya tidak ada, namun ketika alat bantu di cabut maka orang tersebut akan meninggal, jadi pada intinya bagaimana seseorang berhadapan dengan teknologi canggih. Dalam hal ini yang dilarang dalam ajaran-ajaran Agama Kristen yang diyakini oleh Persekutuan Gerejagereja di Indonesia adalah tindakan membunuh sesama manusia artinya mengambil alih apa yang menjadi wewenang Tuhan atau Sang Pencipta yang menciptakan manusia, Tuhan yang memberikan kehidupan dan Tuhan pula yang berhak mencabut hak-hak kehidupan yang telah diberika kepada

73

manusia. Bahkan bukan dari orang itu sendiri memohon untuk dimatikan ataupun melakukan tindakan bunuh diri. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sendiri tidak mempunyai aturan secara khusus mengenai masalah euthanasia secara tertulis maupun secara tidak tertulis, tetapi di dalam ajaran-ajaran Agama kristen hanya ada disebut dengan Dokumen Keesaan Gereja yang gunanya merupakan panduan yang dikeluarkan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dan harus dijalani oleh Gereja-gereja yang bernaung di bawah PGI dan diterapkan kepada umat Nasrani. Dan di dalam dokumen keesaan Gereja, secara khusus tidak diatur mengenai masalah euthanasia tetapi mengenai panduan kehidupan serta bagaimana kita menyikapi kehidupan manusia. Maka kesimpulanya, menurut Bapak Novel Matindas mengenai pengaturan tentang masalah euthanasia di dalam Dokumen Keesaan Gereja adalah tidak ada.88 Untuk masalah sanksi yang diberikan kepada umat Kristen, Dahulu ada aturan yang bernama sanksi Gereja dan diberlakukan kepada jemaat yang melanggar aturan Gereja tetapi hal tersebut tidak berlaku lagi dan tidak lagi dikeluarkan oleh PGI karena pada dasarnya PGI tidak bisa menghukum seseorang seperti adanya sistem yang dimiliki oleh pengadilan. Jadi sanksi tersebut hanya diberikan oleh masing-masing Gereja saja. Maka oleh sebab itu, sampai saat ini belum ada sanksi yang diberikan kepada umat Kristen mengenai masalah euthanasia. Euthanasia ini bisa terjadi kapan saja dan dimana saja tetapi itupun di luar dari pantauan pihak PGI, tetapi pihak PGI

88

Ibid, Hasil Penelitian Wawancara dengan Novel Matindas, M.TH Pihak dari PGI

74

sendiri mengatakan bahwa Gereja-gereja yang bernaung di bawahnya saat ini tidak pernah sama sekali ada umatnya melakukan tindakan euthanasia. Adapun upaya yang dilakukan pihak PGI mengenai permasalahan euthanasia adalah dengan melakukan diskusi-diskusi terbuka yang dilakukan oleh pihak kedokteran ataupun secara lintas agama mengenai permasalahan euthanasia sudah sangat sering dilakukan, bahkan di sekolah-sekolah Teologi yang banyak mencetak para Pendeta sudah sangat Intens dilakukan di setiap Semesternya secara khusus membahas mengenai masalah euthanasia.
Mengenai perbedaan pandangan antara Protestan dan Katolik soal euthanasia Menurut Bapak Novel Matidas ada perbedaan pandangan tentang euthanasia dari Protestan dan Katolik dan juga ada persamaan mengenai sudut pandang euthanasia. kesimpulanya adalah sudah pasti kedua-duanya menghargai sebuah kehiduapan yang diberikan oleh Tuhan yang memiliki kuasa untuk mencabut nyawa seoarang manusia.

4. MENURUT PANDANGAN AGAMA HINDU (PHDI)

Sedangkan menurut ajaran agama Hindu penulis malakukan wawancara kepada pihak Parisada Hindu Dharma Indonesia, selanjutnya disebut Parisada, didirikan di Denpasar, pada hari Coma Wage Julungwagi, purnama Palguna Masa, Saka Warsa seribu delapan ratus delapan puluh, dan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Hindu dengan keyakinan, komitmen dan kesetian yang tinggi terhadap ajaran agama Hindu menuju kesejahteraan lahir dan batin. Dan sebagai narasumber diwakili oleh Bapak DR. Nyoman Budiarna, MH dan Bapak I Gusti Komang Widana

75

S.Ag.M.Fil.H.89 Menurut Pustaka Canakaya Nitisastra menyatakan bahwa : umur, (Ayuh), pekerjaan (Karma), kekayaan (Vittam), ilmu pengetahuan (Vidya) dan kematian (Nadhanam). Kelima hal itu sudah ditentukan saat manusia masih dalam kandungan. Tentunya Tuhan tidak sewenang-wenang menentukan lima nasib manusia tersebut. Tuhan menentukan lima nasib manusia itu berdasarkan karma-karmanya pada kelahiran sebelumnya, menurut ajaran Hindu Tuhanlah yang sebenarnya menentukan kapan manusia hidupnya berakhir di dunia ini. Oleh karena itu melakukan tindakan Euthanasia atau mengakhiri hidup seseorang dengan tindakan medis tentunya tidak dibenarkan menurut ajaran Agama Hindu. Dalam pustaka Bhuwana Kosha dinyatakan bahwa Tuhan sebagai perwujudan Utpati, Sthiti dan Pralina. Ini artinya kapan kita lahir, hidup dan mati Tuhan yang menentukan. Tuhan menentukan ketiga hal itu berdasarkan karma-karma yang telah dilakukan pada kelahiran-kelahiran sebelumnya. Sedangkan menurut Bapak DR. Nyoman Budiarna dan Bapak I Gusti Komang Widana Dokter dalam ajaran Hindu disebut Vaidya Fungsinya adalah untuk memelihara kesehatan agar panjang umur dan mengobati orang sakit agar jangan sampai hidup menderita. Tentunya tidak dibenarkan seorang Vaidya melakukan tindakan mengakhiri hidup seseorang.90 Menurut pandangan ajaran Hindu mengenai sanksi yang di berikan bila ada umat Hindu yang melakukan tindakan

Hasil Penelitian Wawancara dengan Pihak Parisada Hindu Dharna Indonesia oleh Bapak DR. Nyoman Budiarna, MH dan Bapak I Gusti Komang Widana S.Ag.M.Fil.H. Tanggal 19 Juli 2010, Pukul 09.00 WIB Ibid Hasil Penelitian Wawancara dengan DR. Nyoman Budiarna dan I Gusti Komang Widana S.Ag.M.Fil.H
90

89

76

euthanasia, maka narasumber berpendapat Norma hidup itu ada empat, yaitu Norma Agama, Norma Kesusilaan, Norma Kesopanan dan Norma Hukum. Norma Agama sumbernya dari Sabda Tuhan. Sedangkan Sanksi bagi umat Hindu yang melakukan tindakan tersebut adalah tergantung pada kualitas keyakinan seseorang pada Tuhan. Norma kesusilaan bersumber dari hati nurani. Sanksinya tergantung pada kuatnya suara hati nurani seseorang, norma kesopanan sosial seseorang, dan norma Hukum yang dibuat oleh orang yang berkompeten untuk itu, sanksinya tegas dan nyata sesuai dengan yang ditetapkan oleh norma hukum tersebut. Selain itu membunuh orang tak berdosa itu sesuatu perbuatan yang besar dosanya dan Neraka sebagi sanksinya menurut ajran agama Hindu.91 Menurut Parisada Hindu Dharma Indonesia, euthanasia itu adalah tergolong perbuatan pembunuhan tentunya sudah ada banyak sekali berbagai ketentuan dalam ajaran Hindu yang melarangnya, karena suatu perbuatan yang mengakibatkan dosa besar.92

91 Ibid Hasil Penelitian Wawancara dengan DR. Nyoman Budiarna dan I Gusti Komang Widana S.Ag.M.Fil.H. 92

Ibid

77

B. EUTHANASIA

BERDASARKAN

DARI

PERSPEKTIF

HUKUM

PIDANA DI INDONESIA SERTA MENURUT UNDANG-UNDANG KESEHATAN No 36 TAHUN 2009 Di Indonesia dilihat dari aspek hukum pidana, maka euthanasia dalam bentuk apapun adalah dilarang. Euthanasia aktif atas permintaan dilarang menurut pasal 344, yang berbunyi : Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun Dengan demikian, apabila ada terjadi seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang ingin membantu dalam hal euthanasia atas permintaan atau desakan berdasarkan rasa kemanusiaan atau perasaan kasihan yang mendalam ataupun berdasarkan prinsip-prinsip etika kedokteran tertentu yang sedang berkembang akan menghadapi situasi yang sangat sulit, karena kemungkinan dokter yang telah membantu melaksanakan euthanasia atas permintaan tersebut dapat dikenai pasal sebagaimana telah dijelaskan di atas.93 Walaupun euthanasia itu merupakan perbuatan yang terlarang dan dapat diancam pidana seperti diatur dalam pasal 344 KUHP, namun adalah suatu realita bahwasanya sejak terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Pidana sampai sekarang belum ada kasus yang nyata di Indonesia, yang menguji sikap kita yang berhubungan dengan euthanasia yang diatur dalam pasal 344 KUHP tersebut. Kendati begitu adalah pasti bahwasanya dengan
93

Imrin Halimy, Op.Cit

78

mencantumkannya pasal 344 KUHP tersebut, pengundang-undang tentunya mesti dan telah menduga-duga sebelumnya, bahwa euthanasia akan pernah terjadi di Indonesia dan kemungkinan akan terjadinya pula untuk masa yang akan datang. 94 Dalam hubungan itu, memang ada beberapa sebab yang dapat menghambat suatu kasus itu, yang berhubungan dengan pasal tersebut ( mengenai euthanasia) tidak dapat sampai ke pengadilan, antara lain, yaitu :95 1. Apabila memang betul-betul bahwa euthanasia ini terjadi di Indonesia, akan tetapi tidak pernah dilaporkan kepada Polisi sehingga sulit untuk mengadakan pengusutan lebih lanjut. 2. Mungkin juga karena keluarga si korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian yang disebut sebagai euthanasia , ataupun memang masyarakat Indonesia ini kebanyakan masih awam terhadap hukum, apalagi yang menyangkut masalah euthanasia yang jarang terjadi dan bahkan tidak pernah terjadi itu. 3. Alat-alat kedokteran di kebanyakan Rumah Sakit seperti di Negara-negara maju, misalnya adanya Respirator, sistem organ tranplantasi dan sebagainya yang dapat mencegah kematian seseorang pasien secara teknis untuk beberapa hari, minggu atau beberapa bulan. Seperti yang diketahui bahwa pasal 344 KUHP yang dikenal sebagi pasal Euthanasia , dan dari bunyi pasal tersebut dapatlah diambil suatu unsur
94

Ibid, Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm. 134

,
95

79

yang penting, yang justru dapat menentukan apakah seseorang itu dapat dipidana berdasarkan pasal 344 KUHP atau tidak. Unsur tersebut adalah atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati. Agar unsur ini tidak disalahgunakan, maka unsur tersebut yaitu atas permintaan yang tegas, sungguh-sungguh atau nyata dan harus dapat dibuktikan. Tidaklah cukup apabila hanya terdapat persetujuan belaka antara kedua belah pihak. Dengan sulitnya untuk menerapkan pasal 344 KUHP ini, rupa-rupa dari perundang-undangan mengenai nasib pasal tersebut, terlepas dari berat atau ringannya sanksi yang diancamkan, masih tetap untuk dipertahankan terus. Alasan yang dipakai adalah bahwa pasal 344 KUHP ini masih mencerminkan hak-hak asasi manusia untuk hidup terus.96 di samping itu pasal tersebut mengandung makna bahwa nyawa manusia harus tetap dilindungi, tidak saja dari ancaman orang lain, tetapi juga dari usaha orangnya sendiri untuk mengakhiri hidupnya. Walaupun demikian, agar pasal 344 KUHP dapat diterapkan dalam praktek, maka sebaiknya dalam rangka Ius Constituendum Hukum pidana, maka rumusan pasal 344 KUHP yang ada sekarang ini perlu untuk dirumuskan kembali, sehingga pasal 344 KUHP ini terasa lebih hidup dan dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam pembuktiannya. Perumusan kembali disini dimaksudkan untuk bisa memperhatikan serta memperhitungkan pula perkembangan dan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan. Dengan pengertian lain, bahwa dengan memperhatikan dan
Djoko Prakoso, Euthanasia dan hak asasi manusia dan hukum pidana, Cetakan Pertama, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 106
96

80

memperhitungkan kemajuan ilmu pengetahuan, maka perumusan pasal 344 KUHP nantinya akan membuat pasal tersebut terasa lebih hidup dan memudahkan dalam hal pembuktiannya, namun seyogianya pula jangan bersifat kaku dan statis tetapi hendaknya lebih bersifat fleksibel dan dinamis, berkembang mengikuti perkembangan dan kemajuan-kemajuan yang telah di capai oleh manusia. Kaitannya dengan perumusan kembali atau perubahan suatu Undangundang tertentu (dalam hal ini KUHP), maka ada 3 faktor yang harus di perhatikan oleh pembuat Undang-undang, ialah:97 1. Pertama-tama,pembuat Undang-undang harus mempertimbangkan semua argumentasi yang pro dan kontra; 2. Kedua, pembuat Undang-undang harus menanyakan pada diri sendiri apakah mungkin untuk membuat suatu peratuan undangundang yang jelas dan yang memberikan kepastian hukum dan yang tidak menimbulkan kesulitan interpretasi; 3. Ketiga, pembuat Undang-undang harus dapat memperhitungkan pula akibat-akibat dari perubahan atau pembaharuan Undangundang tersebut. Dalam hubungannya dengan guru besar Hukum Kesehatan (satu dari lima guru besar hukum kesehatan dewasa ini di Netherland) pada Universitas Erasmus Rotterdam yaitu Mr. W. J. Van Der Mijn mengemukakan beberapa argumentasi yang pro dan yang kontra perbaikan atau pembaharuan Undang-

97

Fred Ameln,Simposium Euthanasia, (Jakarta : 1984), hlm, 20

81

undang berkaitan dengan euthanasia. Sebagaimana argumentasi yang pro, Van Der Mijn mengemukakan sebagai berikut : a. Pembuat Undang-undang mempunyai kewajiban untuk mengakui (erkennen, recognize) hak untuk self determination dari pasien. b. Seluruh kekuasaan untuk menentukan dan seluruh tanggung jawab dalam hal euthanasia dewasa ini adalah atas pundak dokter dan hal ini tidak pada tempatnya. Pasien seluruhnya tergantung pada pendapat medis dan etis dari dokter (gheel overgelater aan het medis en etisoordell van de arts). c. Teks dari pasal 344 KUHP memberikan suatu tekanan jiwa (gewetensdwang) pada dokter. d. Para dokter pada kasus-kasus euthanasia ragu-ragu dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan ; walaupun sudah banyak dapat diketahui dari yurisprudensi. Akan tetapi, yurisprudensi tersebut masih sumir. Sebagai argumentasi yang kontra perbaikan atau pembaharuan, Van Der Mijn menyebutkan: a. Pembuat undang-undang berkewajiban untuk melindungi hidup manusia dan tidak boleh mengizinkan bahwa orang menentukan tentang hidupnya sendiri; b. Pembentukan opini atau pendapat dalam masyarakat tentang euthanasia belum terkristalisasi, dan keadaan tersebut tidak tepat untuk memperbaharui Undang-undang;

82

c. Pengakuan yuridis dari euthanasia bisa mengakibatkan kepercayaan pasien terhadap dokter akan berkurang; d. Undang-undang yang telah diperbaiki atau telah diperbaharui bisa disalahgunakan oleh orang-orang yang ingin

menyalahgunakan; e. Perubahan atau pembaharuan Undang-undang tidak perlu karena yurisprudensi sebagai sumber hukum sudah banyak mengatur tentang euthanasia. Bahwa andai kata pasal 344 KUHP ini ditambah dengan peraturan yang diusulkannya itu, maka akibat yang penting ialah terjadinya pengakuan terhadap hak mati untuk menentukan nasib sendiri khususnya yang berhubungan dengan matinya. Dalam konteksnya di Indonesia, pasal 344 KUHP tersebut cukup diadakan perubahan atau peninjauan kembali dalam hal unsur. Menurut penulis ius constituendum dalam arti yang memperhatikan serta memperhitungkan aspek kemajuan yang dicapai manusia dewasa ini, sehingga diharapkan suatu peraturan perundang-undangan ( dalam hal ini pasal tentang euthanasia) itu bisa lebih bersifat hidup, praktis dan dinamis, dengan kata lain belum cukup bilamana yang dirubah atau ditinjau kembali hanya unsur pasalnya saja. Eksistensi euthanasia merupakan konsekuensi logis dari keberadaan keadaan kemajuan yang demikian pesatnya dalam dunia kedokteran, seperti yang sekarang sedang dialami oleh negara-negara maju. Bukanlah hal yang

83

mustahil bila keadaan demikian itu akan dialami pula oleh Indonesia (khususnya dalam dunia medis) di masa-masa mendatang, yakni dengan telah dipakainya peralatan-peralatan atau mesin-mesin kedokteran yang serba modern selama ini sudah dipergunakan oleh negar-negara maju. Secara hukum euthanasia terdapat dalam beberapa pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan tersirat dalam beberapa pasal Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), tetapi dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan euthanasia tidak disinggung. Dalam kajian-kajian hukum kedokteran, ternyata ada beberapa keadaan yang mirip dengan keadaan euthanasia akan tetapi sebenarnya bukan euthanasia, artinya tidak termasuk dalam rumusan yang dimaksud oleh pasal 344 KUHP. Sejauh ini aturan-aturan hukum yang ada di Indonesia masih berkaitan dengan euthanasia begitu pula dengan transplantasi dalam keadaan biasa, sedangkan pada keadaan khusus (seperti donor terpidana mati) belum lagi dirumuskan. Disamping itu, aturan-aturan hukum sangat menitikberatkan pada donor dan resipien, tidak atau sedikit sekali berkaitan dengan kedokteran yang melakukan transplantasi. Dengan kata lain, sebenarnya tanggung jawab hukum dokter dalam transplantasi yang biasa adalah minimal dan itu berarti resiko hukumnya justru paling kecil. Dalam hal ini euthanasia dari sudut hukum di Indonesia dipandang dari segi hukum pidana, dalam KUHP mengatur adanya euthanasia ini melalui beberapa pasalnya (Pada khususnya pasal 344 yang sering disebut-

84

sebut sebagai pasal euthanasia), walaupun pasal-pasal tersebut tidak mempunyai istilah euthanasia di dalam bunyi setiap pasalnya itu. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia, antara lain pada pasal 304, pasal 338, pasal 340, pasal 345, dan pasal 359. Dari KUHPerdata secara umum berkaitan dengan hubungan hukum antara dokter dengan pasien ataupun dengan keluarga pasien, dalam hal untuk melakukan suatu perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas para pihak dalam hal ini asas kebebasan berkontrak antara para pihak yang dimana di sini adalah dokter dengan pasien, hal-hal apa saja yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Posisi serba salah seorang dokter apabila melakukan suatu tindakan atas seorang pasien yang kemudian menyebabkan meninggalnya si pasien, maka dokter tersebut akan dikenakan sanksi pidana yaitu pasal 304 KUHP yang berbunyi :98 Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau persetujuannya, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara.

Sebaliknya, apabila seorang dokter menuruti permintaan dari seorang pasien untuk mati (euthanasia aktif), dapat dikenai pasal-pasal KUHP, khususnya pasal 344. Selain itu adanya pandangan menurut Undang-undang kesehatan No 36 tahun 2009 pada pasal 52 dialamnya di atur tentang adanya hak pasien
98

Moeljatno, Op.Cit

85

untuk menentukan suatu tindakan medis dapat dialakuan kepada pasien tersebut atau tidak. Namun hal tersebut berlaku pada pasien yang memiliki penyakit yang dapat secara cepat menular kedalam masyarakat yang lebih luas, serta seseorang yang sudah tidak sadarkan diri lagi. Bila hal tersebut diakitkan pada hukum pidana maka hal tersebut lebih tepatnya adalah dalam keadaan darurat. Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena kuasa tidak berlawanan (force majeure). Dalam dunia kedokteran dapat terjadi keadaan yang sebenarnya telah diatur dengan pasal 48 KUHP. Selain itu pengaturan dalam segi hukum yaitu pengaturan berdasarkan fatwa dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam hal fatwanya tidak memperbolehkan euthanasia karena tidak diperbolehkan agama. Hal senada juga ditegaskan oleh PGI, hanya dengan catatan bila secara medis sudah tidak ada harapan sembuh dan kondisi pasien justru semakin menderita. Membunuh tidak dibenarkan dalam agama manapun namun keputusan euthanasia atas seseorang hanya bisa dilakukan jika diambil dalam persidangan yang mendengarkan keterangan ahli hukum, etika kedokteran, dan agama pasien. 99 Menurut Pertus Yoyo Karyadi dalam bukunya: Sampai saat ini di Indonesia belum terdengar terjadinya kasus euthanasia yang muncul sampai ke meja pengadilan. Belum pernah terjadi pengadilan di Indonesia mengadili seseorang yang diduga telah melakukan euthanasia.100

99

Ibid Petrus Yoyo Karyadi, Op.Cit

100

86

Namun dalam hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah memang benar di Indonesia belum pernah terjadi kasus euthanasia (aktif)? Ataukah kebetulan para pihak yang mengetahui hal tersebut sungkan untuk melaporkannya? Akan tetapi, banyak orang mengatakan bahwa euthanasia pasif cukup banyak dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia. Sedangkan menurut Kartono Mohamad (Kompas, 6 Mei 1989: IV), euthanasia aktif pernah dilakukan di Indonesia, yaitu ketika dokter harus memilih menyelamatkan seorang ibu atau bayinya yang akan lahir. Kasus itu terjadi setelah diketahui bahwa proses kelahiran bayi akan membahayakan nyawa si ibu. Cara yang dipilih biasanya adalah menyelamatkan si ibu dengan mematikan bayinya. 101 Namun menurut pendapat Petrus Yoyo karyadi pendapat Kartono Mohamad di atas adalah kurang tepat. Hal tersebut disebabkan sekalipun bayi (janin) itu sudah cukup umur untuk dilahirkan tetapi selama masih di dalam kandungan ibunya (belum dilahirkan) kemudian dimatikan demi

menyelamatkan nyawa ibunya, pengakhiran hidup bayi tersebut tetap harus digolongkan dalam pengertian Abortus dan bukan termasuk masalah euthanasia . Jadi, jangan sampai dirancukan antara batasan euthanasia dengan batasan abortus, walaupun keduanya sama-sama menghilangkan nyawa manusia Dengan demikian, memang euthanasia aktif belum pernah terdengar di Indonesia ini.102

101

Ibid, Ibid,

102

87

Tindak pidana pembunuhan atas permintaan dari korban sendiri itu telah diatur dalam pasal 344 KUHP yang rumusannya di dalam bahasa Belanda berbunyi sebagi berikut:103 Hij dei een ander op diens uitdrukkelijk en ernsting verlangen van het leven berooft, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten hoogsta twaalf jaren.

Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam rumusan pasal 344 KUHP itu sama sekali tidak mempunyai unsur subjektif melainkan hanya mempunyai unsur-unsur objektif masingmasing yakni:
1. Beroven atau menghilangkan 2. Leven atau nyawa 3. een ander atau orang lain 4. op verlangen atau atas permintaan 5. uitdrukkelijk en ernsting atau secara tegas dan sungguh-sungguh.

Karena dalam rumusan pasal 344 KUHP di atas tidak terdapat unsur opzet, timbul pertanyaan apakah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu tidak perlu harus dilakukan dengan sengaja? Walaupun unsur opzet itu telah tidak disiratkan secara tegas di dalam rumusan pasal 344 KUHP, akan tetapi unsur tersebut dianggap sebagai salah satu jenis pembunuhan seperti yang diatur di dalamnya.
Drs. P.A.F. Lamitang,S.H. Delik-delik khusus kejahatan terhadap nyawa, Tubuh dan kesehatan serta kejahatan yang membahayakan bagi nyawa, Tubuh dan kesehatan (Bandung : 1986, Penerbit binacipta ), hlm. 64.
103

88

Unsur adanya permintaan yang sifatnya tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu merupakan dasar yang meringankan pidana bagi tindak pidana pembunuhan seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP. Bagaimana kini jika permintaan yang sifatnya tegas dan sungguhsungguh itu telah disampaikan kepada pelaku oleh seorang anak kecil atau oleh seorang yang mempunyai penyakit jiwa. Apakah orang masih dapat mengatakan bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana pembunuhan seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP ? Professor van Hattum berpendapat, dalam hal semacam itu pelaku dapat dipersalahkan telah melakukan suatu pembunuhan dengan

direncanakan lebih dahulu atau moord, jika ia kemudian ternyata benar-benar telah memenuhi permintaan yang dikemukakan oleh seorang anak kecil atau seorang yang mempunyai penyakit jiwa. Karena unndang-undang tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain seperti yang dimaksud dalam pasal 344 KUHP itu, harus dilakukan oleh pelakunya. Maka timbullah beberapa pendapat di dalam doktrin. Profesor Simons berpendapat bahwa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu dapat terjadi tanpa pelaku harus melakukan sesuatu tindakan, atau dengan kata lain dengan sikap pasif itu seseorang dapat dipandang telah menghilangkan nyawa orang lain seperti yang dimaksud dalam pasal 344 KUHP. Sedangkan menurut Profesor Noyon, sesuai dengan rumusan dari ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 344

89

KUHP itu sendiri, kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu harus dilakukan oleh pelaku dengan sesuatu perbuatan yang sifatnya aktif atau dengan kata lain ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 344 KUHP itu hanya dapat diberlakukan bagi orang yang melakukannya, jika orang tersebut secara aktif telah melakukan sesuatu perbuatan yang menyebabkan meninggalnya orang lain atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari orang lain itu sendiri. Menurut penulis, pendapat-pendapat Profesor Simons di atas itu masih memerlukan penjelasan lebih lanjut yakni tentang siapa yang dapat di persalahkan karena telah menghilangkan nyawa orang lain seperti yang dimaksud dalam pasal 344 KUHP, dalam hal ini, berarti orang tersebut tidak melakukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa korban. Karena ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 344 KUHP itu berlaku bagi setiap orang, maka pendapat Professor Simons itu dapat

mendatangkan bahaya bagi setiap orang. Pada setiap saat dapat dipersalahkan karena tidak melakukan sesuatu untuk menyelematkan nyawa korban yang secara tegas sungguh-sungguh telah meminta kepada mereka untuk tidak menyelamatkan nyawanya. Sebagai contoh adalah misalnya mereka yang bermaksud menolong seorang korban kecelakaan yang menderita luka berat, dimana orang tersebut tidak melakukan suatu tindakan, misalnya membawa korban ke rumah sakit atau ke dokter terdekat, semata-mata karena korban telah minta secara tegas dan sungguh-sungguh kepada mereka untuk membiarkan dirinya meninggal

90

dunia dari pada harus tetap hidup dalam keadaan cacat seumur hidup. Karena pada waktu terjadi kecelakaan seperti itu biasanya orang berduyun-duyun datang ke tempat kecelakaan, baik dengan maksud untuk memberikan pertolongan maupun dengan tujuan untuk mengetahui apa yang telah terjadi, maka setiap orang yang telah datang di tempat kejadian dengan maksud untuk memberikan pertolongan, yang kemudian ternyata telah membiarkan korban meninggal dunia, karena mereka itu telah diminta dengan tegas dan sungguhsungguh oleh korban untuk bersikap demikian, pastilah harus dipersalahkan telah melakukan tindak pidana pembunuhan seperti dalam pasal 344 KUHP Sepengetahuan Penulis, di dalam yurisprudensi belum pernah Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengeluarkan pendapatnya mengenai kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari korban seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP, akan tetapi Hoge Raad pernah mengeluarkan pendapat tentang masalah tersebut, yang pada dasarnya telah mengatakan bahwa masalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain karena adanya rasa kasihan pada korban, yang timbul karena adanya permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu, dari waktu ke waktu ada hubungannya dengan pandangan orang apakah euthanasia atau euthanasie itu dapat dibenarkan atau tidak. Menurut professor van Hattum, yang dimaksud dengan euthanasia itu ialah: Het versnellen van het stervenprocer bij lijders aan ongeneeslijke ziekten door toepassing of nalating van medische behandeling, met het doel hen en hul verwanten een pijnlijke of aesthetisch aanstotelijke dood te besparen.

91

Yang artinya: Sikap mempercepat proses kematian pada penderitapenderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan melakukan atau dengan tidak melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud untuk membantu korban menghindarkan diri dari penderitaan dalam menghadapi kematiannya dan untuk membantu keluarganya menghindarkan diri melihat penderitaan korban dalam menghadapi kematiannya. Pada dasarnya terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai euthanasia, yakni apakah Euthanasia tersebut dapat dibenarkan atau tidak. Di satu pihak terdapat orang-orang yang dapat membenarkan euthanasia dengan alasan bahwa apabila suatu penderitaan itu tidak ada gunanya sama sekali (zinloos) dan usaha mempertahankan nyawa korban itu sudah tidak dapat diharapkan lagi dapat menyelamatkan nyawa korban, maka fungsi meniadakan rasa sakit menurut ilmu kedokteranlah yang harus diutamakan. Maka berpendapat bahwa pemberian obat yang meniadakan rasa sakit (pijnstillend middle) dalam dosis yang terbatas dengan pemberian obat yang sama dalam dosis yang mematikan itu tidak terdapat perbedaan yang sifatnya prinsipal. Alasan lain yang mereka kemukakan adalah sesuai dengan pengalaman mereka, bahwa suatu diagnosa itu tidak pernah dapat membantu untuk menentukan secara pasti apakah suatu penderitaan itu ada gunanya atau tidak. Di antara para penganut yang dapat membenarkan euthanasia terdapat seorang penulis terkenal bernama Thomas More yang di dalam kitabnya yang terkenal pula yakni Utopia telah membela kebenaran pendapat dari mereka yang dapat membenarkan euthanasia.

92

Di lain pihak terdapat juga orang-orang yang tidak dapat membenarkan euthanasia dengan alasan yang berbeda-beda. Di antara orangorang yang tidak dapat membenarkan euthanasia, bahkan secara tegas telah melarang euthanasia terhadap seorang pemikir yang terkenal yakni Hippocrates. Pemikiran dari Hippocrates itu kemudian menjadi terkenal hingga saat ini di kalangan ahli medis dengan apa yang mereka sebut sebagai sumpah Hipokrates atau yang dalam bahasa Belanda juga di sebut sebagai de eed van Hippocrates, yang melarang para ahli medis melakukan euthanasia. Permasalahan mengenai apakah euthanasia itu dapat dibenarkan atau tidak, hingga kini masih menjadi pokok pembahasan secara ilmiah dan secara filosofi dalam tulisan-tulisan para ahli di bidang ilmu pengetahuan yang berbeda-beda. Pengadilan Utrecht dengan tegas telah menyalahkan orang yang melakukan suatu dengan menjatuhkan pidana penjara bersyarat selama satu tahun kepada seorang terdakwa yang dengan nyata telah melakukan suatu euthanasia. Menurut penulis, euthanasia itu adalah bertentangan dengan asas ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu asas dari pandangan hidup bangsa dan falsafah Negara pancasila , karena bangsa Indonesia itu mempunyai kepercayaan yang tidak terbatas akan Keesaan Tuhannya, dimana Tuhan Yang Maha Esa-lah yang maha menentukan tentang mati hidupnya umat manusia. Walaupun secara ilmiah orang berpendapat bahwa

93

seseorang itu tidak mungkin atau mustahil dapat dimbuhkan dari sesuatu penyakit yang ia derita, akan tetapi bangsa Indonesia percaya bahwa pada akhirnya Tuhanlah yang maha menentukan apakah orang itu akan sembuh kembali atau akan meninggal dunia. Kecuali atas asas kemanusiaan yang adil dan beradab pun mewajibkan orang untuk berdasarkan kepercayaannya pada Keesaan Tuhan tetap berikhtiar menolong orang lain mempertahankan nyawanya dan bukan sebaliknya yakni berusaha mempercepat kematiannya dengan mendahului kehendak Yang Maha Esa. Akan tetapi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut pendapat DR. Faiq Bahfen kesulitan dalam hal pro dan kontra terhadap Euthanasia tidak dapat terjawabkan selama definisi dari mati di Indonesia belum jelas, apabila definisi tentang mati telah dapat di ketahui maka pro dan kontra akan hal tersebut akan terjawab.104 Perasaan tidak menyenangkan atau perasaan tidak nyaman baik dari segi tindakan medis yang dilakukan para dokter atau para medis lainnya ataupun tanggungjawab dari keluarga pasien dalam menghadapi situasi yang terjadi terhadap si pasien tidak akan terjadi. Namun menurut pendapat penulis, bagaimanapun juga keadaannya semua orang harus kembali kepada dasar agama, karena pada dasarnya agama adalah suatu dasar seseorang dalam bertindak karena tidak ada agama yang menganjurkan umatnya untuk melakukan kejahatan dalam bentuk apapun. Semua itu ditopang dengan pengaturan secara riil di kehidupan

bermasyarakat agar tidak adanya kesimpangsiuran atau ketidakjelasan atas

104

Hasil penelitian dan Wawancara dengan Bapak Dr. Faiq Bahfen, Op.Cit

94

suatu tindakan yang akan didefinisikan suatu kejahatan yang dapat membuat seseorang dipidanakan.

95

BAB V PENUTUP

A.

KESIMPULAN Setelah mengetahui permasalahan yang ada dalam suatu tindakan Euthanasia sebagai batasan masalah dari judul yang penulis kemukakan yaitu: Euthanasia dalam perspektif agama dan hukum pidana di Indonesia. Bahwa tindakan euthanasia atau biasanya disebut dengan tindakan suntik mati adalah agar pasien yang menderita sakit dapat mengakhiri hidupnya yang sebagian orang berpendapat bahwa euthanasia adalah hak asasi dari seseorang untuk memilih cara untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Hal tersebut tidak seiring dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di setiap Negara dalam hal ini di Indonesia, lain halnya dengan negara Belanda yang telah mengesahkan Undang-undang tentang euthanasia dimana seseorang diperbolehkan untuk memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Sedangkan di Indonesia tidak ada pengaturan perundang-undangan yang jelas akan larangan adanya tindakan euthanasia di Indonesia, walaupun pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia pada pasal 344 KUHP sering disebut sebagai pasal larangan tentang euthanasia, namun pada dasarnya pasal tersebut tidak sepenuhnya dapat mengatasi kesimpangsiuran tentang masalah ini, baik pro dan kontra masalah tentang euthanasia di Indonesia baik bagi pihak para medis maupun masyarakat atau pasien maupun keluarga pasien.

96

Adanya pro dan kontra mengenai euthanasia di Indonesia pada dasarnya yaitu belum adanya ketentuan tentang ukuran seseorang yang dianggap telah mati, apabila mati dapat didefinisikan maka seorang dokter sebagai seorang yang melakukan tindakan medis mempunyai dasar bahwa apa yang telah dilakukannya adalah benar-benar untuk kebaikan hidup pasien maupun keluarga tanpa harus adanya rasa tidak nyaman karena apa yang telah dilakukannya akan berujung pada tanggung jawabnya terhadap nyawa seseorang. Selain itu dari sudut pandangan beberapa ajaran Agama yang ada di Indonesia menyatakan bahwa tindakan euthanasia tidaklah sesuai atau dapat dibenarkan, karena tindakan tersebut dianggap bertentangan. Karena nyawa ataupun kehidupan manusia bukanlah ditentukan oleh manusia, akan tetapi oleh Tuhan.

B.

SARAN Berdasarkan permasalahan yang muncul dalam tindakan atau persepsi

tentang euthanasia di Negara Indonesia yang telah diuraikan di atas, maka penulis mencoba mengemukakan saran-saran yang mungkin kiranya dapat membantu mengatasi masalah-masalah yang muncul seperti tersebut di atas. Jika diuraikan, beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, yaitu:

97

1. Pertama, berwenang,

Ditujukan agar

kepada

Pemerintah/Pejabat tentang

yang

adanya

kejelasan

pengaturan

euthanasia di Negara Indonesia, agar mendapatkan kejelasan atas pro dan kontra di masyarakat dapat teratasi, dengan cara: membuat Undang-undang yang menjelaskan tentang euthanasia baik itu dilarang atau tidak dilarang dengan pengecualianpengecualiannya dengan berdasarkan dari aspek-aspek

pendukung lainnya seperti aspek agama, psikologis, dll, maupun definisi dari mati itu sendiri. Dimana aturan tersebut sesuai dengan keadaan masyarakat dan permasalahan yang ada di masyarakat. Diharapkan peraturan tersebut dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.

2. Kedua, bagi Departemen-departemen terkait upaya penyuluhan dan pemberian edukasi mengenai permasalahan euthanasia dari pihak yang berkompeten. Misalnya dari perwakilan Departemen Kesehatan maupun Ikatan Dokter Indonesia.

3. Ketiga, bagi organisasi-organisasi keagamaan yang mewakili dari masing-masing setiap agama yang ada di Indonesia. Memberikan penyuluhan terhadap umatnya agar setiap yang dilakukan oleh manusia adalah berdasarkan atas aturan agama, dengan begitu manusia memiliki batasan untuk bertindak.

98

4. Keempat, bagi masyarakat pada umumnya, harus bisa saling memahami hak masing-masing dari setiap individu, dimana pendapat seseorang yang menganggap orang lain sudah tidak dapat hidup kembali. Akan tetapi di samping itu orang tersebut juga mempunyai hak untuk memilih mengakhiri hidupnya atau mempertahankan hidupnya. Walaupun dalam posisi ada orang yang memiliki ikatan keluarga dan meminta untuk dilakukannya tindakan euthanasia, namun keputusan yang diambil pihak keluarga tetap tidak boleh melanggar hak dari si pasien tersebut. Serta harus jelasnya mengenai persetujuan tindakan kedokteran di dalam masyarakat agar tidak terjadi salah paham antar dokter, pasien dan keluarganya.

99

DAFTAR PUSTAKA
BUKU

Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mariy an-Nawawi, Shahil Muslim bi syarh anNawawi, (Beirut: Dar ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H). Chisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman ,(Jakarta : EGC, 2006). Djoko Prakoso, Euthanasia dan hak asasi manusia dan hukum pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984).

Imron Halimy, Euthanasia cara mati terhormat yang modern . (Solo : Ramadhani , 1990). Lamitang, . Delik-delik khusus kejahatan terhadap nyawa, Tubuh dan kesehatan serta kejahatan yang membahayakan bagi nyawa, Tubuh dan kesehatan (Bandung : 1986, Penerbit Binacipta ).

Muhammad bin ismailil Abu Abdullah Al-Bukhari, al-jami as-Shahih al-Mukhatashar, (Beirut: Dar al-fiqr, 1987), juz ke- 5, hlm. 2179, no. 5442. M. Jusuf hanafiah, dan Amri amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, , (Jakarta : Buku Kedokteran, EEC 1999). Petrus Yoyo Karyadi, Eutahanasia Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia (Bandung : 2001, Penerbit Cahaya ilmu). Peter marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana, 2008). Ratna Suprapti Samil, Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagian Obsteri dan Ginekologi, (Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1980). Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III ( Jakarta : UI-press, 1986). Valerine J.L. Krickhon, Penelitian Kepustakaan dan Lapangan dalam penulisan skripsi, (Jakarta : Universitas Tarumanagara, 1996). Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung : Mandar Maju, 2001), Yadianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung, M2S : 1997).

PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia (b), Undang-undang Republik Indonesia tentang Kesehatan, UU No.36 Tahun 2009, LN No.100 Tahun 2009. Indonesia (c), Undang-undang Republik Indonesia tentang Kedokteran, UU No.29 Tahun 2004, LN No.116 Tahun 2004. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2005),

INTERNET Aris Wibudi, Euthanasia, Tersedia di (http://tumoutou.net/702_04212/aris_wibudi.htm), 30 Mei 2002. Ietha. Sumber ; Aikon, Mobil Terbang Euthanasia, tersedia di http : // remmanet, tripod. Com / serba-serba. Htm). Nurudin Jauhari, Euthanasia, Segi Medis, Etis, Moral, dan Pastoral, Tersedia di (http://bagusarsj.blog.friendster.com/2007/11/eutanasiasegi-medis-etis-moral-danpastoral/), 28 Juli 2009. Pengertian Respirator tersedia di (http://bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=respirator). Sintak Gunawan, Euthanasia Dan HAM, Tersedia di (http://www2.kompas.com/kompas- cetak/0505/04/ilpeng/1726494.htm). Rabu,4 Mei 2005. Sintak Gunawan,Pengertian Vegetative State (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/04/ilpeng/1726494.htm, Rabu, 4 Mei 2005. Soleh Hasibuan, Hukum Positif Indonesia, Tersedia (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid), Senin 16 Oktober 2008. Wahyu Sutanto, Pengertian Hukum Pidana, Tersedia di (http://id.Wikipedia.org/wiki/Hukum_Pidana), Kamis 30 April 2009. ARTIKEL Chrisdiono M., Pemahaman Baru tentang Euthanasia dari Segi Hukum, (Jakarta : Kompas), 3 januari 1995.

BIODATA

Nama Alamat Tempat/Tgl Lahir Jenis Kelamin Agama Pendidikan

: Muhammad Ramadhiansyah : Jl. Sawo Raya No 12 Blok XI Perumnas 1 Tangerang, Banten 15138 : Jakarta, 25 Mei 1985 : Laki-laki : Islam : TK.Puspita Tangerang SD NEGERI Karawaci 3 Lama Tangerang SMP NEGERI 19 Tangerang SMA Yuppentek 1 Tangerang

LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5

Daftar pertanyaan yang diajukan kepada MUI. Daftar pertanyaan yang diajukan kepada WALUBI. Daftar pertanyaan yang diajukan kepada PGI Daftar pertanyaan yang diajukan kepada PHDI. Surat keterangan meminta putusan pengadilan di Pengadilan Negri Jakarta Pusat.

Anda mungkin juga menyukai