Anda di halaman 1dari 435

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Profesi Kedokteran dan Kedokteran gigi merupakan profesi yang

memiliki keluhuran karena tugas utamanya adalah memberikan pelayanan

kesehatan untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan

akan kesehatan. Tugas luhur tersebut seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Bab

XA Pasal 28 H, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat

tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan, harapanya adalah derajat kesehatan masyarakat

akan meningkat.

Untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal diperlukan

cukup banyak dokter dan dokter gigi. Tetapi menurut ketua Divisi Pendidikan

Konsil Kedokteran Indonesia jumlah dokter di Indonesia hingga tanggal 31

Desember 2014 tercatat sebanyak 102.180 orang. Dengan melihat jumlah

penduduk dan luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ada, jelas

itu masih sangat kurang. Jumlah dokter di Daerah Khusus Ibukota 16.092 orang,

kurang lebih 15,74 % dari jumlah dokter di Indonesia, sedangkan di Sulawesi

Barat hanya ada 27 dokter spesialis untuk melayani 45.270 jiwa. Di kabupaten

1
Pangandaran hanya ada dua orang dokter spesialis, 1 kita ketahui bersama bahwa

kabupaten Pangandaran adalah merupakan salah satu kabupaten yang berada di

wilayah propinsi Jawa Barat dan merupakan daerah yang dekat dengan Universitas

Padjadjaran sebagai salah satu pusat pendidikan kedokteran di Indonesia.

Di dalam proses meningkatkan derajat kesehatan kepada masyarakat akan

terjadi hubungan dokter degan pasien dan atau keluarganya, kegiatan tersebut

dikenal oleh masyarakat dengan praktik dokter. Pada dasarnya praktik dokter

merupakan pemberian bantuan secara individual oleh dokter kepada pasien berupa

pelayanan medis. Apabila seseorang datang kepada dokter untuk memanfaatkan

pelayanan medis yang tersedia maka terjadi hubungan hukum antara dokter dan

pasien yang sering disebut sebagai transaksi terapeutik. Terjadinya hubungan

hukum antara dokter dan pasien yang tidak menjanjikan kesembuhan atau tidak

menjanjikan hasil, aktivitas semacam ini disebut inspanningsverbintenis, yang

berbeda dengan hubungan hukum yang biasa berlaku dalam perjanjian pada

umumnya yang menjanjikan suatu hasil atau juga sering disebut

resultaatsverbintenis.2 Inspanningsverbintenis atau sering juga disebut usaha

maksimal untuk penyembuhan penyakit dalam pelayanan medis, dimana hasilnya

tidak sesuai dengan harapan pasien dan atau keluarga oleh Safitri Haryani 3 disebut

1
Muhamad Ilham Pratama, www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/04/09/322913.
Sebaran dokter masih tidak merata. Kamis, 12 November 2015, jam 14. 20.
2
Leenen, Gezondheidsrecht dalam Veronica, 2004, Aspek Hukum Dalam Pelayanan
Kesehatan, Suatu Kajian, Jurnal Hukum Bisnis, Volume23 No. 2, Jakarta, hlm. 20.
3
Safitri Haryani, Sengketa Medik (alternative Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter
Dengan Pasien), Diadit Media, Jakarta, 2005, hlm. 58.

2
sebagai salah satu ciri dari sengketa medis yang terjadi antara pasien dan atau

keluarga dengan dokter.

Dokter dalam menjalankan pelayanan medis terhadap pasien hasilnya

belum tentu seperti yang diharapkan oleh pasien dan atau keluarganya, artinya

dokter dalam menjalankan profesinya akan berisiko memberikan hasil yang tidak

sesuai dengan harapan pasien dan atau keluarganya. Sebagai gambaran bahwa

penyakit yang sama, jika diderita oleh orang dimana kondisi kesehatanya yang

satu dengan yang lain berbeda walaupun diberi tindakan medis yang sama dan

telah sesuai dengan standar operasional prosedur belum tentu menghasilkan

kesembuhan yang sama, bahkan dapat menghasilkan sebaliknya, 4 sangat mungkin

pasien tersebut tidak sembuh, cacat atau bahkan hasilnya seperti tidak kita

harapkan bersama yaitu meninggal dunia.

Maraknya penuntutan kepada dokter yang disiarkan oleh media cetak

maupun elektronik tentang dugaan malpraktik medis yang belum tentu dokter

tersebut bersalah seolah-olah sudah divonis bersalah dalam bentuk kata-kata

dokter tersebut malpraktik. Kejadian ini dari tahun ketahun selalu meningkat baik

jumlah dokter serta jenis pelayanan medis yang dilaporkan maupun sebaran

tempat dokter melakukan kegiatan profesinya, seperti yang sudah dilaporkan oleh

4
Anwari. A, Pelanggaran Etika Kedokteran Dalam Hubungan Dengan Pelanggaran Disiplin
Dan Hukum , 2015, hlm 1.

3
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sejak tahun 2006-

2013.5

Dokter dalam menjalankan pelayanan medis kepada pasien terdapat

rambu-rambu yang mengendalikan atau mengatur yaitu etika kedokteran, disiplin

kedokteran dan hukum. Salah satu contoh pengendali etika adalah Pasal 10 di

dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) seorang dokter wajib

menghormati hak-hak pasien. Sedangkan sebagai pengendali disiplin dan hukum

antara lain adalah dokter dalam menjalankan pelayanan medis melaksanakan

kewajibanya, seperti yang sudah diatur dalam Undang-undang nomor 29 Tahun

2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 51.

Laporan dugaan malpraktik dari masyarakat kepada MKDKI selama tujuh

tahun (2006 – 2012) sebanyak 183 kasus. Pengaduan tersebut yang ditindaklanjuti

dengan pemeriksaan oleh MKDKI sebanyak 112 kasus.6 MKDKI dalam

melakukan pemeriksaan menggunakan pedoman Kode Etika Kedokteran

Indonesia dan pedoman Disiplin Kedokteran Indonesia. Tetapi hasil pemeriksaan

berdasarkan pedoman etika kedokteran dan disiplin kedokteran oleh masyarakat

dinilai belum cukup untuk menampung keseluruhan permasalahan dibidang

kesehatan.7 Karena masyarakat merasa belum cukup puas terhadap hasil

pemeriksaan berdasarkan pedoman etika kedokteran dan disiplin kedokteran, maka


5
Ibid., hlm 7.
6
Ibid,. hlm 341.
7
Yovita Ari Mangesti, Perlindungan Hukum Berparadigma Kemanusiaan Yang Adil Dan
Beradap Pada Riset dan Pemanfaatan Human Stem Ceel (Sel Punca Manusia) Di Bidang Kesehatan,
2015, hlm 4.

4
apabila terdapat dugaan malpraktik terhadap dokter sangat mungkin masyarakat

akan langsung melapor kepada kepolisian, sesuai dengan Undang-undang nomor

29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 66 ayat (3).

Bambang Poernomo dalam bukunya Hukum Kesehatan, mengatakan

bahwa muatan hukum kesehatan dapat digolongkan dalam bentuk Lex Specialis.

Hukum kesehatan bermuatan hukum khusus yang berhubungan dengan profesi

kesehatan belum berkembang dengan maju, oleh karena itu perangkat hukumnya

pada masa sekarang masih secara langsung diterapkan dengan peraturan hukum

umum yang sering kali kontradiksi dengan hakekat kesehatan.8

Kalau dicermati kata ”kontradiksi’’, dokter dalam menjalankan

profesinya tidak memenuhi standar kompetensi menurut peraturan hukum umum

adalah merupakan suatu kesalahan, tetapi menurut hakekat kesehatan tidak

memenuhi standar kompetensi harus dicari atau dicermati kira-kira apa yang

menjadi penyebabnya. Apakah dalam proses pelayanan kesehatan dokter yang

memenuhi standar kompetensi belum ada sehingga pelayanan medis terpaksa

dilakukan oleh dokter yang tidak sesuai kompetensinya atau mungkin terpaksa

dilakukan oleh dokter umum. Dalam kasus dokter S yang melakukan diagnosis

dan terapi terhadap pasien (korban) hasilnya tidak sesuai dengan harapan pasien

dan atau keluarga, dianggap secara hukum melakukan kelalaian atau kesalahan

oleh putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, akan tetapi sebaliknya

8
Bambang Poernomo, Hukum Kesehatan (Yogyakarta : Aditya Media, tanpa tahun), hlm 28

5
menurut dasar ilmu hukum dalam menentukan ‘’lalai’’ dianggap tidak terbukti

melakukan kesalahan tersebut sehingga akhirnya dokter S dibebaskan oleh

Makamah Agung.9 Pada kasus ini sebetulnya bukan merupakan kelalaian dokter

seperti pandangan para hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tetapi

merupakan risiko medis. Salah satu dampak kasus dokter S adalah pada saat itu

banyak dokter yang takut untuk melakukan tindakan medis.10

Para dokter dalam menanggapi Putusan Pengadilan dokter S dan Putusan

Kasasi Makamah Agung dokter DASP, dokter HS serta dokter HS sudah berbeda.

Pada saat putusan dokter S, para dokter takut melakukan tindakan medis

sedangkan saat putusan dokter DASP dan kawan-kawan, para dokter memprotes

vonis tersebut dengan jalan disejumlah daerah muncul aksi solidaritas dengan

melakukan mogok masal pada Rabu tanggal 27 – 11 – 2013.11

Melihat hasil putusan dokter S maupun dokter DASP dan kawan-kawan

serta masyarakat belum puas dengan hasil pemeriksaan terhadap dokter

berpedoman etika dan disiplin kedokteran, kita akan mencoba melihat salah satu

tugas inti negara, tugas inti negara sebagai berikut12 :

1. Melindungi penduduk dari serangan luar dan gangguan internal.

9
Ibid., hlm 23-24.
10
C:\User\SPI\Document\Dampak Kasus Dokter Setyaningrum – Verdi’s Blog. html, diakses
tanggal 30-8-2016, jam 10 00 wib.
11
C:\User\SPI\Document\Politik Indonesia- wawancara -Nova Riyanti Yusuf-Perlu Peradilan
Khusus Kesehatan.html, diakses tanggal 27-8-2016, jam 10 15 wib.
12
Samudra Wibawa, Negara-negara Di Nusantara: Dari Negara Kota hingga Negara
Bangsa, Dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi (Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2001), hlm 53.

6
2. Menjamin tingkat kehidupan minimal penduduk.

3. Melakukan peradilan atas sengketa di antara penduduk.

Terkait tugas inti negara yang ketiga yakni melakukan peradilan atas

sengketa di antara penduduk, Indonesia sebagai sebuah negara juga melaksanakan

tugas inti tersebut, hal ini terbukti dari ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.

Dalam UUD 1945 ini hal-hal yang terkait dengan tugas inti negara harus

melakukan peradilan atas sengketa di antara penduduk diatur dalam Bab I Bentuk

dan Kedaulatan Pasal 1 ayat (3) dan Bab IX perihal Kekuasaan Kehakiman Pasal

24.

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan salah satu ayat hasil

amandemen ke tiga UUD 1945 berbunyi ’’Negara Indonesia adalah negara

hukum’’. Di kalangan ahli hukum perihal kharakteristik negara hukum ini

terdapat berbagai pendapat. Salah satu pendapat yang dikutip di sini perihal ciri-

ciri negara hukum menurut JBJM Ten Berge sebagaimana dikutip oleh Ridwan

HR13 ada lima, salah satunya adalah pengawasan oleh hakim yang merdeka.

UUD 1945 Bab IX mengatur perihal kekuasaan kehakiman. Menurut

Pasal 24 UUD 1945 yang terdiri dari tiga ayat menyatakan bahwa :

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

13
JBJM Ten Berge, Dikutip dari Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Rajawali
Press, 2006, hlm 9-10.

7
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Makamah

Konstitusi.

3. Badan-badan lain yang tugasnya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman

diatur dalam undang-undang.

Menurut Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Pasal 18 kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah

Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Disamping itu kekuasaan

kehakiman juga dilakukan oleh sebuah Makamah Konstitusi. Pasal 25 ayat (1)

badan peradilan yang berada di bawah Makamah Agung meliputi badan peradilan

dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan

peradilan tata usaha negara.

Pasal 27 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 memungkinkan bahwa dalam

tiap-tiap badan peradilan dapat dibentuk peradilan khusus. Hal tersebut

sebagaimana dinyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam

salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 yang

diatur dengan undang-undang. Penjelasan dari Pasal 27 ayat (1) menyatakan

’’yang dimaksud dengan pengadilan khusus dalam ketentuan ini antara lain

adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak azasi manusia,

8
pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada

dilingkungan peradilan umum, dan peradilan pajak yang berada di lingkungan

peradilan tata usaha negara’’.

Kalau dicermati penggunaan kata ’’antara lain’’ ini menujukkan bahwa

peradilan khusus sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) tersebut

dapat dimaknai bahwa dimungkinkan adanya pengadilan lain di luar yang disebut

di atas. Sebagai pendukung pernyataan tersebut adalah adanya pengadilan

perikanan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan. Bukan tidak mungkin bahwa dikemudian hari akan dibentuk

peradilan khusus yang lain kalau memang diperlukan. Hanya salah satu

persyaratan yang harus dipenuhi adalah bahwa peradilan tersebut keberadaanya

harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang dalam arti formal yaitu produk

hukum yang dibuat oleh DPR dengan persetujuan bersama DPR Republik

Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.

Di atas dikemukaan bahwa peradilan umum adalah salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Pernyataan

tersebut sesungguhnya memiliki relevansi manakala dihubungkan dengan jasa

pelayanan kesehatan yang diberikan oleh profesi kedokteran maupun kedokteran

gigi terhadap pasien. Apalagi kesehatan yang menjadi hak warga adalah

merupakan bagian dari tujuan yang ingin diraih dalam negara kesejahteraan

(welfare state) Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri.

9
Sebagaimana diketahui bahwa profesi dokter sudah mendapatkan

pengaturan dalam sistem hukum di Indonesia. Pengaturan tersebut terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam

Undang-Undang ini diatur beberapa hal yang berhubungan dengan pelayanan jasa

kesehatan yang dilakukan oleh dokter. Selain itu juga diatur perihal beberapa

persyaratan bagi dokter untuk dapat melakukan pelayanan kesehatan, kewajiban

dan hak-hak dokter maupun pasien, serta administratif maupun pidana yang dapat

dijatuhkan atas pelanggaran yang dilakukan oleh profesi dokter.

Kewajiban dan hak dokter atau dokter gigi demikian juga kewajiban dan

hak pasien sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran tersebut merupakan kebijakan yang menginginkan

hubungan yang ideal (das sollen) antara dokter atau dokter gigi dan pasien. Dalam

tataran implementasi kebijakan dapat terjadi keadaan yang senyatanya (das sein)

berbeda dengan yang di idealkan. Kewajiban yang dibebankan baik kepada dokter

atau dokter gigi maupun pasien tidak dilaksanakan, atau hak-hak yang dijanjikan

oleh Undang-Undang tidak dipenuhi oleh pihak-pihak. Hal yang demikian dapat

menimbulkan sengketa hukum antara dokter dengan pasien.

Sebagai gambaran adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sein,

salah satu rumah sakit besar di Daerah Istimewa Yogyakarta dituntut perdata oleh

pasien Rp 1,2 milyar yang pada saat itu periksa di Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Pasien datang di IGD jam 21.00 WIB dengan keluhan sakit tenggorok, sakit perut

10
serta gatal-gatal dan baru mendapat resep jam 04.00 WIB karena harus konsultasi

kepada dokter jaga Telinga Hidung Tenggorok, Penyakit Dalam serta Kulit dan

oleh dokter jaga IDG pasien bukan termasuk gawat darurat. Karena pasien

dinyatakan oleh dokter jaga IGD bukan termasuk pasien gawat darurat sehingga

pasien tersebut bisa dikatakan salah di dalam menerapkan hak-haknya sebagai

pasien. Pasien sendiri merasa bahwa rumah sakit tidak melaksanakan kewajibanya

serta merasa dirugikan semalam tidak bisa istirahat kemudian terus menuntut

perdata kepada rumah sakit ke pengadilan. Keputusan pengadilan menyatakan

bahwa rumah sakit dinyatakan tidak melalaikan kewajibanya (Putusan Pengadilan

Negeri Sleman No. 254/Pdt 6/2016/PN Smn).

Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter atau dokter gigi kepada

pasien disamping diperlukan kualifikasi tertentu, diatur dalam kode etik dan

disiplin kedokteran serta peraturan perundang-undangan. Apabila terjadi sengketa

antara dokter atau dokter gigi dengan pasien diselesaikan melalui Majelis Kode

Etik Kedokteran (MKEK), MKDKI dan melalalui peradilan umum (Pidana dan

atau Perdata). Penyelesaian sengketa medis melalui MKEK dan MKDKI, oleh

masyarakat dinilai belum cukup untuk menampung keseluruhan permasalahan

dibidang kesehatan. Padahal menurut Erfen Gustiawan Suwangto14, lembaga ini

(MKDKI) juga sudah cukup obyektif dengan menghukum 50 % dokter yang

bermasalah, apalagi lembaga ini beranggotakan masyarakat non medis.


14
http://www. Kompasiana.com/wangfufen/sengketa-dokter-pasien,diakses 27-8-2016,jam 10
45 wib, Erfen Gustiawan Suwangto.

11
Dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa medis melalui peradilan

umum kurang sesuai, karena menurut Bambang Poernomo muatan hukum

kesehatan dapat digolongkan Lex Specialis bukan Lex generalis. Kalau muatan

hukum kesehatan digolongkan Lex Specialis, Jimly Asshiddiqie15 berpendapat

bahwa apabila terjadi perkara hukum, perkara hukum tersebut disebut perkara

hukum yang spesifik, yang penanganannya memerlukan pendekatan berbeda dari

perkara hukum pada umumnya. Nova Riyanti Yusuf,16 Wakil Ketua Komisi IX

Dewan Perwakilan Rakyat yang diwawancarai oleh Elva Setyaningrum tentang

Putusan Kasasi Makamah Agung yang menghukum penjara 10 bulan terhadap 3

dokter spesialis kandungan, beliau mengatakan tidak gampang menilai tindakan

medis yang dilakukan oleh seorang dokter. Butuh orang yang benar-benar

mengerti bidang itu. Itulah alasan dari beliau dan kalangan Dewan Perwakilan

Rakyat lain mewacanakan dibentuknya peradilan khusus di bidang kesehatan.

Erfen Gustiawan Suwangto17 berpendapat bahwa bagaimana mungkin seorang

hakim dapat memutuskan profesi yang spesifik. Sedangkan antar dokter yang

sudah berbeda spesialisasinya dan situasi kerjanya saja tidak bisa menjadi saksi

ahli bagi kasus kelalaian sejawatnya. Kenyataan di lapangan, 18 aparat hukumnya

15
https : // id.wikipedia.org/wiki/pengadilan khusus, diakses tanggal 5 - 4 - 2016, jam 12 30
wib, Jimlly Asshidiqie, hlm 10.
16
C:\User\SPI\Document\Politik Indonesia- wawancara -Nova Riyanti Yusuf-Perlu Peradilan
Khusus Kesehatan.html, diakses tanggal 27-8-2016, jam 10 15 wib.
17
http://www. Kompasiana.com/wangfufen/sengketa-dokter-pasien,diakses 27-8-2016,jam 10
45wib, Erfen Gustiawan Suwangto.
18
C:\User\SPI\Document\Politik Indonesia- wawancara -Nova Riyanti Yusuf-Perlu Peradilan
Khusus Keshatan.html, diakses tanggal 27-8-2016, jam 10 15 wib.

12
justru tidak menggunakan hukum positif yang berlaku di dunia kesehatan, mereka

justru menggunakan pasal kelalaian/kealpaan (Pasal 359 KUHP) karena

menyebabkan matinya orang lain. Padahal situasinya dokter itu hanya membantu.

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dihadapkan pada gonjang-ganjing

dunia kedokteran. Gonjang-ganjing ini akibat putusan kasasi Makamah Agung 18-

9-2012, yang membatalkan putusan bebas Pengadilan Negeri Manado dan

memidana dokter Ayu Susary Prawani dan dokter lainya dengan pidana 10 bulan

penjara. Muladi merujuk pada American College of Legal Medicine, The Medical

Malpractice Survival Handbook, Mosby, Elsevier,2007; disejumlah negara maju

persoalan malpraktik sangat menghantui dokter, keberadaan pengadilan khusus

malpraktik perlu diperhatikan.19

Menurut M. Nasser,20 upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan

umum yang selama ini ditempuh tidak dapat memuaskan pihak pasien, karena

putusan hakim dianggap tidak memenuhi rasa keadilan pihak pasien. Hal ini

disebabkan sulitnya pasien atau Jaksa Penuntut Umum maupun hakim untuk

membuktikan adanya kesalahan dokter. Kesulitan pembuktian dikarenakan

minimnya pengetahuan mereka mengenai permasalahan-permasalahan teknis

sekitar pelayannan medis.

19
Muladi, Guru Besar Hukum Pidana EmiritusUniversitas Diponegoro, Mantan Hakim Agung,
Anatomi Malpraktik Dokter, Kompas , Jum’at, 6 Desember 2013, hlm 6.
20
M. Nasser, Sengketa Medis Dalam Pelayanan Kesehatan, Disampaikan pada Annual
Scientific Meeting UGM-Yogyakarta, Lustrum FK UGM, 3 Maret 2011, hlm 3-4.

13
Seringkali pasien selalu berpendapat bahwa kerugian yang diderita oleh

pasien adalah disebabkan oleh kesalahan yang diperbuat dokter, padahal untuk

membuktikan kerugian itu disebabkan oleh kesalahan, bukan pekerjaan yang

mudah. Banyak faktor yang menyebabkan terjadi kerugian yang harus diderita

oleh pasien, sehingga mendalilkan kesalahan dokter memerlukan selain pengeta

-huan tentang hukum, juga pengetahuan tentang kedokteran.21

M. Arif Setiawan22, menyampaikan bahwa memetik pelajaran pidana

medik dari kasus dokter Ayu Sp OG dan kawan-kawan disampaikan dalam 20th

World Congress on Medical Law, Bali 21-24 Agustus 2014. Muncul gagasan

mengenai perlunya dilakukan restorasi terhadap sistem peradilan yang ada dengan

membentuk peradilan khusus untuk menyelesaikan sengketa medis, karena

ketidakpuasan terhadap peradilan umum dalam menyelesaikan sengketa medis

yang sangat spesifik sifatnya. Pertanyaan penting yang pernah diajukan oleh

Hakim Agung Prof. Dr. Gayus Lumbun23 dalam seminar dimana ide mengenai

perlunya restorasi hukum pidana medik perlu didukung, namun “dari sisi mana

kita melakukannya”.

21
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Bandung, Mandar Maju, 2001, hlm 27.
22
M.Arif Setiawan, PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK, memetik pelajaran pidana medik
dari kasus dokter Ayu Sp OG dan kawan-kawan disampaikan dalam 20th World Congress on Medical
Law, Bali 21- 24 Agustus 2014.
23
Gayus Lumbun, dalam M.Arif Setiawan, PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK, memetik
pelajaran pidana medik dari kasus dokter Ayu Sp OG dan kawan-kawan.

14
Pada kesempatan yang lain, pada saat uji materi Undang-Undang Nomor

29 Tahun 2004 oleh Makamah Konstitusi, M. Arif Setiawan24 berpendapat bahwa

tidak mudah bagi orang awam di bidang kedokteran, termasuk penegak hukum

seperti hakim yang sudah dibekali asas ius curia novit sekalipun, untuk

membedakan tindakan profesi kedokteran yang masuk dalam kategori malpraktik

atau risiko medis. Bahwa risiko medis ada pada setiap tindakan medis dengan

tingkatan yang berbeda-beda. Ada suatu tindakan yang sebelumnya sudah dapat

diketahui dengan pasti risikonya menurut ilmu kedokteran bahkan mungkin

berrisiko menjadi fatal, namun dokter dihadapkan pada pilihan tindakan yang

harus dilakukan dengan kemungkinan munculnya akibat yang tidak diharapkan,

namun apabila tidak dilakukan tindakan diperkirakan juga akan muncul akibat lain

yang juga tidak diharapkan.

Dengan demikian sangat memungkinkan penyelesaian sengketa dokter

atau dokter gigi dengan pasien dan atau keluarga untuk diselesaikan oleh

pengadilan khusus di salah satu lingkungan peradilan di bawah Makamah Agung,

khususnya peradilan umum.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis akan melakukan

penelitian dengan judul sebagai berikut :

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PELAYANAN MEDIS MELALUI


PERADILAN KHUSUS PROFESI
24
M.Arif Setiawan, Sebagai Ahli dalam Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, disampaikan
pada saat uji materi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Oleh Makamah Konstitusi di Jakarta
tanggal 4 September 2014.

15
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang ingin dikaji adalah

sebagai berikut:

1. Mengapa peradilan khusus profesi diperlukan dalam penyelesaian sengketa

pelayanan medis?

2. Bagaimana model peradilan khusus profesi dalam penyelesaian sengketa

pelayanan medis?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi, menganalisis faktor-faktor penyebab diperlukanya

peradilan khusus profesi untuk menyelesaikan sengketa pelayanan medis.

2. Membangun model peradilan khusus profesi untuk menyelesaikan sengketa

pelayanan medis, serta diharapkan dapat membangun hukum yang

responsif dan optimal terhadap kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat mempunyai dan memiliki manfaat :

1. Teoritis : memberikan kontribusi pemikiran yang berguna dalam rangka

pengembangan ilmu hukum dan pembangunan ilmu hukum secara

16
interdisipliner, terutama terkait dengan konsep sengketa medis, penyelesa-

ian sengketa dan peradilan khusus profesi.

2. Praktis : membangun model peradilan khusus profesi dalam penyelesaian

sengketa pelayanan medis, serta diharapkan menjadi satu model

penyelesaian sengketa pelayanan medis yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat dan berguna bagi pembangunan hukun nasional di bidang

kesehatan.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang hubungan antara dokter dengan pasien dan atau

keluarga, ada beberapa yang sudah dilakukan tetapi kajianya berbeda dengan yang

penulis lakukan yaitu masyarakat belum puas dengan hasil pemeriksaan terhadap

dokter berpedoman etika dan disiplin kedokteran yang diduga malpraktik, serta

melihat para dokter atau IDI juga belum puas pada hasil sidang peradilan umum

para dokter yang diduga malpaktik, penulis berfikir apakah di dalam sistem

peradilan di Indonesia memungkinkan dibentuk peradilan khusus untuk profesi

kedokteran ke dalam peradilan umum, beberapa penelitian sebelumnya adalah :

1. Widodo Tresno Novianto (Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas


Negeri Sebelas Maret, Surakarta, 2014)

Judul Penelitian :
Model Penyelesaian Sengketa Medik di Luar Pengadilan Melalui

Lembaga Penyelesaian Sengketa Medik Dalam Pelayanan Kesehatan.

17
Permasalahan :
1. Bagaimana model-model penyelesaian sengketa yang digunakan saat

ini untuk menyelesaikan sengketa medik antara dokter dan Pasien ?


2. Mengapa model penyelesaian sengketa medik yang digunakan saat ini

belum dapat menyelesaikan sengketa medik yang terjadi antara dokter

dan pasien dalam pelayanan kesehatan ?


3. Bagaimanakah model penyelesaian sengketa medik di luar pengadilan

yang diharapkan dapat menyelesaikan sengketa medik mendatang ?


Kesimpulan :
1. Model-model penyelesaian sengketa yang digunakan saat ini untuk

menyelesaikan sengketa medik melalui MKEK, MKDKI, peradilan

umum dan mediasi.


2. Model-model penyelesaian sengketa medik yang digunakan saat ini

belum dapat menyelesaikan sengketa medik : lemahnya kedudukan,

wewenang dan fungsi lembaga internal kedokteran MKEK dan

MKDKI; belum adanya peraturan yang khusus mengatur malpraktik

kedokteran; Sikap solidaritas kepada teman sejawat dalam memberikan

keterangan ahli dalam persidangan dan tidak terbukanya informasi

yang disampaikan kepada pihak berwenang.


3. Model penyelesaian yang mampu menyelesaikan sengketa medik

antara dokter dengan pasien yaitu melalui Lembaga Penyelesaian

Sengketa Medik (LPSM) dengan menggunakan alternatif penyelesaian

sengketa melalui persidangan mini.


Perbedaanya :

18
Disertasi Widodo Tresno Novianto, penyelesaian sengketa medis dapat

diselesaikan melalui Lembaga Penyelesaian Sengketa Medik (LPSM)

dengan menggunakan alternatif penyelesaian sengketa melalui

persidangan mini.

Penulis, berpendapat bahwa penyelesaian sengketa medis dapat

diselesaikan melalui Peradilan Khusus Profesi Kedokteran dibawah

peradilan umum dengan hakim ad hoc dan dibentuk berdasarkan Undang-

Undang.

2. A. Anwari H.K (Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan


Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta, 2015)

Judul Penelitian :
Pelanggaran Etika Kedokteran Dalam Hubungan Dengan Pelanggaran

Disiplin Dan Hukum.


Permasalahan :
1. Apakah pelanggaran etika kedokteran dapat sebagai pemicu

pelanggaran disiplin kedokteran dan pelanggaran hukum ?


2. Sejauh manakah etika kedokteran dapat berfungsi sebagai pelindung

profesi kedokteran agar terhindar dari pelanggaran disiplin kedokteran

dan pelanggaran hukum ?


Kesimpulan :
1. Pelanggaran etika kedokteran merupakan pemicu terjadinya

pelanggaran medis. Pelanggaran medis tersebut tercipta dalam bentuk

pelanggaran disiplin kedokteran atau pelanggaran hukum.

19
2. Kepatuhan dan ketaatan dokter dalam melaksanakan kaidah dasar

etika kedokteran merupakan alat pelindung bagi seorang dokter agar

terhindar dari pengaduan dan dakwaan malpraktik medis.


Perbedaanya :
A. Anwari H.K, dalam penelitianya berpendapat bahwa dokter dalam

melakukan pelayanan medis apabila tidak dilandasi etika kedokteran akan

memicu terjadinya pelanggaran disiplin kedokteran dan pelanggaran

hukum.

Penulis dalam penelitianya bahwa apabila dokter dalam melakukan

pelayanan medis ada dugaan pelanggaran hukum diselesaikan melalui

Peradilan Khusus Profesi Kedokteran dibawah peradilan umum dengan

hakim ad hoc dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang.

Tabel 1 : Penelitian sebelumnya yang relevan.

No. Nama Judul Permasalahan Kesimpulan Perbedaan


Peneliti Penelitian
1 Widodo Model 1. Bagaimana 1. Model- Penyelesaian
Tresno Penyelesai- model-model model sengketa
Novianto an penyelesaian penyelesai- medis dapat
(Program Sengketa sengketa an sengketa diselesaikan
Doktor Medik di yang yang digu- melalui
Ilmu Luar digunakan nakan saat Lembaga
Hukum, Pengadilan saat ini untuk ini untuk Penyelesaian
Universi- Melalui menyelesaik- menyelesai Sengketa
tas Negeri Lembaga an sengketa - kan seng- Medik
Sebelas Penyelesai- medik antara keta medik (LPSM).
Maret, an dokter dan melalui
Surakarta, Sengketa Pasien ? MKEK,
2014) Medik 2. Mengapa MKDKI, Penulis
Dalam model peradilan dalam
Pelayanan penyelesaian umum dan penelitianya

20
Kesehatan. sengketa mediasi. bahwa
medik yang 2. Model- apabila
digunakan model dokter dalam
saat ini penyelesai- melakukan
belum dapat an sengketa pelayanan
menyelesaik- medik yang medis ada
an sengketa digunakan dugaan
medik yang saat ini pelanggaran
terjadi antara belum hukum
dokter dan dapat diselesaikan
pasien dalam menyelesai melalui
pelayanan - kan seng- Peradilan
kesehatan ? keta medik. Khusus
3. Bagaimana- 3. Model Profesi
kah model penyelesai- Kedokteran
penyelesaian an yang dibawah
sengketa mampu peradilan
medik di menyelesai umum
luar -kan dengan
pengadilan sengketa hakim ad
yang diharap medik hoc dan
-kan dapat antara dibentuk
menyelesai- dokter berdasarkan
kan sengketa dengan Undang-
medik pasien Undang.
mendatang? yaitu
melalui
Lembaga
Penyelesai-
an
Sengketa
Medik
(LPSM).
2 A. Anwari Pelanggar- 1. Apakah 1. Pelanggar- A. Anwari
H.K an Etika pelanggaran an etika H.K, dalam
(Program Kedokteran etika kedokteran penelitianya
Doktor Dalam kedokteran merupakan berpendapat
Ilmu Hubungan dapat sebagai pemicu bahwa
Kedokter- Dengan pemicu terjadinya dokter dalam
an dan Pelanggar- pelanggaran pelanggar- melakukan
Kesehatan an Disiplin disiplin an medis. pelayanan

21
Fakultas Dan kedokteran Pelanggar- medis
Kedokter- Hukum. dan an medis apabila tidak
an pelanggaran tersebut dilandasi
Universi- hukum ? tercipta etika
tas Gadjah 2. Sejauh dalam kedokteran
Mada, manakah bentuk akan memicu
Yogya- etika pelanggar- terjadinya
karta, kedokteran an disiplin pelanggaran
2015). dapat kedokteran disiplin
berfungsi atau kedokteran
sebagai pelanggar- dan
pelindung an hukum. pelanggaran
profesi 2. Kepatuhan hukum.
kedokteran dan
agar ketaatan
terhindar dari dokter
pelanggaran dalam Penulis
disiplin melaksana- dalam
kedokteran kan kaidah penelitianya
dan dasar etika bahwa
pelanggaran kedokteran apabila
hukum ? merupakan dokter dalam
alat melakukan
pelindung pelayanan
bagi medis ada
seorang dugaan
dokter agar pelanggaran
terhindar hukum
dari diselesaikan
pengaduan melalui
dan Peradilan
dakwaan Khusus
malpraktik Profesi
medis. Kedokteran
dibawah
peradilan
umum
dengan
hakim ad
hoc dan
dibentuk

22
berdasarkan
Undang-
Undang.

F. Definisi Operasional

Dalam penelitian disertasi maka obyek penelitian diberikan batasan-

batasan / definisi operasional pada hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan

yang hendak diteliti, antara lain sebagai berikut :


1. Kompetensi adalah seperangkat kemampuan profesional yang meliputi

penguasaan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai (knowledge, skill and

attitude) dalam melaksanakan tugas profesionalnya.


2. Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau

kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi

yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat

melayani masyarakat.
3. Standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and attitude)

minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi untuk

melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang

dibuat oleh organisasi profesi.


4. Standar prosedur operasional adalah suatu perangkat intruksi/langkah-langkah

yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu yang

memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama

23
untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh

fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.


5. Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) adalah badan otonom Ikatan Dokter

Indonesia (IDI) yang bertanggungjawab mengkoordinasi kegiatan internal

organisasi dalam pengembangan kebijakan, pembinaan, pelaksanaan dan

pengawasan penerapan etika kedokteran, yang dibentuk secara khusus di

tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas kemakamahan

profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainya

dalam tingkatanya masing-masing.


6. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah lembaga

yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan

dokter dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan menetapkan sanksi.


7. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya

untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung

maupun tidak langsung kepada dokter.


8. Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis

lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui

oleh pemerintah.
9. Dokter Gigi adalah dokter gigi, dokter gigi spesialis-subspesialis lulusan

pendidikan dokter gigi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh

pemerintah.
10. Sengketa pelayanan medis adalah sesuatu yang timbul akibat adanya hubungan

antara dokter dengan pasien dan atau keluarga dalam rangka melakukan upaya

penyembuhan dan terjadi ketidakpuasan pasien dan atau keluarga yang

24
umumnya disebabkan karena dugaan kesalahan atau kelalaian dalam

melaksanakan kewajiban profesional.

11. Model adalah acuan, pola, ragam dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan

sebagai pandangan atau pegangan untuk mencapai tujuan.

12. Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk

memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk

dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada dibawah Makamah

Agung yang diatur dalam undang-undang.


13. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian

dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan memutus

suatu perkara yang pengangkatanya diatur dalam undang-undang.

G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian hukum yang dilakukan dengan pendekatan doctrinal / normatif 25, dan

non doctrinal 26 yang kualitatif.


Berdasarkan obyek penelitian tersebut diatas, maka pada rumusan

masalah yang pertama mermakai metode non doctrinal, yaitu mengenai apa yang

harus dilakukan untuk mengembangkan model hukum, dan dipergunakan untuk

menyelesaian sengketa medis dalam pelayanan kesehatan melalui Peradilan

Khusus Profesi yang lebih bersifat ideal dan memberikan perlindungan hukum

terhadap tenaga kesehatan dan pasien, dimana pada rumusan yang pertama
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006 , Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, PT Grafindo Persada, Jakarta, hlm 14.
26
Burhan Arshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm 33-34.

25
mengisyaratkan adanya temuan di lapangan sebagai proses interaktif dalam

memahami makna pada situasi sosial tertentu. Mengembangkan model hukum

tersebut menurut Donald Black dan Dragan Milovanovich termasuk Sociological

model.27
Sedangkan pada rumusan masalah yang kedua mermakai metode

doctrinal, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif (legal

research), yaitu penelitian yang mengkaji kaidah hukum atau norma-norma hukum

positif. Dalam hubungan ini digunakan logika deduktif yaitu untuk menarik

kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual 28.

Dalam kaitan dengan penelitian normatif digunakan beberapa pendekatan, yaitu

pendekatan perundang-undangan (statute apprroach), dengan melakukan

pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral

penelitian. Selain itu juga digunakan pendekatan perbandingan (comparative

approach) yang diperlukan untuk memperjelas analisis ilmiah yang diperlukan

dalam penelitian normatif. Sehingga dalam penelitian ini selain mengkaji kaidah-

kaidah hukum yang berlaku pada umumnya, juga mengkaji secara teoritis yang

menyangkut asas-asas hukum, sistem hukum, perbandingan hukum dan penerapan

hukum in concreto.
1. Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian melalui 3 (tiga) metode pendekatan, yaitu29 :
1). Penelitian fact finding : yaitu penelitian untuk menemukan fakta.
27
Donald Black dan Dragan Milovanovich, dalam Otje Salman S dan Anton F Susanto, 2005,
Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama Bandung, hlm 50-
54.
28
Jhonny Ibrahim, 2006 , Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , Bayumedia
Publishing Malang , hal 242

26
2). Penelitian problem identification : yaitu penelitian yang bertujuan untuk

mencari permasalahan yang ada.


3). Penelitian problem solution : yaitu penelitian yang mencari solusi dari

permasalahan.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di :
1). Pengadilan Tinggi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
2). Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK)

Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.


3). Perpustakaan UII.
4). Perpustakaan UGM.
5). Perpustakaan MKDKI.
6). Studi kasus (case study) yang diambil sebagai sampel adalah putusan

terhadap kasus-kasus dugaan malpraktik kedokteran.


3. Sumber dan Jenis Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan doctrinal dan non doctrinal,

maka sumber dan jenis data meliputi dua sumber yang berbeda yaitu :
1) Data sekunder30
Jenis data yang dipakai adalah data sekunder, apabila dlihat dari

segi informasi yang diberikan maka bahan pustaka dapat dibagi dalam 2
(dua) kelompok31, sebagai berikut :
a) Bahan/sumber primer, yakni bahan pustaka yang berisikan

pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, atau pengertian baru

tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan (idea).

Bahan / sumber primer ini mencakup :


29
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia ( UI Press)
hlm 10.
30
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986, Penelitian Hukum Normatif, CV Rajawali,
Jakarta, hlm 28. Adapun data sekunder memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut : (1 ) data sekunder
pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat ( ready made) ; (2) Bentuk maupun isi data sekunder
telah dibentuk dan diisi leh peneliti-peneliti terdahulu ; (3) Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat
atau dibatasi oleh ruang dan waktu.
31
Ibid, hlm 34.

27
(1) Buku
(2) Kertas kerja konperensi, lokakarya, seminar, simposium
(3) Laporan penelitian
(4) Jurnal
(5) Majalah
(6) Disertasi
b) Bahan/sumber sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi

tentang bahan primer, antara lain :


(1) abstrak
(2) indeks
(3) bibliografi
(4) penerbitan pemerintah
(5) bahan acuan lainnya

Apabila dilihat dari sudut kekuatan mengikatnya, maka bahan

pustaka bidang hukum dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu :

a. Bahan hukum primer terdiri dari UU No. 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran, UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 46 Tahun 2009 tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan

Umum, KUHPidana, KUHPerdata, Peraturan Pemerintah No. 96

tahun 2006 tentang Hak Lainya Hakim ad hoc Perselisihan Hubungan

Industrial, Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2013 tentang Hak

Keuangan dan Fasilitas Hakim ad hoc dan peraturan-peraturan

lainnya yang relevan.


b. Bahan hukum sekunder terdiri dari bahan yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti literature-literature

28
yang dipublikasikan baik didalam maupun di luar negeri serta

makalah-makalah.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan

penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus

ensiklopedia hukum.
2) Data Primer32 :
Data Primer dalam penelitian ini diperoleh dengan wawancara,

dimana proses wawancara tidak terstruktur terhadap responden yaitu

memberikan pertanyaan secara langsung yang berkaitan dengan obyek

penelitian. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini mengguna-

kan teknik non probability sampling, dengan cara purposive sampling

yaitu pengambilan sampel dengan maksud dan pertimbangan tertentu 33

dengan menetapkan syarat-syarat atau kriteria tertentu berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti sebagai dasar pengambilan sampel. Syarat

sumber data menurut Andi Prastowo34 adalah seseorang yang dianggap

memiliki informasi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti :


1. Seseorang berlatar berlakang pendidikan dokter atau dokter

gigi yang berpengetahuan (belajar) tentang ilmu hukum


32
Sanapiah Faisal, 1988, Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasinya, Malang,
Yayasan Asah Asih Asuh, hlm 20, 56, dan 57. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari
sumber utama yang berwujud pandangan, pemikian, aspirasi, tindakan-tindakan, peristiwa-peristiwa
dan hubungan-hubungan hukum dan kata-kata. HB Sutopo, 2002, Metode Penelitian Kualitatif,
Surakarta, UNS Press, hlm 99-101. Jenis data ini memberikan keterangan atau informasi secara
langsung mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan obyek penelitian. Dimana data jenis ini
diperoleh langsung melalui lapangan berupa kata-kata dan tindakan yang diperoleh melalui wawancara
mendalam ( indepth interview).
33
www. makalah-makalah..com/2016/05/cara-menentukan-sumber-data.html, diakses tanggal
17-10-2016,jam10 00 wib.
34
Andi Prastowo, 2011, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian,
AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta, hlm 205-207.

29
(seorang dokter spesialis yang diberi tanggung jawab

mengelola Komite Etik dan Hukum di Rumah Sakit).


2. Seseorang berlatar belakang pendidikan hukum yang

berpengetahuan (belajar) tentang ilmu kedokteran.


3. Seseorang karyawan rumah sakit yang diberi tanggungjawab

untuk menangani persoalan-persoalan yang berkaitan dengan

dugaan malpraktik.
4. Seseorang yang diberi tanggungjawab sebagai pengurus

organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Masyarakat

Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI).


5. Seseorang yang terlibat dalam proses peradilan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data diperoleh melalui studi atau penelitian kepustakaan (library

research) dengan mengkaji peraturan perundang-undangan, serta literature

yang berkaitan dengan obyek penelitian. Selain itu akan dilaksanakan

pengumpulan data kualitatif yaitu kasus-kasus malpraktik yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap untuk menunjang akurasi data, disamping

wawancara.
5. Analisa Data.
Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka dalam

penelitian ini analisis dilakukan dengan dua tahap yaitu :


5.1.Tahap pertama :
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat

kualitatif, dan pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan logika

deduktif, yaitu pola berpikir dari hal-hal yang bersifat umum (premis

mayor) ke hal-hal yang bersifat khusus (premis minor).

30
5.2.Tahap Kedua :
Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan

menggunakan model analisis mengalir (flow model of analysis) maupun

analisis interaktif (interactive model of analysis). Model analisis mengalir

berarti melakukan analisis dengan menjalin secara paralel ketiga

komponen analisis itu secara terpadu, baik sebelum mengumpulkan data,

pada waktu mengumpulkan data, maupun sesudah mengumpulkan data.

Sedangkan aktivitas ketiga komponen analisis itu berbentuk interaksi

dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus.


Menurut Miles dan Huberman35 ketiga komponen tersebut adalah

reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Analisis

data dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Pengumpulan
Data

Reduksi
Sajian Data
Data

Penarikan
Kesimpulan/Verifika
si

Bagan 1 : Analisa data


35
Miles dan Huberman dalam HB Soetopo, 1992, Metode Penelitian Hukum, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hlm 12.

31
Keterangan :

1). Reduksi Data

Reduksi data adalah bagian analisis, dengan cara mempertegas,

memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting

dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat

dilakukan. Proses ini berlangsung sejak awal penelitian, dan pada saat

pengumpulan data. Reduksi data dilakukan dengan membuat singkatan,

coding, memusatkan tema, menulis memo dan menentukan batas-batas

permasalahan. Reduksi data merupakan suatu bentuk anaslisis yang

menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak

perlu, dan mengorganisasikan data dengan cara demikian ini sehingga

kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

2).Penyajian Data

Penyajian data sebagai kumpulan informasi tersusun yang memberikan

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Sajian data sebaik-baiknya berbentuk tabel, gambar, matriks, jaringan

kerja dan kaitan kegiatan, sehingga memudahkan peneliti untuk

mengambil kesimpulan. Peneliti diharapkan dari awal dapat memahami

arti dari berbagai hal yang ditemui sejak awal penelitian, dengan

demikian dapat menarik kesimpulan yang terus dikaji dan diperiksa

seiring dengan perkembangan penelitian yang dilakukan. Proses analisis

32
dengan 3 (tiga) komponen di atas dilakukan secara bersamaan merupakan

model analisis mengalir (flow model of analysis). Reduksi data dilakukan

sejak proses sebelum pengumpulan data, diteruskan pada waktu

pengumpulan data dan bersamaan dengan dua komponen yang lain. Tiga

komponen tersebut masih mengalir dan tetap saling menjalin pada waktu

kegiatan pengumpulan data sudah berakhir sampai dengan proses

penulisan penelitian selesai

3). Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Berkaitan dengan penarikan kesimpulan tersebut, penerapan metode pada

peneltian ini adalah untuk mengungkap kebenaran dan memahaminya.

Penelitian mencari, menjelaskan dan memahami prinsip-prinsip umum

yang berlaku dalam suatu kehidupan masyarakat dengan memulai dari

kenyataan (phenomena) menuju ke teori36.

H. Kerangka Pikir

Kerangka berfikir menurut Andy Saiful Musthofa37 harus mencakup :

1. Mengapa penelitian dilakukan.

36
Burhan Arshofa, 1996, Op. Cit,. hlm 74.
37
www.saifedia.blogspot.com, diakses tanggal 19 - 5 - 2016, jam 06 05 wib, Andy Saiful
Musthofa, Difinisi dari Teori dan Kerangka Berfikir Dalam Suatu Penelitian.

33
Penelitian dilakukan untuk mencari suatu kebenaran atau masalah yang

ditemukan atau menemukan suatu kajian baru (ilmu baru) yang akan digunakan

dalam menjawab masalah- masalah yang ada.

2. Bagaimana proses penelitian dilakukan.

Dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan kebutuhan antara lain metode

sampling, studi pustaka, studi kasus, wawancara.

3. Apa yang diperoleh dari penelitian tersebut.

Tergantung pemikiran sebelumnya, walaupun secara umum tidak semuanya

apa yang diinginkan tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan sebelumnya.

4. Untuk apa hasil penelitian diperoleh.

Mencari kebenaran akan suatu masalah yang kontroversi dikalangan ma-

syarakat atau untuk membantah opini yang tersebar sejak turun – temurun.

Latar Belakang

Permasalahan :
1. Perlukah Peradilan Khusus
Profesi
2. Bagaimana Membangun

Landasan Teori & Konsep

Teori : Konsep :
1. Sistem Hukum 1. Hubungan Hukum.
2. Bekerjanya Hukum Metode Penelitian 2. Sengketa Medis.
3. Perlindungan Hukum 3. Bentuk Pelanggaran
4. Keadilan 4. Penyelesaian 34
5. Sistem peradilan Sengketa
pidana
Hasil Penelitian

Diperlukan Peradilan Membangun Model


Khusus Profesi Peradilan Khusus Profesi

Bagan 2 : Kerangka Pikir

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KONSEPTUAL

A. Landasan Teori

1. Teori Sistem Hukum

Sistem hukum termasuk sistem konseptual yang bersifat terbuka,38 ini

menunjukkan bahwa sistem hukum itu mendapat pengaruh secara timbal balik

dari sistem di luar hukum dan sebaliknya sistem hukum juga mempengaruhi

sistem di luar sistem hukum, sehingga sifatnya dinamis, berkembang sesuai

dengan berkembangnya masyarakat.39 Keberadaan sistem hukum dalam

38
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta , hlm.102-103.
39
Sudikno Mertokusumo , dalam Veronika Komalawati , 2002, Aspek hukum Dalam
Pelayanan Kesehatan : Suatu Kajian , Jurnal Hukum Bisnis, Volume no.23, Nomor 2 Tahun 2004 ,
hlm 16.

35
masyarakat dimaksudkan untuk memberikan atau menciptakan suasana

kondusif bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.40

Lawrence Friedman membagi sistem hukum dalam tiga (3) komponen

yaitu:41

a. Substansi hukum (substance rule of the law), didalamnya meling-

kupi seluruh aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,

baik yang hukum material maupun hukum formal.

b. Struktur hukum (structure of the law), melingkupi pranata hukum,

aparatur hukum dan sistem penegakkan hukum. Struktur hukum

erat kaitannya dengan sistem peradilan yang dilaksanakan oleh

aparat penegak hukum, dalam sistem peradilan pidana, aplikasi

penegakan hukum dilakukan oleh penyidik, penuntut, hakim dan

advokat.

c. Budaya hukum (legal culture), merupakan penekanan dari sisi

budaya secara umum, kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara

bertindak dan berpikir, yang mengarahkan kekuatan sosial dalam

masyarakat.

Tiga komponen dari sistem hukum menurut Lawrence Friedman

tersebut diatas merupakan jiwa atau ruh yang menggerakkan hukum sebagai

40
Adi Sulistiyono, 2006, Mengembangkan Paradigma Non Litigasi Di Indonesia, UNS
Press, Surakarta, hlm. 63
41
Lawrence M. Friedman; dalam Achmad Ali , 2009 , Menguak Teori Hukum (Legal Theory)
dan Teori Peradilan ( Judicialprudence), Kencana Prenada Media Group , Jakarta , hlm 227.

36
suatu sistem sosial yang memiliki karakter dan teknik khusus dalam

pengkajiannya. Friedman membedah sistem hukum sebagai suatu proses yang

diawali dengan sebuah input yang berupa bahan-bahan mentah yaitu berupa

lembaran-lembaran kertas dalam sebuah konsep gugatan yang diajukan dalam

suatu pengadilan, kemudian hakim mengolah bahan-bahan mentah tersebut

hingga menghasilkan output berupa putusan.42

Input yang berupa konsep gugatan atau dakwaan dalam sebuah sistem

adalah elemen sikap dan nilai sosial atas tuntutan-tuntutan masyarakat yang

menggerakkan sistem hukum. Jika masyarakat tidak melakukan tuntutan atas

nilai dan sikap yang mereka anggap bertentangan dengan harapan mereka

baik secara indvidu ataupun kelompok, maka tidak akan ada konsep gugatan

ataupun dakwaan yang masuk di pengadilan. Jika tidak ada gugatan atau

dakwaan sebagai input dalam sistem tersebut maka pengadilan tidak akan

bekerja dan tidak akan pernah ada.43 Oleh karenanya setiap komponen dalam

sistem hukum tersebut adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan jika salah

satu komponen tidak bergerak maka tidak akan ada umpan balik yang

menggerakkan sistem tersebut.44

Namun tentunya suatu sistem hukum bukanlah suatu mesin yang

bekerja dengan mekanisme dan proses yang pasti. Para ahli hukum dengan
42
Ibid
43
Ibid
44
Jimmy Yansen, Penerapan Norma Hukum Dalam Sistem Hukum Indonesia (Penerapan
Norma Hukum di Lembaga Peradilan), http//jimmyyansennainggolan.files.wordpress.com, diakses
senin tanggal 16-1-2017, jam 10.30 wib.

37
gagasan idealnya menginginkan hukum bersifat pasti, bisa diprediksi, dan

bebas dari hal yang subjektif dengan kata lain hukum harus sangat

terprogram, sehingga setiap input yang masuk dan diolah akan menghasilkan

output yang pasti dan bisa diprediksi. Oleh karenanya segala sesuatu yang

outputnya lain dari pada itu akan dipandang tidak adil.45

Jimmy Yansen,46 sistem hukum yang dimulai dari input lalu diproses

dan menghasilkan ouput berupa putusan adalah mekanisme yang tidak dapat

dipastikan dan diprediksi. Kompleksitas yang mempengaruhi sistem tersebut

membuat penerapan hukum dalam konteks peradilan menjadi sangat

subyektif dan sangat tergantung pada perspektif hakim dan juga tidak

terlepas dari pengaruh para pengacara yang membuat argumentasi hukum

dalam rangka meyakinkan hakim dalam memutuskan. Konsekuensi logis

atas kompleksitas tersebut adalah bahwa setiap putusan dalam sistem

peradilan Indonesia tergantung dari mazhab pemikiran para hakim termasuk

sikap, nilai dan intusi serta latar belakangnya. Disamping itu juga

dipengaruhi oleh para pengacara dalam mempengaruhi dan meyakinkan

hakim dengan argumentasi hukum yang dibangunnya. Apabila hakim dinilai

cenderung sangat positivisme, maka pengacara harus mampu membangun

argumentasi hukum dengan dalil-dalil positivisme untuk mempengaruhi dan

meyakinkan hakim. Begitu pula apabila hakim dinilai sangat responsif dan
45
Lawrence M. Friedman, op., cit.
46
Jimmy Yansen, op., cit.

38
progresif maka hakim dianggap mampu menerobos batas - batas kekakuan

hukum demi kepentingan sosial masyarakat dalam rangka menciptakan

keadilan, maka pengacara harus menyiapkan argumentasi hukum yang

menguatkan dalil tersebut. Karena sesungguhnya pengadilan tidak pernah

ada apabila tidak ada tuntutan atas nilai-nilai dan harapan dalam bentuk

input berupa lembaran-lembaran kertas gugatan dan dakwaan, maka peranan

pengacara dalam membangun budaya hukum masyarakat yang dituangkan

dalam konsep gugatan dan argumentasi hukum dalam pengadilan adalah

saling menguatkan.

2. Teori Bekerjanya Hukum

Bekerjanya hukum dimulai dari pembuatan hukum, pembuatan

hukum merupakan pencerminan model masyarakatnya. Menurut Chambliss

dan Seidman, model masyarakat dibedakan dalam 2 model yaitu47 :

a. Model kesepakatan nilai-nilai (value consensus).

Bahwa pembuatan hukum adalah menetapkan nilai-nilai yang berlaku

dalam masyarakat juga merupakan pencerminan nilai-nilai yang

disepakati oleh warga masyarakat.

b. Model masyarakat konflik.

47
Dianauliacloud.blogspot.co.id/2006/06.Kaitan Hukum dan Politik dengan Teori Bekerjanya
Hukum dalam Masyarakat (CHAMBLISS DAN SEIDMAN), diakses tanggal 26-9-2016, jam 09 30
wib.

39
Bahwa pembuatan hukun dilihat sebagai proses adu kekuatan, negara

merupakan senjata ditangan lapisan masyarakat yang berkuasa.

Sekalipun terdapat pertentangan nilai-nilai, negara tetap dapat berdiri

sebagai badan tidak memihak (value-neutral).

Menurut teori ini, pembentukan hukum dan implementasinya tidak

akan lepas dari pengaruh kekuatan-kekuatan sosial dan personal, terutama

pengaruh kekuatan sosial politik. Itulah sebabnya kualitas dan karakter hukum

juga tidak lepas dari pengaruh bekerjanya kekuatan-kekuatan sosial politik

dan personal tersebut, terutama kekuatan politik pada saat hukum itu

dibentuk.

Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik, salah satunya terwujud

dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Meskipun demikian, jika

sudah menjadi hukum, maka politik harus tunduk kepada hukum, bukan

sebaliknya. Demikian konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “ Negara Indonesia

adalah Negara Hukum’’. Demikian hukum dan politik saling bergantung dan

berhubungan satu sama lainya, dan saling mendukung ketika belum bekerja

dalam masyarakat, sebagaimana teori Chambliss dan Seidman.

Satjipto Rahardjo,48 kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya

adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-


48
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan ke enam, Citra Adytya Bakti, Jakarta, hlm
53.

40
kepentingan yang bisa saling bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum

diintegrasikan sedemikian rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan

sekecil-kecilnya. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka

kepentingan tesebut.

Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau

hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu,

terdapat dua aspek kerja hukum dalam hubungan dengan perubahan sosial,

yaitu49 :

1). Hukum sebagai sarana kontrol sosial.

Hukum sebagai sarana kontrol sosial adalah suatu

proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar

bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Hukum

sebagai kontrol sosial dijalankan dengan menggerakkan berbagai

aktifitas, yang melibatkan penggunaan daripada kekuasaan

negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasi secara politik,

melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya, sehingga termasuk

dalam lingkup ini adalah :

49
Satjipto Rahardjo, 2006, ibid., hlm 122-124.

41
a. Pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntuk-

an maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan

orang.

b. Penyelesaian sengketa-sengketa.

c. Menjamin kelangsungan hidup masyarakat, yaitu dalam hal

terjadi perubahan-perubahan.

2). Hukum sebagai sarana social engineering.

Hukum sebagai sarana social engeneering adalah peng-

gunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau

keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk

melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan dan tidak

berhenti pada orientasi pada masa sekarang, melainkan bisa juga

ditujukan untuk menjangkau masa akan datang. Dengan demikian,

maka persoalan yang ingin dipecahkan bukan lagi bagaimana

mempengaruhi tingkah laku orang-orang agar sesuai dengan

harapan masyarakat dalam keadaan sekarang ini. Hal ini

membedakan antara hukum sebagai sarana kontrol sosial dengan

hukum sebagai sarana social engeneering.

42
Suatu undang-undang atau kaedah hukum50 dibuat dengan tujuan

untuk mengatur kepentingan-kepentingan anggota masyarakat agar tidak

terjadi perselisihan sehingga tercipta kedamaian, ketertiban dan yang lebih

penting lagi bahwa hukum itu harus bisa mewujudkan keadilan di dalam

masyarakat. Pembuatan undang-undang atau kaedah hukum merupakan

proses awal bergulirnya pengaturan.

Efektifitas hukum51 merupakan indikator untuk menilai berhasil

atau tidaknya penerapan suatu produk hukum atau penegakkan hukum di

dalam masyarakat. Hukum akan ditaati dan dilaksanakan sebagai perilaku

oleh warga masyarakat apabila hukum tersebut berhasil mengatur pola

perilaku orang atau warga masyarakat sesuai dengan tujuanya. Suatu

kaedah hukum akan berhasil atau gagal dalam mencapai tujuanya dapat

diukur dengan terwujudnya hukum sebagai perilaku.

3. Teori Perlindungan Hukum

Hukum pada hakekatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam

manifestasinya bisa berujut konkrit. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai

baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan,

kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.52 Tujuan

hukum menurut teori konvensional adalah mewujudkan keadilan


50
Widodo Tresno Novianto, Alternaif Model Penyelesaian Sengketa Medik di Luar
Pengadilan Melalui Lembaga Penyelesaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan, 2014, hlm 32.
51
ibid.
52
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, 1993, Remaja Rosdakarya,
Bandung, hlm 79.

43
(rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum

(rechtzekerheid).53

Dalam pergaulan di tengah masyarakat,54 banyak terjadi hubungan

hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan hukum dari

subyek hukum itu. Tindakan hukum ini merupakan awal lahirnya hubungan

hukum (rechtsbetrekking), yakni interaksi antar subyek hukum yang memiliki

relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum. Agar hubungan

hukum antar subyek hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang dan adil,

dalam arti setiap subyek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya dan

menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil

sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut.

Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk

mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum.55 Di samping itu,

hukum juga berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subyek hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai perlindungan

kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus

dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai

tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum.56 Pelanggaran hukum


53
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), 2002, PT
Gunung Agung Tbk, Jakarta hlm 85.
54
Anny Retnowati, Rekontruksi Penyidikan Dugaan Malpraktik Rumah Sakit Berdasarkan
Prinsip Keadilan dan Perlindungan Hukum, 2015, hlm 46.
55
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 210.
56
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996,
hlm. 140.

44
terjadi ketika subyek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang

seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subyek hukum lain.

Subyek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan perlindungan

hukum.

Menurut Satjipto Rahardjo,57 hukum melindungi kepentingan

seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk

bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini

dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya.

Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak disetiap

kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya

kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.

Menurut Setiono,58 perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya

untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh

penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan

ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk

menikmati martabatnya sebagai manusia. Sedangkan Muchsin59 berpendapat

bahwa, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu

dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma

57
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, 2000, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke V, Bandung, hlm 53.
58
Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), 2004, Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm 3.
59
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia, 2003, Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm 14.

45
dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam

pergaulan hidup antar sesama manusia.

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-

subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu :60

1. Perlindungan hukum preventif

Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan yang diberikan

oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadi

pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan

dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta

memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan

satu kewajiban.

2. Perlindungan hukun represif

Perlindungan hukum represif adalah merupakan perlindungan akhir

berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang

diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu

pelanggaran.

4. Teori Keadilan

60
ibid

46
Keadialan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan

yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilam

dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan

banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan

yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk

mengaktualisasikannya.61

Dalam hukum terdapat banyak teori keadilan antara lain distributief,

commutatief, positifisme, retributief dan dalam perjalanan waktu, di dalam

hukum pidana terjadi perubahan paradigma teori keadilan retributief menjadi

teori keadilan restoratif dan rehabilitasi, teori tersebut disebut teori

kontemporer.62 Di dalam teori rehabilitasi, pelaku kejahatan harus diperbaiki

kearah yang lebih baik, agar ketika kembali ke masyarakat ia dapat diterima

oleh komunitasnya dan tidak lagi mengulangi kejahatanya. 63 Konsep

pemikiran keadilan restoratif adalah ketika sebuah kejahatan terjadi, kita

diharuskan mengutamakan kepentingan korban karena merekalah yang secara

langsung terkena dampak kejahatan tersebut.64

4.1. Teori Keadilan Aristoteles.

61
Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia,
Bandung, hlm 239.
62
Eddy O.S. Hiariej, 2016, Prisip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta,
hlm 42-53.
63
ibid
64
ibid

47
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian

hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak

persamaanya sesuai dengan hak proporsional. Kesamaan hak

dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah

yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara

dihadapan hukum sama. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa

yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah

dilakukan.65

Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi ke

dalam dua macam keadilan, keadilan distributief dan keadilan

commutatief. Keadilan distributief adalah keadilan yang memberikan

kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief

memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-

bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar

menukar barang dan jasa.66 Dari pembagian macam keadilan ini

Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan. Distribusi

yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai

kebaikanya, yakni nilainya bagi masyarakat.67

4.2. Teori Keadilan John Rawls.

65
Carl Joachim Friedrich, 2004, ibid hlm 24.
66
L. J. Van Apeldoorn, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, cetakan ke dua
puluh enam, Jakarta, hlm 11-12.
67
Carl Joachim Friedrich, 2004, op. Cit, hlm 25.

48
Keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi

sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat

tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap

orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat

lemah pencari keadilan.68

Secara spesifik, John Rawls69 mengembangkan gagasan

mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya

konsep ciptaanya yang dikenal “posisi asali” (original potition) dan

“selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Pandangan John Rawls

memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap

individu di dalam masyarakat. Tidak ada perbedaan status, kedudukan

atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainya, sehingga

satu pihak dengan lainya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang,

itulah pandangan John Rawls sebagai suatu “posisi asali” yang bertumpu

pada pengertian ekuilibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas

(rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna

mengatur strutur dasar masyarakat (basic structure of society).

Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep ‘’posisi asali’’

terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip


68
Pan Mohamad Faiz, “Teori Keadilan John Rawls”, Jurnal Konstitusi, Edisi No. 1 Vol. 6,
(2009). Hlm 135.
69
John Rawls, 1973, A Theory of Justice, Oxford UniversityPress, London, diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006.

49
persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat

universal, hakiki dan kompatabel serta ketidaksamaan atas kebutuhan

sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu. Prinsip pertama yang

dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle),

seperti kebebasan beragama (freedom of religion), kemerdekaan

berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan

mengemukakan ekspresi ( freedom of speech and expression), sedangkan

prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle),

yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal

opportunity principle).

Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangan terhadap

keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan

haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu, pertama memberi hak

dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas

kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur

kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi

keuntungan yang bersifat timbal balik.

4.3. Teori Keadilan Hans Kelsen

Hans Kelsen70 dalam bukunya General Theory of Law and State,

berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan


70
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh oleh Rasisul
Muttaqiem, 2011, Nusa Media, Bandung, hlm 7.

50
adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang

memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan didalamnya.

Pandangan Hans Kelsen ini adalah bersifat positivisme, nilai-nilai

keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang

mengakomodir nilai-nilai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan

dan kebahagiaan diperuntukan tiap individu. Lebih lanjut Hans Kelsen

mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat

subyektif, walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa

suatu tatanan bukan suatu kebahagiaan setiap perseorangan, melainkan

kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin inndividu dalam

arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang

oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-

kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan

papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut

diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan

rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh

faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subyektif.

Sebagai aliran positivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa

keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakekat suatu benda

atau hakekat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.

Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam.

51
Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan

hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang

lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari

penalaran manusia atau kehendak Tuhan.

Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut

aliran positivisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga

pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara

hukum positif dan hukum alam.

4.4. Teori Keadilan Menurut Hukum Islam.

Membahas mengenai keadilan harus diketahui terlebih dahulu

makna dari kata “adil” itu sendiri. Adil merupakan salah satu sifat yang

harus dimiliki manusia dalam rangka menegakkan kebenaran kepada

siapapun tanpa terkecuali walaupun akan merugikan dirinya sendiri.71

Secara terminologi, adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang

lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu

menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga

berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran.72

Keadilan73 hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai

keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan


71
Abdul Azis Dahlan et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, PT Ichtiar Baru Van Hoeve :
Jakarta ,1996, hlm 25.
72
Ibid.
73
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, 2004, Nuansa dan Nusamedia,
hlm 24.

52
keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis dan

memakan banyak waktu. Upaya ini sering kali juga didominasi oleh

kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik

untuk mengaktualisasikanya.

Secara etimologis “adil” (al-‘adl) berarti tidak berat sebelah,

tidak memihak atau menyamakan yang satu dengan yang lain, sedangkan

secara terminologis “adil” (al-‘adl) berarti menpersamakan sesuatu yang

lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran sehingga sesuatu itu

menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga

berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran. 74 Menurur Ahmad

Azhar Basyir, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempat yang

sebenarnya atau menempatkan sesuatu pada proporsinya yang tepat dan

memberikan kepada seseorang sesuatu yang menjadi haknya.75

Kata ‘adl dalam berbagai bentuk terulang sampai sebanyak 28

kali di dalam Al-Qur’an. Kata ‘adl di dalam Al-Qur’an memiliki aspek

dan obyek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut

mengakibatkan keragaman makna ‘adl itu sendiri, antara lain ada yang

mengartikan keadilan, ada pula yang mengartikan persamaan. Kata ‘adl

74
Abdul Azis Dahlan et.al., op.cit, hlm 26.
75
Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, UII Press, Yogyakarta,2000,
hlm 30.

53
dengan arti sama (persamaan) yang dimaksud adalah persamaan hak.

Dalam surat An-Nisa’ ayat 58, misalnnya ditegaskan76:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada


yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat’’

Al-Qur’an memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan seperti

bunyi firman-Nya, surat An-Nahl ayat 9077:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat


kebajikan.”

Kebajikan (ihsan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi

keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama

daripada kedermawanan atau ihsan. Ihsan adalah memperlakukan pihak

lain lebih baik dari pelakunya, atau memperlakukan yang bersalah dengan

perlakuan yang baik. Ihsan dan kedermawanan merupakan hal-hal yang

baik pada tigkat antar individu, tetapi dapat berbahaya jika dilakukan

pada tingkat masyarakat.78

Imam Ali r.a bersabda, “adil adalah menempatkan sesuatu pada

tempatnya, sedangkan ihsan (kedermawanan) menempatkanya bukan

76
Pengertian keadilan dalam Al-Quran.http:// makalahmajannaii .blogspot.com/ 2012/02/
keadilan-dalam-alquran.html.diakses tanggal 19-10-2016, jam 10 00 wib.
77
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Departemen Agama,1986,hlm 124.
78
Library.walisongo.ac.id/digilib/fiels/disk1/28/jtptiain-gdl-s1-2006-erlinhamid-1369-bab2 -
410-8pdf,diakses tanggal 21-10-2016,jam 10 00 wib.

54
pada tempatnya.” Jika hal ini menjadi sendi kehidupan bermasyarakat,

maka masyarakat tidak akan menjadi seimbang. Itulah sebabnya,

mengapa Nabi Muhammad SAW menolak memberikan maaf kepada

seorang pencuri setelah diajukan ke pengadilan, walau pemilik harta telah

memaafkannya.79

Menurut Juhaya S. Praja, dalam Islam perintah berlaku adil

ditujukan kepada setiap orang tanpa pandang bulu. Perkataan yang benar

harus disampaikan apa adanya walaupun perkataan itu akan merugikan

kerabat sendiri. Keharusan berlaku adil pun harus ditegakkan dalam

keluarga dan masyarakat muslim itu sendiri, bahkan kepada orang kafir

pun umat Islam diperintahkan berlaku adil. Untuk keadilan sosial harus

ditegakkan tanpa membedakan karena kaya miskin, pejabat atau rakyat

jelata, wanita atau pria, mereka harus diperlakukan sama.80 Senada

dengan itu, Sayyid Qutb menegaskan bahwa Islam tidak mengakui

adanya perbedaan-perbedaan yang digantungkan kepada tingkatan dan

kedudukkan.81

Salah satu sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia

adalah prinsip keadilan sosial dan pelaksanaannya dalam setiap aspek

kehidupan manusia. Setiap anggota masyarakat didorong untuk


79
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung,2003,hlm 124.
80
Juhaya S.Praja, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penerbitan Universitas LPPM UNISBA,
Bandung, 1995, hlm 73.
81
Sayyid Qutb, Keadilan sosial dalam Islam, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito,
Islam dan Pembaharuan, Terjemahan Machnun Husein,CV Rajawali, Jakarta, 1984,hlm 224.

55
memperbaiki kehidupan material masyarakat tanpa membedakan bentuk,

keturunan dan jenis orangnya. Setiap orang dipandang sama untuk diberi

kesempatan dalam mengembangkan seluruh potensi hidupnya82.

Islam bertujuan83 membentuk masyarakat dengan tatanan sosial

yang solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan

dan kasih sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang

universal dan tak diikat batas geografis, Islam menganggap umat manusia

sebagai suatu keluarga. Karenanya semua anggota keluarga itu

mempunyai derajat yang sama dihadapan Allah. Islam tidak membedakan

pria ataupun wanita, putih atau hitam. Secara sosial, nilai yang

membedakan satu dengan yang lain adalah ketakwaan, ketulusan hati,

kemampuan dan pelayanannya kepada manusia.

Dalam Islam, antara keimanan dan keadilan tidak terpisah.

Keadilan dalam Islam merupakan perbuatan yang paling takwa dalam diri

manusia. Seseorang yang imannya benar dan berfungsi dengan baik akan

selalu berlaku adil terhadap sesamanya. Keadilan dalam Islam sangat

diperhatikan, namun bukan berarti memberikan bagian yang sama rata

pada setiap orang.

82
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 1, Terjemahan Soeroyo, Nastangin, PT Dana
Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm 74.
83
Library.walisongo.ac.id/digilib/fiels/disk1/28/jtptiain-gdl-s1-2006-erlinhamid-1369-bab2 -
410-8pdf,diakses tanggal 21-10-2016,jam 10 00 wib.

56
Keadaan tersebut84 tergambar dengan jelas dalam surat Al-Maidah ayat 8:

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Berlaku adil sangat terikat dengan hak dan kewajiban. Hak yang

dimiliki oleh seseorang termasuk hak asasi wajib diperlakukan secara

adil. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah

wajib diberikan kepada yang berhak menerima. Oleh karena itu hukum

berdasarkan amanah harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa

kebencian dan sifat negatif lainnya.85

Madjedi Hasan berpendapat,86 keadilan sebagai suatu yang

berimbang tidak harus selalu dalam pengertian sama berat, tetapi juga

dalam pengertian harmonisasi antara bagian-bagian atau pihak-pihak

sehingga membentuk suatu kesatuan yang harmonis. Hal yang penting

juga adalah keadilan dalam pengertian menempatkan sesuatu pada

tempatnya yang benar, dan ini memerlukan kearifan yang dalam dari

pihak-pihak yang terlibat dengan pembuat keputusan.

84
Muhammad Taufiq, Model Penyelesaian Perkara Pidana yang berkeadilan Substansial,
2013, hlm 27.
85
Abdul Azis Dahlan et.al., op.cit, hlm 25.
86
A. Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian
Hukum, Fikahati Aneska, Jakarta, 2009, hlm 152.

57
Dalam hubungannya dengan keadilan substansial, maka keadilan

yang sempurna dapat dicapai dengan menegakkan hukum Allah SWT dan

hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW secara konsisten

dan konsekuen tanpa memperturutkan kehendak atau keinginan sendiri 87,

sebagaimana firman Allah SWT, dalam AL-Qur’an Surat Al-maidah ayat

49 sebagi berikut :

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut


apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan
mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka
memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan
sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik.”

Memutuskan hukum atas sesuatu persoalan yang diajukan di depan

majelis hakim yang harus diproses penyelesaian perkaranya atau

diputuskan dan ditetapkan sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Para hakim menghadapi para pihak dalam memeriksa berperkara tanpa

dipengaruhi oleh pihak manapun juga. Dengan demikian hakim

melepaskan diri dari semua kekuasaan dan instansi yang ada.

Kata adil sebagaimana yang disampaikan oleh M. Quraish

Shihab88 pada awalnya diartikan dengan sama atau persamaan, itulah


87
Ambo Asse, Konsep Adil dalam Al-Qur’an, Jurnal Al Risalah Vol. 10 Nomor 2, November
2010 , hlm 282.
88
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,
Bandung, Mizan, 1998, hlm 111.

58
yang menjadikan pelakunya tidak memihak atau berpihak pada yang

benar. Makna ini menunjukkan bahwa keadilan itu melibatkan beberapa

pihak, yang terkadang saling berhadapan, yakni dua atau lebih, masing-

masing pihak mempunyai hak yang patut diperolehnya, demikian

sebaliknya masing - masing pihak mempunyai kewajiban yang harus

ditunaikan.

Keadilan menurut hukum Islam merupakan cikal bakal bagi

pembentukan hukum modern yang tidak terikat dengan peraturan

perundang-undangan. Ini bisa dilihat dalam penyelesaian perkara pidana

di Arab Saudi yang berlandaskan pada asas hukum Islam. Dalam hukum

Islam penyelesaian perkara pidana tidak harus berujung pada eksekusi

pelaku tindak pidana. Melainkan ada alternatif lain yang dapat ditempuh

demi terciptanya keadilan bagi para pihak yang seimbang. Konsep

keseimbangan dalam hukum Islam inilah yang menurut Muhammad

Taufiq89 selaras dengan keadilan substansial. Keadilan dalam hukum

Islam dan keadilan substansial sama-sama mewujudkan keseimbangan

antara para pihak baik itu korban maupun pelaku. Muhammad Taufiq,

berpendapat bahwa keadilan dalam Islam merupakan perbuatan yang

paling takwa atau keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia. Hukum

Islam menempatkan keimanan dan keadilan sebagai dua hal yang tidak

89
Muhammad Taufiq, op. cit., hlm 35-36.

59
dapat dipisahkan, Islam sangat mewajibkan kepada setiap manusia untuk

berlaku adil.90

Anwar C.,91 menyampaikan bahwa ajaran agama Islam juga

mewajibkan kepada manusia berlaku adil, dengan mengambil contoh

pada Al-Qur’an Surat Al-Nisa ayat 135 :

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang


benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah,
biarpun terhadap dirimu sendiri ataupun ibu bapakmu dan
keluargamu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih mengetahui
keadaan keduanya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
sehingga kamu tidak berlaku adil. Jika kamu memutar balikkan, atau
engggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
apa yang kamu kerjakan”.

Jadi, dalam ajaran Islam kewajiban berlaku adil tanpa membedakan

status sosial ekonomi, bahkan kepada siapa pun, termasuk keluarga

dekat.

4.5. Teori dan Problematika Mewujudkan Keadilan Substansial

Perdebatan perihal hukum yang adil berlangsung seiring dengan

perjalanan hidup umat manusia, penegakkan hukum yang adil menjadi

dambaan setiap orang yang memiliki akal budi. Namun perdebatan dalam

konteks akademik dan praktik menjadi aktual kembali tatkala akhir-akhir

ini kita menyaksikan kasus mutakhir yang banyak disorot media cetak

90
Hasanuddin AF, et. al., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Pustaka Al Husna Baru, 2004,
hlm 64.
91
Anwar C., Problematika Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Penegakkan Hukum di
Indonesia, Jurnal Konstitusi, vol. III, No. 1, Juni 2010, hlm 128-129.

60
maupun elektronik terhadap ketidak berdayaan orang kecil dalam

penegakkan hukum. Seperti beberapa kasus berikut : seorang nenek yang

dihukum hanya karena mengambil beberapa buah kakao di sebuah

perkebunan atau seorang kakek yang harus mendekam di dalam penjara

karena terbukti mengambil buah semangka tetangganya. Demikian pula

dua orang lelaki yang mengambil beberapa kilogram getah karet untuk

dijual guna membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Penjatuhan pidana itu

benar-benar menggugah nurani kita semua.92

Selama ini hukum hanya berprinsip teguh terhadap keadilan

yang sifatnya prosedural bukan keadilan substansial. Dalam hal ini,

keadilan prosedural merupakan keadilan yang mengacu pada bunyi pasal-

pasal yang ada dalam undang-undang. Sepanjang bunyi undang-undang

terwujud, tercapailah keadilan secara formal. Para penegak keadilan

prosedural itu, biasanya tergolong kaum positivistik dan tidak melihat

betapa masyarakat tidak merasakan keadilan yang sejatinya hukum

merupakan sarana mewujudkan keadilan yang tidak sekedar formalitas.

Betapapun tidak adil dan terbatasnya bunyi undang-undang yang ada,

hukum adalah perintah undang-undang dan dari situ kepastian hukum

bisa ditegakkan.93
92
ibid
93
Fawaidurrahman, Mencari Keadilan Hukum di Indonesia : Membendung Keadilan
Prosedural Menuju Keadilan Substansial, http://fawaidroh.wordpress.com, diakses tanggal
29-10-2016 jam 14 15 wib.

61
Menurut Mahfud MD94, konsep keadilan prosedural, sesuatu

dianggap adil apabila pelaksanaan dan putusan hakim selalu mengikuti

bunyi pasal-pasal di dalam undang-undang. Jika hakim memutus di luar

ketentuan undang-undang bisa dianggap tidak adil karena melanggar

kepastian-kepastian yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Yang

dikatakan adil di dalam keadilan prosedural itu adalah apabila putusan

hakim diletakkan pada aturan-aturan resmi yang ada sebelumnya. Ini

diperlukan agar ada kepastian bagi orang-orang yang akan melakukan

sesuatu sehingga bisa memprediksi apa akibat yang akan timbul dari

perbuatannya itu.

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling

banyak dibicarakan sepanjang perjalanan filsafat hukum. Telah

disebutkan sebelumnya, bahwa tujuan hukum memang tidak hanya

keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum

memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim, misalnya

sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun

demikian, tetap ada yang berpendapat, diantara ketiga tujuan yang paling

penting adalah keadilan, bahkan ada yang berpendapat merupakan tujuan

hukum satu-satunya95.
94
http://jurnal toddopulli.wordpress.com/2014/09/03/keadilan substantif. Moh.mahfud m.d,
diakses tanggal 24-10-2016, jam 09 00 wib.
95
makalah komplit.blogspot.co.id/2012/08/pengertian-keadilan-substantif.html, diakses
tanggal 24-10-2016, jam 12 00 wib.

62
Sebenarnya, kalau ditilik dari latar belakangnya, baik keadilan

substantif maupun keadilan prosedural sama-sama berangkat dari esensi

kebaikan hukum yang sama. Dulu, pada saat kekuasaan ada di satu

tangan, monarki atau raja, kalau ada warga masyarakat merasa dirugikan

haknya maka mereka mengajukan perkara itu kepada raja. Raja kemudian

menunjuk hakim untuk mengadili perkara itu tanpa ada aturan tertulis.

Pokoknya hakim yang ditunjuk disuruh mencari sendiri putusan yang

baik dan adil, tanpa hukum tertulis yang bisa dijadikan pedoman.96

Menurut Satjipto Rahardjo,97 berhukum substansial adalah

dimulai dari interaksi antara para anggota suatu komunitas sendiri yang

kemudian menimbulkan hukum. Tipe berhukum tersebut dikenal sebagai

interactional law. Hukum tumbuh secara serta-merta dalam interaksi

antara para anggota masyarakat. Menurut Mahfud MD, 98 dalam tulisanya

Keadilan Substantif, keadilan menurut Satjipto Rahardjo adalah tidak

hanya dalam pasal-pasal undang-undang, tetapi harus lebih banyak dicari

di dalam denyut-denyut kehidupan masyarakat.

Hakim harus berani berijtihad di luar ketentuan undang-undang

agar keadilan bisa ditemukan untuk bahan putusan. Keadilan substantif,

96
http://jurnal toddopulli.wordpress.com/2014/09/03/keadilan substantif. Moh.mahfud m.d,
diakses tanggal 24-10-2016, jam 09 00 wib.
97
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku : Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik,
Jakarta, Kompas Penerbit Buku, 2009, hlm 49-50.
98
http://jurnal toddopulli.wordpress.com/2014/09/03/keadilan substantif. Moh.mahfud m.d,
diakses tanggal 24-10-2016, jam 09 00 wib.

63
dengan demikian, adalah keadilan yang diciptakan oleh hakim dalam

putusan-putusannya berdasar hasil galiannya atas rasa keadilan di dalam

masyarakat, tanpa dibelenggu bunyi pasal undang-undang yang berlaku.

Bentuk perbuatan yang sama bisa divonis secara berbeda, tergantung pada

hasil penggalian hakim atas rasa keadilan. Namanya pengadil, bukan

penghukum. Itulah makna judge makes law, hakim membuat hukum.

Keadilan substantif (substantive justice) kerap dilawankan dengan

keadilan prosedural (procedural justice), yakni putusan hakim atau proses

penegakkan hukum yang sepenuhnya didasarkan pada bunyi undang-

undang.99

Makamah Konstitusi telah memberi pelajaran yang amat

berharga kepada bangsa ini tentang liku-liku penegakkan hukum, atau

lebih khusus tentang pengambilan putusan oleh pengadilan. Para hakim

Makamah Konstitusi tidak mengikuti prosedur hukum formal atau

business as usual. Mereka tergugah nasionalismenya dan mempraktikkan

cara berhukum yang progresif.100

Hukum itu tidak berdiri secara otonom penuh, tetapi merupakan

bagian integral dengan kehidupan bangsa dan dengan demikian bersama

suka duka bangsanya. Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendel

99
http://jurnal toddopulli.wordpress.com/2014/09/03/keadilan substantif. Moh.mahfud m.d,
diakses tanggal 24-10-2016, jam 09 00 wib.
100
Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Progesif , Jakarta, Kompas Penerbit Buku, 2010,
hlm 82.

64
Holmes, yang legendaris itu mengatakan, hukum suatu bangsa embodies

the story of a nation’s development through many centuries. Hakim tidak

berdiri di luar, tetapi benar-benar menjadi bagian bangsanya, ikut

merasakan sekalian suka dan dukanya. Pengadilan itu bukan merupakan

institut yang steril.101

Menurut Mahkamah Konstitusi, hakim atau pengadilan tidak

hanya memutus berdasar teks undang-undang dan hanya menggunakan

akal pikiran atau logika hukum, tetapi dengan seluruh kapasitas

nuraninya, seperti empati, kejujuran dan keberanian. Dengan bekal itu,

maka sesekali, jika keadaan memaksa, ia akan melakukan rule

breaking.102

Mahkamah Konstitusi dalam berbagai kesempatan telah

menegaskan posisinya bahwa lembaga ini akan menegakkan keadilan

substantif, bukan keadilan prosedural semata-mata. Dalam arti, sebagai

lembaga pengawal dan penafsir konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak

akan terpaku pada undang-undang jika undang-undang aquo dinilai

keluar dari tujuan hukum sendiri. Pilihan paradigmatik ini didasari pada

keyakinan bahwa dalam posisinya sebagai pengawal konstitusi,

demokrasi, dan hukum, Mahkamah Konstitusi harus mencari keadilan

substansial, sebab selain hal ini dibenarkan oleh UUD 1945 juga dimuat
101
Ibid.
102
Ibid, hlm 83

65
dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada pasal

45 Ayat (1) yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi memutus perkara

berdasar UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti

dan keyakinan hakim”. Pasal itu menyebutkan, bukti dan keyakinan

hakim harus menjadi dasar putusan untuk menegakkan keadilan

substantif, apalagi jika pihak yang berperkara jelas-jelas meminta ex

aequo et bono (putusan adil). Meski demikian, tidaklah dapat diartikan,

hakim boleh seenaknya melanggar atau menerobos ketentuan undang-

undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur secara pasti dan

dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada undang-undang.

Dengan kata lain, para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan

substantif (substantive justice) di masyarakat dari pada terbelenggu

ketentuan undang-undang (procedural justice).103

Saat ini dunia peradilan berkembang fenomena baru yang

berkaitan dengan keadilan. Fenomena baru tersebut khususnya terjadi di

Mahkamah Konstitusi, yaitu tentang diakuinya “hukum progresif”.

Keadilan substantif ini dipahami sebagai keadilan yang dituangkan dalam

putusan berdasarkan substansi perkara dan fakta persidangan. Peristilahan

yang digunakan dalam merealisasikan keadilan substantif ini adalah suatu

‘‘terobosan hukum’’. Keadilan jenis ini sering kali menimbulkan pro-


103
makalah komplit.blogspot.co.id/2012/08/pengertian-keadilan-substantif.html, diakses
tanggal 24-10-2016, jam 12 00 wib.

66
kontra antar ahli hukum, Mahkamah Konstitusi dianggap telah memasuki

ranah yang dianggap bukan lagi wewenang/kompetensinya, sehingga

Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai lembaga yang lahir dari rahim

reformasi yang paling berpengaruh melalui lembaga-lembaga negara

lainya. Bahkan muncul pendapat keadilan macam ini akan mengakibatkan

perubahan prinsip bahwa negara ini bukan lagi ‘‘negara hukum’’

(rechtstaat) tetapi ‘‘negara hakim’’ (rechterstaat).104

Perlu ditekankan juga bahwa pilihan paradigmatik Mahkamah

Konstitusi atas penegakkan keadilan substantif bukan berarti mahkamah

harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Dalam mengimple

-mentasikan paradigma ini Mahkamah Konstitusi dapat keluar atau

mengabaikan bunyi undang-undang tetapi tidak harus selalu mengabaikan

atau keluar dari bunyi undang-undang. Selama bunyi undang-undang

memberi rasa keadilan, maka Mahkamah Konstitusi akan menjadikannya

sebagai dasar dalam pengambilan putusan, sebaliknya jika penerapan

bunyi undang-undang tidak dapat memberi keadilan, maka Mahkamah

Konstitusi dapat mengabaikannya untuk kemudian membuat putusan

sendiri. Inilah inti dari hukum progresif atau hukum responsif yang

dipahami dan diterima oleh Mahkamah Konstitusi.105

104
Nunuk Nuswardani, Upaya Peningkatan Kualitas Putusan Hakim Agung dalam
Mewujudkan law and Legal Reform, dalam Jurnal Hukum No. 4 Vol.16, Oktober 2009, hlm 522.
105
makalah komplit.blogspot.co.id/2012/08/pengertian-keadilan-substantif.html, diakses
tanggal 24-10-2016, jam 12 00 wib.

67
Seharusnya keadilan substantif bisa diterapkan di Mahkamah

Agung. Keadilan yang dianut para hakim agung selama ini adalah

keadilan normatif, yakni suatu keadilan yang didasarkan pada norma-

norma semata. Dengan demikian, harus diterapkan pula keadilan seperti

apa yang dikehendaki agar pada saat perekrutan hakim agung dapat digali

berdasarkan sikap para calon hakim agung yang kelak dapat

melaksanakan tugas sebagai hakim agung dengan berkeadilan yang sesuai

dengan harapan.106

Keadilan substantif107 (keadilan substansial), menurut Bryan A.

Garner :

“ Justice fairly administered according to rules of substantive law,


regardless of any procedural errors not affecting the litigant’s
substantive rights”.

Artinya adalah keadilan cukup diberikan sesuai dengan aturan hukum

substantif, meskipun ada kesalahan prosedural yang tidak mempengaruhi

hak-hak substantif yang berperkara. Berdasarkan difinisi tersebuat dapat

dimaknai bahwa keadilan substantif adalah keadilan yang diberikan

sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, tanpa melihat kesalahan-

kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif

para pihak.108
106
Moh. Mahfud MD, Makamah Konstitusi dalam Bingkai Hukum Progresif dan Keadilan
Substantif, bahan disampaikan dalam diskusi di Surabaya, 13 Februari 2010.
107
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Amerika Serikat, 8th Edition, Thomsom West
Publishing Co., St Paul, 2004, hlm 881.
108
Muhammad Taufiq, op. cit., hlm 47.

68
Bagir Manan,109 mengemukakan bahwa hakim bukanlah mulut

undang-undang atau mulut hukum positif pada umumnya, melainkan

hakim adalah mulut kepatutan, keadilan, kepentingan umum dan

ketertiban umum. Apabila penerapan aturan hukum akan bertentangan

dengan kepatutan, keadilan, kepentingan umum, atau ketertiban umum,

hakim wajib memilih kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan

ketertiban umum.

Meski demikian,110 tidaklah dapat diartikan, hakim boleh

seenaknya melanggar atau menerobos ketentuan undang-undang. Untuk

mewujudkan kedilan substantif, diperlukan kemampuan menafsirkan

ketentuan hukum. Menurut Bagir Manan,111 ada beberapa hal yang harus

diperhatikan dalam menafsirkan ketentuan hukum, yaitu:

(1). Dalam hal kata-kata atau kata-kata dan susunan kaidah sudah

jelas, hakim wajib menerapkan undang-undang menurut bunyi

dan susunan kaidah kecuali didapati hal-hal seperti

inkonsistensi, pertentangan, atau ketentuan tidak dapat

menjangkau peristiwa hukum yang sedang diadili, atau dapat

menimbulkan ketidak adilan, bertentangan dengan tujuan

hukum, atau bertentangan dengan ketertiban umum,


109
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta, FH UII Press,
2004, hlm 63.
110
Anwar C., op. cit., hlm 133.
111
Bagir Manan, Beberapa catatan Tentang Penapsiran, artikel dalam Varia Peradilan,
Majalah Hukum Tahun XXIV No. 225 Agustus 2009, hlm 12.

69
bertentangan dengan keyakinan yang hidup dalam masyarakat,

kesusilaan, atau kepentingan umum yang lebih besar.

(2). Wajib memperhatikan maksud dan tujuan pembentukan undang-

undang, kecuali maksud dan tujuan sudah usang, terlalu sempit

sehingga perlu ada penafsiran yang lebih longgar.

(3). Penafsiran semata-mata dilakukan demi memberi kepuasaan

kepada pencari keadilan, kepentingan masyarakat diperhatikan

selama tidak bertentangan dengan kepentingan pencari

keadilan.

(4). Penafsiran semata-mata dilakukan dalam rangka aktualisasi

penerapan undang-undang, bukan untuk mengubah undang-

undang.

(5). Mengingat hakim hanya memutus menurut hukum, maka

penafsiran harus mengikuti metode penafsiran menurut hukum

dan memperhatikan asas-asas hukum umum, ketertiban

hukum, kemaslahatan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan

secara hukum.

(6). Dalam penafsiran, hakim dapat mempergunakan ajaran hukum

sepanjang ajaran tersebut relevan dengan persoalan hukum

yang akan diselesaikan dan tidak merugikan pencari keadilan.

(7). Penafsiran harus bersifat progresif, yaitu berorientasi ke masa

70
depan (future oriented), tidak menarik mundur keadaan hukum

di masa lalu yang bertentangan dengan keadaan yang hidup dan

perkembangan hukum.

Beberapa catatan yang disampaikan Bagir Manan di atas terkait

dengan penafsiran, pada dasarnya dimaksudkan agar hakim meskipun

punya kewenangan penuh dalam menafsirkan ketentuan, dalam memutus

perkara, agar tidak terjadi putusan yang sesat, karena itu perlu memahami

koridor dalam penafsiran hukum, sehingga penegakkan hukum sungguh-

sungguh mewujudkan keadilan substanstif, bukan sekedar keadilan

prosedural.112

Hukum dan keadilan tidak bisa diperbandingkan apalagi

diperselisihkan karena hukum adalah alat, sarana atau media untuk

mendekati keadilan. Sarana dan tujuan adalah tidak sederajat. Hukum

tidak mungkin melampaui keadilan, karena begitu diandaikan, maka alat

telah mengkoloni tujuannya.113

Keadilan selalu di depan hukum dan memprovokasi hukum

untuk selalu mendekatinya. Kepastian hukum bukan merupakan tujuan

akhir melainkan hanya tujuan antara untuk mendekati keadilan. Keadilan

tidak dapat dipastikan secara obyektif dan setiap orang mempunyai

112
Anwar C., op. cit., hlm 134.
113
Widodo Dwi Putro, Kritik terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Yogyakarta, Genta
Publishing, 2011, hlm 259.

71
pandangan sendiri-sendiri tentang keadilan. Orang tidak bisa menarik

batas yang jelas dan pasti antara hukum dan keadilan, tetapi bisa

menggambarkan bahwa keadilan adalah suatu konsep yang jauh

melampaui hukum sehingga keadilan tidak bisa sepenuhnya dipastikan

dalam rumusan hukum. Keadilan itu tidak terbatas, dalam arti ia tidak

bisa dibatasi dalam difinisi tertentu atau direduksi pada hukum tertentu,

atau diderivasi pada sesuatu yang dianggap pasti.114

Namun demikian bukan berarti pencarian tentang keadilan selalu

menemui jalan buntu, keadilan bisa diketahui melalui upaya pencapaian

kebenaran intersubyektif. Menempatkan hukum pada kebenaran

intersubyektif, menekankan perbincangan diskursus dan konsensus dalam

memutuskan sesuatu. Setiap juris yang berupaya untuk menemukan suatu

jawaban terhadap masalah juridis akan mencari jawaban lewat penafsiran

berdasarkan argumen-argumen yang tepat, konstektual dan paling dapat

diterima para pihak. Betapapun kuatnya kritik-kritik ini terhadap ajaran

kaum legis, ide ini tidaklah dimaksudkan untuk menghilangkan secara

radikal apa yang daisebut jurisprudence. Klaim atas kebenaran dan

sangkalan atas kebenaran dalam ranah ilmu pengetahuan adalah masalah

biasa, karena didasari ilmu pengetahuan sendiri tidak pernah mampu

meraih kebenaran absolut. Hanya dengan begitu tuntutan manusia

114
ibid

72
terhadap ‘’kebenaran’’ dan kebenaran akan selalu terbuka untuk

didiskusikan. Keprihatinan dan kritik-kritik yang dilancarkan tidaklah

dimaksudkan untuk mengingkari pentingnya ilmu hukum, akan tetapi

untuk “memperadabkan” Legisme Positivistik yang telah mereduksi

keadilan sekedar menjadi hukum positif. Kritik ini tetap bergerak dalam

ranah jurisprudence untuk mempertahankan peran kaidah-kaidah hukum,

khususnya dalam proses-proses adjudikasi untuk menyelesaikan perkara

hukum. Kritik terhadap Positivisme Hukum sebenarnya bermaksud

menekankan perlunya “regresif”, yakni ketika ilmu hukum “tersesat” dan

praktik hukum semakin menjauh dari tujuanya yaitu keadilan, maka ia

harus kembali ke pangkalannya.115

Keadilan substantif memang menciptakan ketidakpastian hukum,

tetapi menciptakan ketenangan hakim memberikan keadilan bagi kasus

yang ditangani. Selain itu putusan hakim akan mendorong berbagai

perubahan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang tidak

memberikan keadilan. Jika hakim (termasuk hakim konstitusi) hanya

sekedar menerapkan arti sebagaimana isi undang-undang dalam kasus

yang ditanganinya, maka kekuasaan kehakiman tidak lebih sebuah

“kepanjangan tangan” dari kekuasan eksekutif dan legislatif (birokrasi),

sehingga muncul pertanyaan untuk apa kekuasaan kehakiman. Pertanyaan

115
Ibid. hlm 259-260.

73
berikutnya apa gunanya kekuasaan kehakiman dipisahkan dari kekuasaan

yang lain, padahal tujuan pemisahan tersebut adalah untuk kemandirian

kekuasaan kehakiman itu sendiri. Mengutip pendapat Roberto M. Unger :

“ An ideal of justice is formal when it makes the uniform application


of general rules the keystone of justice of when it establishhes
principle whose validity is supposedly independent of choiches among
conflicting values. It is procedural when it imposes condition on the
ligitimacy of the processes by which social advantages are exchange
and distributed. It is substantive when is governs the actual outcome
of distributive decision or of bargains.”

“Keadilan yang ideal adalah formal ketika aturan-aturan umum


dipraktikan secara seragam sebagai dasar keadilan atau ketidakadilan
menegakkan prinsip-prinsip yang keabsahannya diharapkan bebas
dari pilihan diantara nilai-nilai yang berlawanan. Ia adalah prosedural
ketika menetapkan syarat-syarat bagi legitimisi proses dimana
keuntungan sosial saling dipertukarkan atau terdistribusi. Ia adalah
substantif ketika ia menentukan hasil aktual dari keputusan distributif
atau bagi penawaran-penawaran.”116

Dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim, adil bermakna

menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi

haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama

kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling

mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi

kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang.

Oleh karenanya seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di

bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum

116
Muhammad Taufiq, op. cit., hlm 61-62.

74
yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-

bedakan orang.117

Tidaklah mudah mewujudkan keadilan hukum substansif dalam

penegakkan hukum di Indonesia, berbagai faktor berpengaruh di

dalamnya118 antara lain :

4.5.1. Sulitnya penegakan hukum berawal sejak peraturan perundang-


undangan dibuat.

Menurut Hikmahanto Juwana,119 pembuat peraturan

perundang-undangan tidak memberi perhatian yang cukup apakah

aturan yang dibuat nantinya bisa dijalankan atau tidak. Di tingkat

nasional, misalnya, undang-undang dibuat tanpa memperhatikan

adanya jurang untuk melaksanakan undang-undang antara satu

daerah dengan daerah lain. Konsekuensinya undang-undang

demikian tidak dapat ditegakkan di kebanyakan daerah di

Indonesia bahkan menjadi undang-undang mati. Peraturan

perundang-undangan kerap dibuat secara tidak realistis. Ini terjadi

terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan yang

merupakan pesanan dan dianggap sebagai komoditas. Peraturan

117
Komisi Yudisial Republik Inddonesia, Keputusan Bersama Ketua Makamah Agung
Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 147/KMA/SKB/IV/2009,
02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Jakarta, Komisi Yudisial, hlm
11.
118
Anwar C., op. cit., hlm 134-137.
119
Hikmahanto Juwana, Penegakan Hukum dalam Kajian Law and Development, Pidato
Ilmiah memperingati Dies Natalis ke 51 Universitas Indonesia, 4 Februari 2006.

75
perundang-undangan yang menjadi komoditas, biasanya kurang

memperhatikan isu penegakan hukum, sepanjang trade off telah

didapat.

4.5.2. Sebagian hakim menempatkan diri hanya sebagai corong undang-


undang.

Sebetulnya tugas hakim tidak saja menegakkan hukum

untuk kepastian, tapi juga untuk keadilan dan kemanfaatan. Juga

tidak lepas dari kemampuan menafsirkan ketentuan hukum dan

kesungguhan untuk menemukan kebenaran yang substansial. Hal

itu juga terjadi pada penegak hukum lainnya, seperti jaksa dan

lain-lain.

4.5.3. Karena masyarakat Indonesia terutama yang berada di kota-kota


besar merupakan masyarakat pencari kemenangan, bukan pencari
keadilan.

Sebagai pencari kemenangan, tidak heran bila semua

upaya akan dilakukan, baik yang sah maupun yang tidak. Tipologi

masyarakat pencari kemenangan merupakan problem bagi

penegakan hukum, terutama bila aparat penegak hukum kurang

berintegritas dan rentan disuap. Masyarakat pencari kemenangan

akan memanfaatkan kekuasaan dan uang agar memperoleh

kemenangan atau terhindar dari hukuman.

4.5.4. Dunia advokatpun tidak terbebas dari masalah penegakan hukum.

76
Dalam dunia advokat dapat dibedakan antara advokat

yang tahu hukum dan advokat yang tahu hakim, jaksa, polisi,

pendeknya advokat yang tahu koneksi. Mengingat tipologi

masyarakat di Indonesia sebagai pencari kemenangan maka bila

berhadapan dengan hukum mereka lebih suka dengan advokat

yang tahu koneksi daripada advokat yang tahu hukum. Mafia

peradilan pun terpicu untuk terjadi.

4.5.5. Aparat dan pendukung aparat penegak hukum, sangat rentan dan
terbuka peluang bagi praktik korupsi atau suap.

Uang dapat berpengaruh pada saat polisi melakukan

penyidikan perkara. Dengan uang, pasal sebagai dasar sangkaan

dapat diubah-ubah sesuai jumlah uang yang ditawarkan. Pada

tingkat penuntutan, uang bisa berpengaruh terhadap diteruskan

tidaknya penuntutan. Apabila penuntutan diteruskan, uang dapat

berpengaruh pada seberapa berat tuntutan. Di institusi peradilan,

uang berpengaruh pada putusan yang akan diterbitkan oleh hakim.

Uang dapat melepaskan atau membebaskan seorang terdakwa.

Bila terdakwa dinyatakan bersalah, dengan uang, hukuman bisa

diatur agar serendah dan seringan mungkin. Edwin Partogi, 120


120
Kompas, 16 Februari 2010.

77
Kepala Divisi Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, Komisi

untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, mengatakan,

tumpulnya hukum pada penguasa dan pemodal tidak terlepas dari

praktik pelayanan yang dilakukan kalangan itu kepada penegak

hukum. Publik menyaksikan hukum berlaku kompromistis dan

elastis terhadap pihak yang bermodal dan berkuasa. Saat

berhadapan dengan rakyat miskin, hukum ditegakkan dengan

tajam oleh penegak hukum.

4.5.6. Penegakan hukum telah menjadi komoditas politik.

Pada masa pemerintahan orde baru, penegakan hukum

sebagai komoditas politik sangat merajalela. Penegakan hukum

bisa diatur karena kekuasaan menghendaki. Aparat penegak

hukum didikte oleh kekuasaan, bahkan diintervensi dalam

menegakkan hukum. Penegakan hukum akan dilakukan secara

tegas karena penguasa memerlukan alasan sah untuk melawan

kekuatan pro-demokrasi atau pihak-pihak yang membela

kepentingan rakyat. Tetapi penegakan hukum akan dibuat lemah

oleh kekuasaan bila pemerintah atau elit-elit politik yang menjadi

pesakitan. Dalam konteks kekinian, barangkali dapat dikatakan

bahwa ada kecenderungan dalam penegakkan hukum

dilatarbelakangi oleh tujuan untuk pencitraan oleh yang berkuasa,

78
terutama menjelang pemilu atau tat kala citra penguasa sedang

anjlok, barulah penegakkan hukum agak diseriusi.

5. Teori Sistem Peradilan Pidana

Menurut Romli Atmasasmita121, pengertian Sistem Peradilan Pidana

dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan, yaitu antara lain:

1. Pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur (kepolisian

kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi

pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga

keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari sistem penegakan hukum semata-mata.

2. Pendekatan manajemen atau administratif yang memandang keempat

aparatur penegak hukum (kepolisian kejaksaan, pengadilan, dan

lembaga pemasyarakatan) sebagai suatu organisasi manajemen yang

memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal

maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang

berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah

sistem administrasi.

3. Pendekatan sosial yang memandang keempat aparatur penegak hukum

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)

121
Romli Atmasasmita , Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Bandung, Bina Cipta, 1996, hlm. 16-18.

79
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial

sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas

keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak

hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang

dipergunakan adalah sistem sosial.

Ketiga bentuk pendekatan tersebut sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat

dipisahkan satu sama lain. Bahkan lebih jauh ketiga pendekatan tersebut

saling mempengaruhi dalam menentukan tolak ukur keberhasilan dalam

menanggulangi kejahatan.

Pengertian Sistem Peradilan Pidana Menurut Mardjono

Reksodiputro, adalah sistem yang dibuat untuk menanggulangi masalah-

masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban untuk mengendalikan

terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat

diterima.122 Pelaksanaan peradilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi

kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan mengajukan para pelaku

kejahatan ke pengadilan sehingga menimbulkan efek jera kepada para pelaku

kejahatan dan membuat para calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum

melakukan kejahatan.123

122
Mardjono Reksodiputro, 1997, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta,
Lembaga Kriminologi UI, hm 140.
123
H.R. Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Restu
Agung, hlm 4.

80
Menurut Mardjono Reksodiputro,124 Bahwa komponen-komponen

yang bekerjasama dalam sistem peradilan pidana adalah kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan lembaga kemasyarakatan. Keempat komponen (ada

juga yang menyebut sub sistem) ini diharapkan bekerja bersama membentuk

apa yang dikenal dengan nama suatu integrated criminal justice

administration. Sedangkan Romli Atmasasmita menegaskan bahwa

komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan

mengenai kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktik

penegakan hukum, terdiri atas unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan

Lembaga Pemasyarakatan, serta Pembentuk Undang-Undang.125 Keseragaman

komponen atau sub-sistem, pula diungkapkan oleh Indriyanto Seno Adji126,

yang membagi lembaga pelaksanaan menjadi 4 (empat) institusi, yaitu:

Lembaga Kepolisian; Lembaga Kejaksaan; Lembaga Peradilan; dan Lembaga

Pemasyarakatan. Demikian pula diungkapkan oleh Rusli Muhammad127,

bahwa dalam pandangan Sistem Peradilan Pidana, terdapat beberapa institusi

penegak hukum yang ikut mengambil peran dalam melakukan proses

peradilan pidana diantaranya adalah institusi Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan dan Pemasyarakatan.

124
Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta, Lembaga Kriminologi UI, hm 85.
125
Romli Atmasasmita, op. cit., hlm16.
126
Indriyanto Seno Aji, Arah Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Kantor Pengacara dan
Konsultan Hukum “ Prof. Umar Seno Aji, S.H & Rekan, 2001, hlm 49.
127
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta, UII Press, 2011, hlm 61.

81
Sistem peradilan pidana merupakan salah satu sarana dalam

penanggulangan kejahatan dengan tujuan untuk128 :

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan

tidak lagi mengulanginya.

Sedangkan Rusli Muhammad, membagi Sistem Peradilan Pidana ke

dalam beberapa tujun yaitu sebagai berikut129:

1. Tujuan jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana.

Tujuan jangka pendek lebih diarahkan kepada pelaku tindak pidana

dan mereka yang berpotensi melakukan kejahatan, yaitu diharapkan

pelaku sadar akan perbuatannya sehingga tidak melakukan

kejahatan lagi, demikian pula orang lain tidak melakukan kejahatan

sehingga kejahatan semakin berkurang.

2. Tujuan jangka menengah berupa pencegahan kejahatan.

Tujuan jangka menengah adalah terwujudnya suasana tertib, aman

dan damai di dalam masyarakat. Tentu tujuan menengah ini akan

dapat tercapai jika tujuan jangka pendek tercapai sebab tidak

128
Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, op. cit., hlm 84-85.
129
Rusli Muhammad, op,.cit., hlm 3-4.

82
mungkin akan tercipta rasa aman dan damai di masyarakat jika

kejahatan masih tetap terjadi.

3. Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial

Sementara tujuan jangka panjang sistem peradilan pidana adalah

terciptanya tingkat kesejahteraan yang menyeluruh di kalangan

masyarakat. Tujuan ini adalah konsekuensi dari tujuan jangka

pendek dan menengah, sehingga keberhasilannya juga tergantung

pada tujuan-tujuan sebelumnya.

Pertanggungjawaban pidana sangat berguna untuk menjaga keefektifan

peraturan hukum pidana,130antara lain terlihat dari hal-hal berikut ini :

1. Memberikan sanksi pidana kepada pelaku pelanggaran hukum

pidana dengan menerapkan ketentuan-ketentuan pidana yang

termuat dalam hukum pidana materiil. Pemidanaan yang diberikan

oleh peradilan pidana mempunyai dua segi, yaitu : (i) sebagai

akibat karena melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana,

barang siapa bebuat kejahatan layak dipidana; (ii) sebagai upaya

memasyarakatkan kembali bagi pelaku dengan memberikan

pendidikan dan keterampilan selama dalam lembaga pemasyara

-katan.

130
Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, 2016, hlm 26-27.

83
2. Bertujuan untuk mencegah kejahatan agar tidak menjadi

bertambah atau setidak-tidaknya mengurangi jumlah kejahatan

dalam masyarakat.

Kedua tujuan di atas satu sama lain tidak dapat dipisahkan, karena

pada tiap pemidanaan pada dasarnya terkandung kedua tujuan ini. Adapun hal

yang perlu dicatat, bahwa beda kedua tujuan tersebut dapat dilihat pada

keadaan di mana pencegahan kejahatan tidak selalu harus melalui prosedur

persidangan yang melahirkan keputusan hakim. Pencegahan dapat diperoleh

dari luar, misalnya dengan penyuluhan hukum melalui program jaksa masuk

desa, polisi masuk desa atau melalui media-media masa seperti radio, televisi,

koran masuk desa dan sebagainya. Kesemuanya ini bermaksud menanamkan

rasa kesadaran hukum dan kepatuhan hukum yang tinggi kepada masyarakat

agar mengerti bahwa setiap tindakan yang melanggar hukum bearti merugikan

diri sendiri dan juga masyarakat.

Sistem peradilan pidana, bila diterapkan secara konsisten, konsekuen

dan terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain

dapat mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana juga bermanfaat untuk131 :

1. Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu

pintu yaitu polisi. Dengan data statistik kriminal tersebut dapat

131
H.R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, 2012, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta,
Cetakan Ketiga Edisi Revisi PTIK, hlm 4-5.

84
dimanfaatkan sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminal

secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.

2. Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu

dalam penanggulangan kejahatan.

3. Kedua butir tersebut (1 dan 2) dapat dijadikan bahan masukan bagi

pemerintah dalam kebijakan sosial yang dituangkan dalam rencana

pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka

panjang untuk mewujudkan tujuan nasional.

4. Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu

maupun masyarakat.

Menurut Abdussalam dan Adri Desasfuryanto132, sistem peradilan

pidana tidak bisa dipisahkan dari sistem hukum yang terdiri dari substansi

hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Ketiga hal tersebut menjadi

komponen sistem hukum yang berfungsi menggerakan mesin dalam suatu

pabrik. Satu saja komponen pendukung tidak berfungsi, maka mesin

mengalami kerusakan. Substansi hukum adalah seperangkat norma-norma

hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Struktur hukum

berkaitan dengan penegakan hukum yaitu bagaimana substansi hukum harus

ditegakan serta dipertahankan, terkait juga dengan sistem peradilan pidana

yang diwujudkan melalui para aparat penegak hukum yaitu Polisi, Jaksa,

132
H.R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, ibid., hlm 7-8.

85
Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat dan merupakan bagian

komponen struktur hukum. Betapapun sempurnanya substansi hukum tanpa

penegakan hukum, maka sistem hukum tidak berjalan. Substansi hukum harus

ditegakan oleh aparatur penegak hukum yang bersih, berani serta tegas.

Pemberdayaan aparatur hukum tidak dapat diwujudkan manakala aparat

penegak hukum tidak bersih atau korup. Aparat penegak hukum tidak bersih

atau korup dapat mengakibatkan krisis kepercayaan para warga terhadap

hukum merupakan cerminan budaya hukum masyarakat. Budaya hukum yaitu

bagaimana kesadaran masyarakat pada hukum, apa harapan-harapan

masyarakat pada hukum pada masyarakat merupakan cermin dukungan

masyarakat terhadap hukum. Betapapun sempurnanya substansi hukum yang

bersih, berani serta tegas, tapi masih tidak berfungsi lagi bila tidak didukung

oleh budaya hukum masyarakat.

B. Landasan Konseptual

1. Hubungan Hukum Dalam Proses Pelayanan Medis

Pada dasarnya praktik dokter merupakan pemberian bantuan secara

individual oleh dokter kepada pasien berupa pelayanan medis. Apabila

seseorang datang kepada dokter untuk memanfaatkan pelayanan medis yang

tersedia maka terjadi hubungan hukum antara dokter dan pasien yang disebut

transaksi terapeutik. Hubungan hukum yang tidak menjanjikan sesuatu

86
kesembuhan ini disebut inspanningsverbintenis, yang berbeda dengan

hubungan hukum yang biasa berlaku dalam perjanjian pada umumnya yang

menjanjikan suatu hasil yang pasti (risikoverbentenis / resultaatsverbente

-nis).133

Hubungan hukum yang terjadi antara Pasien dan tenaga kesehatan

sering disebut sebagai hubungan hukum kontraktual yang bersifat khusus

yang dinamakan sebagai kontrak terapetikal (inspanning verbintenis), yaitu

suatu perikatan yang prestasinya didasarkan pada proses atau upayanya,

bukan pada hasil akhir (resultaat verbintenis)134. Dalam kontrak terapetikal

terjadi kesepakatan antara dokter dengan pasien untuk melakukan pelayanan

medik dimana pasien setuju menyerahkan urusan perawatan kesehatannya

yang bertujuan agar kesehatannya lebih baik lagi ataupun sembuh kepada

dokter, dan dokter setuju untuk melaksanakan kehendak pasien tersebut.

Dalam kontrak terapetikal tersebut titik tekannya adalah kesungguhan dokter

untuk melaksanakan proses perawatan medis kepada pasiennya dengan

mempergunakan standar ilmu tertinggi yang dimiliki serta diakui dalam dunia

profesi medis (kedokteran). Tidak ada keharusan bagi dokter bahwa hasil dari

tindakan medisnya selalu seperti yang diharapkan oleh pasiennya, apalagi

secara etis justru terdapat larangan bagi dokter untuk menjanjikan


133
Leenen, Gezondheidsrecht , dalam Veronica, 2004, Aspek Hukum Dalam Pelayanan
Kesehatan, Suatu Kajian, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23 No. 2, Jakarta, hlm 20.
134
M.Arif Setiawan, Sebagai Ahli dalam Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana,
disampaikan pada saat uji materi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Oleh Makamah Konstitusi
di Jakarta tanggal 4 September 2014.

87
kesembuhan dan kehidupan bagi pasiennya karena masalah kesehatan dan

kehidupan sepenuhnya menjadi otoritas Tuhan, sedang manusia sekedar untuk

berihtiar atau berusaha135.

Hubungan hukum dalam pelayanan medik antara dokter dan pasien

sebagai hubungan profesional, sehingga kewajiban yang harus dipenuhi oleh

dokter terhadap pasiennya adakalanya dilihat dari perikatan dalam transaksi

terapeutik yang disebut inspaningsverbintenis atau perikatan usaha, yaitu

suatu perikatan yang harus dilakukan dengan hati-hati dan usaha keras

dalam memberikan pelayanan medik. Perikatan hukum adalah suatu ikatan

antara dua subyek hukum atau lebih untuk melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu atau memberi sesuatu.136 Hubungan hukum seperti ini

dilandasi pada kepercayaan (confidential) antara kedua belah pihak, dimana

kesembuhan merupakan tujuan akhir dari kontrak terapeutik atau perjanjian

penyembuhan tetapi bukan obyek kewajiban dokter yang dapat dituntut oleh

pasien. Sehingga dalam hal ini, kewajiban dokter dilihat sebagai sesuatu yang

sebagian besar didasarkan pada hubungan profesional medis, yaitu hubungan

yang dapat timbul dalam beberapa konteks dan yang dapat menimbulkan hak

serta kewajiban terlepas dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak.137

135
Ibid.
136
Oemar Seno Adji, 1991, Profesi Dokter, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm 109. Lihat
Marjannne Termorhuizen, 1999, Kamus Hukum Belanda-Indonesia , Penerbit Jambatan, Jakarta , hlm
181.
137
King Jr., 1977 , The Law of Medical Malpractice in a Nutshell , West Publishing , CO St
Paul Minn, hlm 8-9.

88
Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum dan

mempunyai akibat hukum.138 Hubungan hukum dokter dan pasien dalam suatu

transaksi terapeutik menurut Median Almatsier139, merupakan hubungan yang

memiliki sifat kekhususan, sebagaimana dikemukakannya bahwa :

“Kekhususan hubungan dokter dan pasien yang membedakannya dengan

hubungan pelaku usaha dan konsumen dalam bidang perdagangan / ekonomi

adalah adanya etika profesi dan sifat altruistic serta prinsip yang berdasarkan

nilai kebajikan/ keutamaannya memberi empati, perhatian, kemanusiaan,

pertolongan, itikad baik, sikap saling mempercayai dan sebagainya.

Hubungan dokter dan pasien seperti itu disebut juga hubungan berdasarkan

“virtue” atau “virtue based”, tidak sama dengan hubungan pelaku usaha dan

konsumen yang bersifat kontraktual. Pada hubungan yang “virtue based“,

kedudukan dokter memang lebih mengetahui secara profesional daripada

pasiennya, sedangkan pada hubungan kontraktual konsumen yang memilih

dan menentukan sendiri apa yang ia inginkan, sehingga dapat disimpulkan

bahwa pasien tidak sama dengan konsumen.

Dalam sebuah negara hukum, peranan hukum sangat besar dalam

mengatur setiap hubungan hukum yang timbul baik antar individu maupun

138
Simorangkir et. al., Kamus Hukum, cetakan kedelapan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004 hlm
65.
139
Merdian Almatsier, 2000, Antisipasi Kesiapan Tenaga Kesehatan dan Profesi Kedokteran
Dalam Rangka Pemberlakuan UU Nomor 8 / 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Kontroversi
UUPK Dalam Pelayanan Medik), Makalah dalam Simposium : Problema dan Solusi Praktek Dokter,
Padang, hlm 2.

89
antara individu dengan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan,

termasuk dalam bidang kesehatan. Dengan semakin meningkatnya peranan

hukum dalam pelayanan kesehatan antara lain disebabkan semakin

meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan,

meningkatnya perhatian terhadap hak yang dimiliki manusia untuk

memperoleh pelayanan kesehatan, pertumbuhan yang sangat cepat di bidang

ilmu kedokteran dihubungkan dengan kemungkinan penanganan secara lebih

luas dan mendalam terhadap manusia.

Pemahaman tentang timbulnya hubungan hukum dalam pelayanan

kesehatan perorangan atau individual yang disebut pelayanan medis, dasar

hukum hubungan pelayanan medis, kedudukan hukum para pihak dalam

pelayanan medis, dan risiko dalam pelayanan medis. Hubungan hukum dalam

pelayanan medis, menurut M. Nasser, komunikasi dan saling memberi

informasi yang lengkap baik dari pasien dan atau keluarga maupun dokter

atau dokter gigi merupakan bagian yang sangat esensial. 140 Pelayanan medis

merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

derajat kesehatan.

Secara umum pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan secara

sendiri dengan tujuan utamanya adalah untuk merngobati (kuratif) penyakit

dan memulihkan (rehabilitatif) kesehatan serta sasaran utamanya adalah

140
M. Nasser, op.,cit, hlm 1.

90
perseorangan, sedangkan pelayanan kesehatan masyarakat umumnya

diselenggarakan secara bersama-sama dalam sebuah organisasi bahkan harus

mengikutsertakan potensi masyarakat dan mencegah penyakit serta sasaran

utamanya adalah masyarakat secara keseluruhan.141 Istilah lain dari pelayanan

kedokteran adalah pelayanan medis. Oleh karena itu, pelayanan medis

mencakup semua upaya dan kegiatan berupa pencegahan (preventif),

pengobatan (kuratif), peningkatan (promotif), dan pemulihan (rehabilitatif)

kesehatan yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara para ahli

di bidang kedokteran dengan individu yang membutuhkannya.


Menurut Lumenta142, pelayanan medis adalah kegiatan mikrososial

yang berlaku antara perorangan. Pelayanan medis mempunyai tujuan

memenuhi kebutuhan individu atau masyarakat untuk mengatasi,

menetralisasi atau menormalisasi semua masalah atau penyimpangan terhadap

keadaan kesehatan yang normatif. Menurut Somers143 (dalam Azwar, Majalah

Kesehatan Masyarakat), ada delapan syarat yang mesti dipenuhi demi

terselenggaranya pelayanan medis yang baik, yaitu : tersedia (available),

wajar (appropriate), berkesinambungan (continue), dapat diterima

(acceptable), dapat dicapai (accessible), dapat dijangkau (affordable), efisien

(efficient), dan bermutu (quality).

141
Azwar. A., Menjaga Mutu Pelayanan Rawat Jalan, Majalah Kesehatan Masyarakat, Th
XX no. 4, 1992, hlm 196.
142
Lumenta, B, Pelayanan Medis, Citra, Konflik dan Harapan, Kanisius, Yogyakarta, 1989,
hlm 15.
143
Azwar, op.cit, hlm 1.

91
Dalam setiap bidang kehidupan masyarakat selalu diatur oleh hukum

termasuk hubungan hukum144 antara dokter dan pasien dalam pelayanan

medis, dimana dalam hubungan hukum ini membentuk hak dan kewajiban

kedua belah pihak sebagai berikut :

1.1. Hak dan Kewajiban Pasien

Hak, dalam Blacks Law Dictionary 7” ed, berarti sebagai right

yang mengandung beberapa arti, antara lain hak alami (natural right), hak

politik (political right) serta hak pribadi (civil right). Hak untuk

menentukan nasib sendiri lebih dekat artinya dengan hak pribadi, yaitu hak

atas keamanan pribadi yang berkaitan erat dengan hidup, bagian tubuh,

kesehatan, kehormatan serta hak atas kebebasan pribadi.145


Hak-hak dan kewajiban pasien dalam pelayanan kesehatan diatur

dalam ketentuan Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran sebagai berikut :


Pasal 52 Hak-Hak Pasien :
1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)
2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medik
4. Menolak tindakan medik
5. Mendapatkan isi rekam medik

Pasal 53 Kewajiban Pasien :

144
J.C.T. Simorangkir et.al., Kamus Hukum, Cetakan Kedelapan (Jakarta : Sinar Grafika,
2004), hlm 65. Hubungan hukum (rechtsbetrekking) adalah hubungan hukum antara dua subyek
hukum atau lebih, atau antara subyek hukum dan obyek hukum yang berlaku di bawah kekuasaan
hukum , atau hubungan diatur oleh hukum dan mempunyai akibat hukum.
145
Hermin Hadiati Koeswadji, 1984, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press,
Surabaya, hlm 47.

92
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan
4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya

Selain diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, pasien

mempunyai hak-hak dalam pelayanan kesehatan antara lain yang diatur

dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) sebagai berikut :


1. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati
secara wajar.
Hak ini dikaitkan dengan persetujuan tindakan medis, penolakan atau
persetujuan terhadap tindakan medis tertentu merupakan pelaksanaan
dari ketiga hak tersebut.

2. Hak memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai


dengan standar profesi kedokteran.
Dalam hal dokter tidak memberikan pelayanan yang sesuai dengan
standar profesi dan kemudian mengakibatkan cacat atau meninggalnya
pasien, maka dokter ini telah melakukan pelanggaran terhadap hak
pasien untuk memperoleh pelayanan yang manusiawi, sehingga pasien
berhak menuntut kepada dokter yang bersangkutan.

3. Hak memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter


yang mengobati.
Hak untuk memperoleh penjelasan ini merupakan hak informasi dalam
hubungan transaksi terapeutik. Inti dari hak atas informasi ini adalah
hak pasien untuk memperoleh informasi yang sejelas-jelasnya tentang
hal-hal yang berhubungan dengan penyakitnya. Hak atas informasi ini
juga berfungsi sebagai hak atau hubungan keperdataan yang dapat
digunakan pasien/keluarganya untuk melakukan gugatan bila terjadi
hal-hal yang merugikan pasien

4. Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan,


bahkan dapat menarik diri dari transaksi terapeutik.
Adalah hak asasi manusia untuk menerima atau menolak sesuatu yang
ditawarkan, apalagi bila hal ini dikaitkan dengan tindakan medis yang
langsung berkaitan dengan dirinya. Pasien punya hak dasar untuk
menentukan nasib sendiri dan tindakan medis apapun yang akan di-

93
lakukan terhadapnya. Dokter tidak bisa memaksakan kehendaknya
apabila pasien menolak walaupun dokter mengetahui bahwa peno-
lakan pasien itu akan membahayakan jiwa pasien itu sendiri. Dokter
dapat dituduh melakukan malpraktik apabila tetap memaksakan ke-
hendaknya meskipun berniat baik untuk menyelamatkan nyawa
pasien.

5. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang riset dokter.


Dokter harus menjelaskan tentang besarnya manfaat serta bahaya dari
segi medik, psikologik, sosial dan ekonomi dengan bahasa atau cara
yang mudah dimengerti pasien.

6. Hak untuk dirujuk ke dokter spesialis


Hak untuk dirujuk ke dokter spesialis bila perlu dan dikembalikan ke
dokter yang merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan
untuk memperoleh perawatan dan tindak lanjut.

7. Hak atas kerahasiaan atau rekam medik


Dokter wajib merahasiakan keterangan yang diperoleh dari pasien dan
juga tentang penyakitnya. Hak pasien dilindungi oleh hukum yaitu
pada Pasal 322 KUHP, sedang rekam medik/ medical record diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 269/Men.Kes/Per/
III/2008

1.2. Hak dan Kewajiban Dokter

Hak dan kewajiban dokter secara esensial diatur dalam Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Selain itu

masih ada hak dan kewajiban umum yang diatur dalam Kode Etik

Kedokteran (Kodeki), dimana tindakan yang dilakukan oleh dokter secara

material tidak bersifat melawan hukum apabila memenuhi syarat-syarat

secara kumulatif yaitu : (1) tindakan itu mempunyai indikasi medis deng-

an tujuan perawatan yang sifatnya kongkrit, (2) dilakukan sesuai

94
dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam dunia kedokteran; serta (3)

diijinkan oleh pasien.146

Dalam ketentuan Pasal 44 UU Nomor 29 Tahun 2004 disebutkan

sebagai berikut :

(1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik


kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau
kedokteran gigi ;
(2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan
menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan
(3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.147

Hak-hak dokter dalam menjalankan tugas profesinya diatur da-

lam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 disebutkan sebagai berikut :

Pasal 50 : Hak-Hak Dokter

1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas


sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
Dalam hal ini dokter yang melakukan praktik sesuai dengan
standar tidak dapat disalahkan dan bertanggungjawab secara
hukum atas kerugian atau cidera yang diderita pasien karena
kerugian atau cidera tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan
atau kelalain dokter. Cidera atau kerugian yang diderita pasien
dapat saja terjadi karena perjalanan penyakitnya sendiri atau
karena risiko medis yang dapat diterima (acceptable) dan telah
disetujui pasien dalam persetujuan medik (informed consent).

2. Melakukan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan


standar prosedur operasional.

146
Ari Yunanto dan Helmi, 2010, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Tinjauan dan Perspektif
Medikolegal, Penerbit Andi, Jogyakarta, hlm 23.
147
Kep.Men.Kes.RI Nomor 595/MEN.KES/SK/VII/1993 tentang Standar Pelayanan di
Setiap Sarana Kesehatan.

95
Dokter diberi hak untuk menolak permintaan pasien atau
keluarganya yang dianggap bertetangan dengan standar profesi
atau standar prosedur operasional.

3. Memperoleh informasi yang jujur dan lengkap dari pasien atau


keluarganya.
Dokter tidak hanya memerlukan informasi kesehatan dari pasien,
melainkan juga informasi pendukung yang berkaitan dengan
identitas pasien dan faktor-faktor kontribusi yang berpengaruh
terhadap penyakitnya dan penyembuhan penyakit.

4. Menerima imbalan jasa.


Hak atas imbalan jasa adalah hak yang timbul sebagai akibat
hubungan dokter dan pasien, yang pemenuhannya merupakan
kewajiban pasien. Meskipun demikian dalam keadaan darurat atau
dalam kondisi tertentu, pasien tetap dapat dilayani dokter tanpa
mempertimbangkan aspek finansial.

Dari hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 50 diatas, nampak

bahwa dokter berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan

medis yang dilakukannya, sepanjang apa yang dilakukannya itu sesuai

dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan

medis pasien. Permasalahannya bagaimana dapat diketahui bahwa

tindakan medis dokter telah sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional tersebut apabila terjadi sengketa medis. Untuk

mengatasi hal tersebut diperlukan peran saksi ahli dari profesi kedokteran,

karena dari kesaksiannya itu dapat ditentukan apakah suatu tindakan

medis telah memenuhi / tidak memenuhi standar profesi medis dan

standar prosedur operasional.

96
Pasal 51 : Kewajiban Dokter

1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan


standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
2. Merujuk ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik apabila tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan.
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.

Selain diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004, kewajiban

dokter terhadap pasien diatur secara rinci dalam Kode Etik Kedokteran

Indonesia (Kodeki) , antara lain sebagai berikut148 :

a. Kewajiban Umum
Pasal 1 :
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dokter.

Pasal 2 :
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi tertinggi.
Yang dimaksud ukuran tertinggi dalam melakukan profesi kedokteran
mutakhir, yaitu yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran,
etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/
jenjang pelayanan kesehatan, serta kondisi dan situasi setempat.

Pasal 3 :

148
Surat Keptusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Nomor 221/PB/A.4/2002,
tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaannya, dalam
Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik di Indonesia, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2008 hlm 211-221.

97
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.

Perbuatan yang dipandang bertentangan dengan etik :


1. Secara mandiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan
dan ketrampilan kedokteran dalam segala bentuk
2. Menerima imbalan selain dari pada yang layak, sesuai dengan
jasanya, kecuali dengan keikhlasan dan pengetahuan keluarga
dan atau pasien
3. Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan
farmasi/ obat, perusahaan alat kesehatan/kedokteran atau badan
lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter
4. Melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk
mempromosikan obat, alat atau bahan lain guna kepentingan
dan keuntungan dokter.

Pasal 4 :
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.
Hal-hal yang dianggap bertentangan dengan etik misalnya mengguna
-kan gelar yang tidak menjadi haknya, mengiklankan kemampuan atau
kelebihan-kelebihan yang dimilikinya baik lisan maupun dalam tulisan.

Pasal 5 :
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan
pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.

Pasal 6 :
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.

Pasal 7 :
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya.

Pasal 7a :

98
Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan
atas martabat manusia.

Pasal 7b :
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia
ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau
yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.

Pasal 7c :
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya
dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan
pasien.

Pasal 7 d :
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani.

Pasal 8 :
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan
kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif),
baik fisik maupun psikososial serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Pasal 9 :
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang
kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling
menghormati.

b. Kewajiban dokter terhadap pasien

Pasal10 :
Setiap dokter bersikap tulus ikhlas serta mempergunakan segala ilmu
dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien.
Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien
kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

99
Dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut adalah
dokter yang mempunyai kompetensi keahlian di bidang tertentu
menurut dokter yang waktu itu sedang menangani pasien.

Pasal 11 :
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

Pasal 12 :
Setiap dokter wajib merahasiakan segala seuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien meninggal dunia.
Kewajiban ini sering disebut sebagai kewajiban memegang teguh
rahasia jabatan yang mempunyai aspek hukum dan tidak bersifat
mutlak.

Pasal 13 :
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan
mampu melakukannya.

c. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat

Pasal 14 :
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.

Pasal 15 :
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Secara etik seharusnya bila dokter didatangi oleh seorang pasien yang
diketahui telah ditangani oleh dokter lain, maka ia segera memberitahu
dokter yang telah terlebih dahulu melayani pasien tersebut.
Hubungan dokter dengan pasien terputus bila pasien memutuskan
hubungan tersebut. Dalam hal ini dokter yang bersangkutan sejogyanya
tetap memperhatikan kesehatan pasien yang bersangkutan sampai
dengan saat pasien telah ditangani oleh dokter lain.

d. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri

100
Pasal 16 :
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja
dengan baik.

Pasal 17 :
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.

Dari kode etik tersebut diatas, dapat dirumuskan secara pokok

kewajiban-kewajiban dokter sebagai berikut149 :

1. Bahwa dokter wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang

ia miliki secara adekuat. Dokter dalam melaksanakan kewajiban

tersebut tidak menjanjikan menghasilkan suatu resultaat atau hasil

tertentu, karena apa yang dilakukannya itu merupakan upaya atau

usaha sejauh mungkin sesuai dengan ilmu yang dimilikinya, karena

bukan merupakan resultaatverbentenis. Ini berarti bahwa dokter

wajib berusaha dengan hati-hati dan kesungguhan (met zorg en

inspannining) menjalankan tugasnya.

2. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti pribadi dan

bukan dilakukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah

diperjanjikan, kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya

seseorang yang mewakilinya.

3. Dokter wajib memberikan informasi kepada pasiennya mengenai

segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit atau


149
Hermin Hadiati Koeswadji, 1992, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Citra
Aditya, Bandung , hlm 148-149 .

101
penderitaannya. Kewajiban dokter ini dalam perjanjian perawatan

(behandelingscontract) menyangkut dua hal yang ada kaitannya

dengan kewajiban pasiennya.

2. Sengketa medis

Siska Elvandari150 mengatakan bahwa sengketa medis yang terjadi

antara dokter dan pasien merupakan sengketa yang timbul akibat adanya

hubungan dalam rangka melakukan upaya penyembuhan. Sengketa dapat

terjadi akibat ketidakpuasan pasien yang umumnya disebabkan karena dugaan

kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan kewajiban profesional, hal

tersebut terjadi karena kurangnya informasi yang seharusnya menjadi hak dan

kewajiban keduanya. Batasan yang lain, sengketa medis adalah sengketa yang

terjadi karena kepentingan pasien dirugikan atas tindakan dokter atau dokter

gigi yang menjalankan praktik kedokteran.151

M. Nasser152 mengatakan banyak ahli berpandangan bahwa hubung-

an pelayanan kesehatan adalah hubungan atas dasar kepecayaan. Pasien

percaya terhadap kemampuan dokter untuk berupaya semaksimal mungkin

menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Pasien juga percaya bahwa dokter

akan berupaya semaksimal mungkin selain menyembuhkan penyakitnya juga

akan mengurangi penderitaannya. Besarnya kepercayaan yang terbangun


150
Siska Elvandari, 2015, Hukum Penyelesaian Sengketa Medis,Thafa Media, Yogyakarta,
hlm 117.
151
http://prasko17.blogspot.com/2013/04/pengertian-sengketa-umum-dan-sengketa.html,
diakses tgl 1Agustus 20018, jam 11. 45 WIB.
152
M. Nasser, op., cit, hlm 1-2.

102
dalam pandangan publik inilah yang seringkali berbuah kekecewaan ketika

harapan tidak terwujud, dan inilah jalan melahirkan konfik atau sengketa.

Biasanya pemicunya adalah ketika kekecewaan tersebut tidak disertai

komunikasi yang efektif.

Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa

jika pihak atau para pihak yang merasa dirugikan tersebut telah menyatakan

rasa tidak puasnya atau keprihatinannya secara langsung kepada pihak yang

dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain, berarti sengketa

merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan berubah menjadi

sengketa jika konflik tersebut tidak dapat diselesaikan oleh para pihak.

Konflik dapat diartikan "pertentangan" di antara para pihak untuk

menyelesaikan masalah, yang jika tidak diselesaikan dengan baik dapat

mengganggu hubungan di antara mereka. Sepanjang para pihak tersebut dapat

menyelesaikan masalahnya dengan baik, maka sengketa tidak akan terjadi.

Namun, jika para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi

pemecahan masalahnya, maka sengketalah yang timbul.153

Penyebab terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien dan atau

keluarganya adalah jika timbul ketidakpuasan pasien dan atau keluarga

terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan atau melaksanakan

153
Handy Sobandi, Penyelesaian Sengketa Bisnis (tidak dipublikasikan) dalam bahan ajar
Mata Kuliah “Aspek Hukum Dalam Bisnis”, Program Studi Magister Manajeman, Program
Pascasarjana Universitas Pahariangan, Bandung, Semester Ganjil Tahun Akademik 2005/2006, hlm, 1.

103
tindakan medis. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan adanya dugaan

kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi kedokteran yang

menyebabkan kerugian di pihak pasien, dimana hal tersebut terjadi apabila

ada anggapan bahwa transaksi terapeutik tidak dipenuhi atau dilanggar

dokter. Dalam praktek kedokteran dapat terjadi hasilnya justru tidak seperti

yang diharapkan pasien, mungkin pasien tidak semakin membaik

kesehatannya, atau justru lebih buruk atau bahkan berakhir dengan kecacatan

ataupun kematian. Dalam kondisi seperti itu sangat mudah terjadi tuduhan

bahwa dokter atau dokter gigi telah merugikan pasien akibat melakukan

kesalahan praktek profesi kedokteran yang sering disebut sebagai malpraktik,

padahal terjadinya kondisi atau hasil yang berbeda dengan harapan pasien

tidak selalu merupakan malpraktik, karena bisa jadi itu sekedar resiko

medis154.

M. Nasser, berpendapat bahwa sengketa yang terjadi antara dokter

dengan pasien biasanya disebabkan oleh kurangnya informasi dari dokter,

padahal informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan

tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan hak pasien. Biasanya

yang dipersengketakan adalah hasil atau hasil akhir pelayanan kesehatan

dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan prosesnya. Padahal dalam

154
M.Arif Setiawan, Sebagai Ahli dalam Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana,
disampaikan pada saat uji materi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Oleh Makamah Konstitusi
di Jakarta tanggal 4 September 2014.

104
hukum kesehatan diakui bahwa tenaga kesehatan atau pelaksana pelayanan

kesehatan saat memberikan pelayanan hanya bertanggungjawab atas proses

atau upaya yang dilakukan (inspaningverbintennis) dan tidak menjamin atau

menggaransi hasil akhir (resultalteverbintennis).155 Beberapa ahli hukum

berpendapat bahwa ada perbedaan yang sangat mendasar antara tindak pidana

biasa dengan tindak pidana medis karena pada tindak pidana biasa menjadi

titik perhatian utamanya adalah akibat dari tindakan tersebut, sedangkan

dalam tindak pidana medis yang menjadi titik pehatian utama adalah justru

kausa serta proses dan bukan akibat.156 Menurut Wila Chandrawila Supriadi

dalam bukunya Hukum Kedokteran,157 bentuk perikatan antara dokter dan

pasien bukan perikatan hasil, tetapi perikatan ikhtiar maka prestasi yang

diperjanjikan dalam perjanjian dokter pasien adalah juga ikhtiar (upaya

semaksimal mungkin). Dokter tidak diminta untuk menyembuhkan pasien,

sehingga kesembuhan pasien bukan prestasi yang diperjanjikan artinya pasien

dan atau keluarga tidak dapat menggugat dokter, kalau pasien tidak sembuh

dari penyakitnya. Ilmu kedokteran dan upaya medis merupakan upaya yang

penuh uncertainty (ketidak tentuan atau ketidak pastian) yang hasilnya tidak

dapat diperhitungkan secara matematis karena sangat dipengaruhi oleh faktor-

155
M. Nasser, op., cit, hlm 3.
156
Chrisdiono M.Achadiat,2007, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan
jaman, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hlm 23.
157
Wila Chandrawila Supriadi, op., cit., hlm 31.

105
faktor lain diluar kontrol dokter untuk mengendalikan.158 Faktor-faktor

tersebut antara lain : (1) Daya tahan tubuh pasien; (2) Tingkat virulensi

penyakit pasien; (3) Stadium penyakit; (4) Kualitas obat; (5) Respon

individual; (6) Faktor genetik; (7) Kepatuhan pasien dalam mengikuti

prosedur dan nasihat dokter; dan lain-lain. Munir Fuady,159 dapat disebutkan

bahwa prinsip yuridis tentang kewajiban dokter dalam menghadapi pasiennya

adalah dokter bukan Garantor. Jadi, tidak setiap kegagalan pengobatan dapat

dimintakan tanggunggjawab dokter. Chrisdiono M. Achadiat160 memberikan

contoh ekstrem disebutkan bahwa meskipun akibatnya fatal, tetapi sejauh

tidak terdapat unsur kelalaian atau kesalahan maka dokter itu tidak dapat

dipersalahkan.

Apabila ada keluhan-keluhan pasien yang berhubungan dengan

tindakan yang dilakukan dokter, seharusnya hal itu dibicarakan terlebih

dahulu dengan dokter tersebut, sebelum beralih menjadi pengaduan kepada

pihak lain seperti organisasi profesi atau tindakan yang bersifat yuridis.

Dokter, seperti halnya setiap warga masyarakat lainnya mempunyai hak untuk

membela diri terhadap sangkaan atau gugatan pasien.161

158
Nusye KI Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktik Kedokteran, 2009, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, hlm 47-48.
159
Munir Fuady, 2005, Sumpah Hipocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter), Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm 9.
160
Chrisdiono M.Achadiat, loc, cit,
161
Danny Wiradharma, 1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta,
hlm 85.

106
Menurut Safitri Hariyani, ciri-ciri dari sengketa medis yang terjadi

antara dokter dengan pasien, antara lain: (1) Sengketa terjadi dalam hubungan

antara dokter dengan pasien; (2) Obyek sengketa adalah upaya penyembuhan

yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien; (3) Pihak yang merasa dirugikan

dalam sengketa medis adalah pasien, baik kerugian berupa luka atau cacat

maupun kematian; (4) Kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh adanya

dugaan kelalaian atau kesalahan medik dari dokter, yang sering disebut

malpraktik medis.162

Adapun bentuk-bentuk sengketa medis dalam pelayanan kesehatan

antara lain :

2.1. Malpraktik Medis


Istilah malpraktik berasal dari kata “mala “ berarti buruk dan

praktik berarti pelaksanaan profesi. Secara harfiah istilah malpraktik atau

malpractice atau malapraxis artinya praktik yang buruk ( bad practice)

atau praktik yang jelek.163 Malpractice yang pada hakikatnya adalah

kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya

kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter.164 Malpraktik

medis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah praktik kedokteran

yang dilakukan salah atau tidak tepat dan menyalahi undang-undang atau

162
Safitri Haryani, Sengketa Medik, loc. Cit.
163
Hermin Hadiati Koeswadji,1998, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum
dan Dokter) Citra Adytia Bakti, Bandung, hlm 124.
164
Veronika Komalawati, 1989, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter , Penerbit Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta , hlm. 87

107
kode etik.165 Menurut Black’s Law Dictionary , dikutip Soerjono

Soekanto166 :
“ Any professional misconduct or unreasonable lack of skill “ atau “ failure
of one rendering professional services to exercise that degree of skill and
learning commonly applied under all the circumstances in the community by
the average prudent reputable member of the profession with the result of
injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to
rely upon them “. Its is any profesional misconduct, unreasonable lack of
skill or fidelity in profesional or judiciary duties , evil practice , or illegal or
immoral conduct”.

Terjemahan bebasnya adalah setiap sikap-tindak yang salah,

kekurangan ketrampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini

umumnya dipergunakan terhadap sikap-tindak para dokter, pengacara dan

akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan yang profesional dan

melakukan pada ukuran tingkat ketrampilan dan kepandaian yang wajar

didalam masyarakatnya, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau

kerugian pada penerimaan pelayanan tersebut yang cenderung menaruh

kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk didalamnya setiap sikap-

tindak profesional yang salah, kekurang ketrampilan yang tidak wajar

atau kekurang hati-hatian atau sikap-tindak illegal atau tindak tidak

bermoral.

165
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , 1990 , Kamus Besar Bahasa Indonesia ,
Depdikbud, Jakarta , Cetakan ke 3 , hlm 551.
166
Henry Campbell Black, 1968 Black’s Law Dictionary, St Paul, Minn : West Publishing Co
(dalam Soerjono Soekanto, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan , Remadja Karya, Bandung, hlm 29)

108
Guwandi167, menyebutkan bahwa malpraktik adalah istilah yang

mempunyai konotasi buruk, bersifat stigmatis, menyalahkan. Praktik

buruk dari seseorang yang memegang suatu profesi dalam arti umum

seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan

sebagainya. Apabila ditujukan kepada profesi medis, maka akan disebut

malpraktik medik.

Menurut Sofyan Dahlan168, tindakan dari tenaga kesehatan yang

salah dalam rangka pelaksanaan profesi di bidang kedokteran disebut

malpraktik medis (medical malpractice). Oleh karena di setiap profesi

berlaku norma etika dan hukum maka kesalahan praktik juga dapat diukur

/ dilihat dari sudut pandang norma etika disebut ethical malpractice dan

sudut pandang hukum disebut legal malpractice. Akan tetapi yang jelas

tidak setiap ethical malpractice merupakan legal malpractice, namun

semua bentuk legal malpractice sudah pasti merupakan ethical

malpractice. Untuk legal malpractice dibagi menjadi 3 (tiga) kategori

sesuai dengan bidang yang dilanggar, yaitu criminal malpractice

(malpraktik pidana), civil malpractice (malpraktik perdata) dan

administrative malpractice (malpraktik administrasi).

167
J. Guwandi, 2004, Hukum Medik ( Medical Law), Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta , hlm. 20
168
Sofyan Dahlan, 2005, Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, Balai
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang , hlm. 59

109
Malpraktik medis dikonotasikan suatu kumpulan dari berbagai

perilaku menyimpang yang dapat terjadi karena suatu tindakan yang

disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan

kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang mahiran / ketidak

kompetenan yang tidak beralasan (profesional misconduct).169 Profesional

misconduct diantaranya merupakan kesengajaan yang merugikan pasien

misalnya penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia, illegal

abortion, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi, keterangan

palsu, menggunakan iptek kedokteran yang belum teruji, berpraktik

tanpa Surat Izin Praktik (SIP), praktik diluar kompetensinya. Vorstman

dan Hector Treub dan rumusan Komisi Annsprakelijkheid (KNMG/IDI-

nya Belanda)170, disebutkan : seorang dokter melakukan kesalahan profesi

jika ia tidak melakukan pemeriksaan, tidak mendiagnosis, tidak

melakukan sesuatu, atau tidak membiarkan sesuatu yang oleh dokter yang

baik pada umumnya dan dengan situasi kondisi yang sama, akan

melakukan pemeriksaan dan diagnosis serta melakukan atau membiarkan

sesuatu tersebut.
Malpraktik medis dalam World Medical Assosiation Statement

on Medical Malpractice, yang diadaptasi dari 44 th World Medical

Assembly Marbela – Spain , September 1992, yang menyebutkan :

169
J. Guwandi, 2004, Hukum Medik, op.cit., hal 22.
170
Safitri Hariyani, 2005, Sengketa Medik, op. cit., hal. 63

110
Medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the
standard care for treatment of the patient’s condition, our lack of skill,
or negligence in providing care to the patient, wich is the direct cause
of an injury to the patient.171

Terjemahan bebasnya malpraktik medis adalah kegagalan dokter untuk

memenuhi standar prosedur dalam penanganan pasien, adanya

ketidakmampuan atau kelalaian sehingga menimbulkan penyebab

langsung adanya kerugian pada pasien.


Malpraktik medis menurut J. Guwandi meliputi tindakan-tindakan

sebagai berikut : (1) melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan

oleh seorang tenaga kesehatan ; (2) tidak melakukan apa yang seharusnya

dilakukan atau melalaikan kewajiban; (3) melanggar suatu ketentuan menurut

perundang-undangan.172 Malpraktik mempunyai arti lebih luas daripada

negligence, karena dalam malpraktik selain tindakan yang termasuk

dalam kelalaian juga ada tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori

kesengajaan (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-

undang. Malpraktik yang dilakukan dengan sengaja merupakan bentuk

malpraktik murni yang termasuk di dalam criminal malpractice.173


Tindakan dokter dapat dikatakan malpraktik atau bukan, menurut

Leenen yang dikutip Fred Amien174 , ada 5 (lima) kriteria , yaitu :


a. Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig hendelen) dikaitkan
dengan kelalaian/ culpa. Bila seseorang dokter bertindak

171
Herkutanto dalam Ari Yunanto dan Helmy, 2009, Hukum Pidana Malpraktik Medik,
Penerbit Andi, Yogjakarta, hlm. 31.
172
J. Guwandi , 2004, Hukum Medik ....., loc.cit .
173
J. Guwandi , loc. cit hlm 20
174
Fred Amien , 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran , Grafikatama Jaya , Jakarta , hlm
87

111
onvoorzichteg, tidak teliti, tidak berhati-hati, maka ia memenuhi
unsur kelalaian, bila ia sangat tidak berhati-hati , ia memenuhi
unsur culpa lata ;
b. Yang dilakukan dokter sesuai ukuran ilmu medis (volgens de
medische standaard);
c. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian
medis yang sama (gemiddelde bewaanheid van gelijke
medische categorie);
d. Dalam situasi dan kondisi yang sama ( gelijke
ommstandigheden)
e. Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proposional (asas
proposional) dengan tujuan kongkret tindakan/perbuatan medis
tersebut (tot het concreet handelingsdoel)

Malpraktik medis terjadi kalau dokter atau orang yang ada di

bawah perintahnya dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan

perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik medis terhadap pasiennya

dalam segala tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur

operasional, atau prinsip-prinsip kedokteran, atau dengan melanggar

hukum tanpa wewenang, dengan menimbulkan akibat (causaal verband)

kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, maupun mental dan atau nyawa

pasien, dan oleh sebab itu membentuk pertanggungjawaban hukum bagi

dokter.175
Tindakan dokter dapat digolongkan sebagai tindakan malpraktik

yang menyebabkan dokter harus bertanggung jawab secara administrasi,

perdata maupun pidana, haruslah memenuhi elemen-elemen yuridis

sebagai berikut176 :
175
Adami Chazami , 2007 , Malpraktik Kedokteran, Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum ,
Bayu Media Publishing, Malang, hlm 5.
176
Munir Fuady, op., cit., hlm.2-3.

112
1. Adanya tindakan, dalam arti “berbuat” atau ‘tidak berbuat”
( pengabaian );
2. Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau orang di bawah
pengawasannya (seperti oleh perawat), bahkan juga oleh
penyelia fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, apotik, dan
lain-lain ;
3. Tindakan tersebut berupa tindakan medis, baik berupa tindakan
diagnostik, terapi atau manajemen kesehatan ;
4. Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya;
5. Tindakan tersebut dilakukan secara :
a. Melanggar hukum dan atau
b. Melanggar kepatutan dan atau
c. Melanggar kesusilaan dan atau
d. Melanggar prinsip-prinsip profesionalitas.
6. Dilakukan dengan kesengajaan atau ketidak hati-hatian (kela-
laian, kecerobohan)
7. Tindakan tersebut mengakibatkan pasiennya mengalami :
a.Salah tindak, dan atau
b.Rasa sakit ,dan atau
c.Luka, dan atau
d.Cacat ,dan atau
e.Kematian , dan atau
f.Kerusakan pada tubuh dan atau jiwa , dan atau
g.Kerugian lainnya terhadap pasien.

Keadaan tersebut diatas menyebabkan dokter harus bertanggungjawab

secara administrasi, perdata maupun pidana.


Malpraktik medis sebagaimana difinisi yang ada bukanlah suatu

rumusan hukum yang diatur dalam undang-undang, dimana dalam hukum

positif yang berlaku di Indonesia, tidak dikenal adanya istilah malpraktik,

baik dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran, hanya disebutkan sebagai pelanggaran disiplin dokter,

maupun Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan yang menyebutkan sebagai berikut :

113
(1). Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,

tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang

menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam

pelayanan kesehatan yang diterimanya;


(2). Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan

penyelematan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang

dalam keadaan darurat;


(3). Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.
Dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran tidak memuat ketentuan tentang malpraktik medis, meskipun

dalam Pasal 66 ayat (1) mengandung kalimat yang mengarah pada

kesalahan praktik dokter, yakni “setiap orang mengetahui atau

kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam

menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada

Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Norma

dalam pasal ini hanya memberi dasar hukum untuk melaporkan dokter ke

organisasi profesinya apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang

membawa kerugian, bukan sebagai dasar untuk menuntut ganti rugi atas

tindakan dokter.

114
Perlu dipahami juga, bahwa tidak setiap hasil pengobatan yang

tidak sesuai dengan harapan pasien merupakan bukti adanya malpraktik

medis, dan dokter dinyatakan bersalah telah melakukan kelalaian dalam

melakukan pengobatan / tindakan medis. Mengingat kejadian semacam

itu juga dapat merupakan bagian dari risiko yang harus ditanggung oleh

pasien dalam tindakan medik. Disamping itu perlu disadari pula bahwa

hasil akhir suatu pengobatan sangat tergantung pada banyak faktor,

sehingga tindakan medis yang dilakukan oleh dokter antara lain dapat

merupakan akibat dari : (a) Perjalanan dan komplikasi dari penyakitnya

sendiri (Cilinical course of the disease); (b) Risiko medis (Medical risk);

(c) Risiko tindakan operatif (Surgical risk); (e) Efek samping pengobatan

dan tindakan (Adverse Effect or reaction); (f) Akibat keterbatasan fasilitas

(Limitation of resources); (g) Kecelakaan medis (Medical accident); (h)

Ketidaktepatan diagnosis (Error of judgement); (i) Kelalaian medis

(Medical negligence); (j) Malpraktik medis (Medical malpractice).

Kesalahan diagnosis atau ketidaktepatan diagnosis juga tidak boleh secara

otomatis dijadikan ukuran adanya malpraktik medis sebab banyak faktor

yang mempengaruhi ketepatan diagnosis, yang kadang-kadang sebagian

faktor tersebut berada di luar kontrol dokter.177

177
Mason & Mc.Call Smith, 1987, Law and Medical, Second edition , Butterworths ,
London, hlm 53.

115
Meskipun demikian dalam praktiknya untuk menentukan unsur

– unsur kesalahan / kealpaan / kelalaian dugaan terjadinya malpraktik

medis tidaklah mudah. Sementara itu ajaran hukum atau teori hukum baik

mengenai kesalahan maupun mengenai causalitas tampaknya oleh

sebagian orang pendapatnya juga beragam dan dalam segi tertentu

terkadang sulit dipahami sehingga keadaan itu menyebabkan

ketidaksamaan penerapan dalam praktik hukum.178

Menentukan faktor manakah yang menjadi penyebab dalam

hubungan causalitas, tidaklah mudah karena factor-faktor dalam

peristiwa tersebut tidak berdiri sendiri. Dalam rangka mencari faktor-

faktor yang menjadi penyebab digunakan ajaran causalitas.179 Sebelum

membahas ajaran causalitas disampaikan ilustrasi kasus sebagai berikut180

: dalam menentukan adanya sebab yang benar-benar menimbulkan suatu

akibat tidaklah mudah. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas faktor-

faktor yang berkaitan dengan peristiwa yang dihadapi. Sebagai contoh,

seorang laki-laki mengendarai sepeda motor mendadak menyeberang

178
Azwar , 2002 , Sang Dokter , Megapoin , Bekasi , hal 140 . Pasien yang mengalami
perdarahan ketika melahirkan dilakukan operasi , akibatnya anak yang dilahirkan meninggal dan
rahim ibunya sobek . Sebulan dirawat kondisi tidak semakin baik , bahkan sebagian tangan dan
kakinya lumpuh. Suaminya mengugat dengan alasan dokter tidak melakukan bedah cesar saat
kelahiran anaknya , tetapi dokter berkilah bahwa proses kelahiran alami , sedangkan dokter ahli bedah
saraf menyatakan kelumpuhan itu terjadi oleh berkurangnya aliran darah keotak karena perdaharan .
Kasus ini memperlihatkan betapa sulitnya membuktikan bersalahnya seorang dokter meskipun pasien
sudah sangat menderita dan dianggap itu adalah risiko tindakan medis dan harus ditanggung pasien.
179
dighilib.unila.ac.id./8262/2/bab%20II.pdf, diakses tanggal 11-11-2016, jam 11 25 wib.
180
dhitamenulis.blogspot.co.id/2011/03/hubungan-sebab-akibat-teori-kasualitas.html, diakses
tanggal 11-11-2016, jam 10 15 wib.

116
tanpa memberikan isyarat lampu dan dari arah belakang melaju kencang

sebuah mini bus, sopir mini bus yang kaget membunyikan klakson dan

menginjak rem sekuat tenaga sehingga tabrakan pun tidak sampai terjadi.

Namun, laki-laki tersebut tiba-tiba jatuh dan segera dilarikan ke rumah

sakit. Beberapa jam kemudian, laki-laki ini meninggal dunia karena

serangan jantung. Pihak kepolisian menyatakan bahwa kecelakaan yang

terjadi akibat pengendara sepeda motor yang tidak mematuhi peraturan

dan sopir minibus dibebaskan. Namun ahli waris tidak terima terhadap

pengehentian penyelidikan dan mengajukan upaya pra peradilan ke

Pengadilan Negeri agar menetapkan bahwa pengehentian penyelidikan

tidak sah dan memerintahkan kepada penyidik untuk melanjutkan perkara

itu. Hal ini tentunya tidak mudah bagi pengadilan negeri dan penyidik

dalam menilai kasus ini.

Berdasarkan ilustrasi di atas, disinilah letak urgensi ajaran

causalitas, yaitu ajaran yang mencari dan menentukan ada atau tidaknya

hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat yang timbul. 181 Selain

itu, ajaran ini juga dapat menentukan hubungan antara suatu perbuatan

dengan akibat dalam tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya,

yaitu suatu tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) yang

181
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2 : Penafsiran Hukum Pidana, Dasar
Pemidanaan dan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan,Perbarengan dan Ajaran Kasualitas, Jakarta,
PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 216.

117
ditambah dengan unsur khusus. Unsur ini merupakan akibat dari

perbuatan, baik yang bersifat meringankan atau memberatkan. Ada

beberapa ajaran casualitas yang dikelompokkan menjadi tiga teori besar


182
:

1. Teori Conditio Sine Qua Non.

Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh

Von Buri, ahli hukum dan mantan presiden Reichsgericht

(Mahkamah Agung) Jerman.183 Von Buri mengatakan bahwa

tiap-tiap syarat atau semua faktor yang turut serta atau bersama-

sama menjadi penyebab suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan

dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus

dianggap kausa.184 Tiap-tiap faktor memiliki nilai yang sama dan

sederajad tidak membedakan faktor syarat dan faktor

penyebab.185 Teori ini juga disebut dengan equivalent theori

karena setiap syarat nilainya sama, tidak ada perbedaan antara

syarat dan penyebab.186

Seperti halnya teori-teori yang lain, teori Von Buri ini

memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Kelemahan ajaran


182
dhitamenulis.blogspot.co.id/2011/03/hubungan-sebab-akibat-teori-kasualitas.html, diakses
tanggal 11-11-2016, jam 10 15 wib.
183
Adami Chazawi, op., cit., hlm 218.
184
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta, Sinar Grafika, 2007, hlm 209.
185
Adami Chazawi, op.,cit., hlm 219.
186
Christine. S. T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2007, hlm
119.

118
ini adalah tidak dibedakannya faktor syarat dan faktor penyebab.

Dalam ilustrasi kasus di atas, si pengemudi mini bus harus

diminta pertanggung jawaban atas kematian pengendara sepeda

motor. Padahal bunyi klakson dan suara rem merupakan faktor

syarat bukan faktor penyebab. Hal ini dipandang tidak adil sebab

tidak ada unsur kesengajaan atau kealpaan pada dirinya. Artinya

teori ini bertentangan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan

(geen straft zonden schuld). Sedangkan kelebihan dari teori ini

adalah mudah digunakan dan diterapkan tanpa menimbulkan

perdebatan dan pemikiran mendalam untuk mencari faktor

penyebab yang sebenarnya.187

Penganut teori Von Buri adalah Van Hammel yang

mengatakan bahwa teori Conditio Sine Qua Non satu-satunya

teori logis yang dapat dipertahankan. Namun, penggunaannya

dalam hukum pidana harus disertai oleh teori kesalahan. Teori

menyatakan tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah

satu faktor di antara sekian banyak faktor dalam suatu peristiwa

yang menimbulkan akibat terlarang harus bertanggung jawab

atas akibat itu, melainkan apabila perbuatan dirinya terdapat

187
dhitamenulis.blogspot.co.id/2011/03/hubungan-sebab-akibat-teori-kasualitas.html, diakses
tanggal 11-11-2016, jam 10 15 wib.

119
unsur kesalahan baik kesengajaan atau kealpaan.188 Pendapat Van

Hammel ini dianggap wajar sebab ia adalah pengikut aliran

monistis yang tidak memisahkan antara perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban dalam hukum pidana.

Kritik dan keberatan atas teori ini kemudian

bermunculan. Misalnya ada orang yang mati ditembak orang

lain. Menurut teori ini, pejual senjata api, perusahaan senjata api

juga bertanggung jawab atas kematian orang tersebut. Menurut

Van Bammelan teori ini terlalu luas jangkauannya. Moelyatno

tidak bisa menerima teori ini meskipun secara logis adalah

benar.189 Teori ini bertentangan dengan pandangan umum dalam

pergaulan masyarakat, yang justru membedakan antara syarat

dan penyebab. Menurutnya, perbuatan seorang penjual senjata

api tidak dapat diterima sebagai penyebab terbunuhnya

seseorang yang disamakan dengan perbuatan pembunuhnya.

Beliau membedakan perbuatan pidana dengan

pertanggungjawaban pidana. Ajaran tentang kesalahan

digunakan apabila terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan

pidana. Padahal hubungan kausalitas bertujuan menentukan

188
Adami Chazawi, op., cit., hlm 220
189
Christine. S. T. Kansil, op., cit., hlm 120.

120
apakah terdakwa melakukan perbuatan yang dilarang atau

tidak.190

Eddy O.S. Hiariej memberi catatan terhadap teori

conditio sine qua non, Pertama, tidak mungkin digunakan

dalam menentukan pertanggungjawaban pidana karena terlalu

luas. Kedua, von Buri mengidentikkan syarat dengan musabab,

karena keduanya merupakan hal yang berbeda. Ketiga, sangatlah

mungkin musabab yang menimbulkan akibat berasal lebih dari

satu tindakan. 191

2. Teori Individualisasi.

Teori ini berusaha mencari faktor penyebab dari

timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang

ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan. Dengan kata lain

peristiwa dan akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post

factum).192 Menurut teori ini tidak semua faktor merupakan

penyebab. Dan faktor penyebab itu sendiri adalah faktor yang

sangat dominan atau memiliki peran terkuat terhadap timbulnya

suatu akibat. Pendukung teori ini adalah Birkmayer dan Karl

Binding.193
190
dighilib.unila.ac.id./8262/2/bab%20II.pdf, dikses tanggal 11-11-2016, jam 11 25 wib.
191
Eddy O.S. Hiariej, op., cit., hlm 211.
192
Adami Chazawi, op., cit., hlm 221.
193
dhitamenulis.blogspot.co.id/2011/03/hubungan-sebab-akibat-teori-kasualitas.html, diakses
tanggal 11-11-2016, jam 10 15 wib.

121
Birkmayer mengemukakan teori de meest werkzame

factor pada tahun 1885 yang menyatakan bahwa dari serentetan

syarat yang tidak dapat dihilangkan, tidak semua dapat

digunakan untuk menimbulkan suatu akibat, hanya faktor yang

dominan atau kuat pengaruhnyalah yang dapat dijadikan

penyebab timbulnya suatu akibat. Kesulitannya adalah

bagaimana menentukan faktor yang dominan dalam suatu

perkara.194 Contohnya, faktor serangan jantung yang menjadi

faktor dominan yang menyebabkan seseorang meninggal dunia

dalam ilutrasi di atas. Dan pengemudi mini bus yang

membunyikan klakson tidak dapat dimintai pertanggung jawaban

pidana. Karl Binding mengemukakan ubergewischts theorie

yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor

terpenting dan sesuai dengan akibat yang timbul. Dalam suatu

peristiwa pidana, akibat terjadi karena faktor yang menyebabkan

timbulnya akibat lebih dominan (faktor positif) daripada faktor

yang meniadakan akibat (faktor negatif). Satu-satunya faktor

194
Bikmeyer ( dalam Sudarto, 1990 , Hukum Pidana I , Penerbit Yayasan Sudarto ,
Semarang hlm : 69 )

122
sebab adalah faktor syarat terakhir yang menghilangkan

keseimbangan dan memenangkan faktor positif tadi.

Selain dua tokoh di atas, terdapat tokoh lain yang

mengemukakan teori individualisir seperti, Teori die art des

werden yang dikemukakan oleh Kohler, yang menyatakan bahwa

sebab adalah syarat yang menurut sifatnya menimbulkan akibat.

Ajaran ini merupakan variasi dari ajaran Birkmeyer. Syarat-

syarat yang menimbulkan akibat tersebut jika memiliki nilai

yang hampir sama akan sulit untuk menentukan syarat mana

yang menimbulkan akibat. Kemudian teori Letze Bedingung

yang dikemukakan oleh Ortman, menyatakan bahwa faktor yang

terakhir yang mematahkan keseimbanganlah yang merupakan

faktor, atau menggunakan istilah Sofyan Sastrawidjaja bahwa

sebab adalah syarat penghabisan yang menghilangkan

keseimbangan antara syarat positif dengan syarat negatif,

sehingga akhirnya syarat positiflah yang menentukan.195

Kelemahan dari teori ini adalah penentuan faktor yang

paling kuat pengaruhnya jika semua faktor sama-sama kuat

untuk menimbulkan akibat atau jika sifat dan corak pengaruh

195
Setia Darma,Teori-Teori Kausalitas, http:/ setia-ceritahati.blogspot.com/2009/05/teori-
teori-kausalitas .html, diakses tanggal 14-11-2016, jam 06 30 wib.

123
tidak sama dalam rangkaian faktor tidak sama. 196 Kelemahan

teori ini juga dapat dipahami dari ilustrasi berikut: A berniat

membakar gudang orang lain, lalu ditempatknya kaca pembesar

di atas tumpukan jerami sehingga kalau matahari mengenai kaca

dapat menimbulkan percikan api yang memicu kebakaran.

Berdasarkan teori ini maka A luput dari jerat hukum pidana

sebab faktor dominan terakhir adalah sinar matahari yang

mengenai kaca pembesar.

Ada beberapa catatan oleh Eddy O.S. Hiariej tentang

teori individualisasi Brickmayer, Binding dan Kohler. Pertama,

ajaran Brickmayer, Binding dan Kohler lebih pada tataran teori

bukan dan bukan dalam tataran praktik. Kedua, ketiga teori

tersebut dalam praktik sulit menentukan secara pasti musabab

yang menimbulkan akibat. Sebagai ilustrasi, A diculik oleh B dan

dibawa kesebuah rumah. A disekap di dalam kamar dan tidak

diberi makan serta minum. Setiap hari A dianiaya B. Pada hari

ketiga, setelah B memukul A di bagian perut , A tersungkur dan

tewas.197 Karena persoalan ini kemudian munculah teori

generalisasi.

3. Teori Generalisasi
196
A. Zainal Abidin Farid, op., cit., hlm 210.
197
Eddy O.S. Hiariej, op., cit., hlm 219.

124
Teori ini menyatakan bahwa dalam mencari sebab

(causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau

berhubungan dengan timbulnya akibat dilakukan dengan melihat

dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut

akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu

akibat.198 Pencarian faktor penyebab tidak berdasarkan faktor

setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada

pengalaman umum yang menurut akal dan kewajaran manusia.

Persoalannya kemudian bagaimana menentukan sebab yang

secara akal dan menurut pandangan umum menimbulkan akibat.

Berdasarkan pertanyaan ini kemudian muncul teori Adequat

yaitu:199

a. Teori Adekuat Subjektif

Dipelopori oleh J. Von Kries yang menyatakan

bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor yang

berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja

yang dapat diterima, yakni yang sebelumnya telah dapat

diketahui oleh pembuat. Contoh, si A mengetahui bahwa si B

mengidap penyakit jantung dan dapat menimbulkan kematian

jika dipukul oleh sesuatu. Kemudian si A tiba-tiba memukul si


198
Adami Chazawi, op., cit., hlm 222.
199
A. Zainal Abidin Farid, op., cit., hlm 211.

125
B dengan yang berakibat pada kematiannya, maka perbuatan

mengejutkan itu dikatakan sebagai sebab.

b. Teori Adekuat objektif.

Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang

menyatakan bahwa yang menjadi sebab atau akibat, ialah

faktor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor

yang berkaitan dengan terwujudnya delik, setelah delik

terjadi. Atau dengan kata lain causa dari suatu akibat terletak

pada faktor objektif yang dapat dipikirkan untuk

menimbulkan akibat.

Ilustrasi terhadap teori ini diberikan oleh Satochid

Kartanegara sebagai berikut200, X memukul Y. Pukulan

tersebut menurut perhitungan yang layak tidak akan

menimbulkan kematian Y, namun ternyata Y kemudian mati.

Pemeriksaan dokter atas diri Y menunjukkan bahwa Y

sebetulnya menderita penyakit malaria dan menurut ilmu

kedokteran, orang yang menderita malaria berat, sesuatu

bagian dalam tubuhnya akan mengalami pembengkaan. Orang

yang mengalami pembengkaan dan mendapatkan pukulan

pada bagian yang bengkak dapat menyebabkan pecahnya

200
Eddy O.S. Hiariej, op., cit., hlm 215.

126
bagian tersebut dan mengakibatkan mati. Jika Y dalam

keadaan sehat, maka menurut perhitungan yang layak,

pukulan X tidak mungkin menyebabkan kematian. Ilustrasi

yang demikian secara penentuan obyektif sebagai mana

dikemukakan oleh Ramelin, X tetap dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana karena telah menganiaya Y yang

mengakibatkan kematian. Sebaliknya, jika ditinjau

berdasarkan teori adequat penetuan subyektif dari von Kries,

maka terlebih dahulu harus diselidiki apakah sakitnya Y

diketahui oleh X. Apabila X tidak mengetahui, maka tidak

dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, Sebaliknya,

apabila X mengetahui keadaan sakitnya Y, maka X dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidana.

4. Teori Relevansi.

Teori ini sama sekali tidak mengadakan perbedaan

syarat dan musabab sebagaimana diajarkan dalam teori

genelaisasi dan teori individulisasi. Demikian pula teori ini tidak

menyamakan antara syarat dan musabab seperti dalam ajaran

conditio sine qua non.

127
Teori relevansi berawal dari interpretasi terhadap

rumusan delik. Eddy O.S. Hiariej201 sependapat dengan

Moljatno yang menyatakan bahwa teori relevansi bukanlah teori

mengenai hubungan kasualitas melainkan teori mengenai

interpretasi undang-undang.

2.2. Kelalaian Medis

Istilah kelalaian medis dalam World Medical Association

yang dikutip Guwandi202 menyebutkan :

‘’An injury occurring in the course of medical treatment which could


not be foreseen and was not the result of the lack or knowledge on
the part of the treating physician is untoward result, for which the
physician sholud not bear any liability’’

Terjemahan bebasnya adalah cidera yang terjadi dalam pengobatan

medis yang tidak dapat diramalkan dan bukan akibat dari kurangnya

pengetahuan dan perawatan dokter sehingga hasilnya tidak seperti

yang diharapkan, dokter tidak harus menanggung kewajiban apapun.

Lebih jauh dalam World Medical Association dinyatakan bahwa tidak

semua kegagalan medis adalah akibat malpraktik medis, karena suatu

peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable)

yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi

mengakibatkan cidera pada pasien.

201
Eddy O.S. Hiariej, op., cit., hlm 220.
202
J. Guwandi , 2004, Hukum Medik, op.cit., hlm 26.

128
Yusuf Hanafiah203, merumuskan kelalaian sebagai melakukan

tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis. Kelalaian

bukan merupakan pelanggaran hukum atau kejahatan jika tidak

membawa kerugian atau cidera kepada orang lain dan orang itu dapat

menerimanya. Jika kelalaian sampai menimbulkan kerugian materi,

mencelakakan dan bahkan merengut nyawa orang lain, maka kelalaian

tersebut merupakan kelalaian berat (culpa lata) dan dapat diklasi-

fikasikan tindak pidana.

Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi di

dalam malpraktik tidak selalu harus terdapat unsur-unsur kelalaian.

Kelalaian dalam arti umum bukan merupakan pelanggaran hukum atau

kejahatan, jadi selama kelalaian tidak menyebabkan kerugian kepada

orang lain, tidak ada hukum apa-apa.204 Faktor kelalaian dalam

malpraktik medis dianggap sebagai suatu sikap tindakan yang buruk,

padahal faktor kelalaian tersebut apabila dipandang dari sudut hukum

masih harus dibuktikan kebenarannya205.

203
Yusuf Hanafiah dan Amri Amir , 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan , Buku
Kedokteran EGC hlm 87-88.
204
J. Guwandi, 2003, Misdiagnosis atau Malpraktek, Jurnal Perhimpunan Rumah Sakit
Seluruh Indonesia, Volume 3, hlm 15.
205
Soerjono Soekanto dan Herkutanto, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan , Remaja Karya,
hlm 156.

129
Menurut hukum kedokteran, adanya kesalahan/kelalaian

dalam pelayanan kesehatan harus dapat dibuktikan unsur-unsur206:

1. Duty of Care : seorang dokter berkewajiban memberikan

pelayanan yang profesional (with reasonable care and skill)

kepada pasien. Kewajiban ini sudah dengan serta merta terjadi

begitu seorang dokter memberikan indikasi ia bersedia

memeriksa dan melayani pasien. Duty of care merupakan

kontrak sosial dari dokter kepada pasien, yang landasannya

adalah kausalitas, walaupun demikian kontrak sosial dokter

bisa dilihat manakala ia mengucapkan sumpah dokter. Untuk

menentukan apakah prinsip duty of care ini diperhatikan oleh

dokter atau tidak bisa diukur dengan mengacu kepada culpa

lata.207
2. Breach of Duty : unsur ini adalah bahwa seorang dokter

melakukan pelanggaran baik culpa lata maupun culpa levis

terhadap standar-standar pelayanan yang harus dilakukan.


3. Adanya harm dan damages : untuk menentukan unsur ini maka

perlu dibuktikan hubungan kausalitas baik yang merupakan

cause in fact maupun proximate cause. Unsur ini penting


206
J. Guwandi, 2000., Kelalaian Medik (Medical Negligence) , Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia , Jakarta , hlm. 99
207
J.Guwandi, ibid . hlm. 99. Kasus O ‘Neil versus Montefiore Hospital, 11 App Div.2d 132
202 NY 2d 436 .1st Dep June, 1960 dimana seorang dokter mengadakan pembicaraan per telpon
dengan pasien tentang kondisinya, dan tanpa memeriksa pasien secara fisik dokter tersebut
mengizinkan pasien pulang, namun pasien meninggal setelah keluar rumah sakit. Pengadilan
berpendapat bahwa unsur pertama dokter lalai pada kewajibanya.

130
dibuktikan untuk menentukan sifat melawan hukum terhadap

perbuatan sebagai salah satu unsur dari suatu tindak pidana.

Para penegak hukum harus bisa membuktikan ada hubungan

kausalitas antara kelalaian dokter atau unprofessional conduct

dengan kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan dokter atau

institusi kepada pasien. Perlu kehati-hatian dari penegak

hukum untuk menentukan malpraktik tersebut, sebab bisa saja

perbuatan dokter merupakan hasil akhir yang buruk dalam

tindakan medis. Jadi kerugian yang sudah dapat diramalkan,

bukan akibat kurangnya kemampuan atau ketrampilan dokter.


4. Direct Causation (Proximate Cause) : harus ada hubungan

kausal yang wajar antara sikap tindak dokter dan kerugian

(damage) yang diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Hanya

atas dasar penyimpangan saja belum cukup untuk mengajukan

tututan ganti kerugian, kecuali jika penyimpangan sedemikian

rupa tidak wajar sehingga menimbulkan cidera pasien.

Apabila terjadi kegagalan atau bahkan kematian terhadap

pasien akibat pelayanan medis yang dilakukan tenaga kesehatan, harus

dapat dibuktikan dulu adanya suatu hubungan kausalitas atau sebab

akibat antara tindakan medis dokter dengan cidera atau matinya

pasien. Biasanya dibedakan antara cause in fact dengan proximate

131
cause208. Pertama dipermasalahkan adalah, perbuatan dokter yang

mengakibatkan kerugian (mati/luka) pada pasien secara faktual. Kedua

mempermasalahkan batas-batas ruang lingkup tanggung jawab dokter /

tenaga kesehatan yang dihubungkan dengan akibat-akibat perbu

-atannya.

2.3. Tindakan Medis

Tindakan medis adalah tindakan professional oleh dokter

terhadap pasien dengan tujuan memelihara, meningkatkan, memulih-

kan kesehatan atau menghilangkan atau mengurangi penderitaan.209

Pendapat Leenen yang dikutip oleh Guwandi210 suatu tindakan medis

yang dilakukan terhadap pasien harus memenuhi empat syarat yaitu :

(1) harus ada indikasi medis ; (2) harus dilakukan berdasarkan standar

yang berlaku ; (3) harus bekerja dengan hati-hati dan teliti ; (4) harus

ada informed Consent.

Suatu tindakan medis adalah keputusan etik karena dilakukan

oleh manusia terhadap manusia yang lain, yang umumnya memerlukan

pertolongan dan keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan atas


208
Soerjono Soekanto dan Herkutanto, 1987, Op cit, hlm. 130.
209
Samsi Jacobalis, 2005, Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis dan Bioetika, CV.
Sagung Seto, Jakarta, hlm. 128
210
J. Guwandi, 1993,Tindakan Medik dan tanggungjawab produk Medik, Balai Penerbit FK
UI, hlm 8.

132
beberapa alternatif yang ada. Tindakan medis tersebut merupakan

tindakan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh para tenaga

medis, karena tindakan itu ditujukan terutama bagi para pasien yang

mengalami gangguan kesehatan. Oleh karena itu sebagai suatu

keputusan etik harus memenuhi syarat antara lain : (1) keputusan itu

harus benar sesuai ketentuan yang berlaku; (2) harus baik tujuan dan

akibatnya; (3) keputusan tersebut harus tepat sesuai dengan konteks

serta situasi dan kondisi saat itu sehingga dapat

dipertanggungjawabkan.211 Keputusan etik seperti ini mewajibkan

dokter untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di dalam

masyarakat, profesi dan pasien serta mempertimbangkan etika prinsip-

prinsip moral dan keputusan khusus pada kasus klinis yang

dihadapinya.212

Pembuktian mengenai tindakan medis yang tidak dapat

disangkal / dibantah kebenarannya bahwa itu merupakan malpraktek

medis adalah melalui penerapan doktrin res ipsa loquitur dalam bahasa

Inggris berarti the thing speaks for it self, yang dalam bahasa Indonesia

terjemahannya adalah “benda tersebut berbicara“. Penerapan doktrin

211
Safitri Hariyani , 2005 , Sengketa Medik, op. cit., hlm. 37.
212
Budi Sampurna, 2008, Konflik Etik dan Medikolegal di Sarana Pelayanan Kesehata,
Lokakarya Nasional Hukum dan Etika Kedokteran, Makasar 26 Januari 2008, Procceding, IDI
Makasar

133
ini hanya berlaku terhadap kasus-kasus perbuatan melawan hukum

dalam bentuk kelalaian kasar (gross negligence)213.

Doktrin ini bertujuan untuk mencapai keadilan, dimana para

korban dari perbuatan melawan hukum dalam kasus-kasus tertentu

sangat sulit untuk membuktikan adanya unsur kelalaian, apalagi jika

aksesnya kepada pelaku, tetapi sulit diakses oleh korban, karenanya

tidak adil jika korban yang harus menanggung sendiri akibat perbuatan

yang sebenarnya merupakan kelalaian dari pihak lain. Oleh karena itu

agar dapat diterapkannya res ipsa loquitur harus dipenuhinya beberapa

persyaratan antara lain : (1) harus ditunjukkan bahwa kejadian tersebut

biasanya tidak terjadi tanpa adanya kelalaian / kesengajaan dari pihak

pelakunya; (2) harus ditunjukkan pula bahwa kerugian tidak ikut

disebabkan oleh tindakan korban atau pihak ketiga ; (3) dalam kasus-

kasus tertentu pada saat kejadian, instrumen yang menyebabkan

kerugian dalam kontrol eksklusif dari pihak yang dituduh melakukan ;

(4) penyebab kelalaian tersebut haruslah dalam lingkup kewajiban

yang ada oleh pelaku kepada korban; (5) bukan kesalahan dari korban

(tidak ada kelalaian kontributif).214

213
J. Guwandi, 1993, op. cit., hlm 17.
214
Munir Fuady, 2005, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya
Bakti , Bandung, hlm. 103.

134
2.4. Risiko Medis

Pengertian risiko medis tidak ada dalam rumusan perundang-

undangan, tetapi secara implisit / tersirat dalam beberapa ketentuan

perundang-undangan sebagai berikut : Pasal 45 Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sebagai berikut :

(1) setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien

harus mendapat persetujuan;

(2) persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap;

(3) penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-

kurangnya mencakup :

(a) diagnosis dan tata cara tindakan medis;

(b) tujuan tindakan medis yang dilakukan;

(c) alternatif tindakan lain dan risikonya;

(d) risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

(e) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

diberikan baik secara tertulis maupun secara lisan;

(5) setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan

135
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pihak yang

berhak memberikan persetujuan;

(6) ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan

kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)

diatur dengan Peraturan Menteri.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :

290 / MenKes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Pasal 2 ayat (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan

setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya

tindakan kedokteran dilakukan. Pasal 3 ayat (1) Setiap tindakan

kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh

persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak

memberikan persetujuan. Pasal 12 ayat (1) Perluasan tindakan

kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat

dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien. Pasal 12 ayat (2) Setelah

perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada

pasien atau keluarga terdekat.

136
Contoh Risiko medik yang disampaikan oleh

Danny Wiradharma215 :

1. Risiko yang melekat (rambut rontok atau ujung jari-jari kaki

dan tangan hitam akibat pemberian sitostatika / obat

pembunuh sel kanker);

2. Reaksi hipersensitivitas, misalnya respon imun / kekebalan

tubuh yang berlebihan / menyimpang terhadap masukan

bahan asing / obat yang sering tidak dapat diperkirakan

sebelumnya;

3. Komplikasi / penyulit yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak

bisa diduga sebelumnya (emboli air ketuban pada ibu saat

melahirkan). Setiap tindakan medis selalu mengandung

risiko (baik yang dapat di prediksi maupun yang tidak dapat

di prediksi), sekecil apapun tindakannya tetap ada

kemungkinan menimbulkan risiko yang besar, sehingga

pasien menderita kerugian / celaka.

Chrisdiono M. Achadiat216 berpendapat, untuk suatu tindakan

medis selalu ada risiko tujuan tindakan tersebut tidak tercapai dan

risiko yang demikian itu tidak dapat dilimpahkan kepada dokter,

artinya dokter tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Suatu hasil


215
Danny Wiradharma, op., cit., , hlm 107.
216
Chrisdiono M.Achdiat,op., cit., hlm 26.

137
yang tidak diharapkan terjadi di dalam praktik kedokteran sebenarnya

dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu217 :

1). Hasil dari suatu perjalanan penyakit atau komplikasi

penyakit yang tidak ada hubungannya dengan tindakan

medis yang dilakukan dokter ;

2). Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu :

a. Risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya

(unforesseable), risiko seperti ini dimungkinkan di

dalam ilmu kedokteran oleh karena sifat ilmu

empiris dan sifat tubuh manusia yang sangat

bervariasi serta rentan terhadap pengaruh eksternal ;

b. Risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya

(foresseeable) tetapi dianggap dapat diterima

(acceptable), dan telah diinformasikan kepada

pasien dan telah diasetujui oleh pasien untuk

dilakukan, yaitu risiko yang derajat probilitas dan

keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi,

diperhitungkan, atau dapat dikendalikan, misalnya

efek samping obat, perdarahan, infeksi pada

pembedahan, dan lain-lain serta risiko yang derajat


217
Ali Muhammad Mulyohadi ,dkk, 2006, Kemitraan dalam Hubungan Dokter dan Pasien,
Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta, hlm. 49

138
probilitas dan keparahannya besar pada keadaan

tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berisiko

tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-

satunya cara yang harus ditempuh (the only way),

terutama dalam keadaan gawat darurat.

Risiko medis itu inheren pada setiap tindakan medis, sebagian

dianggap acceptable, setidak-tidaknya ada tiga kemungkinan

sebagimana yang juga pernah dikemukakan oleh dr. Budi Sampurna,

yaitu218:

1. Tingkat kemungkinan munculnya risiko dan keparahannya

minimal, umumnya bersifat foreeseable but unavoidable,

dengan demikian tidak dapat dihindari untuk dilakukan tindakan

medis tetapi munculnya akibat yang tidak diinginkan masih

dapat diperhitungkan (calculated) ataupun dikendalikan

(controllable);
2. Risiko sangat bermakna dan diketahui sebelum dilakukannya

tindakan, tetapi harus tetap diambil tindakan karena hanya itu

satu-satunya cara untuk menolong pasien.

218
Budi Sampurna, dalam M.Arif Setiawan, Sebagai Ahli dalam Ilmu Hukum dan Sistem
Peradilan Pidana, disampaikan pada saat uji materi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Oleh
Makamah Konstitusi di Jakarta tanggal 4 September 2014.

139
3. Apabila tindakan dilakukan akan muncul risiko yang tidak

terduga dan kemungkinan munculnya akibat yang tidak

diinginkan, namun tindakan tetap harus dilakukan.

Berkaitan dengan risiko medis maka dalam ilmu hukum

terdapat adagium volenti non fit iniura atau asumption of risk,219 adalah

apabila seseorang menempatkan dirinya ke dalam suatu bahaya

(risiko) yang sudah ia ketahui, maka ia tidak dapat menuntut

pertanggungjawaban pada orang lain apabila risiko itu benar-benar

terjadi. Tidak dapat menuntut pertanggungjawaban seseorang karena

risiko terjadi bukan karena kesalahan (shucld) baik sengaja maupun

kelalaian (culpa), apabila risiko muncul pada saat pelayanan medis,

maka pasien tidak dapat menuntut pertanggungjawaban pada seorang

tenaga medis.

Pembuktian mengenai risiko medis dapat dilakukan melalui

doktrin Informed Consent. Doktrin ini disebutkan bahwa dalam tradisi

Common Law, khususnya hukum Inggris telah lama dikenal hak

perorangan untuk bebas dari bahaya atau serangan yang

menyentuhnya. Bahaya yang disengaja atau serangan dari orang lain

yang menyentuhnya tanpa hak disebut battery220, yaitu kejahatan atau

219
J. Guwandi, 1993, op. cit., hlm 20-21.
220
Veronika Komalawati, 2002, Peranan Informed consent Dalam Transaksi Terapeutik
( Persetujuan dalam hubungan Dokter dan Pasien ) Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Adytia Bakti,
Bandung, hlm 107-108.

140
perbuatan melawan hukum yang menggunakan kekerasan atau paksaan

terhadap orang lain sehingga melanggar hak individu orang lain.

Dalam tindakan medis, jika tidak terdapat persetujuan atau hak lain

untuk suatu prosedur medis, pengadilan modern masih memutuskan

dokter bertanggungjawab untuk battery. Dengan demikian berarti221,

persetujuan itu sendiri melindungi pemberi pelayanan medis dari

tanggungjawab battery, sedangkan persetujuan tindakan medis

diperlukan untuk melindungi pemberi pelayanan medis dari

tanggungjawab atas kelalaian atau kealpaan.

3. Bentuk Pelanggaran dalam Pelayanan Medis

Pada dasarnya hubungan antara dokter dan pasien merupakan

perikatan inspanningverbentenis, disamping melahirkan hak dan kewajiban

para pihak, dalam hubungan ini juga membentuk pertanggungjawaban

hukum masing-masing pihak. Suatu perlakuan yang salah / keliru dalam

memberikan tindakan medis kepada pasien menjadikan sebagai suatu

pelanggaran perjanjian (wanprestasi) dan atau perbuatan melawan hukum

(onrechtmatige daad).

Adapun syarat-syarat yang menunjang penyebab melawan hukum

malpraktik kedokteran sebagai berikut222:


221
Roach, Jr, et. Al., Medical Records And The Law, Dikutip dari Veronika Komalawati, 2002,
Peranan Informed consent Dalam Transaksi Terapeutik ( Persetujuan dalam hubungan Dokter dan
Pasien ) Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Adytia Bakti, Bandung, hlm 108.
222
Adami Chazami, 2007, Malpraktik Kedokteran, Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum, PT.
Bayumedia Publishing, Malang, hlm 27.

141
1). Dilanggarnya standar profesi kedokteran.

2). Dilanggarnya standar prosedur operasional.

3). Dilanggarnya informed consent.

4). Dilanggarnya rahasia dokter.

5). Dilanggarnya kewajiban-kewajiban dokter.

6). Dilanggarnya prinsip-prinsip profesional kedokteran atau

kebiasaan yang wajar di bidang kedokteran.

7). Dilanggarnya etika dan kesusilaan umum.

8). Praktik kedokteran tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien.

9). Dilanggarnya hak-hak pasien.

Bentuk-bentuk pelanggaran dalam profesi kedokteran dapat

diklasifi-kasi sebagai berikut :

3.1. Pelanggaran Etika Profesi

Dalam praktik kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum

yang sangat luas, yang sering tumpang tindih pada suatu issue tertentu,

dan bahkan aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek

hukumnya, hal ini disebabkan banyak norma etik yang telah diangkat

menjadi norma hukum atau sebaliknya norma hukum yang

mengandung nilai-nilai etika.223

223
www.ferewebs.com/etikakedokteranindonesia , diakses tanggal 28 maret 2011 , jam 9.32
wib Budi Sampurna , Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia ,
hlm 1

142
Pelanggaran terhadap ketentuan Kode Etik Kedokteran ada

yang merupakan pelanggaran etik semata-mata, tetapi ada juga

merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum yang

dikenal dengan istilah pelanggaran etikolegal.224 Lebih lanjut bentuk-

bentuk pelanggaran etik kedokteran adalah sebagai berikut:

3.1.1.Pelanggaran etik murni :


(a) Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik
imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter
gigi
(b) Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya
(melanggar Pasal 16 Kodeki)
(c) Memuji diri sendiri di hadapan pasien (pelanggaran
terhadap Pasal 4 huruf a Kodeki)
(d) Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri (pelanggaran
Pasal 17 Kodeki)

3.1.2.Terhadap pelanggaran etikolegal antara lain :

(a) Pelayanan dokter di bawah standar


(b) Menerbitkan surat keterangan palsu (melanggar Pasal 7
Kodeki sekaligus Pasal 267 KUHP)
(c) Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter
(melanggar Pasal 13 Kodeki dan Pasal 322 KUHP)
(d) Tidak pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(e) Abortus provokatus
(f) Pelecehan seksual
(g) Tidak mau melakukan pertolongan darurat kepada
orang yang menderita (melanggar Pasal 14 Kodeki dan
Pasal 304 KUHP)

224
Safitri Hariyani, 2005, op. cit., hlm 48.

143
Pelanggaran etik tidak menimbulkan sanksi formal bagi

dokter yang melanggar, dimana sanksi yang diberikan tergantung pada

berat ringannya pelanggaran etik. Sanksi yang diberikan bersifat

mendidik (sanksi administratif) dan menjadi upaya preventif pada

pelanggaran yang sama, dapat berupa :

1). Teguran atau tuntunan lisan atau tertulis;

2). Penundaan gaji atau pangkat;

3). Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah;

4). Dicabut surat izin praktik dokter untuk sementara;

5). Pada kasus-kasus pelanggaran etikolegal diberikan hukum-

an sesuai peraturan kepegawaian yang berlaku dan di

proses ke pengadilan225.

3.2. Pelanggaran Disiplin Kedokteran


Pengertian disiplin kedokteran tercantum dalam penjelasan

Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, adalah

penegakan aturan-aturan dan atau ketentuan penerapan keilmuan

dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan

dokter gigi. Pengertian disiplin tersebut juga diadopsi ke dalam

Peraturan Konsil Kedokteran (KKI) No. 17/KKI/KEP/VIII/2006.

225
Jusuf Hanafiah & Amri Amir, 1999, op. cit., hlm 179.

144
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-

aturan dan / atau ketentuan penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya

dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) hal, yaitu :


1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten;
2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak

dilaksanakan dengan baik;


3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan

profesi kedokteran.226
Pada pedoman penegakan disiplin profesi kedokteran

dirumuskan bentuk – bentuk pelanggaran disiplin antara lain227 :


1. Dokter melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
[Pelanggaran terhadap UU nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedoteran Pasal 29 ayat (3) huruf d. memiliki
sertifikat kopetensi dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :
2052/ Menkes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan
Penyelenggaraan Praktik Kedokteran (Pasal 22 ayat (1) dan
ayat (3)].
Dimana dalam menjalankan asuhan klinis kepada pasien,
dokter atau dokter gigi harus bekerja dalam batas-batas
kompetensinya, baik dalam penegakan diagnosis maupun
dalam penatalaksanaan pasien.

2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang
memiliki kompetensi sesuai kebutuhan medis pasien.
(Pelanggaran UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran Pasal 51 huruf b)
a.Dalam situasi dimana penyakit atau kondisi pasien di luar
kompetensinya (karena keterbatasan pengetahuan,
keterbatasan ketrampilan ataupun keterbatasan peralatan
yang tersedia), maka dokter atau dokter gigi wajib
menawarkan kepada pasien untuk dirujuk atau

226
Pedoman Penegakan Disiplin Kedokteran, Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia No.
17/KKI/KEP/VIII/2006 dalam Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik Di Indndonesia,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia,2008, Promosi Kesehatan RI, hlm 73.
227
Ibid., hlm 76-101

145
dikonsultasikan kepada dokter atau dokter gigi atau sarana
pelayanan kesehatan lain yang lebih sesuai.
b.Upaya perujukan dapat tidak dilakukan, apabila situasi
yang terjadi antara lain sebagai berikut :
1) Kondisi pasien tidak memungkinkan untuk
dirujuk.
2) Keberadaan dokter atau dokter gigi atau sarana
kesehatan yang lebih tepat, sulit dijangkau atau
sulit didatangkan.
3) Atas kehendak pasien.

3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu


yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan
pekerjaan tersebut.
[Pelanggaran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2052/MenKes/ Per/X/2011 tentang Penyelenggaraan Praktik
Dokter dan Dokter Gigi Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3)]

4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara


yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai,
atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian
tersebut.
[Pelanggaran Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran Pasal 40; dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang
Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal 26
ayat (3) dan (4) dan Pasal 27]

5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat


kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak
kompeten dan dapat membahayakan pasien.
[Pelanggaran Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran Pasal 29 ayat (3) huruf c]

6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya


tidak dilakukan atau tidak dilakukan yang seharusnya
dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya,
tanpa alasan pembenar atau alasan pemaaf yang sah, sehingga
dapat membahayakan pasien.

146
[Pelanggaran Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran Pasal 44 ayat (1) dan (2) dan Pasal 51
huruf a]

7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang


tidak sesuai dengan kebutuhan pasien.
(Pelanggaran Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf a dan Pasal 52 huruf c)

8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai


(adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam
melakukan praktik kedokteran.
[Pelanggaran Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (2) dan (3) dan
Pasal 52 huruf a , huruf b, dan huruf e; dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 7]

9. Melakukan tindakan medis tanpa memperoleh persetujuan dari


pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya.
( Pelanggaran Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 dan Pasal 52 huruf d;
dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran Pasal 2 dan Pasal 3)

10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medis,


sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau
etika profesi.
[Pelanggaran Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran Pasal 46 dan Pasal 47; dan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis Pasal 5 ayat
(1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 (1)]

11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan


kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
( Pelanggaran Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan Pasal 75 )

147
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien
atas permintaan sendiri dan atau keluarganya.
[Pelanggaran Fatwa IDI Nomor 231/PB/4/7/1990; dan World
Medical Association : Declaration of Euthanasia ( Madrid,
1987)]

13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan


pengetahuan atau ketrampilan atau teknologi yang belum
diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang layak.
( Pelanggaran Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran Pasal 27 dan Pasal 51 huruf a )

14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan


menggunakan manusia sebagai subyek penelitian, tanpa
memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga
yang diakui pemerintah.
[Pelanggaran World Medical Association : Declaration
Helsinki (1964) yang telah diamandemen di Venesia (1983)]

15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar


perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya.
( Pelanggaran Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf d)

16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap


pasien tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
(Pelanggaran Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf a dan Pasal 52
huruf c)

17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam


peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
[Pelanggaran Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran Pasal 48 dan Pasal 51 huruf c;
Undang –Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 57; Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 1966
tentang wajib Simpan Rahasia Kedokteran dan Peraturan

148
Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang
Rekam Medis Pasal 10 ayat (1) ]

18. Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil


pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut.
(Pelanggaran Kode etik Kedokteran Indonesia Pasal 7, dan
Kode Etik Kedokteran Gigi)

19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan


penyiksaan (torture) atau eksekusi hukuman mati.
( Pelanggaran Keputusan Muktamar IDI XXIII Nomor 14
/MUK XXIII/XII/97 tentang Tindakan Penyiksaan ; dan World
Medical association : Deklarasi Tokyo Tahun 2000 )

20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika,


psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika
profesi.
( Pelanggaran Undang-undang Narkotika Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika ; dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika)

21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau


tindakan kekerasan terhadap pasien ditempat praktik .
[Pelanggaran Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7 huruf
a; dan Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 ( Penjelasan huruf
f)]

22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan


haknya.
(Pelanggaran Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional; dan Kode Etik Kedokteran Gigi
Pasal 4 ( Penjelasan huruf e )

23. Menerima imbalan sebagai hasil dari rujukan atau meminta


pemeriksaan atau memberikan resep obat / alat kesehatan.
[Pelanggaran Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 3; dan
Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf d) dan
Keputusan Muktamar IDI XXIII Nomor 14/MUK XXIII/XII /
97 tentang Promosi Obat, Kosmetika, Alat dan sarana

149
Kesehatan, Makanan, Minuman dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga]

24. Mengiklankan kemampuan / pelayanan atau kelebihan


kemampuan / pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun
tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan.
[Pelanggaran Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 4; dan
Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf h )]

25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat


adiktif lainnya.
[Pelanggaran Undang-undang Narkotika Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika; dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika; dan Undang – Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 29 ayat (3)
huruf c ]

26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Regristrasi


(STR) atau Surat Ijin Praktik (SIP) dan atau serifikat
kompetensi yang tidak sah.
(Pelanggaran Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran Pasal 36 )

27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medis .


[Pelanggaran Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf d; dan Kode Etik
Kedokteran Indonesia Pasal 3; dan Kode Etik Kedokteran
Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf d)]

28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti yang


diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan
pelanggaran disiplin.
[Pelanggaran Perkonsil Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006 Pasal
3 ayat (5) tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan
Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi Oleh MKDKI
dan MKDKI-P]

3.3. Pelanggaran Hukum Administrasi


Pelanggaran hukum administrasi praktik dokter pada dasarnya

adalah pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban hukum administrasi

150
kedokteran. Kewajiban administrasi dokter dapat dibedakan yaitu : (1)

kewajiban administrasi dokter yang berhubungan dengan kewenangan

sebelum dokter berbuat; (2) kewajiban administrasi pada saat dokter

sedang melakukan pelayanan medis. Pelanggaran hukum terhadap

kewajiban administrasi tersebut dapat menjadi malpraktik kedokteran,

apabila setelah pelayanan yang dilakukan oleh dokter menimbulkan

akibat buruk pada pasien.228


Dalam hal kewenangan praktik kedokteran yang menjadi

syarat administrasi untuk dapat melakukan praktik adalah memiliki

Surat Tanda Registrasi (STR) dokter atau dokter gigi yang diterbitkan

oleh Konsil Kedokteran Indonesia (Pasal 29 UU No. 29/2004) dan

memiliki Surat Izin Praktik (Pasal 36 UU No. 29/2004). Surat Izin

Praktik (SIP) yang dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang

berwenang di kabupaten/kota tempat praktik. STR dan SIP berlaku

selama 5 tahun dan setiap 5 tahun di registrasi ulang.


Dalam ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran, ditetapkan ada lima (5) kewajiban

dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran antara

lain229 :
(1). Kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan

standar profesi dan standar prosedur operasional serta

228
Adami Chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, op. cit., hlm 131-132.
229
Adami Chazami, 2007, Malpraktik Kedokteran, op. cit., hlm 137-146.

151
kebutuhan medis pasien. Kewajiban dokter dalam

memberikan pelayanan medis ini harus sesuai dengan standar

profesi, sesuai standar prosedur operasional serta sesuai

dengan kebutuhan medis pasien. Sifat ketiga kewajiban ini

adalah kumulatif.
(2). Kewajiban merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi yang

mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik,

apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau

pengobatan. Pelayanan kesehatan tidak dibenarkan atas dasar

pertimbangan coba-coba atau atas dasar menyepelekan

penyakit. Tidak merujuk pada dokter lain yang lebih ahli

melainkan ditangani sendiri juga melanggar Pasal 11 kode

etik kedokteran, pelanggaran ini berpotensi menjadi

malpraktik kedokteran bila pelayanan medis membawa

kerugian. (Kasus Amran vs dr. Wilopo ) 230


(3). Kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya

tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal

dunia. Dokter adalah subyek hukum yang mempunyai

kepercayaan yang besar dari pasien dan keluarganya, oleh

karena itu pasien atau keluarganya harus mendapatkan

230
Bahar Azwar, 2002, Sang Dokter, Mega Point, Bekasi, hlm 104. Kasus Amran vs Wilopo,
dimana Wilopo dokter ahli bedah pencernaan melakukan operasi tulang Amran yang patah akibat
kecelakaan . Kasus ini merupakan malpraktik pidana sekaligus malpraktik perdata karena dokter tidak
memiliki kompetensi / tidak wewenang melakukan operasi tulang.

152
jaminan bahwa segala sesuatu yang telah disampaikan pada

dokter maupun yang diketahuinya harus dirahasiakan. Hal ini

berarti segala sesuatu yang harus dirahasiakan dokter adalah

apa yang menjadi kewajiban dokter untuk disampaikan pada

pasien. Menyimpan rahasia jabatan atau pekerjaan medik

diatur dalam PP No. 10/1966, UU No. 29/2004 Pasal 51 (c), UU

No. 36/2009 Pasal 57 dan UU no. 44/2009 Pasal 38.


(4). Kewajiban melakukan pertolongan darurat atas dasar

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang

bertugas dan mampu melakukannya. Dalam keadaan darurat

dapat dipandang sebagai kewajiban hukum pada dokter untuk

melakukan pertolongan yang timbul bukan karena kemauan

atau kesepakatan dokter, melainkan karena undang-undang.

Apabila tidak memberikan pertolongan dan akibat fatal

disebabkan langsung oleh karena tidak segera mendapatkan

pertolongan, maka dokter dapat dibebani tanggung jawab

hukum terhadap timbulnya akibat tersebut. Hal ini menurut

pertimbangan ilmu kedokteran, jika segera diberikan

pertolongan maka akibat itu tidak akan terjadi, sehingga tidak

memberikan pertolongan disamakan dengan berbuat salah

karena melanggar kewajiban hukum untuk berbuat.

153
(5). Kewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti

perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Secara

tidak langsung ada hubungannya dengan malpraktik

kedokteran, dimana dokter dapat melakukan kesalahan praktik

karena kurang pengetahuan disamping ceroboh/tidak teliti

maupun kurang hati-hati. Masalah malpraktik kedokteran bisa

saja terjadi karena kurangnya pengetahuan, kurangnya

pemahaman, dan kurangnya pengalaman231, yang dapat diatasi

dengan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti

perkembangan ilmu kedokteran.


Kewajiban yang lain adalah memberikan penjelasan pada

pasien sebelum melakukan tindakan medis. Kewajiban hukum dokter

yang berisiko gugatan atau tuntutan pada dokter jika dilanggar adalah

kewajiban hukum untuk memberikan penjelasan secara lengkap

terhadap pasien sebelum ia memberikan persetujuan terapi terhadap

dirinya ( Pasal 45 ayat (1) UU No.29 Tahun 2004). Kewajiban dokter

ini timbul berdasarkan hak pasien yang tidak dapat diganggu gugat

yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk menentukan apa

yang boleh diperbuat dan tidak boleh terhadap dirinya.


3.4. Pelanggaraan Hukum Perdata

231
Bahder Johan Nasuition, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta,
Reneka Cipta, hlm 40.

154
Pelanggaran hukum perdata dalam malpraktik medis

bersumber pada dua dasar hukum, yaitu : (1) wanprestasi (Pasal 1239

KUHPerdata) dalam hal ini dokter tidak memenuhi kewajibannya yang

timbul dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual); (2)

perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata), dalam hal

dokter telah berbuat melawan hukum karena tindakannya bertentangan

dengan azas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang diharapkan

daripadanya dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat

(tanggungjawab berdasarkan undang-undang).232


3.4.1.Wanprestasi.
Dalam arti harfiah adalah prestasi yang buruk233 yang

pada dasarnya melanggar isi / kesepakatan dalam suatu

perjanjian / kontrak oleh salah satu pihak. Bentuk pelanggaran

dalam wanprestasi sebagai berikut : (a) tidak memberikan

prestasi sama sekali sebagaimana yang diperjanjikan; (b)

memberikan prestasi tidak sebagaimana mestinya, tidak sesuai

kualitas atau kuantitas dengan yang diperjanjikan; (c)

memberikan prestasi tetapi sudah terlambat tidak tepat waktu

sebagaimana yang diperjanjikan; (d) memberikan prestasi yang

lain dari yang diperjanjikan.234

232
Soetrisno, 2010, Malpraktek Mediik & Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Telaga Ilmu, Tangerang, hlm 38.
233
Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, Penerbit PT Intermasa, hlm 45.
234
Adami Chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, op. cit. , hlm 48-49.

155
Dilihat dari transaksi terapeutik yang merupakan

inspanningverbentenis atau usaha maksimal. Kewajiban atau

prestasi dokter yang harus dijalankan pada pasien adalah

perlakukan medis yang sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya

sesuai dengan standar profesi medis dan standar prosedur

operasional serta kebutuhan medis pasien.


Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan baru terjadi bila

telah terpenuhinya unsur-unsur sebagai berikut235 :


1). Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi

berdasarkan kontrak terapeutik;


2). Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan

yang tidak patut yang menyalahi tujuan kontrak

terapeutik;
3). Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter

yang bersangkutan.
Dalam gugatan atas dasar wanprestasi, maka ketiga

unsur tersebut harus dibuktikan unsur pertama dulu yaitu adanya

kontrak terapeutik antara dokter dan pasien, dimana dapat

dilakukan oleh pasien dengan mengajukan rekam medik atau

dengan persetujuan tindakan medik yang diberikan oleh dokter

atau rumah sakit. Unsur kedua, harus dibuktikan dengan adanya

kesalahan atau kelalaian dokter, dengan mengajukan bukti atau

fakta bahwa seorang dokter yang merawatnya tidak melakukan


235
Bahder Johan Nasution , 2005 , Hukum Kesehatan , op. cit., hlm 63.

156
apa yang disanggupinya akan dilakukan dalam kontrak

terapeutik, atau dokter melakukan apa yang diperjanjikan akan

tetapi terlambat, atau dokter yang merawatnya melakukan

sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Unsur

ketiga, harus dibuktikan tindakan dokter diatas tersebut

mempunyai hubungan kausal dengan kerugian yang diderita

pasien.
Adapun wujudnya kerugian akibat wanprestasi hanya

berupa kerugian materiil yang dapat diukur dengan nilai uang,

terutama biaya perawatan, biaya perjalanan dan biaya obat-

obatan. Kerugian ini dapat dituntut oleh pasien atau ahli waris

kepada dokter atau rumah sakit yang melakukan perawatan236.

3.4.2. Perbuatan Melawan Hukum.


Perbuatan melawan hukum dalam praktik kedokteran

terjadi apabila dalam perlakuan medis terdapat kesalahan dengan

menimbulkan akibat kerugian, maka pasien dapat menuntut

berdasarkan perbuatan melawan hukum seperti yang diatur

dalam Pasal 1365 BW yang secara implisit dirumuskan “ tiap

perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada

orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menimbulkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut“.


236
Adami Chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, op. cit. , hlm 53

157
Rumusan kata “ karena salahnya“ dalam ketentu- an Pasal

1365 KUHPerdata dapat berbentuk kesengajaan (dolus) ataupun

berupa kelalaian (culpa) yang dilakukan dokter dalam perlakuan

medis yang salah terhadap pasien. Ada syarat yang harus

dipenuhi untuk menuntut kerugian adanya perbuatan melawan

hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata antara lain sebagai

berikut : (1) adanya perbuatan (daad) yang termasuk kualifikasi

perbuatan melawan hukum; (2) adanya kesalahan (dolus dan

atau culpa); (3) adanya kerugian (schade). Perlakuan yang tidak

benar menjadi suatu pelanggaran perjanjian (wanprestasi) dan

atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dan (4)

adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian237.


Perbuatan dalam pelayanan medis, dokter yang dapat

dipersalahkan pada perbuatanya harus mengandung sifat

melawan hukum. Sifat melawan hukum yang timbul disebabkan

oleh beberapa kemungkinan antara lain : dilanggarnya standar

profesi kedokteran; dilanggarnya standar prosedur operasional;

dilanggarnya hukum, misalnya praktik tanpa STR dan atau SIP;

dilanggarnya kode etik kedokteran; dilanggarnya prinsip-prinsip

umum kedokteran; dilanggarnya kesusilaan umum; tindakan

kedokteran tanpa informed consent, terapi tidak sesuai dengan


237
Munir Fuady, 2005, Perbuatan Melawan Hukum, op. cit. , hlm 73.

158
kebutuhan medis pasien dan terapi tidak sesuai dengan informed

consent dan sebagainya.


Gugatan yang didasarkan kepada perbuatan melawan

hukum harus dibuktikan dengan adanya hubungan kausal antara

kesalahan dan kerugian yang diderita pasien. Ada beberapa teori

dalam perbuatan melawan hukum antara lain teori Schutznorm238

yang mengajarkan agar seseorang dapat dimintakan

tanggungjawabnya karena telah melakukan perbuatan melawan

hukum, maka tidak cukup menunjukkan adanya hubungan kausal

antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul.

Akan tetapi perlu ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang

dilanggar tersebut dibuat memang untuk melindungi terhadap

kepentingan korban yang dilanggar.


Teori Aanprakelijkheid,239 yang menentukan siapakah

yang harus menerima gugatan, karena adanya suatu perbuatan

melawan hukum. Tidak mesti yang harus digugat adalah pihak

yang melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi bisa saja

pihak yang lain yang harus digugat dan

mempertanggungjawabkan atas perbuatan melawan hukum itu.

Memang dalam praktik sedikit sulit untuk membedakan antara

kerugian akibat adanya perbuatan melawan hukum dengan


238
Munir Fuady, 2005, Perbuatan Melawan Hukum , op. cit., hlm 14.
239
Munir Fuady, 2005, Perbuatan Melawan Hukum , op. cit., hlm 16 .

159
kerugian akibat wanprestasi dalam malpraktik kedokteran.

Sementara itu ajaran hukum atau teori hukum baik mengenai

kesalahan maupun mengenai causalitas240 / hubungan sebab

akibat tampaknya oleh sebagian orang juga beragam dan dalam

segi tertentu terkadang sulit dipahami, sehingga keadaan itu

menyebabkan ketidaksamaan penerapan dalam praktik hukum.


Ada doktrin hukum yang dapat diterapkan dalam

hubungan perbuatan melawan hukum dengan terjadinya

kerugian, yaitu Teori Kontribusi (Contributory Negligence),

pemberian ganti rugi dimana korban tidak boleh andil terhadap

terjadinya perbuatan melawan hukum tersebut. Apabila pasien

tidak melakukan kewajibanya dan hal ini merupakan penyebab

dari cideranya, maka pasien dianggap Contributory Negligence

sehingga kompensasinya juga akan dikurangkan secara

proporsional. Apabila cidera itu hanya disebabkan kesalahan

pasien itu sendiri, maka sudah tentu pasien tidak akan menerima

ganti kerugian. Dianggap terdapat Contributory Negligence

apabila241 : pasien tidak mengikuti intruksi dokternya; pasien

menolak cara pengobatan yang diusulkan; pasien tidak

240
Munir Fuady, 2005, Perbuatan Melawan Hukum , op. cit., hlm 113.
241
J. Guwandi, 1993, Tindakan Medik dan tanggungjawab produk Medik , op. cit., hlm 19.

160
sejujurnya memberikan informasi, atau memberikan informasi

yang tidak akurat atau menyesatkan.


3.5. Pelanggaran Hukum Pidana
Meskipun pada dasarnya hubungan pasien dan dokter adalah

hubungan perdata, namun bisa terjadi pelayanan medis dokter diluar

standar profesi dapat masuk keranah hukum pidana, manakala syarat

batin dokter (dolus atau culpa) dan akibat kerugian dari perlakuan

medis yang menyimpang menjadi unsur kejahatan, seperti kematian

(Pasal 359 KUHP) atau luka-luka ( Pasal 360 KUHP). Suatu perbuatan

dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pidana apabila memenuhi

rumusan delik pidana, yaitu perbuatan tersebut harus merupakan

perbuatan yang tercela (actus reus); dilakukan dengan sikap batin yang

salah (mens rea) yaitu berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan

(recklessness) atau kealpaan ( negligence).242


Pelanggaran dokter dapat diklasifikasikan sebagai

perbuatan yang memenuhi aspek hukum pidana apabila memenuhi

syarat-syarat tertentu dalam tiga aspek , yaitu243 :


1. Syarat dalam sikap batin dokter .
Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin sebelum
seseorang berbuat. Sesuatu yang ada dalam alam batin ini dapat
berupa kehendak, pengetahuan, pikiran, perasaan dan apapun yang
melukiskan keadaan batin seseorang sebelum berbuat. Dalam
keadaan normal setiap orang memiliki kemampuan mengarahkan
dan mewujudkan sikap batinnya ke dalam perbuatan-perbuatan.

242
Sofwan Dahlan, 2005, Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, Balai
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang , hlm.59
243
Bambang Tri Bawono , 2011, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan
Malpraktik Profesi Dokter , Jurnal Hukum , Vol XXV , No.1 .

161
Apabila kemampuan mengarahkan dan mewujudkan alam batin ke
dalam perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang, hal itu disebut
kesengajaan. Namun apabila kemampuan berpikir, berperasaan
dan berkehendak itu tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam
melakukan suatu perbuatan yang pada kenyataannya dilarang,
maka sikap batin tersebut dinamakan kelalaian (culpa). Sebelum
melakukan perlakuan medis diwujudkan oleh dokter, ada tiga arah
sikap batin dokter yaitu : a. sikap batin mengenai wujud perbuatan
(terapi) ; b. sikap batin mengenai sifat melawan hukum perbuatan ;
c. sikap batin mengenai akibat dari wujud perbuatan.

2. Syarat dalam perlakuan medis .


Perlakuan medis, yakni wujud dan prosedur serta alat yang
digunakan dalam pemeriksaan untuk memnperoleh data-data
medis, menggunakan data-data medis dalam mendiagnosis, cara
atau prosedur dan wujud serta alat terapi, bahkan termasuk pula
perbuatan-perbuatan dalam perlakukan pasca terapi. Syarat lain
dalam aspek ini adalah kepada siapa perlakuan medis itu diberikan
dokter. Berarti untuk kasus konkrit tertentu kadang diperlukan
syarat lain, misalnya kepatutan dan pembenaran dari sudut logika
umum. Misalnya, salah dalam menarik diagnosis, tetapi perbuatan
itu dapat dibenarkan apabila ada alasan pembenar, misalnya fakta-
fakta medis yang ada dari sudut kepatutan dibenarkan untuk
menarik kesimpulan diagnosis itu.

3. Syarat mengenai hal akibat.


Akibat yang boleh masuk pada lapangan malpraktik kedokteran
harus akibat yang merugikan pihak yang ada hubungan hukum
dengan dokter. Sifat akibat dan letak hukum pengaturannya
menentukan kategori malpraktik kedokteran antara malpraktik
pidana atau perdata. Dari sudut hukum pidana akibat yang
merugikan masuk dalam lapangan pidana apabila jenis kerugian
disebut dalam rumusan kejahatan menjadi unsur tindak pidana
akibat kematian atau luka merupakan unsur dalam ketentuan Pasal
359 dan Pasal 360 KUHPidana dan masuk kategori malpraktik
pidana.

Akan tetapi dapat dipidananya seseorang tidaklah cukup

apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

162
hukum / bersifat melawan hukum, masih diperlukan adanya syarat

yaitu orang tersebut melakukan perbuatan itu memenuhi unsur – unsur

kesalahan, baik itu berupa kesengajaan ataupun kelalaian244.


Dalam pertanggungjawaban pidana tersebut selain adanya

kesalahan, juga harus diperhatikan pula tidak adanya alasan pembenar

atau alasan pemaaf.245 Unsur-unsur kesalahan (schuld) dalam

pengertian pidana246 adalah apabila perbuatan itu :


(1) Bersifat bertentangan dengan hukum (wederrechtelijk)
(2) Akibatnya itu dapat dibayangkan / ada penduga-duga (voorzie-
baarheid)
(3) Akibatnya itu sebenarnya dapat dihindarkan / ada penghati-
hatian (overmijdbaarheid)
(4) Dapat dipertanggungjawabkan / dipersalahkan kepadanya
(verwijt-baarheid)

Ada hal-hal yang mudah dalam pembuktian apabila terjadinya

malpraktik kedokteran yaitu melalui doktrin res ipsa loquitur dalam

bahasa Inggris berarti the thing speaks for it self, yang dalam bahasa

Indonesia terjemahannya adalah “ benda tersebut berbicara “, hanya

berlaku terhadap kasus-kasus perbuatan melawan hukum dalam bentuk

kelalaian (negligence).247 Secara spesifik, kasus-kasus perbuatan

melawan hukum dalam bentuk kelalaian dapat diterapkan UU No. 36

Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan Pasal 84 ayat (1) Setiap Tenaga
244
Hendrojono Soewono, 2007, Batas pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Dokter
dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, Surabaya, hlm 185.
245
Roeslan Saleh, 1968, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Centra,
Jakarta, hlm 97.
246
J.E.Jonkerrs, Handboek van het Neterlandssch Indische, E.J.Brill, Leiden 1946, dalam
Soetrisno, 2010, Malpraktek Medik & Mediasi, op. cit., hlm 21.
247
Munir Fuady, 2005, Perbuatan Melawan Hukum, op.cit., hlm 100.

163
Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan

penerima pelayanan kesehatan luka berat dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan ayat (2) jika kelalaian berat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap

tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun. Doktrin ini merupakan semacam bukti sirkumstansial

(circumstantial evidence) yaitu suatu bukti tentang suatu fakta atau

sejumlah fakta dari fakta-fakta mana suatu kesimpulan yang masuk

akal dapat ditarik. Doktrin ini bertujuan untuk mencapai keadilan,

dimana para korban dari perbuatan melawan hukum dalam kasus-

kasus tertentu sangat sulit untuk membuktikan adanya unsur kelalaian,

apalagi jika aksesnya kepada pelaku, tetapi sulit diakses oleh korban,

karenanya tidak adil jika korban yang harus menanggung sendiri

akibat perbuatan yang sebenarnya merupakan kelalaian dari pihak

lain.248

248
Lihat putusan Mahkamah Agung Nomor 455 K/Pid/2010, Terdakwa dr. Taufik Wahyudi
Mahady, Sp.OG.Bin Dr.Rusli Mahady yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “ karena
kealpaannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga berhalangan melakukan
pekerjaan untuk sementara waktu, yang dilakukan dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjaan”.
Dalam pertimbangan hukum terdakwa dinilai telah melakukan kelalaian ketika operasi caesar karena
pada perut korban tertinggal kain kassa 20 x 10 cm pada bekas operasi lama yang dilakukan terdakwa
dan terdakwa tidak bertanggung jawab dikatakan korban alergi jahitan. Dalam amar putusan MA
Nomor 455 K/Pid/2010 antara lain: Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa /
Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh , Membatalkan putusan PT Banda Aceh Nomor
181/Pid/2009/PT BNA, dan putusan PN Banda Aceh Nomor 109/Pid.B/2009/PN BNA, Menyatakan
terdakwa terbukti bersalah, Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 6
(enam) bulan, dst

164
Tabel 2 : Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran (BPDK) yang terdapat dalam
Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 17/KKI/KEP/VIII/2006
tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran yang dapat
dianalogikan ke dalam pelanggaran pidana.249

Perbuatan Pidana Pelanggaran Disiplin Keterangan

Pasal 267 KUHP: Angka 18 BPDK:


Seorang dokter yang dengan Membuat keterangan
sengaja memberikan surat medis yang tidak
keterangan palsu tentang didasarkan kepada hasil
ada atau tidaknya penyakit, pemeriksaan yang
kelemahan atau cacat, diketahuinya secara
diancam dengan pidana benar dan patut;
penjara paling lama empat
tahun.

Pasal 304 jo 306 KUHP: Angka 16 BPDK:


Barang siapa dengan sengaja Menolak atau
menempatkan atau menghentikan
membiarkan seorang dalam tindakan/asuhan medis
keadaan sengsara, padahal atau tindakan
menurut hukum yang berlaku pengobatan terhadap
baginya atau karena pasien tanpa alasan yang
persetujuan dia wajib layak dan sah sesuai
memberi kehidupan, dengan ketentuan etika
perawatan atau profesi atau peraturan
pemeliharaan kepada orang perundang-undangan yang
itu, diancam dengan pidana berlaku;
penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.

249
M.Arif Setiawan, Sebagai Dosen dalam Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana,
Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

165
Perbuatan Pidana Pelanggaran Disiplin Keterangan

Pasal 338 KUHP: Angka 19 BPDK: Membantu eksekusi


Barang siapa dengan Turut serta dalam mati pelaksanaan
sengaja merampas nyawa perbuatan yang termasuk hukuman pidana saja
orang lain, diancam karena tindakan penyiksaan merupakan pelanggaran
pembunuhan dengan pidana (torture) atau eksekusi disiplin, apalagi
penjara paling lama lima hukuman mati. merampas nyawa orang
belas tahun. lain yang tidak dalam
rangka eksekusi mati.
Pasal 344 KUHP: Angka 12 BPDK:
Barang siapa merampas Melakukan perbuatan
nyawa orang lain atas yang dapat mengakhiri
permintaan orang itu kehidupan pasien atas
sendiri yang jelas dinyatakan permintaan sendiri atau
dengan kesungguhan hati, keluarganya.
diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas
tahun.

Pasal 349 jo 346, 347 dan Angka 11 BPDK:


348 KUHP: Melakukan perbuatan
Jika seorang dokter, bidan yang bertujuan untuk
atau juru obat membantu menghentikan kehamilan
melakukan kejahatan yang tidak sesuai dengan
berdasarkan pasal 346, ketentuan peraturan
ataupun melakukan atau perundang-undangan yang
membantu melakukan salah berlaku.
satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347
dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu
dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat dicabut
hak untuk menjalankan
pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan.

Pasal 359/360 jo 361 Angka 6 BPDK: Penjelasan Resmi

166
Perbuatan Pidana Pelanggaran Disiplin Keterangan

KUHP: Tidak melakukan Angka 6 BPDK:


Barang siapa karena tindakan/asuhan medis Dalam penatalaksanaan
kesalahannya yang memadai pada pasien, dokter dan
(kealpaannya) situasi tertentu yang dapat dokter gigi tidak
menyebabkan orang lain membahayakan pasien. dibenarkan melakukan
mati/luka-luka berat, yang seharusnya tidak
diancam dengan pidana dilakukan atau tidak
penjara paling lama lima melakukan yang
tahun atau pidana kurungan seharusnya dilakukan
paling lama satu sesuai dengan tanggung
tahun/diancam dengan pidana jawab profesionalnya,
penjara paling lama lima tanpa alasan pembenar
tahun atau pidana kurungan atau pemaaf yang sah
paling lama satu tahun. sehingga dapat
membahayakan pasien.

Dokter dan Dokter


Gigi wajib melakukan
penatalaksanaan
pasien dengan teliti,
tepat, hati-hati, etis,
dan penuh kepedulian.
Pasal 512a KUHP: Angka 26 BPDK:
Barang siapa sebagai mata Berpraktik dengan
pencarian, baik khusus menggunakan surat
maupun sebagai sambilan tanda registrasi, surat
menjalankan pekerjaan izin praktik, dan/atau
dokter atau dokter gigi sertifikat kompetensi
dengan tidak mempunyai yang tidak sah atau
surat izin, di dalam keadaan berpraktik tanpa
yang tidak memaksa, memiliki surat izin
diancam dengan pidana praktik sesuai dengan
kurungan paling lama dua ketentuan peraturan
bulan atau pidana denda perundang-undangan yang
setinggi-tingginya seratus berlaku.
lima puluh ribu rupiah.

167
Perbuatan Pidana Pelanggaran Disiplin Keterangan

Pasal 531 KUHP: Angka 15 BPDK:


Barang siapa ketika Tidak melakukan
menyaksikan bahwa ada pertolongan darurat atas
orang yang sedang dasar perikemanusiaan,
menghadapi maut tidak padahal tidak
memberi pertolongan yang membahayakan dirinya,
dapat diberikan padanya kecuali bila ia yakin ada
tanpa selayaknya orang lain yang bertugas
menimbulkan bahaya bagi dan mampu
dirinya atau orang lain, melakukannya.
diancam, jika kemudian
orang itu meninggal, dengan
pidana kurungan paling lama
tiga bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.

Pasal 193 UU Kesehatan : Angka 7 BPDK:


Setiap orang yang dengan Melakukan pemeriksaan
sengaja melakukan bedah dan pengobatan berlebihan
plastik dan rekonstruksi yang tidak sesuai dengan
untuk tujuan mengubah kebutuhan medis.
identitas seseorang
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 diancam
dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).

168
Perbuatan Pidana Pelanggaran Disiplin Keterangan

Pasal 75 UUPK :
(1) Setiap dokter atau dokter
gigi yang dengan sengaja
melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki
surat tanda registrasi
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1)
dipidana dengan pidana Angka 26 BPDK :
penjara paling lama 3 (tiga) Berpraktik dengan
tahun atau denda paling menggunakan surat
banyak Rp100.000.000,00 tanda registrasi, surat
(seratus juta rupiah). izin praktik, dan/atau
sertifikat kompetensi
Pasal 76 UUPK : yang tidak sah atau
Setiap dokter atau dokter gigi berpraktik tanpa
yang dengan sengaja memiliki surat izin
melakukan praktik praktik sesuai dengan
kedokteran tanpa memiliki ketentuan peraturan
surat izin praktik perundang-undangan yang
sebagaimana dimaksud berlaku.
dalam Pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).

169
Pasal 79 UUPK
Dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling
banyak Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah),
setiap dokter atau dokter gigi
yang:

a. dengan sengaja tidak Tidak termasuk


memasang papan nama perbuatan pidana yang
sebagaimana dimaksud berhubungan langsung
dalam Pasal 41 ayat (1); dengan pelayanan
kedokteran (yang dapat
b. dengan sengaja tidak Angka 10 BPDK : menimbulkan kerugian
membuat rekam medis Tidak membuat atau perdata bagi pasien)
sebagaimana dimaksud tidak menyimpan sehingga tidak relevan
dalam Pasal 46 ayat (1); rekam medis dengan dengan JR UUPK.
atau sengaja;

c. dengan sengaja tidak


memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud
dalam:
Pasal 51 huruf a
Angka 1 BPDK :
(memberikan pelayanan
Melakukan Praktik
medis sesuai dengan
Kedokteran dengan
standar profesi dan
tidak kompeten.
standar prosedur
Angka 7 BPDK :
operasional serta
Melakukan pemeriksaan
kebutuhan medis pasien).
atau pengobatan
berlebihan yang tidak
sesuai dengan
kebutuhan pasien.
Pasal 51 huruf b (merujuk
Angka 2 BPDK :
pasien ke dokter atau
Tidak merujuk pasien
dokter gigi lain yang
kepada Dokter atau
mempunyai keahlian atau
Dokter Gigi lain yang
kemampuan yang lebih
memiliki kompetensi
baik, apabila tidak mampu
yang sesuai.

170
BAB III
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS DAN
SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Medis di Indonesia

Penyelesaian sengketa medik antara dokter dan pasien yang sering

digunakan oleh pasien atau keluarganya selama ini yaitu melalui jalur :

1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Medis Melalui MKEK

MKEK merupakan badan khusus yang dibentuk berdasarkan pasal 16

AD/ART organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Apabila dokter

yang diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran, maka akan di panggil

dan di sidang oleh MKEK. Selama dokter masih bergerak dalam batas-batas

lingkungan etik yang pada hakekatnya merupakan suatu ketentuan atau

tuntunan perilaku untuk dirinya sendiri (self imposed regulation) suatu

kewajiban yang dibebankan kepada dirinya sendiri, maka ketentuan etik

tersebut melengkapi pada aturan atau ketentuan hukum. Persidangan MKEK

171
bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap

aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai

penuntut, secara formil tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana

lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun hukum perdata, namun

demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-

ketentuan pembuktian yang lazim. Persidangan bersifat tertutup, hanya

dihadiri oleh yang mendapatkan undangan tertulis, dan dalam pemeriksaan

terhadap anggota IDI, Badan Pembela Anggota (BPA) wajib mengirimkan

wakilnya guna mengikuti sidang sejak permulaan kecuali tidak disetujui oleh

anggota yang bersangkutan. Penggolongan kasus menurut pelanggaran

dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :


a. Akibat tindakan tersebut terhadap kehormatan profesi;
b. Akibat tindakan tersebut bagi kebaikan pasien;
c. Akibat tindakan tersebut bagi kepentingan umum;
d. Faktor luar termasuk faktor pasien yang ikut mendorong terjadinya

pelanggaran;
e. Tujuan yang ingin dicapai oleh pelaku.
MKEK harus dapat memutuskan salah tidaknya yang bersangkutan

pada setiap tuduhan pelanggaran etik, dan keputusan diambil secara mufakat

atau berdasarkan suara terbanyak. Sanksi yang dapat dijatuhkan adalah

teguran tertulis, skorsing sementara dari keanggotaan, pemecatan

keanggotaan, serta pencabutan rokemendasi ijin praktik selama-lamanya

3(tiga) tahun. Apabila terjadi ketidakpuasan pelapor maupun terlapor dapat

172
mengajukan banding kepada MKEK Pusat, dan keputusan MKEK Pusat

bersifat final dan mengikat.250


Menurut Jimmly Asshiddiqie251, lembaga penegak kode etik belum

dapat dikaitkan dengan fungsi quasi pengadilan. Cara kerja MKEK sama

sekali tidak berhubungan dengan ide pengadilan dan MKEK berada dalam

ranah sistem etika.


2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Medis Melalui MKDKI

MKDKI merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran

Indonesia (KKI) yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.

Ketentuan ini tersurat dalam Pasal 55 UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang

Praktik Kedokteran yang menyebutkan sebagai berikut :


1. Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia.
2. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan
lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia.
3. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam
menjalankan tugasnya bersifat independen.

Dalam menjalankan tugas sebagai peradilan disiplin, MKDKI

mempunyai pedoman dan tata cara penanganan kasus dugaan pelanggaran

disiplin252, dengan adanya pedoman dan tata cara penanganan kasus dapat

diklasifikasikan sebagai Hukum Acara Pemeriksaan (HAP)253, yang

250
Pedoman organisasi dan tatalaksana kerja MKEK, PB IDI, 2008.
251
https : // id.wikipedia.org/wiki/pengadilan khusus, diakses tanggal 5- 4 - 2016, jam 12 30
wib, Jimlly Asshidiqie, hlm 15.
252
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 16/KKI/PER/VIII/2006.
253
Widodo Tresno Novianto, Alternaif Model Penyelesaian Sengketa Medik di Luar
Pengadilan Melalui Lembaga Penyelesaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan, 2014, hlm 69.

173
didalamnya berisikan prosedur, tata cara pemeriksaan, pemeriksaan alat bukti,

saksi, keterangan ahli, format dan amar putusan. Adanya wewenang untuk

menyeleksi kasus dugaan sengketa medis yang mirip (dismissal procedure

dalam Peradilan Tata Usaha Negara) memeriksa pengaduan yang masuk untuk

diseleksi sebagai pelanggaran etik atau bukan, pelanggaran pidana atau

perdata atau administrasi merupakan sifat otonom yang seperti layaknya

dimiliki oleh sebuah Peradilan Umum254.

Pemeriksaan dokter dan dokter gigi yang diadukan dilakukan dalam

bentuk Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin (Pasal 13 ayat 1) yang dipimpin

oleh Ketua Majelis Pemeriksa Disiplin dan didampingi oleh anggota Majelis

Pemeriksa Disiplin dan seorang panitera yang ditetapkan oleh Ketua MKDKI.

Sidang dilakukan secara tertutup (Pasal 15) dan dihadiri oleh dokter atau

dokter gigi yang diadukan, dan dapat didampingi oleh pendamping (Pasal 14).

Jika dalam pemeriksaan teradu diperlukan keterangan saksi dan

keterangan saksi dapat dianggap sebagai alat bukti, apabila keterangan itu

berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar sendiri. Adapun

saksi yang tidak boleh didengar kesaksiaannya antara lain : (1) keluarga

sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus keatas atau kebawah

sampai derajat kedua dari dokter atau dokter gigi yang diadukan; (2) isteri

atau suami dokter atau dokter gigi yang diadukan, meskipun sudah bercerai;

254
ibid

174
orang yang belum dewasa (minderjerigheid) yaitu sebagaimana diatur dalam

kitab undang-undang Hukum Perdata, kecuali keterangannya bersesuaian

dengan alat bukti sah lainnya; (3) orang yang dibawah pengampuan (kuratel).

Dalam pemeriksaan keterangan saksi ahli adalah pendapat yang disampaikan

oleh orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan khusus dan

dikemukakan dihadapan Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin (Pasal 26).

Demikian juga dalam hal pengakuan teradu (dokter) dianggap sebagai alat

bukti apabila pengakuan teradu yang diberikan berupa hal yang dialami dan

dilihat sendiri dan harus dilakukan dihadapan Sidang Majelis Pemeriksa

Disiplin (Pasal 25).

Apabila proses pemeriksaan sudah selesai dan dianggap cukup,

dokter atau dokter gigi yang diadukan atau pembelanya harus diberi

kesempatan untuk mengemukakan pendapat akhir yang berupa kesimpulan

akhir. Sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis

Pemeriksa Disiplin untuk melakukan musyawarah pengambilan keputusan.

Keputusan pemberian sanksi disiplin terhadap dokter/teradu yang

dinilai melanggar/bersalah dapat berupa :

a. Pemberian peringatan tertulis;

b. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Regristrasi atau Surat Izin

Praktik;

175
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan

kedokteran atau kedokteran gigi.

Putusan Majelis Pemeriksa Disiplin dalam kurun waktu 14 (empat

belas) hari kerja harus disampaikan kepada ketua MKDKI dan dalam waktu

14 (empat belas) hari kerja, ketua MKDKI harus menyampaikan Keputusan

Majelis Pemeriksa Disiplin kepada pihak-pihak terkait antara lain :

a. Tentang tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran disiplin


kedokteran disampaikan kepada dokter atau dokter gigi yang
bersangkutan (Pasal 34)
b. Tentang penolakan pengaduan karena diketemukan pelanggaran etika,
sehingga pengaduannya diteruskan kepada organisasi profesi yang
bersangkutan (Pasal 68 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran)
a. Tentang sanksi disiplin peringatan tertulis disampaikan kepada
dokter atau dokter gigi yang bersangkutan
b. Tentang sanksi disiplin rekomendasi pencabutan STR disampaikan
kepada Konsil Kedokteran Indonesia untuk dilaksanakan selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dan hari
diterimanya keputusan (Pasal 37)
c. Tentang sanksi disiplin rekomendasi pencabutan Surat Izin Praktik
(SIP) disampaikan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat
Surat Izin Praktik (SIP) tersebut diterbitkan untuk dilaksanakan
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dan hari
diterimanya keputusan tersebut (Pasal 38)
d. Tentang sanksi disiplin mengikuti pendidikan atau perlatihan
disampaikan kepada KKI untuk dilaksanakan selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja sejak hari dan tanggal diterimanya keputusan
tersebut (Pasal 39) dan diteruskan/disampaikan kepada kolegium dan
Institusi pendidikan yang berkompetensi.

176
Menurut Jimmly Asshiddiqie255, MKDKI berfungsi sebagai

pengadilan meskipun tidak termasuk ranah kekuasaan kehakiman. Prosedur

kerjanya juga melakukan pemeriksaan persidangan dan lain-lain seperti

halnya pengadilan serta MKDKI masuk ke dalam ranah sistem hukum.


3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Medis Melalui Pengadilan

Jalur penyelesaian sengketa medik melalui pengadilan tersurat dari

ketentuan Pasal 66 ayat (3) UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran sebagai berikut : “ Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan

adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan / atau

menggugat kerugian perdata ke pengadilan”.

3.1. Pidana

Dasar hukum yang dipakai untuk prosedur penyelesaian

sengketa melalui peradilan pidana adalah Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP). Penyelesaian melalui peradilan pidana melewati beberapa

tahapan:
1. Laporan
Laporan adalah suatu pemberitahuan yang disampaikan oleh
seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-
undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (KUHAP

255
https : // id.wikipedia.org/wiki/pengadilan khusus, diakses tanggal 5- 4 - 2016, jam 12 30
wib, Jimlly Asshidiqie, hlm 15.

177
Pasal 1 butir 21). Pada proses ini laporan dapat dilakukan secara
tertulis dan atau lisan, yaitu laporan dari pasien / keluarganya /
korban ( pasal 108 ayat 6 KUHAP).
Selanjutnya dilakukan penyelidikan yang diartikan rangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang.
2. Tahap penyidikan
Pemeriksaan tersangka dilakukan oleh penyidik, dan dibuatkan
berita acara pemeriksaan (BAP, Pasal 75 KUHAP) setelah
berkas selesai dikirim kepada Penuntut Umum.
3. Tahap Penuntutan
Setelah BAP dipelajari oleh Penuntut Umum dan dinyatakan
berkas telah lengkap (P 21), maka selanjutnya berkas di kirim ke
Panitera Pengadilan Negeri.
4. Tahap Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan Negeri
Setelah diterima berkas dan dakwaan JPU, Pengadilan
menetapkan Hakim dan hari sidang. Pemeriksaan dilakukan
secara terbuka untuk umum, pemeriksaan dilakukan pada
terdakwa, saksi-saksi yang diajukan baik oleh JPU maupun
Pembela. Selanjutnya jika pemeriksaan sudah dianggap selesai
maka Hakim memberikan Keputusan.
Apabila terdakwa dan atau Jaksa Penuntut Umum tidak setuju
dengan Putusan Hakim, maka dapat mengajukan upaya hukum
yang berupa Banding (Pengadilan Tinggi), Kasasi (Mahkamah
Agung) dan Peninjauan Kembali (PK Mahkamah Agung)

3.2. Perdata

Dasar pengajuan tuntutan secara perdata diatur dalam Pasal 58

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai

berikut:

1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang


tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterimanya.

178
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat.
3. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Prosedur pengajuan gugatan melalui peradilan perdata

disampaikan oleh pasien / keluarga / kuasa hukumnya ke Pengadilan

Negeri disertai dengan surat gugatan penggugat. Dalam sidang

pemeriksaan di Pengadilan Negeri maka urut-urutan yang lazim dalam

perkara perdata sebagai berikut :


1. Gugatan penggugat
2. Jawaban tergugat, (mungkin disetai gugatan rekonvensi)
3. Replik penggugat konvensi / jawaban dalam rekonvensi
4. Duplik tergugat konvensi / replik penggugat rekonvensi
5. Duplik tergugat rekonvensi
6. Pemeriksaan saksi dan alat bukti lainnya dari penggugat
7. Pemeriksaan saksi dan alat bukti lainnya dari tergugat
8. Konklusi ( kersimpulan ) penggugat
9. Konklusi (kesimpulan) tergugat
10. Konklusi lanjutan ( penjelasan lebih lanjut gugatan &
replik)
11. Konklusi lanjutan ( penjelasan lebih lanjut jawaban &
duplik)
12. Putusan Hakim
a.Gugatan dikabulkan
b.Gugatan ditolak
c.Gugatan dikabulkan sebagian, sebagian ditolak
13. Pelaksanaan Putusan Hakim ( Eksekusi )

Terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri, maka penggugat /

tergugat dapat melakukan upaya hukum. Upaya hukum tersebut berupa

179
Banding (Pengadilan Tinggi), Kasasi dan Peninjauan Kembali

(Makamah Agung).

Penyelesaian sengketa medis baik melalui peradilan pidana

maupun perdata tersebut diatas adalah menggunakan perangkat hukum

umum dan sangat mungkin para hakimnya belum memiliki pengetahuan

tentang dunia medis atau kedokteran. Sedangkan menurut Bambang

Poernomo, bahwa muatan hukum kesehatan dapat digolongkan dalam


256
bentuk Lex Specialis. Jimmly Asshiddiqie berpendapat jenis-jenis

perkara yang bersifat spesifik, yang penanganannya memerlukan

pendekatan yang berbeda dari perkara hukum pada umumnya, atau yang

hakimnya memerlukan keahlian-keahlian yang bersifat khusus sehingga

tidak perlu semuanya berasal dari sarjana hukum lulusan fakultas hukum

pada umumnya, dipandang lebih efektif dan efisien jikalau ditangani

oleh pengadilan khusus.

B. Sistem Peradilan di Indonesia Dengan Hakim Ad Hoc

Sampai sekarang, masyarakat masih memandang kehadiran dan

keberadaan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tetap dibutuhkan

dalam negara hukum karena peranannya sebagai katup penekan atau pressure

valve atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat dan pelanggaran


256
https : // id.wikipedia.org/wiki/pengadilan khusus, diakses tanggal 5- 4 - 2016, jam 12 30
wib, Jimlly Asshidiqie, hlm 10.

180
umum. Peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai the last resort, yakni

sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga peradilan

masih tetap diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran

dan keadilan (to enforce the truth and enforce justice)257.

Salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan

tatanan di dalam masyarakat adalah penegakkan hukum atau peradilan yang

bebas dan mandiri, adil dan konsisten dalam menerapkan peraturan hukum yang

ada dan dalam menghadapi pelanggaran hukum oleh suatu badan mandiri yaitu

pengadilan yang tunduk pada suatu sistem peradilan258. Sistem Peradilan

Indonesia dapat diartikan sebagai suatu susunan yang teratur dan saling

berhubungan, yang berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan dan pemutusan

perkara yang dilakukan oleh pengadilan, baik itu pengadilan yang berada di

lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer maupun

peradilan tata usaha negara yang berlaku di Indonesia.259

Melihat masyarakat belum puas dengan hasil pemeriksaan terhadap

dokter berpedoman etika dan disiplin kedokteran yang diduga malpraktik, serta

257
Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 237.
258
Widodo Tresno Novianto, op cit, hlm 91.
259
Sudiko Mertokusumo, Sistem Peradlan di Indonesia, http://sudiknoartikel.blogspot. Com /
2008/03/sistem-peradilan-di-indonesia,html diakses tanggal 29 April 2014 . Eksistensi Sistem
peradilan di Indonesia dipengaruhi oleh 3 (tiga) sistem hukum yaitu : (1) Sistem hukum barat , yang
merupakan warisan Belanda yang mempunyai sifat individulistik, yang masih bannyak berlaku
diantaranya KUHPerdata, KUHP dan lain-lainnya,; (2) Sistem Hukum Adat , yang bersifat komunal
dan cermin kepribadian suatu bangsa ; (3) Sistem Hukum Islam, sifatnya religius dan sudah lama
diterima oleh bangsa Indonesia.

181
melihat para dokter atau IDI juga belum puas pada hasil sidang peradilan umum

para dokter yang diduga malpaktik, penulis berfikir apakah di dalam sistem

peradilan di Indonesia memungkinkan dibentuk peradilan khusus untuk profesi

kedokteran ke dalam peradilan umum. Untuk melihat kemungkinan tersebut

penulis akan mencoba mempelajari regulasi sistem peradilan yang ada di

Indonesia. Mengawali penelaahan tersebut dengan melihat tugas inti negara,

tugas inti negara menurut Samudra Wibawa260 adalah : (1) melindungi penduduk

dari serangan luar dan gangguan internal; (2) menjamin tingkat kehidupan

minimal penduduk; (3) melakukan peradilan atas sengketa di antara penduduk.

Salah satu tugas inti negara adalah melakukan peradilan atas sengketa di

antara penduduk, Indonesia sebagai sebuah negara juga melaksanakan tugas inti

tersebut, hal ini terbukti dari ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945. Dalam

UUD 1945 ini hal-hal yang terkait dengan tugas inti negara harus melakukan

peradilan atas sengketa di antara penduduk diatur dalam Bab I Bentuk dan

Kedaulatan, Pasal 1 ayat (3) negara Indonesia adalah negara hukum.

Dikalangan ahli hukum perihal kharakteristik negara hukum ini terdapat

berbagai pendapat. Salah satu pendapat yang dikutip di sini perihal ciri-ciri

negara hukum menurut JBJM Ten Berge sebagimana dikutip oleh Ridwan HR261

ada lima : (1) azas legalitas dalam arti pembatasan kebebasan warga negara (oleh

pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan


260
Samudra Wibawa, Negara-negara Di Nusantara, loc. cit.
261
JBJM Ten Berge, Dikutip dari Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, loc. cit.

182
peraturan umum; (2) perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia; (3)

pemerintah terikat pada hukum; (4) monopoli paksaan oleh pemerintah untuk

menjamin tegaknya hukum; (5) pengawasan oleh hakim yang merdeka.

Pengawasan oleh hakim yang merdeka, secara kelembagaan pengawasan hakim

ini di Indonesia berada dalam kewenangan Makamah Agung (MA) dan

Makamah Konstitusi (MK). Adapun dasar dari pernyataan ini adalah ketentuan

dalam UUD 1945.

UUD 1945 Bab IX mengatur perihal kekuasaan kehakiman. Menurut

Pasal 24 UUD 1945 yang terdiri dari tiga ayat menyatakan bahwa : (1)

kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; (2)

kekuasaan dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan

oleh sebuah Makamah Konstitusi; (3) badan-badan lain yang tugasnya berkaitan

dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Undang-undang yang dibuat karena perintah dari Pasal 24 UUD 1945

adalah UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang

ini menggantikan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, karena

tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan

menurut UUD Negara Republik Indonesia 1945. Undang-undang No. 4 Tahun

183
2004 adalah menggantikan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang yang terakhir ini telah

mengalami perubahan, yakni dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan

atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman.

Menurut UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 18 kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya. Disamping itu kekuasaan kehakiman juga dilakukan oleh sebuah

Makamah Konstitusi. Pasal 25 ayat (1) badan peradilan yang berada di bawah

Makamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,

peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.

Pasal 27 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 memungkinkan bahwa dalam

tiap-tiap badan peradilan dapat dibentuk peradilan khusus. Hal tersebut

sebagaimana dinyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam

salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 yang

diatur dengan undang-undang. Penjelasan dari Pasal 27 ayat (1) menyatakan

’’yang dimaksud dengan pengadilan khusus dalam ketentuan ini antara lain

adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak azasi manusia,

pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada

dilingkungan peradilan umum, dan peradilan pajak yang berada di lingkungan

peradilan tata usaha negara’’.

184
Kalau dicermati penggunaan kata ’’antara lain’’ ini menujukkan bahwa

peradilan khusus sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1)

tersebut dapat dimaknai bahwa dimungkinkan adanya pengadilan lain di luar

yang disebut di atas. Sebagai pendukung pernyataan tersebut adalah adanya

pengadilan perikanan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun

2004 tentang Perikanan. Bukan tidak mungkin bahwa dikemudian hari akan

dibentuk peradilan khusus yang lain kalau memang diperlukan. Hanya salah

satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah bahwa peradilan tersebut

keberadaanya harus berdasarkan ketentuan Undang-undang dalam arti formal

yaitu produk hukum yang dibuat oleh DPR dengan persetujuan Presiden.

Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan kehakiman menurut Pasal 1

Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diartikan

sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan.

Penyelenggaraan peradilan berguna untuk menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Salah satu kekuasaan kehakiman yang berada di bawah kekuasaan

Makamah Agung adalah peradilan umum. Peradilan ini diatur oleh Undang-

undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam perjalanan waktu

Undang-undang ini telah mengalami dua kali perubahan yaitu dengan Undang-

undang No. 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang No. 2 Tahun

185
1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-undang No. 49 Tahun 2009 tentang

Perubahan ke Dua atas Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan

Umum.

Menurut Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan

atas Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum memberi

pengertian bahwa peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Dalam penjelasan Pasal

2 tersebut dikatakan bahwa di samping peradilan umum yang berlaku bagi rakyat

pencari keadilan pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana, pelaku

kekuasaan kehakiman lain yang merupakan peradilan khusus bagi golongan

rakyat tertentu yaitu peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha

negara. Sedang yang dimaksud dengan “rakyat pencari keadilan” adalah setiap

orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan

pada pengadilan di Indonesia.

Undang-undang No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dalam Pasal 8 ayat

(1) dinyatakan bahwa di lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan

khusus yang diatur dengan undang-undang. Ayat (2) menyatakan bahwa pada

pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili,

dan memutus perkara yang membutuhkan keahlihan dan pengalaman dalam

bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Lebih lanjut ayat (3)

186
menyatakan bahwa ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan

pemberhentian serta tunjangan hakim ad hoc diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

Hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang

membutuhkan keahlihan dan pengalaman dalam bidang tertentu, dapat dimaknai

bahwa misalnya dalam kasus sengketa medis antara dokter dengan pasien dan

atau keluarga, hakim ad hoc tersebut bisa diangkat dari dokter yang mempunyai

tambahan pengetahuan tentang hukum atau sarjana hukum yang mempunyai

tambahan pengetahuan tentang kedokteran. Hakim ad hoc diangkat dalam jangka

waktu tertentu, pada penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-undang No. 49 Tahun

2009 tentang Peradilan Umum bersifat sementara sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Sehubungan dengan kemungkinan diadakannya pembentukan

pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum dan pengangkatan hakim

ad hoc ini Pasal 1 Undang-undang No. 49 Tahun 2009 memberikan pengertian

atas keduanya. Pasal (1) angka 5 Undang-undang tersebut memberikan

pengertian pengadilan khusus yaitu pengadilan yang mempunyai kewenangan

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat

dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah

Makamah Agung yang diatur dalam Undang-undang.

187
Adapun hakim ad hoc menurut Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 49

Tahun 2009, adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan

pengalaman pada bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam Undang-undang.

Di atas dikemukaan bahwa peradilan umum adalah salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Pernyataan

tersebut sesungguhnya memiliki relevansi manakala dihubungkan dengan jasa

pelayanan kesehatan yang diberikan oleh profesi kedokteran terhadap pasien.

Apalagi kesehatan yang menjadi hak warga adalah merupakan bagian dari

tujuan yang ingin diraih dalam negara kesejahteraan (welfarestate) Negara

Kesatuan Republik Indonesia sendiri.

Sebagaimana diketahui bahwa profesi dokter sudah mendapatkan

pengaturan dalam sistem hukum di Indonesia. Pengaturan tersebut terdapat

dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam

Undang-undang ini diatur beberapa hal yang berhubungan dengan pelayanan jasa

kesehatan yang dilakukan oleh dokter. Selain itu juga diatur perihal beberapa

persyaratan bagi dokter untuk dapat melakukan pelayanan kesehatan, kewajiban

dan hak-hak dokter maupun pasien, serta administratif maupun pidana yang

dapat dijatuhkan atas pelanggaran yang dilakukan oleh profesi dokter.

Kewajiban dan hak dokter atau dokter gigi demikian juga kewajiban dan

hak pasien sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004

188
tentang Praktik Kedokteran tersebut merupakan kebijakan yang menginginkan

hubungan yang ideal (das sollen) antara dokter atau dokter gigi dan pasien.

Dalam tataran implementasi kebijakan dapat terjadi keadaan yang senyatanya

(das sein) berbeda dengan yang di idealkan. Kewajiban yang dibebankan baik

kepada dokter atau dokter gigi maupun pasien tidak dilaksanakan, atau hak-hak

yang dijanjikan oleh Undang-undang tidak dipenuhi oleh pihak-pihak. Hal yang

demikian dapat menimbulkan sengketa hukum antara dokter dengan pasien.

Sehubungan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter atau

dokter gigi diperlukan kualifikasi tertentu, diatur dalam kode etik dan disiplin

kedokteran serta peraturan perundang-undangan, ini memungkinkan

penyelesaian sengketa dokter atau dokter gigi dengan pasien untuk diselesaikan

oleh pengadilan khusus di salah satu lingkungan peradilan di bawah Makamah

Agung, khususnya peradilan umum.

Menurut Luhut M. P. Pangaribuan,262 hakim ad hoc secara resmi telah

masuk dalam pengadilan pidana Indonesia yang dimulai dari Pengadilan Tata

Usaha Negara (PTUN). Secara historis, bentuk hakim ad hoc adalah partisipasi

dari luar pengadilan ikut duduk sebagai hakim bersama-sama hakim karir untuk

tujuan khusus (a special purpose). Hakim ad hoc diadakan dalam PTUN ide

awalnya adalah karena faktor perlunya keahlian dalam majelis hakim ketika

menggali perkara. Kebutuhan akan keahlian dalam majelis hakim itu tidak cukup
262
Luhut M.P. Pangaribuan,2016, Hukum Acara Pidana Dan Hakim Ad Hoc, Papas Sinar
Sinanti, Jakarta, hlm 398-400.

189
dapat diharapkan dari hakim karir. Dalam mendapatkan ‘’hakim ideal’’ dalam

pengadilan PTUN yang akan datang bukan berasal dari hakim yang sudah ada di

up-grading dengan misalnya akan diberikan pendidikan spesialisasi melainkan

akan direkrut dari luar yang sudah spesialis.

Dalam draft rancangan undang-undang tentang pembentukan PTUN,

syarat-syarat untuk menjadi hakim pengadilan tata usaha negara nantinya di

rumuskan sebagai berikut : (a) seorang sarjana hukum ahli dalam hukum tata

negara sebagai tambahan keahlian khusus, (b) bukan sarjana hukum, ahli hukum

tata negara, (c) bukan sarjana hukum dan tidak ahli hukum tata usaha negara,

tetapi ahli dalam salah satu atau beberapa cabang atau bidang seperti masalah

perpajakan, masalah agraria, masalah kepegawaian, (d) seseorang, karena

pengalamannya dalam tata usaha negara.263 Herman Sihombing menyimpulkan

bahwa dalam hal inilah spesialisasi dalam urusan atau perkara dalam PTUN

sekalipun hal ini tidak akan membentuk kamar khusus atau tersendiri dalam

PTUN namun akan lebih baik jalannya jika arah spesialisasi itu diperhitungkan

dalam pembentukan PTUN.264

Setelah susunan hakim yang dianggap ideal itu, masih ada persoalan

lain yang dibicarakan yakni apakah hakim yang diangkat dari luar itu akan

dianggap sama dengan hakim biasa dan termasuk rechterlijk macth atau
263
Herman Sihombing, Dalam rancangan akademik Undang-undang tentang Susunan,
Kekuasaan (wewenang) dan Hukum Acara PeradilanTata Usaha Negara Republik Indonesia, dikutip
dari Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Dan Hakim Ad Hoc, Cetakan Pertama (Jakarta :
Papas Sinar Sinanti, 2016), hlm 400.
264
ibid

190
kekuasaan kehakiman sehingga mengenai pengangkatan, pemberhentian, sumpah

dan lain sebagainya harus tunduk pada peraturan yang sama seperti berlaku

untuk hakim yang sama.265 Mengenai hal yang terakhir ini, Rochmad Soemitro

memberikan pendapat bahwa karena wewenangnya sama yaitu recht spreken atau

mengadili perkara, hanya saja dalam bidang yang berlainan, kami condong untuk

memasukkan hakim administrasi dalam rechterlijk macht atau kekuasaan

kehakiman.266

Akhirnya konsep hakim ad hoc yang diterima bukan dalam bentuk yang

juga berkembang dalam pembahasan rancangan akademik yakni partisipasi

kepentingn. Bentuk hakim ad hoc yang akan diadakan dalam undang-undang

adalah dengan konsep semata-mata berdasarkan keperluan keahlian, yang berke-

dudukan sebagai hakim bukan saksi ahli. Disebutkan sebagai pertimbanganya

bahwa “dalam praktik sehari-hari dalam peradilan umum, keperluan adanya

keahlian tertentu biasanya diatasi dengan cara menunjuk saksi ahli yang sifat

keterangannya tidak mengikat, sedangkan kalau keahlian itu diberikan dalam

bentuk hakim ad hoc mempunyai sifat menentukan”.267 Kemudian dalam

penjelasan umum butir 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan bahwa “dalam hal

265
Rochmat Soemitro, Naskah Singkat Tentang Peradilan Administrasi Di Indonesia, dikutip
dari Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Dan Hakim Ad Hoc, Cetakan Pertama (Jakarta :
Papas Sinar Sinanti, 2016), hlm 401.
266
ibid
267
Fatimah Achyar, Kata Pengantar, Selintas Tentang Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara, Jakarta, Makamah Agung Reublik Indonesia Direktur Tata Usaha Negara.

191
Pengadilan mengadili sengketa tertentu yang memerlukan keahlian khusus, maka

Ketua Pengadilan dapat mengangkat seorang dari luar Pengadilan sebagai Hakim

Ad Hoc dalam Majelis Hakim yang akan mengadili sengketa dimaksud”. Dengan

demikian tekanannya pada adanya keperluan keahlian tetapi penilaiannya dan

susunannya apakah mayoritas atau tidak diserahkan pada diskresi Ketua

Pengadilan.268

Dalam Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1986 (sekarang telah diubah

dengan Undang-Undang nomor. 9 tahun 2004) tentang Pengadilan Tata Usaha

Negara ditentukan bahwa perkara tata usaha negara memerlukan ‘”keahlian

khusus” ketua pengadilan dapat menunjuk seorang hakin ad hoc sebagai anggota

majelis.269 Ditentukan Syarat, untuk menjadi hakim ad hoc adalah sama dengan

untuk menjadi hakim karir (sesuai Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang nomor. 5

Tahun 1986), kecuali tidak harus : (1) pegawai negeri, (2) sarjana hukum. 270 Dari

ketentuan ini dapat dicatat bahwa kebutuhan akan keahlian sebagaimana

dimaksudkan undang-undang tetap tidak berarti apapun dari sudut pandang

kelembagaan pengadilan dalam memberikan keadilan. Sebab suatu keahlian

(keterangan ahli) dalam hukum acara adalah alat bukti yang setiap saat dapat

didengarkan manakala diperlukan pengadilan. Memang alat bukti tidak mengikat

sementara kedudukan sebagai anggota majelis pendapatnya mengikat. Namun

268
Luhut M.P. Pangaribuan, op. cit., hlm 402.
269
Pasal 135 ayat (1) Undang –Undang no. 5 tahun 1986.
270
Pasal 14 ayat (1) Undang –Undang no. 5 tahun 1986.

192
keberadaannya tergantung pada diskresi termasuk jumlahnya maka tetap tidak

ada perbedaan hakim ad hoc itu dengan ahli sebagai alat bukti.271

Dalam pengadilan Pajak yang sekarang sudah masuk dalam lingkungan

peradilan tata usaha negara juga mengikuti PTUN dengan keberadaan hakim ad

hoc.272 Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Peradilan Pajak

secara umum hanya ditentukan bahwa dalam memeriksa dan memutus perkara

sengketa pajak tertentu yang memerlukan keahlian khusus, ketua pengadilan

pajak dapat menunjuk hakim ad hoc sebagai hakim anggota.273 Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Peradilan Pajak tidak menentukan lebih rinci

tentang kualifikasi keahlian hakim ad hoc, karena merupakan pengadilan khusus

PTUN maka masuk akal konsep hakim ad hoc dalam pengadilan ini mengikuti

induknya.274

Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dibentuk pengadilan khusus tindak

pidana korupsi yang berada dalam lingkungan peradilan umum. 275 Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi ini bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus

271
Luhut M.P. Pangaribuan, op. cit., hlm 403.
272
Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 Tentang Pengadilan
Pajak, Pengadilan Pajak masuk dalam lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara.
273
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
274
Luhut M.P. Pangaribuan, op. cit., hlm 403.
275
Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.

193
tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK).276

Pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun

2009 Tentang Peradilan Tindak Pidana Korupsi, berangkat dari suatu paradigma

disatu sisi bahwa korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary

crime) sehingga memerlukan penangannan yang luar biasa. 277 Kemudian disisi

yang lain, rendahnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan umum.

Kepercayaan publik ini rendah karena adanya beberapa kelemahan yang dapat

diidentifikasi antara lain maraknya praktik mafia peradilan (yudicial corruption),

rendahnya integritas dan terbatasnya kapasitas hakim. Pada saat yang sama

penanganan perkara tidak transparan, adanya putusan yang janggal atau

kontroversial serta tidak sesuai dengan rasa keadilan. Semua ini menjadi faktor

lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan umum sehingga

memerlukan pengadilan khusus dengan hakim ac hoc.278

Dalam naskah akademik rancangan pengadilan tindak pidana korupsi

untuk menggantikan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sekarang disebutkan

bahwa hakim ad hoc itu “ … dapat juga disebut sebagai sistem ‘semi juri’

artinya, hakim dimaksud bukan saja dipilih karena dasar pengetahuan yang

dimilikinya tetapi juga bertindak mewakili kepentingan publik untuk memastikan


276
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
277
Departemen Hukum dan Ham, Naskah Akademik, Rancangan Undang-undang
TentangPengadilan Tindak Pidana Korupsi, tidak bertahun dan tidak diterbitkan, hlm 6.
278
Ibid hlm 8-9.

194
jaminan keberpihakan hukum pada kedaulatan rakyat serta nilai-nilai yang

berkembang di masyarakat”.279 Keberadaan hakim ad hoc dimaksudkan sebagai

representasi dari kepentingan masyarakat maka pengadilan akan dapat lebih

dipertanggungjawabkan.280

Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009

Tentang Peradilan Tindak Pidana Korupsi, untuk dapat diangkat sebagai hakim

ad hoc, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. warga Negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. sehat jasmani dan rohani;

d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di

bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 (lima belas) tahun

untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan

Pengadilan Tinggi, dan 20 (dua puluh) tahun untuk Hakim ad hoc

pada Makamah Agung;

e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat

proses pemilihan untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi dan Pengadilan Tinggi, dan 50 (lima puluh) tahun

untuk Hakim ad hoc pada Makamah Agung;

279
Ibid hlm 34-35.
280
Luhut M.P. Pangaribuan, op. cit., hlm 406.

195
f. tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap;

g. jujur, adil, cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi serta

reputasi yang baik;

h. tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik;

i. melaporkan harta kekayaannya;

j. bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim Tindak Korupsi;

k. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama

menjadi Hakim ad hoc tindak pidana korupsi.

Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hakim ad hoc sebagaimana

dimaksud ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia

atas usul Ketua makamah Agung. Pada ayat (4), dalam menetapkan dan

mengusulkan calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

dimaksudkan pada ayat (2) dan ayat (3), Ketua Makamah Agung wajib

melakukan pengumuman kepada masyarakat. Berdasarkan ketentuan ini maka

pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan yang akan diusulkan kepada

Presiden Republik Indonesia untuk menjadi hakim Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi, dilakukan secara transparan dan partisipatif. Pengumuman dapat

dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik guna mendapatkan

196
masukan dan tanggapan masyarakat terhadap calon hakim Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi.281

Pemeriksaan perkara pada Peradilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan

oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang

hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.282

Pemeriksaan ini hakim ad hoc berjumlah mayoritas dari hakim karir, diharapkan

tidak hanya dapat membantu menyelesaiakan perkara korupsi dan membuat

putusan sesuai dengan rasa keadilan tetapi juga diharapkan akan dapat

mendorong proses penegakkan hukum korupsi menjadi lebih efektif sehingga

akan mempengaruhi pula proses pemulihan kepercayaan publik terhadap

lembaga peradilan.283

Perintah untuk membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusi (HAM) di

lingkungan Peradilan Umum adalah terdapat pada Pasal 104 Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM sebagai

pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum pertama kali diadakan

dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini kemudian diganti dengan

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

281
Penjelasan Pasal 56 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
282
Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
283
Luhut M.P. Pangaribuan, loc. it.

197
Ada dua konsideran pokok yang dijadikan dasar pembentukan Pengadilan

Khusus HAM 284 :

1. Pengakuan bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati

melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, sehingga

harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabai

-kan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.

2. Sebagai partisipasi pemeliharaan perdamaian dunia dan menjamin

pelaksanaan HAM serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan,

dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat maka

diperlukan Pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran

HAM berat sebagaimanana diatur dalam Undang-Undang HAM.

Pemeriksaan perkara pelanggaran HAM yang berat sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang

berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM

yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.285 Hakim ad hoc adalah

hakim yang diangkat dari luar hakim karir yang memenuhi persyaratan

profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara

hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan

menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.286 Hakim ad hoc
284
Luhut M.P. Pangaribuan, op. cit., hlm 417-418.
285
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
286
Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia.

198
diangkat dan diberhetikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua

Makamah Agung.287

Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia, untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc

harus memenuhi syarat :

1. Warga Negara Republik Indonesia;

2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

3. Berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan

paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;

4. Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai

keahian di bidang hokum;

5. Sehat jasmani dan rohani; berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan

tidak tercela.

6. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

7. Memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.

Syarat,”memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia”

adalah persyaratan yang spesifik untuk menjadi hakim ad hoc pengadilan HAM.

Artinya syarat ini tidak ada untuk hakim karir dan hakim ad hoc pengadilan yang

lain.288

287
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
288
Luhut M.P. Pangaribuan, op. cit., hlm 423.

199
BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS MELALUI MKEK, MKDKI DAN


PERADILAN UMUM

Sebetulnya apabila terjadi sengketa medis antara dokter dengan pasien

dan atau keluarga sudah ada organisasi atau lembaga yang mewadahi untuk

menangani atau menyelesaikan sengketa tersebut yaitu Majelis Kehormatan

Etika Kedokteran (MKEK), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran (MKDKI)

200
dan Peradilan Umum. Walaupun menurut Yovita Ari Mangesti 289, hasil

pemeriksaan berdasarkan pedoman etika kedokteran dan disiplin kedokteran oleh

masyarakat dinilai belum cukup untuk menampung keseluruhan permasalahan

dibidang kesehatan.

Berdasarkan Pedoman dan Tatalaksana kerja MKEK, MKEK sebagai

lembaga yang menetapkan putusan dan sanksi etik terhadap setiap dokter yang

terbukti melakukan penyimpangan, kesalahan dan pelanggaran etik dalam

praktik kedokteran di Indonesia. MKEK juga akan menerima pelimpahan dari

MKDKI, dimana ditemukan bahwa pengaduan yang diajukan oleh pasien dan

atau keluarga kepada MKDKI setelah dilakukan pemeriksaan awal adalah

merupakan pelanggaran etik.

MKDKI, menurut Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran Pasal 55 : (1) Menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi

dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Pasal 64 butir a. MKDKI bertugas

menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin

dokter atau dokter gigi yang diajukan. Apabila MKEK memutuskan dokter

teradu tersebut melakukan pelanggaran disiplin, maka persoalan tersebut akan

dilimpahkan kepada MKDKI.

289
Yovita Ari Mangesti, Perlindungan Hukum Berparadigma Kemanusiaan Yang Adil Dan
Beradap Pada Riset dan Pemanfaatan Human Stem Ceel (Sel Punca Manusia) Di Bidang Kesehatan,
2015, hlm 4.

201
Pengadilan akan menyelesaikan gugatan dari pasien dan atau keluarga

kepada dokter, sesuai dengan amanat yang terdapat di dalam Undang-Undang

Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 66 ayat (3) pengaduan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak

setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang

berwenang dan/atau menggunggat kerugian perdata ke pengadilan.

A. Penyelesaian Sengketa Medis Melalui MKEK

MKEK adalah lembaga otonom yang dibentuk oleh Ikatan Dokter

Indonesia (IDI) berada di bawah dan bertanggungjawab kepada pengurus IDI.

Berdasarkan Pedoman dan Tatalaksana kerja MKEK, MKEK dibentuk pada

tingkat pusat yang disebut MKEK Pusat, pada tingkat Provinsi yang disebut

sebagai MKEK Wilayah, dan pada tingkat kabupaten/kota yang disebut sebagai

MKEK Cabang. Terbentuknya MKEK wilayah atau cabang, wilayah atau

cabang tersebut harus sudah terbentuk kepengurusan IDI telebih dahulu. Segala

keputusan MKEK dalam bidang etika tidak dipengaruhi Pengurus IDI atau

perangkat dan jajaran atau lembaga internal IDI apapun.

Pengaduan yang disampaikan kepada MKEK, berdasarkan Pedoman

dan Tatalaksana kerja MKEK Pasal 22 :

1. Pengaduan dapat berasal dari :

a. Langsung dari pengadu seperti pasien dan atau keluarga.

202
b. Rujukan dari MKEK cabang untuk MKEK wilayah atau rujukan

MKEK wilayah untuk MKEK pusat.

c. Temuan dari IDI setingkat.

d. Temuan dan atau permintaan Divisi Pembinaan Etika Profesi

MKEK setingkat.

e. Hasil verifikasi MKDKI.

2. Pengaduan disampaikan melalui IDI Cabang/Wilayah atau langsung ke

MKEK cabang/wilayah tempat kejadian perkara kasus aduan tersebut.

3. Pengaduan diajukan secara tertulis dan sekurang-kurangnya harus

memuat :

a. Identitas pengadu.

b. Nama dan alamat tempat praktik dokter dan waktu tindakan

dilakukan.

c. Alasan sah pengaduan.

d. Bukti-bukti atau keterangan saksi atau petunjuk yang menunjang

dugaan pelanggaran etika tersebut.

4. Dalam hal pengaduan tidak lengkap atau tidak sah atau berisi

keterangan yang dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk

pembinaan pengabdian profesi, ketua MKEK setempat dapat menolak

atau meminta pengadu memperbaiki atau melengkapinya.

203
5. Pemanggilan pengadu dapat dilakukan sampai 3 (tiga) kali berturut-

turut dan jika telah 3 (tiga) kali pengadu tetap tidak datang tanpa

alasan yang sah, maka pengaduan tersebut dinyatakan batal.

6. Sebaliknya jika pada pemanggilan ke 3 (tiga) teradu tetap tidak datang

tanpa alasan yang sah, penanganan kasus dilanjutkan tanpa kehadiran

teradu dan putusan yang ditetapkan dinyatakan sah dan tidak dapat

dilakukan banding.

7. Pengadu, teradu dan saksi yang dimintakan keterangan dalam sidang-

sidang MKEK tidak diambil sumpah, melainkan diminta kesediaan

untuk menandatangani pernyataan tertulis di depan MKEK bahwa

semua keterangan yang diberikan adalah benar.

8. Pengaduan dianggap tidak sah jika tidak disertai dengan bukti-bukti

yang layak, tidak disertakan nama lengkap dan alamat pengadu atau

perkara/kejadian khusus yang diadukan tersebut telah melampui masa

2 (dua) tahun sejak tanggal diterimanya pengaduan oleh MKEK.

Berdasarkan Pedoman dan Tatalaksana kerja MKEK Pasal 23, setelah

proses pengaduan dinilai sah :

1. Dilakukan proses penelaahan.

2. Dalam penanganan dokter teradu dalam tahap penelaahan sampai

dengan penjatuhan sanksi etik MKEK menggunakan asas praduga tak

bersalah.

204
3. Penelaahan dilakukan dalam bentuk sidang MKEK dengan atau tanpa

Divisi Pembina Etika Profesi MKEK wilayah/cabang yang dinyatakan

khusus untuk itu.

4. Kegiatan penelaahan kasus dilakukan sebagai berikut :

a. Mempelajari keabsahan surat pengaduan.

b. Bila perlu mengundang pasien atau keluarga pengadu untuk

klarifikasi awal pengaduan yang disampaikan.

c. Bila perlu mengundang dokter teradu untuk klarifikasi awal yang

diperlukan.

d. Bila diperlukan melakukan kunjungan ke tempat kejadian/perkara.

5. Di akhir penelaahan, ketua MKEK menetapkan pengaduan tersebut

layak atau tidak layak untuk disidangkan oleh majelis pemeriksa.

6. Dalam keadaan dampak atas pengaduan tersebut dipandang dapat

merugikan profesi kedokteran secara keseluruhan atau pengaduanya

dilakukan secara jahat atau semena-mena, dalam penelaahan ini ketua

MKEK dapat meminta pertimbangan ketua IDI setingkat untuk

dilakukan penelaahan ulang secara bersama-sama.

Persidangan MKEK, berdasarkan Pedoman dan Tatalaksana kerja

MKEK Pasal 24, dilakukan setelah selesainya proses penelahaan dengan

ketentuan sebagai berikut :

205
1. Persidangan dipimpin oleh ketua Divisi Kemahkamahan atau ketua

MKEK.

2. Persidangan dianggap sah apabila dihadiri oleh lebih dari setengah

jumlah anggota Divisi Kemahkamahan atau oleh seluruh Majelis

Pemeriksa MKEK yang ditugaskan tertulis untuk itu oleh ketua

MKEK.

3. Persidangan MKEK bersifat tertutup, kecuali jika dinyatakan lain.

4. Pertimbangan tentang tertutup atau tidaknya persidangan MKEK,

ditentukan oleh ketua Divisi Kemahkamahan atau ketua Majelis

Pemeriksa.

5. Ketua MKEK berhak menetapkan saksi-saksi, ahli-ahli, barang bukti-

barang bukti, petunjuk-petunjuk lainya untuk disajikan dalam

persidangan MKEK.

6. Putusan persidangan Majelis Pemeriksa Divisi Kemahkamahan

MKEK diambil atas dasar musyawarah dan mufakat.

7. Apabila musyawarah dan mufakat tidak tercapai, putusan diambil atas

dasar perhitungan jumlah suara terbanyak dari Majelis Pemeriksa,

dengan tetap mencatat jumlah dan alasan pendapat yang berbeda

(dissenting opinion).

8. Dalam persidangan perkara, setiap anggota Majelis Pemeriksa Divisi

Kemahkamahan MKEK mempunyai hak bicara dan hak suara,

206
sedangkan anggota MKEK diluar Majelis Pemeriksa hanya memiliki

hak bicara.

Pembelaan dalam penelaahan pengaduan MKEK maupun

persidangan MKEK, berdasarkan Pedoman dan Tatalaksana kerja MKEK Pasal

26 :

1. Pada saat penelahaan maupun persidangan, dokter teradu berhak

didampingi oleh pembela.

2. Pembela yang dimaksud ayat (1) ialah Biro Hukum Pembelaan dan

Pembinaan Anggota (BHP2A) atau perangkat dan jajaranya atau

perorangan anggota IDI yang berpengalaman etikolegal dan atau etika

profesi yang ditunjuk resmi dan tertulis oleh dokter teradu serta

diterima oleh Majelis Pemeriksa.

3. Kecuali dinyatakan lain, kuasa hukum atau pengacara atau

keluarga/kerabat dokter teradu tidak dibenarkan mendapingi kliennya

sebagai salah satu pihak selama penelahaan atau persidangan.

4. Pendampingan oleh kuasa hukum, pengacara atau keluarga/kerabat

dokter teradu sebagaimana dimaksud ayat (3) diatas harus diajukan

terlebih dahulu secara tertulis satu minggu sebelum dimulai

penelahaan atau persidangan.

5. Ketua MKEK setempat atau Ketua Majelis Pemeriksa sebagaimana

dimaksud ayat (4) di atas berhak setiap saat untuk menetapkan kuasa

207
hukum, pengacara, keluarga/kerabat atau pembela tersebut

meninggalkan ruang penelahaan atau persidangan, atau kembali

menghadirkannya pada saat persidangan berikutnya.

Untuk memperjelas perkara dalam MKEK diperlukan saksi dan saksi

ahli, berdasarkan Pedoman dan Tatalaksana kerja MKEK Pasal 27 :

1. Dalam rangka pembuktian atau membuat lebih jelas perkara dalam

persidangan MKEK dapat meminta kehadiran saksi dan saksi ahli.

2. Saksi adalah tenaga medis, tenaga kesehatan, pimpinan sarana

kesehatan, komite medik, perorangan atau praktisi kesehatan lainnya

yang mendengar atau melihat atau yang ada kaitan langsung dengan

kejadian/perkara atau dokter yang diadukan.

3. Saksi ahli adalah dokter yang memiliki keahlian dan keilmuan yang

tidak terkait langsung dengan kejadian/perkara dan tidak memiliki

hubungan keluarga atau kedinasan dengan dokter teradu atau dengan

pasien pengadu.

4. Saksi ahli yang dimaksud harus diambil dari dokter praktisi yang

sama jenis keahlihan/keseminatannya dan setara fasilitas tempat

bekerjanya dengan dokter teradu atau yang ditunjuk oleh

Perhimpunan Dokter Spesialis/seminat atau perangkat dan jajaran IDI

lainnya atas permintaan MKEK.

208
5. Para pihak dapat mengajukan saksi atau saksi ahlinya masing-masing,

namun keputusan penerimaan kesaksian atau kesaksian ahli

ditentukan oleh Ketua Majelis Pemeriksa.

6. Apabila kualifikasi sebagaimana dimaksud ayat (4) dan (5) di atas

tidak ditemukan ketua MKEK atas permintaan Ketua Majelis

Pemeriksa dapat meminta saksi ahli lain dari dalam atau luar IDI.

Putusan Majelis Pemeriksa MKEK, berdasarkan Pedoman dan

Tatalaksana kerja MKEK Pasal 28 :

1. Putusan adalah ketentuan akhir berupa ketetapan bersalah atau tidak

bersalah dokter teradu, dengan berupa dinyatakan melanggar atau

tidak melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

2. Putusan bersalah diikuti dengan sanksi sekaligus cara, ciri dan lama

pembinaan dokter terhukum/pelanggar dari Majelis Pemeriksa atau

Divisi Kemahkamahan MKEK terhadap hasil penelaahan dan

persidangan dugaan pelanggaran etika kedokteran terhadap dokter

teradu oleh pasien/keluarga pengadu.

3. Putusan sidang Majelis Pemeriksa Divisi Kemahkamahan MKEK

diambil atas dasar musyawarah dan mufakat.

4. Apabila musyawarah dan mufakat tidak tercapai, keputusan atau

putusan diambil atas dasar perhitungan suara terbanyak dari Majelis

209
Pemeriksa, dengan tetap mencatat perbedaan pendapat (dissenting

opinion) yang ada.

5. Kecuali dinyatakan lain, putusan MKEK adalah bersifat rahasia.

6. Putusan MKEK Cabang dapat dilakukan banding ke MKEK Wilayah,

putusan MKEK Wilayah dapat dilakukan banding ke MKEK Pusat,

paling lambat 2 (dua) minggu setelah putusan ditetapkan.

7. Putusan yang tidak dibanding atau putusan MKEK Pusat adalah suatu

ketetapan final, mengikat dan langsung berlaku, kecuali diputuskan

lain oleh Muktamar IDI yang khusus untuk itu.

8. Kekeliruan cara pembuatan keputusan atau penerapan aturan

KODEKI terhadap kasus yang disidangkan oleh majelis pemeriksa

terhadap dokter teradu dapat direviu atau diklarifikasi oleh Ketua

MKEK setempat untuk dilakukan sidang ulang perumusan kembali.

9. Ketentuan lebih lanjut dari kekeliruan, reviu atau klarifikasi

sebagaimana dimaksud ayat (8) di atas diatur lebih lanjut oleh

keputusan Ketua MKEK Pusat.

10. Putusan sebagaimana dimaksud ayat (7) yang telah berkekuatan etik

tetap oleh Majelis Pemeriksa dikirim kepada Divisi Pembinaan Etika

Profesi untuk ditentukan pelaksanaan sanksinya, dengan atau tanpa

dikoordinasikan terlebih dahulu dengan pengurus IDI setempat.

210
11. Apabila terdapat perbedaan cara pelaksanaan sanksi atau cara

pembinaan terhadap dokter terhukum/pelanggar etik sebagaimana

dimaksud ayat (10) diatas dikonsultasikan ke dan ditetapkan oleh

Ketua MKEK setingkat sesuai dengan yurisdiksinya.

12. Putusan tentang kesalahan dokter terhukum/pelanggar etik dibedakan

atas kesalahan ringan, kesalahan sedang dan kesalahan berat.

13. Penetapan kategori berat ringannya kesalahan didasarkan atas kriteria

sebagai berikut :

a. Akibat yang ditimbulkan terhadap keselamatan pasien.

b. Akibat yang ditimbulkan terhadap kehormatan profesi.

c. Akibat yang ditimbulkan terhadap kepentingan umum.

d. Itikad baik teradu dalam turut menyelesaikan kasus.

e. Motivasi yang mendasari timbulnya kasus.

f. Sesuai lingkungan yang mempengaruhi timbulnya kasus.

g. Pendapat dan pandangan BHP2A.

14. Apabila kasus yang dihadapi ternyata juga menyangkut pelanggaran

disiplin dan atau hukum yang sedang dalam proses penangannanya,

persidangan atau pembuatan putusan MKEK ditunda sampai

selesainya penangannan tersebut.

211
15. Batasan waktu yang dibutuhkan untuk proses persidangan atau

persidangan kembali setelah penundaan sidang hingga pembuatan

putusan paling lama adalah 3 (tiga) bulan.

16. Ketua MKEK mengirim amar putusan ke ketua IDI setingkat dan

kepada dokter terhukum/yang bersangkutan.

17. Kepada pihak pasien pengadu putusan dapat disampaikan secara

lisan, dengan bukti tertulisnya disimpan di MKEK.

18. Salinan putusan MKEK Cabang/Wilayah disertai riwayat kasus,

identitas, masalah dan kategori atau kualifikasi putusannya dalam

waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak ditetapkan atau secara

kumulatif berkala setiap 3 (tiga) bulan harus disampaikan ke MKEK

Pusat untuk dilakukan kompilasi.

19. Pengiriman salinan putusan MKEK sebagaimana dimaksud ayat (18)

dapat ditujukan ke Ketua IDI yang setingkat.

20. Putusan MKEK setelah terbukti terdapat pelanggaran disiplin dapat

dikirim ke MKDKI Provinsi sesuai yurisdiksinya atau ke lembaga

resmi yang bertanggungjawab atas akreditasi, lisensi dan registrasi

dokter sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

21. Salinan putusan MKEK tidak boleh diberikan kepada pihak penyidik

atas alasan apapun.

212
22. Ketentuan lebih lanjut tatacara pengiriman putusan sebagaimana

dimaksud ayat (19) diatas diatur oleh keputusan Ketua MKEK Pusat.

Bentuk-bentuk sanksi apabila dokter teradu terbukti melanggar etik,

berdasarkan Pedoman dan Tatalaksana kerja MKEK Pasal 29 :

1. Sanksi terhadap dokter terhukum/melanggar etik bersifat pembinaan

dan ditetapkan oleh majelis pemeriksa Divisi Kemahkamahan MKEK.

2. Pelaksanaan sanksi sebagaimana dimaksud ayat (1) berada di tangan

Divisi Pembinaan Etika MKEK untuk dan atas nama pengurus IDI

setingkat.

3. Sanksi yang diberikan tergantung dari berat ringannya kesalahan yang

dilakukan dokter teradu.

4. Sanksi sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) di atas dapat berupa :

a. Penasehatan

b. Peringatan lisan

c. Peringatan tertulis

d. Pembinaan perilaku

e. Rescooling (pendidikan/pelatihan ulang)

f. Pemecatan sementara sebagai anggota IDI yang

diikuti dengan mengajukan saran tertulis kepada Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota untuk mencabut izin praktik maksimal :

1. Tiga (3) bulan untuk pelanggaran ringan

213
2. Enam (6) bulan untuk pelanggaran sedang

3. Dua belas (12) bulan untuk pelanggaran berat

g. Pencabutan keanggotaan.

5. Apabila putusan dalam bentuk penasehatan atau peringatan lisan, maka

peringatan lisan tersebut disampaikan kepada dokter terhukum/

pelanggar etik dalam sidang MKEK.

6. Apabila sanksi sebagaimana dimaksud ayat (4) telah disampaikan

sebanyak 3 (tiga) kali kepada dokter terhukum, tetapi tidak ada

perbaikan sikap tindak perilakunya, dilanjutkan dengan peringatan

tertulis dan atau pembinaan perilaku.

7. Apabila peringatan tertulis dan atau pembinaan perilaku sebagaimana

ayat (6) telah disampaikan sebanyak 3 (tiga) kali, tetapi tetap tidak ada

perbaikan sikap tindak perilakunya, dilanjutkan dengan pemecatan

sementara sebagai anggota IDI dan mengajukan saran tertulis kepada

dinas kesehatan kabupaten/kota untuk mencabut sementara izin praktik

dokter terhukum.

8. Apabila pemecatan sementara sebagai anggota IDI dan pencabutan

sementara izin praktik telah dilakukan tetapi tetap tidak ada perbaikan,

dilakukan dengan usul pemecatan tetap sebagai anggota atau

pencabutan keanggotaan kepada IDI sesuai yurisdiksinya dan saran

kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota untuk mencabut izin

214
praktiknya selama 12 (dua belas) bulan dengan atau tanpa usulan

untuk dicabutnya Surat Tanda Registrasinya oleh Konsil Kedokteran

Indonesia.

9. Sanksi berupa pemecatan keanggotaan tidak bersifat pembinaan.

10. Sanksi yang telah dijalani anggota yang terhukum dibuatkan berita

acaranya dan salinan hal ini disampaikan kepada Pengurus IDI untuk

tindak lanjut yang sesuai.

11. Putusan tentang pemecatan sementara atau usul pemecatan tetap

sebagai anggota IDI ditindak lanjuti oleh pengurus IDI Cabang dengan

mengirimkan surat khusus tentang hal itu kepada Pengurus Besar IDI,

MKEK Pusat dan tembusan kepada Pengurus IDI dan MKEK

Wilayah.

12. Putusan berupa saran pencabutan izin praktik dokter ditindak lanjuti

oleh Pengurus IDI Cabang setempat dengan mengirimkan surat khusus

tentang hal itu kepada dinas kesehatan kabupaten/kota setempat dan

tembusan kepada Pengurus IDI dan MKEK Wilayah dan Pengurus

Besar IDI.

13. Putusan yang menyangkut dokter spesialis wajib ditindak lanjuti oleh

perhimpunan spesialisnya masing-masing.

14. Hal-hal yang belum diatur tentang pelaksanaan dan penilaian sanksi

akan ditentukan oleh Keputusan Ketua MKEK Pusat.

215
Apabila putusan Majelis Pemeriksa MKEK maupun sanksinya belum

memuaskan teradu maupun pengadu, baik teradu dan pengadu masih ada

kesempatan untuk mengajukan banding, berdasarkan Pedoman dan Tatalaksana

kerja MKEK Pasal 30 :

1. Ketua Majelis Pemeriksa memanggil dokter teradu dengan atau tanpa

BHP2A untuk diberi kesempatan pemahaman tentang hak-hak dan

kewajiban teradu, termasuk kemungkinan banding paling lambat 14

(empat belas) hari kerja setelah sidang pembuatan putusan.

2. Ketua Majelis secara terpisah dapat memanggil pengadu dengan atau

tanpa disertai keluarga atau pengacaranya untuk pembacaan amar

putusan terhadap teradu, disertai penjelasan tentang hak-hak dan

kewajiban pengadu, termasuk kemungkinan banding, paling lambat

14 (empat belas) hari kerja setelah sidang pembuatan putusan.

3. Teradu dengan atau tanpa disertai BHP2A, serta pengadu dengan atau

tanpa disertai keluarga/pembelanya berhak mengajukan banding

melalui MKEK cabang untuk diajukan ke MKEK Wilayah, atau

melalui MKEK Wilayah untuk diajukan ke MKEK Pusat paling

lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah pembacaan amar putusan

atau putusan tertulis diterima oleh teradu.

216
4. Tata cara penelaahan kasus, tata cara persidangan dan pengambilan

keputusan MKEK Wilayah terbanding sama dengan MKEK Cabang

pembanding.

5. Tata cara penelaahan kasus, tata cara persidangan dan pengambilan

keputusan MKEK Pusat terbanding sama dengan MKEK Wilayah

pembanding atau dapat dilakukan tata cara tersendiri yang ditetapkan

oleh ketetapan MKEK Pusat.

Pemulihan hak-hak profesi, berdasarkan Pedoman dan Tatalaksana

kerja MKEK Pasal 31 :

1. Untuk pemulihan hak-hak profesi terhadap dokter teradu, dapat

dilakukan terhadap :

a. Dokter teradu yang dinyatakan atau terbukti tidak bersalah.

b. Dokter terhukum/penerima sanksi telah menjalani sanksinya sesuai

keputusan MKEK dan ketentuan yang berlaku.

2. Bagi teradu yang ternyata tidak bersalah, dikeluarkan pernyataan

pemulihan hak-hak profesi oleh MKEK setempat, sedapat mungkin

disertai dengan permintaan maaf kepada dokter yang bersangkutan,

dengan salinan kepada instansi tempat ia bekerja.

3. Bagi dokter terhukum/penerima sanksi yang telah melaksanakan

sanksinya, dikeluarkan pernyataan pemulihan hak-hak profesi

217
secepatnya, dan disampaikan kepada yang bersangkutan serta kepada

instansi tempat ia bekerja.

4. Penerbitan surat keputusan pemulihan hak-hak profesi dilaksanakan

oleh MKEK setingkat sesuai dengan yurisdiksinya.

5. Surat keputusan pemulihan hak-hak profesi ini kepada Pengurus IDI

setingkat.

6. Hal-hal lain yang belum ditetapkan dalam hal pemulihan hak-hak

profesi ini akan diatur lebih lanjut melalui Keputusan Ketua MKEK

Pusat.

Penelitian yang dilakukan oleh Anwari290, kasus yang diadukan ke

MKDKI dari tahun 2006 sampai dengan 2012 terdapat 136 kasus atau 219

responden. Laporan dari masyarakat yang ditujukan kepada MKDKI tersebut

berasal hampir dari seluruh kota besar di Indonesia. Laporan tersebut dari tahun

ke tahun selalu meningkat.

Aduan yang diterima oleh MKDKI selama 7 (tujuh) tahun adalah 136

kasus yang terdiri dari 219 dokter atau responden, ini adalah sesuatu yang

sangat mungkin terjadi dalam menangani atau mengelola suatu penyakit. Sering

terjadi bahwa seorang pasien itu menderita lebih dari satu kelainan, sebagai

salah satu contoh adalah seorang ibu yang sedang hamil kemudian ternyata juga

didapatkan adanya hipertensi. Dengan demikian maka pengelolaan terhadap ibu

290
Anwari, op. cit., hlm 338.

218
hamil tersebut diperlukan lebih dari satu dokter (minimal diperlukan dokter

spesialis kebidanan dan penyakit kandungan serta spesialis penyakit dalam)

untuk mempertahankan mutu pelayanan kesehatan serta keselamatan ibu serta

anaknya tersebut.

Pengaduan yang disampaikan kepada MKDKI, baik kasusnya maupun

individu dokternya ternyata juga ditemukan adanya pelanggaran etika. 291

Pelanggaran berdasarkan kasus adalah sejumlah 113 dari 136 kasus atau sebesar

83,1% sedangkan berdasarkan jumlah responden atau dokter adalah 148 dari

219 dokter atau sebesar 67,6 % atau lebih dari separuh dokter yang diadukan ke

MKDKI melakukan pelanggaran etika. Pelanggaran etika oleh responden atau

dokter yang dilaporkan ke MKDKI dan telah diproses di MKEK, berdasarkan

Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor

221/PB/A.4/04/2002 Tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia :

1. Pasal 1 setiap dokter harus menjujung tinggi, menghayati dan

mengamalkan sumpah dokter : 123 responden atau 56,16 %.

Dapat disimpulkan bahwa Lafal Sumpah Dokter Indonesia (LSDI)

mengandung lima hal pokok : (1) membaktikan hidup guna kepentingan

perikemanusiaan; (2) menjalankan tugas sesuai tradisi luhur jabatan atau

pekerjaan; (3) berpegang teguh pada prinsip-prinsip ilmiah dan moral,

walaupun diancam tidak akan melakukan hal-hal yang bertentangan

291
Anwari, ibid., hlm 359-363.

219
dengan etik, hukum dan agama; (4) tidak deskriminatif dalam pelayanan

kesehatan; (5) menyimpan rahasia jabatan atau pekerjaan, kecuali ada

peraturan pengecualian.

2. Pasal 2 seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan

profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi : 128 responden

atau 58,44 %.

Seorang dokter yang memberikan pelayanan dibawah standar disamping

bisa dikatakan melanggar etik (melanggar LSDI butir 1 senantiasa

membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan dan LSDI

butir 7 dalam menjalankan tugasnya senantiasa mengutamakan

kesehatan penderita), bisa juga dikategorikan pelanggaran hukum dan

dapat dikenenakan Pasal 360 KUHP yang berbunyi barang siapa karena

kesalahannya menyebabkan orang lain luka berat atau luka sedemikian,

sehingga berakibat penyakit atau halangan sementara untuk

menjalankan jabatan atau pekerjaannya, dihukum dengan hukuman

penjara selama-lamanya 5 tahun.

3. Pasal 3 dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter

tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya

kebebasan dan kemandirian profesi : 10 responden atau 4,56 %.

Menjuruskan pasien membeli obat tertentu, karena dokter telah

menerima imbalam dari perusahaan farmasi. Merujuk pasien ke

220
laboratorium atau sejawat atau ke rumah sakit dengan imbalan tertentu.

Melakukan pemeriksaan penunjang medik atau tindakan medik yang

tidak diperlukan oleh pasien atau tidak sesuai dengan kebutuhan medis

pasien.

4. Pasal 4 setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang

bersifat memuji diri : 2 responden atau 0,91 %.

Memuji diri termasuk mencantumkan gelar pada papan nama praktik

yang tidak terkait dengan pelayanan jasa kedokteran yang diberikan,

mengadakan wawancara pers untuk mempromosikan cara pengobatan

sesuatu penyakit, ataupun berpartisipasi dalam promosi obat, kosmetika,

alat dan sarana kesehatan, makanan, minuman, dan perbekalan

kesehatan rumah tangga adalah termasuk perbuatan tercela.

5. Pasal 5 tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya

tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan

kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien : 0 responden.

Upaya dokter dalam pelayanan kedokteran ialah menyembuhkan pasien

atau mengurangi penderitaan dan setidaknya menggembirakanya.

Dokter harus mampu mempertebal keyakinan pasien bahwa ia dapat

sembuh dan mengalihkan perhatian pasien yang cemas ke hal yang

memberi harapan dan menimbulkan optimisme. Jangan lupa bahwa

221
tubuh manusia mempunyai kekuatan dan kemampuan menangkis dan

menyembuhkan penyakit.

6. Pasal 6 setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan

dan menerapkan setiap penemuan tehnik atau pengobatan baru yang

belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan

keresahan masyarakat : 2 responden atau 0,91 %.

Penemuan baru atau pengobatan baru yang telah diuji kebenaranya

melalui penelitian klinik perlu disebarluaskan melalui presentasi pada

forum ilmiah atau publikasi melalui majalah kedokteran dengan tujuan

memperoleh tanggapan dari sejawat sebelum dipraktikan dalam

pelayanan kedokteran.

7. Pasal 7 seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat

yang telah diperiksa sendiri kebenarannya : 3 responden atau 1,36 %.

Dokter dalam memberikan surat keterangan apapun kepada pasien dan

atau keluarganya harus berdasarkan apa yang dilihat atau berdasarkan

hasil pemeriksaan yang dilakukan. Apabila surat keterangan yang

dikeluarkan oleh dokter tersebut tidak berdasarkan hasil pemeriksaan,

maka surat keterangan tersebut bisa dikatakan palsu. Membuat surat

keterangan tidak berdasarkan kebenaran bisa dikatakan melakukan

pelanggaran Pasal 267 KUHP.

222
8. Pasal 7a seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya,

memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis

dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan

penghormatan atas martabat manusia : 65 responden atau 29,68 %.

Dokter dalam memberikan pelayanan medis harus dalam kondisi sehat

jasmani dan rokhani serta tidak dipengaruhi oleh kondisi apapun walaupun

dokter tersebut dibawah ancaman sehingga kebebasan profesi dokter dapat

dijalankan dengan sebaik-baiknya.

9. Pasal 7b seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan

pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya

yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi,

atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani

pasien : 64 responden atau 29,22 %.

Dokter dalam menjalankan profesinya, harus betul-betul apa yang

dikerjakan baik itu tindakan medis maupun dalam melakukan pemeriksaan

penunjang medis sesuai dengan kebutuhan medis pasien. Dokter satu

dengan yang lain harus selalu mengingatkan apabila ada teman sejawat

yang bekerja diluar kompetensinya atau melakukan tindakan medis dan

melakukan pemeriksaan penunjang medis tidak sesuai dengan kebutuhan

medis pasien.

223
10. Pasal 7c seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak

sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga

kepercayaan pasien : 115 responden atau 52,51 %.

Pasien :

Sebelum melakukan tindakan medis, dokter harus menjelaskan dahulu

kepada pasien dan atau keluarga yang akan dilakukan, dokter tidak boleh

melarang pasien dan atau keluarga mencari second opinion, dokter tidak

boleh melakukan tindakan medis diluar kebutuhan medis pasien, dokter

tidak boleh memaksa tindakan medis kepada pasien.

Teman sejawat :

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya,

tanpa persetujuannya.

Tenaga kesehatan :

Imbalan jasa tidak diminta dari teman sejawat termasuk dokter gigi dan

keluarga kandungnya, mahasiswa kedokteran atau kedokteran gigi, bidan,

perawat, apoteker dan siapapun yang dikehendakinya.

11. Pasal 7d setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban

melindungi makhluk insani : 46 renponden atau 21,00 %.

Segala perbuatan dan tindakan dokter bertujuan memelihara kesehatan

pasien, karena itu kehidupan manusia harus dipertahankan dengan segala

daya. Namun kadangkala dokter harus mengorbankan salah satu

224
kehidupan untuk menyelamatkan kehidupan yang lain yang lebih penting.

Salah satu contoh adalah terpaksa dilakukan abortus provocatus

medisinalis (abortus terapetik) pada beberapa keadaan dimana

keselamatan dan kesehatan ibu mendapat prioritas, karena besarnya

peranan ibu dalam keluarga. Keadaan yang lain, dalam mengakhiri hidup

seseorang pasien yang menurut ilmu dan teknologi kedokteran tidak

mungkin diselamatkan lagi, misalnya pasien dengan penyakit kanker

stadium sangat lanjut, maka yang dibenarkan hanyalah euthanasia pasif

(perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan

yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia).

12. Pasal 8 dalam melakukan pekerjannya seorang dokter harus

memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek

pelayannan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan

rehabilitatif) baik fisik maupun psikososial, serta berusaha menjadi

pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya : 4 responden

atau 1,82 %.

Dokter adalah tenaga profesi yang mempunyai kemampuan untuk

menggerakkan potensi yang ada bagi terwujudnya tujuan kesehatan

individu, keluarga dan masyarakat umumnya, dengan upaya meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat maka pelayanan kedokteran mencakup

semua aspek yaitu promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

225
13. Pasal 9 setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat di bidang

kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling

menghormati : 0 responden.

Kegiatan dokter yang dilakukan bersama baik masih dilingkungan bidang

kesehatan maupun diluar bidang kesehatan atau sering disebut lintas

sektoral adalah kegiatan program pemerintah, sebagai salah satu

contohnya kerjasama dengan dinas kesehatan kabupaten/kota atau

provinsi adalah dalam rangka menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan

angka kematian perinatal (AKP).

14. Pasal 10 setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan

segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini

ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas

persetujuan pasien ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang

mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut : 70 responden atau 31,9 %.

Sikap tulus ikhlas yang dilandasi sikap profesional seorang dokter dalam

melakukan tugasnya sangat diperlukan, dengan diwujudkan dalam bentuk

sikap ramah tamah dan sopan santun terhadap pasien dan atau keluarga

karena sikap ini akan menegakkan wibawa dokter, memberikan

kepercayaan dan ketenangan bagi pasien, sehingga pasien bersifat

kooperatif dan komunikatif yang menguntungkan dan memudahkan

dokter dalam membuat diagnosis dan memberikan terapi.

226
15. Pasal 11 setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar

senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam

beribadat dan atau dalam masalah lainnya : 0.

Dokter yang bijaksana selalu mendalami latar belakang kehidupan

pasiennya, termasuk aspek sosial, intelektual dan spiritual. Dokter wajib

menghormati agama atau keyakinan pasiennya, termasuk adat istiadat dan

tradisi masyarakat setempat, asal saja tidak bertentangan dengan

kebenaran ilmu kedokteran.

16. Pasal 12 setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang

diketahuinya terhadap seseorang pasien bahkan juga setelah pasien itu

meninggal dunia : 0.

Para dokter sudah menyadari betul bahwa kerahasiaan pasien harus dijaga.

Karena kalau rahasia tersebut sampai terbuka, dokter tersebut bisa

dianggap melaggar LSDI butir 5 akan merahasiakan segala sesuatu yang

saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter.

Apabila dokter dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib

disimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaannya baik yang sekarang

maupun yang dulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9

bulan (KUHP Pasal 322).

227
17. Pasal 13 setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu

tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan

mampu memberikannya : 1 responden atau 0.45 %.

Dokter berkewajiban menolong pasien gawat darurat sesuai dengan

kemampuan yang dimiliki, apabila tidak mampu melakukan dengan ijin

keluarganya segera untuk dirujuk. Apabila dokter tidak mau menolong

pasien gawat darurat dan kebetulan pasien tersebut terjadi kecacatan atau

terus meninggal dunia maka dokter tersebut bisa dianggap melakuan

kelalaian.

18. Pasal 14 setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia

sendiri ingin diperlakukan (menjunjung tinggi kesejawatan) : 6 responden

atau 2,73 %.

Diantara sesama sejawat dokter hendaknya terjalin rasa kebersamaan,

kekeluargaan dan keakraban sehingga dalam menjalankan profesinya

dapat saling membantu, saling mendukung dan saling belajar dengan

penuh pengertian. Apabila ada pasien dan atau keluarga mencari second

opinion, adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh pasien dan atau

keluarga, para dokter dalam menjawab second opinion tersebut, antar

sejawat jangan sampai terjebak dalam persoalan saling menyalahkan

didepan pasien dan atau keluarga.

228
19. Pasal 15 setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman

sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis :

2 responden atau 0,91 %.

Sejawat adalah mitra kerja seorang dokter dan bukan saingan. Pembinaan

kerjasama dalam satu tim harus selalu diupayakan guna kepentingan

pasien. Anggota suatu tim harus hormat menghormati, saling bantu, saling

belajar dan saling ingat mengingatkan. Seorang dokter yang baik tidak

menyalahkan sejawatnya didepan pasien (walaupun itu benar), tetapi

secara bijaksana membahas kasusnya dengan sejawatnya dan sebaliknya

mengembalikan pasien kepada sejawatnya yang pertama kali dikunjungi

pasien tersebut.

20. Pasal 16 setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat

bekerja dengan baik : 3 responden atau 1,36 %.

Dokter seharusnya memberi teladan dalam memelihara kesehatan,

melakukan pencegahan terhadap penyakit, berperilaku sehat sehingga

dapat bekerja dengan baik dan tenang. Dokter dalam keadaan sehat

diharapkan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga sesuatu

yang tidak diharapkan dapat dihindari atau paling tidak dapat

diminimalisir.

21. Pasal 17 setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan : 0.

229
Dokter sangat menyadari salah satu kewajiban dokter terhadap diri sendiri

adalah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan atas perintah

Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 Pasa 51 butir c dan tetap setia

kepada citi-citanya yang luhur. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran

berkembang dengan pesat, lebih-lebih dalam tiga dekade terakhir ini.

Setiap dokter harus mengikuti perkembangan ini baik untuk manfaat diri

sendiri dan keluarga maupun untuk pasien dan masyrakat. Tuntutan

masyarakat akan pelayanan kedokteran yang bermutu dan mutakhir sesuai

demgan perkembangan IPTEKDOK global, hendaknya ditanggapi oleh

dokter dengan mengadakan konsolidasi diri, yaitu dengan mengikuti

seminar, lokakarya, kursus-kursus, pelatihan atapun pendidikan spesialisasi

atau subspesialisasi.

Bagan 3 : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Medis melalui MKEK

230
B. Penyelesaian Sengketa Medis Melalui MKDKI

231
MKDKI, menurut Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran :

1. Pasal 55 : (1) Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam

penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk MKDKI; (2) MKDKI

merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);

(3) MKDKI dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.

2. Pasal 56 : MKDKI bertanggungjawab kepeda KKI.

3. Pasal 57 : (1) MKDKI berkedudukan di ibu kota negara Republik

Indonesia; (2) MKDKI di tingkat propinsi dapat dibentuk oleh KKI atas

usul MKDKI.

4. Keanggotaan MKDKI adalah 11 (sebelas) orang dan diatur dalam Pasal 59 :

(1) Keanggotaan MKDKI terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga)

orang dokter gigi dari anggota profesi masing-masing, seorang dokter dan

seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang

sarjana hukum; (2) Untuk dapat diangkat sebagai anggota MKDKI harus

dipenuhi syarat sebagai berikut : a. warga negara Republik Indonesia; b.

sehat jasmani dan rohani; c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan

berakhlak mulia; d. berkelakuan baik; e. berusia paling rendah 40 (empat

puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat

diangkat; f. bagi dokter atau dokter gigi, pernah melakukan praktik

kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat tanda

232
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi; g. bagi sarjana

hukum, pernah melakukan praktik di bidang hukum paling sedikit 10

(sepuluh) tahun dan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan; h.

cakap, jujur, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi serta memiliki

reputasi yang baik.

5. Pasal 60 : keanggotaan MKDKI ditetapkan oleh Menteri atas usul

organisasi profesi.

6. Tugas MKDKI, diatur dalam Pasal 64 : a. menerima pengaduan,

memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter

gigi yang diajukan; b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus

pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.

Peraturan KKI Nomor 15/KKI/VIII/2006, BAB I Ketentuan Umum,

Pasal 1 : (4) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam bahasa

Inggris Indonesian Medical Disciplinary Board, selanjutnya disebut MKDKI,

adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan

yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu

kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi; (5) Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di tingkat Provinsi, selanjutnya

disebut MKDKI-P, adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada

tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan

233
disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi di wilayah provinsi dan

menetapkan sanksi.

Peraturan KKI Nomor 15/KKI/VIII/2006, BAB III Fungsi, Tugas dan

Kewenangan, Pasal 3 : (1) Fungsi MKDKI dan MKDKI-P adalah untuk

penegakan disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dalam penyelenggaraan

praktik kedokteran; (2) Penegakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) adalah penegakan aturan-aturan dan/atau penerapan keilmuan dalam

pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Pasal 4 :

(1) Tugas MKDKI : a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan

kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan b.

menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter

atau dokter gigi; (2) Tugas MKDKI-P menerima pengaduan, memeriksa,

memutuskan ada tidaknya kasus pelanggaran disiplin kedokteran dan

kedokteran gigi dan menentukan sanksi yang diajukan di provinsi. Pasal 5 : (1)

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)

MKDKI mempunyai wewenang : a. menerima pengaduan pelanggaran disiplin

dokter dan dokter gigi; b. menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin

atau pelanggaran etika atau bukan keduanya; c. memeriksa pengaduan

pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi; d. memutuskan ada tidaknya

pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi; e. menentukan sanksi terhadap

pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi; f. melaksanakan keputusan

234
MKDKI; g. menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter

dan dokter gigi; h. menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P; i.

membina, mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan tugas MKDKI-P; j.

membuat dan memberikan pertimbangan usulan pembentukan MKDKI-P

kepada Konsil Kedokteran Indonesia; dan k. mengadakan sosialisasi,

penyuluhan, dan diseminasi tentang MKDKI dan MKDKI-P mencatat dan

mendokumentasikan pengaduan, proses pemeriksaan, dan keputusan MKDKI.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),

MKDKI-P mempunyai wewenang : a. menerima pengaduan pelanggaran

disiplin dokter dan dokter gigi di tingkat provinsi; b. menetapkan jenis

pengaduan pelanggaran disiplin atau pelanggaran etika atau bukan keduanya; c.

memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi di tingkat

provinsi; d. meminta keterangan saksi ahli jika diperlukan; e. memutuskan

pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi di tingkat provinsi; f. menentukan

sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi di tingkat provinsi;

g. melaksanakan keputusan MKDKI-P. Pasal 6 : Dalam menjalankan fungsi,

tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal

5, MKDKI harus memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang

kesehatan serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dan yang

berlaku.

235
Salah satu tugas MKDKI yang tertuang dalam Undang-Undang

Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 64 butir b dan

Peraturan KKI Nomor 15/KKI/VIII/2006, BAB III Pasal 4 ayat (1) butir b,

menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter

atau dokter gigi, telah dilaksanakan dan sudah menjadi Peraturan K K I Nomor

16/KKI/PER/VIII/2006 Tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan

Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi oleh M K D K I dan M K D K I

di Tingkat Provinsi.

Peraturan K K I Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006, BAB II Pengaduan,

Pasal 2 :

(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan

dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat

mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI atau Ketua MKDKI-P.

(2) Apabila tidak mampu mengadukan secara tertulis sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), dapat mengadukan secara lisan kepada MKDKI atau

MKDKI-P.

(3) Dalam hal pengaduan dilakukan secara lisan, Sekretariat MKDKI atau

MKDKI-P memfasilitasi atau membantu pembuatan permohonan

pengaduan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ditandatangani

oleh pengadu atau kuasanya.

236
(4) Untuk melengkapi keabsahan pengaduan MKDKI dan MKDKI-P dapat

melakukan verifikasi atas aduan yang dimasukkan.

(5) Untuk melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Ketua

MKDKI dapat mengangkat orang untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Pasal 3 :

(1) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (2) sekurang-kurangnya

harus memuat :

a. identitas pengadu dan pasien;

b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi;

c. waktu tindakan dilakukan;

d. alasan pengaduan;

e. alat bukti bila ada; dan

f. pernyataan tentang kebenaran pengaduan.

(2) Kelengkapan atas kekurangan dokumen pengaduan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) oleh MKDKI atau MKDKI-P dapat diminta kepada yang

mengadukan.

(3) Pengaduan dapat diproses walaupun tidak memenuhi kelengkapan

dokumen pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f apabila

pada pemeriksaan awal ditemukan kebenaran atas pengaduan tersebut.

(4) Dalam hal pengaduan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi/

Kabupaten/Kota, Organisasi Profesi Kedokteran dan Kedokteran Gigi dan

237
Konsil Kedokteran Indonesia pengaduan tersebut tidak perlu menyatakan

bahwa isi permohonan pengaduan adalah benar adanya.

(5) Untuk kepentingan pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran

disiplin kedokteran oleh MKDKI atau MKDKI-P, pihak-pihak yang terkait

harus memberikan informasi, surat/dokumen dan alat bukti lainnya yang

diperlukan MKDKI atau MKDKI-P.

Pasal 4 :

(1) Pengadu dapat didampingi atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang

kuasanya.

(2) Pemberian kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

dilakukan dengan surat kuasa khusus.

(3) Apabila dipandang perlu, pengadu dapat diminta menghadap sendiri ke

Ketua MKDKI atau Ketua MKDKI-P.

Pasal 5 :

(1) Dugaan pelanggaran disiplin yang dapat diadukan kepada MKDKI atau

MKDKI-P adalah dugaan pelanggaran disiplin yang saat terjadinya

tindakan dokter atau dokter gigi tersebut setelah diundangkannya Undang-

Undang Praktik Kedokteran pada tanggal 6 Oktober 2004.

(2) Dugaan pelanggaran disiplin yang telah diadukan/diperiksa pada Dinas

Kesehatan Provinsi atau Menteri untuk tingkat banding selama belum

238
terbentuknya MKDKI tetap diperiksa dan diselesaikan oleh Dinas Provinsi

dan Menteri untuk tingkat banding.

(3) Dugaan pelanggaran disiplin yang terjadi setelah Undang-Undang Praktik

Kedokteran diundangkan namun belum diadukan pada tingkat provinsi dan

Menteri untuk tingkat banding, dapat diadukan pada MKDKI atau

MKDKI-P bila sudah terbentuk.

(4) Dugaan pelanggaran disiplin yang telah diadukan/diperiksa pada Dinas

Kesehatan Provinsi atau Menteri untuk tingkat banding tidak dapat ditarik

dan diadukan kembali ke MKDKI atau MKDKI-P.

Peraturan K K I Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006, BAB III Majelis

Pemeriksa Awal :

Pasal 6 :

(1) MKDKI atau MKDKI-P melakukan pemeriksaan awal atas aduan yang

diterima.

(2) Untuk melakukan pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Ketua MKDKI menetapkan Majelis Pemeriksa Awal.

(3) Majelis Pemeriksa Awal pada MKDKI terdiri dari 3 (tiga) orang yang

diangkat dari Anggota MKDKI.

(4) Untuk melengkapi berkas dalam pemeriksaan awal dapat dilakukan

investigasi oleh Majelis Pemeriksa Awal.

239
(5) Dalam melaksanakan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4),

Majelis Pemeriksa Awal dapat menunjuk orang untuk pekerjaan tersebut.

(6) Majelis Pemeriksa Awal pada MKDKI-P terdiri dari 3 (tiga) orang yang

diangkat dari MKDKI-P dan atau MKDKI.

(7) Melakukan pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara

lain keabsahan aduan, keabsahan alat bukti, menetapkan pelanggaran etik

atau disiplin atau menolak pengaduan karena tidak memenuhi syarat

pengaduan atau tidak termasuk dalam wewenang MKDKI dan melengkapi

seluruh alat bukti.

(8) Bilamana dari hasil pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

ditemukan bahwa pengaduan yang diajukan adalah pelanggaran etik maka

MKDKI atau MKDKI-P melanjutkan pengaduan tersebut kepada

organisasi profesi.

(9) Bilamana pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

ditemukan bahwa pengaduan tersebut adalah dugaan pelanggaran disiplin

maka ditetapkan Majelis Pemeriksa Disiplin oleh Ketua MKDKI.

(10) Setiap keputusan Majelis Pemeriksa Awal dalam kurun waktu 14 (empat

belas) hari kerja harus disampaikan kepada Ketua MKDKI atau ketua

MKDKI-P.

Peraturan K K I Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006, BAB IV Majelis

Pemeriksa Disiplin :

240
Pasal 7 :

(1) Selambatnya-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja

sesudah hasil pemeriksa awal diterima dan lengkap dicatat dan benar,

MKDKI segera membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin untuk MKDKI dan

28 (dua puluh delapan) hari untuk MKDKI-P.

(2) Majelis Pemeriksa Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dalam Keputusan Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia.

(3) Untuk hal tertentu dan alasan yang sah dan dibenarkan maka Ketua

MKDKI dapat menangguhkan pembentukan Majelis Pemeriksa Disiplin.

Pasal 8 :

(1) Majelis Pemeriksa Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)

berjumlah 3 (tiga) orang atau 5 (lima) orang.

(2) Majelis Pemeriksa Disiplin ditetapkan oleh Ketua MKDKI.

(3) Ketua Majelis Pemeriksa Disiplin ditetapkan oleh Ketua MKDKI.

(4) Majelis Pemeriksa Disiplin dipilih dari anggota MKDKI dan/atau MKDKI-

P yang salah satunya harus ahli hukum yang bukan tenaga medis.

(5) Majelis Pemeriksa Disiplin MKDKI-P dapat diangkat dari anggota

MKDKI dan/atau anggota MKDKI-P.

241
Pasal 9 :

(1) Hari pemeriksaan ditetapkan oleh Majelis Pemeriksa Disiplin selambat-

lambatnya 14 (empat belas) hari sejak tanggal penetapan Majelis

Pemeriksa Disiplin oleh MKDKI.

(2) Bilamana tempat tinggal dokter atau dokter gigi yang diadukan jauh, maka

Majelis Pemeriksa Disiplin dapat menetapkan hari pemeriksaan selambat-

lambatnya 28 (dua puluh delapan) hari sejak tanggal penetapan Majelis

Pemeriksa Disiplin oleh Ketua MKDKI.

(3) Pemanggilan terhadap dokter atau dokter gigi yang diadukan dianggap sah,

apabila telah menerima surat panggilan yang dibuktikan dengan surat tanda

terima panggilan atau bukti penerimaan surat tercatat.

(4) Bilamana Majelis Pemeriksa Disiplin tidak dapat bersidang sebagaimana

yang diatur pada ayat (1) maka Ketua MKDKI dapat menangguhkan atas

permintaan salah seorang anggota Majelis Pemeriksa Disiplin.

Pasal 10 :

Majelis Pemeriksa Disiplin bersifat independen yaitu dalam menjalankan

tugasnya tidak terpengaruh oleh siapapun atau lembaga lainnya.

Pasal 11:

(1) Majelis Pemeriksa Disiplin hanya memeriksa dokter atau dokter gigi

terregistrasi.

242
(2) Majelis Pemeriksa Disiplin tidak melakukan mediasi, rekonsiliasi dan

negosiasi antara dokter atau dokter gigi dengan pasien atau kuasanya.

(3) Bilamana dipandang perlu, Majelis Pemeriksa Disiplin dapat meminta

pasien untuk hadir dalam sidang.

Pasal 12 :

Penanganan atas tuntutan ganti rugi pasien tidak menjadi kewenangan MKDKI

atau MKDKI-P.

Pasal 13 :

(1) Pemeriksaan dokter atau dokter gigi yang diadukan dilakukan dalam

bentuk Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin.

(2) Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dipimpin oleh Ketua Majelis Pemeriksa

Disiplin dan didampingi oleh anggota Majelis Pemeriksa Disiplin dan

seorang panitera yang ditetapkan oleh Ketua MKDKI.

Pasal 14 :

(1) Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dihadiri oleh dokter atau dokter gigi

yang diadukan, dan dapat didampingi oleh pendamping.

(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang diadukan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak hadir dalam persidangan pertama dua kali berturut-turut

dan/atau tidak menanggapi panggilan tanpa alasan yang sah dan tidak dapat

dipertanggung jawabkan, Ketua Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dapat

243
meminta kepada Kepala Dinas Kesehatan setempat atau Ketua Organisasi

Profesi untuk mendatangkan dokter atau dokter gigi yang dimaksud.

(3) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang diadukan tidak dapat hadir dalam

persidangan karena alasan yang sah maka persidangan dapat ditunda oleh

Ketua MKDKI.

(4) Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang disebabkan

oleh gangguan kesehatan fisik dan/atau mental lebih dari 30 (tiga puluh)

hari harus melalui pemeriksaan kesehatan yang ditunjuk oleh MKDKI.

Pasal 15 :

Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dilakukan secara tertutup.

Pasal 16 :

(1) Demi kelancaran pemeriksaan, Ketua Majelis Pemeriksa Disiplin

berwenang memberikan petunjuk dalam sidang majelis mengenai berbagai

langkah-langkah proses pemeriksaan dalam penyelesaian pemeriksaan dan

alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam Sidang Majelis Pemeriksa

Disiplin.

(2) Dengan izin Ketua Majelis Pemeriksa Disiplin, dokter atau dokter gigi

yang diadukan atau pembelanya dapat meminta foto copy salinan

dokumen-dokumen pengaduan atau surat-surat resmi pengaduan untuk

dipelajari.

244
Pasal 17 :

(1) Hari dan tanggal Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin berikutnya diputuskan

dalam sidang Majelis Pemeriksa Disiplin.

(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang diadukan tidak datang tanpa alasan

yang sah pada Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin berikutnya, maka Sidang

Majelis Pemeriksa Disiplin dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya.

(3) Biaya kehadiran dokter atau dokter gigi yang diadukan ditanggung oleh

dokter atau dokter gigi yang bersangkutan.

Pasal 18 :

(1) Apabila proses pemeriksaan sudah selesai dan dianggap cukup, dokter atau

dokter gigi yang diadukan atau pembelanya harus diberi kesempatan untuk

mengemukakan pendapat akhir yang berupa kesimpulan akhir.

(2) Setelah kesempatan mengemukakan kesimpulan akhir sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diberikan, Ketua Majelis Pemeriksa Disiplin

menyatakan sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis

Pemeriksa Disiplin untuk melakukan musyawarah pengambilan keputusan.

Peraturan K K I Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006, BAB V Pembuktian :

Pasal 19 :

Alat bukti yang dapat diajukan pada persidangan Majelis Pemeriksaan Disiplin

dokter atau dokter gigi yang diadukan dapat berupa:

a. surat-surat/dokumen-dokumen tertulis;

245
b. keterangan saksi-saksi;

c. pengakuan teradu;

d. keterangan ahli;

e. barang bukti.

Pasal 20 :

(1) Surat atau dokumen tertulis sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf (a)

adalah surat dan atau dokumen tertulis yang berhubungan dengan tindakan

medis atau rekam medis atau dokumen lain yang dianggap penting.

(2) Surat atau dokumen tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

dapat dibuktikan sesuai dengan yang sebenarnya di depan Sidang Majelis

Pemeriksa Disiplin.

Pasal 21 :

(1) Saksi yang tidak datang setelah dipanggil dan tidak memberikan alasan

yang sah dan dapat dipertanggung jawabkan sekurang-kurangnya 3 (tiga)

kali berturut-turut, Ketua Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dapat

meminta kepada Dinas Kesehatan setempat, Ketua Organisasi Profesi atau

Ketua Kolegium untuk mendatangkan saksi yang dimaksud.

(2) Orang-orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah :

a. keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus keatas

atau kebawah sampai derajat kedua dari dokter atau dokter gigi yang

diadukan;

246
b. isteri atau suami dokter atau dokter gigi yang diadukan, meskipun

sudah cerai;

c. orang yang belum dewasa (minderjerigheid) yaitu orang yang belum

dewasa sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang Hukum

Perdata, kecuali keterangannya bersesuaian dengan alat bukti sah

lainnya;

d. orang yang dibawah pengampuan (kuratel).

(3) Keterangan saksi sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf b dapat dianggap

sebagai alat bukti, apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang

dialami, dilihat atau didengar sendiri.

Pasal 22 :

(1) Apabila saksi tidak bisa berbahasa Indonesia, Ketua Majelis Pemeriksa

Disiplin dapat mengangkat seorang ahli bahasa sebagai penerjemah.

(2) Sebelum melaksanakan tugasnya ahli bahasa sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) harus mengucapkan sumpah sesuai dengan agama dan

kepercayaannya.

Pasal 23 :

(1) Apabila saksi bisu atau tuli dan tidak dapat menulis, Ketua Majelis

Pemeriksa Disiplin dapat mengangkat orang yang mampu sebagai juru

bahasa.

247
(2) Sebelum melaksanakan tugasnya juru bahasa sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau

kepercayaannya.

Pasal 24 :

(1) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji dihadapan Sidang Majelis

Pemeriksa Disiplin.

(2) Dalam hal saksi yang akan didengar tidak hadir disidang Majelis

Pemeriksa Disiplin karena halangan yang dapat dibenarkan hukum, Ketua

Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang

anggota Majelis Pemeriksa Disiplin dapat datang ke tempat saksi untuk

mengambil sumpah atau janji dan mendengarkan kesaksiannya.

(3) Dalam mendengarkan kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dapat dilakukan oleh Majelis Pemeriksa Disiplin tanpa hadirnya dokter

atau dokter gigi yang diadukan.

Pasal 25 :

(1) Pengakuan teradu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dianggap

sebagai alat bukti apabila pengakuan teradu yang diberikan berupa hal

yang dialami dan dilihat sendiri.

(2) Pengakuan sebagai dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dihadapan

Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin.

248
Pasal 26 :

(1) Keterangan ahli sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf d adalah pendapat

yang disampaikan oleh orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan

khusus.

(2) Keterangan ahli dikemukakan dihadapan Sidang Majelis Pemeriksa

Disiplin.

(3) Keterangan ahli dapat diajukan/diminta oleh dokter atau dokter gigi yang

diadukan dengan persetujuan Ketua Majelis Pemeriksa Disiplin.

(4) Keterangan ahli dapat diajukan atau diminta keterangannya oleh Ketua

Majelis Pemeriksa Disiplin.

Peraturan K K I Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006, BAB VI Keputusan

Majelis Pemeriksa Disiplin :

Pasal 27 :

(1) Keputusan sidang Majelis Pemeriksa Disiplin adalah merupakan keputusan

MKDKI atau keputusan MKDKI-P yang mengikat Konsil Kedokteran

Indonesia, dokter atau dokter gigi yang diadukan, pengadu, Departemen

Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta institusi terkait.

(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :

a. tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran disiplin kedokteran; atau

b. terbukti bersalah melakukan pelanggaran disiplin kedokteran dan

pemberian sanksi disiplin.

249
(3) Pengaduan yang telah diputuskan pada MKDKI atau MKDKI-P tidak dapat

diadukan kembali.

Pasal 28 :

(1) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf (b)

dapat berupa :

a. pemberian peringatan tertulis;

b. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik;

dan/atau

c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan

kedokteran atau kedokteran gigi.

(2) Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa rekomendasi

pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik sementara

selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau rekomendasi pencabutan Surat Tanda

Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap atau selamanya.

(3) Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan

kedokteran atau kedokteran gigi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf c dapat berupa:

a. pendidikan formal;

b. pelatihan dalam pengetahuan dan atau keterampilan, magang di

institusi pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau

250
sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3

(tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.

(4) Sebagai bukti telah melaksanakan kewajiban mengikuti pendidikan atau

pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh

kolegium terkait.

Pasal 29 :

(1) Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin ditetapkan dalam sidang Majelis

Pemeriksa Disiplin.

(2) Pengambilan Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin dilakukan dengan cara

musyawarah.

(3) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan dalam musyawarah sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Ketua Majelis Pemeriksa Disiplin dapat

mengambil keputusan dengan suara terbanyak.

Pasal 30 :

(1) Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin harus diucapkan/dibacakan dalam

sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dan terbuka untuk umum.

(2) Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin pada MKDKI dan MKDKI-P adalah

bersifat final.

Pasal 31 :

(1) Apabila dokter atau dokter gigi yang disidangkan atau kuasanya tidak

hadir pada saat sidang pembacaan Keputusan oleh Majelis Pemeriksa,

251
keputusan wajib disampaikan dengan surat secara resmi kepada yang

bersangkutan.

(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang disidangkan atau kuasanya tidak

menerima keputusan tersebut maka dalam waktu selambat-lambatnya 30

(tiga puluh) hari dapat mengajukan keberatan kepada Ketua MKDKI atau

ketua MKDKI-P dengan mengajukan bukti baru yang mendukung

keberatannya.

(3) Apabila dalam 30 (tiga puluh) hari tidak ada pengajuan keberatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka keputusan MKDKI atau

MKDKI-P berkekuatan tetap.

(4) Terhadap keberatan yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Majelis Pemeriksa Disiplin akan bersidang kembali untuk sidang lanjutan

peninjauan kembali atas alat bukti baru yang diajukan.

(5) Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) berkekuatan tetap dan dinyatakan terbuka untuk umum.

Pasal 32 :

(1) Keputusan sidang Majelis Pemeriksa Disiplin harus memuat :

a. kepala keputusan berbunyi: ”Demi kehormatan profesi kedokteran

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;

b. nama lengkap berikut gelar akedemik dan sebutan profesi,

tempat/tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, nomor

252
STR dan tanggal diterbitkannya, Nomor SIP dan tanggal diterbitkannya,

tempat tinggal atau tempat praktik dokter atau dokter gigi yang

disidangkan;

c. nama lengkap, tempat/tanggal lahir atau umur, jenis kelamin,

kewarganegaraan dan alamat pengadu;

d. ringkasan pengaduan dan jawaban dokter atau dokter gigi yang

diadukan;

e. pertimbangan dan penilaian setiap alat bukti yang diajukan dan hal-hal

yang terjadi selama dalam proses pemeriksaan/persidangan;

f. alasan-alasan baik dari teknis kedokteran maupun disiplin keahlian yang

menjadi dasar keputusan;

g. amar Keputusan dan pembiayaan;

h. hari, tanggal keputusan, nama ketua Majelis Pemeriksa Disiplin dan

anggotanya, keterangan tentang hadir dan tidaknya dokter atau dokter

gigi yang diadukan serta keterangan lain yang relevan.

(2) Keputusan sidang Majelis Pemeriksa Disiplin ditanda tangani ketua majelis

dan anggota majelis.

(3) Keputusan sidang Majelis Pemeriksa Disiplin mempunyai kekuatan

mengikat sejak diputuskan dan dibacakan dalam sidang Majelis

Pemeriksaan Disiplin.

253
Peraturan K K I Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006, BAB VI Pelaksanaan

Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin :

Pasal 33 :

(1) Setiap Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin dalam kurun waktu 14

(empat belas) hari kerja harus menyampaikan kepada Ketua MKDKI atau

Ketua MKDKI-P.

(2) Ketua MKDKI atau Ketua MKDKI-P dalam 14 (empat belas) hari kerja

harus menyampaikan Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) kepada pihak-pihak yang terkait.

Pasal 34 :

Pelaksanaan Keputusan MKDKI dan MKDKI-P tentang tidak terbukti bersalah

melakukan pelanggaran disiplin kedokteran dilakukan oleh sekretariat MKDKI

atau sekretariat MKDKI-P dan disampaikan kepada dokter atau dokter gigi

yang bersangkutan.

Pasal 35 :

Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang penolakan

pengaduan karena ditemukan pelanggaran etika, oleh Sekretariat MKDKI atau

sekretariat MKDKI-P diteruskan pengaduannya kepada organisasi profesi yang

bersangkutan.

254
Pasal 36 :

(1) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau MKDKI-P tentang sanksi disiplin

peringatan tertulis, oleh Sekretariat MKDKI atau MKDKI-P disampaikan

kepada dokter atau dokter gigi yang bersangkutan.

(2) Tanggal dan hari tanda terima Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) sebagai bukti bahwa tanggal dan hari tersebut telah dilaksanakan

Keputusan MKDKI atau Keputusan MKDKI-P terhadap dokter atau dokter

gigi yang dikenakan sanksi disiplin peringatan tertulis.

Pasal 37 :

(1) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang sanksi

disiplin rekomendasi pencabutan STR disampaikan oleh sekretariat

MKDKI atau MKDKI-P kepada Konsil Kedokteran Indonesia untuk

dilaksanakan.

(2) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang sanksi

rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)

hari kerja sejak tanggal dan hari diterimanya Keputusan MKDKI atau

Keputusan MKDKI-P oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 38 :

(1) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau MKDKI-P tentang sanksi disiplin

rekomendasi pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) disampaikan oleh

255
sekretariat MKDKI atau MKDKI-P kepada Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota tempat Surat Izin Praktik (SIP) tersebut diterbitkan untuk

dilaksanakan.

(2) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang sanksi

disiplin rekomendasi pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)

hari kerja sejak tanggal dan hari diterimanya Keputusan MKDKI atau

keputusan MKDKI-P oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat Surat

Izin Praktik (SIP) tersebut diterbitkan.

Pasal 39 :

(1) Pelaksanaan keputusan MKDKI atau MKDKI-P tentang sanksi disiplin

mengikuti pendidikan atau pelatihan disampaikan Sekretariat MKDKI atau

MKDKI-P kepada Konsil Kedokteran Indonesia untuk dilaksanakan.

(2) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang sanksi

mengikuti pendidikan/pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hari dan

tanggal diterimanya Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P oleh

Konsil Kedokteran Indonesia.

(3) Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang sanksi disiplin

mengikuti pendidikan atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

256
oleh Konsil Kedokteran Indonesia diteruskan/disampaikan kepada

kolegium dan institusi pendidikan yang berkompetensi.

(4) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang sanksi

disiplin mengikuti pendidikan atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dibiayai oleh dokter atau dokter gigi yang dikenai sanksi.

Berdasarkan Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran dinyatakan bahwa Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia adalah majelis yang berwenang menentukan ada atau

tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter atau dokter gigi dalam penerapan

disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.

Pelanggaran disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi yang dilakukan oleh

dokter dan dokter gigi yang terregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia, atau

dokter dan dokter gigi yang telah memiliki Surat Penugasan dari Departemen

Kesehatan pada masa peralihan, dapat mengakibatkan diberikannya sanksi

disiplin profesi kepada pelakunya, yang diputuskan oleh Majelis Kehormatan

Disiplin Kedokteran Indonesia. Untuk itu KKI menerbitkan Keputusan Nomor

17/KKI/Kep/VIII/2006 tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi

Kedokteran, BAB III Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran :

257
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.

Penjelasan:

Dalam menjalankan asuhan klinis kepada pasien, dokter atau dokter gigi

harus bekerja dalam batas-batas kompetensinya, baik dalam penegakan

diagnosis maupun dalam penatalaksanaan pasien.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 29

ayat (3) huruf d memiliki sertifikat kompetensi; Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan

Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal 22 ayat (1) dokter dan dokter gigi

dalam melaksanakan praktik kedokteran harus sesuai dengan kewenangan

dan kompetensi yang dimiliki serta kewenangan lainnya yang ditetapkan

oleh KKI dan ayat (3) pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat

(1) dan (2) harus dilakukan sesuai dengan sandar profesi.

2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang

memiliki kompetensi sesuai.

Penjelasan:

a. Dalam situasi dimana penyakit atau kondisi pasien di luar

kompetensinya (karena keterbatasan pengetahuan, keterbatasan

keterampilan ataupun keterbatasan peralatan yang tersedia), maka

dokter atau dokter gigi wajib menawarkan kepada pasien untuk dirujuk

258
atau dikonsultasikan kepada dokter atau dokter gigi lain atau sarana

pelayanan kesehatan lain yang lebih sesuai.

b. Upaya perujukan dapat tidak dilakukan, apabila situasi yang terjadi

antara lain sebagai berikut:

1). Kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk;

2). Keberadaan dokter atau dokter gigi lain atau sarana kesehatan

yang lebih tepat, sulit dijangkau atau sulit didatangkan;

3). Atas kehendak pasien.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51

huruf b merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai

keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan

suatu pemeriksaan atau pengobatan.

3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang

tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.

Penjelasan:

a. Dokter atau dokter gigi dapat mendelegasikan tindakan atau prosedur

kedokteran tertentu kepada tenaga kesehatan tertentu yang sesuai

dengan ruang lingkup keterampilan mereka.

b. Dokter atau dokter gigi harus yakin bahwa tenaga kesehatan yang

menerima pendelegasian tersebut, memiliki kompetensi untuk itu.

259
c. Dokter atau dokter gigi, tetap bertanggung jawab atas penatalaksanaan

pasien yang bersangkutan.

Dasar :

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang

Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal 22 ayat (1) dokter

dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran harus sesuai dengan

kewenangan dan kompetensi yang dimiliki serta kewenangan lainnya yang

ditetapkan oleh KKI dan ayat (3) pelaksanaan kewenangan sebagaimana

dimaksud ayat (1) dan ayat (2) harus dilakukan sesuai dengan sandar profesi.

4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak

memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak

melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut.

Penjelasan:

a. Bila dokter atau dokter gigi berhalangan menjalankan praktik

kedokteran, maka dapat menyediakan dokter atau dokter gigi

pengganti yang memiliki kompetensi sama dan memiliki Surat Izin

Praktik (SIP).

b. Dalam kondisi keterbatasan tenaga dokter atau dokter gigi dalam

bidang tertentu sehingga tidak memungkinkan tersedianya dokter atau

dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi yang sama, maka

dapat disediakan dokter atau dokter gigi pengganti lainnya.

260
c. Surat Izin Praktik (SIP) dokter atau dokter gigi pengganti tidak harus

SIP di tempat yang harus digantikan.

d. Ketidakhadiran dokter atau dokter gigi bersangkutan dan kehadiran

dokter atau dokter gigi pengganti pada saat dokter atau dokter gigi

berhalangan praktik, harus diinformasikan kepada pasien secara lisan

ataupun tertulis ditempat praktik dokter.

e. Jangka waktu penggantian ditentukan dalam peraturan perundangan

yang berlaku atau etika profesi.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 40

ayat (1) dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik

kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter

gigi pengganti; ayat (2) dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus dokter atau dokter gigi yang mempunyai Surat

Izin Praktik. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005

tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal 20 ayat (3)

dalam hal dokter dan dokter gigi sebagaimana dimaksud ayat (2)

berhalangan melaksanakan praktik dapat menunjuk dokter dan dokter gigi

pengganti; ayat (4) dokter dan dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud

ayat (3) harus dokter dan dokter gigi yang memiliki SIP atau sertifikat

Kompetensi peserta PPDS dan STR dan Pasal 21 ayat (1) dokter dan dokter

261
gigi yang berhalangan melaksanakan praktik atau telah menunjuk dokter

pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3)

wajib membuat pemberitahuan; ayat (2) pemberitahuan sebagaimana

dimaksud ayat (1) harus ditempelkan atau ditempatkan pada tempat yang

mudah terlihat.

5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik

ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat

membahayakan pasien.

Penjelasan:

a. Dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, harus

berada pada kondisi fisik dan mental yang laik (fit).

b. Dokter atau dokter gigi yang mengalami gangguan kesehatan fisik atau

gangguan kesehatan mental tertentu, dapat dinyatakan tidak laik untuk

melaksanakan praktik kedokteran (unfit to practice).

c. Dokter atau dokter gigi bersangkutan baru dapat dibenarkan untuk

kembali melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi bilamana

kesehatan fisik maupun mentalnya telah pulih untuk praktik (fit to

practice).

d. Pernyatakan laik atau tidak laik untuk melaksanakan praktik

kedokteran atau kedokteran gigi, diatur lebih lanjut oleh Konsil

Kedokteran Indonesia.

262
Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 29

ayat (3) huruf c memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental.

6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak

dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai

dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau

pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.

Penjelasan:

Dokter atau dokter gigi wajib melakukan penatalaksanaan pasien dengan

teliti, tepat, hati-hati, etis dan penuh kepedulian dalam hal-hal sebagai

berikut:

a. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan mental, bilamana perlu pemeriksaan

penunjang diagnostik.

b. Penilaian riwayat penyakit, gejala dan tanda-tanda pada kondisi

pasien.

c. Tindakan dan pengobatan secara profesional.

d. Tindakan yang tepat dan cepat terhadap keadaan yang memerlukan

intervensi kedokteran.

263
e. Kesiapan untuk berkonsultasi pada sejawat yang sesuai, bilamana

diperlukan.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 44

ayat (1) dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran

wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi dan ayat

(2) standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan

menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan dan Pasal 51 huruf a

memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai

dengan kebutuhan pasien.

Penjelasan:

a. Dokter atau dokter gigi, melakukan pemeriksaan atau memberikan

terapi, ditujukan hanya untuk kebutuhan medik pasien.

b. Pemeriksaan atau pemberian terapi yang berlebihan, dapat membebani

pasien dari segi biaya maupun kenyamanan, dan bahkan dapat

menimbulkan bahaya bagi pasien.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51

huruf a memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

264
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; dan Pasal 52

huruf c mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.

8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate

information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik

kedokteran.

Penjelasan:

a. Pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right

to information), dan oleh karenanya, dokter atau dokter gigi wajib

memberikan informasi dengan bahasa yang dipahami oleh pasien atau

penterjemahnya, kecuali bila informasi tersebut dapat membahayakan

kesehatan pasien.

b. Informasi yang berkaitan dengan tindakan medik yang akan dilakukan

meliputi : diagnosis medik, tata cara tindakan medik, tujuan tindakan

medik, alternatif tindakan medik lain, risiko tindakan medik,

komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosis terhadap tindakan

yang dilakukan.

c. Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya pelayanan

kesehatan yang akan dijalaninya.

d. Keluarga pasien berhak memperoleh informasi tentang sebab-sebab

kematian pasien, kecuali bila sebelum meninggal pasien menyatakan

agar penyakitnya tetap dirahasiakan .

265
Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45

ayat (2) persetujuan sebagaimana dimaksud padaayat (1) diberikan setelah

pasien mendapat penjelasan secara lengkap dan ayat (3) penjelasan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Pasal 52 huruf a mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan

medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); huruf b meminta

pendapat dokter atau dokter gigi lain; dan huruf e mendapatkan isi rekam

medis. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005

tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal 17 ayat (1)

dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran

atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada

pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan: ayat (2) tindakan

kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mendapat persetujuan dari

pasien; ayat (3) pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana

266
dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-

undangan.

9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien

atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya.

Penjelasan:

a. Untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif dalam rangka

memperoleh persetujuan tindakan medik, baik dokter atau dokter gigi

maupun pasien mempunyai hak untuk didengar dan kewajiban untuk

saling memberi informasi.

b. Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter atau dokter gigi

dan memahami maknanya (well informed), pasien diharapkan dapat

mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self

determination) untuk menyetujui (consent) atau menolak (refuse)

tindakan medik yang akan dilakukan kepadanya.

c. Setiap tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien,

mensyaratkan persetujuan (otorisasi) dari yang bersangkutan. Dalam

kondisi dimana pasien tidak dapat memberikan persetujuan secara

pribadi (dibawah umur atau keadaan fisik/mental tidak

memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan oleh keluarga yang

berwenang (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara kandung) atau

wali atau pengampunya (proxy).

267
d. Persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat dinyatakan

secara tertulis atau lisan, termasuk dengan menggunakan bahasa tubuh.

Setiap tindakan medik yang mempunyai risiko tinggi mensyaratkan

persetujuan tertulis.

e. Dalam kondisi dimana pasien tidak mampu memberikan persetujuan

dan tidak memiliki pendamping, maka dengan tujuan untuk

penyelamatan hidup (life saving) atau mencegah kecacatan pasien

yang berada dalam keadaan gawat darurat, tindakan medik dapat

dilakukan tanpa persetujuan pasien.

f. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi,

persetujuan harus diberikan oleh pasangannya (suami/istri).

g. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kepentingan publik

(misal: imunisasi massal dalam penanggulangan wabah), tidak

diperlukan persetujuan.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45

ayat (1) setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan

dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat

persetujuan;(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaayat (1) diberikan

setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap; ayat (3) penjelasan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

268
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; ayat (4) persetujuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara

tertulis maupun lisan; ayat (5) setiap tindakan kedokteran atau

kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan

dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak

memberikan persetujuan dan Pasal 52 huruf d menolak tindakan

medis. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter

dan Dokter Gigi Pasal 17 ayat (1) dokter atau dokter gigi dalam

memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi

terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada pasien

tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan; ayat (2)

tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus

mendapat persetujuan dari pasien; ayat (3) pemberian penjelasan

dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)

dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.

269
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik,

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika

profesi.

Penjelasan:

a. Dalam melaksanakan praktik kedokteran, dokter atau dokter gigi wajib

membuat rekam medik secara benar dan lengkap serta menyimpan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Dalam hal dokter berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, maka

penyimpanan rekam medik merupakan tanggung jawab sarana

pelayanan kesehatan yang bersangkutan.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 46

ayat (1) setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik

kedokteran wajib membuat rekam medis; ayat (2) rekam medis

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien

selesai menerima pelayanan kesehatan; ayat (3) setiap catatan rekam medis

harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan

pelayanan atau tindakan; dan Pasal 47 ayat (1) dokumen rekam medis

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi,

atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan

milik pasien; ayat (2) rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

270
harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan

pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan

Dokter Gigi Pasal 16 ayat (1) dokter dan dokter gigi dalam pelaksanaan

praktik kedokteran wajib membuat rekam medis; ayat (2) rekam medis

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan

perundang-undangan.

11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan

yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan dan etika profesi.

Penjelasan:

a. Penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi

medik yang mengharuskan tindakan tersebut.

b. Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang

mengorbankan nyawa janinnya, dilakukan oleh setidaknya dua orang

dokter.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 15 ayat (1)

dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan

atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu; ayat (2) tindakan

medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat

271
dilakukan : a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya

tindakan tersebut; b. oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan

kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggungjawab profesi

serta berdasarkan pertimbangan tim ahli; c. dengan persetujuan ibu hamil

yang bersangkutan atau suami atau keluarganya; d. pada sarana kesehatan

tertentu.

12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas

permintaan sendiri dan atau keluarganya.

Penjelasan:

a. Setiap dokter tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan

mengakhiri kehidupan manusia, karena selain bertentangan dengan

sumpah kedokteran dan atau etika kedokteran dan atau tujuan profesi

kedokteran, juga bertentangan dengan aturan hukum pidana.

b. Pada kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dimana upaya

kedokteran kepada pasien merupakan kesia-siaan (futile) menurut state

of the art (SOTA) ilmu kedokteran, maka dengan persetujuan pasien

dan atau keluarga dekatnya, dokter dapat menghentikan pengobatan,

akan tetapi dengan tetap memberikan perawatan yang layak (ordinary

care). Dalam keadaan tersebut, dokter dianjurkan untuk berkonsultasi

dengan sejawatnya atau komite etik rumah sakit bersangkutan.

272
Dasar :

Fatwa IDI Nomor 231/PB/4/7/1990.

World Medical Association : Declaration of Euthanasia (Madrid, 1987).

13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan

atau keterampilan atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata

cara praktik kedokteran yang layak.

Penjelasan:

a. Dalam rangka menjaga keselamatan pasien, setiap dokter atau dokter

gigi wajib menggunakan pengetahuan, ketrampilan dan tata cara

praktik kedokteran yang telah diterima oleh profesi kedokteran atau

kedokteran gigi .

b. Setiap pengetahuan, ketrampilan dan tata cara baru harus melalui

penelitian/uji klinik tertentu sesuai dengan ketentuan perundang

-undangan yang berlaku.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 27

Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi, untuk

memberikan kompetensi kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan sesuai

dengan standar pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi. Pasal 28

ayat (1) setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti

pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan

273
yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang

diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi; ayat (2)

pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar

yang ditetapkan oleh organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi.

Pasal 51 huruf a memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi

dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan

manusia sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik

(ethical clearance) dari lembaga yang diakui pemerintah.

Penjelasan :

Dalam praktik kedokteran, dimungkinkan untuk menggunakan pasien atau

klien sebagai subjek penelitian sepanjang telah memperoleh persetujuan etik

(ethical clearance) dari komisi etik penelitian.

Dasar :

World Medical Association: Deklarasi Helsinki (1964) yang telah

diamandemen di Venetia (1983).

15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,

padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang

lain yang bertugas dan mampu melakukannya.

274
Penjelasan:

a. Menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan adalah

kewajiban yang mendasar bagi setiap manusia, utamanya bagi profesi

dokter atau dokter gigi di sarana pelayanan kesehatan.

b. Kewajiban tersebut dapat diabaikan apabila membahayakan dirinya

atau apabila telah ada individu lain yang mau dan mampu

melakukannya atau karena ada ketentuan lain yang telah diatur oleh

sarana pelayanan kesehatan tertentu.

Dasar:

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51

huruf d melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali

bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/ X/2005 tentang

Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal 22 ayat (2) dokter

dan dokter gigi dalam keadaan gawat dan/atau darurat berwenang

melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sesuai dengan

kebutuhan medis dalam rangka penyelamatan jiwa.

16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien

tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan atau etika profesi.

Penjelasan:

275
a. Tugas dokter atau dokter gigi sebagai profesional medik adalah

melakukan pelayanan kedokteran.

b. Beberapa alasan yang dibenarkan bagi dokter atau dokter gigi untuk

menolak atau mengakhiri pelayanan kepada pasiennya (memutuskan

hubungan dokter pasien) adalah :

1). Pasien melakukan intimidasi terhadap dokter atau dokter gigi.

2). Pasien melakukan kekerasan terhadap dokter atau dokter gigi.

3). Pasien berperilaku merusak hubungan saling percaya tanpa alasan.

Dalam hal-hal diatas, dokter atau dokter gigi wajib memberitahu

secara lisan atau tertulis kepada pasiennya dan menjamin

kelangsungan pengobatan pasien dengan cara merujuk ke dokter atau

dokter gigi lain dengan menyertakan keterangan mediknya.

c. Dokter atau dokter gigi tidak boleh melakukan penolakan atau

memutuskan hubungan terapeutik dokter-pasien, semata-mata karena

alasan: keluhan pasien terhadap pelayanan dokter, finansial, suku, ras,

jender, politik, agama atau kepercayaan.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51

huruf a memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien dan Pasal 52

huruf c mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.

276
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan atau etika profesi.

Penjelasan:

a. Dokter atau dokter gigi wajib menjaga rahasia pasiennya. Bila

dipandang perlu untuk menyampaikan informasi tanpa persetujuan

pasien atau keluarga, maka dokter atau dokter gigi tersebut harus

mempunyai alasan pembenaran.

b. Alasan pembenaran yang dimaksud adalah:

1). Permintaan Majelis Pemeriksa MKDKI.

2). Permintaan Majelis Hakim Sidang Pengadilan.

3). Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 48

ayat (1) setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran; ayat (2) rahasia

kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,

memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan

hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-

undangan dan Pasal 51 huruf c merahasiakan segala sesuatu yang

diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang

277
Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal 18 ayat (1) dokter

dan dokter gigi dalam melaksanakan tindakan kedokteran wajib menyimpan

segala sesuatu yang diketahui dalam pemeriksaan pasien, interprestasi

penegakan diagnose dalam melakukan pengobatan termasuk segala sesuatu

yang diperoleh dari tenaga kesehatan lainnya sebagai rahasia kedokteran;

ayat (2) ketentuan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilaksanakan sesuai peraturan perundang -undangan. Peraturan Pemerintah

Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.

18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil

pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut.

Penjelasan:

a. Sebagai profesional medik, dokter atau dokter gigi harus jujur dan

dapat dipercaya dalam memberikan keterangan medik, baik dalam

bentuk lisan maupun tulisan.

b. Dokter atau dokter gigi tidak dibenarkan membuat atau memberikan

keterangan palsu.

c. Dalam hal membuat keterangan medik berbentuk tulisan (hard copy),

dokter wajib membaca secara teliti setiap dokumen yang akan ditanda

tangani, agar tidak terjadi kesalahan penjelasan yang dapat

menyesatkan.

278
Dasar :

Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7, seorang dokter hanya memberi

surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya

dan Kode Etik Kedokteran Gigi.

19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan

(torture) atau eksekusi hukuman mati.

Penjelasan:

Prinsip tugas mulia seorang profesional medik adalah memelihara kesehatan

fisik, mental dan sosial penerima jasa pelayanan kesehatan. Oleh karenanya,

dokter atau dokter gigi tidak dibenarkan turut serta dalam pelaksanaan

tindakan yang bertentangan dengan tugas tersebut termasuk tindakan

penyiksaan atau pelaksanaan hukuman mati.

Dasar :

Keputusan Muktamar IDI XXIII No 14/MUK XXIII/XII/97 tentang

Tindakan Penyiksaan; World Medical Association: Deklarasi Tokyo Tahun

2000.

20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika

dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dan etika profesi.

279
Penjelasan:

Dokter dibenarkan memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan

zat adiktif lainnya sepanjang sesuai dengan indikasi medis dan peraturan

perundang-undangan.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika; Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan

kekerasan terhadap pasien, di tempat praktik.

Penjelasan:

Dalam hubungan terapeutik antara dokter-pasien, dokter atau dokter gigi

tidak boleh menggunakan hubungan personal (seperti hubungan seks atau

emosional) yang dapat merusak hubungan dokter-pasien.

Dasar :

Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7 huruf a seorang dokter harus, dalam

setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten

dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang

(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. Kode Etik

Kedokteran Gigi.

22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.

Penjelasan:

280
Dalam melaksanakan hubungan terapeutik dokter-pasien, dokter atau dokter

gigi hanya dibenarkan menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi

sesuai dengan kemampuan, kewenangan dan ketentuan perundang-

undangan. Penggunaan gelar dan sebutan lain yang tidak sesuai, dinilai dapat

menyesatkan masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional; Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4.

23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta

pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat kesehatan.

Penjelasan:

Dalam melakukan rujukan (pasien, laboratorium, teknologi) kepada dokter

atau dokter gigi lain atau sarana penunjang lain, atau pembuatan

resep/pemberian obat, seorang dokter atau dokter gigi hanya dibenarkan

bekerja untuk kepentingan pasien. Oleh karenanya, dokter atau dokter gigi

tidak dibenarkan meminta atau menerima imbalan jasa atau membuat

kesepakatan dengan pihak lain diluar ketentuan etika profesi (kick-back atau

fee-splitting) yang dapat mempengaruhi indepedensi dokter atau dokter gigi

yang bersangkutan.

Dasar :

281
Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 3 dalam melakukan pekerjaan

kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang

mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Kode Etik

Kedokteran Gigi Pasal 3 dalam menjalankan profesinya setiap dokter gigi di

Indonesia tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan untuk mencari

keuntungan pribadi. Keputusan Muktamar IDI XXIII Nomor 14/ MUK

XXIII/XII/97 tentang Promosi Obat, Kosmetika, Alat dan Sarana Kesehatan,

Makanan, Minuman dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.

24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/

pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar

atau menyesatkan.

Penjelasan:

a. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan medik, membutuhkan

informasi tentang kemampuan/pelayanan seorang dokter atau dokter

gigi untuk kepentingan pengobatan dan rujukan. Oleh karenanya,

dokter atau dokter gigi hanya dibenarkan memberikan informasi yang

memenuhi ketentuan umum yakni: sah, patut, jujur, akurat dan dapat

dipercaya.

b. Melakukan penyuluhan kesehatan di media massa tidak termasuk

pelanggaran disiplin.

282
c. Melakukan pengiklanan diri tentang kompetensi atau layanan yang

benar merupakan pelanggaran etik dan tidak termasuk dalam

pelanggaran disiplin.

Dasar :

Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 4 setiap dokter harus menghindarkan

diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri dan Kode Etik Kedokteran Gigi

Pasal 4.

25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif

lainnya.

Penjelasan:

Penggunaan narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya

(NAPZA) dapat menurunkan kemampuan seorang dokter/dokter gigi

sehingga berpotensi membahayakan pengguna pelayanan medik.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; Undang-Undang Nomor 29

Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 29 ayat (3) huruf c memiliki

surat keterangan sehat fisik dan mental.

26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau

Surat Ijin Praktik (SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah.

Penjelasan:

283
Seorang dokter atau dokter gigi yang diduga memiliki STR dan/atau SIP

dengan menggunakan persyaratan yang tidak sah, dapat diajukan ke

MKDKI. Apabila terbukti adanya pelanggaran tersebut, maka STR akan

dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan SIP akan dicabut oleh

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan rekomendasi MKDKI.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 36

setiap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di

Indonesia wajib memiliki SIP.

27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.

Penjelasan:

Dokter atau dokter gigi harus jujur dalam menentukan jasa medik sesuai

dengan tindakan medik yang dilakukannya terhadap pasien.

Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51

huruf d melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Kode

Etik Kedokteran Indonesia Pasal 3 dalam melakukan pekerjaan

kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang

mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi dan Kode Etik

Kedokteran Gigi Pasal 4.

284
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang

diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan

pelanggaran disiplin.

Penjelasan:

Dalam rangka pemeriksaan terhadap dokter atau dokter gigi yang diadukan

atas dugaan pelanggaran disiplin, MKDKI berwenang meminta informasi,

dokumen, dan alat bukti lainnya dari dokter atau dokter gigi yang diadukan

dan dari pihak lain yang terkait.

Dasar:

Peraturan Konsil Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006 tentang Tata Cara

Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi

Oleh MKDKI dan MKDKI-P Pasal 3 ayat (5) untuk kepentingan

pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin kedokteran oleh

MKDKI atau MKDKI-P, pihak-pihak yang terkait harus memberikan

informasi, surat/dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI

atau MKDKI-P.

Sanksi Disiplin yang terdapat pada BAB IV Keputusan Nomor

17/KKI/Kep/VIII/2006 tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi

Kedokteran :

285
Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MKDKI berdasarkan Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 69 ayat

(3) adalah :

1. Pemberian peringatan tertulis.

2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik

dan/atau

3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan

kedokteran atau kedokteran gigi.

Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang

dimaksud dapat berupa :

a. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik

sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau

b. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik

tetap atau selamanya.

Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan

kedokteran atau kedokteran gigi yang dimaksud dapat berupa :

a. Pendidikan formal, atau

b. Pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang di institusi

pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana

pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan

paling lama 1 (satu) tahun.

286
Laporan penelitian yang dilakukan oleh Anwari 292, kasus pengaduan ke

MKDKI dari tahun 2006 sampai 2012, Daerah khusus Ibukota Jakarta adalah

paling banyak 107 aduan, Jawa Barat 26 aduan, Jawa timur 16 aduan, Sumatra

Utara dan Batam masing-masing 6 aduan, Sulawesi Selatan 5 aduan. Provinsi

lainya aduanya rata-rata dibawah 5.

Pelanggaran disiplin yang dilihat baik berdasarkan data kasus maupun

data individu atau responden dari tahun 2006-2012.293 Dari 136 kasus, didapat

75 kasus atau 55,1 % terjadi pelanggaran disiplin, sedangkan 61 kasus atau

44,9 % tidak ditemukan adanya pelanggaran disiplin. Sedangkan apabila dilihat

dari jumlah responden, 95 responden atau 43,4 % didapatkan adanya

pelanggaran disiplin dan 124 responden atau 56,6 % tidak didapatkan adanya

pelanggaran disiplin.

Dari 28 butir bentuk pelanggaran disiplin kedokteran, ada 13 butir

pelanggaran disiplin kedokteran yang dilakukan oleh dokter. Menurut Anwari,

seorang dokter belum tentu hanya melanggar satu butir disiplin kedokteran

tetapi dapat saja melanggar beberapa butir disiplin kedokteran.

Ke 13 butir dari 28 butir bentuk pelanggaran disiplin kedokteran yang

dilanggar oleh para dokter adalah :

292
Anwari, ibid., hlm 342.
293
Anwari, ibid., hlm 364-367.

287
1. Butir 1 melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten : 15

responden.

2. Butir 2 tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain

yang memiliki kompetensi sesuai : 15 responden.

3. Butir 3 mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan

tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan

pekerjaan tersebut : 2 responden.

4. Butir 4 menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara

yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau

tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut : 2

responden.

5. Butir 5 menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat

kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak

kompeten dan dapat membahayakan pasien : 1 responden.

6. Butir 6 dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya

tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan,

sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan

pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan

pasien : 66 responden.

7. Butir 7 melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang

tidak sesuai dengan kebutuhan pasien : 3 responden.

288
8. Butir 8 tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai

(adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam

melakukan praktik kedokteran : 28 responden.

9. Butir 10 dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam

medik, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan

atau etika profesi : 15 responden.

10. Butir 18 membuat keterangan medik yang tidak didasarkan

kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan

patut : 1 responden.

11. Butir 23 menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau

meminta pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat kesehatan :

2 responden.

12. Butir 24 mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan

kemampuan/pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan,

yang tidak benar atau menyesatkan : 4 responden.

13. Butir 26 berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi

(STR) atau Surat Ijin Praktik (SIP) dan/atau sertifikat kompetensi

yang tidak sah : 6 responden.

Berdasarkan pada :
1. Pasal 55 Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik

Kedokteran ayat (2) MKDKI merupakan lembaga otonom dari

289
KKI, ayat (3) MKDKI dalam menjalankan tugasnya bersifat

independen.
2. Peraturan KKI Nomor 15/KKI/Per/VIII/2006 tentang Organisasi

dan Tata Kerja MKDKI dan Peraturan KKI Nomor

16/KKI/Per/VIII/2006 tentang Tata Cara Penanganan Kasus

Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi oleh

MKDKI serta Keputusan KKI Nomor 17/KKI/Kep/VIII/2006

tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran.


3. Adanya pedoman dan tata cara penanganan kasus dapat

diklasifikasikan sebagai Hukum Acara Pemeriksaan (HAP) 294,

yang didalamnya berisikan prosedur, tata cara pemeriksaan,

pemeriksaan alat bukti, saksi, keterangan ahli, format dan amar

putusan. Adanya wewenang untuk menyeleksi kasus dugaan

sengketa medis yang mirip (dismissal procedure dalam

Peradilan Tata Usaha Negara) memeriksa pengaduan yang

masuk untuk diseleksi sebagai pelanggaran etik atau bukan,

pelanggaran pidana atau perdata atau administrasi merupakan

sifat otonom yang seperti layaknya dimiliki oleh sebuah

Peradilan Umum295.

294
Widodo Tresno Novianto, Alternaif Model Penyelesaian Sengketa Medik di Luar
Pengadilan Melalui Lembaga Penyelesaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan, 2014, hlm 69.
295
ibid

290
4. Menurut Jimmly Asshiddiqie296, MKDKI berfungsi sebagai

pengadilan meskipun tidak termasuk ranah kekuasaan

kehakiman. Prosedur kerjanya juga melakukan pemeriksaan

persidangan dan lain-lain seperti halnya pengadilan serta

MKDKI masuk ke dalam ranah sistem hukum.


5. Pentingnya MKDKI diberdayakan sebagai institusi untuk

menyaring kepantasan dugaan kesalahan praktik profesi sebelum

kasusnya dituntut ke pengadilan didasarkan pada wewenang

MKDKI untuk memutuskan apakah praktik pelayanan medis

yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi telah sesuai dengan

disiplin yang setidaknya meliputi standar profesi dan standar

prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien297.


6. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 29 tahung 2004, ayat (1)

setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan

atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik

kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua

MKDKI.
7. Kasus pengaduan ke MKDKI dari tahun 2006 sampai 2012,

Daerah khusus Ibukota Jakarta adalah paling banyak 107 aduan,

296
https : // id.wikipedia.org/wiki/pengadilan khusus, diakses tanggal 5- 4 - 2016, jam 12 30
wib, Jimlly Asshidiqie, hlm 15.
297
M.Arif Setiawan, Sebagai Ahli dalam Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana,
disampaikan pada saat uji materi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Oleh Makamah Konstitusi
di Jakarta tanggal 4 September 2014.

291
Jawa Barat 26 aduan, Jawa timur 16 aduan, Sumatra Utara dan

Batam masing-masing 6 aduan, Sulawesi Selatan 5 aduan.


Penulis setuju bahwa MKDKI, apabila ada dugaan sengketa medis

sebagai tempat pertama untuk seleksi atau menyaring menentukan apakah

sengketa medis tersebut murni pelanggaran disiplin atau ada kaitanya dengan

persoalan hukum administrasi atau perdata atau pidana. Berdasarkan laporan

dugaan malpraktik dari masyarakat kepada MKDKI selama tujuh tahun (2006 –

2012) sebanyak 183 kasus dan dari tahun ketahun meningkat. Pengaduan

tersebut yang ditindaklanjuti dengan pemeriksaan oleh MKDKI sebanyak 112

kasus. Mengingat keadaan tersebut penulis menganggap perlu meningkatkan

peran dan pembentukan MKDKI Provinsi baru terutama pada provinsi dimana

jumlah aduanya lebih dari 5.

Bagan 4 : Mekanisme penyelesaian sengketa medis melalui MKDKI

292
C. Penyelesaian Sengketa Medis Melalui Peradilan Umum.

293
Pengadilan, menurut UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 18 kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 20 ayat (1) Mahkamah Agung merupakan

pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat

lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; ayat (2)

Mahkamah Agung berwenang, antara lain mengadili pada tingkat kasasi

terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan disemua

lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung, kecuali undang-

undang menetukan lain.

Pasal 23 putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan

kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali

undang-undang menentukan lain. Pasal 24 ayat (1) terhadap putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan

dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila

terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang, pada

penjelasan yang dimaksud dengan “ hal atau keadaan tertentu” antara lain

adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan atau adanya kekhilafan atau

kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya; ayat (2) terhadap putusan

peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Pasal 25 ayat (1)

294
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan

peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan

militer dan peradilan tata usaha negara; ayat (2) peradilan umum sebagaimana

dimaksud ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara

pidana dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB III UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal 50

Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata pada tingkat pertama. Pasal

51 ayat (1) Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara

pidana dan perkara perdata di tingkat banding; ayat (2) Pengadilan Tinggi juga

bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa

kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 26 ayat (1) putusan pengadilan tingkat

pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak

yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain; ayat (2) putusan

pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan

atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding

kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-

undang mengatakan lain. Arif Setiawan298, pada 20th World Congres on Medical

298
M. Arif Setiawan, 2014, pada 20 th World Congres on Medical law di Bali tanggal 21-24
Agustus 2014, Penyelesaian Sengketa Medik, memetik pelajaran pidana medik dr. Dewa Ayu Sasiary
Prawani dan kawan-kawan.

295
law di Bali tanggal 21-24 Agustus 2014, putusan Makamah Konstitusi terakhir

memang akhirnya memperbolehkan jaksa penuntut umum kasasi dari putusan

bebas, artinya bahwa apabila suatu perkara diputus bebas murni oleh

pengadilan negeri, maka jaksa penuntut umum langsung bisa kasasi.

1. Kasus pertama.

Memberikan suntikan streptomisin mengakibatkan kematian pasien.299

1.1. Peristiwanya.

Fakta-fakta yang ada di sini diperoleh dari putusan Pengadilan

Negeri Pati No. 8/1980/Pid/PN.Pt : 29-9-1981. Peristiwa ini bermula

dari seorang pasien perempuan Ny R (25 tahun) yang pada tanggal 4

Januari 1979 sekitar jam 17.00 datang ketempat praktik dokter S, untuk

berobat dan setelah pasien diperiksa, dokter menarik diagnose

peradangan saluran nafas atas (Tonsilo pharyngitis).

Dokter menanyakan pada pasien, apakah pernah disuntik

dengan obat streptomisin?. Pasien menerangkan bahwa pernah diperiksa

dokter lain dan disuntik dengan streptomisin. Dokter S percaya atas

keterangan pasien sehingga dokter memberikan suntikan streptomisin 1

gram melalui pantat sebelah kiri. Setelah menerima suntikan pasien

mengeluh tidak kuat menahan sakitnya, merasa mual lalu muntah, lemas

dan pucat. Kemudian dokter memberikan lagi suntikan ke dua dengan


299
Adami Chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, op., cit., hlm 242.

296
kortison 2 cc, lalu diberi minum kopi dan disuntik lagi (ke tiga) dengan

deladril 2 cc.

Setelah itu, dokter memeriksa nadinya kecil, tekanan darahnya

rendah, penderita mengalami anaphilaktik shok. Kemudian dokter

memberikan suntikan lagi (ke empat) dengan obat adrenalin ½ cc.

Keadaan pasien tambah memburuk, tidak sadar, pernafasan berhenti,

tekanan darah tidak terukur, denyut nadi kecil dan tidak teratur, dan

pasien mengalami shok irreversibel.

Kemudian pasien diangkut dengan mobil ke RSU Pati. Di RSU

Pati, pasien langsung ditangani dan diperiksa dokter Goesmoro Suparno.

Hasil pemeriksaan didapat kelainan-kelainan pada diri pasien yakni

pasien dalam keadaan tidak sadar, pernafasan terhenti, tekanan darah

tidak terukur, denyut nadi tidak teratur, isi dan tegangan kurang dan nadi

sulit diraba. Reflek cahaya mata tidak ada, akral dingin, pupil lebar.

Pasien mengalami shok irreversibel Dokter menyimpulkan bahwa

kelainan-kelainan tersebut disebabkan oleh reaksi tubuh yang tidak

tahan terhadap obat yang diterimanya. Dokter telah melakukan

pemijatan jantung dan bantuan pernafasan buatan (oxygen) tetapi tidak

ada reaksinya. Lima belas menit setelah diberikan pertolongan medis di

RSU Pati, pasien dinyatakan meninggal dunia.

1.2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

297
Atas peristiwa tersebut, jaksa mendakwakan yang pada

pokoknya, karena tidak melakukan penelitian secara cermat terlebih

dahulu terhadap pasien bernama Ny. R memberikan suntikan

streptomisin 1 gram pada pantat pasien. Kemudian setelah keadaan

pasien tanda muntah, diberikan suntikan lagi obat kortison 2 cc. Ketiga

kalinya setelah diberikan kopi diberikan suntikan delladril 2 cc. Setelah

suntikan ke tiga, belum ada perbaikan maka dilakuan suntikan ke empat

dengan adrenalin ½ cc. Akibat suntikan berturut tadi, karena pasien tidak

tahan terhadap suntikan tersebut setelah diangkut ke RSU Pati dalam

keadaan tidak sadar untuk mendapatkan perawatan. Lima belas menit

setelah di RSU Pati pasien meninggal dunia. Terdakwa didakwa karena

kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati melanggar

Pasal 359 KUHP.

1.3. Putusan Pengadilan Negeri Pati

Dalam amar putusannya Nomor 8/1980/Pid.B/PN.Pt tanggal 2

September 1981, Pengadilan Negeri Pati menyatakan bahwa terdakwa

dr. Ny. S Binti Swk bersalah melakukan kejahatan karena kealpaannya

menyebabkan orang lain meninggal dunia dan seterusnya….

Ada dua bagian pertimbangan hukum yang menunjang amar putusan,

yakni :

1.3.a. Pertimbangan hukum tentang kelalaian dokter.

298
Pada bagian ini, pertimbangan hukum yang penting adalah

sebagai berikut :

1). Sikap batin terdakwa memang tidak menghendaki kematian

yang terlarang itu tetapi kekeliruannya adalah kurang

mengindahkan/lalai/teledor.

2). Tidak mengadakan penduga-duga yang perlu ada dua kemung-

kinan, yakni terdakwa berpikir akibat itu tidak akan terjadi

karena perbuatannya tetapi kenyataanya terjadi, kekeliruannya

adalah salah pikir/salah pandang yang seharusnya disingkiri.

Terdakwa sama sekali tidak mempunyai pikiran akibat yang

terlarang itu mungkin timbul dari perbuatannya.

Kesalahannya tidak mempunyai pikiran yang seharusnya

dipikirkan, hal mana merupakan sikap yang berbahaya bagi

ketertiban masyarakat.

3). Saksi dr Imam Parsudi, dr Moch. Prihadi, dr Goemoro Suparno,

dr Lukas Susiloputro : terdakwa sebagai dokter umum sebelum

menyuntik Ny. R dengan streptomisin menurut hemat kami

seharusnya dapat menduga ada kemungkinan pasiennya tidak

tahan obat itu, sebab menurut teori ilmu kedokteran

ketidaktahanan obat (alergi) seseorang bisa timbul karena

bawaan/alamiah ataupun pengaruh obat yang diterimanya/

299
dapatan sehingga diperlukan ketelitian dan kewaspadaan

terhadap pasiennya.

4). Saksi dr Imam Parsudi, dr Goemoro Suparno, dr Lukas Susilo

putro dan bandingkan dr Ichsan M.D., MSc. dalam bukunya

Alergi : kemungkinan timbulnya ketidaktahanan obat (alergi)

pasien seharusnya dapat diduga sebab terdakwa sebagai dokter

umum dapat mengadakan kewaspadaan/penelitian dengan cara

menanyakan apakah pasien mempunyai riwayat alergi yang

lain (anamnesis), test kulit sehingga dapat diketahui adanya

alergi dan jenis penyebabnya.

5). Alergi dapat berujud reaksi mendadak terhadap suntikan,

peradangan pernafasan, influensa, dan tanda-tanda lain yang

diderita pasiennya. Oleh karena itu, terdakwa sebagai dokter

umum seharusnya lebih cermat dan teliti dalam menyelidiki

keadaan (omstandingheden) tersebut sehingga ia dapat

menduga perbuatannya yang mungkin akan menimbulkan

akibat/kematian yang dilarang hukum.

6). Kematian Ny. R bukan sekedar accident sebab kemungkinan

tidak tahan obat seseorang terhadap suntikan antibiotika/

streptomisin menurut ilmu kedoteran dan para saksi ahli karena

alamiah/bawaan atau pengaruh obat yang diterimanya

300
(dapatan) serta sebagian besar dokter Puskesmas pernah

mengalami kasus anaphilactic shock (80%) dan kejadian

tersebut sering dijumpai pada usia dewasa, seusia pasien (25-

40 tahun / 60 %) sehingga terdakwa sebagai dokter umum

seharusnya bisa menduga untuk bertindak lebih waspada,

cermat dan tepat.

7). Kekurang hati-hatian terdakwa ternyata karena sebelumnya

melakukan penyuntikan ia tidak meneliti dengan menanyakan

sakit si pasien yang hubungan dengan alergi (anamnesis),

melainkan hanya percaya perkataan pasien yang berpendidikan

dan awam terhadap obat-obatan tanpa meneliti kapan, di mana,

siapa, dulu yang menyuntikannya, dan apa jenis sakitnya dulu

sama yang dideritanya sekarang dan bagaimana.

8). Sebelumnya terdakwa juga tidak memeriksa tekanan darah

pasien, tidak melakukan test kulit untuk menyelidiki apakah

pileknya merupakan manifestasi dari keadaan alergi sekaligus

untuk mengungkapkan jenis alergen penyebab.

9). Terdakwa baru memeriksa nadinya setelah penyuntikan ke tiga,

ternyata hasilnya kecil dan cepat, tekanan darahnya rendah,

kesadaran menurun sehingga ia baru mengerti terjadinya

anaphilactic shock bukan anaphilactic ringan, oleh karena itu,

301
ia terlambat memberikan adrenalin yang semestinya didulukan

penyuntikannya setelah streptomisin, dan diulanginya bila

yang pertama belum berhasil.

10). Terdakwa tidak juga mencoba melakukan vena seksi untuk

memberikan cairan per infus, oksigen, dan obat-obatan lain

sebagai ulangan serta pemijatan jantung untuk merangsang

geraknya.

11). Terdakwa sebagai dokter seharusnya mengerti bahwa setelah

penyuntikan streptomisin sebenarnya telah terjadi anaphilactic

shock bukan anaphilactic ringan karena pasien sudah dalam

keadaan lemah, pucat, mual, muntah, kulitnya dingin, nadi

kecil dan cepat, tekanan darahnya rendah, mengeluh kesakitan,

sesak nafas, dan kesadaran menurun sehingga perlu segera

diberikan suntikan adrenalin dulu sebab terlambat sedikit saja

membahayakan kesehatan pasien/fatal dan kalau belum

berhasil wajib diulangi lagi 15 menit kemudian, Sementara itu,

terdakwa membutuhkan cukup waktu karena pasien berada

dalam pemeriksaanya selama kurang lebih 45 menit. (Saksi

ahli dr Imam Parsudi yang juga tidak disalahkan oleh dr Moch.

Prihadi)

302
12). Anaphilactic shock merupakan salah satu kedaruratan alergi

yang harus ditanggulangi. Tanda-tanda dini reaksi anaphilactic

perlu dikenal dan adrenalin adalah obat utama yang harus

didahulukan penberiannya, bahkan sebelum timbul gejala yang

lengkap dan penurunan tekanan darah atau gangguan saluran

nafas.

13). Kekurang hati-hatian tampak juga dari keterlambatannya

memberikan suntikan adrenalin (suntikan ke empat) yang

menurut pengakuan terdakwa keempat suntikannya dilakukan

dalam waktu tiga menit. Hal itu, kurang dapat diterima karena

di antara suntikan itu diselingi pengurusan muntahan,

pembuatan dan pemberian kopi, si pasien sudah tidak mampu

minum sendiri dan tidak mungkin diminumkan bila masih

panas, lagi pula spuit/alat suntiknya bukan dari plastik sekali

pakai dibuang dimana untuk menjaga sterilnya perlu pencucian

setiap ganti obatnya sehingga membutuhkan watu yang cukup

lama.

1.3.b. Pertibangan hukum akibat kematian oleh adanya kelalaian dokter

(causal verband).

Bagian pertimbangan hukum penyebab kematian

Pengadilan Negeri Pati mempertimbangkan antara lain :

303
1). Terdakwa mengakui dan saksi (Tamirah, Imam Suyudi)

menguatkan bahwa sakit Ny. R sebelum disuntik tidak

parah/tidak kritis.

2). Visum et repertum yang dibuat oleh dr Goesmono Suparno

tertanggal 25 Januari 1979 a/n Ny. R menyatakan bahwa

penderita datang di RSU Pati tanggal 4 Januari jam 18.30 WIB

dalam keadaan :

a. Tidak sadar, pernafasan terhenti, tekanan darah tidak

terukur, isi dan tegangan kurang.

b. Mengalami shock irreversible.

c. Kelainan-kelainan tersebut disebabkan oleh reaksi tubuh

yang tidak tahan terhadap obat yang diterimanya.

d. Akibat kelainan-kelainan itu Ny. R dinyatakan meninggal

dunia 15 menit setelah mendapat pertolongan di RSU

Pati.

3). Saksi Imam Suyudi dan Tamirah menyatakan bahwa Ny. R

datang berobat ke tempat terdakwa naik sepeda motornya dan

boncengan sendiri, bisa berbicara, hanya mengeluh merasa

pusing, pilek, flu, sakitnya tidak parah, tetapi beberapa saat

setelah berada/masuk kamar praktik terdakwa, terdengar Ny. R

mengaduh kesakitan dan bersuara grok-grok, klek-klek seperti

304
suaranya orang sakit keras yang akan menemui ajalnya, dan

setelah saksi Imam Suyudi bisa masuk kamar itu, melihat Ny.

R terlentang di tempat tidur praktik, sakitnya kritis, bahkan

dianggap telah mati. Ketika dibopong keluar, penderita sudah

tidak dapat bereaksi apapun.

4). Terdakwa mengaku kemungkinan matinya Ny. R karena tidak

tahan obat sreptomisin yang diterimanya (alergi), bukan karena

hal lain, kemungkinan tersebut juga dibenarkan saksi-saksi,

yakni dr. Goesmoro Suparno, dr. Lukas Susiloputro, dr. Imam

Parsudi, dr. Moch Prihadi, dr. Mualip Muchija.

5). Bedah mayat untuk menentukan sebab kematian secara pasti

tidak dapat dilakukan karena perkara baru masuk Pengadilan

Negeri Pati setelah selang lama kira-kira setahun dari

kejadiannya dan menurut saksi ahli dr. Mualip Muchija bila

kini diperintahkan bedah mayatnya Ny. R sudah tidak ada

gunanya. Oleh karena hukum pidana bukan ilmu

matematika/exacta maka meskipun tanpa dilakukan bedah

mayat tetapi berdasarkan hal-hal/fakta-fakta tersebut cukup

menjadi pentunjuk kematian Ny. R yang disebabkan oleh

ketidaktahanan obat yang diterimanya.

305
6). Dengan demikian ternyata kematian Ny. R karena ketidak

tahanan obat sreptomisin yang diterimanya karena suntikan itu

merupakan causa langsung kematiannya karena dengan adanya

suntikan keadaan Ny. R menjadi sedemikian berubahnya

(sakitnya menjadi sangat berat/kritis sehingga timbul

anaphylactic shock) sehingga dari padanya pasti timbul akibat

yang terlarang (kematian) itu bukan karena hal lain, dan di

persidangan telah dibacakan visum et repertum-nya yang

kelainan-kelainan dan kesimpulannya dapat kami setujui,

dipandang sebagai kesimpulannya sendiri. Dengan demikian,

kematian itu terbukti disebabkan ketidaktahanan obat

streptomisin yang diterimanya.

7). Selanjutnya, untuk menegakkan diagnosis kematian Ny. R

akibat anaphilactik shock yang terjadi setelah pemberian obat

(suntikan) cukup melalui petunjuk-petunjuk yakni :

a. Sebelum kematiannya pasien telah menunjukkan gejala-

gejala anaphilactic shock.

b. Sebelum kematian tidak terdapat proses patologis lain

yang dapat menyebabkan kematiannya yang mendadak

itu, sakit keras/sakit jantung, sakit paru-paru dan lain-

lain.

306
c. Di tempat suntikan terdapat obat-obatan yang telah

disuntikkan streptomisin, cortisone, delladril, adrenalin.

1.4. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang

Pengadilan Tinggi Semarang dalam putusan banding perkara

tersebut dengan No. 203/1981/Pid/P.T Smg tanggal 19 Mei 1982 dalam

amarnya :

menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pati tanggal 2 September 1981

No. 8/1980/Pid.B/Pn. Pt tersebut. Amar tersebut diambil atas dasar

pertimbangan hukum yang pada pokoknya “ bahwa setelah meneliti dan

mempelajari berkas perkara yang dimohonkan pemeriksaan banding

dengan seksama, Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa keputusan

Pengadilan Negeri Pati tertanggal 2 September 1981 No.

8/1980/Pid.B/Pn.Pt tersebut, ternyata sudah tepat dan meyakinkan

menurut hukum yang berlaku sehingga keputusan Pengadilan Negeri

tersebut dapat dikuatkan dengan mengambil alih sepenuhnya

pertimbangan-pertimbangannya dengan alasan-alasan yang sama.

1.5. Putusan Mahkamah Agung

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.

600/K/Pid/1983 tanggal 27 Juni 1984 dalam amar putusan yang pada

pokoknya sebagai berikut :

307
a. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang tanggal 19

Mei 1982 No. 203/1981/Pid/PT. Smg dan putusan Pengadilan

Negeri Pati tanggal 2 September 1981 No. 8/1980/Pid.B/ PN.Pt.

b. Menyatakan kesalahan terdakwa dr. S binti Swk atas dakwaan

yang didakwakan kepadanya tidak terbukti.

c. Membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut.

Adapun dasar pertimbangan hukum Mahkamah Agung yang

membebaskan terdakwa tersebut, pada pokoknya sebagai berikut :

1). Dari keterangan keenam orang dokter itu, terkecuali keterangan

saksi dr. Imam Parsudi, Makamah Agung menyimpulkan bahwa

tindak terdakwa menanyakan kepada pasiennya apakah sudah

pernah mendapatkan suntikan streptomisin dan kemudian

berturut-turut memberikan suntikan kortison, delladril dan

adrenalin setelah melihat ada tanda-tanda penderita mengalami

alergi terhadap streptomisin yang disuntikan merupakan

petunjuk bahwa terdakwa telah melakukan upaya yang

sewajarnya dapat dituntut dari padanya sebagai dokter dengan

pengalaman bekerja selama 4 (empat) tahun dan yang sedang

melaksanakan tugasnya pada Puskesmas dengan sarana yang

serba terbatas.

308
2). Dari terdakwa sebagai dokter yang baru berpengalaman kerja

selama 4 (empat) tahun yang sedang bertugas di Puskesmas yang

serba terbatas sarananya tidak mungkin diharapkan melakukan

hal-hal yang seperti dikehendaki oleh saksi dr. Imam Parsudi,

misalnya melakukan penyuntikan adrenalin langsung ke jantung

atau pemberian cairan infus, pemberian zat asam dan lain

tindakan yang memerlukan sarana yang lebih rumit.

3). Dengan demikian, salah satu unsur kealpaan yang disebutkan

dalam Pasal 359 KUHP tidak terbukti ada dalam perbuatan

terdakwa sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan

yang ditimpakan padanya.

Menurut Adami Chazawi300, pertimbangan hukum putusan

Mahkamah Agung yang terpenting ialah :

a.Terdakwa telah melakukan upaya yang sewajarnya dan tidak

dapat dituntut dari padanya sebagai dokter dengan pengalaman

kerja selama 4 (empat) tahun dan yang sedang melaksanakan

tugasnya pada Puskesmas dengan sarana yang serba terbatas.

b.Terdakwa sebagai dokter yang baru berpengalaman kerja

selama 4 (empat) tahun yang sedang bertugas di Puskesmas

300
Adami Chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, op., cit., hlm 252.

309
yang serba terbatas sarananya tidak nungkin diharapkan

melakukan hal-hal yang seperti dikehendaki oleh saksi dr. Imam

Parsudi, misalnya melakukan penyuntikan adrenalin langsung

ke jantung atau pemberian cairan infus melalui vena seksi,

pemberian zat asam, dan lain tindakan yang memerlukan sarana

yang lebih rumit.

Dari pertimbangan hukum tersebut, intinya bahwa “ada atau

tidaknya kelalaian bergantung pada apakah dokter telah berusaha secara

maksimal untuk menyelamatkan jiwa pasien berdasarkan kemampuan yang

sewajarnya yang dimiliki serta alat/sarana yang tersedia padanya”.

Pendapat Adami Chazawi301, tampak jelas bahwa pertimbangan

Mahkamah Agung tentang kelalaian adalah pada penghindaran akibat

kematian yang sudah tampak gejala-gejalanya setelah perbuatan

memberikan suntikan sreptomisin, bukan kelalaian pada akibat perbuatan

memberikan suntikan streptomisin. Sedangkan ajaran kelalaian baik ajaran

kelalaian subyektif maupun obyektif selalu sikap batin kelalaian itu

ditujukan pada akibat, sementara itu perbuatan dan sikap batin kelalaian

ditujukan pada sifat melawan hukumnya perbuatan, bukan pada wujud

perbuatan. Seperti tampak dalam melakukan perbuatan memberikan

301
Adami Chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, op., cit., hlm 252.

310
suntikan streptomisin yang bukan kelalaian, tetapi justru sengaja. Persoalan

kelalaian dalam kasus ini bukan semata-mata pada upaya atau perbuatan

yang dilakukan untuk menghindari kematian yang gejala-gejalanya sudah

tampak jelas, atau kelalaian tidak ditujukan pada penghindaran akibat

dengan telah melakukan perbuatan-perbuatan yang dipertimbangkan sudah

maksimal sesuai dengan kemampuan yang sewajarnya dan alat yang ada

padanya. Akan tetapi kealpaan pada akibat yang dapat terjadi dari

perbuatan memberikan suntikan streptomisin tampa terlebih dulu

menyelidiki secara mendalam dan tuntas perihal ketahanan tubuh pasien

terhadap obat tersebut. Seperti pada kasus ini, sikap batin kelalaian

terhadap akibat dan atau terhadap sifat melawan hukumnya perbuatan

harus terbentuknya sebelum melakukan penyuntikan obat streptomisin,

bukan sesudahnya. Inilah yang seharusnya dipertimbangkan, bukan

setelahnya yang in casu pada penghindaran akibat setelah penyuntikan

streptomisin.

Pertimbangan hukum Mahkamah Agung tentang kealpaan

mengenai perbuatan pascaterapi menurut Adami Chasawi302 kurang tepat.

Seharusnya pertimbangan hukum tentang kelalaian terhadap akibat adalah

pada perbuatan (terapi) memberikan suntikan streptomisin, bukan pada

perbuatan pascaterapi berupaya upaya menghindri akibat yang gejala-

302
Adami Chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, op., cit., hlm 258.

311
gejala menuju kematian sudah tampak. Pertimbangan hukum Mahkamah

Agung tersebut tidak dapat berdiri sendiri tanpa mempertimbangkan sikap

batin kelalaian terhadap akibat pada perbuatan terapi memberikan suntikan

streptomisin. Pertimbangan hukum Makamah Agung tepat sebagai

pertimbangan memperingan penjatuhan pidana in concreto, bukan

pertimbangan ada ataukah tidaknya kelalaian terhadap kematian pasien.

Pendapat Arif Setiawan,303 pertimbangan hukum Mahkamah

Agung dalam kasus dr. S, telah menggunakan pengertian malpraktik seperti

yang dipahami sebagai berikut : seorang dokter dinyatakan malpraktik jika

ia tidak bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku untuknya.

Pendapat Arif Setiawan tersebut menurut penulis, dasar pemikiranya adalah

Pasal 50 butir a Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran yaitu dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran mempunyai hak : memperoleh perlindungan hukum sepanjang

melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional. Sedangkan pendapat yang lain304 mendukung pertimbangan

hukum Makamah Agung, bahwa unsur kelalaian yang dikehendaki oleh

Pasal 351 KUHP tidak terbukti ada dalam perbuatan terdakwa, sehingga
303
M. Arif Setiawan, Penyelesaian Litigasi Dalam sengketa Medik Dugaan Malpraktik ,
Seminar Mediasi dn Perlindungan Hukum Bagi Dokter, Fakultas Kedokteran UII Yogyakarta, 17
Desember 2016.
304
https://verdiferdiansyah.wordpress.com/2011/04/12/kasus -dokter-setianingrum, diakses
tanggal 30-8-2016, jam 10 00 wib

312
karenanya terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan yang ditimpakan

padanya. Menurut penulis dasar pemikiranya adalah dr. S dalam melakukan

tindakan medis terhadap pasien Ny. R sudah sesuai dengan standar profesi

yang berlaku untuknya yaitu sebelum melakukan penyuntikan menanyakan

apakah pernah disuntik dengan obat streptomisin, begitu setelah terjadi

reaksi alergi dr. S berusaha maksimal untuk melakukan pertolongan dengan

berturut-turut memberikan suntikan kortison, delladril dan adrenalin,

walaupun hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

Menurut pemahaman penulis, bahwa dr. S melakukan penyuntikan

streptomisin kepada pasien Ny. R dan sebelum melakukan penyuntikan dr.

S menanyakan pada pasien, apakah pernah disuntik dengan obat

streptomisin?. Pasien menerangkan bahwa pernah diperiksa dokter lain dan

disuntik dengan streptomisin. Dokter S percaya atas keterangan pasien

sehingga dokter S memberikan suntikan streptomisin 1 gram melalui pantat

sebelah kiri. Beberapa saat setelah disuntik pasien mengalami anaphilactic

shock. Ini merupakan reaksi alergi (tubuh tidak tahan terhadap obat

streptomisin). Pertanyaan dr. S kepada Ny. R, ini merupakan tindakan

kehati-hatian untuk meminimalisir risiko, misalnya jawaban Ny. R adalah

saya tahan terhadap obat streptomisin kemudian dilakukan penyuntikan

berikutnya tidak ada dokter yang berani menjamin bahwa suntikan

streptomisin tersebut pasti tidak akan terjadi reaksi alergi.

313
Tubuh tidak tahan terhadap obat streptomisin oleh

Danny Wiradharma305 disebut sebagai risiko medik. Keadaan ini terjadi

karena reaksi hipersensitivitas, misalnya respon imun / kekebalan tubuh

yang berlebihan / menyimpang terhadap masukan bahan asing / obat yang

sering tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Chrisdiono M. Achadiat306

berpendapat, untuk suatu tindakan medis selalu ada risiko tujuan tindakan

tersebut tidak tercapai dan risiko yang demikian itu tidak dapat

dilimpahkan kepada dokter, artinya dokter tidak dapat dimintakan

pertanggungjawaban.

2. Kasus ke dua.

Pasien meninggal setelah dilakukan operasi cito secsio sesaria.

2.1. Peristiwanya

Fakta-fakta yang ada disini diperoleh dari putusan Pengadilan

Negeri Manado No. 90/PID.B/2011/PN. MDO tanggal 22 September 2011

Pada awalnya pasien akan melahirkan di puskesmas, ditunggu beberapa saat

kira-kira oleh bidan jaga (Guniarti dan sebagai saksi) jam 24.00 pembukaan

3 sampai 4 dan kepala masih normal, bidan tersebut mengatakan pasien

dalam keadaan baik-baik saja serta masih dapat berjalan. Jam 04.00

dilakukan pemeriksaan lagi pembukaan 7 sampai 8 posisi kepala bayi masih


305
Danny Wiradharma, op., cit., , hlm 107.
306
Chrisdiono M.Achdiat,op., cit., hlm 26.

314
tinggi, kemudian bidan melakukan pemecahan ketuban dengan harapan

kepala bayi cepat turun, dan bidan tersebut mengatakan setelah pemecahan

ketuban bayi bisa lahir normal dan bisa juga tidak normal. Jam 07.00 saksi

melakukan pemeriksaan lagi dan kepala masih stagnan. Saksi melihat

keadaan tersebut langsung merujuk ke rumah sakit Kandou Malalayang

Manado.

Pasien di UGD rumah sakit Kandou Malalayang Manado diterima

oleh saksi (Demetrius Gomer Tindi) yang saat itu bertugas di UGD sekitar

jam 09.00 sampai jam 10.00 pagi. Saksi memeriksa pasien pembukaan 2

sampai 3 cm kepala posisi dibawah tetapi masih tinggi, dan pasien

mengatakan kepada saksi bahwa air ketuban sudah pecah di pukesmas, saksi

menyimpulkan bahwa pasien hamil, keadaan baik dan bisa saja bersalin

secara vagina. Setelah selesai memeriksa pasien, saksi melapor kepada

terdakwa I (dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani) kemudian pasien dibawa ke

kamar bersalin. Saksi tidak memasang infuse karena tidak ada intruksi. Saksi

adalah peserta PPDS sejak tahun 2009 sudah mempunyai STR tetapi belum

mempunyai SIP.

Saksi Kartini Runtulalo adalah bidan yang menerima pasien di

IRDO, saksi sebagai bidan jaga memasang infuse sebagai persiapan untuk

pemberian obat. Saksi juga mengatakan bahwa pasien dalam keadaan baik

315
dan bisa berjalan. Pasien dengan terpasang infuse terus dibawa ke kamar

bersalin.

Saksi dr Helmi (peserta PPDS sejak tahun 2009) berada di ruang

bersalin, terdakwa I sebagai chief residen, terdakwa II dan III sebagai

asisten. Menurut saksi bahwa pasien masuk kamar bersalin jam 10.00 pagi

tanggal 10 April 2010 dalam keadaan baik dan terpasang infuse. Saksi

melakukan pemeriksaan hasilnya status rahim tinggi dan terus melaporkan

kepada terdakwa I. Menurut saksi dr Helmi, setelah risiko operasi dijelaskan

kepada pasien dan keluarga, pasien menyatakan bersedia karena sudah

kesakitan. Pasien memutuskan dan minta dioperasi pada jam 16.30 wita.

Operasi akan dilakukan cito dan sebelumnya dilakukan konsultasi kepada

bagian anestesi.

Terdakwa I melakukan pemeriksaan hasilnya pasien dapat

melahirkan secara normal tetapi sampai dengan jam 17.30 wita belum juga

melahirkan dan diputuskan untuk dilakukan operasi. Setelah diputuskan

dilakukan operasi masih menunggu setengah jam lagi tetapi tidak ada

perkembangan kemudian terdakwa I melaporkan kepada dr Najoan Nan

Warouw dan setelah terdakwa I melaporkan diputuskan untuk operasi.

Saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp An mengakui bahwa pasien

pernah dikonsultasikan kepada saksi pada tanggal 10 April 2010 pukul 20.00

wita sehubungan akan dilakukan operasi cito. Pasien pada waktu

316
dikonsultasikan tekanan darahnya 160/70 termasuk tinggi sehingga berisiko.

Saksi menyetujui untuk dilakukan operasi dan tentang risiko operasi supaya

dijelaskan kepada keluarga pasien. Bahwa karena dokter anestesi masih

kurang maka berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 512 tahun 2007

pasal 15 maka tugas dokter anestesi bisa dilimpahkan kepada perawat

anestesi. Saksi melimpahkan kewenangannya kepada Anita Lengkong.

Saksi Anita Lengkong, pada hari Sabtu tanggal 10 April 2010

sekitar pukul 20.00 wita melakukan pembiusan terhadap pasien dengan

pemberian obat bius (pelemas otot, anti sakit, obat tidur) dengan cara

disuntik kemudian dipasang oksigen. Semuanya tersebut atas seijin dr.

Hermanus J. Lalenoh, Sp An.

Saksi dr.Johanis F. Mallo, SH., Sp T. DFM, saksi pernah memerik

-sa mayat dari orang yang bernama Siska Makatey pada tanggal 13 April

2010 dan Visum Et Repertum dikeluarkan pada tanggal 26 April 2010.

Setelah dibacakan dan diperlihatkan Visum Et Repertum, berkesimpulan

penyebab kematian korban karena di dalam bilik jantung ada udara masuk

dan kasus ini jarang terjadi, kemungkinan terjadi pelebaran pembuluh darah

karena adanya reaksi tubuh pasien dan adanya reaksi tersebut bisa

menyebabkan terjadinya gangguan, udara bukan masuk dari alat infuse.

Saksi mengatakan kejadian yang jarang terjadi dalam kondisi pasien secara

317
umum tidak bisa diantisipasi. Saksi juga mengatakan bahwa infuse sangat

kecil kemungkinan menjadi penyebab masuknya udara ke tubuh korban.

Saksi dr. Murhady Saleh, Sp OG., bahwa dari kronologis kejadian

perkara ini ahli berpendapat udara yang masuk ke jantung korban adalah

terjadi diluar dugaan dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Saksi

mengatakan bahwa emboli atau masuknya udara dalam jantung korban bisa

karena melalui infuse dan juga bisa melalui plasenta, tetapi kalau udara

masuk jantung karena pembuluh balik yang terpotong saat operasi hal itu

ahli baru mendengarnya. Bahwa masuknya udara dalam jantung/tubuh

korban bukan kelalaian dari operator. Bahwa khusus dalam perkara ini pada

saat irisan pertama keluar darah agak kehitam-hitaman dari pasien berarti

pasien kekurangan oksigen pada paru-paru atau jantung. Bahwa menurut

undang-undang praktik kedokteran operasi cito tidak mutlak ada penjelasan

kepada pasien dan tidak perlu pemeriksaan penunjang karena sifatnya

segera. Menurut saksi, untuk dikatakan seorang dokter yang profesional

harus memiliki 3 (tiga) hal yaitu ilmu, keterampilan serta mental atau moral

dan ketiga terdakwa sudah profesional karena telah memiliki keilmuan,

keterampilan serta moral atau mental buktinya adalah anak korban selamat.

Saksi Prof. Dr. Reggy Lefran, Sp JP (K) bahwa dalam operasi cito

tidak mungkin dilakukan pemeriksaan penunjang karena sifatnya

darurat/cepat/segera. Masuknya udara ke dalam pasien ada 2 (dua)

318
kemungkinan yaitu pertama adanya hubungan langsung udara dengan

pembuluh darah dan ke dua adanya perbedaan tekanan udara dalam tubuh

dan diluar tubuh pasien. Masuknya udara dalam tubuh pasien tidak bisa

diprediksi sebelumnya.

Saksi Jerry G. Tambun, SH. LLM., kelalaian lebih banyak diartikan

kepada akibat tindakan yang tidak sesuai dengan Standar Operasional

Prosedur (SOP) dan SOP adalah sebagai pedoman bagi seorang dokter untuk

menyelesaikan pekerjaannya. Antara dokter dengan pasien tidak ada

perjanjian, yang ada hanyalah dokter harus melaksanakan tugasnya dengan

sebaik-baiknya. Saksi juga berpendapat bahwa risiko medis selalu ada dalam

tindakan medis.

Saksi dr. Recky Wilar., Sp A, mengatakan bahwa darah yang keluar

berwarna kehitam-hitaman itu berarti dalam tubuh pasien terdapat

kekurangan oksigen. Bahwa kalau para terdakwa terlambat melakukan

operasi terhadap pasien, maka anak pasien pasti mati.

2.2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Atas peristiwa tersebut, jaksa mendakwakan yang pada pokokya :

Kesatu adalah karena kealpaanya menyebabkan matinya orang lain yaitu

korban Siska Makatey. Pada saat sebelum operasi cito sectio sesaria

terhadap korban dilakukan para terdakwa tidak pernah menyampaikan

319
kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk

termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi cito

sectio sesaria tersebut dilakukan pada diri korban. Para terdakwa diduga

lalai sebelum melakukan operasi cito sectio sesaria terhadap diri korban

tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto

rontgen dada dan pemeriksaan penunjang lainya. Kelalaian tersebut juga

diduga menyebabkan terjadinya emboli udara yang masuk ke dalam bilik

kanan jantung yang menghambat darah masuk keparu-paru sehingga terjadi

kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi paru

dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung. Tekanan darah

sebelum operasi 160/70 dan saat operasi denyut nadi 180/ menit dan terjadi

gangguan irama jantung. Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP.

Kedua adalah dalam melaksanakan operasi cito sectio sesaria terhadap

korban Siska Makatey, para terdakwa hanya memiliki sertifikat kompetensi

tetapi para terdakwa tidak mempunyai Surat Izn Praktik (SIP) kedokteran.

Tidak terdapat pelimpahan/persetujuan untuk melakukan suatu tindakan

kedokteran secara tertulis dari dokter spesialis yang mempunyai SIP

kedokteran yang berhak memberikan persetujuan sedangkan untuk

melakukan tindakan praktik kedokteran termasuk operasi cito yang

dilakukan oleh para terdakwa terhadap diri korban, para terdakwa harus

320
memiliki SIP kedokteran. Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 76 Undang-undang Republik Indonesia No. 29

tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Ketiga adalah ternyata tanda tangan korban yang berada di dalam

persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang

diserahkan oleh dr. Hendy Siagian (terdakwa III) untuk ditandatangani oleh

korban tersebut berbeda dengan tanda tangan yang berada di dalam Kartu

Tanda Penduduk (KTP) dan kartu Askes. Kemudian setelah dilakukan

pemeriksaan oleh Laboratorium Forensik cabang Makasar dan berdasarkan

hasil pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010

No. Lab. 509/DTF/2011 menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska

Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda

tangan karangan/Spurious Signature. Perbuatan para terdakwa sebagaimana

diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP.

2.3. Putusan Pengadilan Negeri Manado

Dalam amar putusannya Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal

15 September 2011, Pengadilan Negeri Manado menyatakan bahwa :

1. Terdakwa I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, terdakwa II dr. Hendry

Simanjutak dan terdakwa III dr. Hendy Siagian, tidak terbukti secara

321
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam

dakwaan kesatu primer dan subsidair, dakwaan kedua dan dakwaan

ketiga primer dan subsidair.

2. Membebaskan terdakwa I, terdakwa II dan terdakwa III oleh karena

itu dari semua dakwaan (Vrijspraak) dan memulihkan hak para

terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta

martabatnya.

Pertimbangan hukum yang menunjang amar putusan, yakni :

2.3.a. Pertimbangan hukum tentang tidak adanya kelalaian dokter.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi dr. Helmy, Anita

Lengkong, dr. Hermanus J. Lalenah, Sp. An dan dihubungkan dengan

keterangan terdakwa I, terdakwa II dan terdakwa III, menurut Majelis

Hakim adalah bersesuaian satu dengan yang lainya tentang hal bahwa

para terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria

terhadap korban (Siska Makatey) ada menyampaikan kepada pihak

keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk

kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi cito

secsio sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban walaupun hal

tersebut dibantah oleh ibu korban Julien Mahengkeng dan ayah

korban Anselmus Makatey.

322
Berdasarkan saksi-saksi Prof. dr. Nayoan Nan Warouw., :

operasi cito sectio sesaria tidak perlu pemeriksaan pendukung, tapi

pemeriksaan darah tetap dilakukan. Dr. Erwin Gideon Kristanto, SH.,

Sp F. : operasi cito sifatnya segera untuk menyelamatkan jiwa dan

tidak harus ada persetujuan. dr. Johanis F. Mallo., SH., Spt., DFM. :

operasi cito (darurat) tidak harus dilakukan pemeriksaan pendukung

dan tidak perlu persetujuan pasien atau keluarga dan pengertian kata

segera tidak ada batasan. dr. Nurhadi Saleh,. Sp OG. : operasi cito

tidak mutlak ada penjelasan kepada pasien karena sifatnya segera dan

tidak perlu pemeriksaan penunjang. Bahwa yang dimaksud dengan

kelalaian (in cassu) apabila dalam praktik menyalahi Standar

Operasional Prosedur (SOP). dr. Reggy Lefrant ., Sp JP- K. : dalam

operasi cito tidak mungkin dilakukan pemeriksaan penunjang karena

sifatnya darurat/cepat/segera. Jerry G. Tambun., SH., LLM : dalam

keadaan gawat darurat seorang dokter segera melakukan tindakan

(operasi), tidak perlu pemeriksaan penunjang, dalam operasi

terencana sejak awal diberitahukan dan penjelasan kepada pasien

tentang risiko medis. Kelalaian lebih banyak diartikan kepada akibat

tindakan yang tidak sesuai dengan SOP. Kasus malpraktik itu terjadi

dalam praktik yang tidak sesuai dengan SOP.

323
Prof. dr. Nayoan Nan Warouw, menyampaikan bahwa

tindakan operasi yang dilakukan para terdakwa sudah sesuai prosedur

dan ternyata anak dari korban selamat dan kematian korban (Siska

Makatey) diluar jangkauan. dr. Nurhadi Saleh,. Sp OG. : para

terdakwa sudah bekerja secara maksimal, baik dan sudah sesuai

dengan SOP, keilmuan dan kompetensi; kronologis kejadian perkara

ini ahli berpendapat udara yang masuk kejantung korban (Siska

Makatey) adalah terjadi diluar dugaan, tidak dapat diprediksi

sebelumnya; masuknya udara dalam jantung korban bukan kelalaian

dari operator. Prof. Dr. Reggy Lefrandt., Sp JP- K adalah ketua

MKEK Sulawesi Utara dan pernah memeriksa para terdakwa

penyebab kematian korban adalah masuknya udara dalam jantung

tidak dapat diprediksi sebelumnya sehingga dikategorikan bukan

kelalaian. dr. Johanis F. Mallo., SH., Spt., DFM. : penyebab

meninggalnya korban (Siska Makatey) adalah karena masuknya

udara dalam bilik kanan jantung; kematian korban tidak ada

hubungannya dengan tindakan operasi yang dilakukan oleh para

terdakwa.

Sebagaimana keterangan tersebut Majelis Hakim dapat

mengambil kesimpulan bahwa dalam operasi cito sectio sesaria

(darurat) tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang terhadap

324
pasien in cassu korban (Siska Makatey) sehingga dengan demikian

pula menurut Majelis Hakim perbuatan para terdakwa sebagai dokter

yang dalam melaksanakan operasi cito sectio sesaria terhadap diri

korban (Siska Makatey) yang tidak melakukan pemeriksaan

penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan

pemeriksaan penunjang lainnya serta masuknya udara ke dalam bilik

jantung kanan korban bukanlah merupakan suatu kelalaian.

2.3.b. Pertimbangan hukum melaksanakan operasi cito sectio sesaria

para terdakwa tidak mempunyai SIP.

Menimbang, bahwa terhadap ketentuan yang diatur dalam

Pasal 76 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sudah

ada putusan Makamah Konstitusi No. 4/PVV-V/2007 tanggal 19 Juni

2007 atas permohonan dr. Anny J.S Tandyaril Sarwono, Sp. A.,SH.

dan kawan-kawan : menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76

sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun

atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata ”kurungan paling

lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai

kata “atau huruf e” UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No.

116 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4431

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

325
Indonesia Tahun 1945; menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76

sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun

atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata ”kurungan paling

lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai

kata “atau huruf e” UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No.

116 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4431 tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PVV-

V/2007 tanggal 19 Juni 2007 sebagaimana amar putusannya tersebut

diatas menurut Majelis Hakim dakwaan yang diajukan oleh Jaksa

Penuntut Umum kepada para terdakwa sebagaimana dakwaan

alternative kedua melanggar Pasal 76 Undang-Undang No. 29 tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran, sudah bukan merupakan tindak

pidana sehingga dengan demikian kepada para terdakwa harus

dibebaskan pula dari dakwaan alternative kedua yaitu Pasal 76

Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

tersebut.

2.3.c. Pertimbangan hukum tanda tangan korban pada persetujuan

tindakan belum dapat dikatakan palsu.

326
Menjadi pertanyaan Majelis Hakim, apakah surat persetuju

-an khusus, surat persetujuan pembedahan dan anestesi tertanggal 10

April 2010 sudah dapat dikatakan surat tersebut adalah palsu setelah

terlihat tanda tangan korban (siska Makatey) yang ada dalam surat

yang dimaksud berbeda dengan tanda tangan korban (Siska Makatey)

yang ada dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes ?

Surat persetujuan khusus, surat persetujuan pembedahan dan anestesi

tertanggal 10 April 2010, menurut Majelis Hakim surat tersebut nanti

dapat dikatakan palsu apabila setelah dapat diketahui/dibuktikan

siapa yang menandatanganni di atas nama Siska Maketay di dalam

surat yang dimaksud. Pemeriksaan ini Majelis tidak menemukan

adanya alat-alat bukti terutama alat bukti berupa keterangan saksi

yang melihat ataupun menyatakan yang menandatangani di atas nama

korban (Siska Makatey) di dalam surat persetujuan khusus, surat

persetujuan pembedahan dan anestesi tertanggal 10 April 2010,

adalah salah satu dari para terdakwa. Dengan demikian menurut

Majelis Hakim surat persetujuan khusus, surat persetujuan

pembedahan dan anestesi tertanggal 10 April 2010 tersebut belum

dapat dikatakan surat tersebut adalah palsu. Uraian-uraian tersebut

menurut Majelis Hakim unsur membuat surat palsu atau memalsukan

surat tidak terpenuhi menurut hukum. Karena unsur membuat surat

327
palsu atau memalsukan surat tidak terpenuhi menurut hukum maka

unsur lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Karena unsur membuat

surat palsu atau memalsukan surat tidak terpenuhi menurut hukum

maka para terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan alternative

ketiga yaitu melanggar pasal 263 ayat (1) KUHP.

2.4. Putusan Kasasi Mahkamah Agung.

Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi pada

Kejaksaan Negeri Manado. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri

Manado No. 90/PID.B/2011/PN.MND tanggal 22 September 2011.

Menyatakan para terdakwa : dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwa I) dr.

Hendry Simanjuntak (terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (terdakwa III)

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“ perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”.

Mejatuhkan pidana terhadap para terdakwa : dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani

(terdakwa I) dr. Hendry Simanjuntak (terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian

(terdakwa III) dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh)

bulan.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa

Penuntut Umum dapat dibenarkan karena pertimbangan sebagai berikut :

1. Judex Facti salah menerapkan hukum, karena tidak memper -

timbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis,

328
yaitu berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 yang telah

dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, SH,. Sp F

bahwa pada saat korban masuk RSU Prof. R. D. Kandou

Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status

penyakit korban adalah berat.

2. Para terdakwa sebelum melakukan operasi cito sectio sesaria

terhadap korban dilakukan, para terdakwa tanpa menyampaikan

kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat

terjadi terhadap diri korban.

3. Perbuatan para terdakwa melakukan operasi terhadap korban

Siska Makatey yang kemudian terjadi emboli udara yang masuk

ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk

keparu-paru kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan

selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.

4. Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan

meninggalnya korban Siska Maktey sesuai surat keterangan dari

rumah sakit umum Prof. Dr. Kandou R. D. Manado No.

61/VER/IKF/FK/K/VI/2010 tanggal 26 April 2010. (1. Udara

yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk

melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban

masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban

329
terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infuse, dan dapat

terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri; 2. Sebab

kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam

bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk keparu-paru

sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya

mengakibatkan kegagalan fungsi jantung).

2.5. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung.

Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari para pemohon

Peninjauan Kembali/Para Terpidana : I. dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, II dr.

Hendry Simanjuntak , dan III. dr. Hendy Siagian. Membatalkan putusan

Makmah Agung RI No. 365K/PID/2012 tanggal 18 September 2012 yang

membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado No. 90/PID.B/PN.MDO

tanggal 22 September 2011.

Menyatakan Terpidana I. dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, II dr. Hendry

Simanjuntak, dan III. dr. Hendy Siagian, tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang

didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan Kesatu Primer

Kesatu Subdair, atau dakwaan Kedua atau dakwaan Ketiga Primair, Ketiga

Subsidair. Membebaskan Terpidana I. dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, II dr.

Hendry Simanjuntak, dan III. dr. Hendy Siagian oleh karena itu dari semua

dakwaan tersebut. Memulihkan hak Para Terpidana dalam kemampuan,

330
kedudukan dan harkat serta martabatnya. Memerintahkan agar Para

Terpidana dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan peninjauan

kembali oleh Para Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa I. II dan III

dapat dibenarkan karena pertimbangan sebagai berikut :

1. Pertimbangan dari Judex Facti telah tepat dan benar bahwa terjadinya

emboli tersebut bukan karena kelalaian dari Para Pemohon Peninjauan

Kembali/Terdakwa I. II dan III dan dalam keadaan darurat untuk

menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan serta

tindakan Para Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa I. II dan III

tidak bertentangan dengan SOP dan dalam operasi cito (darurat) tidak

harus dilakukan pemeriksaan penunjang terhadap pasien in cassu

korban sehingga bukan kelalaian. Oleh karenanya tidak ada hubungan

kasualitas antara tindakan Para Pemohon Peninjauan Kembali/

Terdakwa I. II dan III dengan kematian korban. Berdasarkan hal

tersebut maka telah terjadi kekhilafan hukum dalam putusan Judex

Juris, karena tidak terbukti adanya kealpaan yang merupakan unsur

dari dakwaan Kesatu Primair dan Subsidair dan karenanya Para

Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa I. II dan III harus dibebaskan

dari dakwaan Kesatu Primair dan Subsidair.

331
2. Menimbang bahwa terhadap dakwaan Kedua atau dakwaan Ketiga

Primair dan Subsiair pertimbangan Judex Facti sudah tepat dan benar,

dan diambil alih sebagai pertimbangan Majelis. Berdasarkan

pertimbangan tersebut maka putusan Judex Juris harus dibatalkan dan

Para Pemohon Peninjauan Kembali/ Terdakwa I. II dan III dinyatakan

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana dalam dakwaan Kesatu Primair dan Subsidair atau dakwaan

Kedua atau dakwaan Ketiga Primair dan Subsiair dan membebaskan

Para Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa I. II dan III dari segala

dakwaan tersebut serta memulihkan hak Para Pemohon Peninjauan

Kembali/Terdakwa I. II dan III dalam kemampuan, kedudukan dan

harkat serta martabatnya.

Menurut Arif Setiawan307, kelemahan Penanganan kasus dr. Dewa

Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian, tidak

sempurnanya penyidikan :

1. Diabaikannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

512/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

serta Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 519/2011

tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi

307
M.Arif Setiawan, PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK, memetik pelajaran pidana
medik dari kasus dokter Ayu Sp OG dan kawan-kawan disampaikan dalam 20 th World Congress on
Medical Law, Bali 21- 24 Agustus 2014.

332
Intensif di Rumah Sakit, sehingga penggantian dokter anastesi oleh

penatalaksana anestesi tidak dipermasalahkan secara hukum.

Menurut penulis bahwa diabaikannya Per Men Kes no. 512

tahun 2007 Pasal 1 ayat (1) Dokter dan dokter gigi dapat memberikan

pelimpahan suatu tindakan kedokteran atau kedokteran gigi kepada

perawat, bidan atau tenaga kesehatan tertentu lainnya secara tertulis

dalam melaksanakan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi. Pada

kasus pelimpahan wewenang dari dr. Lalenoh kepada suster Anita

Lengkong secara tertulis atau masih secara lisan adalah belum jelas.

Kemudian ayat (3) pelimpahan wewenang kepada perawat, bidan atau

tenaga kesehatan lainnya dalam keadaan tertentu dimana pelayanan

kesehatan sangat dibutuhkan dan tidak terdapat dokter dan dokter gigi

di tempat tersebut diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Artinya

bahwa di Rumah Sakit umum Prof. Dr. Kandou R. D. Manado ada

dokter anestesi, pelimpahan tersebut baik tertulis maupun tidak tertulis

atau lisan adalah tidak diperbolehkan oleh PerMenKes No. 512 tahun

2007 tersebut.

Diabaikanya PerMenKes Republik Indonesia 519/2011

tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi

Intensif di Rumah Sakit, menurut penulis adalah kurang sesuai karena

sengketa medis antara dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry

333
Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian dengan Siska Makatey dan

keluarganya terjadi pada tahun 2010, pada tahun tersebut seharusnya

dikaitkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.

779/MenKes/SKN.1.II/2008 tentang Standar Pelayanan Anestesi dan

Reanimasi. Pada lampiran KepMenKes butir B, Pelayanan anestesi

dan reanimasi yang dilakukan oleh perawat anestesi merupakan

pelimpahan wewenang dari dokter spesialis anestesiologi atau dokter

yang melakukan tindakan pembedahan/tindakan medis lain. Dokter

yang memberikan pelimpahan wewenang harus memberikan intruksi

tertulis. Pelimpahan wewenang tersebut dapat terjadi dalam keadaan

sebagai berikut : 1. Jika dokter spesialis anestesiologi tidak ada dalam

kamar operasi tetapi masih didalam Rumah Sakit, dapat dimintakan

izin lisan dan kemudian harus dicatat dalam rekam medis dan diparaf;

2. Jika tidak ada dokter spesialis anestesiologi tetapi ada dokter umum

yang ditugaskan dalam pelayannan anestesiologi maka dokter tersebut

menggatikan peran dokter spesialis anestesiologi. Ketentuan tersebut

dapat diterapkan pada keadaan operasi darurat pada pasien yang

keadaanya mengancam nyawa. Berdasarkan PerMenKes No. 512

tahun 2007 dan KepMenKes No. 779/MenKes/SKN.1.II/2008 diatur

sangat jelas bahwa pelimpahan wewenang harus tertulis dan apabila

334
secara lisan harus segera ditulis didalam rekam medis dan harus

diparaf.

Mulai tahun 2011, Keputusan Menteri Kesehatan No.

779/MenKes/SKN.1.II/2008 tentang Standar Pelayanan Anestesi dan

Reanimasi telah diganti dengan PerMenKes Republik Indonesia

519/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi

dan Terapi Intensif di Rumah Sakit. Dalam lampiran PerMenKes

519/2011, butir A.2. Pelayanan intra anestesi : a. Dokter spesialis

anestesiologi dan tim pengelola harus tetap berada di kamar operasi

selama tindakan anestesia umum dan regional serta prosedur yang

memerlukan tindakan sedasi.

2. Baik penyidik dan MA tidak mendalami dan menentukan penyebab

emboli dengan seksama padahal berdasarkan Visum et Repertum

terbukti penyebab kematian adalah emboli udara, mestinya harus

dibuktikan bahwa terjadinya emboli udara akibat kesalahan terdakwa

dalam melaksanakan operasi.

3. Tidak diungkapnya kedudukan hukum Direktur Rumah Sakit dan

Dekan Fakultas Kedokteran berkaitan dengan kewajiban pengurusan

SIP kolektif peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS),

peserta PPDS hanya mempunyai STR dan tidak mempunyai SIP.

PerMenKes No. 2052/MenKes/per/X/2011, Pasal 12 ayat (1) permo

335
-honan memperoleh SIP bagi dokter atau dokter gigi yang menjadi

Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) atau peserta

Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis (PPDGS), diajukan oleh

dekan Fakultas Kedokteran/Dekan Fakultas Kedokteran Gigi secara

kolektif kepada Kepala Dinas Keshatan Kabupaten/Kota dimana

rumah sakit tempat pendidikan spesialis berada, dengan tetap

memenuhi persyaratan dalam memperoleh SIP. Undang-undang

Republik Indonesia No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,

Pasal 42 pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengijinkan

dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki SIP untuk melakukan

praktik kedokteran disarana pelayanan kesehatan tersebut. Menurut

pendapat penulis dengan adanya regulasi tersebut diatas maka Dekan

maupun Direktur rumah sakit bisa dikatakan lalai karena para

terdakwa sebagai peserta PPDS yaitu dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani,

dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian, yang menjadi

tanggungjawabnya dalam melakukan tindakan kedokteran tidak

mempunyai SIP.

4. Pemalsuan tanda tangan persetujuan tindakan kedokteran.

5. Pembiaran Pasien, masuk Rumah Sakit sejak jam 10.00 diputuskan

dilakukan operasi baru jam 16.00. Penulis berpendapat bahwa para

terdakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak dan

336
dr. Hendy Siagian belum bisa dikatakan pembiaran terhadap pasien

karena menurut saksi dr. Helmi (peserta PPDS) yang pada saat itu

berada di ruang bersalin bersama dengan terdakwa I ( dr. Dewa Ayu

Sasiary Prawani) melakukan pemeriksaan hasilnya korban dapat

melahirkan secara normal tetapi sampai jam 17.30 wita belum juga

melahirkan dan kemudian diputuskan untuk dilakukan operasi setelah

melaporkan kepada dr. Najoan Nan Warouw.

6. Tidak melakukan pemeriksaan penunjang, antara lain pemeriksaan

jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Penulis tidak semuanya sependapat dengan yang disampaikan oleh

Arif Setiawan tersebut, bahkan penulis berpendapat masih ada dua hal yang

sangat penting justru tidak dilihat maupun didalami oleh para penyidik dan

para hakim Pengadilan Negeri maupan para hakim Mahkamah Agung :

1. Sesuai hasil Visum Et Repertum dari rumah sakit umum Prof. Dr.

Kandou R. D. Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010 tanggal 26

April 2010. Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban,

masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban

masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi

pada pemberian cairan obat-obatan atau infuse, dan dapat terjadi akibat

komplikasi dari persalinan itu sendiri.

337
2. Terdakwa I, mengatakan bahwa pada sayatan pertama keluar darah

berwarna hitam, terdakwa menghentikan sebentar dan mengatakan

kepada suster Anita Lengkong korban kekurangan oksigen dan

selanjutnya suster Anita Lengkong mengatakan cepat-cepat saja

operasi karena oksigen dan alat pernafasan sudah terpasang dengan

baik, dalam persidangan apa yang disampaikan oleh terdakwa I

tersebut diakui juga oleh saksi Anita Lengkong dan dr. Lalenoh.

Terdakwa I memilih operasi dilanjutkan karena saat itu dalam rahim

ada bayi yang harus diselamatkan, kalau operasi dihentikan persalinan

tidak dapat dilakukan pasien dan bayi pasti meninggal, dalam

persidangan saksi dr. Lalenoh setuju dengan yang disampaikan oleh

terdakwa I. Saksi dr. Murhady Saleh Sp OG dan dr. Recky Wilar, SpA

dalam kesaksianya menyampaikan bahwa kalau darah yang keluar

berwarna kehitam-hitaman itu berarti dalam tubuh pasien terdapat

kekurangan oksigen.

Bagan 5 : Mekanisme penyelesaian sengketa medis melalui Pengadilan.

338
BAB V

DIPERLUKAN PERADILAN KHUSUS PROFESI DAN MEMBANGUN


MODEL PERADILAN KHUSUS PROFESI

339
A. Diperlukan Peradilan Khusus Profesi

Yovita Ari Mangesti308, menyampaikan bahwa hasil pemeriksaan

berdasarkan pedoman etika kedokteran dan disiplin kedokteran oleh masyarakat

dinilai belum cukup untuk menampung keseluruhan permasalahan di bidang

kesehatan. Penyelesaian sengketa medis melalui peradilan umum kurang sesuai,

karena menurut Bambang Poernomo309, muatan hukum kesehatan dapat

digolongkan Lex Specialis bukan Lex Generalis. Kalau muatan hukum kesehatan

digolongkan Lex Specialis, Jimly Asshiddiqie310 berpendapat bahwa apabila

terjadi perkara hukum, perkara hukum tersebut disebut perkara hukum yang

spesifik, yang penanganannya memerlukan pendekatan berbeda dari perkara

hukum pada umumnya.

Nova Riyanti Yusuf,311 Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat

yang diwawancarai oleh Elva Setyaningrum tentang Putusan Kasasi Makamah

Agung yang menghukum penjara 10 bulan terhadap 3 dokter spesialis kandungan,

beliau mengatakan tidak gampang menilai tindakan medis yang dilakukan oleh

seorang dokter. Butuh orang yang benar-benar mengerti bidang itu. Itulah alasan
308
Yovita Ari Mangesti, Perlindungan Hukum Berparadigma Kemanusiaan Yang Adil Dan
Beradap Pada Riset dan Pemanfaatan Human Stem Ceel (Sel Punca Manusia) Di Bidang Kesehatan,
2015, hlm 4.
309
Bambang Poernomo, Hukum Kesehatan (Yogyakarta : Aditya Media, tanpa tahun), hlm 28
310
https : // id.wikipedia.org/wiki/pengadilan khusus, diakses tanggal 5 - 4 - 2016, jam 12 30
wib, Jimlly Asshidiqie, hlm 10.
311
C:\User\SPI\Document\Politik Indonesia- wawancara -Nova Riyanti Yusuf-Perlu Peradilan
Khusus Kesehatan.html, diakses tanggal 27-8-2016, jam 10 15 wib.

340
dari beliau dan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat lain mewacanakan

dibentuknya peradilan khusus di bidang kesehatan.

Erfen Gustiawan Suwangto312 berpendapat bahwa bagaimana mungkin

seorang hakim dapat memutuskan profesi yang spesifik. Sedangkan antar dokter

yang sudah berbeda spesialisasinya dan situasi kerjanya saja tidak bisa menjadi

saksi ahli bagi kasus kelalaian sejawatnya. Kenyataan di lapangan,313 aparat

hukumnya justru tidak menggunakan hukum positif yang berlaku di dunia

kesehatan, mereka justru menggunakan pasal kelalaian/kealpaan (Pasal 359

KUHP) karena menyebabkan matinya orang lain. Padahal situasinya dokter itu

hanya membantu.

Menurut M. Nasser,314 upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan

umum yang selama ini ditempuh tidak dapat memuaskan pihak pasien, karena

putusan hakim dianggap tidak memenuhi rasa keadilan pihak pasien. Hal ini

disebabkan sulitnya pasien atau Jaksa Penuntut Umum maupun hakim untuk

membuktikan adanya kesalahan dokter. Kesulitan pembuktian dikarenakan

minimnya pengetahuan mereka mengenai permasalahan-permasalahan teknis

sekitar pelayannan medis.

312
http://www. Kompasiana.com/wangfufen/sengketa-dokter-pasien,diakses 27-8-2016,jam 10
45wib, Erfen Gustiawan Suwangto.
313
C:\User\SPI\Document\Politik Indonesia- wawancara -Nova Riyanti Yusuf-Perlu Peradilan
Khusus Keshatan.html, diakses tanggal 27-8-2016, jam 10 15 wib.
314
M. Nasser, Sengketa Medis Dalam Pelayanan Kesehatan, Disampaikan pada Annual
Scientific Meeting UGM-Yogyakarta, Lustrum FK UGM, 3 Maret 2011, hlm 3-4.

341
Seringkali pasien selalu berpendapat bahwa kerugian yang diderita oleh

pasien adalah disebabkan oleh kesalahan yang diperbuat dokter, padahal untuk

membuktikan kerugian itu disebabkan oleh kesalahan dokter, bukan pekerjaan

yang mudah. Banyak faktor yang menyebabkan terjadi kerugian yang harus

diderita oleh pasien, sehingga mendalilkan kesalahan dokter memerlukan selain

pengetahuan tentang hukum, juga pengetahuan tentang kedokteran.315

Arif Setiawan316, dalam seminar Penyelesaian Sengketa Medik, Memetik

Pelajaran Perkara Pidana Medis dr Ayu dan kawan-kawan disampaikan dalam 20th

World Congres on Medical Law, Bali 21-24 Agustus 2014 menyampaikan bahwa

ada “Pertanyaan penting yang pernah diajukan oleh Hakim Agung Prof. Dr. Gayus

Lumbun dalam seminar dimana ide mengenai perlunya restorasi hukum pidana

medik perlu didukung namun dari sisi mana kita melakukannya” ? Karena bisa

jadi penyebabnya juga karena faktor kurangnya pemahaman aparatur hukum baik

polisi maupun jaksa dalam memproses kasus hukum medik.

Pada kesempatan yang lain, pada saat uji materi Undang-Undang Nomor

29 Tahun 2004 oleh Makamah Konstitusi, M. Arif Setiawan317 berpendapat bahwa

tidak mudah bagi orang awam di bidang kedokteran, termasuk penegak hukum

seperti hakim yang sudah dibekali asas ius curia novit sekalipun, untuk
315
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Bandung, Mandar Maju, 2001, hlm 27.
316
M.Arif Setiawan, PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK, memetik pelajaran pidana medik
dari kasus dokter Ayu Sp OG dan kawan-kawan disampaikan dalam 20th World Congress on Medical
Law, Bali 21- 24 Agustus 2014.
317
M.Arif Setiawan, Sebagai Ahli dalam Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana,
disampaikan pada saat uji materi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Oleh Makamah Konstitusi
di Jakarta tanggal 4 September 2014.

342
membedakan tindakan profesi kedokteran yang masuk dalam kategori malpraktik

atau risiko medis. Bahwa risiko medis ada pada setiap tindakan medis dengan

tingkatan yang berbeda-beda.

Pada diskusi yang penulis lakukan dengan para narasumber sesuai dengan

yang disyaratkan sebagai sumber data menurut Andi Prastowo adalah seseorang

yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Dalam diskusi tersebut didapatkan pendapat yang sangat bermanfaat tentang

pentingnya peradilan khusus profesi dan bagaimana model bangunan peradilan

khusus profesi.

Pada saat diskusi, ada nara sumber ( antara lain dokter spesialis pernah

menjadi ketua komite medik dan sekarang menjadi anggota komite etik dan

hukum serta dokter yang menjadi anggota MKEK IDI cabang kota Yogyakarta)

yang berpendapat hampir sama dengan yang disampaikan oleh Gayus Lumbun

(restorasi hukum pidana medik perlu didukung namun dari sisi mana kita

melakukannya, karena bisa jadi penyebabnya juga karena faktor kurangnya

pemahaman aparatur hukum baik polisi maupun jaksa dalam memproses kasus

hukum medik). Apabila ada dugaan sengketa medis dilaporkan kepada penyidik,

kemudian penyidik melakukan penyidikan dan justru penyidik inilah yang perlu

dibekali pengetahuan tentang dunia kedokteran dan prosedur proses pelayanan

medis serta prosedur proses tindakan medis yang dilakukan oleh dokter baik di

rumah sakit maupun pada saat praktik mandiri. Harapannya bahwa para penyidik

343
kepolisian memahami persoalan-persoalan proses yang terjadi didalam pelayanan

medis dan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Apabila ada laporan dugaan

terjadinya sengketa medis antara dokter dengan pasien dan atau keluarga kepada

kepolisian dan kemudian kepolisian melakukan penyidikan, para penyidik

kepolisian sudah memahami proses-proses yang terjadi didalam pelayanan medis

dan tindakan medis. Jika didalam proses penyidikan ternyata penyidik kepolisian

masih membutuhkan keterangan dari saksi ahli untuk memperjelas penyebab

dugaan sengketa medis tersebut untuk menyimpulkan bahwa sengketa tersebut

memang betul terjadi dan merugikan masyarakat maka penyidikan akan diteruskan

atau apabila dugaan sengketa medis tersebut tidak benar maka penyidikan akan

dihentikan. Menurut pemahaman narasumber tersebut bahwa para penegak hukum

tidak semuanya memerlukan pemahaman atau pengetahuan mengenai bagaimana

proses jalannya pelayanan medis maupun tindakan medis.

Menyikapi pemahaman narasumber, bahwa para penegak hukum tidak

semuanya memerlukan pemahaman atau pengetahuan mengenai bagaimana proses

jalannya pelayanan medis maupun tindakan medis, penulis tidak sependapat.

Penulis berpendapat bahwa orang mencari keadilan itu tidak hanya terbatas atau

berhenti sampai kepada kepolisian saja, tetapi sangat mungkin sampai kepada

Pengadilian. Proses peradilan dipengadilan sangat mungkin tidak hanya terbatas

pada Pengadilan Negeri saja tetapi pihak yang belum puas dengan putusan

Pengadilan Negeri tersebut tidak menutup kemungkinan mengajukan banding ke

344
Pengadilan Tinggi ataupun bahkan sampai mengajukan kasasi dan peninjauan

kembali di Mahkamah Agung.

Para narasumber pada saat dilakukan diskusi dengan penulis berpendapat

sama dengan yang disampaikan oleh Bambang Poernomo bahwa muatan hukum

kesehatan bersifat khusus dan spesifik maka dapat digolongkan Lex Specialis

bukan Lex Generalis. Muatan hukum kesehatan adalah bersifat khusus dan

spesifik para narasumber berpendapat kalau ada perkara hukum antara dokter

dengan pasien dan atau keluarga, maka perkara hukum tersebut disebut perkara

hukum yang spesifik, yang penanganannya memerlukan pendekatan berbeda dari

perkara hukum pada umumnya sesuai dengan yang disampaikan oleh Jimly

Asshiddiqie.

Penanganan perkara hukum yang bersifat khusus dan spesifik

memerlukan pendekatan berbeda dari perkara hukum pada umumnya, menurut

penulis dan para narasumber penanganannya diperlukan wadah khusus. Penulis

menyampaikan bahwa regulasi yang ada di Indonesia memungkinkan dibuat

wadah khusus untuk menyelesaiakan perkara hukum bersifat khusus dan spesifik

tersebut.

Wadah khusus tersebut terdapat dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 18 kekuasaan kehakiman dilakukan

oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya.

Pasal 25 ayat (1) badan peradilan yang berada di bawah Makamah Agung meliputi

345
badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan

militer dan peradilan tata usaha negara. Pasal 27 ayat (1) memungkinkan bahwa

dalam tiap-tiap badan peradilan dapat dibentuk peradilan khusus. UU No. 49

Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan

Umum Pasal 1 angka 5, Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai

kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang

hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada

dibawah Makamah Agung yang diatur dalam undang-undang. UU No. 49 Tahun

2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan

Umum, Pasal 8 ayat (1) di lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan

khusus yang diatur dengan undang-undang.

Mengenai perlunya restorasi hukum yang berkaitan dengan pelayanan

kedokteran penulis akan mencoba melihat dari sisi lain apakah dalam

menyelesaikan sengketa medis antara dokter dengan pasien dan atau keluarga

melalui MKEK maupun MKDKI walaupun masing-masing sudah dinyatakan ada

pelanggaran etika maupun pelanggaran disiplin, ada yang dapat dikaitkan dengan

pelanggaran hukum. Disamping itu penulis juga akan melihat dampak

penyelesaian sengketa medis antara dokter dengan pasien dan atau keluarga

melalui peradilan umum.

1. Penyelesaian sengketa medis melalui MKEK yang bisa dikaitkan dengan


hukum.

346
MKEK sebagai lembaga yang menetapkan putusan dan sanksi etik

terhadap setiap dokter yang terbukti melakukan penyimpangan, kesalahan dan

pelanggaran etik dalam praktik kedokteran di Indonesia. MKEK hanya

menangani dokter dalam menjalankan pelayanan medis melakukan

pelanggaran etik. MKEK dalam menjalankan tugasnya berdasarkan Surat

Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor

221/PB/A.4/04/2002 Tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

Penelitian yang dilakukan Anwari318 di MKDKI dan ditemukan

adanya pelanggaran etik sesuai dengan Surat Keputusan PB IDI Nomor

221/PB/A.4/04/2002 Pasal 2 seorang dokter harus senantiasa berupaya

melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi ada 128

dari 219 responden atau 58,44 %. Dokter dalam melayani pasien tidak

melaksanakan standar profesi disamping melanggar Kode Etik Kedokteran

Indonesia dan menurut penulis dokter tersebut juga melanggar Keputusan

Nomor 17/KKI/Kep/VIII/2006 tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi

Kedokteran, BAB III Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran butir 1, adalah

melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten. Disamping melanggar

etika kedokteran dan disiplin kedokteran, melanggar juga kewajiban dokter

sesuai dengan Pasal 51 butir a memberikan pelayanan medis sesuai dengan

318
Anwari, ibid., hlm 362.

347
standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien

UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dokter tersebut dalam

melaksanakan pelayanan medis tidak sesuai dengan standar profesi dan pasien

tersebut tidak menjadi lebih baik dibanding sebelum dilakukan tindakan medis

maka penulis setuju dengan penelitian Anwari, bahwa dokter tersebut bisa

juga dikategorikan pelanggaran hukum dan dapat dikenakan Pasal 360 KUHP.

Dimana Pasal 360 KUHP tersebut berbunyi barang siapa karena kesalahannya

menyebabkan orang lain luka berat atau luka sedemikian, sehingga berakibat

penyakit atau halangan sementara untuk menjalankan jabatan atau

pekerjaannya, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.

Menurut penulis dokter tersebut dalam melaksanakan pelayanan medis tidak

sesuai dengan standar profesi dan pasien tersebut tidak menjadi lebih baik

bahkan meninggal dunia dokter tersebut bisa diancam pidana dengan pasal

359 KUHP, barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang

lain, diancam dengan pidana paling lama lima tahun atau kurungan paling

lama satu tahun.

Hasil penelitian Anwari319 di MKDKI dan ditemukan adanya

pelanggaran etik sesuai dengan Surat Keputusan PB IDI Nomor

221/PB/A.4/04/2002 Pasal 3 dalam melakukan pekerjaan kedokterannya,

319
Anwari, ibid., hlm 364.

348
seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan

hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi ada 10 dari 219 responden atau

4,56 %. Dokter tersebut : menjuruskan pasien membeli obat tertentu, karena

dokter telah menerima imbalam dari perusahaan farmasi; merujuk pasien ke

laboratorium atau sejawat atau ke rumah sakit dengan imbalan tertentu;

melakukan pemeriksaan penunjang medik atau tindakan medik yang tidak

diperlukan oleh pasien atau tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien.

Penulis berpendapat bahwa dokter tersebut juga melanggar Keputusan Nomor

17/KKI/Kep/VIII/2006 tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi

Kedokteran, BAB III Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran butir 7, adalah

melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan

kebutuhan pasien dan butir 23, menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk

atau meminta pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat kesehatan.

Menurut pendapat penulis dokter tersebut juga melanggar Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 ayat (1) setiap

dokter atau dokter gigi dalam melaksanan praktik kedokteran atau kedokteran

gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya; Pasal 51 huruf

a memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; dan Pasal 52 huruf c

mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. Sangat mungkin

keadaan tersebut diatas pasien dan atau keluarga tidak mengetahui bahwa

349
kepentingannya dirugikan, padahal kalau pasien dan atau keluarga mengetahui

kepentingannya dirugikan bisa melakukan tuntutan ganti rugi. Tuntutan ganti

rugi tersebut dapat dibenarkan oleh Pasal 66, Undang-Undang Nomor 29

Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ayat (3) tidak menghilangkan hak

setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak

yang berwenang dan atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan. Apabla

dokter dalam melakukan pelayanan medis, menerima imbalan sebagai hasil

dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat

kesehatan dapat diancam dengan Pasal 378 KUHP, barang siapa dengan

maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

Anwari320 menyampaikan hasil penelitian di MKDKI dan ditemukan

adanya pelanggaran etik sesuai dengan Surat Keputusan PB IDI Nomor

221/PB/A.4/04/2002 Pasal 7 seorang dokter hanya memberi surat keterangan

dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya adalah 3 dari 219

responden atau 1,36 %. Dokter tersebut disamping melakukan pelanggaran

etik juga melakukan pelanggaran disiplin kedokteran butir 18 yaitu membuat

keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang

diketahuinya secara benar dan patut. Dokter dalam memberikan surat

keterangan apapun kepada pasien harus berdasarkan apa yang dilihat atau

berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan. Apabila surat keterangan yang

320
Anwari, ibid., hlm 365.

350
dikeluarkan oleh dokter tersebut tidak berdasarkan hasil pemeriksaan, maka

surat keterangan tersebut bisa dikatakan palsu. Membuat surat keterangan

tidak berdasarkan kebenaran bisa dikatakan melakukan pelanggaran Pasal 267

ayat (1) KUHP seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan

palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam

dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pelanggaran hak-hak oleh dokter terhadap pasien yang dilaporkan

oleh Anwari321 dari penelitianya di MKDKI ditemukan adanya pelanggaran

etik sesuai dengan Surat Keputusan PB IDI Nomor 221/PB/A.4/04/2002

sesuai Pasal 7c seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak

sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga

kepercayaan pasien, didapat 115 dari 219 responden atau 52,51 %. Sebelum

melakukan tindakan medis, dokter harus menjelaskan dahulu kepada pasien

dan atau keluarga yang akan dilakukan, dokter tidak boleh melarang pasien

dan atau keluarga mencari second opinion, dokter tidak boleh melakukan

tindakan medis diluar kebutuhan medis pasien, dokter tidak boleh memaksa

tindakan medis kepada pasien. Dokter tersebut dapat dikatakan melanggar

Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Kalau dokter tidak menjelaskan sebelum melakukan tindakan medis

321
Anwari, ibid., hlm 366.

351
disamping melanggar Pasal 52 juga dapat dinggap melanggar Pasal 45

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, ayat (1)

setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh

dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Dokter

dalam melakukan tindakan medis belum mendapatkan persetujuan dari pasien

atau keluarga, dokter tersebut dapat dianggap melakukan penganiayaan,

sehingga dapat diancam dengan pidana Pasal 351 KUHP.

Anwari322 menyampaikan hasil penelitian di MKDKI dan ditemukan

adanya pelanggaran etik sesuai dengan Surat Keputusan PB IDI Nomor

221/PB/A.4/04/2002 Pasal 13 setiap dokter wajib melakukan pertolongan

darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang

lain bersedia dan mampu memberikannya : 1 responden atau 0.45 %. Dokter

tidak melakukan pertolongan pasien gawat darurat disamping melanggar etik

juga melanggar Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran, butir d kewajiban dokter melakukan pertolongan darurat

atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas

dan mampu melakukannya. Dokter berkewajiban menolong pasien gawat

darurat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, apabila tidak mampu

melakukan dengan ijin keluarganya segera untuk dirujuk. Apabila dokter tidak

322
Anwari, ibid., hlm 367.

352
mau menolong pasien gawat darurat dan kebetulan pasien tersebut terjadi

kecacatan atau terus meninggal dunia maka dokter tersebut bisa dianggap

melakukan kelalaian, dokter tersebut dapat diancam dengan Pasal 359 dan

Pasal 360 KUHP. Kalau dokter melakukan pembiaran dengan sengaja

terhadap pasien gawat darurat, dokter tersebut dapat diancam dengan Pasal

304 KUHP, barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan

seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku

baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan

atau pemeliharaan kepada orang lain itu, diancam dengan pidana penjara

paling lama dua tahun delapan bulan.

Anwari323 melaporkan bahwa, dokter yang akan melakukan

pelayanan kesehatan harus dalam keadaan sehat dan penelitian yang dilakukan

di MKDKI didapat 3 dari 219 responden atau 1,36 % saat menjalankan

pelayanan medis kurang sehat. Padahal yang diharapkan oleh Surat Keputusan

PB IDI Nomor 221/PB/A.4/ 04/2002 sesuai Pasal 16 setiap dokter harus

memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik. Dokter

seharusnya memberi teladan dalam memelihara kesehatan, melakukan

pencegahan terhadap penyakit, berperilaku sehat sehingga dapat bekerja

dengan baik dan tenang. Dokter dalam keadaan sehat diharapkan dapat

323
Anwari, ibid., hlm 369.

353
melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga sesuatu yang tidak diharapkan

dapat dihindari atau paling tidak dapat diminimalisir. Penulis mempunyai

pandangan bahwa dokter dalam keadaan kurang sehat didalam melakukan

pelayanan medis bisa saja sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, dokter

tersebut dapat dikatakan melanggar etik dan apabila pelayanan medis hasilnya

sampai merugikan pasien sangat mungkin akan muncul persoalan hukum.

2. Penyelesaian sengketa medis melalui MKDKI yang bisa dikaitkan


dengan hukum.

Tugas MKDKI adalah menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi

dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, menurut penulis ada dua hal yang

sangat penting dan perlu perhatian. Pertama, bahwa dari 28 pedoman

pelanggaran disiplin yang disampaikan oleh MKDKI apabila dilakukan oleh

seorang dokter dan MKDKI menyimpulkan bahwa dokter tersebut dinyatakan

melakukan pelanggaran disiplin maka dapat dikatakan dokter tersebut

melakukan malpratik. Kedua, apabila dokter melakukan pelanggaran disiplin

dan dapat dikategorikan malpraktik dan sangat mungkin merugikan pasien

dan atau keluarga, kewajiban MKDKI hanya melakukan atau memberikan

sanksi. Sanksi tersebut sesuai dengan Peraturan K K I Nomor

16/KKI/PER/VIII/ 2006 Pasal 28 : a. pemberian peringatan tertulis; b.

rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik;

dan/atau c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi

354
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. MKDKI tidak mempunyai

kewajiban menyampaikan kejadian pelanggaran disiplin yang dapat

dikategorikan malpraktik tersebut kepada pihak yang berwajib.

Laporan penelitian yang dilakuan oleh Anwari,324 jumlah kasus

maupun responden kemungkinan berkaitan dengan pelanggaran hukum.

Beberapa penulis juga menyampaikan dan penulis setuju dengan pendapat

tersebut bahwa terjadinya pelanggaran hukum itu biasanya juga didahului oleh

pelanggaran etika atau disiplin maupun etika bersama-sama dengan disiplin.

Dari 136 kasus yang terjadi terdapat 57 kasus yang berkaitan dengan

pelanggaran hukum atau 41,9 %. Kemungkinan berkaitan dengan pelanggaran

hukum berdasarkan individu dokter atau responden adalah 66 dari 219 atau

30,1 % responden yang diadukan karena pelanggaran disiplin melakukan

pelanggaran hukum.

Distribusi frekuensi pasal-pasal hukum materiil yang ada

kemungkinan didakwakan kepada responden :

2.1. Kemungkinan berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran :

1. Pasal 36 setiap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik

kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik : 1 responden.

324
Anwari, ibid., hlm 369-373.

355
2. Pasal 40 ayat (1) dokter atau dokter gigi yang berhalangan

menyelenggarakan praktik kedokteran harus membuat pemberitahuan

atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti; ayat (2) dokter atau

dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dokter

atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik : 2 responden.

3. Pasal 41 ayat (1) dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin

praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran; ayat (2)

dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik disarana pelayanan

kesehatan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar

dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran : 2 responden.

4. Pasal 42 pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan

dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk

melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut : 2

responden.

5. Pasal 75 ayat (1) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja

melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi

sebagaimana dimaksud Pasal 29 ayat (1) didenda paling banyak Rp

100.000.000,- (seratus juta rupiah) : 2 responden.

6. Pasal 76 setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan

praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana

356
dimaksud dalam pasal 36 didenda paling banyak Rp 100.000.000,-

(seratus juta rupiah) : 7 responden.

7. Pasal 79 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun

atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap

dokter atau dokter gigi yang : a. dengan sengaja tidak memasang papan

nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) (sanksi pidana

dihapus); b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); c. dengan sengaja tidak memenuhi

kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf

c, huruf d, huruf e (sanksi pidana dihapus) : 3 responden.

8. Pasal 80 setiap orang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter

gigi sebagaimana dimaksud Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp

300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) : 4 responden.

2.2. Kemungkinan berkaitan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUH PERDATA) :

1. Pasal 1365 tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa

kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan

kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut : 52

responden.

357
2. Pasal 1336 setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian

yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang

disebabkan kelalaian atau kesembronoannya : 52 responden.

3. Pasal 1337 seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang

disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang

disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau

disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya : 52

responden.

2.3. Kemungkinan berkaitan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) :

1. Pasal 204 ayat (2) jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang

bersalah dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun : 2 responden.

2. Pasal 242 dengan sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah,

baik dengan lisan atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya

yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling

lama tujuh tahun : 1 responden.

3. Pasal 263 tentang keterangan yang tidak benar atau pemalsuan surat : 1

responden.

4. Pasal 304 barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan

seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku

358
baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan,

perawatan atau pemeliharaan kepada orang lain itu, diancam dengan

pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan : 10 responden.

5. Pasal 359 barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang

lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

kurungan paling lama satu tahun : 6 responden.

6. Pasal 360 barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain

mendapatkan luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama

lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun : 1 responden.

7. Pasal 378 barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum : 13 responden.

Arif Setiawan325, berpendapat bahwa dari 28 bentuk pelanggaran

disiplin kedokteran yang terdapat dalam pedoman penegakan disiplin profesi

kedokteran pada Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor

17/KKI/KEP/VIII/2006 dapat dikaitkan dengan KUHP, Undang-undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bentuk pelanggaran disiplin

kedokteran dapat dikaitkan dengan KUHP adalah 8, Undang-undang Praktik

Kedokteran adalah 7 dan Undang-undang Kesehatan 1.

325
M.Arif Setiawan, Sebagai Dosen dalam Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana,
Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

359
Penulis mendukung pendapat yang disampaikan oleh Yovita Ari

Mangesti, bahwa hasil pemeriksaan berdasarkan pedoman etika kedokteran

yang dilakukan oleh MKEK dan disiplin kedokteran yang dilakukan oleh

MKDKI, dinilai oleh masyarakat belum cukup untuk menampung

keseluruhan permasalahan dibidang kesehatan. Apalagi jika pada pemeriksaan

dugaan adanya sengketa tersebut ditemukan adanya kerugian pihak pasien dan

atau keluarga.

Sengketa medis yang terjadi antara dokter dengan pasien dan atau

keluarga bisa karena disebabkan permasalahan etika saja atau displin saja atau

etika bersama-sama dengan disiplin kedokteran atau bahkan sampai

memunculkan persoalan hukum. Apabila sampai terjadi persoalan hukum

maka yang mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan mestinya adalah

penegak hukum.

Laporan yang disampaikan oleh masyarakat apabila ada

kemungkinan terjadi sengketa medis antara dokter dengan pasien dan atau

keluarga kepada MKEK, kemudian MKEK melakukan permeriksaan dan

betul ada pelanggaran etika yang dilakukan dokter terlapor maka MKEK akan

memberikan sanksi sesuai dengan kewenangannya. Sedangkan apabila MKEK

tidak mendapatkan pelanggaran etika tetapi didapatkan pelanggaran disiplin

kedokteran maka dokter tersebut akan diserahkan kepada MKDKI. Kemudian

360
MKDKI akan melakukan penelahan dan dilanjutkan dengan pemeriksaan

sesuai dengan kewenangannya.

Laporan yang disampaikan oleh masyarakat apabila ada

kemungkinan terjadi sengketa medis antara dokter dengan pasien dan atau

keluarga kepada MKDKI, kemudian MKDKI melakukan permeriksaan dan

betul ada pelanggaran disiplin kedokteran yang dilakukan dokter terlapor

maka MKDKI akan memberikan sanksi sesuai dengan kewenangannya.

Sedangkan apabila MKDKI tidak mendapatkan pelanggaran disiplin

kedokteran tetapi didapatkan pelanggaran etika kedokteran maka dokter

tersebut akan diserahkan kepada MKEK. Kemudian MKEK akan melakukan

penelahan dan dilanjutkan dengan pemeriksaan sesuai dengan

kewenangannya.

Apabila dokter teradu dan kemudian setelah dilakukan pemeriksaan

oleh MKEK atau MKDKI dan kemudian dinyatakan melanggar etika

kedokteran oleh MKEK atau dinyatakan melanggar disiplin kedokteran oleh

MKDKI, dokter tersebut akan mendapatkan sanksi sesuai dengan berat

ringannya pelanggaran yang dilakukan. Penulis yang juga seorang dokter,

sanksi yang diberikan oleh MKEK atau MKDKI sebetulnya secara moral

sudah cukup berat. Sanksi oleh MKEK adalah penasehatan, peringatan lisan,

peringatan tertulis, pembinaan perilaku, rescooling, pemecatan sementara

sebagai anggota IDI, sampai dengan pencabutan keanggotaan IDI. Sanksi oleh

361
MKDKI adalah pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan Surat

Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik (sementara atau tetap), kewajiban

mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau

kedokteran gigi (paling cepat 3 bulan dan paling lama 1 tahun).

Penulis juga sependapat dengan pendapat Arif Setiawan dan Anwari

bahwa ada beberapa pelanggaran etika kedokteran atau pelanggaran disiplin

kedokteran dapat dianalogikan dengan pelanggaran hukum. Pelanggaran

hukum tersebut adalah yang berkaitan dengan UU No. 29 tahun 2004

maupaun KUHP dan KUHPerdata. Kalau pelanggaran etika kedokteran atau

pelanggaran disiplin kedokteran yang bisa dikaitkan dengan pelanggaran

hukum tetapi tidak dikaitkan dengan pelanggaran hukum maka masyarakat

menganggap apabila ada dugaan sengketa medis antara pasien dan atau

keluarga hanya diselesaikan oleh MKEK atau MKDKI masyarakat belum

menganggap tuntas. Pasien dan atau keluarga merasa dirugikan karena

sengketa medis yang dilakukan oleh dokter tidak hanya disebabkan

pelanggaran etika kedokteran atau disiplin kedokteran akan tetapi sampai

memunculkan persoalan hukum maka pasien dan atau keluarga bisa

melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan

atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan, sesuai dengan Pasal 66 ayat

(3) UU no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

3. Dampak penyelesaian sengketa medis melalui peradilan umum.

362
a. Kasus dr. Setyaningrum.

Keputusan Pengadilan Negeri Pati Nomor 8/1980/Pid.B/Pn.Pt

tanggal 2 September 1981 karena kealpaannya menyebabkan orang lain

meninggal dunia dan menghukum terdakwa dengan hukuman penjara 3

(tiga) bulan dengan masa percobaan 10 (sepuluh) bulan. Putusan

Pengadilan Negeri Pati tersebut diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jawa

Tengah No. 203/1981/Pid/PT. Smg, ada dua dampak yaitu pertama adalah

dampak positif dan kedua adalah dampak negatif. 326 Walaupun Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 600/K/Pid/1983 tanggal 27

Juni 1984 dalam amar putusan yang pada pokoknya sebagai berikut : a.

Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang tanggal 19 Mei 1982

No. 203/1981/Pid/PT. Smg dan putusan Pengadilan Negeri Pati tanggal 2

September 1981 No. 8/1980/Pid.B/ PN.Pt. b. Menyatakan kesalahan

terdakwa dr. S binti Swk atas dakwaan yang didakwakan kepadanya tidak

terbukti. c. Membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut.

Dampak positif dari kasus dr. Setyaningrum adalah: adanya

dokter lebih banyak berhati-hati apa yang diperbuat dengan pasienya;

terjadi perubahan pola hubungan pasien dan dokter dari paternalistik

menjadi partnership. Bagi yang setuju adanya hukum kesehatan, hukum

326
C:\User\SPI\Document\Dampak Kasus Dokter Setyaningrum – Verdi’s Blog. html, diakses
tanggal 30-8-2016, jam 10 00 wib.

363
itu perlu untuk membatasi sejauh mana kewenangan dokter. Fungsi

hukum kesehatan bagi dunia kedokteran yaitu untuk memberikan

kepastian dan perlindungan hukum bagi pemberi maupun penerima

pelayanan kesehatan.

Sedangkan dampak negatif yang terjadi pada saat itu adalah

banyak dokter yang takut untuk melakukan tindakan medis. Menurut

penulis apabila dokter takut melakukan tindakan medis berlanjut dan

tidak harus seluruh dokter baik spesialis maupun yang bukan spesialis

tetapi hanya dokter umum saja akan cukup merugikan masyarakat.

Apalagi ketakutan itu juga melanda para dokter spesialis maka kerugian

yang ditimbulkan tidak bisa dibayangkan besarnya.

Bagi yang tidak setuju adanya hukum kesehatan, hukum

kesehatan/kedokteran tidak perlu mengatur bagaimana dokter harus

berbuat, cukup ada peraturan internal di dalam kedokteran sendiri.

Penulis tidak setuju bahwa kegiatan dokter didalam melayani pasien

hanya diatur dengan aturan internal saja, apabila terjadi sengketa antara

dokter dengan pasien dan atau keluarga diselesaikan dengan aturan

internal, pertama kemungkinan besar masyarakat tidak puas seperti yang

disampaikan oleh Yovita Ari Mangesti, dan kedua seolah-olah dokter

adalah kebal hukum. Padahal hasil penelitian yang dilakukan Anwari dan

penulis sangat setuju bahwa dokter yang melakukan pelayanan medis

364
kemudian terjadi sengketa medis dengan pasien dan atau keluarga

kemudian dilakukan pemeriksaan oleh MKEK maupun MKDKI ternyata

ada yang dapat dikaitkan dengan hukum baik pidana maupun perdata.

Dengan adanya kasus dr. Setyaningrum tersebut, menurut

penulis bahwa walaupun perlu waktu lama dari tahun 1980 hukum

kedokteran mulai berkembang dan akhirnya pada tahun 2004 terbentuklah

Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Walaupun regulasi tersebut mungkin belum seperti yang diharapkan oleh

masyarakat, tetapi paling tidak sudah ada regulasi yang mengatur tentang

praktik kedokteran maupun kedokteran gigi. Dalam Undang-undang

tersebut mengatur secara rinci hak dan kewajiban pasien dan dokter.

Setiap dokter akan melakukan tindakan kedokteran harus mendapatkan

persetujuan dari pasien atau keluarganya. Setiap dokter yang melakukan

praktik kedokteran harus mempunyai STR dan SIP serta harus

berdasarkan standar profesi dan SOP.

a. Kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjutak dan dr. Hendy
Siagian.

Dampak langsung setelah ada putusan kasasi dari Mahkamah

Agung RI No. 365K/PID/2012 tanggal 18 September 2012 Menyatakan

para terdakwa : dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwa I) dr. Hendry

Simanjuntak (terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (terdakwa III) telah

365
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”.

Mejatuhkan pidana terhadap para terdakwa : dr. Dewa Ayu Sasiary

Prawani (terdakwa I) dr. Hendry Simanjuntak (terdakwa II) dan dr. Hendy

Siagian (terdakwa III) dengan pidana penjara masing-masing selama 10

(sepuluh) bulan.

Sehari setelah putusan kasasi Mahkamah Agung dibacakan

terjadi mogok kerja oleh dokter spesialis Obstetri dan Gynekologi seluruh

Indonesia dan saat itu Pengurus Besar IDI dan Pengurus Persatuan Ahli

Obstetri dan Gynekologi Indonesia (POGI) tidak melarangnya. Hari-hari

berikutnya beberapa IDI Wilayah maupun IDI cabang bukan melakukan

mogok kerja tetapi melakukan demontrasi damai ada yang ke DPRD,

Dinas Kesehatan maupun Kepolisian.

Kita semua bisa membayangkan apa yang terjadi, misalnya saat

itu dilakukan penelitan akan didapatkan angka kematian ibu melahirkan

dan bayi baru lahir diperkirakan akan meningkat. Kejadian tersebut baru

disebabkan oleh dokter spesialis Obstetri dan Gynekologi saja belum

melihat akibat dokter yang lain pada saat melakukan demontrasi damai

mestinya juga tidak melakukan pelayanan medis kepada masyarakat.

Kejadian tersebut terjadi menurut penulis kemungkinan besar

disebabkan para penegak hukum dalam mengangani kasus sengketa

366
medis antara dokter dengan pasien dan atau keluarga kurang memahami

tentang persoalan medis yang sangat spesifik dan khusus. Beberapa ahli

hukum kesehatan antara lain Bambang Poernomo serta ahli hukum yang

lain, Jimlly Asshidiqie menyatakan bahwa bidang kedokteran itu bukan

termasuk Lex Generalis tetapi adalah termasuk Lex Specialis. Arif

Setiawan menyampaikan bahwa penegak hukum banyak yang belum

memahami bahwa persoalan medis adalah persoalan yang sangat spesifik

dan khusus, pemahaman tersebut disampaikan pada saat beliau menjadi

nara sumber pada 20th World Congress on Medical Law, Bali 21- 24

Agustus 2014. Masih banyak yang berpendapat bahwa untuk

menyelesaikan sengketa medis tidak mudah dan diperlukan seseorang

yang betul-betul memahami tentang dunia kedokteran yang sangat

spesifik dan khusus.

Dengan keadaan tersebut diatas, bahwa penyelesaian sengketa

medis baik melalui MKEK dan atau MKDKI walaupun sudah dinyatakan

terjadi pelanggaran etika maupun pelanggaran disiplin, ternyata

pelanggaran tersebut bisa berkaitan dengan pelanggaran hukum.

Sedangkan penyelesaian sengketa medis (seperti contoh yang

disampaikan penulis) melalui peradilan umum bahwa penegak hukum

banyak yang belum memahami bahwa persoalan medis adalah persoalan

yang sangat spesifik dan khusus atau Lex Spesialis.

367
B. Membangun Model Peradilan Khusus Profesi

1. Penyelesaian Sengketa Medis di Negara Lain

1.1. Singapura

Apabila ada tuntutan kelalaian medis, untuk mengatasi tuntutan

tersebut, mediasi dianjurkan sebagai jalur utama untuk menyelesaikannya.

Mediasi adalah merupakan model penyelesaian sengketa yang paling

konvensional. Ada dua keuntungan utama dari model mediasi, pertama adalah

kedamaian yang diutamakan dalam proses mediasi dan kedua, adalah

penghematan biaya. Tatacara mediasi diatur dalam sesi 42(4)(b)(ii), Hukum

Regristrasi Medis dalam Singapura Medical Counsil. Penyelesaian dengan cara

mediasi tersebut tercatat dalam klausa kontrak pelayannan kesehatan.327

Singapura Medical Counsil mempunyai dua fungsi utama, pertama

adalah memelihara registrasi dokter, memastikan bahwa mereka cukup

kualified melakukan pelayanan kesehatan, memiliki peran dalam audit dan

memeriksa sistem pelatihan dokter pada kedua strata pendidikan dokter (Strata

satu dan Pascasarjana). Ke dua adalah melindungi pasien dan keselamatan

publik dengan memastikan bahwa mereka disamping telah diberi izin praktik,

terus tetap mempertahankan kompetensi serta kinerja klinis.328


327
Peter Loke, Mediation and Arbitration in Healthcare Dispute Resolution, Teaching
Faculty, SMA centre for Medical Ethics & Professionalism, SMA News May 2014, hlm 18.
328
T. Thirumoorthy, Profesional Misconduct, Patient-doctor Dispute Resolution and Medical
Council (A Looming Crisis of Confidence, More Than Just and Storm in a Tea Cup), Executive
Directur, SMA Centre For Medical Ethics & Professionalism, SMA news November 2012, hlm 16.

368
Bila proses mediasi gagal mencapai kesepakatan, dilakukan jalur

konvensional melalui pengadilan, arbitase atau menyampaikan keluhan kepada

Singapura Medical Council. Mekanisme penyelesaian sengketa dengan model

mediasi-arbitrase, apabila nilai klaim lebih dari $ 250.000 biasanya

membutuhkan penangannan sampai Makamah Agung. Sedangkan apabila nilai

klaim kurang dari $ 250.000 penangannanya tidak perlu sampai Makamah

Agung.329

1.2. Thailand

Dalam praktik kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang

sangat luas, yang sering tumpang tindih pada suatu issue tertentu, dan bahkan

aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, hal ini

disebabkan banyak norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum atau

sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Pelanggaran

terhadap ketentuan Kode Etik Kedokteran ada yang merupakan pelanggaran

etik semata-mata, tetapi ada juga merupakan pelanggaran etik dan sekaligus

pelanggaran hukum yang dikenal dengan istilah pelanggaran etikologal.330

Malpraktik medis331 dapat didifinisikan sebagai kelalaian profesional

atas suatu tindakan atau kelalaian dari penyedia layanan kesehatan dimana

perawatan yang disediakan dibawah standar yang ditetapkan komunitas medis


329
Peter Loke, op.cit., hlm 19.
330
Arthur Saniotis, Changing ethic in medical practice : a Thai perspective, Indian Journal of
Medical Ethics, Volume IV. No.1 January-March 2007.
331
Angus Mitchell, Matthew Christensen and Kraisorn Rueangkul, Medical malpractice Part
1, Bangkok Post the world’s window on Thailand ,14/07/2013.

369
dan menyebabkan cidera atau kematian orang, termasuk kekeliruan dalam

mendiagnosa, kegagalan memberikan pengobatan yang diperlukan, serta

kegagalan untuk memperingatkan pasien dari risiko kesehatan yang mungkin

terjadi.

Dalam hukum Thailand,332 tuntutan hukum malpraktik medis dapat

dibawa ke pengadilan perdata dan pidana. Malpraktik medis dianggap tindakan

salah dan diatur dalam Bab 420 Civil and Commercial Code (hukum sipil dan

komersial), dan harus dilaporkan dalam waktu satu tahun dari tanggal kejadian

diketahui korban.

Pada kasus kriminal,333 malpraktik medis berada pada hukum pidana

Thailand (diatur dalam section 288-305 of the Thai Penal Code), sebagai

pelanggaran atau kejahatan terhadap tubuh dan kehidupan. Pembatasan untuk

mengajukan kasus kriminal (pidana) tergantung pada tingkat keparahan cidera,

bisa berkisar sampai 20 tahun dalam kasus kematian pasien.

Section 291 :

Tindakan lalai yang menyebabkan kematian, penjara selama lebih dari 10

tahun dan denda tidak lebih dari 20.000 Baht.

Section 300 :

Tindakan lalai yang menyebabkan kerugian fisik berat, penjara tidak lebih

dari tiga tahun dan atau denda tidak lebih dari 6.000 Baht.
332
ibid
333
ibid

370
Kerugian fisik berat yaitu : menyebabkan tuli atau kebutaan; memotong

lidah; hilangnya organ genital atau kemampuan reproduksi; kehilangan

tangan, kaki, jari kaki, jari tangan, atau organ lainnya; kerusakan wajah

permanen; aborsi; kegilaan permanen; kelemahan atau penyakit khronis;

kelemahan atau penyakit yang menyebabkan korban mengalami penyakit

yang parah selama lebih dari 20 hari atau tidak dapat mengikuti kegiatan

sehari-hari selama lebih dari 20 hari.

Section 390 :

Tindakan lalai yang menyebabkan kerugian fisik atau mental, penjara tidak

lebih dari satu bulan dan atau denda tidak lebih dari 1.000 baht.

1.3. Philippina

Kode etik kedokteran Philipina (Code of Ethics of the Philippine

Medical Association) pada artikel 2 tugas dokter untuk pasien (Duties of

Physician to Their Patient), seksi 2 adalah dokter harus bebas untuk memilih

pasien (a Physician should be free to choose patient).334 Departemen Kesehatan

Republik Philippina, hukum malpraktik medis dapat menghukum tidak hanya

dokter, tetapi pekerja kesehatan lainnya juga hingga enam sampai dua belas

334
Code of Ethics of the Philipine Medical Association.

371
tahun penjara, pencabutan izin praktik, dan denda mulai dari setengah juta

sampai satu juta peso.335

Senator Sergio Osmena336 pada Thirteenth Congress of the Republic of

the Philippines, First Regular Session, menyampaikan dan diputuskan pada

kongres tersebut pada Bab 10 adalah mewajibkan kepada dokter dan dokter

gigi memiliki asuransi malpraktik dengan jumlah minimal 50.000 Pesos.

Perusahaan asuransi yang dipilih diharuskan yang bersertifikat dan memiliki

reputasi baik untuk mengatasi tuntutan dari kelalaian yang mengakibatkan

cidera, hilangnya kehidupan atau organ seseorang.

Putusan Thirteenth Congress of the Republic of the Philippines,

tersebut dikenal dengan peraturan Anti-Medical Malpractice. Putusan tersebut

antara lain :

Bab 2 : Kebijakan tersebut dibuat untuk memastikan keselamatan

pasien dengan menyediakan pelayanan medis yang

profesional.

Bab 3 : Praktisi medis meliputi dokter, dokter gigi, perawat, farmasi,

paramedis (termasuk teknisi medis dan gigi dan terapis).

Pembedahan ilegal (illegal sugery) mengacu pada mengangkat

bagian organ tubuh yang sehat tanpa persetujuan pasien,

335
Medical Malpractice, Departement of Health Philippines, Juny 15, 2011.
336
S. R. Osmena, Thirteenth Congress of the Republic of the Philippines, First Regular
Session, 2011.

372
dengan tujuan untuk mendapatkan bagian tubuh orang

tersebut.

Malpraktik mengacu pada cidera personal termasuk kematian,

yang disebabkan kelalaian atau tindakan yang salah dari

praktisi medis.

Dokter mengacu pada dokter yang memiliki sertifikat yang

diatur Komisi Regulasi Profesional yang secara aktif

berpaktik medis.

Dokter gigi mengacu pada dokter gigi yang memiliki sertifikat

yang diatur Komisi Regulasi Profesional yang secara aktif

berpaktik medis.

Pasien mengacu pada orang-orang yang membutuhkan

perawatan medis dari praktisi medis.

Bab 4 : Peraturan Anti Malpraktik, setiap praktisi medis yang

melaku -kan tindakan malpraktik atau ptaktik

pembedahan ilegal dapat diberikan hukuman

penjara atau denda atau keduanya, dan dalam segala

kondisi tersebut dilakukan pencabutan lisensi prktik

kedokterannya.

Bab 5 : Pinalti malpraktik medis dan atau praktik pembedahan ilegal

dapat dihukum penjara dan denda pencabutan izin praktik

373
medis dan denda bervariasi hingga 500.000 Pesos atau

1.000.000 Pesos.

1.4. Belanda
Di Belanda terdapat badan yang melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan kode etik kedokteran. Badan tersebut yang melaksanakan hukum

disipliner dan badan tersebut dinamakan “Tuchtrecht“ yang terbagi dalam dua

model yaitu337 :

a. Intern Medisch Tuchtrecht.


Hukum disipliner intern didirikan pada tahun 1909 oleh

Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot bevordering der

Geneeskunst (KNMG – Ikatan Dokter Belanda) yang merupakan suatu

organisasi swasta yang terdiri dari anggota-anggota sukarela.

Pengadilan disipliner intern ini terdiri dari 20 pengadilan regional yang

beranggotakan hanya dokter-dokter dari sebuah Raad van Beroep

(merupakan Dewan Banding) yang didalamnya mempunyai seorang

sarjana hukum.

Perkara yang dapat diajukan adalah khusus bagi dokter-dokter

yang menjadi anggota KNMG dan alasan yang dapat dipergunakan

sebagai berikut :

1). Berkelakukan yang bertentangan dengan kelayakan atau

kepentingan-kepentingan dari lingkungan medis.

337
Soetrisno, op.cit., hlm 33-36.

374
2). Merusak kepercayaan terhadap lingkungan medis.

3). Tidak melakukan suatu nasehat yang mengikat pada suatu

perselisihan (onherroepelijk binded advies).

4). Perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar,

ketentuan-ketentuan atau kepentingan-kepentingan dari

KNMG.

Anggota yang bersalah dapat dikenakan hukuman :

1. Peringatan (waarschuwing);

2. Teguran (berisping),

3. Denda paling tinggi 1000 Gulden,

4. Pencabutan hak dari suatu jabatan dalam KNMG

untuk paling lama 5 tahun,

5. Skorsing dari keanggotaan paling lama 1 tahun,

6. Pencoretan dari keanggotaan.

Apabila perbuatannya termasuk berat dan diketemukan unsur-unsur

pidana maka KNMG melaporkan kepada General Medical Council

(GMC), kemudian GMC melanjutkan laporan tersebut ke badan

peradilan.

b. Weetelijk Medisch Tuchtrecht.


Diatur dalam de Medische Tuchtwet Tanggal 2 Juli 1928

(Staasblad No. 222) dan Reglement Medische Tuchtrecht, yang

375
berlaku bagi dokter, dokter gigi, ahli kebidanan, apoteker, perawat dan

fisioterapis. Undang-undang tersebut bertujuan untuk menjaga mutu

dan standar tinggi dari profesi kedokteran.


Pengadilan disipliner (Tuchtcollege) pada tingkat pertama (

Regionale College ) terdapat di lima kota yaitu Amsterdam, Den

Haag, Groningen, Zwolle dan Eindhoven sedangkan Badan Majelis

Pusat Disiplin ( Central Tuchtcollege vor de Gezondheidszorg ) ini

berpusat di Den Haag. Badan ini diatur dalam BIG (Wet op de

beroepen in de individuele gezondheidszorg adalah undang-undang

profesi dalam perwatan kesehatan individu). Anggota tetap pada tiap

pengadilan tingkat pertama adalah lima orang, sebagai ketua dan

sekretaris adalah seorang sarjana hukum yang bertugas menerima dan

menyeleksi pengaduan. Dalam pelaksanaanya, ketua selalu diambil

dari kekuasaan kehakiman dan diangkat seumur hidup. Sedangkan

empat anggota lainnya diangkat setiap kali untuk jangka waktu enam

tahun adalah bervariasi tergantung kasusnya :


1. Jika yang diadukan seorang dokter, maka para hakim

anggota adalah empat orang dokter.


2. Jika yang diadukan seorang ahli kebidanan, maka para

hakim anggota adalah dua orang dokter dan dua orang

ahli kebidanan,

376
3. Jika yang diadukan adalah seorang dokter gigi, maka

para hakim anggota adalah dua orang dokter dan dua

orang dokter gigi.338

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang (Medisch Tuchtwet) pada

pokoknya menentukan 3 (tiga) macam dasar pengaduan :

1. Adanya tindakan-tindakan dokter yang mencemarkan

derajat profesi kedokteran.

2. Adanya kelalaian yang menimbulkan kerugian berat bagi

pasien.

3. Terbukti tidak mampu menjalankan profesinya.

Pasal 10 ayat (1) adapun yang berhak mengadu menurut de

Medische Tuchtwet antara lain :

1. Pihak yang berkepentingan langsung, seperti pasien atau

anggota keluarga dari pasien.

2. Pengurus dari suatu badan dimana dokter dan lain-lain

tersebut bertugas atau terdaftar (Rumah Sakit).

3. Inspektur pengawas kesehatan masyarakat.

Status badan ini lebih menyerupai pengadilan, karena sanksi

yang diberikan dapat juga berupa denda yang uangnya di setor ke

dalam kas negara. Sidangnya dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali


338
R. Drion, 1987 , De praktijk van het Medisch Tuchtrecht , dalam Soetrisno , op. cit., hlm
35.

377
hal-hal khusus yang dinyatakan tertutup oleh ketua sidang. Adapun

bentuk sanksi / hukuman yang dijatuhkan adalah sebagai berikut :

peringatan, teguran, denda maksimal 10.000 Gulden, skorsing dalam

menjalankan keahliannya maksimal satu tahun dan pencabutan hak

untuk menjalankan keahlian kedokteran.

Apabila putusan pengadilan disiplin (Tuchtcollege) tidak didasarkan

pada peraturan (geen maatregel), pihak yang diadukan (dokter, dokter gigi, ahli

kebidanan, apoteker, perawat dan fisioterapis) dapat mengajukan banding pada

Central Medisch Tuchtcollege yang berkedudukan di Den Haag. Central

Medisch Tuchcollege mempunyai 80 anggota dan 20 orang diantaranya adalah

sarjana hukum dimana susunan dan tugasnya sama dengan Regionale College.

Pihak yang diadukan (dokter, dokter gigi, ahli kebidanan, apoteker, perawat dan

fisioterapis) dapat mengajukan banding atas semua putusan dari college tingkat

pertama seperti halnya yang berlaku bagi inspektur yang mewakili kepentingan

umum. Keputusan Central merupakan putusan akhir dari kasus kesehatan yang

bersifat tetap dan tidak bisa digugat lagi.

Sanksi yang dapat dijatuhkan adalah sanksi bidang disiplin. Sedangkan

keputusan mengenai denda, skorsing atau pencabutan hak harus diajukan pada

peradilan umum, dalam hal ini pada Pengadilan Tinggi dimana Regionale

College itu terletak (Pasal 90 Reglement Medishce Tuchtrecht).

378
Dalam pelaksanaan pengadilan disiplin (Tuchtcollege) banyak

kritikan, antara lain oleh Van der Mijn dan R. Drion339 :

1. Dapat terjadi dalam kasus-kasus yang serius dimana pasien

meninggal akibat kelalaian dokter tidak diadili oleh hukum pidana,

tetapi oleh hukum disipliner sehingga hukuman yang dijatuhkan

tidak melebihi dari pencabutan izin praktik. Hal ini sulit dimengerti

oleh masyarakat. Memang terkadang kasus ini tidak dibawa dimuka

pengadilan pidana karena kurangnya bukti-bukti tetapi kadang-

kadang memang sudah jelas merupakan kasus pidana tetapi tetap

digunakan hukum disipliner. Padahal hukum disipliner tidak

menggantikan hukum pidana atau perdata sehingga suatu kasus

dapat diadili oleh pengadilan disipliner di samping oleh pengadilan

perdata dan/atau pidana.

2. Persidangan dilaksanakan secara tertutup oleh karenanya tidak

diketahui apa yang sedang berjalan dalam persidangan tersebut.

3. Lamanya waktu persidangan yang disebabkan karena banyaknya

pengaduan (kurang lebih 500 kasus per tahun) serta dalam beberapa

kasus diperlukan penelitian yang mendalam.

339
Soetrisno , ibid. , hlm 36.

379
4. Sebagian besar pengaduan dinyatakan tidak berdasar sehingga

menimbulkan kesan pada publik kurang percaya pada pengadilan

disipliner.

5. Komposisi dari pada hakim yaitu bila hukum disipliner bertujuan

untuk melindungi kepentingan umum, mengapa hakim-hakim

berasal dari rekan-rekan sendiri yang mungkin membela atau

memberikan putusan ringan pada rekannya.

Penggunaan model penyelesaian sengketa medis di Belanda 340, hampir

sama dengan penyelesaian sengketa medis di Indonesia yaitu melalui peradilan

etik (Majelis Kode Etik Kedokteran) dan peradilan disiplin (Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Hanya saja model penyelesaian di

Belanda ini menetapkan adanya denda baik Intern Medisch Tuchtrecht maupun

Weetelijk Medisch Tuchtrecht (peradilan disiplin Tuchtcollege), di samping itu

agar dapat dilaksanakan maka keputusan mengenai denda, skorsing atau

pencabutan hak harus diajukan pada peradilan umum. Kekurangan pada model

ini adalah persidangan dilakukan secara tertutup, semua kasus sengketa medik

diselesaikan dengan menggunakan hukum disipliner dan hakim-hakim

peradilan ini banyak yang berasal dari kalangan kedokteran / kesehatan

sehingga diragukan kenetralannya/memihak.

1.5. China

340
Widodo Tresno Novianto, op.cit., hlm 286.

380
Departemen Kesehatan Cina melaporkan ada 9831 sengketa medis

pada tahun 2006, dimana 5.519 tenaga medis merupakan penyebabnya dan

terjadi kerugian harta benda mencapai 200 juta Yuan.341 The Supreme People

Court melaporkan jumlah sengketa juga meningkat, pengadilan menerima

hampir 17.000 klaim dugaan malpraktik di tahun 2010 dan meningkat 7,6 %

dibanding Tahun 2009.342 Faktor penyebab adanya konflik antara dokter dan

pasien adalah pada promosi dan pelaksanaan sistem perawatan kesehatan,

berbeda :

1. Pasien mengeluh dan protes terhadap perawatan yang mereka dapatkan

padahal telah membayar mahal dengan harapan sembuh dari

penyakitnya. Dokter sering disalahkan (khususnya masyarakat miskin)

sering menunda pengobatan sampai penyakitnya menjadi serius /

stadium lanjut dan mempunyai riwayat penyakit yang berkontribusi

terhadap hasil yang buruk.

2. Kualitas perawatan tidak konsisten dengan standar perawatan antara

rumah sakit kota dan pedesaan terutama rumah sakit milik pemerintah.

3. Ketidak percayaan kepada sistem perawatan kesehatan karena korupsi

dan praktik-praktik yang tidak jelas.

341
Historical Rates for the Chinese Yuan Renminbi, Federal Reserve,
http://www.federalreserve. gov/releases/h10/hist/dat00.ch.htm , dalam Benjamin L. Liebman,
Malpractice Mobs : Medical Dispute Resolution in China, Columbia Law Review , Vol 113 , hlm
183.
342
Supreme People’s Court Statistics ( 2011) , dalam Benyamin L. Liebman , Malpractice
Mobs: Medical Dispute Resolution In China , Columbia Law Review , Vol 113 , hlm 185-186.

381
4. Liputan medis tentang sengketa medis mendorong protes dari pasien.343

Ancaman protes juga mempengaruhi keputusan pengobatan dari dokter, tidak

jarang dokter menghindari kasus-kasus medik yang sulit yang dapat

menimbulkan protes dengan merujuk pasien ke rumah sakit di ibukota provinsi

untuk penangannan lebih lanjut.

Regulasi yang mengatur untuk litigasi malpraktik dituangkan dalam

peraturan tahun 2002 yang dikeluarkan oleh dewan, mengatur bahwa

penyelesaian sengketa medis dapat dilakukan melalui litigasi / pengadilan

tingkat bawah (basic level) yang berada di kabupaten / kota dan pengadilan

tingkat menengah (intermidate level) di tingkat provinsi. Setiap tingkat

dilengkapi dengan Dewan Tinjauan Medis yang dibentuk oleh profesi medis

dan asosiasi medis lokal yang bertugas untuk memberikan rekomendasi

terhadap ada tidaknya, besar kecilnya tingkat kesalahan medis dan pengadilan

harus tunduk pada hasil tinjauan medis itu344.

Pada tahun 2003 The Supreme People Court mengeluarkan peraturan

baru yang menghubungkan sengketa medis dalam hukum formal dan

membebankan pembuktian kasus medis pada terdakwa. Pada tahun 2004

Supreme People Court dengan resmi menyatakan bahwa peraturan ini

diberlakukan untuk kecelakan medis, namun peraturan ini juga menyebutkan

bahwa penggugat / pasien dapat juga menuntut di bawah hukum gugatan biasa
343
Ibid.
344
Ibid.

382
berarti bahwa penggugat dapat menentukan kemana kasus ini mau diajukan.

Peraturan ini menyebabkan pertentangan diantara Pengadilan Provinsi

(intermidate level) dan Kabupaten (basic level), ada yang mengabaikan

peraturan dan menolak untuk menerima kasus yang tidak diteliti oleh Dewan

Tinjauan Medis. Namun dalam praktik peraturan ini justru menguntungkan

terdakwa dengan alasan yaitu :

1. Banyak sengketa yang terjadi dalam kasus malpraktik medis dibawa

keperaturan yang lebih rendah daripada dalam kasus gugatan lainnya.

Hal ini terjadi karena peraturan tidak mengatur nilai besaran

kompensasi meskipun telah ada berbagai jenis kelalaian dalam

peraturan tersebut, akibatnya penggugat / pasien umumnya menerima

kompensasi yang jauh lebih rendah daripada mengajukan gugatan

melalui kelalaian medis.

2. Untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan medis harus melalui

“Dewan Tinjauan Medis “ yang dibentuk / di dirikan oleh asosiasi

medis lokal , dan tinjauan tersebut dibuat oleh dokter lokal dengan

tujuan untuk melindungi dokter dan rumah sakit setempat.345

Untuk mendapatkan kompensasi harus dapat menunjukan bahwa

terdakwa bertanggungjawab untuk kecelakaan yang terjadi dan didifinisikan

sebagai kesalahan yang menyebabkan seseorang cidera akibat tenaga medis


345
Yilialo Shigu Chuli Tiaoli, 2002, dalam Benyamin L. Liebman , Malpractice Mobs:
Medical Dispute Resolution In China , Columbia Law Review , Vol 113 , hlm 198-199.

383
yang melanggar hukum, peraturan administrasi, peraturan standar yang

mengatur perawatan medis.346 Peraturan ini membagi 4 (empat) kategori

kecelakaan medis :

1. Kecelakaan medis yang mengakibatkan kematian atau cacat serius.

2. Kecelakaan medis tidak mengakibatkan kematain, tetapi cacat

serius.

3. Cidera dengan cacat ringan.

4. Cidera tetapi tidak cacat.

Pemerintah Cina pada tahun 2010 membuat perubahan yang sangat

mendasar terhadap hukum dalam penyelesaian sengketa medis yang sebagian

besar menggeser beban pembuktian dari terdakwa kepada tergugat sehingga

sistem dua jalur (inspeksi medis dan yudisial) akan digabung menjadi satu.

Pada tahun 2011, Supreme People Court menyebarkan rancangan interprestasi

penanganan sengketa medis yang memperjelas bahwa pemeriksaan kasus

medik dapat dilakukan oleh badan-badan pemeriksa medis baik di bawah

asosiasi medis lokal atau organisasi inspeksi yudisial. 347 Namun Sampai

sekarang interpretasi ini belum diadopsi secara resmi sehingga peraturan baru

ini tetap belum jelas dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa medis di China.

Kadang penyelesaian sengketa medis sering diselesaikan di luar pengadilan.


346
Yilialo Shigu Chuli Tiaoli , 2002, Regulation on Handling of Medical Accidents,
(promulgated by the St.Council , Feb.20 2002 , efective Sept.1 .2002 ) St.council Gaz. Apr.4 , 2002
hlm. 2 dalam Benyamin L.Liebman , Malpractice Mobs: Medical Dispute Resolution In China ,
Columbia Law Review , Vol 113 hlm. 193.
347
Draf Interpretation , supra note 107 , artikel 14, dalam Liebman , ibid hlm. 181.

384
Widodo Tresno Novianto berpendapat, berdasarkan uraian tersebut di atas

bahwa di China mencerminkan ketidakpastian tentang bagaimana negara

mengatur dan menyelesaikan sengketa medis.348

1.6.Jepang

Menurut statistik dari Mahkamah Agung Jepang, jumlah tuntutan

hukum malpraktik medis telah meningkat 7% sampai 8% setiap tahun. Pada

tahun 2000, jumlah kasus malpraktik medis adalah 674 sedangkan 1.107 kasus

malpraktik medis yang dilaporkan pada tahun 2004, ini merupakan puncak

kasus malpraktik medis dari tahun 1974 sampai dengan tahun 2010 jumlah

yang tercatat pada Makamah Agung Jepang.349 Pada umumnya pasien

membawa kasus dan melakukan tuntutan hukum melalui Pengadilan dengan

alasan apabila ada keluhan dari pasien atau keluarga, penyedia pelayanan medis

memberikan respon yang tidak pantas kepada pasien.

348
Widodo Tresno Novianto, op.cit., hlm 301.
349
Robert B Leflar, 2012 , The Law of medical misadventure in Japan symposium on medical
malpractice and compensation in global perspective : part II, Chicago – Kent College of Law, Ilinois
Institue of Technology , hlm. 82-109

385
Bagan 6 : Kasus malpraktik medis yang dituntut perdata di pengadilan
meningkat dari tahun 1976 sampai 2007 di Jepang.
(Source: Supreme Court of Japan, Administrative Office.)350

Ada beberapa cara penyelesaian sengketa yang dilakukan antara lain

melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) yang

mengacu pada proses dan teknik pemecahan sengketa yang berada di luar

pengadilan, meskipun banyak variasi prosedur dan metode penyelesaian sengketa

termasuk negosiasi, mediasi dan arbitrase sebagaimana dalam gambar berikut

ini351 :

350
Robert B Leflar, The Regulation of Medical Malpractice in Japan , Clinical Orthopaedics
and Related Research Medical Malpractice in Japan, Volume 467, number 2, 2009, hlm 445.
351
Toshimi Nakanishi, New Communication Model in Medical Dispute Resolution in Japan,
Yamagata Medical Journal, volume 31, number 1, 2013, hlm 3.

386
Bagan 7 : Metode Penyelesaian Sengketa Dalam Mediasi Medis

Negosiasi terjadi antara pihak yang berkentingan tanpa bantuan pihak

ketiga yang netral. Mediasi mengutamakan kesepakatan dengan bantuan pihak

ketiga yang netral untuk memfasilitasi dialog para pihak yang bersengketa,

karena itu sering juga disebut model mediasi fasilitatif. Arbitrase, hakim

merupakan pihak ketiga yang netral dan dapat membuat keputusan dan ada

kesepakatan antara pihak untuk mematuhi keputusan. Toshimi Nakanishi,

berpendapat bahwa model mediasi fasilitatif adalah paling cocok dalam

keterbukaan dan tahap awal pembicaraan sengketa dalam penyelesaian sengketa

medis, dimana kedua belah pihak mengakui adanya efek samping tindakan medis

dan mengevaluasi dengan cara yang berbeda.

387
Toshimi Nakanishi352 menyarankan bahwa, proses pembicaraan in-house

fasilitatif mediasi sebagai langkah pertama dari penyelesaian sengketa adalah

efektif dan berguna dalam mengurangi kebingungan, mengutamakan berbagi

informasi dan membawa transformasi perspektif kedua belah pihak yang

tertangkap dengan kemarahan, kecemasan dan perasaan bersalah. Mediator

bertindak sebagai posisi pihak ketiga yang netral disengketa, mendorong dialog

melalui pemberdayaan para pihak, sehingga memungkinkan para pihak yang

bersengketa untuk mencapai persetujuan.

Bagan 8 : Model mediasi medis (Style of medical mediation)


Perbandingan cara penyelesaian sengketa medik dengan menggunakan

model mediasi di luar Jepang.353

U.S. (University of
Japan France U.K.
Michigan)
1. Complaint
Manager
Medical dialogue Hospital
2. PALS
Professional mediator mediator 1. Risk Manager
(Patient
title In-house medical (mediator 2. Patient Advocate
Advice &
mediator hôspital)
Liaison
Service)
Personnel Medical staff, Medical Medical staff, 1. Medical staff
352
Toshimi Nakanishi, ibid. , hlm 4.
353
Toshimi Nakanishi , ibid. , hlm 2.

388
Administrative
Administrative
involved staff, Welfare staff
staff 2. Administrative staff
staff
Techniques from
all models used
Japanese in-house
(outside
medical mediation Techniques
Is a mediation MichiganUniversity,
model used Yes from all
model used? each state and
(currently, increa- models used
hospital uses
sengly)
mediators from third-
party organizations)
Mediation must be
combined with other
Appoint-
Legal Appointment duties (varies among
Remuneration ment of
requirements of mediators states in the case of
mediators
mediation by third-party
organizations)

Tabel 3: Perbandingan internasional, cara menyelesaikan sengketa medis dalam


kecelakaan medis menggunakan sumber daya manusia internal.
(This result is based on the research of Toyota Foundation in 2012)

Dalam tabel di atas dapat dijelaskan bahwa Jepang menggunakan

mediator internal rumah sakit, dan orang-orang yang terlibat adalah staf medis,

staf administrasi dan staf kesejahterahan, dengan menggunakan model In House

Mediasi, dengan persyaratan resmi sebagai mediator serta mendapatkan

remunerasi. Perancis menggunakan mediator rumah sakit yaitu staf medis dan

model mediasinya tidak dijelaskan model mana yang digunakan, dengan

perjanjian sebagai mediator. Inggris, menggunakan manejer pengaduan dan

layanan humas, personal yang terlibat yaitu staf medis dan staf administrasi,

semua jenis model mediasi digunakan dengan perjanjian sebagai mediator.

Amerika, pertama menggunakan manejer resiko dan kedua bisa saja anjuran dari

pasien, personal yang terlibat staf medis dan staf administrasi, semua model

389
mediasi digunakan, setiap negara bagian dan rumah sakit menggunakan mediator

pihak ketiga.
Dalam proses penyelesaian sengketa medis di Jepang lebih

mengutamakan dengan cara mediasi oleh pihak ketiga dan arbitrase.354 Dalam

mediasi banyak diperlukan dialog. Proses dialog dalam mediasi ini berguna

untuk mengurangi ketegangan emosi, marah, cemas dan rasa bersalah dengan

mengungkapkan berbagai informasi dari prespektif kedua belah pihak.

Dalam upaya penyelesaian sengketa medis di Jepang juga


355
dikembangkan apa yang disebut In House Mediasi meliputi pendekatan

multidimensional dengan tujuan tidak hanya untuk memecahkan masalah

sengketa medik secara langsung, tetapi juga memperhitungkan pertimbangan

psikologis untuk membangun kembali hubungan yang baik antara dokter dan

pasien maupun keluarganya melalui komunikasi efektif. Mediator dalam In

House Mediasi tidak membuat evaluasi tentang masalah sengketa medis atau

mengemukakan pendapatnya tentang sengketa medis, karena mediator

berkeyakinan bahwa para pihak yang bersengketa memiliki kekuatan untuk

mengelola konflik untuk dirinya sendiri.

Adapun tahapan dalam proses penyelesaian sengketa medis melalui In

House Mediasi yaitu356 :


354
Wada Y, 2001, Complication of legal and daily discourse at court , discourse structure
and allegory in medical error lawsuits, dalam Widodo Tresno Novianto, op.cit., hlm 289.
355
Wada Y, 2001, dalam Widodo Tresno Novianto, op.cit., hlm 289.

356
Wada Y, 2001, dalam Widodo Tresno Novianto, op.cit., hlm 290-291.

390
a. Penerimaan emosi dari para pihak.
Pada awal proses pasien dan/atau keluarga serta penyedia jasa / dokter

dipertemukan langsung dengan dipimpin / dipandu oleh mediator.

Mediator bertindak netral dengan memberikan kesempatan pada

pasien / keluarganya untuk mengungkapkan apa yang ingin diketahui

tentang masalahnya dan apa respon yang diterima oleh penyedia

pelayanan medis / dokter.


b. Pengungkapan berbagai informasi.
Mediator membantu masing-masing pihak untuk mengungkapkan

kebutuhan mereka dengan pertanyaan kepada penyedia layanan

medis /dokter. Pada tahap ini pengungkapan informasi disampaikan

langsung oleh penyedia layanan medis/ dokter tidak terbatas pada

catatan medis tetapi juga informasi emosional perasaan dokter ketika

merawat pasien. Pada tahap ini pasien / keluarganya ingin

mendengarkan tidak hanya pelayanan medis tetapi juga kata-kata yang

mengekspresikan sikap tulus dokter. Melalui tahapan ini kedua belah

pihak dapat mengenal situasi dengan melalui pemberian informasi

sebanyak-banyaknya.
c. Membangun kembali hubungan baik.
Membangun kembali hubungan baik antara kedua belah pihak dengan

persepsi dipahami satu sama lain meskipun masih ada perbedaan.

Terjadi jalinan pemahaman fundamental melalui pertukaran informasi

391
dan pendapat / ide kedua belah pihak. Dalam banyak kasus pasien dan

keluarganya menerima penjelasan dokter mengenai peristiwa buruk,

asal dokter / penyedia layanan medis dengan tulus dapat memahami

perspektif pasien dan menunjukkan sikap simpatik.


Kelebihan penggunaan model penyelesaian In House Mediasi di

Jepang yaitu penyelesaiannya tidak hanya menyangkut masalah hukum tetapi

lebih banyak diorientasikan pada pendekatan kemanusiaan dengan

memperhatikan kebutuhan dan sosial dari penderitaan korban / pasien misalnya

pemahaman dan kepekaan dalam menjelaskan penyebab terjadinya kecelakaan.

Kekurangan / kelemahan penggunaan model penyelesaian In House Mediasi

tidak dapat diterapkan bahwa : (1) keterlibatan mediator medis ditolak oleh

salah satu pihak; (2) salah satu pihak memiliki masalah kesehatan mental

(gangguan kepribadian); (3) tingkat kepentingan para pihak tidak kompatibel

misalnya kepentingan pada dasarnya permintaan uang.357


1.7. Malaysia
Menurut Puteri Nemie Jahn Kassim dan Khadijah Mehd Najid,358 di

Malaysia dalam menyelesaikan sengketa medis adalah melalui litigasi dengan

menggunakan dasar gugatan dengan sistem tort (kerugian). Dalam

pelaksanaanya proses litigasi berdasarkan gugatan memerlukan biaya mahal,

rumit dan rentan terhadap penundaan, belum lagi sulitnya pasien untuk

357
Widodo Tresno Novianto, op.cit., hlm 291-292.
358
Puteri Nemie Jahn Kassim and Khadijah Mehd Najid , Medical Negligence Disputes in
Malaysia : Resolving through Hazards of Litigation or trough Community responsibility ? , Worl
Academy of Science, Engineering and Technology International Journal of Social, Behavioral,
Educational, Economic, Business and Industrial Engineering, Vol: 7, No: 6, 2013, hlm 1758.

392
mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan dalam mengajukan gugatan. Dalam

proses litigasi disamping diperlukan biaya mahal juga membutuhkan waktu

yang sangat panjang, minimum 15 tahun dan bahkan bisa sampai 25 tahun dari

tanggal dimana kecelakaan medis terjadi. Hasil proses litigasi adalah

ketidakpastian apakah pasien menerima kompensasi atau tidak.


Dalam perjalanan waktu penyelesaian sengketa medis di Malaysia

mengalami pergeseran sistem yaitu dari sistem tort/fault (kerugian/kesalahan)

merupakan tanggung jawab individu secara pribadi menjadi tanggung jawab

bersama-sama (masyarakat/collective/no fault).359 Dalam penerapannya sistem

kompensasi no fault maka kesalahan/kelalaian medis menjadi tidak relevan

lagi. Sistem kompensasi no fault di dukung oleh asuransi sosial dengan batas

maksimum jumlah kompensasi yang diberikan akan menguntungkan dokter

dan pasien, dan mempercepat proses serta mengurangi biaya hukum yang

dikeluarkan melalui litigasi. Lebih penting lagi akan dapat mengatasi budaya

sengketa yang menyalahkan masing-masing pihak dan dapat mengurangi sifat

defensive para dokter.360


Menurut L.N. Klar361 dalam Puteri N.J. Kassim and Khadijah M.

Najid, sistem ini tidak diperlukan lagi persyaratan untuk membuktikan

kesalahan / kelalaian tenaga medis, karena sistem ini siapa saja yang dirugikan

359
Ibid, hlm 1760.
360
Hassan El Menyawi , 2002, Public tort liability; An alternative to tort liability and no
fault compensation, Murdoch University Electronic Journal of Law , vol 9 , no 4 , hlm 4-17.
361
L.N. Klar, Tort and No Fault , Health Law Review, dalam Puteri Nemie Jahn Kassim and
Khadijah Mehd Najid , Medical Negligence Disputes in Malaysia : Resolving through Hazards of
Litigation or trough Community responsibility, hlm 1761.

393
dalam suatu tindakan medis harus menerima kompensasi terlepas dari penyebab

kecelakaan baik yang dirugikan melalui kesalahan mereka sendiri atau

kesalahan orang lain atau dirugikan tidak disebabkan oleh siapapun. Dalam

sistem ini hak mereka akan tergantung semata-mata pada kenyataan bahwa

mereka mengalami cidera. Tingkat kompensasi yang dibayarkan tergantung

pada sifat cidera dan jumlah yang akan diberikan melalui kriteria dalam skema

kompensasi no fault.
Keuntungan dari penggunaan sistem kompensasi no fault ini antara lain

mengurangi sistem gugatan dengan ketidakpastian hasil,362 biaya, waktu yang

digunakan dalam mengejar klaim gugatan dalam sistem litigasi / fault. Sistem

kompensasi no fault menawarkan akses yang lebih besar terhadap keadilan bagi

pasien yang mengalami kecelakaan medis dan membuka jalan unuk

mendapatkan ganti rugi yang sesuai. Di sisi lain sistem ini memungkinkan

korban / pasien kecelakaan medis untuk mendapatkan kompensasi dengan cepat

dan sedikit biaya administrasi. Sistem ini memiliki potensi untuk

mengkompensasi lebih banyak pasien daripada litigasi malpraktik, tergantung

kriteria kompensasi, tingkat penghargaan dan konteks sosial dan kebutuhan ini

tidak mengakibatkan peningkatan biaya.363 Salah satu contoh sistem di Selandia

362
T. Douglas, Medical Injury Compensation : Beyond No Fault , Medical Law
Review ,dalam Puteri Nemie Jahn Kassim and Khadijah Mehd Najid , Medical Negligence Disputes in
Malaysia : Resolving through Hazards of Litigation or trough Community responsibility, hlm 1761-
1762.
363
Marie Bismark dan Ron Paterson, 2006 , No Fault Compesation in New Zealand :
Harmonising Injury Compensation , Provider Accountability and Patient Safety , Health Affairs , vol
25, no 1, hlm 278-283.

394
Baru tidak dikenakan biaya administrasi besar, sistem ini sangat cost effective

dengan biaya administrasi hanya 10 % dari pengeluaran dibandingkan dengan 50

– 60 % sistem malpraktik di negara lain. Sistem kompensasi no fault

menawarkan ganti rugi yang cepat bagi korban / pasien dan biaya administrasi

relatif lebih murah sekitar 5 – 30 % dibanding dengan 40 – 60 % dalam sistem

tort.
Hambatan utama dalam menerapkan skema kompensasi no fault adalah

kesulitan pendanaan / pembiayaan, sulit untuk memprediksi jumlah kasus yang

memenuhi syarat untuk mendapatkan kompensasi tiap tahun. Masa depan jumlah

orang yang mencari kompensasi no fault akan lebih besar daripada jumlah yang

dapat menuntut melalui gugatan litigasi. Apabila banyak orang yang tercakup

dalam sistem kompensasi maka tingkat manfaat alami akan berkurang, sehingga

skema pendanaan kompensasi akan lebih mahal daripada mempertahankan

sistem gugatan tradisional karena no fault cenderung untuk mengkompensasi

sejumlah besar korban / pasien.364


Kelemahan dari kompensasi no fault adalah memiliki tingkat penolakan

signifikan karena kegagalan untuk memenuhi kriteria kelayakan biasanya ada

persyaratan yang diperlukan untuk membuktikan sebab akibat. Pada sisi lain

tidaklah mudah untuk merancang skema kompensasi yang mampu memberikan

kompensasi penuh untuk semua orang, karena hal itu secara finansial akan mahal

dan semakin banyak orang yang tercakup dalam sistem berarti tingkat manfaat
364
Puteri Nemie bt. Jahn Kassim, 2004 , Medical negligence litigation in Malaysia , Whither
should we travel ? Journal of the Malaysian Bar, Vol XXXIII, No.1, hlm. 14-25 .

395
bagi semua korban akan berkurang. Sistem no fault tidak secara otomatis

menjadi kunci untuk menjamin ganti rugi yang diinginkan pasien yang dirugikan,

seperti penjelasan, permintaan maaf dan akuntabilitas kesehatan profesional yang

disediakan.365
Kelemahan lain dari sistem kompensasi no fault ini tidak adanya

penjelasan kongkrit apa yang menyebabkan kerugian dan mengapa hal tersebut

bisa terjadi, sehingga dapat mengetahui langkah-langkah yang akan diambil

untuk memastikan bahwa kesalahan / kelalaian adalah tindakan yang keliru dan

tidak akan terjadi lagi di masa depan. Tidak adanya alasan untuk menghukum

dokter karena tidak ada bukti bahwa dokter telah memberikan pelayanan di

bawah standar perawatan, dikhawatirkan tidak ada insentif/peringatan bagi

dokter untuk mengubah atau meningkatkan kemampuan praktik dalam pelayanan

kepada pasien.
Pembatasan akses ke pengadilan / litigasi dalam kompensasi no fault

dapat berpotensi melanggar hukum hak asasi manusia, karena konsep keadilan

dalam sistem berbasis fault adalah menuntut pelaku tindakan yang merugikan

memberikan kompensasi terhadap orang yang tidak bersalah yang telah

menderita sebagai akibat langsung dari tindakan itu. Hal ini dapat dilihat bahwa

efek rasa tanggung jawab untuk tindakan seseorang pada orang lain dan perasaan

365
H. Witcomb , 1991, No Fault compensation , New Law Journal, dalam Widodo Tresno
Novianto, op. cit., hlm 295.

396
bahwa seseorang memiliki duty of care terhadap sesama warga negara adalah

elemen penting dalam masyarakat yang beradab.366


Kelebihan daripada penggunaan sistem kompensasi no fault di

Malaysia ini yaitu : adanya kepastian untuk mendapatkan kompensasi untuk

penderitaannya secara cepat, prosedurnya mudah dan tidak memerlukan biaya

adminsitrasi pengurusannya. Kekurangan dalam sistem ini yaitu : sulitnya ukuran

untuk menentukan mengenai jenis / klasifikasi akibat kecelakaan medis yang

dialami pasien, tidak adanya penjelasan kongkrit mengenai penyebab terjadinya

kecelakaan medis, tidak adanya penataan hubungan baik antara dokter dan pasien

setelah diterimanya / dibayarnya kompensasi, dan dikhawatirkan dapat

menimbulkan sifat untung-untungan pada diri penderita/pasien untuk

mendapatkan kompensasi meskipun kecelakaan/ insiden itu disebabkan karena

kesalahan pasien sendiri.367

2. Model Peradilan Khusus Profesi Dalam Penyelesaian sengketa Medis

Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,

melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pasal 12 UU No. 48 Tahun

2009, ayat (1) pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana

366
R. Mahoney, 1995 , Trouble in paradise : “ New Zealand ’s Accident Compensation
Scheme “ in SM Mc Lean (edit), Law Reform and Medical Injury Litigation , dalam Widodo Tresno
Novianto, op. cit., hlm 295.
367
Widodo Tresno Novianto, op.cit., hlm 296.

397
dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain, pada

penjelesannya ketentuan ini hanya berlaku bagi pengadilan tingkat pertama; ayat

(2) dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan telah selesai, putusan

dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.

Peradilan umum, menurut UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan

Umum pada Pasal 2 adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi

rakyat pencari keadilan pada umumnya. Sedangkan peradilan umum, menurut UU

No. 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang

Pengadilan Umum, Pasal 1, Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

angka 1, Pengadilan adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan

peradilan umum; angka 2, Hakim adalah hakim pada pengadilan negeri dan hakim

pada pengadilan tinggi; angka 5, Pengadilan khusus adalah pengadilan yang

mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara

tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan

yang berada dibawah Makamah Agung yang diatur dalam undang-undang; angka

6, Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian

dan berpengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan memutus

suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang. UU No. 2

Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal 3 ayat (1) Kekuasaan Kehakiman di

lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh : a. Pengadilan Negeri; b.

398
Pengadilan Tinggi dan ayat (2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan

Umum berpuncak pada Makamah Agung sebagai Pengadilan Negara tertinggi.

Memperhatikan pendapat Bambang Poernomo, bahwa muatan hukum

kesehatan bersifat khusus dan spesifik maka dapat digolongkan Lex Specialis

bukan Lex Generalis. Apabila terjadi sengketa medis antara dokter dengan pasien

dan atau keluarga maka perkara hukum tersebut disebut perkara hukum yang

spesifik, yang penanganannya memerlukan pendekatan berbeda dari perkara

hukum pada umumnya sesuai dengan yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie.

Para narasumber yang berdiskusi dengan penulis sependapat dengan kedua

pendapat tersebut.

Para narasumber dan penulis disamping setuju dengan kedua pendapat

tersebut, juga berpendapat bahwa apabila ada sengketa medis antara dokter dengan

pasien dan atau keluarga, kemudian sengketa tersebut sampai kepada penegak

hukum (terutama hakim), apabila memungkinkan para hakim tersebut harus

dibekali pengetahuan tentang bagaimana proses jalannya pelayanan medis dan

tindakan medis. Sangat tidak bijaksana apabila hakim akan menyidangkan sesuatu

masalah dan hakim tersebut tidak menpunyai pengetahuan tentang masalah yang

akan diselesaikan.

Kejadian dugaan malpraktik seperti yang dilaporkan oleh Anwari selama

7 (tujuh) tahun (2006 – 2013), dari tahun ketahun selalu meningkat baik jumlah

dokter serta jenis pelayanan medis yang dilaporkan maupun sebaran tempat dokter

399
melakukan kegiatan profesinya. Apalagi kasus sengketa medis antara dokter

dengan pasien dan atau keluarga yang sudah diselesaikan melalui MKEK maupun

MKDKI ada yang dapat dikaitkan dengan regulasi yang mengatur praktik dokter

dan KUHP serta KUHPerdata. Walaupun tidak ada kewajiban MKEK maupun

MKDKI jika hasil pemeriksaanya dapat dikaitkan dengan KUHP maupun

KUHPerdata melaporkan kepada penegak hukum, tetapi regulasi yang ada

memungkinkan bahwa pasien dan atau keluarga menyampaikan kepada penegak

hukum (melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang

dan atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan, sesuai dengan Pasal 66 ayat

(3) UU no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).

Adanya peningkatan dugaan malpraktik akan meningkatkan aktifitas

penyidikan, penuntutan dan akhirnya peradilan. Penulis, narasumber dan pendapat

para pakar hukum kesehatan atau pemerhati hukum kesehatan bahwa hasil

pemeriksaan berdasarkan pedoman etika kedokteran dan disiplin kedokteran oleh

masyarakat dinilai belum cukup untuk menampung keseluruhan permasalahan

dibidang kesehatan. Upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum yang

selama ini ditempuh tidak dapat memuaskan pihak pasien, karena putusan hakim

dianggap tidak memenuhi rasa keadilan pihak pasien. Keadaan ini disebabkan

sulitnya pasien atau Jaksa Penuntut Umum maupun hakim untuk membuktikan

adanya kesalahan dokter. Kesulitan pembuktian dikarenakan minimnya

400
pengetahuan mereka mengenai permasalahan-permasalahan teknis sekitar

pelayannan medis.

Memperhatikan keadaan tersebut diatas penulis dan para narasumber

berpendapat bahwa dalam menyelesaikan sengketa medis antara dokter dengan

pasien dan atau keluarga oleh peradilan umum diperlukan hakim ad hoc. Menurut

penulis regulasi untuk membentuk peradilalan khusus profesi kedokteran dengan

hakim ad hoc sangat dimungkinkan. Regulasi tersebut adalah Pasal 8 UU No. 49

Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan

Umum, ayat (1) di lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus

yang diatur dengan undang-undang; ayat (2) pada pengadilan khusus dapat

diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara, yang

membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka

waktu tertentu; ayat (3) ketentuan mengenai syarat dan tatacara pengangkatan dan

pemberhentian serta tunjangan hakim ad hoc diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

Pasal 14 UU No. 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No.

2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum :

(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan, seseorang harus memenuhi

syarat sebagai berikut :

a. Warga negara Indonesia;

b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

401
c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

d. Sarjana hukum;

e. Lulus pendidikan hakim;

f. Mampu secara rohani dan jasmani untuk

menjalankan tugas dan kewajiban;

g. Berwibawa, jujur, adil dan berkedaulatan

tidak tercela;

h. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima)

tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun;

i. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena

melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 14 B UU No. 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU

No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum :

(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc seseorang harus memenuhi

syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kecuali huruf d,

huruf e, dan huruf h. Artinya bahwa hakim ad hoc tidak harus seorang

sarjana hukum, tidak harus lulus pendidikan hakim, dan tidak harus

berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40

402
(empat puluh) tahun, tetapi harus mempunyai keahlian dan pengalaman

dalam bidang tertentu sesuai Pasal 8 UU No. 49 Tahun 2009 tentang

perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,

ayat (2).

(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dapat

diangkat sebagai hakim ad hoc, seseorang dilarang merangkap sebagai

pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c (UU

No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum) kecuali undang-undang

menetukan lain.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Regulasi pengangkatan hakim ad hoc sesuai amanah Pasal 8 UU No. 49

Tahun 2009 tentang Peradilan Umum adalah pertama, Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Pasal 78 ayat (1) Hakim

pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc; ayat (2)

susunan majelis hakim terdiri atas 2 (dua) hakim ad hoc dan 1 (satu) hakim

karier ; ayat (3) Hakim karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan

berdasarkan Keputusan Ketua Makamah Agung ; ayat (4) hakim ad hoc

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diangkat dan diberhentikan oleh Presiden

atas usul Ketua Mahkamah Agung. Kedua, Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indutrial.

403
Pasal 63 ayat (1) hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan

Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Hakim Pengadilan

Khusus Profesi Kedokteran, penulis mengusulkan seperti Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 78, baik

komposisi maupun cara pengangkatanya.

Pada penjelasan Pasal 78 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 2004

tentang Perikanan, hakim ad hoc adalah seseorang yang berasal dari lingkungan

perikanan, antara lain, perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang

perikanan, dan mempunyai keahlian dibidang hukum perikanan. Artinya hakim

ad hoc pada Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan tidak

harus seorang sarjana hukum, tidak harus lulus pendidikan hakim, sesuai Pasal

14 B UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Indutrial Pasal 64 untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Pengadilan

Hubungan Industrial dan hakim ad hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi

syarat sebagai berikut : a. warga negara Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945; d. berumur paling rendah 30 tahun; e. berbadan

sehat sesuai dengan keterangan dokter; f. berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan

tidak tercela; g. berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) kecuali bagi

404
hakim ad hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum; h.

berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun.

Pendapat penulis syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc

pada Pengadilan Khusus Profesi Kedokteran adalah seseorang yang berasal dari

lingkungan kedokteran atau kedokteran gigi, antara lain berasal dari perguruan

tinggi di bidang kedokteran atau kedokteran gigi, organisasi profesi di bidang

kedokteran atau kedokteran gigi, serta mempunyai keahlian dibidang hukum

kedokteran. Seseorang sarjana hukum yang mempunyai pengetahuan dan

pengalaman tentang ilmu kedokteran minimal 5 (lima) tahun dan atau

berpendidikan minimal strata 2 (dua) hukum kesehatan, antara lain dari pengurus

organisasi Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) atau perguruan

tinggi di bidang hukum terutama hukum kesehatan.

Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pasal 71 Undang-undang

Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan ayat (3) untuk pertama kali pengadilan

perikanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta

Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual. Pembentukan Pengadilan Hubungan

Industrial Pasal 59 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indutrial ayat (1) untuk pertama

kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada

setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi

yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan, ayat (2) di

405
Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan keputusan Presiden harus

segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

setempat.

Menurut penulis bahwa pembentukan Pengadilan Khusus Profesi

Kedokteran belum perlu seluruh provinsi, apalagi seluruh Kabupaten/Kota di

Indonesia. Berdasarkan penelitian Anwari, jumlah aduan ke MKDKI lebih dari 5

aduan, misalnya Daerah khusus Ibukota Jakarta adalah paling banyak 107 aduan,

dan beberapa Provinsi antara lain Jawa Barat 26 aduan, Jawa timur 16 aduan,

Sumatra Utara dan Batam (Provinsi Kepulauan Riau) masing-masing 6 aduan,

Sulawesi Selatan 5 aduan. Provinsi-provinsi tersebut merupakan prioritas untuk

dibentuk Pengadilan Khusus Profesi Kedokteran pada Pengadilan Tinggi.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 66 ayat (1) Hakim ad hoc

tidak boleh merangkap jabatan sebagai : a. anggota Lembaga Tinggi Negara; b.

kepala daerah/kepala wilayah; c. lembaga legislatif tingkat daerah; d. pegawai

negeri sipil; e. anggota TNI/Polri; f. pengurus partai politik; g. pengacara; h.

mediator; i. konsiliator; j. arbiter; k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau

pengurus organisasi pengusaha. Pada undang-undang Nomor 31 tahun 2004

tentang Perikanan hakim ad hoc tidak secara eksplisit dijelaskan boleh atau tidak

adanya rangkap jabatan. Pada model Pengadilan Khusus Profesi Kedokteran

hakim ad hoc dari profesi dokter atau dokter gigi, karena profesi tersebut secara

406
langsung diperlukan rumah sakit maupun masyarakat, menurut hemat penulis

boleh adanya rangkap jabatan, begitu juga yang dari Masyarakat Hukum

Kesehatan Indonesia (MHKI) dan perguruan tinggi di bidang hukum terutama

hukum kesehatan. Kalau tidak ada kasus yang perlu diselesaikan aktifitas sehari-

hari adalah sebagai profesi dokter atau dokter gigi, untuk melakukan pelayanan

medis kepada masyarakat begitu juga yang dari MHKI maupun perguruan tinggi

di bidang hukum tetap melakukan aktifitas sesuai dengan profesinya. Jika ada

kasus mereka harus konsentrasi terhadap pekerjaanya sebagai hakim ad hoc,

kemudian baru diberikan uang kehormatan dan hak-hak lainnya sesuai dengan

Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2006

Tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan

Perikanan, ayat (1) Hakim Ad Hoc berhak mendapat uang kehormatan dan

hak-hak lainnya. Mengenai uang kehormatan dan hak-hak lainya dapat juga

mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2011

tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 96 tahun 2006 tentang

Tunjangan dan Hak-Hak Lainya bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan

Industrial Pasal 3 butir a Hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial

tingkat Pertama sebesar Rp 5.500.000,- (lima juta lima ratus rupiah); butir b

Hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial tingkat Kasasi sebesar

Rp12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Lampiran Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 5 tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad

407
Hoc, pada Pengadilan Hubungan Industrial Tingkat Pertama Rp 17.500.000,-

(tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah), Kasasi Rp 32.500.000,- (tiga puluh dua

juta lima ratus ribu rupiah), pada Peradilan Perikanan besaran yang diterima

adalah Rp 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah).

Berdasarkan pemahaman di atas penulis berpendapat bahwa, model

Peradilan Khusus Profesi Kedokteran dimana hakimnya adalah hakim karier dan

hakim ad hoc. Susunan majelis hakim terdiri atas 2 (dua) hakim ad hoc dan 1

(satu) hakim karier. Hakim karier ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua

Mahkamah Agung, sedangkan hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

Pengangkatan hakim ad hoc Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal 70 ayat (1) Pengangkatan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial

dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia;

ayat (2) untuk pertama kalinya pengangkatan hakim ad hoc Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari

unsur serikat pekerja/serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur pengusaha.

Berdasarkan batasan pengadilan dan hakim yang terdapat pada UU No. 49 Tahun

2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan

Umum Pasal 1, penulis berpendapat bahwa keberadaan secara administratif

hakim ad hoc adalah pada Pengadilan Tinggi, berkaitan dengan keberadaan

408
sumber daya, Provinsi lebih banyak daripada Kabupaten/Kota. Hakim ad hoc

menurut penulis berdasarkan kebutuhan paling sedikit adalah 6 (enam) terdiri 2

(dua) dari lingkungan kedokteran dan 2 (dua) lingkungan kedokteran gigi serta

mempunyai keahlian dibidang hukum kedokteran dan kedokteran gigi serta 2

(dua) sarjana hukum yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang

ilmu kedokteran minimal 5 (lima) tahun dan berpendidikan minimal strata 2

(dua) hukum kesehatan.

Secara teknis pendapat penulis adalah pemanfaatan hakim ad hoc yang

keberadaanya di Pengadilan Tinggi, apabila ada sengketa medis yang perlu

diselesaikan melalui Pengadilan Negeri, Pengadilan Negeri meminta bantuan 2

(dua) hakim ad hoc kepada Pengadilan Tinggi. Tidak menutup kemungkinan

sengketa medis tersebut salah satu dari yang bersengketa mengajukan banding ke

Pengadilan Tinggi, maka Pengdilan Tinggi menetapkan 2 (dua) hakim ad hoc

yang tidak ditugaskan ke Pengadilan Negeri sebelumnya. Apabila sengketa medis

tersebut sampai kepada Kasasi maupun Peninjauan Kembali di Mahkamah

Agung, hakim ad hoc diangkat dari hakim ad hoc Pengadilan Tinggi diluar

provinsi yang bersengketa.

409
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pengkajian dan penguraian dalam disertasi ini maka

kesimpulan yang dapat ditarik dari pokok-pokok masalah penelitian adalah

sebagai berikut :

1. Peradilan Khusus Profesi diperlukan dalam penyelesaian sengketa pelayanan

medis karena selama ini praktik penyelesaian sengketa medis melalui

Peradilan Umum tidak semuanya dapat memuaskan pasien dan atau keluarga

maupun dokter.

Penyelesaian sengketa medis melalui pengadilan umum yang selama

ini ditempuh tidak semuanya dapat memuaskan pihak pasien dan atau

keluarga maupun dokter serta pengurus IDI, karena putusan hakim dianggap

tidak memenuhi rasa keadilan pihak pasien dan atau keluarga maupun dokter

serta pengurus IDI. Keadaan ini disebabkan sulitnya pasien dan atau

keluarga, Jaksa Penuntut Umum maupun hakim untuk membuktikan adanya

kesalahan dokter. Apabila terjadi sengketa medis antara dokter dengan pasien

dan atau keluarga maka perkara hukum tersebut disebut perkara hukum yang

spesifik, yang penanganannya memerlukan pendekatan berbeda dari perkara

410
hukum pada umumnya. Kesulitan yang lain dikarenakan minimnya

pengetahuan para penegak hukum mengenai permasalahan-permasalahan

teknis sekitar pelayannan medis dan tindakan medis yang dilakukan oleh

dokter.

Regulasi yang mendukung pembentukan peradilan khusus, UU

nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (1) badan

peradilan yang berada di bawah Makamah Agung meliputi badan peradilan

dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan

peradilan tata usaha negara. Pasal 27 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009

memungkinkan bahwa dalam tiap-tiap badan peradilan dapat dibentuk

peradilan khusus. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan bahwa pengadilan

khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 yang diatur dengan undang-undang.

Regulasi yang lain adalah Pasal 8 UU No. 49 Tahun 2009 tentang perubahan

kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, ayat (1) di

lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur

dengan undang-undang. Pasal 1 ayat (5) UU No. 49 Tahun 2009 tentang

perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 Pengadilan khusus adalah

pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan

memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu

411
lingkungan badan peradilan yang berada dibawah Makamah Agung yang

diatur dalam undang-undang.

2. Model Peradilan Khusus Profesi dalam penyelesaian sengketa pelayanan

medis adalah Peradilan khusus Profesi dibentuk berdasarkan Undang-Undang

keberadaanya dibawah Peradilan Umum, dengan hakim ad hoc.


Kesulitan pasien dan atau keluarga, Jaksa Penuntut Umum maupun

hakim untuk membuktikan adanya kesalahan dokter. Kesulitan tersebut

disebabkan karena, pertama muatan hukum kesehatan bersifat khusus dan

spesifik maka dapat digolongkan Lex Specialis bukan Lex Generalis. Apabila

terjadi sengketa medis antara dokter dengan pasien dan atau keluarga maka

perkara hukum tersebut disebut perkara hukum yang spesifik, yang

penanganannya memerlukan pendekatan berbeda dari perkara hukum pada

umumnya. Kedua dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai

permasalahan-permasalahan teknis sekitar pelayannan medis dan tindakan

medis yang dilakukan oleh dokter, sehingga diperlukan hakim ad hoc yang

mempunyai keahlian dan pengalaman dalam bidang regulasi tentang

kesehatan atau kedokteran.

Regulasi yang mendukung dibentuk hakim ad hoc adalah Pasal 8 UU

No. 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986

tentang Peradilan Umum, ayat (2) pada pengadilan khusus dapat diangkat

hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara, yang

412
membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam

jangka waktu tertentu; ayat (3) ketentuan mengenai syarat dan tatacara

pengangkatan dan pemberhentian serta tunjangan hakim ad hoc diatur dalam

peraturan perundang-undangan. Pasal 1 UU No. 49 Tahun 2009 tentang

perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum ayat (6)

Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian

dan berpengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan

memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.

Hakim ad hoc, pada Peradilan Khusus Profesi Kedokteran bersifat

sementara karena regulasi menghendaki demikian sesuai dengan UU No. 49

Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum, Pasal 1 ayat (6). Hakim ad hoc, pada Peradilan Khusus

Profesi Kedokteran secara administratif keberadaanya di Pengadilan Tinggi.

Hakim ad hoc, pada Peradilan Khusus Profesi Kedokteran terdiri dari 6

(enam) orang. Hakim ad hoc, pada Peradilan Khusus Profesi Kedokteran

diperbolehkan dengan rangkap jabatan. Pembentukan Peradilan Khusus

Profesi Kedokteran belum perlu seluruh provinisi maupun Kabupaten/Kota di

Indonesia.

B. Saran

413
Ada beberapa saran yang penulis berikan berkenaan dengan hasil kajian

dalam disertasi ini. Beberapa saran tersebut adalah :

1. Kepada para dokter melalui pengurus IDI mengajukan usulan regulasi

mengenai Pengadilan Khusus Profesi Kedokteran dengan hakim ad hoc kepada

Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia.

2. Masyarakat mengajukan regulasi tentang Peradilan Khusus Profesi Kedokteran

dengan hakim ad hoc kepada DPR melalui Badan Legislasi DPR.

Bagan 9 : Model penyelesaian sengketa medik melalui peradilan khusus


profesi pada peradilan umum dengan hakim ad hoc.

414
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

415
Abdul Azis Dahlan et.al., 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2 PT Ichtiar
Baru Van Hoeve : Jakarta.

Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis), PT Gunung Agung Tbk, Jakarta.

Achmad Ali , 2009 , Menguak Teori Hukum ( Legal Theory) dan Teori
Peradilan ( Judicial prudence), Kencana Prenada Media Group , Jakarta.

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 2 : Penafsiran Hukum


Pidana, Dasar Pemidanaan dan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan,
Perbarengan dan Ajaran Kasualitas, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Adami Chazami, 2007, Malpraktik Kedokteran, Tinjauan Norma dan Doktrin


Hukum, PT. Bayumedia Publishing, Malang.

Adi Sulistiyono, 2006, Mengembangkan Paradigma Non Litigasi Di


Indonesia, UNS Press.

Afzalur Rahman, 1995, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 1, Terjemahan Soeroyo,


Nastangin, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.

Ahmad Azhar Basyir, 2000, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, UII
Press, Yogyakarta.

A. Madjedi Hasan, 2009, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan
dan Kepastian Hukum, Fikahati Aneska, Jakarta.

Ali Muhammad Mulyohadi ,dkk, 2006, Kemitraan dalam Hubungan Dokter


dan Pasien, Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta.

Andi Prastowo, 2011, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif


Rancangan Penelitian, AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta.

Anwari. A, 2015, Pelanggaran Etika Kedokteran Dalam Hubungan Dengan


Pelanggaran Disiplin Dan Hukum, Disertasi.

Anny Retnowati, 2015, Rekontruksi Penyidikan Dugaan Malpraktik Rumah


Sakit Berdasarkan Prinsip Keadilan dan Perlindungan Hukum.

416
Ari Yunanto dan Helmi, 2009, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Penerbit
Andi, Yogjakarta.

-------------------------------, 2010, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Tinjauan


dan Perspektif Medikolegal, Penerbit Andi, Jogyakarta.

A. Zainal Abidin Farid, 2007, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta.

Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik), FH UII
Press, Yogyakarta.

Bahar Azwar, 2002, Sang Dokter, Mega Point, Bekasi.

Bahder Johan Nasution, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban


Dokter, Reneka Cipta, Jakarta.

Bambang Poernomo, Hukum Kesehatan (Yogyakarta : Aditya Media, tanpa


tahun).

Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, 8th Edition, Thomsom West
Publishing Co., St Paul, Amerika Serikat.

Burhan Arshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa


dan Nusamedia, Bandung.

Chrisdiono M. Achdiat,2007, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam


tantangan jaman, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Christine. S. T. Kansil, 2007, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika,


Jakarta.

Danny Wiradharma, 1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Cipta


Aksara, Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990 , Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Depdikbud, Jakarta , Cetakan ke 3.

Eddy O.S. Hiariej, 2016, Prisip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma


Pustaka, Yogyakarta.

417
Fatimah Achyar, Kata Pengantar, Selintas Tentang Undang-Undang
Peradilan Tata Usaha Negara, 1989, Jakarta, Makamah Agung Reublik
Indonesia Direktur Tata Usaha Negara.

Fred Amien, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya ,


Jakarta

Guwandi, 1993,Tindakan Medik dan tanggungjawab produk Medik, Balai


Penerbit FK UI.

------------, 2000, Kelalaian Medik (Medical Negligence), Balai Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

------------, 2004, Hukum Medik ( Medical Law), Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh oleh
Rasisul Muttaqiem, 2011, Nusa Media, Bandung.

HB Soetopo,1992, Metode Penelitian Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta.

---------------, 2002, Metode Penelitian Kualitatif , UNS Press, Surakarta.

H.R.Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu


Agung, Jakarta.

H.R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, 2012, Sistem Peradilan Pidana,


Cetakan Ketiga Edisi Revisi PTIK, Jakarta.

Hasanuddin AF, et. al., 2004, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pustaka Al Husna
Baru, Jakarta.

Hendrojono Soewono, 2007, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik


Dokter Dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, Surabaya.

Hermin Hadiati Koeswadji, 1984, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga


University Press, Surabaya.

----------------------------------, 1992, Beberapa Permasalahan Hukum dan


Medik , Citra Adytia Bakti, Bandung.

418
----------------------------------,1998, Hukum Kedokteran (Studi tentang
Hubungan Hukum dan Dokter), Citra Adytia Bakti, Bandung.

Indriyanto Seno Aji, 2001, Arah Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara
dan Konsultan Hukum “ Prof. Umar Seno Aji, S.H & Rekan, Jakarta.

Jhonny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,


Bayumedia Publishing, Malang.

J.C.T. Simorangkir et.al., 2004, Kamus Hukum, Cetakan Kedelapan, Sinar


Grafika, Jakarta.

John Rawls, 1973, A Theory of Justice, Oxford University Press, London,


diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo, 2006, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta.

Juhaya S. Praja,1995, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penerbitan Universitas


LPPM UNISBA, Bandung.

Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, 2016, Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

King Jr., 1977 , The Law of Medical Malpractice in a Nutshell , West


Publishing , CO St Paul Minn.

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, 1993,
Remaja Rosdakarya, Bandung.

Luhut M.P. Pangaribuan,2016, Hukum Acara Pidana Dan Hakim Ad Hoc,


Papas Sinar Sinanti, Jakarta.

Lumenta,1989, Pelayanan Medis, Citra, Konflik dan Harapan, Kanisius,


Yogyakarta.

Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan


Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Lembaga Kriminologi UI,
Jakarta.

------------------------------, 1997, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana,


Lembaga Kriminologi UI, Jakarta.

419
Mason & Mc.Call Smith, 1987, Law and Medical, Second edition ,
Butterworths , London.

Muhammad Taufiq, 2013, Model Penyelesaian Perkara Pidana yang


berkeadilan Substansial, Disertasi.

Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di


Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret, Surakarta.

Munir Fuady, 2005, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Komtemporer,


Citra Aditya Bakti, Bandung.

----------------, 2005, Sumpah Hipocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter),


Citra Aditya Bakti, Bandung.

M.Quraish Shihab, 1998, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’I atas Pelbagai


Persoalan Umat, Mizan, Bandung.

----------------------, 2003,Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung.

Nusye KI Jayanti, 2009, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktik Kedokteran,


Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Oemar Seno Adji, 1991, Profesi Dokter, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Otje Salman S dan Anton F Susanto, 2005, Teori Hukum Mengingat,


Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung.

Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.

--------------, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta.

Roeslan Saleh, 1968, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,


Centra, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung.
Rusli Muhammad, 2011, Sistem Peradilan Pidana, UII Press, Yogyakarta.

420
Safitri Haryani, 2005, Sengketa Medik (alternative Penyelesaian Perselisihan
Antara Dokter Dengan Pasien), Diadit Media, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke V,


Bandung.

----------------------, 2006, Ilmu Hukum, Citra Adytya Bakti, Cetakan ke VI,


Bandung

----------------------, 2009, Hukum dan Perilaku : Hidup Baik adalah Dasar


Hukum yang Baik, Kompas Penerbit Buku, Jakarta.

----------------------, 2010, Penegakkan Hukum Progresif, Kompas Penerbit


Buku, Jakarta.

Samsi Jacobalis, 2005, Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis dan


Bioetika, CV. Sagung Seto, Jakarta.

Samudra Wibawa, 2001, Negara-negara Di Nusantara: Dari Negara Kota


hingga Negara Bangsa, Dari Modernisasi hingga Reformasi
Administrasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sanapiah Faisal, 1988, Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasinya,


Yayasan Asah Asih Asuh, Malang.

Sayyid Qutb, 1984, Keadilan sosial dalam Islam, dalam John J. Donohue dan
John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Terjemahan Machnun
Husein,CV Rajawali, Jakarta.

Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum


Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Simorangkir et. al., 2004, Kamus Hukum, cetakan kedelapan, Sinar Grafika,
Jakarta.

Siska Elvandari, 2015, Hukum Penyelesaian Sengketa Medis,Cetakan


Pertama, Thafa Media, Yogyakarta.

Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas


Indonesia (UI Press), Jakarta.

421
-------------------------, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan , Remadja Karya,
Bandung.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,1986, Penelitian Hukum Normatif, CV


Rajawali, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Herkutanto, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan,


Remaja Karya, Bandung.

Sofyan Dahlan, 2005, Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi


Dokter, Balai Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Soetrisno, 2010, Malpraktek Medik & Mediasi Sebagai Alternatif


Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu, Tangerang.

Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, Penerbit PT Intermasa.

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I , Penerbit Yayasan Sudarto , Semarang

Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty,


Yogyakarta.

Veronika Komalawati, 1989, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter,


Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

----------------------------, 2002, Peranan Informed consent Dalam Transaksi


Terapeutik ( Persetujuan dalam hubungan Dokter dan Pasien ) Suatu
Tinjauan Yuridis, Citra Adytia Bakti, Bandung.

Widodo Dwi Putro, 2011, Kritik terhadap Paradigma Positivisme Hukum,


Genta Publishing, Yogyakarta.

Widodo Tresno Novianto, 2014, Alternaif Model Penyelesaian Sengketa


Medik di Luar Pengadilan Melalui Lembaga Penyelesaian Medik Dalam
Pelayanan Kesehatan, Disertasi.

Wila Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju,


Bandung.

422
Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an,1986, Al-Qur’an


dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia.

Yovita Ari Mangesti, 2015, Perlindungan Hukum Berparadigma Kemanusiaan


Yang Adil Dan Beradap Pada Riset dan Pemanfaatan Human Stem Ceel
(Sel Punca Manusia) Di Bidang Kesehatan, Disertasi.

Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

B. Perundang-undangan dan peraturan-peraturan :

Code of Ethics of the Philipine Medical Association.

Medical Malpractice, Departement of Health Philippines, Juny 15, 2011.

Republik Indonesia, Undang- Undang Dasar 1945.

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum


Acara Pidana.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan


Umum.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan


Tata Usaha Negara.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase


dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak


Asasi Manusia.

423
Republik Indonesia,Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 Tentang


Pengadilan Pajak.

Republik Indonesia,Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang


Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik


Kedokteran.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang


Perikanan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang


Kesehatan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah


Sakit.

Republik Indonesia,Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang


Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang


Kekuasaan Kehakiman.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang


Peradilan Umum.

Republik Indonesia,Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga


Kesehatan.

424
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
11999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Peraturan Presiden Nomor 96 tahun 2006 tentang Tunjangan dan Hak-Hak


Lainya bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan industrial.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2011 tentang


perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 96 tahun 2006 tentang
Tunjangan dan Hak-Hak Lainya bagi hakim ad hoc pada Pengadilan
Hubungan industrial.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2013 tentang Hak


Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008


Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.

Komisi Yudisial Republik Inddonesia, 2012, Keputusan Bersama Ketua


Makamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik
Indonesia Nomor 147/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 512/MENKES/PER/


IV/2007 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 269/MENKES/PER/


III/2008 Tentang Rekam Medis.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 290/MENKES/PER/


III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1438/MENKES/


PER/ IX/2010 Tentang Standar Pelayanan Kesehatan .

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 2052/MENKES/


PER/IX/2011 Tentang Izin Praktik dan Pelayanana Praktik Kedokteran .

Kep.Men.Kes.RI Nomor 595/MEN.KES/SK/VII/1993 tentang Standar Pela-


yanan di Setiap Sarana Kesehatan.

425
Keputusan Menteri Kesehatan No. 779/MenKes/SKN.1.II/2008 tentang
Standar Pelayanan Anestesi dan Reanimasi.

Surat Keptusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Nomor


221/PB/A.4/2002, tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia
dan Pedoman Pelaksanaannya, dalam Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran Yang Baik di Indonesia, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2008.

Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/PER/VII/2006 tentang


tata cara penanganan kasus dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan
Dokter Gigi oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di Tingkat Provinsi.

Majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran Indonesia (MKEK), Ikatan


Dokter Indonesia (IDI), 2002, Kode Etik Kedokteran Indonesia dan
Pedoman Pelaksanaannya, IDI, Jakarta.

Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran, Keputusan Konsil


Kedokteran Indonesia No. 17/KKI/KEP/VIII/2006 dalam Penyelenggaraan
Praktik Kedokteran Yang Baik Di Indndonesia, Departemen Kesehatan
Repoblik Indonesia, 2008, Promosi Kesehatan RI.

C. Jurnal dan Makalah

Angus Mitchell, Matthew Christensen and Kraisorn Rueangkul, Medical


malpractice Part 1, Bangkok Post the world’s window on Thailand,
14/07/2013.

Anwar C., 2010, Problematika Mewjudkan Keadilan Substantif dalam


Penegakkan Hukum di Indonesia, Jurnal Konstitusi, volume III, Nomor 1.

Arthur Saniotis, Changing ethic in medical practice : a Thai perspective,


Indian Journal of Medical Ethics, Volume IV. No.1 January-March 2007.

Azwar. A., 1992, Menjaga Mutu Pelayanan Rawat Jalan, Majalah Kesehatan
Masyarakat, Th XX no. 4.

Bagir Manan, 2009, Beberapa catatan Tentang Penapsiran, artikel dalam


Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV NoMOR 225.

426
Bambang Tri Bawono, 2011, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya
Penanggulangan Malpraktik Profesi Dokter, Jurnal Hukum, Volume
XXV, Nomor1.

Benyamin L. Liebman , 2011, Malpractice Mobs: Medical Dispute


Resolution In China , Columbia Law Review , Vol 113.

Budi Sampurna, 2008, Konflik Etik dan Medikolegal di Sarana Pelayanan


Kesehata, Lokakarya Nasional Hukum dan Etika Kedokteran, Makasar 26
Januari 2008, Procceding, IDI Makasar.

Guwandi, 2003, Misdiagnosis atau Malpraktik Jurnal Perhimpunan Rumah


Sakit Seluruh Indonesia, Volume 3.

Handy Sobandi, Penyelesaian Sengketa Bisnis (tidak dipublikasikan) dalam


bahan ajar Mata Kuliah “Aspek Hukum Dalam Bisnis”, Program Studi
Magister Manajeman, Program Pascasarjana Universitas Pahariangan,
Bandung, Semester Ganjil Tahun Akademik 2005/2006.

Hassan El Menyawi, 2002, Public tort liability; An alternative to tort liability


and no fault compensation, Murdoch University Electronic Journal of
Law, vol 9, no 4.

Hikmahanto Juwana, Penegakan Hukum dalam Kajian Law and


Development, Pidato Ilmiah memperingati Dies Natalis ke 51 Universitas
Indonesia, 4 Februari 2006.

Marie Bismark dan Ron Paterson, 2006, No Fault Compesation in New


Zealand : Harmonising Injury Compensation, Provider Accountability
and Patient Safety, Health Affairs, vol 25, no 1.

M. Arif Setiawan, PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK, memetik


pelajaran pidana medik dari kasus dokter Ayu Sp OG dan kawan-kawan
disampaikan dalam 20th World Congress on Medical Law, Bali 21- 24
Agustus 2014.

M. Arif Setiawan, Sebagai Ahli dalam Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan
Pidana, disampaikan pada saat uji materi Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 Oleh Makamah Konstitusi di Jakarta tanggal 4 September
2014.

427
M. Arif Setiawan, Penyelesaian Litigasi Dalam sengketa Medik Dugaan
Malpraktik, Seminar Mediasi dn Perlindungan Hukum Bagi Dokter,
Fakultas Kedokteran UII Yogyakarta, 17 Desember 2016.

Merdian Almatsier, 2000, Antisipasi Kesiapan Tenaga Kesehatan dan Profesi


Kedokteran Dalam Rangka Pemberlakuan UU Nomor 8 / 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (Kontroversi UUPK Dalam Pelayanan Medik),
Makalah dalam Simposium : Problema dan Solusi Praktek Dokter,
Padang.

M. Nasser, Sengketa Medis Dalam Pelayanan Kesehatan, Disampaikan pada


Annual Scientific Meeting UGM-Yogyakarta, Lustrum FK UGM, 3 Maret
2011.

Moh. Mahfud MD, Makamah Konstitusi dalam Bingkai Hukum Progresif dan
Keadilan Substantif, bahan disampaikan dalam diskusi di Surabaya, 13
Februari 2010.

Muladi, Guru Besar Hukum Pidana Emiritus Universitas Diponegoro, Mantan


Hakim Agung, Anatomi Malpraktik Dokter, Kompas , Jum’at, 6 Desember
2013.

Nunuk Nuswardani, 2009, Upaya Peningkatan Kualitas Putusan Hakim


Agung dalam Mewujudkan law and Legal Reform, dalam Jurnal Hukum
Nomor 4, Vololume 16.

Pan Mohamad Faiz, April 2009, Teori Keadilan John Rawls, Konstitusi, Edisi
Nomor 1, Volume 6.

Peter Loke, Mediation and Arbitration in Healthcare Dispute Resolution,


Teaching Faculty, SMA centre for Medical Ethics & Professionalism,
SMA News May 2014.

Puteri Nemie Jahn Kassim and Khadijah Mehd Najid, 2013, Medical
Negligence Disputes in Malaysia : Resolving through Hazards of
Litigation or trough Community responsibility ? , Worl Academy of
Science, Engineering and Technology International Journal of Social,
Behavioral, Educational, Economic, Business and Industrial Engineering
Vol:7, No:6.

428
Puteri Nemie bt. Jahn Kassim, 2004, Medical negligence litigation in
Malaysia , Whither should we travel ? Journal of the Malaysian Bar, Vol
XXXIII, No.1

Robert B Leflar, 2009, The Regulation of Medical Malpractice in Japan,


Clinical Orthopaedics and Related Research Medical Malpractice in
Japan, Volume 467, number 2.
.
Robert B Leflar, 2012, The Law of medical misadventure in Japan symposium
on medical malpractice and compensation in global perspective : part II,
Chicago – Kent College of Law, Ilinois Institue of Technology.

S. R. Osmena,2011, Thirteenth Congress of the Republic of the Philippines,


First Regular Session.

T. Thirumoorthy, Profesional Misconduct, Patient-doctor Dispute Resolution


and Medical Council (A Looming Crisis of Confidence, More Than Just
and Storm in a Tea Cup), Executive Directur, SMA Centre For Medical
Ethics & Professionalism, SMA news November 2012.

Toshimi Nakanishi, 2013, New Communication Model in Medical Dispute


Resolution in Japan, Yamagata Medical Journal, volume 31, number 1.

Veronika Komalasari, 2004, Aspek Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan,


Suatu Kajian, Hukum Bisnis, Volume 23 No. 2, Jakarta.

Ambo Asse, 2010, Konsep Adil dalam Al-Qur’an, Jurnal Al Risalah Volume
10 Nomor 2.

D. Internet

www.ferewebs.com/etikakedokteranindonesia, diakses tanggal 28 maret 2011,


jam 09.32 wib Budi Sampurna, Etika Kedokteran Indonesia dan
Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia.

http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/sistem-peradilan-di-
indonesia,html

http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/04/09/322913. Sebaran
dokter masih tidak merata. Kamis, 12 November 2015, jam 14. 20.

429
https : // id.wikipedia.org/wiki/pengadilan khusus, diakses tanggal 5 - 4 -
2016, jam 12 30 wib, Jimlly Asshidiqie.

www.saifedia.blogspot.com, diakses tanggal 19 - 5 - 2016, jam 06 05 wib,


Andy Saiful Musthofa, Difinisi dari Teori dan Kerangka Berfikir Dalam
Suatu Penelitian.

http://www. Kompasiana.com/wangfufen/sengketa-dokter-pasien,diakses 27-


8-2016,jam 10 45wib, Erfen Gustiawan Suwangto.

C:\User\SPI\Document\Politik Indonesia- wawancara-Nova Riyanti Yusuf-


Perlu Peradilan Khusus Keshatan.html, diakses tanggal 27-8-2016, jam 10
15 wib.

C:\User\SPI\Document\Dampak Kasus Dokter Setyaningrum – Verdi’s Blog.


html, diakses tanggal 30-8-2016, jam 10 00 wib.

https://verdiferdiansyah.wordpress.com/2011/04/12/kasus-dokter
setianingrum, diakses tanggal 30-8-2016, jam 10 00 wib

Dianauliacloud.blogspot.co.id/2006/06.Kaitan Hukum dan Politik dengan


Teori Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat (CHAMBLISS DAN
SEIDMAN), diakses tanggal 26-9-2016, jam 09 30 wib.

www.makalah-makalah.com/2016/05/cara-menentukan-sumber-data.html,
diakses tanggal 17-10-2016,jam10 00 wib.

Pengertian keadilan dalam Al-Quran.http:// makalahmajannaii .blogspot.com/


2012/02/ keadilan-dalam-alquran.html.diakses tanggal 19-10-2016, jam 10
00 wib.

Library.walisongo.ac.id/digilib/fiels/disk1/28/jtptiain-gdl-s1-2006-erlinhamid-
1369 - bab2-410-8pdf,diakses tanggal 21-10-2016,jam 10 00 wib.

Fawaidurrahman, Mencari Keadilan Hukum di Indonesia : Membendung


Keadilan Prosedural Menuju Keadilan Substansial, http://fawaidroh.
wordpress.com, diakses tanggal 29-10-2016 jam 14 15 wib.

http://jurnal toddopulli.wordpress.com/2014/09/03/keadilan substantif.


Moh.mahfud m.d, diakses tanggal 24-10-2016, jam 09 00 wib.

430
makalahkomplit.bolgspot.co.id/2012/08/ pengertian-keadilan-substantif. html,
diakses tanggal 24-10-2016, jam 12 00 wib.

http://www. Kompasiana.com/Tumpulnya Hukum pada Penguasa dan


Pemodal, Kompas, 16 Februari 2010, diakses 4-11-2016,jam 10 00 wib,
Edwin Partogi.

dighilib.unila.ac.id./8262/2/bab % 20II.pdf, dikses tanggal 11-11-2016, jam 11


25 wib.

dhitamenulis.blogspot.co.id/2011/03/hubungan-sebab-akibat-teori kasualitas.
html ,diakses tanggal 11-11-2016, jam 10 15 wib.

Setia Darma, Teori-Teori Kausalitas, http:/ setia-ceritahati.blogspot.com/


2009/05/ teori-teori-kausalitas.html, diakses tanggal 14-11-2016, jam 06
30 wib.

http//jimmyyansennainggolan.files.wordpress.com, diakses senin tanggal 16-


1-2017, jam 10.30 wib, Jimmy Yansen, Penerapan Norma Hukum Dalam
Sistem Hukum Indonesia (Penerapan Norma Hukum di Lembaga
Peradilan).

http://po-box2000.blogspot.co.id.2011/04/proses-pembentukan-rancanagan-
undang.html, diakses tanggal 5 April 2018, jam 10.30 WIB.

http://prasko17.blogspot.com/2013/04/pengertian-sengketa-umum-dan-
sengketa.html, diakses tgl 1Agustus 20018, jam 11. 45 WIB.

431
RIWAYAT HIDUP PROMOVENDUS

1. Nama : dr. Siswanto Sastrowiyoto, Sp. THT-KL (K), MH


2. Tempat/ tgl lahir : Klaten, 10 Agustus 1956
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Jabatan : Kepala Satuan Pengawas Internal RSUP Dr.
Sardjito
5. Pangkat /Gol : Pembina Utama Madya / IV d
6. Alamat : Jl. Mentawai E 20 Sono, RT/RW. 05/60
Desa Sinduadi, Mlati, Sleman
7. Telp : 0274 - 888852, 0811257305
8. Agama : Islam
9. Golongan Darah : B
10. Keluarga
a. Istri : Siti Nurlaksmiani, SH
b. Anak : 1. Septiana Nurmayani, S.Psi
: 2. Hafidh Jati Husodo, SE
c. Menantu : 1. Anton Luhur Pamuji, ST
: 2. Dentinia Larasati Putri, S.Kg
d. Cucu : 1. Aufar Yusuf Al-Kautsar
: 2. Arshad Daud Ar-Rahman
: 3. Alesandra Gaessani Kamila
11. Riwayat Pendidikan
a. 1968 : SD Negeri II, Gempol, Karanganom, Klaten
b. 1971 : SMP Negeri Karanganom, Klaten
c. 1974 : SMA BOPKRI I, Yogyakarta
d. 1985 : Fakultas Kedokteran UGM
e. 1998 : Dokter spesialis THT FK UGM
f. 2007 : Magister Hukum, Fakultas Hukum UII
12. Pengalaman Jabatan
a. 1985 - 1996 : Dokter di UGD RS Bethesda Yogyakarta
b. 1986 - 1993 : Puskesmas Bayudono I Boyolali, Jawa Tengah
c. 1993 - 1998 : Residen di PPDS I THT, Fakultas Kedokteran
UGM
d. 1998 - sekarang : Anggota KSM THT RSUP Dr. Sardjito,
Yogyakarta
e. 1999 - 2002 : Kepala poli THT, Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta
f. 2002 - 2004 : Kepala Instalasi Rawat Jalan, RSUP Dr. Sardjito,
Yogyakarta

432
g. 2004 - 2005 : Kepala Bidang Pelayanan Medik, RSUP Dr.
Sardjito, Yogyakarta
h. 2005 - 2010 : Direktur Umum dan Operasional, RSUP Dr.
Sardjito, Yogyakarta
i. 2005 - 2013 : Ketua Dewan Pertimbangan Medis PT Askes
Regional VI Jawa Tengah (untuk DIY dan Ex
Karisidenan Kedu dan Surakarta )
j. 2007 - Sekarang : Pengajar Center for Bioethics and Medical
Humanities FK UGM
k. 2008 - Sekarang : Pengajar Magister Hukum Kesehatan Fakultas
Hukum UGM
l. 2009 - Sekarang : Pengajar PPDS 2 Konsultan Obsos FK UGM dan
FK UNHAS
m. 2011 - Sekarang : Pengajar Pelatihan Mediasi Sekolah Pasca
Sarjana UGM
n. 2012 - 2015 : Ketua Komite Etik dan Hukum RSUP Dr.
Sardjito, Yogyakarta
o. 2013 - Sekarang : Pengajar Magister Hukum Kesehatan Fakultas
Hukum UII
p. 2013 - Sekarang : Ketua PERHATI Cabang DIY - Jateng Selatan
q. 2013 - Sekarang : Kepala Satuan Pengawas Internal RSUP Dr.
Sadjito, Yogyakarta
r. 2014 - Sekarang : Dewan Pengawas RSUD Sleman, DIY
s. 2014 - Sekarang : Pembina Yayasan Dr.YAP PRAWIROHUSODO
Yogyakarta
13. Pelatihan
a. Desember 2003 : Studi Banding Pengembangan Pelayanan Medis -
Singapura
b. Agustus 2005 : Pelatihan Case Mix DRG – Kuala Lumpur,
Malaysia
c. Juli 2007 : Studi Banding Pengembangan Pelayanan
Pneumatic Tube, Singapura dan Malaysia

433
434
435

Anda mungkin juga menyukai