Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH

MALPRAKTIK MEDIK

DOSEN : DR. SUNARYO, S.H., M.HUM.

GIGIH SANJAYA PUTRA

1822011029

MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

2020
A. PENDAHULUAN
Profesi kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya merupakan suatu profesi yang sangat
mulia dan terhormat dalam pandangan masyarakat.1 Karena dokter dalam
menjalankan tugas mempunyai alasan yang mulia, yaitu untuk mempertahankan tubuh
orang tetap sehat atau untuk mengbati orang yang sakit atau setidaknya mengurangi
penderitaan orang sakit, sehingga orang yang sakit menjadi sehat kembali.
Masyarakat sepakat bahwa perbuatan dokter yang demikian itu, layak mendapatkan
perlindungan hukum sampai pada batas-batas tertentu. Hal ini berarti bagi dokter
bahwa dalam menjalankan tugas harus disesuaikan dengan batas-batas yang telah
ditentukan agar dokter tidak dituntut atau digugat karena telah bertindak yang dinilai
merugikan masyarakat atau digugat/dituntut ke muka pengadilan. Mengetahui batas
tindakan yang diperbolehkan dilakukan oleh seorang dokter dalam melakukan
perawatan akan menjadi sangat penting bukan saja bagi dokter, tetapi juga penting
bagi para penegak hukum lainnya. Apabila batasan tersebut tidak diketahui dokter
dalam tugas menjalankan tindakan profesionalnya, maka dokter akan menjadi ragu-
ragu dalam bertindak, terutama dalam melakukan diagnosa dan memberikan terapi
terhadap penyakit yang diderita pasien. Tanggung jawab seorang dokter untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal kepada seorang pasien sangat
penting, karena pasien sangat bergantung pada kepandaian atau keahlian dokter untuk
menyembuhkan penyakitnya.
Dengan adanya Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
maka diharapkan mampu menjamin kebutuhan masyarakat akan kesehatan sebagai
hak asasi manusia dalam kaitannya dengan upaya kesehatan yang diselenggarakan
oleh praktisi di bidang kedokteran. Karena dalam UU ini dicantumkan tentang
kewajiban-kewajiban seorang dokter yang terdapat dalam Pasal 51 yang berbunyi
sebagai berikut 2: ”Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran
mempunyai kewajiban sebagai berikut memberikan pelayanan medis sesuai dengan
standar profesi, standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk
pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian yang lebih baik,
apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal, melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
1
Syahrul Machmud. 2012. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga
Melakukan Medikal Malpraktek. Karya Putra Darwati. Bandung. Hal : 1
2
UURI No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, menambah ilmu
pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi”.
Seorang dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat pasti
akan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi pasiennya karena sesuai dengan
tujuan diadakannya Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yang didalam
Pasal 4 menyebutkan bahwa ”Setiap orang berhak atas kesehatan”.3
Dokter atau tenaga kesehatan lainnya tidak dapat dipungkiri adalah manusia biasa
yang penuh dengan kekurangan (merupakan kodrat manusia). Dalam melaksanakan
tugas kedokteran yang penuh dengan resiko ini, terkadang tidak dapat menghindarkan
diri dari kekeliruan/kelalaian ataupun kesalahan. Karena bisa saja terjadi pasien yang
ditangani menjadi cacat bahkan meninggal dunia setelah ditangani, walaupun dokter
telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi atau Standart Operating
Procedure (SOP) dan/atau standar pelayanan medik yang baik.4
Namun, terkadang dokter terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian yang
menyebabkan penyakit pasien bertambah parah, dalam hal ini perbuatan dokter
disebut juga sebagai perbuatan yang melanggar hukum atau dokter melakukan
wanprestasi tindakan kedokteran tidak sesuai dengan yang terdapat dalamperjanjian
teraupetik. Kesalahan atau kelalaian dokter dalam menangani pasien dikenal dalam
ilmu kedokteran dengan Malpraktek Medis.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Malpraktek
Malpraktek atau malpraktek medis adalah istilah yang sering digunakan orang
untuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi didalam
dunia kesehatan. Banyak persoalan malpraktek, atas kesadaran hukum pasien
diangkat menjadi masalah pidana.5 Menurut Maryanti, hal tersebut memberi kesan
adanya kesadaran hukum masyarakat terhadap hak-hak kesehatannya.
Beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai malpraktek. Malpraktek
menurut pendapat Jusuf Hanafiah merupakan “kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran

3
Anonimous. 2013. UURI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Laksana. Yogyakarta. Hal : 14
4
Syahrul Machmud, Op-Cit. Hal : 1
5
Anny Isfandyarie. 2005. Malpraktek dan Resiko Medik. Prestasi Pustaka..Jakarta. Hal : 9
dilingkungan yang sama”.6 Amri Amir menyatakan bahwa “malpraktek medis
adalah tindakan yang salah oleh dokter pada waktu menjalankan praktek yang
menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien, serta
menggunakan keahliannya untuk kepentingan pribadi.7
Menurut pendapat Ninik Mariyanti bahwa malpraktek memiliki pengertian yang
luas yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Dalam arti umum : suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar
yang telah ditentukan oleh profesi.
b. Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien) malpraktek dapat terjadi di dalam
menentukan diagnosis, menjalankan operasi, selama menjalankan perawatan,
dan sesudah perawatan.8
Hermien Hadiati sebagaimana dikutip oleh Anny Isfandyarie menjelaskan
malpraktek secara harfiah berarti bad practice atau praktek buruk yang berkaitan
dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi
medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan
“how to practice the medical science and technology” yang sangat erat
hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang
yang melaksanakan praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan
istilah “maltreatment”.9
Jadi, dapat disimpulkan bahwa mal praktek adalah tindakan atau perbuatan
seorang dokter saat menjalankan praktek yang tidak memenuhi standar atau diluar
standar yang telah ditentukan, sehingga menyebabkan kerusakan atau kerugian
bagi kesehatan dan kehiduan pasien.

2. Jenis-Jenis Malpraktek
Adapun jenis-jenis malpraktek ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum
dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu malpraktek etik (ethical malpractice)
dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice).

a. Malpraktek Etik
6
M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Kedokteran
EGC. Jakarta. Hal: 87
7
Amri Amir. 1997. Bunga Rampai Hukum Kesehatan. Widya Medika. Jakarta. Hal: 53
8
Ninik Mariyanti. 1998. Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata. Bina Aksara.
Jakarta. Hal : 75-76
9
Anny Isfandyarie. op.cit. hal : 20
Yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika
profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang perawat yang
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika keperawatan. Etika
keperawatan yang dituangkan dalam Kode Etik Keperawatan merupakan
seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk
seluruh perawat.
b. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu
malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal
malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).10
1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan
tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik
oleh tenaga kesehatan atau terjadinya perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang
disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa
levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata),
maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana. 11
Contoh dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan
operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien.
Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan
operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal
ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak
menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.
2) Malpraktek Pidana
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami
cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam
melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau
cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:
a) Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional), tenaga medis
tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui

10
Anny Isfandyarie. op.cit. hal. 31-33
11
Anny Isfandyarie. op.cit. hal. 34
bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan
surat keterangan yang tidak benar.
Contoh : melakukan aborsi tanpa tindakan medis
b) Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya
melakukan tindakan yang tidak legeartis atau tidak sesuai dengan
standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan
tindakan medis. Contoh : Kurang hati-hatinya perawat dalam
memasang infus yang menyebabkan tangan pasien membengkak
karena terinfeksi
c) Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi
cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga
kesehatan yang kurang hati- hati. Contoh : seorang bayi berumur 3
(tiga) bulan yang jarinya terpotong pada saat perawat akan melepas
bidai yang dipergunakan untuk memfiksasi infus.12
3) Malpraktek Administratif
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan
pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya
menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan
praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek
tanpa membuat catatan medik.

3. Korban Tindak Pidana Malpraktek


Korban dalam pengaturan hukum di Indonesia selalu menjadi pihak yang paling
dirugikan, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa
dirinya, baik secara materiil, fisik, maupun psikologis, korban juga harus
menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya
sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum, misalnya harus
kembali mengemukakan, mengingat bahkan mengulangi (merekontruksi)
kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani proses
pemeriksaan, baik ditingkat penyidikan maupun setelah kasusnya diperiksa di
pengadilan.

12
Anny Isfandyarie. op.cit. hal. 35
Pengertian mengenai korban dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 3 UU PSK
yang menyatakan bahwa “korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
Pengertian korban secara luas bukan hanya sekedar korban yang menderita
langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan
yang dapat diklarifikasikan sebagai korban.
Korban kejahatan tidak terlepas dari ilmu viktimologi. Melalui ilmu viktimologi
dapat diketahui berbagai macam aspek yang berkaitan dengan korban
diantaranya:13
a. Bagaimana seseorang dapat menjadi korban
b. Faktor yang menyebabkan munculnya kejahatan
c. Upaya untuk meminimalisir terjadinya korban kejahatan, dan
d. Hak dan kewajiban bagi korban kejahatan.
Korban menurut pendapat Arief Gosita sebagaimana dikutip oleh Dikdik M. Arief
Mansur dan Elisatri Gultom bahwa korban adalah mereka yang menderita
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan
hak asasi yang dirugikan.14
Muladi mengemukakan bahwa korban (victims) adalah orang-orang yang baik
secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian
fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan subtansial terhadap hak-
haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum
pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.15
Jenis-jenis korban sebagaimana dikemukakan oleh Sellin dan Wolfgang yang
dikutipSuryono Ekotama, ST. Harum Pudjiarto .RS dan G. Widiartana terdiri
dari:16
1) Primary Victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan
2) Secondary Victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum
3) Tertiary Victimization, yaitu korban masyarakat luas
13
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom. 2008. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara
Norma dan Realita. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 46
14
Ibid.
15
Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum
dan Masyarakat. Refika Aditama. Bandung. Hal. 48
16
Suryono Ekotama, ST.Harum Pudjiartono. RS dan G. Widiartana. 2001. Abortus Provocatus Bagi
Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana. Universitas Atmajaya. Jakarta. Hal.
96
4) No Victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui misalnya konsumen
yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi masyarakat.
Korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara
langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan
kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di
dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang
yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaan atau
untuk mencegah viktimisasi.

4. Pengaturan Malpraktek Medis Menurut Hukum di Indonesia


Hukum di Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai ketertiban masyarakat.
Tercapainya tujuan tersebut tidak terlepas dari aturan-aturan hukum yang satu
dengan yang lainnya yang saling terikat secara tertib dan teratur yang merupakan
tatanan. Aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan
hukum yang lebih tinggi. Sehingga, banyaknya aturan hukum yang ada saling
terkait yang disebut dengan tatanan hukum.
Pelayanan kesehatan di Indonesia merupakan suatu upaya dari pemerintah untuk
mengurangi jumlah kematian dan meningkatkan persentase kesembuhan
masyarakat yang dirawat di rumah sakit. Keberhasilan upaya kesehatan tergantung
kepada ketersediaan sumber daya kesehatan yang berupa tenaga, sarana dan
prasarana dalam jumlah dan mutu yang memadai.
Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian
berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Pemberian perlindungan
dan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi, diperlukan
pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran. Mendukung
terciptanya pelayanan kesehatan yang baik, pemerintah mengeluarkan berbagai
macam aturan baik yang berupa undang-undang, peraturan pemerintah maupun
peraturan menteri.
Pelaksanaan praktek kedokteran banyak menghadapi kendala, salah satunya
dikenal dengan sebutan malpraktek medis. Belum adanya aturan hukum normatif
(undang-undang) yang mengatur secara terterinci mengenai malpraktek medis
menyebabkan malpraktek medis ini sulit dibuktikan, sehingga menimbulkan
kerugian bagi pihak pasien yang menjadi korban. Selain itu, tidak adanya aturan
hukum secara terperinci mengenai malpraktek medis juga berdampak pada tenaga
kesehatan karena tidak adanya ketentuan yang jelas bagaimana kriteria perlakuan
medis yang dapat dinyatakan sebagai malpraktek medis.
Indonesia sampai saat ini belum memiliki Undang-Undang tentang malpraktek
medis. Sistem hukum Indonesia, tidak semua mengatur malpraktek medis.
Pengaturan mengenai malpraktek medis secara umum dapat dilihat dari ketentuan
yang tercantum dalam Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi.
Undang-Undang yang bersangkutan, antara lain : UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit, sertaUU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan
dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya hukum.
Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi
berkaitan dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri Kesehatan No
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No
512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan No: 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang
Persetujuan Tindakan Medik. Pengaturan tersebut yang sudah tidak berlaku lagi
yakni, UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang sudah diganti dengan UU
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Secara yuridis kasus malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan
bersandar pada beberapa dasar hukum yaitu: KUHP, KUHPerdata, UU No. 23
Tahun 1992, UU No. 8 Tahun 1999, UU No. 29 Tahun 2004, UU No. 36 Tahun
2009, UU No. 44 Tahun 2009, Peraturan Menteri Kesehatan No.
585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri Kesehatan
No.512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri Kesehatan No.
269/Menkes/Per/III/2008.
Malpraktek Kedokteran bisa masuk lapangan hukum pidana , apabila memenuhi
syarat – syarat tertentu dalam tiga aspek yaitu syarat dalam sikap batin dokter,
syarat dalam perlakuan medis dan syarat mengenai hal akibat. Dasarnya syarat
dalam perlakuan medis adalah perlakuan medis yang menyimpang. Syarat
mengenai sikap batin adalah syarat sengaja atau culpa dalam malpraktek
kedokteran. Syarat Akibat adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi
kesehatan atau nyawa pasien.
Secara garis besar pengaturan mengenai malpraktek medis dalam hukum di
Indonesia dapat dilihat dari ketentuan KUHP, UU No. 36 Tahun 2009 tentang
kesehatan dan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
a. KUHP
Berkaitan dengan tindak pidana malpraktek tidak diatur dengan jelas dalam
KUHP. Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan
malpraktek tersebut. Pengaturan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dapat dilihat dari ketentuan Pasal 53 KUHP yaitu terkait dengan
percobaan melakukan kejahatan pasal ini hanya menentukan syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah
melakukan suatu percobaan. Pasal 267 KUHP mengenai Pemalsuan Surat,
Pasal 345, 347, 348, 349 KUHP yang berkaitan dengan upaya abortus
criminalis (pengguguran kandungan) karena di dalamnya terdapat unsur
adanya upaya menggugurkan kandungan tanpa adanya indikasi medis. Pasal
351 KUHP tentang Penganiayaan sebagaimana penjelasan Menteri
Kehakiman bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
memberikan penderitaanbadan kepada orang lain atau dengan sengaja untuk
merugikan kesehatan badan orang lain.17
Terkait dengan kealpaan yang menyebabkan mati atau luka-luka dapat dilihat
dari ketentuan Pasal 359 KUHP. Pasal ini terkait dengan penanggulangan
tindak pidana malpraktek kedokteran dapat didakwakan terhadap kematian
yang diduga disebabkan karena kesalahan dokter. Pasal 359 KUHP ini juga
dapat memberikan perlindungan hukum bagi pasien sebagai upaya preventif
mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana malpraktek kedokteran
namun perlu juga solusi untuk menghindarkan dokter dari rasa takut yang
berlebihan dengan adanya pasal ini. Pasal 360 KUHP, rumusan dalam Pasal
359 dan Pasal 360 KUHP menyebutkan tentang cacat, luka – luka berat
maupun kematian yang merupakan bentuk akibat dari perbuatan petindak
sehingga dari sudut pandang subjektif sikap batin petindak disini termasuk
dalam hubungannya dengan akibat perbuatannya.18

17
Anny Isfandyarie. op.cit. hal. 134
18
Adami Chazawi. 2001. Kejahatan Terhadap Pemalsuan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 125
Pasal 361 KUHP yang merupakan pasal pemberatan pidana bagi pelaku dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencaharian dalam hal ini jabatan profesi
sebagai dokter, bidan dan juga ahli obat-obatan yang harus berhati-hati dalam
melakukan pekerjaannya karena apabila mereka lalai, sehinga mengakibatkan
kematian bagi orang lain atau orang tersebut menderita cacat, maka
hukumannya dapat diperberat 1/3 dari Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP. Pasal
304 KUHP, Pasal 306 ayat (2) KUHP “kalau salah satu perbuatan yang
diterangkan dalam Pasal 304 mengakibatkan orang mati, si tersalah itu
dihukum penjara paling lama sembilan tahun”.
Terkait dengan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 338, 340, 344, 345, 359, KUHP yang dapat dikaitkan dengan
euthanasia, apabila dihubungkan dengan dunia kesehatan sebagai upaya
penanggulangan tindak pidana malpraktek di Indonesia menegaskan bahwa
euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang.
Termasuk juga dengan euthanasia aktif dengan permintaan.
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Adapun kebijakan formulasi hukum pidana terkait dengan penanggulangan
tindak pidana malpraktek medis dapat dilihat dari ketentuan Pasal 29 UU
Kesehatan yang berkaitan dengan dengan kelalaian, disebutkan bahwa “Dalam
hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi”. Berkaitan dengan perlindungan pasien dapat dilihat dari ketentuan
Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 UU Kesehatan. Terkait dengan transplantasi organ
dapat dilihat dari ketentuan Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, apabila terjadi
pelanggaran atas ketentuan pasal tersebut maka dapat dijatuhi sanksi pidana
sesuai ketentuan Pasal 192 UU Kesehatan yang menyatakan : “Setiap orang
yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan
dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Ketentuan mengenai aborsi
sebagaimana diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77 UU Kesehatan bagi
yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi sebagaimanaditetapkan
dalam ketentuan Pasal 194 UU Kesehatan bahwa “Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”
c. Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Adapun ketentuan yang berkaitan dengan penanggulangan tindak pidana
malpraktek kedokteran pada Undang – Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran dapat dilihat dalam Pasal 51 UU Praktik Kedokteran
mengenai kewajiban dari dokter dan dokter gigi, Pasal 75, Pasal 77 UU
Praktik Kedokteran yang berlaku bagi orang yang bukan dokter yang dengan
sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah – olah dokter yang telah memiliki
SIP atau STR ( Surat izin praktik atau Surat Tanda Registrasi ), Pasal 78, Pasal
79, Pasal 80 UU Praktik Kedokteran.
Menurut ketentuan Pasal 80 ayat (1) dan (2) UU Praktik Kedokteran tersebut
dapat diartikan bahwa sanksi pidana yang tercantum di dalam pasal 80 ayat (1)
dan ( 2 ) UU Praktik Kedokteran dapat dikenakan kepada perorangan yang
memiliki sarana pelayanan kesehatan yang mempekerjakan dokter tanpa SIP.
Selain itu, korporasi yang memiliki sarana pelayanan kesehatan yang
mempekerjakan Dokter yang tidak mempunyai SIP juga dapat dikenakan
pidana. Menganalisa pada ketentuan Pasal 75 (1), Pasal 76, Pasal 79 huruf a
dan Pasal 79 huruf c sebelum putusan mahkamah konstitusi materi muatan
yang terdapat di dalam UU Praktik Kedokteran telah menimbulkan
kriminalisasi terhadap tindakan dokter yang berpraktik kedokteran yang tidak
dilengkapi STR, SIP dan tidak memasang papan nama, serta tidak menambah
ilmu pengetahuan dengan ancaman pidana yang cukup berat dan denda yang
sangat tinggi. Hal demikian, dapat menimbulkan rasa takut bagi dokter di
dalam melakukan pengobatan terhadap pasien.

C. CONTOH KASUS
Kasus di Medan dalam Perkara Nomor 417/Pdt.G/2012/PN.Mdn yang menimpa
Mariani Sihombing di Medan Sumatera Utara, ia mendatangi seorang dokter spesialis
kandungan untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Karena kesalahan atau
kelalaian dokter dalam operasi menyebabkan pasien mengalami cacat seumur hidup.
Dimana para pihak dalam perkara ini adalah Mariana Sihombing sebagai pasien atau
penggugat, dr. Hotma Partogi Pasaribu, SpOG sebagai Tergugat I, Pimpinan Rumah
Sakit Santa Elisabeth sebagai Tergugat II dan dr. Paulus Damanik, SpOG sebagai
Turut Tergugat.
Adapun uraian kasus ibu Mariani Sihombing sebagai berikut, ibu Mariani Sihombing
berobat pada dr. Paulus Damanik, SpOG berpraktik di Kota Pematang Siantar,
keluhannya, yaitu jika ia Haid (menstruasi) darahnya bergumpal seperti bluiding dan
lamanya haid 2 hingga 3 hari, sehingga dilakukan pemeriksaan USG dan hasilnya
ditemukan adanya myomas uteri (pembesaran otot-otot rahim), yang harus dibuang
melalui tindakan operasi. Dan ia menyetujui saran dari dr. Paulus Damanik, SpOG
untuk dilakukannya operasi, namun pada saat pemeriksaan Hb (Hemoglobin) rendah,
oleh karenanya tidak dimungkinkannya dilakukan tindakan operasi. Untuk itu Hb
harus dinaikkan melalui transfusi darah. dr. Paulus Damanik, SpOG merujuk Mariani
Sihombing kepada dr. Hotma Partogi Pasaribu, SpOG yang berpraktek pada Rumah
Sakit Santa Elisabeth Medan. Pada tanggal 27 Mei 2009 dr. Hotma Partogi Pasaribu,
SpOG melakukan tindakan operasi pada Mariani Sihombing. Setelah tindakan operasi
Mariani Sihombing tidak mengeluarkan urine di kateter, sampai keesokan harinya. dr.
Hotma Partogi Pasaribu, SpOG melakukan USG terhadap Mariani Sihombing dan
hasilnya ada penyumbatan, kemudian dilakukan kembali operasi untuk kedua kalinya.
Namun, setelah 3 (tiga) hari dan selanjutnya, ada urine dari vagina (seperti beser).
Setelah 25 hari dirawat di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Mariani Sihombing
memutuskan untuk pindah ke Rumah Sakit Columbia Asia- Medan. Di rumah sakit
tersebut dilakukan pemeriksaan oleh dr. J.S. Khoman, SpOG dan hasil pemeriksaan
menyebutkan ada kanker dan perlu untuk dirawat untuk kemoterapi dan radiasi.
Namun karena sering beser, kemo tidak jadi dilaksanakan. Kemudian, Mariani
Sihombing dipindahkan ke Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta sesampainya di Rumah
Sakit PGI Cikini, Mariani Sihombing ditangani oleh dr. Eben Ezer Siahaan, SpU. Dan
selama 2 (dua) minggu dilakukan pemeriksaan ulang terhadap dirinya dan dioperasi,
setelah 2 (dua) jam operasi dilaksanakan, ternyata ditemukan hasil operasi yang
pernah dilakukan di Medan yaitu adanya 2 (dua) robekan sebesar jempol dan tidak
mungkin diperbaiki lagi serta masih adanya kelenjar yang belum bersih. Sejak saat
itu sampai dengan sekarang memakai pasien kateter ginjal dan sudah berulangkali
melakukan pergantian selang kateter ginjal serta sudah 25 (dua puluh lima) kali
radiasi luar dan 2 (dua) kali radiasi dalam yang telah mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit jumlahnya.
Karena perbuatan dokter yang telah melakukan operasi pengangkatan rahim terhadap
pasien merupakan perbuatan melawan hukum, pasien mengalami kerugian baik secara
materil maupun immateril/moral. Kerugian immateril atau moral adalah sebagai
akibat tindakan dan perbuatan dokter tersebut yang menyebabkan pasien mengalami
cacat seumur hidup yang berimplikasi terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan
pasien mengalami gangguan maupun dalam pekerjaan pasien. Kerugian immateril ini
tidak dapat dinilai dengan uang akan tetapi dalam perkara ini patut dan beralasan
hukum untuk ditetapkan sebesar Rp. 5000.000.000,- (lima milyar rupiah).
Dengan kata lain, jumlah kerugian yang dialami pasien baik secara materi maupun
immateril adalah sebesar Rp. 5.021.300.524,- ditambah Rp. 5.000.000.000,- sama
dengan Rp. 10.021.300.524,- (sepuluh miliar dua puluh satu juta tiga ratus ribu lima
ratus dua puluh empat rupiah). Dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Medan, pada
perkara No.417/Pdt.G/2012/PN.Mdn ini, hakim menyatakan bahwa tergugat 1 dan
tergugat 2 telah melakukan tindakan perbuatan melawan hukum, serta menghukum
tergugat 1 dan tergugat 2 secara tanggung renteng membayar ganti kerugian immateril
kepada penggugat sebesar Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Terjadinya
kesalahan atau kelalaian dokter dalam penanganan medis, berakibat terjadinya
kerugian yang dialami oleh pihak pasien. Diharapkan para dokter dan tenaga
kesehatan lainnya harus berhati-hati dan menjalankan tanggungjawabnya sebaik
mungkin.
Banyaknya kasus malpraktik yang terjadi dalam proses penanganan medis
menjadikan masyarakat lebih waspada dan kritis dalam menjalani proses pelayanan
medik dan tidak mau lagi menerima begitu saja cara pengobatan seperti yang
dilakukan sebelumnya. Pada dasarnya pertanggungjawaban perdata dokter bertujuan
untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh pasien akibat adanya
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dari tindakan kedokteran.

D. KESIMPULAN
1. Dokter dikatakan telah melakukan suatu kesalahan/kelalaian apabila tidak
bertindak sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang timbul dari profesinya atau
berperilaku tidak sesuai dengan patokan umum mengenai kewajaran yang di
harapkan dari sesama rekan profesi dalam keadaan yang tepat dan sama . Seorang
dokter juga dikatakan telah melakukan kesalahan profesional, apabila dia
memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-hal yang
akan diperiksa, dinilai, diperbuat atau ditinggalkan oleh para dokter pada
umumnya di dalam situasi yang sama.
2. Dokter yang telah melakukan malpraktek medik dapat terjadi karena tiga bentuk
kelalaian/kesalahan yaitu Malfeasance yang berarti melakukan tindakan yang
melanggar hukum atau tidak tepat , Misfeasance yang berarti melakukan pilihan
medis yang tepat tapi tidak dilaksanakan dengan tepat dan Nonfeasance yang
berarti tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.
Dapat di simpulkan bahwa dokter yang melakukan malpraktek adalah dokter yang
lalai dalam menjalankan tugasnya atau karna kesalahanya mengakibatkan orang
luka berat atau meninggal, sehingga dapat dikatakan tindakan malpraktek medik
dapat berupa kealpaan dokter yang dalam KUHP terdapat dalam pasal 359-361
tentang kealpaan.

E. SARAN
1. Dokter yang jelas telah melakukan suatu pelanggaran hukum, apalagi telah
terbukti adanya unsur culpa lata (kelalaian yang berat/kasar), seharusnya
diberikan sanksi pidana penjara. Kalau hanya berupa pelanggaran etika yang
dilakukan oleh dokter bolehlah dokter tersebut hanya dikenakan sanksi
administrasi berupa teguran, baik lisan maupun tertulis, pencabutan ijin praktek,
sementara maupun selamanya, sampai juga pada pemecatan dokter tersebut.
2. Dokter sebagai subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Oleh karena
itu, dokter yang telah lalai dalam pemenuhan kewajibannya wajib untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum menurut peraturan
yang berlaku. Karena pelaksanaan tugas dokter berhadapan dengan jiwa manusia,
maka dokter tersebut harus di pidana

DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2001. Kejahatan Terhadap Pemalsuan. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Hal : 125
Amri Amir. 1997. Bunga Rampai Hukum Kesehatan. Widya Medika. Jakarta. Hal : 53
Anny Isfandyarie. 2005. Malpraktek dan Resiko Medik. Prestasi Pustaka. Jakarta.
Hal : 9
Anonimous. 2013. UURI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Laksana.
Yogyakarta. Hal : 14
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom. 2008. Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal : 46
M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.
Kedokteran EGC. Jakarta. Hal : 87
Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat. Refika Aditama. Bandung. Hal : 48
Ninik Mariyanti. 1998. Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan
Perdata. Bina Aksara. Jakarta. Hal : 75-76
Suryono Ekotama, ST.Harum Pudjiartono. RS dan G. Widiartana. 2001. Abortus
Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana.
Universitas Atmajaya. Jakarta. Hal : 96
Syahrul Machmud. 2012. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter
Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek. Karya Putra Darwati. Bandung. Hal : 1
UURI No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai