Anda di halaman 1dari 6

REVIEW UNDANG-UNDANG MINERBA

Berlakunya ketentuan berdasar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu
Bara (minerba) yang disahkan Presiden Jokowi pada tanggal 10 Juni 2020, ternyata tidak berlangsung
lama. Hanya berselang 4 bulan, yaitu pada 10 November 2020, kemudian ditetapkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang biasa dikenal sebagai Undang-undang Omnibus Law.
Memang tidak semua ketentuan dalam Undang-Undang sebelumnya diganti seluruhnya dengan
Undang-Undang Cipta Kerja. Namun pengesahan suatu Undang-Undang, yang ternyata empat bulan
berikutnya dilakukan perubahan, menunjukkan terdapat kekurangefektivan proses perencanaan yang
dilakukan pemerintah maupun legislatif.
Sebelum melanjutkan review, sedikit menceritakan pengalaman unik saat penulis akan menulis
review ini. Awalnya penulis ragu-ragu dengan cara penulisan kata “batu bara”, yaitu apakah “batu bara”
atau “batubara.” Ternyata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diperoleh entri “batu bara” (cara
penulisan dipisahkan). Dalam entri tersebut ditambahkan penjelasan arti batu bara yaitu “arang yang
diambil dari dalam tanah, berasal dari tumbuhan darat, tumbuhan air, dan sebagainya yang telah
menjadi batu.” Menariknya, ternyata pada semua peraturan yang ada, penulisan “batu bara” disatukan
sebagai satu kata “batubara.” Kondisi ini sempat menjadi sorotan seorang Netizen di twitter yang
menyayangkan kesalahan tersebut. Penulis ikut menyayangkan juga. Bagaimana kita bisa berharap
masyarakat dapat menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, sementara pemerintah
sendiri malah memberi contoh penggunaan yang salah.
Review ini dilakukan untuk mengkaji jangan-jangan dari sisi substansi-pun, undang-undang
minerba yang baru, juga mengandung kesalahan. Beberapa review pihak lain sudah menyampaikan
potensi kesalahan-kesalahan tersebut.
Pertama, review dari DSLA Law Firm (2021) menyampaikan bahwa Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 jo Nomor 3 Tahun 2020 menganut paham ultimum remedium. Dengan konsep tersebut
maka dapat dimengerti apabila menurut Undang-Undang tersebut sanksi yang dikenakan kepada
pelanggar, cenderung berupa sanksi administratif dibanding menjatuhi sanksi pidana. Secara garis besar,
pasal-pasal dalam UU Minerba memuat 2 macam sanksi, yakni sanksi administratif dan sanksi pidana.
DSLA Law Firm juga menyoroti tentang mengapa dibutuhkan Undang-Undang Minerba. Kutipan
pendapat DSLA Law Firm (2021) adalah sebagai berikut:

“UU Minerba terbaru sangat dibutuhkan karena berbagai alasan:


1. Mendorong peningkatan nilai tambah produk pertambangan guna menguatkan daya saing
dengan negara lain. Tujuannya agar Indonesia mampu terbebas menjadi penghasil bahan
mentah saja.
2. Negara banyak merugi karena unreporting transaction dari pertambangan raksasa yang nilainya
triliunan rupiah.
3. Lemahnya perlindungan terhadap lingkungan dan menciptakan sumber daya ramah lingkungan.
4. Harus ada sanksi tegas terhadap pelanggar yang menimbulkan efek jera. Serta undang-undang
harus melindungi hak-hak masyarakat kecil yang tinggal disekitar daerah tambang.
Secara idealis UU Minerba dibutuhkan untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Jumlah area
pertambangan di Indonesia cukup luas. Jadi, keberadaan UU Minerba disinyalir mampu mendorong
hilirisasi produk pertambangan yang dijadikan batu pijak reindustrialisasi.”

Review kedua diuraikan oleh Kompas.com (2020). Saat menginformasikan tentang telah
disahkannya perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, dalam Rapat Paripurna
yang digelar tanggal 12 Mei 2020, disampaikan juga adanya sejumlah poin penting yaitu kewenangan
perizinan, perpanjangan izin, pengaturan terhadap Izin Pertambangan Rakyat (IPR), aspek lingkungan,
hilirisasi, divestasi, hingga pengaturan yang diklaim untuk memperkuat badan usaha milik negara
(BUMN). Menurut Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto, perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009
diperlukan karena peraturan tersebut masih belum dapat menjawab perkembangan, permasalahan dan
kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan pertambangan minerba. Jadi menurut Ketua Komisi VII,
Undang-Undang minerba masih perlu disinkronkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
terkait agar dapat menjadi dasar hukum yang efektif, efisien, dan komprehensif dalam penyelenggaraan
pertambangan. Seakan menjawab kritikan kita di atas tentang kurang terencananya penyusunan
peraturan perudangan, Ketua Komisi VII juga menambahkan bahwa revisi UU Minerba telah
disinkronisasi dengan RUU Cipta Kerja. Namun, kenyataannya UU Cipta Kerja masih merevisi beberapa
pasal UU Minerba, klaim Ketua Komisi VII menjadi meragukan.
Lebih lanjut menurut Kompas.com (2020), poin pertama perubahan UU minerba, yaitu bahwa
pemerintah dan DPR menyepakati penguasaan minerba diselenggarakan oleh pemerintah pusat melalui
fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan. Selain itu, pemerintah pusat
mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi, penjualan dan harga mineral logam,
mineral bukan logam jenis tertentu dan batubara. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Arifin Tasrif, meski kewenangan pengelolaan pertambangan diselenggarakan oleh pemerintah
pusat, namun diatur pula bahwa terdapat jenis perizinan yang akan didelegasikan kepada pemerintah
daerah, misalnya perizinan batuan skala kecil dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Pertimbangan penarikan kewenangan pengelolaan minerba ke pemerintah pusat, menurut
Menteri ESDM adalah untuk mengendalikan produksi dan penjualan, terutama logam dan batubara,
sebagai komoditas strategis untuk ketahanan energi serta suplai hilirisasi logam. Menteri ESDM
menjamin, penarikan kewenangan perizinan tidak akan mempengaruhi pendapatan daerah yang berasal
dari Dana Bagi Hasil (DBH) Pertambangan.
Poin kedua perubahan UU minerba, menurut Kompas.com (2020), yaitu perpanjangan izin
operasi. Revisi UU Minerba ini menjamin adanya kelanjutan Operasi Kontrak Karya (KK)/Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi dengan
mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara. Tak hanya KK dan PKP2B yang
mendapatkan jaminan kelanjutan operasi, pemegang izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus
(IUPK) pun menghirup angin segar yang sama. Dalam UU Minerba yang lama, perpanjangan izin
tercantum dengan klausula "dapat diperpanjang." Pada revisi UU Minerba 2020 ini klausul diperpanjang
ini diganti dengan "dijamin." Pengaturan tersebut dapat dilihat padal Pasal 47, Pasal 83 dan Pasal 169,
Pasal 169 A dan Pasal 169 B.
Poin ketiga revisi UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba adalah peningkatan nilai tambah
(hilirisasi). Revisi UU Minerba ini masih mengatur terkait dengan hilirisasi melalui kegiatan pengolahan
dan pemurnian di dalam negeri, khususnya untuk pemegang izin di subsektor mineral. Juga dengan
kewajiban untuk membangun fasilitas pemurnian paling lambat tahun 2023. Sejumlah insentif pun
dikucurkan untuk menyokong proyek hilirisasi ini. Antara lain dengan jangka waktu perizinan untuk IUP
atau IUPK yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian logam atau kegiatan
pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun
dan diberikan perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan.
Review cukup keras disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Dalam artikel
mereka yang menginformasikan proses yudisial review atas UU No 4 Tahun 2020 tentang Minerba ini,
Walhi (2021) menyampaikan empat resiko yang akan dialami oleh masyarakat akibat adanya UU
Minerba ini. Resiko pertama, menurut WALHI (2020) adalah masyarakat tidak Lagi bisa mengajukan
protes kepada Pemerintah Daerah akibat beroperasionya suatu perusahaan tambang yang mencemari
lingkungan. Sebelum UU No. 4 Tahun 2009 dihapus dan digantikan dengan UU Nomor 3 Tahun 2020, jika
terdapat perusahaan atau perorangan yang akan melakukan aktivitas pertambangan di suatu daerah,
maka mereka harus mengajukan izin terlebih dahulu kepada Pemda Kabupaten atau Kota setempat.
Selanjutnya Pemda di tiap lokasi pertambangan bertugas untuk melakukan pembinaan, penyelesaian
konflik bahkan pengawasan usaha pertambangan tersebut.
Dengan berpindahnya kewenangan izin dari Pemda kepada Pemerintah Pusat, maka peran Pemda
sebagai mediator, jika ada konflik antara masyarakat dengan perusahaan tambang, tidak lagi dapat
dilakukan. Dulu, jika ada laporan masyarakat tentang pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan
tambang, dan memang terbukti perusahaan bersalah, maka Pemda memiliki kewenangan untuk
menghentikan sementara bahkan mencabut Ijin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut.
Jadi saat ini masyarakat yang hendak melakukan protes terkait aktivitas tambang di daerahnya,
harus melapor ke pemerintah pusat atau minimal pemerintah provinsi. Padahal sejauh ini lokasi
tambang kebanyakan ada di daerah terpencil bahkan luar Jawa. Aturan ini menurut WALHI sangat jauh
dari logika tata kelola pemerintahan yang baik, karena masyarakat yang tinggal di wilayah
pertambangan tidak bisa berbuat banyak ketika lingkungannya rusak akibat ulah perusahaan tambang.
Resiko kedua menurut Walhi (2021) adalah resiko masyarakat dituntut pidana apabila menolak
perusahaan tambang. Masyarakat daerah yang dirugikan akibat aktivitas perusahaan tambang yang
merusak ruang hidupnya bukan hanya tidak bisa lagi melapor ke Pemda, tetapi juga bisa bisa dilaporkan
balik oleh perusahaan dan dijatuhi pidana, bahkan denda hingga sebesar 100 juta rupiah (Pasal 162 UU
Minerba No. 3 Tahun 2020).
Resiko ketiga, menurut Walhi (2021), yaitu bahwa perusahaan tambang masih bisa beroperasi
meskipun terbukti merusak lingkungan. Berdasarkan aturan perbaikan lahan bekas tambang, terdapat
dua kegiatan perbaikan yang terpisah oleh perusahaan tambang, yakni reklamasi dan pascatambang.
Reklamasi yaitu aktivitas untuk memulihkan ekosistem supaya bisa berfungsi kembali seperti sedia kala.
Sedangkan pascatambang yakni aktivitas perbaikan lahan bekas tambang untuk memulihkan kembali
fungsi lingkungan, dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Dengan
aturan UU No. 4 Tahun 2009, perusahaan tambang wajib melakukan semua kegiatan Reklamasi dan
Kegiatan Pascatambang sekaligus menyetor dana jaminan Reklamasi dan Pascatambang. Meskipun ada
aturan seperti ini, nyatanya di lapangan masih saja banyak terjadi pelanggaran berupa lubang-lubang
bekas tambang batubara dibiarkan terbuka dan menjadi danau raksasa yang menelan korban jiwa.
Penyampaian dari Walhi (2021) ini sejalan dengan poin-poin tentang UU MInerba menurut Kompas dot
com (2020) yang telah diuraikan di atas.
Dalam UU Minerba yang baru Pasal 96 huruf b, kewajiban perusahaan dalam perbaikan lahan
bekas tambang sekarang ini cukup mengerjakan salah satu kewajiban perbaikan saja. Perusahaan
tambang bisa bebas memilih antara Kegiatan Reklamasi atau Kegiatan Pascatambang. Kemudian,
perusahaan yang
terbukti abai dan tidak melaksanakan reklamasi ataupun kegiatan pascatambang, ternyata tetap
bisa memperpanjang ijin kontraknya. Bahkan sesuai dengan UU Minerba Pasal 169A, dengan dalih
meningkatkan penerimaan negara, pemerintah malah memberi jaminan perpanjangan kontrak berupa
KK dan PKP2B sebanyak 2 kali 10 tahun.
Resiko keempat menurut Walhi (2021) yaitu bahwa perusahaan tambang bisa mengeruk
Keuntungan sebanyak mungkin kekayaan alam daerah karena mendapat jaminan royalti 0%. Dapat
diakatakan UU Minerba No. 3 Tahun 2020 pemerintah secara gamblang memberi lampu hijau bagi
pelaku kegiatan eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan di bumi Indonesia dengan bebas biaya.
Dalam Pasal 128A Naskah UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 pengganti UU Minerba, dijelaskan bahwa
pelaku usaha yang bisa meningkatkan nilai tambah batu bara akan mendapat perlakuan istimewa
berupa pengenaan royalti sebesar 0%. Padahal selama ini royalti yang ditentukan oleh pemerintah pada
pengusaha tambang merupakan bagian pendapatan negara dan masuk sebagai pendapatan daerah
melalui mekanisme Dana Bagi Hasil.
Sebagai tambahan informasi, di atas dijelaskan bahwa tidak semua materi UU Nomor 3 Tahun
2021 tentang Minerba diubah dengan UU Cipta Kerja. Kalau kita lihat UU Cipta Kerja, tentang Minerba
disampaikan pada paragraph 5. Isi pasal-pasal di paragraph tersebut tidak hanya mengubah UU
Minerba, tapi peraturan lainnya terkait minerba. Berikut kutipan isi pasal yang mengubah UU Minerba.
“Paragraf 5
Energi Dan Sumber Daya Mineral
Pasal 38
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan
Perizinan Berusaha dari sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, UndangUndang ini mengubah,
menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4959) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2O2O tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor I47, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6525);
b. dst.
Pasal 39
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4959) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2O2O tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2o2o Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525) diubah sebagai berikut:
(1) Di antara Pasal 128 dan 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal I28A sehingga berbunyi sebagai
berikut:
(1) Pasal l28A
Pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal lO2 ayat (2), dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128.
(2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat berupa pengenaan royalti
sebesar 0% (nol persen).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 162
Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP,
IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F
huruf b dan Pasal 136 ayat (21 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp100.O00.000,00 (seratus juta rupiah).”

Referensi

DSLA Law Firm. (2021). UU Minerba dan Pengaruh Terhadap Pertambangan Indonesia.
https://www.dslalawfirm.com/undang-undang-minerba/
Kompas dot com. (2020). Poin-Poin Penting UU Minerba Baru (p. 2 hal).
https://money.kompas.com/read/2020/05/13/152543126/ini-poin-poin-penting-dalam-uu-
minerba-yang-baru-disahkan?page=all
Walhi. (2021). Menyoal 4 Masalah UU Minerba yang Merugikan Masyarakat Luas (p. 1).
https://www.walhi.or.id/menyoal-4-masalah-uu-minerba-yang-merugikan-masyarakat-luas

Anda mungkin juga menyukai