Anda di halaman 1dari 82

DIKTAT

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA

Disusun Oleh:
Dr. Ali Masyhar, S.H., M.H.
Muhammad Azil Maskur, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018
0
BAB I
PENDAHULUAN

Sebelum pada pembahasan, perlu penyusun sampaikan bahwa beberapa


pembahasan dalam Diktat ini merupakan saduran langsung dari Buku
Perbandingan Hukum Pidana Karya Prof. Barda Nawawi Arief, S.H, terutama
pada BAB I dan BAB II

A. Riwayat Perkembangan Perbandingan Hukum Pidana

Menurut Rene David, perbandingan hukum merupakan ilmu yang setua ilmu
hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan baru pada
abad-abad terakhir ini. Demikian pula Adolf F. Schnitzer mengemukakan, bahwa
baru pada abad ke-19 perbandingan hukum itu berkembang sebagai cabang
khusus dari ilmu hukum.
Perkembangan pada abad ke-19 perbandingan hukum itu terutama terjadi di
Eropa (khususnya Jerman , Perancis, Inggris), dan Amerika. Pada mulanya minat
terhadap studi perbandingan hukum bersifat perseorangan , seperti dilakukian oleh
Montesquieu (Perancis), Mansfield (Inggris). Dan Von Feuerbach, Thibaut dan
Gans (di Jerman).
Kemudian berkembang dalam bentuk kelembagaan. Di Prancis misalnya pada
tahun 1832 berdiri Institut Perbandingan Hukum di College de France, dan tahun
1846 berdiri Institut Perbandingan Hukum dan University of Paris (di bawah
pengawasan House of Common) mengajukan rekomendasi agar di Perguruan-
perguruan Tinggi di Inggris dibentuk institut tentang perbandingan hukum. Usul
ini berhubungan erat dengan perkembangan kerajaan Inggris yang menghadapi
berbagai sistem hukum asing di negara-negara jajahan (misal Hukum Hindu di
India). Usul tersebut baru terwujud pada 1869 dengan terbentuknya
badan/lembaga Historical adn Comparative Jurisprudence di Oxford dengan
ketuanya Prof. Gutteridge, Bapak (pelopor) dan Comparative Law ialah
Montesqueiu karena dialah yang pertama kali menyadari bahwa “The Rule of Law

0
tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang abstrak, tetapi harus dipandang
sebagai suatu latar belakang historis dari lingkungan di mana hukum itu
berfungsi”
Sejak permulaan abad ke-20 perbandingan hukum berkembang sangat pesat.
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dunia pada abad ke-19 dan
permulaan abad ke-20, khususnya di Eropa. Pada waktu itu terjadi konferensi-
konferensi internasional di Den Haag mengenai hukum internasioanalyang
menghasilkan traktat-traktat dilapangan transpor kereta api , pos, hak cipta, hak
milik industri , dan sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan itu dimungkinkan dan
dipersiapkan oleh studi perbandingan hukum . Oleh karena itu, studi ini dianggap
demikian penting sehingga ditarik kesimpulan, bahwa perbandingan hukum
merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sehubungan dengan hal
ini Rene David menyatakan, bahwa saat ini studi menngenai perbandingan hukum
telah diakui sebagai bagian yang penting/diperlukan dari ilmu hukum dan
pendidikan hukum.
Dalam perkembangan sekarang, perbandingan hukum tidak mempunyai objek
tersendiri, tetapi mempelajari hubungan-hubungan sosial yang telah menjadi objek
studi dari cabang-cabang hukum yang telah ada. Jadi lebih merupakan suatu
metode keilmuan/penelitian dalam memahami objek ilmu hukum.

B. Istilah dan Pengertian Perbandingan Hukum

Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum ini, antara lain:
Comparative Law, Comparative Jurisprudence, Foreigen Law (istilah Inggris);
Dorit Compare (istilah Prancis); Rechtsvergelijking (istilah Belanda); dan
Recthtsvergleicung atau Verglechende Rechehre (istilah Jerman).
Ada pendapat yang membedakan antara Comparative Law dengan Foreign
Law, yaitu:
(1). Comparative law: Mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud
untuk membandingkannya;

1
(2). Foreign Law: Mempelajari hukum asing dengan maksud semata mata
mengetaui sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata
bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem hukum yang lain
Didalam Black‟s Law dictionary dikemukakan, bahwa Comparative
Jurisprudence ialah suatu studi mengenai prinsip prinsip ilmu hukum dengan
melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum (the study of principles
of legalscience by the comparison of various system of law)
W. Ewald (dalam Esin Orucu, Critical Comparative Law) mengemukakan,
bahwa perbandingan hukum pada hakikatnya merupakan kegiatan yang bersifat
filosofis (Comparative Law is an essentially philosophical activity). Perbandingan
hukum adalah suatu studi atau kajian perbandingan mengenai konsepsi-konsepsi
intelektual (intellectual conceptions) yang ada dibalik institusi/lembaga hukum
yang pokok dari satu atau beberapa sistem hukum asing.
Prof. Jaakko Husa ( Elger Encyclopedia of Comparative Law, 2006),
membedakan antara “macro comparative law dan micro comparative law.
Perbandingan hukum mavro, lebih berfokus pada masalah-masalah atau tema-
tema besar/luas, seperti masalah sistematika, penggolongan dan pengklasifikasian
sistem hukum; sedangkan perbandingan hukum micro, berkaitan dengan aturan-
aturan hukum, kasus-kasus, dan lembaga-lembaga yang bersifatkhusus/actual.
Dalam menjelaskan perbandingan sistem hukum (Legal system), Jaakko Husa
mengemukakan , bahwa “Legal system” dapat dilihat dalam arti sempit dan dalam
arti luas. Dalam arti sempit “Legal system” adalah sitem hukum formal dari
berbagai negara; sedangkan dalam arti luas “Legal system” tidak hanya mencakup
aturan, lembaga, jurisprudensi, dan doktrin-doktrin hukum, tetapi juga mencakup
berbagai unsur hubungan sosial, faktor sejarah, ideologi, budaya, dan tradisi.
Dari pengertian di atas sangatlah jelas, bahwa perbandingan hukum
sangat penting dan diperlukan dalam memahami ilmu hukum. R.H.S. Tur (The
dialectic of General Jurisprudenceand Comparative Law‟.1977, dalam Esin
Orucu, Critical Comparative Law), mengemukakan, bahwa ilmu hukum umum
(general jurisprudence) dan perbandingan hukum (Comparative Law), merupakan
dua sisi mata uang yang sama (a different sides of the som coin). Ilmu hukum

2
umum (general jurisprudence) tanpa perbandingan adalah kosong dan formal
(empty and formal); sebaliknya perbandingan tanpa ilmu hukum adalah buta dan
tidak dapat membeda-bedakan.

C. Perbandingan Hukum Sebagai Suatu Metode Penelitian/Keilmuan

Rudolf D. Schlessinger dalam bukunya (comparative law 1959)


mengemukakan antara lain :
(1). Comparative Law merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.
(2). Comparative Law bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas hukum,
bukan suatu cabang hukum (is not a body of rules and principles);
(3). Comparative Law adalah teknik atau cara menggarap unsur hukum asing yang
aktual dalam suatu masalah hukum (is the technique of dealing with actual
foreign law elements of a legal problem).
Bertolak dari pengertian demikian, maka tepatlah digunakan istilah
perbandingan hukum dan bukan hukum perbandingan seperti dikemukakan Dr.
G Guitens –Bourgois sebagai berikut:
“Perbandingan hukum adalah suatu metode perbandingan yang
diterapkan pada ilmu hukum. Perbandingan hukum bukanlah ilmu hukum,
melainkan hanya suatu metode studi , suatu metode untuk meneliti sesuatu, suatu
cara kerja, yakni perbandingan. Apabila hukum itu sendiri atas seperangkat
peraturan , maka jelaslah bahwa “hukum perbandingan”(vergelijkende recht) itu
tidak ada . Metode untuk membanding-bandingkan hukum dari berbagai sistem
hukum tidak mengakibatkan perumusan-perumusan aturan-aturan yang berdiri
sendiri, tidak ada aturan hukum perbandingan.”
Perbandingan hukum mengandung suatu metode mengandung arti,
bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memmahami suatu objek
atau masalah yang diteliti. Oleh karena itu, sering digunakan istilah metode
perbandingan hukum.

3
Perbandingan hukum sebagai suatu metode dikemukakan pula oleh Dr.
Sunaryati Hartono dan Prof. Dr. Van Apeldoorn. Menurut Sunaryati Hartono :
“Perbandingan hukum bukanlah suatu bidang hukum tertentu seperti misalnya
hukum tanah, hukum perburuhan atau hukum acara, akan tetapi sekedar
merupakan cara penyelidikan suatu metode untuk membahas suatu persoalan
hukum, dalam bidang manapun juga. Jika kita hendak membahas persoalan
persoalan yang terletak dalam bidang hukum perdata atau hukum pidana , atau
hukum tata negara mau tidak mau kita harus terlebih dahulu membahas persoalan
persoalan umum secara perbandingan hukum yang merupakan dasar dari
keseluruhan sistem hukum dan ilmu hukum itu.“
Menurut van Apeldoorn: “Objek ilmu hukum adalah hukum sebagai
gejala kemasyarakatan. Ilmu hukum tidak hanya menjelaskan apa yang menjadi
ruang lingkup dari hukum itu sendiri, tetapi juga menjelaskan hubungan gejala
gejala hukum dengan gejala sosial lainnya. Untuk mencapai tujuannya itu, maka
digunakan metode sosiologis, sejarah, dan perbandingan hukum.
- metode sosiologis dimaksudkan untuk meneliti hubungan antara hukum
dengan gejala-gejala sosisal lainnya;
- metode sejarah, untuk meneliti perkembangan hukum, dan
- metode perbandingan hukum, untuk membandingkan berbagai tertib hukum
dari bermacam-macam masyarakat.”
Sehubungan dengan yang dikemukakan Apeldoorn di atas, Prof. Dr.
Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa ketiga metode tersebut saling
berkaitan dan hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan :
Metode sosiologis tidak dapt diterapkan tanpa metode sejarah, karena
hubungan anatara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya merupakan hasil dari
suatu perkembangan (dari zaman dahulu); metode perbandingan hukum juga tidak
boleh diabaikan karena hkum merupakan gejala dunia.
Metode sejarah juga memerlukan bantuan dari metode sosiologis, karena
perlu diteliti faktor faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan hukum.
Metode perbandingan tidak akan membatasi diri pada perbandingan yang
bersifat deskriptif, tetapi juga diperlukan data tentangberfungsinya atau efektivitas

4
hukum sehingga diperlukan metode sosiologis . juga diperlukan metode sejarah
untuk mengetahui perkembangan darihukum yang diperbandingkan.
Selanjutnya dikemukakan pula oleh Soerjono Soekanto bahwa dengan
demikian ketiga metode tersebut saling mengisi dalam mengembangkan penelitian
hukum. Seorang ilmuan di bidang hukum yang berhasil menerapkan ketiga
metode tersebut, melakukan penelitian yang sangat berguna dan mendekati
kelengkapan.
Sehubungan dengan yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto di atas,
dapat lebih ditegaskan bahwa metode atau pendekatan yuridis normatif juga
memerlukan pendekatan empiris (sosiologis), historis, dan komparatif. Keempat
metode atau pendekatan itu sangat penting, karena kecenderungan penelitian
hukum masa kini tidak lagi dapat menggunakan hanya satu metode atau satu
pendekatan saja. Ditegaskan oleh Dr. Sunaryati Hartono, bahwa untuk meneliti
satu fenomena sosial sering kali dibutuhkan kombinasi berbagai metode
penelitian, walaupun selalu bertitik tolak dan didominasi oleh satu disiplin ilmu.
Eratnya hubungan antara perbandingan hukum dengan sejarah hukum
dan sosiologi hukum, terlihat pula dari pendapat para sarjana berikut ini :
1. Vander Veiden
Perbandingan hukum sulit dibedakan dari sejarah hukum.
Membedakan perbandingan hukum dari sosiologi hukum lebih sulit lagi.
2. Sir Frederic Polloc (1903)
Tidak ada perbedaan antara (ilmu) sejarah hukum dan (ilmu) perbandingan
hukum keduanya berarti sejarah umum dari hukum
3. Joseph Kuhler
Istilah “sejarah hukum universal” sama dengan “perbandingan hukum”
4. M..x Rheinstein
Dalam bukunya yang berjudul (Pengantar Perbandingan Hukum) ia
mengemukakan bahwa bukunya itu bisa juga digunakan sebagai pengantar
sosiologi hukum.
Ditegaskan olehnya, bahwa apabila perbandingan hukum itu tidak hanya
berusaha atau bermaksud untuk lebih memahami hukumnya sendiri, melainkan

5
mencari kejelasan tentang fungsi sosial dari hukum pada umumnya, maka itu
sebenarnya adalah sosiologi hukum. Perbandingan hukum yang bersifat empiris
ini terutama menggunakan metode fungsional, dan mencari hukum-hukum
(menurut statistik) sehubungan dengan asal mula, pertumbuhan, jatuhnya, maksud
, bentuk dari perwujudan hukum sebagai gejala sosial budaya.
Adanya pendapat-pendapat seperti dikemukakan diatas adalah wajar,
karena memang pada hakikatnya perbandingan hukum, sejarah hukum, dan
sosioogi hukum merupakan bagian dari ilmu hukum, khususnya ilmu tentang
kenyataan atau yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan sosial. Oleh karena
itu, wajar pulalah apabila Hessel E. Yatema menyatakan :
“perbandingan hukum hanyalah nama lain untuk ilmu hukum dan bagian
intregal dari bidang yang lebih luas dari ilmu pengetahuan sosial. Sebab, seperti
cabang ilmu pengetahuan lain ia mepunyai pandangan kemanusiaan yang
universal, ia memandang meskipun tekhniknya berbeda bahwa masalah keadilan
pada dasarnya sama menurut waktu dan tempat diseluruh dunia.”
Akhirnya perlu dikemukakan, bahwa walaupunsama sama bagian dari
ilmu hukum namun ada pendapat, bahwa perbandingan hukum tidak sama dengan
sosiologi hukum. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh G.J Sauveplaane :
“Metode fungsional menambah pada perbandingan hukum suatu dimensi
sosiologis. Ini tidak berarti, bahwa perbandingan hukum sama dengan sosoiologi
hukum. Perbandingan hukum tidak hanya bergerak dibidang empiris, akan tetapi
juga berusaha untuk mencapai tujuan-tujuannya di bidang hukum sendiri, yang
menuju kepada perbandingan dan penilaian kritis bahan yang ditemukan”
Dari beberapa pendapat para sarjana yang dikemukakan di atas, diperoleh
gambaran bahwa :
a. Perbandingan hukum bukan suatu cabang hukum, bukan suatu perangkat
peraturan
b. Perbandingan hukum merupakan cabang ilmu hukum, dan
c. Perbandingan hukum merupakan metode penelitian

6
Mengenai perbandingan hukum sebagai metode penelitian Prof. Dr.
Soerjono Soekanto menegaskan bahwa “dalam penelitian hukum normatif
perbandingan hukum merupakan suatu metode.” Dijelaskan selanjutnya bahwa di
dalam ilmu hukum dan praktik hukum metode perbandingan sering diterapkan.
Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli hukum yang tidak
mempelajari ilmu sosial lainnya, metode perbandingan dilakukan tanpa sistematik
atau pola tertentu. Oleh karena itu, penelitian-penelitian hukum yang
mempergunakan metode perbandingan biasanya merupakan penelitian sosiologi
hukum , antropologi hukum, psikologi hukum dan sebagainya yang merupakan
penelitian hukum empiris. Walaupun belum ada kesepakatan, namun ada beberapa
model atau pradigma tertentu mengenai penerapan metode perbandingan hukum
antara lain :
1. Constantinesco
Ia mempelajari proses perbandingan hukum dalam tiga fase
a. Fase Pertama
Mempelajari konsep-konsep (yang diperbandingkan) dan menerangkannya
menurut sumber aslinya (studying the concepts and examiningthem at
their original source). Mempelajari konsep konsep itu di dalam
kompleksitas dan totalitas dari sumber-sumber hukum dengan
pertimbangan yang sungguh-sungguh, yaitu dengan melihat hierarki
sumber hukum itu dan menafsirkannya dengan menggunakan metode yang
tepat atau sesuai dengan tata hukum yang bersangkutan.
b. Fasa Kedua
Memahami konsep-konsep yang diperbandingkan, yang berarti,
mengintegrasikan konsep-konsep itu ke dalam tata hukum mereka sendiri,
dengan memahami pengaruh-pengaruh yang dilakukan terhadap konsep-
konsep itu dengan menentukan unsur-unsur dari sistem dan faktor di luar
hukum, serta mempelajari sumber-sumber hukum sosial dari hukum
positif.
c. Fase ketiga

7
Melakukan penjajaran (menempatkan secara berdampingan) konsep-
konsep itu untuk diperbandingkan (the juxtaposition of the concepts to be
compared). fase ketiga ini merupakan fase yang agak rumit di mana
metode-metode perbandingan hukum yang sesungguhnya digunakan.
Metode-metode ini ialah melakukan deskripsi, analisis, dan eksplanasi
yang harus memenuhi kriteria: bersifat kritis, sistematis, dan membuat
generalisasi dan harus cukup luas meliputi pengidentifikasian hubungan-
hubungan dan sebab-sebab dari hubungan-hubungan itu.
2. Kamba
Dengan menekankan, bahwa penjelasan mengenai perbedaan-perbedaan
dan persamaan-persamaan merupakan sesuatu yang seharusnya ada pada
perbandingan hukum, ia juga membicarakan tiga fase : deskripsi, analisis, dan
eklsplanasi. Ia menekankan juga pendekatan fungsional dan pendekatan
pemecahan masalah (the functional and problem-solving approaches) sebagai
sesuatu yang sangat diperlukan bagi perbandingan lintas-budaya (closs-
cultural comparison)
(catatan : cross-cultural comaparison ialah memperbandingkan
kebudayaan-kebudayaan yang berbeda).

3. Schmidlin
Ia mengemukakan tiga pendekatan, yaitu :
a. Analisi menurut hukum (legal analysis);
b. Analisis menurut morfologi-struktural;
c. Analisis yang bersifat evolusi-historis dan fungsional (historical
evolutional and functional analysis).
4. Soerjono Soekanto
Perbandingan hukum mungkin diterapkan dengan memakai unsur-unsur
sistem hukum sebagai titik tolak perbandingan. Sistem hukum mencakup tiga
unsur pokok, yakni :
a. Struktur hukum yang mencakup lembaga-lembaga hukum,

8
b. Substansi hukum yang mencakup perangkat kaidah atau perilaku teratur,
dan
c. Budaya hukum yang mencakup perangkat nilai-nialai yang dianut.

Menurut Soerjono Soekantom, perbandingan dapat dilakukan terhadap


masing-masing unsur atau secara kumulatif terhadap semuany. Dengan
metode perbandingan hukum dapat dilakukan penelitian terhadap berbagai
subsistem hukum yang berlaku di suatu masyarakat tertentu atau secara lintas
sektoral terhadap sistem-sistem hukum berbagai masyarakat yang berbeda-
beda.

D. Metode Perbandingan Hukum :Metode Fungsional

Menurut Konrad Zweigert dan Kurt Siehr, perbandingan hukum modern


menggunakan metode yang kritis, realistik, dan tidak dogmatis. Kritis, karena para
comparatist (sarjana perbandingan hukum) sekarang tidak mementingkan
perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan dari berbagai tata hukum (legal
orders) semata-mata sebagai fakta, tetapi yang dipentingkan ialah “apakah
penyelesaian secara hukum atas sesuatu masalah itu cocok, dapat dipraktikkan,
adil, dan mengapa penyelesaian itudemikian. Realistis, karena perbandingan
hukum bukan saja meneliti perundang-undangan, keputusan pengdilan dan
doktrin, tetapi juga semua motif yang nyata menguasai dunia, yaitu yang bersifat
etis, psikologis, ekonomis, dan motif-motif dari kebijakan legislatif. Tidak
dogmatis , karena perbandingan hukum tidak hendak terkekang dalam kekauan
dogma seperti sering terjadi pada tiap tata hukum. Meskipun dogma mempunyai
fungsi sistematisasi, akan tetapi dogma dapat mengaburkan dan menyerongkan
(distort) pandangan dalam menemukan “penyelesaian hukum yang lebih baik.”
Jadi perbandingan hukum menggunakan pendekatan fungsional.
Dijelaskan oleh Zweigert “Seorang sarjana perbandingan hukum terutama tertarik
pada “hakikat sesuatu” (die Nature der Sache). Ia pertama-tama harus
menentukan hakikat perblema yang dihadapi, sebab hanya dengan demikian ia
akan dapat menemukan kaidah hukum yang tepat. Ia tidak dapat memulai

9
pekerjaannya sebelum ia meneteapkan konsep-konsepnya, atau dengan kata lain
menetapkan kategori-kategori fungsi dan bukan kategori-kategori norma.
Misalnya tiap sistem hukum (perdata) harus memecahkan problema yang
menyangkut “penggantian kerugian atau pengembalian kekayaan yang diperoleh
secara tidak sah” (restitution of unjust enrichment). Tetapi tiap sistem mempunyai
caranya sendiri untuk memecahkan problema itu.”
Jadi berbagai sistem hukum hanya dapat dibandingkan selaa sistem-
sistem hukum itu berfungsi untuk menyelessaikan problema-problema sosial yang
sama atau untuk memenuhi kebutuhan hukum yang sama. Dengan demikian,
perbandingan hukum tidak bertitik tolak pada norma-norma hukum, tetapi pada
fungsi-fungsi, yaitu mencari identitas dari fungsi norma-norma hukum itu dalam
penyelesaian problema sosial yang sama.
Sehubungan dengan metode fungsioanal ini , Prof. Soedarto menjelaskan
sebagai berikut :
“Metode ini mempertanyakan apakah fungsi suatu norma atau pranata
(institut) dalam masyarakat tertentu dan apakah dengan demikian fungsi itu
dipenuhi dengan baik atau tidak. Jawaban atas pertanyaan itu tergantung
pada dari perbandingan norma atau lembaga (pranata) dengan norma atau
lembaga di masyarakat-masyarakat lain yang harus memenuhi fungsi yang
sama. Dengan demikian, secara ideal dapat diadakan ramalan, apakah norma
itu perlu dipertahankan, dihapus, atau diubah. Jadi metode fungsional
berorientasi pada problema, dan memperhatikan hubungan antara suatu
peraturan dan masyarakat tempat bekerjanya aturan itu. Mempertanyakan
fungsi sesuatu norma, tiu mengandung arti diikutinya pandangan bahwa
hukum merupakan instrumen (sarana). Dalam hal ini hukum dipandang
sebagai sarana untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat , sebagai
suatu gejala yang menimbulkan gejala lain dalam masyarakat. Pandangan
instrumental dari hukum ini erat berkaitan dengan pandangan bahwa hukum
itu sesuatu yang dibuat, bahwa hukum itu cocok untuk menimbulkan
seusuatu dalam kenyataan sosial. Perlu diketahui, bahwa disamping

10
pandangan instrumental mengenai hukum ini ada pandangan-pandangan
mengenai hukum (rechtsideologie) yang non-instrumental".
Kalau kita bicara tentag fungsionalisasi norma, maka harus
diformulasikan lebih dahulu problema atau masalah yang mendapat jawaban
dalam atau oleh aturan hukum tersebut. Masalah ini pada umumnya masalah
kemasyarakatan dan belum bersifat yuridis (hukum). Dengan itu, maka terdapat
bidang yang luas untuk perumusan maslah dalam perbandingan hukum”
Akhirnya patut dikemukakan pendapat H.U Jessurun d‟Oliveira (1980)
yang mengemukakan “penggunaan istilah perbandingan hukum menimbulkan
kesan keliru, bahwa yang dipelajari hanyalah norma-norma dan gejala-gejala
sosial lainnya .Perbandingan hukum secara prinsipiil hanyaberhenti dengan
mempelajari noorma-norma hukum akan merupakan ilmu pengetahuan yang
patut dikasihan, sebab ia membuat dirinya tidak mampu untuk memberi jawaban
secara penuh atas persoalan-persoalan hukum.”
Dengan demikian, melakukan perbandingan hukum bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah. Menurut Rene David dan Brierley, kesulitan itu antara lain
disebabkan :
(1). Perbedaan bahasa dan pembendaharaan kata (languange and vocabulary);
Ditegaskan oleh mereka “Tidak adanya persesuaian yang tepat mengenai
konsep-konsep dan ategori-kategori ukum diantara sistem-sistem hukum yang
berbeda, merupakan salah satu kesulitan terbesar yang dijumpai/dihadapi
dalam penganalisisan perbandingan hukum.” (The absence of an exact
correspondence betwen legal concepts and categories in different legal
system is one of the greatest difficulties encountered in comparative legal
analysis).
(2). Tidak ada pendidikan persiapan yang khusus di dalam bidang perbandingan
hukum.
Disamping kesulitan yang dikemukakan diatas, yang jelas sulit adalah
mengetahui sistem nilai (ipoleksosbud) yang melatarbelakangi sistem hukum
yang ingin diperbandingkan itu.

11
E. Keluarga Hukum atau Famili Hukum

Untuk melakukan perbandingan hukum, perlu terlebih dahulu mempelajari hukum


dari Negara asing. Setiap Negara mempunyai system hukumnya sendiri-sendiri.
Untuk mengetahui system hukum asing itu sangatlah sulit, oleh karena itu, untuk
memudahkan diadakanya klarifikasi system hukum yang ada di dunia dalam
beberapa “ keluarga hukum” (legal families).
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai kriteria penggolangan
hukum itu. Didalam buku Rene David dan Brierley dikemukakan, bahwa
beberapa penulis mendasarkan klasifikasi keluarga hukum pada “struktur
konseptual dari hukum” ( law‟s conceptual structure) atau pada “ teori sumber-
sumber hukum” ( the theory of sources of the law ). Penulis lain menekankan pada
pada “ tujuan sosial yang ingin dicapai dengan bantuan system hukum” (the social
objectives to be achieved with the help of the legal system) atau pada “ tempat
hukum itu sendiri dalam tatanan sosial” (the place of law it self within the social
order). Menurut R. David dan Brierly, kedua pertimbangan itu agaknya sama-
sama menentukan untuk tujuan pengklasifikasikan. Ditegaskan selanjutnya,
bahwa dua hukum tidaklah dapat dimasukan kedalam keluarga hukum yang sama
keduanya menggunakan konsepsi-konsepsi dan teknik-teknik yang sama, apabila
mereka didasarkan pada prinsip-prinsip filosofis, politisi, dan prisip-prinsip
ekonomi yang berbeda dan apabila mereka berusaha untuk mencapai dua tipe
masyarakat yang berbeda secara keseluruhan. Keduanya kriteria inimenurut R.
David harus diginakan secara komulatif dan tidak secara terpisah.
Rene David membagi empat keluarga hukum, yaitu :
1. The Romano-germanic family
2. The Cammon Law family
3. The family Socialist Law
4. Other conceptions of law and the social order (konsep-konsep hukum dan
tatanan sosial lainya).

Ad 1 adalah kelompok system hukum yang didasarkan pada Civil Law Romawi
yang pada dasarnya terdiri system hukum yang dikodefikasikan, berorientasi pada

12
definisi-definisi hukum, kensep-konsep/pemikiran-pemikiran abstrak, teknik-
hukum, dan ajaran-ajaran/dogma hukum. Keluarga hukum ad 2, didasarkan atau
dibentuk dari penyelesain hukum secra konkrit oleh hakim dalam memecahkan
perkara-perkara individual. Menurut R. David, kedua-duanya dipengerahui
moralitas kristiani dan sejak zaman Renaissance ajaran-ajaran filosofisnya
menonjolkan paham individualism, liberalism, dan hak-hak individu. Oleh karena
itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa keduanya merupakan satu keluaraga
besar dari “hukum berat” (western Law) yang oleh para jurist dari kubu sosialis
dikatakan sebagai “hukum berjuis” (bourgeois law ), yang dihadapkan pada
”system sosialis” (ad 3). Kedalam kelompok ke empat (ad 4), Rene David
memasukan keluarga hukum agama dan hukum tradisional, yaitu : muslim laws,
laws of India (Hindu Law), laws of the Far East (Chinese law, Japanese law), dan
Laws of Africa and Malagasy/Madagascar.
Zweigert dan Kotz setuju dengan Prof. Rene David, bahwa yang dapat
merupakan kriteria adalah teknik dari system hukum dan prinsip-prinsip falsafah,
politik, dan ekonomi yang mendasarinya, tetapi kriteria ini masih terlalu sempit
dan samar-samar. Karena itu Zweigert dan Kotz berpendapat, bahwa yang
menentukan klasifikasi adalah gaya (style) dari sesuatu system hukum atau
kelompok system hukum , sehingga yang merupakan kriteria ialah: 1) asal dan
perkembangan historis , 2) cara pemikiran hukum yang spesifik, 3) lembaga-
lembaga hukum yang karekteristik, 4) sumber-sumber hukum dan
interprestasinya, dan 5) factor-faktor ideologis.
Bertolak dari kriteria “ gaya (style) system hukum” itu, Zweigert dan Kotz
kemudian membedakan delapan lingkungan hukun (“ Rechtskreise”), yaitu:
1. Lingkungan hukum Romanistis ;
2. Lingkungan hukum Jerman;
3. Lingkungan hukum Skandinavia ;
4. Lingkungan hukum Common Law ;
5. Lingkungan hukum Sosialistis ;
6. Lingkungan hukum Timur Jauh ;
7. Lingkungan hukum Islam ;

13
8. Lingkungan hukum Hindu ;

Sehubungan dengan kriteria Zweigert dan Kotz, Prof. Roeslan Saleh juga
mengemukakan lima factor yang menentukan unsur “gaya” (style) dari system
hukum, yaitu:
a. asal mula historis dan berkembangan hukum bersangkutan;
b. bentuk piker yang khas dari bangsa pendukung stelsel hukum tersebut;
c. lembaga-lembaga hukum yang tipikal dalam stalsel hukum bersangkutan;
d. sifat dari sumber-sumber hukum dan cara menafsirkannya, yang dilihat
berkaitan dengan ciri-ciri tersendiri dari organisasi kehakimanya dan
pendidikan dari ahli hukum serta peranan mereka dalam menegakan hukum
dan menciptakan hukum;
e. unsur ideology yang menjadi dasar dari struktur politik ekonomi dan
kemasyaratan di mana stelsel hukum nasional merupakan pernyataanya.

Menurut Marc Ancel para sarjana hukum komperatif setuju dalam


membedakan sekurang-kurang nya lima jenis hukum nasional yang di
kelompokan dalam satu keluarga berdasarkan a) asal-usulnya, b) perkembangan
sejarah, c) metode penerapanya (their origin, their historicsl development, and
their methods af application). Kelima keluarga besar hukum itu ialah :
1. sistem Eropa Kontinental dan Amerika Latin (atau disebut system of Civil
Law).
2. system Anglo-American (atau disebut Cammon Law system).
3. System Timur Tengah (Middle East system) misal Irak, Yordania, Saudi
Arabia, Libanon, Siria, Maroko, Sudan , dan sebagainya.
4. System Timur Jauh (Far East system) missal , Cina, Jepang.
5. System Negara-negara sosialis ( Socialist Law system )

Dalam ensiklopedi Wikipwdia (http://id.wikipedia.org; dan http://en.


Wikipedia.org/wiki/legal_systems_of_the_word) dikemukakan, bahwa system
hukum dunia masa kini terdiri dari:
1. Hukum sipil (Civil Law)

14
2. System hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan Cammon Law
3. Hukum agama (Religuis Law)
4. Hukum adat
5. Hukum Negara blok timur (sosialis)

Menurut Wikipedia, yang yang termasuk Civil Law (ad 1 antara lain:
Albania, Angola, Argentina, Andora, Aruba, Austria, Azerbaijan, Belarusia,
Belgium, Benin, Bolovia, bosnia and Herzegovina, Brazil, Bulgaria, Burkina
Faso, Burundi, Chad, People‟s Republic of China, Republic of the Congo,
Democratic Republic of the Congo, Cambodia, Cape verde, Central Africa
Republic, Chile, Colombia, Costa Rica, Croatia, Cuba, Czech Republic, Denmark,
Dominican Republic, Ecuador, El savador, Estonia, Finland, France, Equarotial
Guenea, Ethopia, Gabon, Guenea, Guene-Bissau, Georgia, Germany, Greece,
Guatemala, Haiti, Honduras, Hungary, Iceland, Italy, Japan, Latvia, Lebanon,
Lithunia, Luxembourg, Macau, Mexico, Mongolia, Netherland, Norway, Panama,
Paraguey, Peru, Poland, Portugal, Republic of China (Taiwan), Romania, Russia,
Serbia, Slovakia, Slovenia, Spain, Sweden, Switzerland, Turky, Ukraine,
Uruguay, Uzbekistan, Vatican City, Vietnam.
Termasuk keluarga hukum Cammon Law (ad 2) menurut Wikipedia,
antara lain : American samos, Antigua and Barbuda, Australia, Bahamas,
Barbados, Beliza, Bhutan, British Virgin Islands, Canada, Dominica, England and
wales (UK), Fiji, Gibraltar, Ghana, Myanmar, Grenada, Hongkong, India, Ireland,
Jamaica, Kiribati, Marshall Island, Nauru, New Zealand, Northern Ireland (UK),
Palau, Singapore, Tonga, Trinidad and Tobago, Tuvula, Uganda, United States.
Dikemukakan dlam Wikipedia, bahwa keluarga hukum agama (ad 3 )
terdiri dari : Halakha (Jewish Law ), Hindu Law, Sharia (Islamic law), dan Canon
law(Christian Law). Islamic law terdapat di Arab Saudi, Iran Sudan, Suriah; dan
canon law di Vatikan. Sedangkan yang termasuk keluarga hukum adat (ad 4)
antara lain: Mongolia, Sri lanka, Indonesia.
Disamping itu, Wikipedia juga menyebutkan juga adanya “sistem
campuran/pluralistic” (pluralistic systems ), yaitu antara: (1) Civil Law and

15
cammona law;(2) civil law and religious law; dan (3) cammon law and religious
law.
Yang termasuk sitem campuran antara ”civil Law and common law “
antara lain : Botswana, Cameroon, Cyprus, Filipina, Guyana, Israel, Lesotho,
Louisiana (US), Malta, Mauritius, Namibia, Puerto rico (US) Quebecc (Kanada),
Scotland(UK), Afrika selatan, sri langka, Thailand, Vanuatu, Zimbabwe.
Yang termasuk system campuran antara “civil law and religious law”
antara lain : Afganistan, Algeria, Bahrain, Comoros, Djibauti, Eritrea, Indonesia
(berdasarkan civil law Belanda dan hukum adat), Mesir (Berdasarkan system
hukum islam dan hukum sipil prancis), Marocco (berdasarkan system hukum
islam law dan civil law perancis dan spanyol), oman, syiria (hukum islam dan
civil law perancis), dan Jordan (terutama berdasarkan civil code prancis dan
hukum islam di bidang hukum keluarga).
Yang termasuk system campuran antara common law and religious law
antara lain : Bangladesh, Brunei, Gambia, India ( berdasarkan common law
inggris, hukum perorangan untuk muslim, Kristen dan hindu, kecuali di goa yang
mengikuti civil law portugis), Malaysia (berdasarkan common law inggris dan
hukum perorangan dari syaria atau hukum islam), Nigeria, Pakistan (berdasarkan
common law inggris), dan Qatar.
Di dalam Elgar Encyclopedia of Comperative law, 2006 (editor Jan M.
Smith), prof. Jaako Husa , Guru besar dari Joensuu, mengemukakan pembagian
keluarga hukum dari berbagai sarjana antara lain :
1. Esmein (1905) membagi lima keluarga hukum menjadi : Roman, Germanic,
Slavic, Anglo-Saxon, Islamic law. Kriteria yang diguanakan bermacam-
macam (multiple-criteria) yaitu, latar belakang sejarah, geografi, ras, dan
agama.
2. Sauser Halls (1913) mengelompokanya berdasarkan perbedaan ras, yaitu: (1)
hukum orang-orang Aria atau Indo-Eropa (law of the Aryan or indo-europen
people) , (2) semitic (3) Mongolic (terutama cina dan jepang) , (4) hukum
orang barbar ( the law of barbarous people). Menurut Prof. Jaakko husa, saat
ini pengklasifikasian berdasarkan pemikiras hamper tidak dipandang sebagai

16
perbandingan hukum makro yang valid (hardly regarded as valid mackro-
comperative law). Kritereria klasifikasi berdasar ide ras itu sama sekali
dikeluarkan dari masalah/kajian akademik perbandingan hukum modern.
3. Arminjon, Nolde, and Wolff (1951) membagi tujuh (7) kelompok keluarga
hukum berdasarkan sejarah, sumber hukuk, teknik hukum, istilah dan konsep
hukum, dan budaya, yaitu keluarga hukum: (1) prancis; (2) Jerman; (3)
Scandinavia; (4) Inggris; (5) Russia; (6) islam; (7) hindu.
4. Schanitzer (1961) membagi 5 (lima) kelompok system hukum, yaitu: (1) the
law of the primitive people (in a broadmeaning of the word); (2) the law of
the culture- people of the Mediterranean; (3) euro- American legal sphere ; (4)
religious law (Jewish Cristian and Islamic law); dan (5) the law of African –
Asian people. Kelompok ke -3 (euro- American legal sphere) terdiri dari :
Roman, German, Slavic, Anglo-American law.
5. David (1982) membagi dalam 4 (empat) keluarga besar hukum, yaitu : (1)
Roman-German; (2) common law ; (3) Socialist law; (4) Philosophical or
religious system (Muslim law , Hindu law, Law of the Far East and the law of
Africa and Madagascar).
6. Vaderlinden (1995) mengklasifikasikan system hukum kedalam lima
kelompok , yaitu: customary law system, dectronal system, jurisprudential
system, legislative system, dan systems of the revelation (system wahyu).
Yang termasuk sitem kelima ini adalah Islamic law, Hindu law, biblical law.
Catatan:
 Dalam mengklasifikasi “legal family” , Prof. Jaakko Husa memasukan No.
6 dan No.7 kedalam kelompok “pengklasifikasian dan perkembangan saat
ini” (recent classification an developments).
 Jaakko Husa membedakan antara “macro comperative-law” dan “ micro-
comperave law”:
- Perbandingaan hukum mikro (micro-comperative law) berhubungan
dengan aturan-aturan, khusus, dan lembaga-lembaga khusus yang
dipahami dari sudut pandang problem actual atau dari sudut konflik
kepentingan hukum tertentu.

17
- Perbandiungan hukum makro (macro-comperative law ) lebih focus
pada tema-tema/masalah-masalh dalam skala besar, seperti masalah
sistematis penggolangan, dan pengklasifikasian system hukum
 Mengenai pengertian “system hukum campuran” , Esin Orucu (dalam
public law in mixed legal system and public law as a „mixed sistem‟)
menjelaskan sebagai berikut:
- Menurut Tetley,” a mixed legal system adalah “ suatu system hukum
yang berlaku berasal dari lebih dari satu tradisi/keluarga hukum” („one
in which the law in force is derived from more than one legal tradition
or family‟).
- Menurut Milo and Smits, istilah “campuran” (Mixed) mempunyai
beberapa makna:
1. Kombinasi berbagai sumber hukum ( a‟ combination of varius
legal sources‟).
2. Kombinasi lebih dari satu perangkat/kumpulan perundang-
undangan di suatu Negara, yang dibatasi untuk suatu wilayah atau
budaya (a „combination of more than one body of law whithin one
nation, restricted to an area or to a culture‟), dan
3. Keberadaan dari kumpulan perundang-undangan yang berbeda
yang dapat diterapkan dalam seluruh wilayah Negara (the existence
of different bodies of law applicable within the whole territory of
nation‟).

Selanjutnya mengenai Esin Orucu sendiri berpendapat, bahwa semua


system hukum modern tidak hanya merupakan system campuran dalam
batas-bats tertentu , setidak-tidaknya dilihat dari asal-usulnya, tetapi juga
bnayak system hukum yang bergeser atau mengalami transissi menjadi
bentuk campuran baru. Semua hukum adalah campuran, tidak ada
perkecualian. Bahkan ditegaskan olehnya, bahwa hukum public sebagai
system campuran akan menjadi subjek perhatian yang semakin meningkat
oleh sarjana hukum perbandingan dimasa yang akan datang ( public law as

18
mixed system, are subjects that will increasingly interest comperative
lawyer of the future ).
7. Mattei (1997) membagi keluarga hukum dari sudut pandang sosiologi hukum,
yaitu melihat norma hukum yang memengaruhi prilaku manusia itu bersal dari
mana. Jadi melihat dari sumber hukumnya ia membagi sumber hukum dari 3
(tiga) kelompok : politik, hukum, dan tradisi filsafat/agama. Berdasarkan
klasifikasi taxonomy, ia mengusulkan pengklasifikasian sebagai berikut.
a. The rule of professional law
b. The rule of political law
c. The rule of traditional law

Ad a: kelompok ini memisahkan bidang politik dengan hukum; dan juga


bersifat sekuler. Termasuk kelompok ini adalah common law and Roman-
German law.
Ad b: hukum dan proses hukum sebagian besar ditentukan oleh hubungan
politik. Termasuk kelompok inin adalah system Uni Sovyet yang dulu dan
beberapa system di Asia.
Ad c: dalam kelompok ke tiga ini, agama dan tradisi filosofis- religious tidak
terpisah dari hukum . termasuk kelompok ini adalah Negara-negara Hukum
Islam, Hukum Hindu dan Konsep hukum Asia dan Konfusius

Kegunaan atau Manfaat Perbandingan Hukum


1. Menurut Prof. Sudarto
Dalam mempelajari perbandingan hukum ada kecenderungan untuk
menjurus mempelajari system hukum asing . ada dua manfaat mempelajari
system hukum asing itu:
a. Yang bersifat umum:
1) Memberi kepuasan bagi orang yang berhasrat ingin tahu yang bersifat
ilmiah
2) Memperdalam pengertian tentang pranata masyarakat dan kebudayaan
sendiri
3) Membawa sikap kritis terhadap system hukum sendiri

19
b. Yang bersifat khusus:
Sehubungan dengan dianutnya asa nasional aktif dalam KUHP kita, yaitu
pasal 5 ayat1 ke-2, bahwa
“ aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga
Negara yang diluar Indonesia melakuka salah satu perbuatan yang oleh
suatu aturan pidana dalam perundang-undang di Indonesia dipandang
sebagai kejahatan sedangkan menurut perundang-undangan Negara di
mana perbuatan dilakukan , di ancam dengan pidana.”
Jadi, misalnya: Seorang wanita Indonesia melakukan abortius provocatus
kriminalis di singapura yang disana tidak diancam pidana, maka apabila
wanita itu kembali di Indonesia, ia tidak dapat dipidana.
2. Menurut Rene David dan Brierley
a. Berguna dalam penelitian hukum yang bersifat historis dan filosofis.
b. Penting untuk memahami lebih baik dan untuk mengembangkan hukum
nasional kita sendiri.
c. Membantu dalam mengembangkan pemahaman terhadap bangsa-bangsa
lain dan oleh karena itu memberikan sumbangan untuk menciptakan
hubungan/suasana yang baik bagi perkembangan hubungan –hubungan
internasional.
3. Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto
a. Memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan antara
berbagai bidang tata hukum dan pengertian-pengertian dasarnya.
b. Pengetahuan tentang persamaan tersebut pada nomor 1 akan
mempermudah mengadakan: a) keseragaman hukum (unifiasi); b)
kepastian hukum; dan c) kederhanaan hukum.
c. Pengetahuan tentang perbedaan yang ada memberikan pegangan atau
pedoman yang lebih mantab, bahwa dalam hal-hal tertentu
keanekawarnaan hukum merupakan kenyataan dan hal yang harus
diterapkan.
d. Perbandingan Hukum (PH) akan dapat meberi beban-beban tentang factor-
faktor hukum apakah yang perlu dikembangkan atau dihapuskan secara

20
berangsur-angsur demi integritas masyarakat, terutama seperti masyarakat
majemuk seperti Indonesia.
e. PH dapat memberikan bahan-bahan untuk pengembangan hukum antara
tata hukum pada bidang-bidang dimana kodefikasi dan unifikasi terlalu
sulit untuk diwujudkan.
f. Dengan pengembangan PH, maka yang menjadi tujuan akhir bukan lagi
menemukan persamaan dan/atau perbedaan, akan tetapi justru pemecahan
masalah-masalah hukum secara adil dan tepat.
g. Mengetahui motif-motif politis, ekonomis, sosial, dan psikologis yang
menjadi latar belakang perundang-undangan, yurisprudensi, hukum
kebiasaan, traktat, dan doktrin yang berlaku disuatu Negara.
h. PH tidak terkait pada kekuatan dogma
i. Penting untuk melaksanakan pembaharuan hukum.
j. Di bidang penelitian, penting untuk lebih mempertajam dan mengarahkan
proses penelitian hukum
k. Di bidang pendidikan hukum; memperluas kemampuan untuk memahami
system-sistem hukum yang ada serta penegakan nya yang tepat dan adil.

4. Menurut Tahir Tungadi


a. Berguna untuk unifikasi (dan kodefikasi) nasional regional dan
internasional.
b. Berguna untuk harmonisasi hukum ; missal adanya pedoman dari PBB
dapat mewujudkan harmonisasi perundang-undangan dari berbagai Negara
mengenai suatu masalah tertentu
c. Untuk pembaharuan hukum, yaitu :PH memperdalam pengetahuan tentang
hukum nasionaldan secara objektif melihat kebaikan dan kekurangan
hukum nasional.
d. Untun menentukan asas-asas hukum dari hukum (terutama bagi para
hakim dari pengadilan –pengadilan internasional penting untuk
menentukan the general principles of law yang merupakan sumber penting
dari hukum public internasional.

21
e. Sebagai ilmu pembantu bagi Hukum Perdata internasional, misalnya
dalam ketetuan HPI suatu Negara menunjukan pada hukum asing yang
harus diperlakukan dalam suatu kasus.
f. Diperlukan dalam program pendidikan bagi penasihat-penasihat hukum
pada lembaga-lembaga perdagangan internasioanal dan kedutaa-kedutaan,
missal untuk dapat melaksanakan traktat-traktat internasional.
5. Menurut Thomas Weigend (dalam Elgar Encyclopedia of Comperative
Law, 2006)
Biasanya relevansi Atau manfaat perbandingan hukum dilihat terutama
dari kepentingan sudut akademik /keilmuan. Tujuan mempelajari huku pidana
(peradilan pidana) asing, lebing mengandung tujuan pendidikan dari pada tujuan
praktis. Namun juga dapat menunjukan keterkaitan antara penyelesaian/solusi
hukum dengan masalah sosial. Analisis komperatif biasanya digunakan oleh
pengadilan untuk membantu menafsirkan hukunya sendiri, atau dalam hal model
hukumnya sendiri bersumber dari “hukum induk” (mother law) yang sama dengan
Negara lain itu. Dicontohkan adanya dua kasus di Jerman dan USA. German High
Court‟s mengadosi suatu ketentuan yang menolak bukti pengakuan sewaktu polisi
tidak menginformasikan kepada terdakwa akan haknya untuk tetap diam (remain
selent). Contoh lain , United States Supreme Court‟s melarang penjatuhan pidana
mati terhadap anak. Dalam kedua kasus itu, pengadilan menunjukan bahwa
aturanya sesuai dengan standar internasional saat ini.

22
BAB II
HUKUM PIDANA INGGRIS

A. Pendahuluan
Pada bab ini akan dibahas mengenai Hukum Pidana Inggris yang akan
mernbahas perihal Sumber Hukum Pidana Inggris, Prisip-prinsip Umum yang
diurai dalam sub-sub Asas Legalitas, Asas Mens Rea, Criminal Liability,
Penyertaan ( Participation), Tindak Pidana Tidak Lengkap (Inchoate Offences),
Alasan Penghapus Pidana (Exemption from Liability), dan Alasan Pengurangan
Pidana (Deminished Responsibility). Bab ini diakhiri dengan pembahasan masaiah
Beberapa Tindak Pidana Tertentu.

B. Penyajian
1. Sumber Utama Hukum Pidana Inggris
a. Common Law
Common Law, bahwa hukum pidana Inggris terutama bersumber pada
Common Law, yaitu bagian da hukum Inggris yang bersumber pada kebiasaan
atau adat-istiadat masyarakat yang dikembangkan berdasarkan keputusan
pengadilan. Jadi bersumber dari hukum tidak tertulis dalam memecahkan masaiah
atau kasus-kasus tertentu yang dikembangkan dan unifikmikan dalam keputusan-
keputusan pengadilan sehinggah merupakan suatu precedent. Oleh karena itu
common law ini sering juga disebut Case law atau juga disebut Hukum Preseden.
Common Law yang dikembangkan dalam keputusan-keputusan
pengadilan ini mempunyai kedudukan yang sangat kuat, karena di Inggris berlaku
asas stare decisis atau asas the binding force of precedents. Asas ini mewajibkan
hakim untuk mengikuti keputusan hakim yang ada sebelumnya. Pada asasnya
kekuatan mengikuti ini berlaku bagi keputusan pengadilan yang lebih tinggi,
namun dapat juga berlaku untuk keputusan pengadilan yang seringkat, asal tidak
ada preseden yang saling bertentangan dan preseden itu tidak terjadi
secara per incuriam, artinya tidak terjadi karena kekeliruan adalam
hukum. Kekuatan mengikat dari hukum preseden ini terletak pada bagian putusan

23
yang disebut ratio decidendi, yaitu semua bagian putusan atau pertimbangan
hukum yang menjadi dasar dari putusan dalam kasus konkret. Hal-hal ini yang
berupa penyebutan fakta-fakta yang tidak ada relevansinya secara langsung
dengan perkaranya, yang disebut obiter dicta tidak mempunyai kekuatan
mengikat. Dalawv piakteknya system preseden itu tidak seketat yang
dibayangkan, sebab hakim dapat menghindari kekuasaan mengikat dari ratio
decidendi itu apabila ia dapat menunjukan bahwa perkara yang sedang dihadapi
itu ada perbedaan dengan perkara yang diputus terdahulu. Hakim atau advokat
dapat menggunakan distinction ( pembedaan ) seperti itu untuk melumpuhkan
kekuatan mengikat dari preseden.
b. Statuta Law
Statuta Law adalah hukum yang berasal dari perundang-
undangan. Seperti halnya dengan common law, statute Javvin ipun mempunyai
binding authority ( kekuatan mengikat).
Berbeda dengan di Indonesia, hukum pidana materiil yang berbentuk
hukum undang-undang (statute Law) di Inggris hanya memuat perumusan tindak
pidana (kejahatan) tertentu, misalnya :
1. UU mengenai tindak pidana terhadap orang (Offecens against the Person
Act} tahun 1861.
2. UU Sumpah Palsu (Perjury Act) tahun 1911.
3. UU Tindak Pidana Seksual ( Sexual Offecens Act) 1957.
4. UU mengenai pembunuhan ( Homicide Act) 1957.
5. UU mengenai pembunuhan anak ( Infanticide Act ) 1922; yang telah diubah
dengan UU tahun 1983.
6. UU mengenai pembunuhan berencana atau UU mengenai penghapusan
pidana mati ( Murder'Abolition of Death Penally act) tahun 1965
7. UU mengenai abortus (Abortion Act) tahun 1976.
8. UU mengenai pencurian ( Thieft Act) tahun 1968.
9. UU mengenai obat-obatan berbahaya ( The Dangerous Drugs Act ) tahun
1965.
10. UU mengenai pembajakan pesawat udara ( Hijacking Act) 1971.

24
Dari contoh undang-undang di atas terlihat, bahwa perumusan tindak
pidana di Inggris tidak dikodifikasikan dalam satu kitab undang-undang secara
tunggal (Single Code ) tetapi tersebar dalam beberapa undang-undang tersendiri.
Demikian pula tidak dikenal undang-undang yang memuat ajaran-ajaran umum
hukum pidana seperti halnya dengan Aturan Umum Buku I KUHP Indonesia. Di
samping kedua sumber hukum yang disebutkan di atas ( Common Law dan Statute
Law ), ada pula beberapa texbook yang memuat pendapat atau ajaran/doktrin dari
para penulis terkenal. Texbook atau pendapat para penulis ini tidak mempunyai
binding authority ( kekuasaan mengikat), akan tetapi beberapa di antaranya
mempunyai persuasive authority ( kekuatan persuasive, artinya yang bersifat
memberikan keyakinan/dorongan kuat).

2. Asas Legalitas (The principle of legality; Nullum crimeti/nuUa peona


sine lege)
Walaupun asas ini tidak pemart secara formal dirumuskan dalam
perundang-undangan, namun asas ini menji\vai putusan-putusan pengadilan.
Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di Inggris merasa
dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya, pada tahun
1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk
menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi nampaknya
ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian formal. Artinya, suatu
perbuatan pada mulanya dapat ditetapkan sebagai suatu delik oleh hakim
berdasarkan common law (hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat purusan
pengadilan), namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan
unidak perna dang-undang (statute law).

3. Asas Mens Rea ( A ctus nonfacit reutn nisi metis sit rea )
Walapun tidak pernah dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana
Inggris juga menganut asas kesalahan yang dirumuskan dalam bahasa Latin actus
non facit reum nisi mens sit rea (an act does not make porsen guilty, unless the
mind is legally blameworthy ). Berdasarkan asas ini, ada dua syarat yang harus

25
dipenuhi untuk seseorang dapat dipidana, yaitu ada perbuatan lahiriah yang
terlarang (actus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela ( mem rea ). Actus reus
tidak hanya menunjuk pada suatu perbuatan ( an act) dalam arti yang biasa, tetapi
mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:
a. Perbuatan dari si terdakwa (the conduct of the accused person );
b. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu (its results/consequences}; dan
c. Keadaan-keadaan yang tercantum/terkandung dalam perumusan tindak
pidana (surrounding circumstances which are included in the definition of
the offence), misalanya dalam perumusan delik pencurian isebutkan
"barang milik orang lain."
Oleh karena itu dalam texbook sering dirumuskan, bahwa actus reus
terdiri dari "semua unsur yang terdapat dalam perumusan delik/kejahatan, kcuali
unsure yang berhubungan dengan keadaan jiwa atau sikap batin terdakwa, "(all
the elements in the definition of the crime except the accused's mental element).
Dalam hal-hal tertentu, keadaan jiwa atau sikap batin korban (state of mind of the
victim) merupakan unsure atau syarat tindak pidana. Missal dalam "perkosaan,"
tidak adanya persetujuan dari korban (the absence of consent of the victim) untuk
melakukan hubungan seksual merupakan unsur dari actus reus dalam tindak
pidana perkosaan.
Mens rea sering diterjemahkan dengan guilty or wicked mind (sikap batin
jahat), tetapi terjemahan demikian menurut para penulis dipandang kurang tepat
atau dapat membuat keliru. Menurut L.B. Curzon, J.C.Smith dan Brian Hogan,
mens rea tetap ada sekalipun seseorang berbuat secara jujur ( itikat baik ) ataupun
dengan kesadaran jiwa yang bersih serta meyakini bahwa perbuatannya sesuai
dengan moral dan benar menurut hukum. Sikap batin orang yang termasuk Mens
rea dapat berupa: intention ( kesengajaan), recklessness (kesembronohan) dan
negligence (kealpaah/kurang hati-hati).
Dikatakan ada recklessness apabila seseorang mengambil sengaja suatu
resiko yang tidak dapat dibenarkan (deliberate taking of an unjustifiable risk).
Untuk adanya recklessness harus dibuktikan, bahwa si pelaku
sebenarnya, "menyadari suatu keadaan"dan" mengetahui atau dapat

26
mempekirakan kemungkinan terjadinya akibat"akan tetapi ia sembrono atau tidak
peduli terhadap keadaan atau akibat itu. Unsur awareness dan foresight of
probability inilah yang tidak ada pada negligence (kealpaan), oleh karena itu
negligence sering disebut inadvertent negligence (kealpaan yang tidak penuh
perhatian/kurang hati-hati).
4. Strict Liability
Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Menu Rea, namun di Inggris ada
delik-delik yang tidak mensyaratkan adanya mens rea (berupa intention,
recklessness atau negligence). Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah
melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa
melihat bagaimana sikap batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut dengan strict
liability yang sering diartikan secara singkat liability without fault
(pertanggungjawaban tanpa kesalahan).
Menurut common law, strict liability berlaku terhadap tiga macam delik:
 Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan
raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan);
 Criminal libel (fitnah, pencemaran nama);
 Contempt of court (pelanggaran tata tertib pengadilan)
Akan tetapi kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang
diatur dalam undang-undang (statutory offences; regulatory offences; mala
prohibita) yang pada umumnya merupaJcan delik-delik terhadap
kesejahteraanumum (public welfare offences). Termasuk regulatory offences
misalnya, penjualan makanan dan minuman atau obat-obatan yang
membahayakan, penggunaan gambar dagang yang menyesatkan dan pelanggaran
lalu-lintas.
Sering dipersoalkan, apakah strict liability itu sama dengan absolute
liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan,
bahwa strick liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasai
pemikirannya ialah, bahwa datam perkara strict liability seorang melakukan
perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang
sudah dapat dipidana tanpa mernpersoalkan apakah sipelaku mempunyai

27
kesalahan (menu red} atau tidak. Jadi seseoran yang sudah melakukan tindak
pidana menurut rurnusan undang-undang harus/ mutlak dapat dipidana. Pendapat
kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absolute liability, artinya orang
yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus
atau belum tentu dipidana.

5. Vicarious Liability
Vicarious Liability sering diartikan "pertanggungjawaban menurut
hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain "(the legal
responsibility of one person for the wrongful acts of another). Secara singkat
sering diartikan "pertanggungjawaban pengganti.
Dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatan orang lain?
a. Ketentuan umum yang berlaku menurut Common Law ialah, bahwa
seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara vicarious untuk
tindak pidana yang dilakukan oleh orang pelayan/buruhnya.
b. Menurut undang-undang (statute law), vicarious liability dapat terjadi
dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan
yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan
kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain itu. Jadi
harus ada prinsip pendelegasian (the delegation principle}.
Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang
secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerja apabila menurut hukum
perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan ( the servant's act is
the master's act in law). Jadi apabila si pekerja sebagai pembuat materil/fisik
(auctor fisicus) dan majikan sebagai pembuat intelektual (auctor in tellectualis).

28
6. Pertanggungjawaban Korporasi
Pertanggungjawaban yang disebut vicarious liability dapat dihubungkan
dengan pertanggungjawaban dari korporasi. Korporasi berbuat dengan
perantaraan orang. Apabila orang ini melanggar suatu ketentuan undang-undang,
maka menjadi pertanyaan apakah korporasi yang dipertanggungjawabkan.
Atas pelanggaran terhadap suatu kewajiban hukum oleh occupier dari
pabrik dan atau perbuatan dari pelayan, korporasi dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hal ini korporasi hanya bertanggung jawab atas sejumlah kecil delik, pada
dasarnya delik undang-undang yang cukup dengan adanya strict liability.
Pada tahun 1944 telah mantap pendapat, bahwa korporasi dimungkinkan
untuk bertanggung jawab dalam hukum pidana, baik sebagai pembuat atau
peserta, untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya memrea dengan
menggunakan asas identiflkasi. Jadi tidak seperti di Indonesia, pertanggung
jawaban korporasi di Inggris tidak terbatas pada bidang-bidang tertentu dalam
hukum, meskipun tidak semua delik dapat dilakukan oleh korporasi.
Korporasi pada umumnya dapat dipertanggungjawabkan sama dengan
orang pribadi berdasarkan asas identiflkasi. Misalnya suatu perusahaan dituduh
telah melakukan delik common law, ialah bermufakat untuk
mengelapkan/menipu (conspiracy defraud), suatu delik yang mensyaratkan
adanya mens rea dan tidak dimungjdnkan adanya vicarious liability. Dalam hal ini
pengadilan memandang atau menganggap, bahwa perbuatan dan sikap batin dari
pejabat teras tertentu yang dipandang sebagai perwujudan dari kedirian organisasi
tersebut adalah perbuatan dan sikap batin dari korporasi. Dalam hal ini korporasi
bukannya dipandan bertanggu jawaban atas dasar pertanggung jawaban dari
perbuatan pejabatnya, melainkan korporasi itu seperti halnya dalam pelanggaran
terhadap kewajiban hukum justru dipandang telah melakukan delik itu secara
pribadi.
Walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama
dengan rang pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yaitu:

29
1. Dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan
oleh korporasi, misal: bigami, perkosaan, sumpah palsu.
2. Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak
mungkin dikenakan kepada korporasi, misal pidana penjara atau pidana
mati.
Korporasi juga dapat dipertanggung jawbkan dalam Hukum Pidana
kerena perbuatan seseorang dalam hal dimungkinkan adanya vicarious liability,
jadi dalam kedudukan korporasi sebagai majikan. Pertanggungjawaban vicarious
ini harus dibedakan dengan pertanggung jawaban berdasarkan asas identifikasi. Di
samping itu korporasi juga dapat dipertanggung jawabkan karena perbuatan dari
orang-orang pimpinan korporasi yang berbuat in the company's business.
7. Penyertaan (Participation in a Crime)
Setelah keluamya The Criminal Law Act 1967, participation hanya
terdiri dari tiga pihak, yaitu:
a. Actual offender (orang yang melakukan perbuatan itu sendiri atau melalui
innocent agent).
b. Aiding and abetting (orang yang membantu) c. Counseling or procuring
(orang yang menganjurkan).

8. Inchoate Offences (Tindak pidana yang tidak lengkap atau baru taraf
permulaan)
Terjadinya suatu tindak pidana sering melibatkan atau didahului oleh
berbagai aktivitas perbuatan yang sangat erat hubungannya dengan tindak pidana
pokok. Berbagai perbuatan yang mendahului terjadinya tindak pidana pkok yang
sebenarnya baru merupakan taraf permulaan, dapat dilihat sebagai tindak pidana
yang berdiri sendiri (independent offence) dan oleh karena itu dapat disebut
sebagi preliminary crimes (kejahatan pada taraf
persiapan/permulaan/pendahuluan). Preliminary crimes inilah yang dalam
kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah Inchoate Offences, yang meliputi:
a. Incitement (Penganjuran)
b. Conspiracy (Pemufakatan jahat), dan

30
c. Attempt (Percobaan).

9. Attempt (Percobaan)
Percobaan melakukan suatu perbuatan melanggar hukum, menurut
Common Law dipandang sebagai suatu misdemeanor. Jadi dipandang sebagai
suatu pelanggaran hukum yang ringan, sekalipun percobaan itu ditujukan terhadap
kejahatan (crime).
Untuk dapat dipidananya percobaan diperlukan pembuktian, bahwa
terdakwa telah berniat melakukan perbuatan melanggar hukum dan ia telah
melakukan beberapa tindakan yang membentuk actus reus dari percobaan jahat
yang dipidana. Actus reus dari percobaan tindak pidana ada, apabila terdakwa
melakukan beberapa perbuatan yang dapat dipandang sebagai gerakan untuk
terwujudnya tindak pidana itu dan pelaksanaan atau penampilan dari perbuatan itu
tidak dapat ditafsirkan sebagai mempunyai tujuan lain daripada terwujudnya
tindak pidana itu.
10. Alasan Penghapus Pidana (Exemptions from liability)
Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, dapat mengajukan
alasan pembelaan atau alasan penghapusan pidana. Alasan pembelaan dapat
bersifat umum (disebut general defences), artinya dapat diajukan untuk kejahatan
atau tindak pidana pada umumnya; dan dapat pula bersifat khusus (disebut special
defences) yang hanya dapat diajukan untuk kejahatan atau tindak pidana tertentu.
Termasuk general defences antara lain:
a. Mistake (kesalahan)
b. Compulsion (paksaan)
c. Intoxication (keracunan/mabuk alcohol)
d. Automatism (gerak reflex)
e. Insanity (kegilaan/ketidakwarasan)
f. Infancy (anak di ba\vah umur)
g. Consent of the Victim (persetujuan korban)
Termasuk special defences antara lain:

31
a. Dalam hal delik abortus apabila hal itu dilakukan berdasrkan alasan-alasan
antara lain:
 Kehamilan itu (apabila diteruskan)akan membahayakan
keselamatan jiwa si ibu;
 Kemungkinan anak yang lahir akan menderita cacat fisik atau cacat
mental yang cukup serius; (alasan ini disebut dalam The Abortion Act
1967). b. Dalam hal menerbitkan atau mempublikasikan tulisan-
tulisan cabul, apabila hal itu dibenarkan demi kebaikan umum, demi
kepentingan ilmu pengetahuan, seni dan sebagainya. Alasan ini diatur
dalam Obscene Publication Act 1959.
1. Mistake (kesalahan)
Beberapa kondisi atau syarat untuk diterimanya pembelaan berdasarkan
alasan mistake, ialah:
a. Kesesatan itu harus sedemikian rupa, sehingga fakta-fakta
sebagaimanayang diyakini oleh terdakwa itu menyebabkan tidak adanya
actus reus atau mens rea yang disyaratkan untuk adanya tindak pidana.
b. Kesesatan itu harus beralasan (reasonable)
c. Kesesatan itu harus mengenai fakta, bukan mengenai hukum. Dalam hal ini
berlaku adagium:
 Ignorantia facti excusat (ignorance of the fact excuses), kesesatan
mengenai fakta dimaafkan/tidak dipidana;
 Ignorantia juris non excusal (ignorance of the law does not excuse),
kesesatan mengenai hukum tidak dimaafkan/tetap dipidana.
2. Compulsion (Takanan atau Paksaan)
Ada empat macam Compulsion, yaitu:
a. Duress Per Minas (tekanan/paksaanolehorang).
b. Necessity (keadaan terpaksa). tekanan dari/oleh "keadaan."
c. Obedience to orders (mematuhi perintah), tekanan dari/oleh atasan.
d. Marital coercion (paksaan dalam perkawinan), tekanan dari pihak suami
terhadap istri.

32
3. Intoxication (Keracunan/Kemabukan)
Pada umumnya kemabukan (drunkenness intoxication) tidak merupakan
alasan pembelaan, malahan pada rnulanya di abad XIX sengaja
memabukkan did sendiri dipandang sebagai factor pemberat kesalahan.
Namun demikian, mabuk yang disengaja (voluntary drunkenness) dapat
menjadi alasan pembelaan, apabila:
a. Kemabukan yang disengaja itu menghasilkan atau membuat orang
terganggu jiwanya atau gila (insanity)
b. Meniadakan setiap kesengajaan atau bentuk-bentuk lain dari mens rea
yang disyaratkan untuk kejahatan yang dituduhkan.
Kemabukan yang tidak disengaja (involuntary drun-kenness), misal karena
dipaksa atau ditipu orang lain untuk minum minuman yang mengandung
banyak alcohol, dapat digunakan sebagai alasan pembelaan,
4. Automatism (Gerakan Otomatik/tidak terkontrol)
Automatism adalah setiap perbuatan yang timbul karena gerakan otot
yang tidak terkontrol seperti:
 Kekejangan urat (spasm), gerak reflex (reflex action), sawan (convulsion)
atau suatu perbuatan yang dilakukan misal karena somnambulisme
(sleepwalking).
5. Insanity (Kegilaan/Ketidafcwarasan)
Istilah insanity dan insane mempunyai arti sangat khusus dalam hukum pidana
yang berbeda dengan pengertian medis. Ketidak sehatan jiwa (insanity)
seseorang yang dilihat dari sudut medis tidak cukup sebagai dasar untuk
pembelaan. Ketidak sehatan jiwanya itu hams sedemikian rupa sehingga
mempengaruhi pertanggung jawabannya menurut hukum. Pertanggung
jawabannya ditentukan berdasarkan criteria yang ditetapkan dalam M'Naghten
Rules. Ketentuan (Rules) ini merupakan legal criteria

33
yang digunakan sebagai pertimbangan apabila insanity diajukan sebagai
alasan pembelaan.
6. Infancy (anak di bawah unwr)
Hukum pidana Inggris mengenal batas usia pertanggungjawaba (the age
of responsibility) sebagai berikut :
a. Di bawah 10 tahun
Ada anggapan bahwa anak di bawah 10 tahun dipandang tidak
mampu dalam melakukan kejahatan (incapable of crime atau doli
incapax). Oleh karena itu ia tidak dapat dinyatakan bersalah atau
dipidana.
(Pasal 50 Children and Young Person Act 1933 sebagaiman diubah
oleh Pasal 16 Children and Young Person Act 1963)
b. Umur 10 tahun tetapi di bawah 14 tahun
Ada anggapan bahwa anak dalam kelompok usia ini dipandang doli
incapax, tetapi anggapan ini dapat dibantah dengan membuktikan adanya,
"kehendak jahai"(mischievous discretion) yaitu ia mengetahui bahwa apa
yang dilakukannya adalah salah. Jadi "maksud jahat menambah usia"
(Malitia Supplet aetatem=Malice supplements age).
c. Di atas 14 tahun
Kelompok usia ini sepenuhnya dipandang bertanggung jawab atas
perbuatan yang dilakukannya.
7. Consent of the Victim (Persetujuan Korban)
 Untuk kejahatan terhadap individual, seperti pada pencurian adanya
persetujuan dari korban dapat digunakan sebagai alasan pembela
(defence). Untuk bentuk-bentuk tindak pidana yang mempunyai
pengeruh luas kepada masyarakat, persetujuan dari orang-orang yang
terlibat dalam tindak pidana itu dapat digunakan sebagai alasan
penghapus pidana.
 Apabila ketiadaan persetujuan (lack of consent) merupakan unsur yang
diperlukan untuk suatu kejahatan seperti dalam kasus perkosaan (rape),
perampokan (robbery) dan pencurian dengan membongkar (burglary)

34
maka untuk delik-delik tersebut ketiadaan persetujuan dianggap ada.
Akan tetapi apabila terdakwa mengajukan adanya consent sebagai
pembelaan, maka pihak penuntut umum harus membuktikan bahwa
terdakwa telah melakukan perbuatan itu tanpa persetujuan korban.
 Ada empat syarat untuk mengajukan pembelaan berdasarkan alasan
consent ini, yaitu:
a. Orang yang memberikan persetujuan harus orang yang mampu
memberikan persetujuan.
Misalnya orang-orang yang tidak waras (gila) dan anak-anak,
menurut hukum dipandang tidak mampu (incapable) untuk
memberikan persetujuan.
b. Tindak pidana yang dilakukan harus merupakan jenis tindak pidana
yang memang persetujuan dapat diberikan (merupakan consentable
crime)
Pembunuhan misalnya termasuk delik yang dapat diberikan
persetujuan (nonconsentable crime).
c. Persetujuan itu tidak dapat diperoleh karena penipuan alau ancaman;
d. Persetujuan itu harus diberikan oleh orang yang mempunyai
kewenangan untuk menyetujui; misal A dapat memberikan
persetujuan agar barang-barangnya sendiri diambil oleh orang lain
(dicuri) tetapi A tidak berwenang memberikan persetujuan untuk
diambilnya barang-barang milik orang lain.

11. Klasifikasi tindak pidana


Pengklasifikasian berdasarkan The Criminal Law Act 1967, adatah
sebagai berikut:
a. Arrestable offences
 yaitu tindak pidana yang pidananya ditetapkan secara pasti (fix) oleh
undang-undang atau yang orang (pelaku)-nya dapat dipidana penjara 5
tahun (Pasal 2 ayat 1).

35
 Tetapi menurut Pasal 12 (3) suatu tindak pidana dapat ditetapkan oleh
undang-undang sebagai " arrestable offences" walaupun maksimum
ancaman pidananya kurang dari 5 tahun.
b. Non-arrestable offences:
 yaitu semua tindak pidana yang lain daripada tindak pidana di atas (sub a).

Pengklasifikasian Prosedural
Disamping pembagian atas (B), dikenal pula pembagian atau
pengklasifikasian yang didasarkan pada the mode of trial (cara atau prosedur
peradilan), yaitu :
a. Indictable offences
Yaitu kejahatan-kejahatan serius (seperti murder, theft, perjury) yang
peradilannya dilakukan oleh Crown Court dengan jury. Tindak pidana serius
ini harus diajukan dengan surat tuduhan tertulis (disebut indicment).
b. Summary (petty) ojfences
Yaitu tindak pidana yang harus diadili secara sumir (singkat) dan tidakadajury.
Kebanyakan tindak pidana menurut undang-undang dipandang ringan (minor
statutory offences).
c. Hybrid ojfences (tindakpidana campitrari)
Yaitu tindak pidana yang dapat diajukan dengan tuduhan tertulis (seperti sub
a) maupun diajukan secara sumir (seperti sub b); Tindak pidana ringan (sub b)
yang diancam dengan maksimum 3 bulan penjara dapat diajukan dalam
peradilan jury.

36
C. Penutup
Setelah mengikuti perkuliahan pada bab ini, raahasiswa
diberikan sejumlah post test yang disampaikan secara lisan.

37
BAB III
PIDANA PERAMPASAN KEMERDEKAAN
(Custodial Penalty)
A. Denmark
Ada 2 jenis pidana perampasan kemerdekaan di Denmark, yaitu:
(1) pidana penjara (prison sentence)
Pidana penjara dapat berupa pidana seumur hidup atau untuk waktu
tertent dengan minimal 30 hari dan maksimal 16 tahun. Pidana penjara
untuk waktu tertentu, dalam hal-hal tertentu, dapat diperberat sampai 20
tahun.
Pidana seumur hidup dapat dikonversi menjadi pidana untuk waktu
tertentu setelah periode tertentu melalui grasi (pardon). Hal ini
memungkinkan terpidana untuk memperoleh pelepasan bersyarat (parole).
(2) penahanan/kurungan ringan (simple detention).
Penahanan/kurungan ringan minimalnya 7 hari dan maksimalnya 6
bulan. Pidana ini ditujukan untuk tindak pidana ringan, misalnya
mengendarai kendaraan di bawah pengaruh alkohol dan delik-delik lalu
lintas. Jenis pidana ini sejajar dengan pidana kurungan dalam KUHP
Indonesia.
Pasal 34 KUHP Denmark menentukan beberapa cara eksekusi pidana
penjara, seperti penahanan pada waktu malam terpidana dapat mengerjakan
pekerjaan tertentu.

B. Yunani
Ada tiga jenis pidana perampasan kemerdekaan (custodial penalty):
1. Confinement in a penitentiary (pengurungan dalam penjara):
Confinement ini dapat berupa seumur hidup dan dalam waktu tertentu.
Maksimalnya 20 tahun dan minimalnya 5 tahun. Tidak ada delik yang
hanya diancam pidana seumur hidup.

38
Penjatuhan pidana dalam hal terjadi konkursus dapat berupa pidana
gabungan yang merupakan jumlah pidana yang diancamkan. Maksimal
pidana yang dijatuhkan adalah 25 tahun.
Multiple recidivism atau recidivism yang dilakukan oleh residivis yang
berbahaya bagi publik, dapat dijatuhkan indeterminate sentence.
2. Imprisonmet (Penjara)
Maksimum pidana penjara adalah 10 tahun dan minimalnya adalah 10
hari. Apabila ada konkursus, ancaman maksimumnya dapat mencapai 20
tahun.
3. Detention (penahanan)
Penahanan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama 1 bulan,
kecuali undang-undang menentukan lain. Penahanan dilaksanakan dalam
bagian terpisah di LP atau di pusat penahanan polisi.
Custodial penalty (pidana perampasan kemerdekaan) di Yunani
memiliki berbagai bentuk alternatif di bawah ini:
1. Konversi custodial penalty (pidana kustodial) dengan denda
Aturan Umum menyebutkan bahwa pengadilan yang menjatuhkan
pidana kustodial enam bulan atau kurang, harus menetapkan konversi
pidana kustodial itu ke pidana denda atau pidana pecuniary (pidana yang
bersifat uang), pada saat yang sama dalam putusan yang sama. Pengadilan
dapat tidak menetapkan konversi tersebut dengan alasan berupa
mempertimbangkan sifat terdakwa dan keadaan-keadaan lain, pengadilan
berpendapat bahwa denda dan pidana pecuniary itu dianggap tidak cukup
untuk mencegah terdakwa melakukan lagi tindak pidana. Kedua alasan
untuk tidak menetapkan konversi itu harus dicantumkan dengan tegas
dalam keputusan.
Pengadilan juga diberi kuasa untuk mengkonversi pidana kustodial
antara 6-18 bulan ke pidana, meskipun dalam Aturan Umumnya
menyebutkan bahwa pidana kustodial 6 bulan atau kurang harus
dikonversi ke pidana denda. Hal tersebut dapat dilakukan dengan alasan

39
bahwa denda itu sudah cukup mencegah si pelaku mengulang tindak
pidananya. Alasan ini juga harus dicantumkan dalam putusan hakim.
Kriteria konversi adalah sebagai berikut:
a. 1 hari imprisonment dikonversi antara 400-20.000 Drachmas, dan 1
hari detention, antara 200-5000 Drachmas.
b. apabila terdakwa sangat miskin dan delik yang dilakukannya bukan
untuk memperoleh keuntungan, pengadilan dapat menurunkan batas
minimum konversi sampai sepertiganya.
c. hanya imprisonment dan detention yang dapat dikonversi ke denda.
Confinement in a penitentiary dapat juga dikonversi, apabila pidana
imprisonment kurang dari 18 bulan dijatuhkan sebagai pengganti
confinement in a penitentiary yang kurang dari 10 tahun karena adanya
faktor-faktor yang meringankan
Pidana kustodial yang dijatuhkan akan terus dilaksanakan sampai
jumlah uang yang dikonversi betul-betul telah dibayar ke Perbendaharaan
Publik. Jika denda konversi itu tidak dibayar, maka terpidana akan
dimasukkan ke penjara, sama seperti mereka yang gagal membayar pidana
denda.
Pidana kustodial yang telah dikonversi ke pidana denda atau pecuniary
penalty tetap mempunyai sifat sebagai pidana kustodial sekalipun telah
dibayar sebagian atau seluruhnya.
2. Pidana bersyarat (suspended sentence)
3. Pelepasan bersyarat (conditional release)
4. Pengurangan masa pidana penjara karena melakukan pekerjaan dengan
baik (goodtime allowance)
Pengurangan masa pidana di dalam penjara dimungkinkan dengan
melakukan suatu pekerjaan. Terpidana penjara yang lebih lama dari 6 bulan
dapat mengurangi pidananya dengan bekerja di luar, yaitu di suatu tempat
yang disebut farm prisons. Pidananya akan dikurangi dua hari untuk tiap hari
kerja atau pidananya akan dikurangi satu setengah hari untuk tiap hari kerja di
dalam penjara. Pengurangan pidana dinyatakan batal, jika napi tidak disiplin

40
atau tidak melaksanakan pekerjaan dengan cara yang baik. Goodtime
allowance merupakan sarana individualisasi sanksi dan rehabilitasi
narapidana. Goodtime allowance hanya mengurangi masa narapidana berada
di penjara, tidak mengurangi masa/lamanya pidana itu sendiri.
Implementasi sanksi kustodial adalah sebagai berikut:
1. Tujuan utama pemberian sanksi kustodial adalah untuk melakukan
rehabilitasi.
2. Jenis-jenis penjara dan lembaga untuk melaksanakan sanksi kustodial itu
adalah:
a. penjara-penjara judisial (judicial prisons);
b. penjara-penjara pusat (central prisons);
c. penjara-penjara pertanian (farm prisons);
d. penjara-penjara terbuka (open prisons);
e. lembaga-lembaga komersial atau perkebunan untuk anak/remaja
(commercial or farm institutions for juveniles);
f. lembaga-lembaga perawatan atau keamanan (treatment or security
institutions);
g. lembaga-lembaga kerja (labour institutions);
h. rumah sakit, sanatoria, dan lembaga-lembaga perawatan khusus
(hospitals, sanatoria, and special treatment institutions).

C. Portugal
Pidana perampasan kemerdekaan di Portugal, setelah berlakunya
KUHP Baru 1983, yaitu pidana penjara (prison sentence) dengan beberapa
modus/bentuk berupa pidana bersyarat (suspended sentence), perintah
pengawasan (probation order), dan pelepasan bersyarat (parole/conditional
release). Minimum pidana penjara (prison sentence) adalah 1 bulan,
sedangkan maksimumnya adalah 20 tahun. Maksimum prison sentence ini
dapat dinaikkan ¼ untuk genocide dan terorisme. Prison sentence yang
dijatuhkan tidak dapat melebihi batas 25 tahun. Tiap delik mempunyai batas-
batas khususnya sendiri-sendiri. Namun ada faktor yang meringankan,

41
misalnya apabila pelaku telah membayar kerugian untuk kerusakan yang
timbul, maka memungkinkan untuk dijatuhkannya pidana di bawah minimal.
Pembuat undang-undang menetapkan syarat-syarat yang ketat sebelum
pidana penjara 6 bulan ke bawah dijatuhkan. Misalnya Pasal 43 Penal Code
(PC) yang menyatakan, bahwa semua pidana penjara 6 bulan atau kurang
harus disubstitusikan dengan sejumlah denda harian yang seimbang, kecuali
menjalani prison sentence itu dipandang perlu untuk mencegah pelaku
mengulang tindak pidana. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa ketentuan
dalam Pasal 43 ini dilandasi oleh ide bahwa pidana penjara mempunyai sifat
sebagai pidana terakhir (Barda Nawawi Arief, 2004: 13). Ide ini juga terdapat
dalam Pasal 71 PC, dimana hakim diwajibkan untuk menjatuhkan pidana
noncustodial apabila hal ini dipandang cukup untuk merehabilitasi si
pelanggar, dan juga syarat-syarat teguran/pencercaan dan pencegahan
terpenuhi.
Sejak tahun 1983, Pasal 44 dan 45 PC memberi peluang kepada hakim
untuk menetapkan bahwa pidana sampai 3 bulan dapat dilaksanakan dalam
bentuk penahanan akhir pekan (weekend detention) atau penahanan setengah
(semi-detention). Pasal 44 PC menyatakan bahwa pidana penjara dapat
dikonvensi menjadi weekend detention. Penahanan akhir pekan dijalankan
maksimum 15 akhir pekan yang masing-masing terdiri atas minimum 36 jam
dan maksimum 48 jam. Satu akhir pekan sama dengan empat hari penuh
pidana penjara. Untuk menetapkan pidana akhir pekan, Hakim
mempertimbangkan tentang kepribadian dan keadaa pribadi, tingkah laku
sebelum dan sesudah delik dilakukan dan keadaan pada waktu delik
dilakukan. Apabila konversi pidana penjara pendek ke pidana denda atau
weekend detention tidak dimungkinkan maka dapat dipilih semi-detention,
yaitu suatu bentuk pidana dimana napi diberi kebebasan di luar penjara untuk
melakukan pekerjaan normalnya atau pendidikannya sehingga terpidana
berada sebagian besar di luar penjara. Semi-detention harus dengan
persetujuan terpidana (Pasal 45 PC).

42
D. Jerman
Pidana perampasan kemerdekaan dalam KUHP Jerman berupa pidana
penjara dengan maksimum atau seumur hidup, di samping juga dikenal pidana
bersyarat (suspended sentence). Dikenal juga sejumlah tindakan yang juga
menyebabkan hilangnya kemerdekaan, yaitu ditempatkan di pengobatan
psikiatri, ditempatkan pada penyembuhan ketagihan obat, ditempatkan di
social therapeutic institution dan pengurungan dengan keamanan tinggi untuk
alasan keamanan publik. Tindakan pengurungan dengan keamanan tinggi
untuk alasan keamanan publik disebut juga preventive detention. Tindakan ini
merupakan jenis tindakan yang paling keras dan dikenakan kepada residivis
yang telah menjalani paling kurang dua tahun. Pengenaan pertama dibatasi
sampai 10 tahun dan yang kedua tidak dibatasi lamanya. KUHP Jerman juga
mengenal pemidanaan tanpa pidana jika kerugian yang dikenakan kepada
pelanggar pada waktu dilakukannya delik dipandang pengenaan pidana
selanjutnya berkelebihan. Diterapkan juga alternatif denda sebagai pengganti
pidana penjara yang singkat. Di samping denda harus sebagai alternatif
pemenjaraan, diadakan pula penundaan pidana

43
BAB IV
PIDANA DENDA (Fine Sentence)

A. Belanda
Pasal 9 ayat (2) menetapkan bahwa apabila pidana penjara atau
kurungan (bukan kurungan pengganti) dijatuhkan, maka hakim dapat
menambah lagi dengan mengenakan pidana denda.
Jumlah pidana denda minimal adalah 5 Gulden (Pasal 23 ayat (2)).
Denda yang dijatuhkan tidak boleh melebihi maksimum kategori denda yang
ditetapkan untuk delik yang bersangkutan (Pasal 23 ayat (3)).
Ada enam kategori denda (Pasal 23 ayat (4)):
1. Kategori ke-1: 500 Gulden;
2. Kategori ke-2: 5000 Gulden;
3. Kategori ke-3: 10.000 Gulden;
4. Kategori ke-4: 25.000 Gulden;
5. Kategori ke-5: 100.000 Gulden;
6. Kategori ke-6: 1.000.000 Gulden
Apabila denda tidak diancamkan, baik untuk pelanggaran maupun
kejahatan, hakim dapat mengenakan denda sampai jumlah maksimum kategori
ke-1 untuk pelanggaran dan maksimum kategori ke-3 untuk kejahatan (Pasal
23 ayat (5)).
Apabila jumlah denda dicantumkan, untuk pelanggaran maupun
kejahatan, tetapi tidak ditetapkan kategorinya, hakim dapat menjatuhkan
denda sampai jumlah maksimum kategori ke-1 untuk pelanggaran dan sampai
kategori ke-3 untuk kejahatan, yang jumlahnya lebih besar dari jumlah denda
yang diancamkan untuk delik yang bersangkutan (Pasal 23 ayat (6)).
Jumlah pidana denda yang dapat dijatuhkan untuk korporasi (a juristic
person) tidak lebih dari jumlah kategori tertinggi (Pasal 23 ayat (7)).
Dalam menjatuhkan pidana denda, hakim harus mempertimbangkan
kekayaan terdakwa (accused‟s means) agar tercapai putusan pidana yang tepat

44
tanpa mempengaruhi secara tidak sepadan penghasilan dan kekayaan (capital)
terdakwa (Pasal 24).
Apabila jumlah pidana denda yang dijatuhkan tidak kurang dari 500
Gulden, hakim dapat menetapkan bahwa terpidana membayar dengan cicilan.
Setiap cicilan tidak kurang dari 100 Gulden (Pasal 24a ayat (1)). Hakim harus
menetapkan batas waktu cicilan (Pasal 24a ayat (2)). Batas waktu cicilan tidak
kurang dari 1 bulan dan tidak lebih dari 3 bulan untuk tiap cicilan, dengan
ketentuan bahwa batas waktu seluruh cicilan tidak boleh melebihi 2 tahun
(Pasal 24a ayat (3)).

B. Denmark
1. Denda Harian (A Day-Fine)
Denda (fine) dapat dikenakan dalam bentuk denda harian (a day-fine).
Minimalnya 1 denda-harian dan maksimalnya 60 denda-harian, tetapi apabila
ada bebrapa delik, maka denda-harian dapat dijumlah tanpa batas maksimum.
Minimal denda harian adalah 2 Crown Denmark sedangkan jumlah batas
maksimalnya tidak ditentukan. Jumlah besarnya denda harian ditetapkan
berdasarkan penghasilan rata-rata perhari dari yang bersangkutan dengan
mempertimbangkan keadaan-keadaan khusus, seperti capital resources dan
kewajiban terhadap keluarga.
2. Denda yang Ditentukan (The Fixed Sum Fine)
The fixed sum fine tidak ditetapkan batas minimal dan maksimalnya.
Menurut Pasal 58 Penal Code, denda sebagai pidana pokok dapat
dikombinasikan dengan pidana bersyarat.
Pasal 931 The Code of Criminal Procedure menentukan bahwa, dalam
batas-batas tertentu, penuntut umum dan polisi dapat mengenakan denda
untuk menghindari penuntutan pidana. Berdasarkan Pasal 723 KUHAP
Denmark, jaksa dapat menyampingkan perkara dengan syarat terdakwa
membayar denda yang ditentukan oleh jaksa dan dikuatkan oleh seorang
hakim yang disebut Tiltalefrafald.

45
Denda yang tidak dibayar dapat diganti dengan pidana penjara (prison
sentence). Jumlah denda-harian yang diganti dengan detention ditetapkan oleh
pengadilan pada saat yang sama ditetapkannya jumlah denda itu.
Default detention, yaitu kurungan karena tidak sanggup bayar denda,
dapat berupa simple detention atau imprisonment, tergantung pada criminal
history terpidana. Apabila ia telah dipidana dengan pidana penjara tanpa syarat
selama 5 tahun atau ia telah dikenakan lebih dari satu kali default sentence
maka yang dipilih adalah imprisonmet. Apabila denda terdiri dari denda harian
(a day-fine), hakim menetapkan 1 hari detention untuk tiap denda harian yang
tidak dibayar, dengan ketentuan bahwa default detention tidak kurang dari 2
hari. Apabila dendanya berupa denda yang jumlahnya dipastikan (a fixed sum
fine), pengadilan akan menetapkan secara pasti jumlah hari dari kurungan
pengganti itu dengan minimal 2 hari dan maksimal 60 hari. Dalam kondisi
khusus, lamanya kurungan pengganti dapat mencapai maksimal 9 bulan.

C. Yunani
Sanksi yang bersifat uang terdiri dari pidana yang bersifat uang
(pecuniary penalty) dan denda (fine). Pasal 57 Penal Code (PC) menentukan
bahwa kecuali ditentukan lain dalam undang-undang khusus, pecuniary
penalty tidak kurang dari 3.000 Drachmas dan tidak lebih dari 1 juta
Drachmas; dan fine tidak kurang dari 300 Drachmas dan tidak lebih dari
10.000 Drachmas.
Ada delik yang dapat dipidana hanya dengan pecuniary penalty, ada
yang dapat dipidana dengan pecuniary penalty atau hukuman perampasan
kemerdekaan (custodial sentence), dan ada yang dapat dipidana dengan
kedua-duanya. Pasal 80 ayat (2) Penal Code mengatur bahwa apabila undang-
undang menetapkan custodial sentence atau pecuniary penalty, pengadilan
dapat menjatuhkan dua-duanya apabila berpendapat bahwa satu pidana
(pidana tunggal) tidak cukup untuk mencegah si pelaku melakukan tindak
pidana lagi. Apabila ada faktor yang meringankan dan undang-undang

46
menetapkan pidana gabungan antara custodial sentence dan pecuniary penalty,
pengadilan dapat menjatuhkan pidana denda.
Tindakan-tindakan paksa untuk melaksanakan pidana denda adalah:
1. penyitaan harta milik (seizure of property);
2. penyitaan barang tetap (seizure of real estate); (c)
3. penahanan/kurungan (detention).

D. Portugal
Pidana denda digunakan sebagai pengganti pidana penjara pendek dan
juga sebagai pidana yang berdiri sendiri (independent sanction). Sejak tahun
1983, semua pidana denda dihitung sebagai denda harian (a day-fine) karena
harus memperhitungkan kemampuan terpidana. Menurut Pasal 46 Penal Code,
(PC) pidana denda sekurang-kurangnya 10 dan maksimal 300 denda-harian.
Tiap denda harian sekurang-kurangnya 200 Escudos dan tidak dapat lebih dari
10.000 Escudos.
Pembayaran denda dapat ditunda sampai 1 tahun atau dapat dicicil
dalam waktu 2 tahun. Apabila denda tidak dibayar, dapat diganti dari barang-
barang terpidana atau dikonversi dengan kewajiban kerja. Satu hari kerja sama
dengan satu denda harian. Uang denda menjadi milik negara. Pasal 129 Penal
Code membuat pengecualian, yaitu hakim dapat menghadiahkan semua atau
sebagian denda itu kepada pihak yang dirugikan (korban) apabila ia menderita
kerugian finansial sangat serius dan terdakwa tidak dapat membayar kembali.
Atas permintaan pihak yang dirugikan, barang-barang yang disita atau hasil
kejahatan dan juga keuntungan yang berasal dari kejahatan dapat
diberikan/dihadiahkan kepadanya.

47
BAB V
PIDANA UNTUK ANAK

A. Belanda
Ketentuan khusus untuk anak yang melakukan tindak pidana diatur
dalam Bab VIII A KUHP Belanda (Civil Code).
Ketentuan Pasal 77a dihapus dengan Pasal 486 Wetboek van
Strafvordering (KUHAP) yang menyatakan ”Tak seorangpun dapat dituntut
pidana atas suatu perbuatan yang pada saat dimulainya perbuatan berumur 12
tahun.”
Anak yang berumur di bawah 12 tidak dapat dituntut apabila
melakukan tindak pidana (criminal offences), tapi langkah Civil Code, seperti
menyerahkan ke pusat perawatan anak nakal (a juvenile treatment center)
boleh dilakukan.
Pasal 77a yang baru menyatakan ”Pasal 9 ayat 1, 10-22a, 24c, 37-38i,
44, dan 57-62 tidak dapat diterapkan pada seseorang yang telah berumur 12
tahun tetapi belum 18 tahun pada tindak pidana dilakukan. Ketentuan-
ketentuan khusus dalam Pasal 77d-77g berlaku sebagai penggantinya.”
Keterangan:
1. Pasal 9 ayat (1) memuat jenis-jenis pidana pokok.
2. Pasal 10-22a memuat aturan pidana
3. Pasal 24c mengatur pembayaran denda cicilan
4. Pasal 37-38i mengatur penempatan anak di RS Jiwa
5. Pasal 44 mengatur pemberatan pidana karena jabatan
6. Pasal 57-62 mengatur tentang concursus realis.
Pasal 77b menyatakan bahwa “Dalam hal seseorang telah mencapai
usia 16 tahun, tetapi belum 18 tahun pada saat delik dilakukan, hakim dapat
tidak menerapkan Pasal 77g-77gg dan memberlakukan ketentuan dalam bab
terdahulu, apabila ada alasan berdasarkan beratnya kejahatan (the gravity of
the offense), karakter si pembuat (the carácter of the ofender) atau keadaan-

48
keadaan pada waktu kejahatan dilakukan (the circumstance in which the
offense was committed).
Pasal 77c menentukan bahwa dalam hal seseorang telah mencapai usia
18 tahun tetapi belum 21 tahun pada saat delik dilakukan, hakim dapat
menerapkan Pasal 77g-77gg, apabila ada alasan berdasarkan karakter si pelaku
atau keadaan-keadaan pada waktu delik dilakukan. Pidana juvenile detention
akan dilakukan di dalam lembaga penjara yang dirancang untuk tujuan
tersebut. Pasal 22 dapat diterapkan. Tindakan berupa “penempatan di suatu
lembaga untuk remaja” harus dilaksanakan sesuai dengan Pasal 37c.
Pasal 77d:
(1) Batas daluwarsa penuntutan dalam Pasal 70 untuk kejahatan dikurangi
separuh dari tenggang waktu yang berlaku.
(2) Ketentuan ayat (1) tidak berlaku untuk kejahatan dalam Pasal 240b dan
242-250ter, yang dilakukan terhadap anak oleh orang yang telah
mencapai usia 16 tahun pada saat delik dilakukan.
Pasal 77e:
(1) Pejabat penyidik yang ditugaskan untuk itu oleh Penuntut Umum, setelah
mendapat ijin dari Penuntut Umum, dapat mengusulkan terdakwa
berperan serta dalam suatu proyek. Tujuan dari berperan serta itu untuk
mencegah pengiriman Berita Acara Pemeriksaan (BAP) polisi ke
Penuntut Umum. Delik mana yang dapat diproses dengan cara ini,
ditentukan dengan Peraturan Pemerinta (General Administrative Order).
(2) Sehubungan dengan usulan pada ayat 1, pejabat penyidik harus
memberikan informasi lepada terdakwa, bahwa ia tidak berkewajiban
berperan serta dalam proyek itu dan konsekuensi yang mungkin harus
dihadapinya apabila ia tidak ikut dalam proyek itu. Usulan, komunikasi
dan informasi yang berhubungan dengan akibat yang mungkin dihadapi
itu harus juga disampaikan lepada terdakwa secara tertulis.
(3) Penuntut Umum harus mengeluarkan instruksi umum sebagaimana
disyaratkan dalam pengaturan ayat 1. Instruksi harus berkaitan dengan:

49
a. proyek-proyek dan kategori delik yang memenuhi syarat dan sesuai
dengan tipe proyek yang ditentukan;
b. lamanya peran serta, bergantung pada hakikat delik dan proyek, dan
c. cara ijin Penuntut Umum itu diperoleh.
(4) Jangka waktu peran serta itu harus tidak lebih dari 20 jam.
(5) Apabila pejabat penyidik dalam ayat (1) menganggap bahwa terdakwa
telah secara sungguh-sungguh berpartisipasi dalam proyek itu, ia harus
membuat catatan tertulis kepada Penuntut Umum dan kepada terdakwa.
Hak menuntut hapus berdasarkan catatan/laboran tertulis itu, kecuali
telah diterbitkan perintah berdasarkan Pasal 12k Strafvordering
(KUHAP). Dalam hal demikian, apabila hakim menjatuhkan pidana,
mempertimbangkan peran serta terdakwa dalam proyek itu.
Pasal 77f:
(1) Dalam menerapkan Pasal 74 ayat (1), Penuntut Umum dapat
menambahkan syarat-syarat berikut kepada terdakwa:
a. memenuhi perintah yang dikeluarkan oleh lembaga seperti tersebut
dalam Pasal 60 ayat (1) b The Young Persons Assistance Act untuk
jangka waktu tertentu sesuai kebutuhan, tetapi tidak boleh lebih dari 6
bulan.
b. melakukan pelayanan kepada masyarakat/kerja social (community
service) atau memperbaiki kerusakan akibat tindak pidana atau
mengikuti proyek pelatihan minimal 40 jam dalam suatu periode
tertentu, namun tidak lebih dari 3 bulan.
(2) Ketentuan dalam Pasal 77m ayat 1 dan 77n ayat 1 dan 2, dan ketentuan-
ketentuan yang bersesuaian dengan pasal-pasal tersebut, yang mengatur
tentang sanksi alternatif, dapat diterapkan berdasarkan syarat-syarat
tersebut dalam ayat 1 (b)
(3) Jumlah uang yang ditetapkan dalam Pasal 74 ayat (2) a, harus tidak lebih
dari NLG 5000.

50
Pasal 77g:
(1) Pidana sanksi alternatif dan tindakan yang ditetapkan dalam bab ini harus
diterapkan sebagai pengganti dari pidana yang ditetapkan untuk delik
khusus.
(2) Untuk delik yang sama, tidak ada denda atau sanksi alternatif yang dapat
disamakan dengan tindakan comittal to an institution tanpa mengabaikan
ketentuan dalam Pasal 77x ayat 2.
Pasal 77h:
(1) Pidana pokok:
a. untuk kejahatan: kurungan anak atau denda;
b. untuk pelanggaran denda
(2) Satu atau lebih sanksi alternatif berikut ini dapat dikenakan sebagai
pengganti pidana pokok dalam ayat 1:
a. pelayanan masyarakat (community service)
b. Pekerjaan yang berkontribusi untuk memperbaiki kerusakan yang
dihasilkan oleh tindak pidana.
(3) Pidana tambahan terdiri dari:
a. perampasan (forfeiture);
b. larangan mengendarai kendaraan bermotor (disqualification from
driving motor vehicle).
(4) Tindakan-tindakan terdiri dari:
a. penempatan pada lembaga khusus untuk anak (comittal to an
institution for young persons);
b. penyitaan (confiscation);
c. perampasan keuntungan dari perbuatan melawan hukum
(deprivation of unlawfully obtained gains);
d. kompensasi atas kerusakan (compensasion for the damage).
Pasal 77i:
(1) Kurungan anak:
a. minimal 1 hari dan maksimal 12 bulan dalam hal seseorang belum
mencapai usia 16 tahun pada saat kejahatan dilakukan.

51
b. maksimal 24 bulan untuk kasus-kasus selain sub a.
(2) Kurungan anak ditetapkan dalam hari, minggu atau bulan.
(3) Pasal 26 dan 27 dapat dikenakan untuk seseorang yang dijatuhi pidana
“kurungan anak”.
(4) Kurungan anak harus dilaksanakan di lemabaga negara atau fasilitas yang
ditentukan dalam Pasal 65 Undang-Undang Pemberian Bantuan pada
Anak yang disubsidi untuk tujuan itu oleh Menteri Kehakiman, seperti
diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang tersebut.
Pasal 77j:
(1) Dalam kasus-kasus khusus Menteri Kehakiman dapat memerintahkan:
a. pelaksanaan kurungan anak dipecah dalam suatu periode yang tidak
lebih dari 3 bulan; atau
b. seseorang yang sedang menjalani kurungan anak meninggalkan
lembaga untuk sementara, berdasarkan jaminan-jaminan yang
ditetapkan olehnya.
(2) Hakim yang menjatuhkan pidana dapat setiap saat melepaskan anak yang
berada dalam kurungan anak untuk memperoleh pelepasan bersyarat
(parole).
(3) Dalam hal pelepasan bersyarat, lamanya waktu pengawasan ditetapkan
tidak lebih dari 2 tahun. Informasi mengenai lamanya waktu pengawasan
dan persyaratan yang ditetapkan harus disampaikan secara pribadi
kepada terpidana. Pasal 77y ayat 3, 77z, 77a dan 77cc-77ee dapat
diterapkan.
Pasal 77k:
Atas permohonan pejabat penuntut umum atau terpidana, hakim yang
menjatuhkan pidana kurungan anak dapat memerintahkan bahwa pidana yang
dijatuhkan itu seluruhnya atau sebagian diganti dengan salah satu jenis pidana
dalam Pasal 9 ayat (1), apabila pelaksanaan pidana yang dijatuhkan itu, atau
sebagian, berlangsung/terjadi dalam suatu waktu di mana terpidana telah
mencapai 18 tahun dan apabila hakim berpendapat bahwa pidana itu tidak
lagi tepat untuknya.

52
Pasal 77l:
(1) Jumlah uang yang dijatuhkan sebagai pidana denda tidak kurang dari
NGL 5 dan tidak lebih dari NGL 5000. Pasal 24a dapat diterapkan
dengan ketentuan, hakim dapat menentukan bahwa jumlah pidana denda
itu dapat dicicil. Hakim harus menetapkan jumlah setiap cicilan.
(2) Apabila denda telah dijatuhkan dan pembayaran penuh (full payment)
maupun biaya perbaikan kembali yang penuh (full recovery) tidak terjadi,
hakim dapat memerintahkan kurungan anak sebagai pengganti.
(3) Apabila seluruh atau sebagian pembayaran denda dan biaya pemulihan
tidak terpenuhi, maka untuk jumlah yang tidak dipenuhi, hakim (atas
permintaan PU) mengenakan kurungan anak sebagai pidana pengganti,
atau atas permintaan terpidana, mengenakan sanksi alternatif sebagai
pidana pengganti. Apabila hakim telah menggunakan diskresi dalam ayat
2, ia dapat juga memodifikasi lamanya kurungan anak yang telah
dijatuhkan sebelumnya sebagai pidana pengganti, kecuali pidana itu telah
dilaksanakan.
(4) Pidana pengganti berupa kurungan anak harus dilaksanakan pada tempat
yang ditentukan oleh PU.
(5) Sanksi alternatif pada ayat 3 harus dikenakan secara proporsional dengan
jumlah biaya pemulihan yang belum terpenuhi. Pasal 77m-77q dapat
diterapkan. Sanksi itu hanya dapat dikenakan apabila terpidana belum
mencapai usia 18 tahun.
(6) Apabila terpidana telah mencapai usia 18 tahun, hakim mengenakan
pidana kurungan sebagai pidana pengganti, kecuali ia berpendapat bahwa
kurungan anak sebagai pidana pengganti masih layak.
(7) Lamanya kurungan anak maupun kurungan sebagai pidana pengganti
tidak boleh kurang dari 1 hari dan tidak lebih dari 3 bulan. Untuk setiap
pemenuhan NGL 25 dari kekurangan denda yang belum dibayar, tidak
boleh lebih dari 1 hari. Apabila pembayaran sisa denda dipenuhi, pidana
pengganti berupa pidana kurungan anak atau berupa kurungan
dihapuskan.

53
(8) Apabila denda dijatuhkan, Pasal 27 ayat 3 dan 4 dapat diterapkan.
Pasal 77m:
(1) Hakim hanya dapat mengenakan sanksi alternatif atas permintaan
terdakwa. Pemohon harus menyatakan bentuk sanksi alternatif yang
diminta.
(2) Lamanya kerja sosial (community service) atau lamanya kerja untuk
memperbaiki kerusakan akibat tindak pidana, tidak boleh lebih dari 200
jam.
(3) Jangka waktu bekerja yang dilaksanakan tidak boleh lebih dari 6 bulan
apabila pekerjaan itu terdiri dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak lebih
dari 100 jam dan tidak lebih dari 1 tahun di dalam kasus-kasus yang
tersisa (remaining cases). Akan tetapi, Penuntut Umum dalam
menerapkan Pasal 77o ayat 2, dapat memperpanjang jangka waktu ini.
(4) Lamanya proyek pelatihan tidak lebih dari 200 jam.
(5) Jangka waktu berlangsungnya proyek pelatihan harus tidak lebih dari 6
bulan. Dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur mengenai sifat dan
substansi pelatihan, dan cara bagaimana pelaksanaan ketentuan-ketentuan
ini akan dievaluasi. Jumlah jam seperti diatur dalam ayat (4) dapat
dipisahkan dari sifat proyek pelatihan yang diwajibkan.
(6) Apabila lebih dari satu alternatif sanksi yang dikenakan, jumlah
keseluruhan jam harus tidak lebih dari 240 jam.
(7) Apabila suatu sanksi alternatif dikenakan, Pasal 27 ayat 1 dan 4 dapat
diterapkan.
Pasal 77n:
(1) Hakim hanya dapat menjatuhkan sanksi alternatif setelah mengajukan
kepada the Child Care and Protection Board pendapat mengenai sifat,
muatan dan kemungkinan pelaksanaan dari sanksi alternatif yang
diajukan.
(2) Hakim harus menyatakan:
a. dalam hal sanksi alternatif berupa kerja sosial atau pekerjaan
memperbaiki kerusakan akibat tindak pidana:

54
1) jumlah jam kerja yang harus dilaksanakan;
2) jangka waktu kapan pekerjaan itu, setelah putusan berkekuatan
tetap, harus dimulai, dan kapan harus diakhiri, dan
3) sifat dan macam pekerjaan yang harus dilaksanakan
b. dalam hal proyek pelatihan
1) lamanya proyek pelatihan, jangka waktu kapan pekerjaan itu,
setelah putusan berkekuatan tetap, harus dimulai dan kapan harus
diakhiri;
2) lembaga dimana proyek pelatihan itu akan dilaksanakan, dan
3) sifat dan macam proyek pelatihan.
(3) Sanksi alternatif hanya dapat dikenakan, apabila terdakwa memberikan
persetujuannya.
Pasal 77o:
(1) the Child Care and Protection Board ditugaskan mempersiapkan dan
membantu pengimplementasian sanksi-sanksi alternatif. Pejabat Penuntut
Umum dapat menanyakan keterangan kepada the Child Care and
Protection Board tentang cara bagaimana terpidana melaksanakan sanksi
alternatif itu. Pejabat Penuntut Umum dapat minta kerja sama dan
memberi tugas-tugas yang diperlukan kepada Dewan tersebut.
(2) Berdasarkan konsultasi dengan Dewan tersebut dan terpidana, pejabat
Penuntut Umum dapat memodifikasi sanksi yang dijatuhkan kecuali
jumlah jam, apabila dipandang bahwa terpidana tidak dapat
menyelesaikan atau tidak mampu menyelesaikan sanksi alternatif itu
sesuai dengan putusan hakim. Dalam hal demikian, harus seteliti
mungkin diperkirakan sanksi alternatif yang dikenakan.
(3) Pemberitahuan mengenai modifikasi itu dikirim kepada terpidana dan the
Child Care and Protection Board pada kesempatan paling awal.
Pemberitahuan itu berisi jumlah jam, yang menurut pendapat pejabat
Penuntut Umum telah diselesaikan sebagaimana mestinya, juga sanksi
yang telah ditetapkan untuk sisanya.

55
(4) Dalam waktu 8 hari, terpidana boleh mengajukan pernyataan penolakan
terhadap pemberitahuan pada ayat 3 kepada hakim yang menjatuhkan
sanksi itu. Hakim dapat memodifikasi putusan Penuntut Umum itu. Ayat
2 dapat diterapkan.
(5) Hakim yang menjatuhkan sanksi alternatif, berdasarkan permintaan
Penuntut Umum yang berpendapat bahwa terpidana tidak mau
menyelesaikan atau tidak menyelesaikan sanksi yang dijatuhkan
sebagaimana mestinya, boleh tetap menjatuhkan salah satu jenis pidana
dalam Pasal 77h ayat (1) atau sanksi alternatif lainnya. Ia harus
mempertimbangkan bagian dari sanksi alternatif yang telah diselesaikan
sebagaimana mestinya.
Pasal 77gg:
(1) Untuk percobaan, persiapan, penyertaan, dan pembantuan, pidana dan
tindakan dalam bab ini diberlakukan sebagai kejahatan selesai.
(2) Dalam kasus perbarengan beberapa perbuatan yang dipandang terpisah
dan berdiri sendiri-sendiri, harus dipandang sebagai satu tindak pidana
(delik tunggal) dalam hal penerapan pidana, sanksi alternatif dan
tindakan. Pasal 63 diterapkan dalam hubungannya dengan pidana dan
sanksi alternatif.
Pasal 63:
Apabila seseorang yang telah dijatuhi pidana, dinyatakan bersalah lagi
melakukan kejahatan atau pelanggaran sebelum putusan pidana itu, maka
ketentuan dalam Bab ini berlaku seperti apabila delik-delik itu diadili pada
waktu bersamaan.

B. Yunani
Aturan untuk anak dan remaja terdapat dalam Bab VIII Bagian Umum
KUHP (Penal Code).
Anak berusia 7-12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan reformatif
atau tindakan perawatan. Untuk yang berusia antara 13-17 tahun pengadilan
hanya boleh memerintahkan tindakan reformatif atau perawatan, atau apabila

56
dipandang perlu, penahanan dalam panti asuhan. Orang yang melakukan delik
pada saat berusia 18-21 tahun, dapat dikenakan pidana kustodial (perampasan
kemerdekaan) seperti orang dewasa tetapi dengan pengurangan pidana.
Tindakan reformatif terdiri dari:
1. teguran keras (reprimand) bagi remaja (atau anak-anak)
2. penempatan remaja (atau anak) di bawah pengawasan orang tua/wali;
3. penempatan remaja (atau anak) pada perwakilan pengawasan/yayasan
perlindungan anak, lembaga perlindungan atau suatu panitia khusus untuk
remaja;
4. penempatan remaja pada negara bagian/kotapraja/lingkungan masyarakat
yang tepat, atau lembaga pendidikan privat.
Tindakan perawatan dapat diperintahkan atas nasihat spesialis medis dimana
remaja memerlukan perhatian khusus, khususnya karena menderita gangguan
kejiwaan, buta, bisu-tuli, epilepsi, dan sebagainya.

57
BAB VI
PIDANA PERINGATAN/TEGURAN
(Reprimand)

A. Yunani
Teguran keras (reprimand) di Yunani termasuk jenis sanksi berupa
tindakan untuk anak.. Ada dua jenis tindakan untuk anak, yaitu tindakan
reformatif dan tindakan perawatan. Sanksi teguran termasuk tindakan
reformatif.
Anak berusia 7-12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan reformatif
atau tindakan perawatan. Untuk yang berusia 13-17 tahun pengadilan boleh
memerintahkan tindakan reformatif atau perawatan, atau apabila dipandang
perlu, penahanan dalam panti asuhan (confinement in a reformatory). Dewasa
muda yang pada saat melakukan delik berusia antara 18-21 tahun, dapat
dikenakan pidana kustodial seperti orang dewasa, tetapi mendapat
pengurangan.

B. Portugal
Pidana pokok terdiri dari:
1. Pidana penjara (prison sentence) diatur dalam Pasal 40;
2. Pidana denda (fine) diatur dalam Pasal 46;
3. Pidana bersyarat (suspended sentence) diatur dalam Pasal 48;
4. Pengawasan (probation order) diatur dalam Pasal 53;
5. Teguran publik (public reprimand) diatur dalam Pasal 59;
6. Pidana kerja sosial (community service order) diatur dalam Pasal 60;
7. Pelepasan bersyarat (parole) diatur dalam Pasal 61.
Sanksi teguran (reprimand) berupa teguran lisan secara formal oleh
hakim dalam persidangan terbuka yang dihadiri terdakwa. Sanksi ini terutama
dimaksudkan untuk pelaku pemula (first offenders) dan para pelanggar yang
mempunyai rasa harga diri yang baik (delinquents who have a well developed

58
self esteem), yang tidak melakukan delik sangat serius., dan kepadanya tidak
diperlukan pidana yang lebih berat. Teguran juga dapat diberikan apabila
sanksi ini dapat menunjang rehabilitasi sosial si pelanggar (Pasal 59 ayat (2)
PC).
Pasal 59 PC menyatakan, hakim dapat menerapkan sanksi ini apabila:
a. Terdakwa bersalah melakukan delik yang tidak diancam pidana lebih berat
dari 3 bulan penjara, denda sebesar 90 denda harian, atau
gabungan/kombinasi kedua pidana itu;
b. Terdakwa harus telah membayar kerugian yang ditimbulkan.

C. Yugoslavia
Pasal 24 ayat (4) KUHP Yugoslavia menyatakan bahwa ”Berdasarkan
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang ini, pelaku tindak pidana
dapat ditegur (admonished) oleh pengadilan”.
Pasal 50 A mengatur syarat-syarat penjatuhan teguran judisial:
1. Teguran judicial (judicial admonition) merupakan suatu tindakan yang
akan dijatuhkan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-
undang ini dalam kasus-kasus di mana ada dasar untuk mengharap bahwa
tujuan pidana akan tercapai tanpa pengenaan pidana.
2. Teguran judisial tidak akan mempunyai konsekuensi hukum apapun.
Pasal 50B:
(1) Untuk delik-delik yang diancam pidana penjara maksimum sampai 1
tahun atau diancam denda, apabila dilakukan dalam keadaan-keadaan
yang meringankan sehingga membuat delik itu menjadi ringan.
(2) Untuk delik-delik yang diancam dengan pidana penjara lebih berat dari 1
tahun, apabila persyaratan undang-undang untuk menjatuhkan tindakan
ini telah terpenuhi.
(3) Berdasarkan syarat-syarat pada ayat (1), teguran judisial ini juga dapat
dijatuhkan untuk perbarengan tindak pidana.
(4) Dalam menetapkan apakah peringatan judisial dijatuhkan, pengadilan
akan mempertimbangkan:

59
- riwayat hidup si pelaku, apakah pernah dipidana, apakah sebelumnya
pernah dikenakan peringatan judisial, motif-motif dalam melakukan
tindak pidana, kesiapan si pelanggar memberikan kompensasi atas
kerusakan yang ditimbulkannya, dan keadaan-keadaan lain yang
berhubungan dengan pribadinya.
(5) Peringatan judisial jangan dikenakan kepada anggota militer yang
melakukan tindak pidana terhadap angkatan bersenjata.
(6) Sewaktu menjatuhkan teguran judisial, tindakan-tindakan keamanan
(security measures) seperti tersebut dalam Pasal 61C (pencabutan SIM),
Pasal 62 (perampasan barang), dan 62A (perampasan keuntungan
materiel) juga dapat dinyatakan.

D. Greenland
KUHP Greenland menggunakan istilah warning. Jenis sanksi ini
dimasukkan sebagai jenis sanksi urutan pertama dari 9 jenis sanksi yang
disebut dalam Pasal 85.
Pasal 94:
Apabila pengadilan menemukan kesalahan terdakwa tetapi tidak berpendapat
bahwa adalah bijaksana untuk menerapkan sanksi menurut undang-undang
atau tidak menerapkan sanksi apapun, maka pengadilan dapat
menyampaikan/memberikan peringatan kepada terdakwa.
Dari ketentuan Pasal 94 diatas dapat disimpulkan bahwa sanksi warning dapat
diberikan apabila:
1. hakim menemukan kesalahan pada diri terdakwa;
2. namun hakim berpendapat, bahwa tidak bijaksana untuk menerapkan
sanksi menurut undang-undang atau tidak menerapkan sanksi apapun.

60
BAB VII
PIDANA BERSYARAT (Suspended Sentence)

A. Belanda
Pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hal:
1. hakim menjatuhkan pidana penjara/kurungan (bukan kurungan pengganti)
tidak lebih dari 1 tahun atau pidana denda; hakim dapat menetapkan
pidana bersyarat untuk seluruh/sebagian pidana yang dijatuhkan ini (Pasal
14a ayat (1)).
2. hakim menjatuhkan pidana penjara tidak kurang dari 1 tahun dan tidak
lebih dari 3 tahun; Hakim hanya dapat menjatuhkan pidana bersyarat untuk
sebagian pidana maksimum 1/3-nya (Pasal 14a ayat (2));
3. pidana bersyarat juga dapat dikenakan untuk pidana tambahan, seluruhnya
atau sebagian (Pasal 14a ayat (3)).
Syarat khusus yang diberikan yaitu:
1. membayar kompensasi (seluruh/sebagian) dari kerusakan/kerugian yang
ditimbulkan;
2. penempatan pada lembaga perawatan dimana waktunya tidak melebihi
msa percobaan;
3. menyetor sejumlah uang jaminan (tidak melebihi dari perbedaan antara
maksimum denda yang diancamkan dan denda yang dijatuhkan);
4. menyetor sejumlah uang (yang ditetapkan hakim) ke dana kompensasi
korban perlukaan akibat kejahatan (the criminal injuries compensation
fund) atau untuk lembaga yang bertujuan melindungi kepentingan korban
tindak pidana. Jumlahnya tidak melebihi denda maksimum untuk delik
yang bersangkutan.
5. syarat-syarat khusus lainnya.

61
B. Denmark
Ada dua bentuk pidana bersyarat (suspended sentence) dan dua bentuk
kombinasi pidana. Dua bentuk pidana bersyarat itu ialah:
a. Penjatuhan pidana itu ditunda (the fixing of the sentence is suspended)
diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Penal Code (PC);
b. Pelaksanaan dari pidana yang dijatuhkan itu ditunda (the serving of the
imposed sentence is suspended) diatur dalam Pasal 56 ayat (2)
Pidana custodial dan pidana bersyarat dapat juga digabung (Pasal 58
ayat (1) PC) dalam dua bentuk:
a. hakim dapat menjatuhkan pidana custodial dan pada saat yang sama
memerintahkan bahwa sebagian dari pidana itu, dengan maksimum 3
bulan, harus dijalani, dan sisanya ditunda, dan
b. hakim dapat menetapkan lamanya sebagian pidana penjara dan
membiarkan sisanya terbuka (leave the rest open). Sebagian pidana yang
ditetapkan itu tidak boleh lebih dari 3 bulan, dan harus dijalani. Sisanya
dikonversi dalam pidana penjara yang pasti apabila terpidana tidak
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan kepadanya.
Apabila pengadilan memandang bahwa suatu pidana tidak perlu
dilaksanakan, vonis akan menetapkan bahwa penetapan pidana ditunda (the
fixing of the penalty be suspended) dan setelah masa percobaan,
dihentikan/dibatalkan sepenuhnya (Pasal 56:1 PC).
Apabila pengadilan mempertimbangkan bahwa lebih tepat pidana
dijatuhkan, maka dapat ditetapkan/dijatuhkan pidana itu dan menentukan
untuk menunda pelaksanaannya. Setelah masa percobaan dilewati, pidana itu
akan dibatalkan sepenuhnya. Kemungkinan pidana bersyarat seperti ini,
hanya untuk pidana denda, penahanan/kurungan ringan, dan penjara (Pasal
56:2 PC).
Lamanya masa percobaan ditetapkan oleh pengadilan maksimum 3
tahun tetapi dalam hal-hal tertentu dapat sampai 5 tahun (Pasal 56:3).
Undang-undang membolehkan hakim membuat diskresi yang luas
dalam menggunakan pidana bersyarat. Penggunaannya tidak dibatasi oleh

62
usia pelaku, bobot delik yang dilakukan dan lamanya pidana. KUHP
mewajibkan hakim untuk mengenakan pidana bersyarat (suspended sentence)
jika ia bependapat bahwa pelaksanaan pidana itu tidak perlu.
Ada tiga kelompok kasus yang dapat dipertimbangkan untuk bentuk
pidana bersyarat (suspended sentence), yaitu:
a. delik-delik yang tidak sangat serius;
b. kasus-kasus yang pidananya akan dicabut (ditarik kembali) karena tidak
terpenuhinya syarat-syarat umum dan khusus, dan apabila pidana
noncustodial kemungkinan akan dikenakan;
c. kasus-kasus di mana pengadilan telah menjatuhkan tindakan-tindakan
pengawasan.
Pasal 57 PC menyebutkan 8 syarat khusus yang dapat ditetapkan oleh
pengadilan, namun pengadilan masih diberi kebebasan untuk menetapkan
kondisi lain, yaitu:
b. terpidana harus mematuhi ketentuan-ketentuan mengenai tempat
tinggalnya, pekerjaannya, pendidikannya, penggunaan waktu luangnya
atau pergaulannya dengan orang-orang tertentu;
c. terpidana diserahkan kepada suatu lembaga untuk waktu yang ditentukan
dalam putusan, yang tidak lebih dari 1 tahun;
d. terpidana harus berhenti menyalahgunakan alkohol dan obat-obatan;
e. ia diserahkan pada tempat perawatan untuk orang-orang yang kecanduan
alkohol dan obat-obatan, apabila perlu di rumah sakit;
f. ia diserahkan kepada perawatan kejiwaan, apabila perlu di rumah sakit;
g. ia harus menuruti instruksi-instruksi dari pejabat pengawas (probation
service) mengenai pengeluaran dari kekayaannya (capital).
h. ia harus membayar kompensasi untuk kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana yang dilakukannya;
i. ia harus mengikuti instruksi dari pejabat kesejahteraan anak (children‟s
welfare authorities) dan memenuhi tiap syarat yang ditetapkan oleh
pejabat itu.

63
Apabila terpidana gagal memenuhi syarat-syarat di atas tidak secara otomatis
berakibat dicabutnya pidana bersyarat (suspended sentence). Pengadilan
mempunyai beberapa pilihan untuk menekan terpidana memenuhi syarat
khusus itu, yaitu:
(a) memberi peringatan (warning),
(b) mengubah syarat-syarat khusus itu (alter the conditions),
(c) menambah tenggang waktu pengawasan (increase the probationary
period), atau
(d) memasukkan orang itu dalam penahanan dalam waktu pendek (put in
detention for a short period).

C. Yunani
Pasal 99 Penal Code (PC) menentukan bahwa pidana bersyarat
(suspended sentence) dapat diberikan oleh hakim apabila seseorang dijatuhi
pidana perampasan kemerdekaan (custodial penalty) tidak lebih dari 18
bulan dan belum pernah dipidana sebelumnya dengan perampasan
kemerdekaan. Penundaan pidana ini tidak kurang dari 3 tahun dan tidak dapat
lebih dari 5 tahun.
Pemberian pidana bersyarat ini tidak bergantung pada apakah pidana
perampasan kemerdekaan itu dijatuhkan untuk minor offence, misdemeanor
atau crime tetapi tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan pidana
penjara pendek. Pidana teguran ini hanya bisa untuk pidana kustodial (yaitu
detention, imprisonment, confinement), tidak untuk pidana denda atau
tindakan keamanan (security measures).
Apabila ada pidana gabungan antara denda dan pidana perampasan
kemerdekaan, maka pidana perampasan kemerdekaan ini dapat ditunda.
Persetujuan terpidana tidak diperlukan untuk penerapan pidana bersyarat ini.
Pengadilan tetap dapat menerapkan pidana bersyarat, walaupun bertentangan
dengan keinginan terdakwa.

64
D. Portugal
Pidana bersyarat (suspended sentence) sudah dimasukkan ke dalam
hukum pidana Portugal sejak tahun 1893 (UU 6 Juli 1983, Pasal 8 dan 9).
Pidana bersyarat yang dimaksud di sini adalah unconditional penalty yang
tidak dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat tertentu.
Pidana bersyarat diberikan untuk pidana koreksional, pelaku pemula
(first offender), dan denda. Semua pidana penjara sampai 3 tahun
(sebelumnya hanya 2 tahun) dapat memperoleh pidana bersyarat.
Syarat-syarat pidana bersyarat yang secara eksplisit disebut dalam PC
(Penal Code) adalah:
a. memberi kompensasi kepada korban atau memberi jaminan untuk
melakukan hal itu (memberi kompensasi);
b. melakukan perbaikan moral kepda korban;
c. membayar sejumlah uang kepada Bendahara Negara sebesar jumlah
denda maksimum yang diancamkan untuk delik yang bersangkutan.
Hakim dapat menetapkan syarat-syarat lain sepanjang tidak
merugikan terpidana dan tidak bertentangan dengan standar moral.
Berdasarkan kriteria pertama, maka hakim tidak dapat menetapkan suatu
sanksi, misalnya pidana kerja sosial (yang merupakan pidana pokok) sebagai
syarat khusus.
Perintah pengawasan (probation order), dalam KUHP baru,
dimaksudkan sebagai alternatif dari pidana penjara termasuk pidana
bersyarat. Pengawasan merupakan suatu alternatif yang tepat untuk pidana
bersyarat, khususnya apabila pidana bersyarat ini tidak memberi peluang
yang cukup untuk rehabilitasi si pelanggar.
Syarat-syarat untuk pidana bersyarat juga dapat diterapkan untuk
pidana pengawasan. Dalam probation, putusan pemidanaan ditunda, jadi
tidak ada final sentence. Untuk dibuat perintah pengawasan, cukup bahwa
hakim yakin akan kesalahan terdakwa dan delik-delik yang dilakukan tidak
dapat dipidana lebih dari 3 tahun penjara. Orang yang diberi pengawasan

65
(probation) menjadi sasaran rencana rehabilitasi di bawah pengawasan dan
bimbingan pekerja sosial yang terlatih untuk masa 1-3 tahun.
Beberapa larang bagi mereka yang dikenai sanksi pengawasan, yaitu
larangan untuk:
a. melakukan profesi tertentu;
b. berada di tempat-tempat tertentu;
c. bertempat tinggal di tempat tertentu atau dalam wilayah tertentu;
d. melakukan kontak dengan orang-orang tertentu;
e. bergabung dengan masyarakat tertentu atau menghadiri pertemuan-
pertemuan khusus;
f. memiliki barang-barang untuk tujuan melakukan tindak pidana lain.
Syarat lain yang disebut dalam KUHP adalah:
a. kewajiban menentukan orang yang membayar jaminan untuknya;
b. kewajiban melapor secara periodik kepada pejabat pengawas dan
menerima perawatan wajib di dalam rumah sakit jiwa, klinik rehabilitasi
alkohol/obat-obatan atau lembaga terapi lainnya.

66
BAB VIII
PELEPASAN BERSYARAT
(Conditional Release / Parole)

A. Yunani
Pelepasan bersyarat dapat diberikan apabila:
1. terpidana telah menjalani 2/3 dari pidana yang dijatuhkan, minimal telah
menjalani 1 tahun; atau
2. telah menjalani 20 tahun untuk penjara seumur hidup;
3. sudah menjalani separuh dari pidana yang dijatuhkan untuk terpidana yang
sudah berusia 70 tahun ke atas.
Persetujuan pidana tidak menjadi syarat untuk adanya pelepasan
bersyarat. Perilaku yang baik dari narapidana menjadi syarat untuk pelepasan
bersyarat, tetapi ini saja tidak cukup. Kondisi lain juga harus ada, khususnya
ramalan jahat (the criminal prognosis) dari terpidana, menjadi hal yang
sangat penting dipertimbangkan dalam putusan. Putusan harus diambil oleh
hakim majelis yang lengkap (3 hakim).

B. Portugal
Ada 2 bentuk pelepasan bersyarat (conditional release), yaitu:
1. parole pilihan (optional parole)
Parole pilihan untuk pidana penjara yang lebih dari 6 bulan dan telah
dijalani separuhnya. Pelepasan bersyarat ini bukan merupakan hak setiap
napi, tetapi hak istimewa (a privelege and not a right) untuk napi tertentu.
2. parole wajib (mandatory parole)
Parole wajib adalah pelepasan bersyarat yang harus diberikan kepada
napi yang dijatuhi pidana penjara lebih dari 6 tahun, setelah menjalani 5/6-
nya dan belum pernah diberi parole pilihan.
Syarat-syarat untuk pelepasan bersyarat sama dengan syarat-syarat
untuk suspended sentence dan probation order.

67
C. Swiss
Pelepasan bersyarat (parole), dalam KUHP Swiss, tidak dimaksudkan
sebagai suatu tindakan lunak untuk para napi tertentu yang berkelakuan baik,
dan tidak juga sebagai hak para napi, tetapi merupakan bagian integral dari
sistem penjara. Parole ini merupakan tahap akhir dari pelaksanaan pidana
penjara sebelum yang bersangkutan diberi kebebasan penuh.
Syarat objektif untuk memperoleh parole, yaitu:
1. orang yang dipidana pengurungan dalam sebuah rumah tahanan
(confinement in a house of correction) atau hukuman penjara (prison
sentence), memperoleh pelepasan bersyarat setelah ia menjalani 2/3 dari
pidananya, minimal 3 bulan; dan
2. dalam hal dijatuhi pidana seumur hidup, setelah ia menjalani 15 tahun.
Selain syarat objektif, ada syarat lain untuk memperoleh pelepasan bersyarat
(syarat ini bersifat kumulatif), yaitu:
1. apabila perilaku narapidana di penjara tidak menunjukkan kontra
indikasi; dan
2. apabila ada perkiraan sosial yang baik untuk kehidupan narapidana itu di
alam bebas.
Masa percobaan untuk pelepasan bersyarat antara 1 sampai 5 tahun.
Selama masa percobaan, orang yang menerima pelepasan bersyarat
ditempatkan di bawah pengawasan pejabat pengawas.

68
BAB IX
PENGAMPUNAN HAKIM
(Judicial Pardon)

A. Belanda
Pasal 9a KUHP Belanda menyatakan:
The judge may determine in the judgment that no punishment or measure
shall be imposed, where he deems this advisable, by reason of the lack of
gravity of the offense, the character of the offender, or the circumstances
attendant upon the commission of the offense or the thereafter.
Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa syarat-syarat untuk memberikan
permaafan/pengampunan oleh hakim (judicial pardon), yaitu tidak
menjatuhkan pidana atau tindakan apa pun berdasarkan alasan:
a. ringannya tindak pidana yang dilakukan (the lack of gravity off the
offense);
b. karakter si pelaku (the character of the offender); atau
c. keadaan-keadan pada waktu atau setelah kejahatan dilakukan (the
circumstances attendant upon the commission of the offense or the
thereafter).

B. Yunani
Pengadilan, dalam hal-hal tertentu, dapat menahan diri untuk
menjatuhkan pidana, yaitu apabila:
1. delik sangat ringan;
2. mempertimbangkan watak jahat dari pelaku; dan
3. penjatuhan pidana dipandang tidak bermanfaat sebagai sarana untuk
mencegah pelaku mengulangi lagi tindak pidana (special deterrence).
Pasal 302 ayat (2) dan Pasal 314 ayat (2) Penal Code (PC) memuat
ketentuan yang memungkinkan pengadilan tidak menjatuhkan sanksi apapun
apabila:

69
1. korban dari hilangnya nyawa atau luka-luka karena kealpaan adalah
keluarga dekat dari si pelaku (the offender‟s next of kin), dan
2. si pelaku seharusnya tidak dipidana karena trauma psikologis yang
dideritanya karena delik itu.

C. Portugal
Hakim diberi hak untuk dapat tidak menjatuhkan pidana apapun
terhadap delik-delik ringan, yaitu terhadap delik:
1. yang diancam dengan pidana maksimum 6 bulan penjara); dan
2. yang diancam dengan pidana gabungan (kumulasi) antara penjara dan
denda yang tidak melebihi 180 denda harian.
Syarat-syarat untuk tidak menjatuhi pidana itu adalah:
1. ada kesalahan minimal;
2. kerugian telah dibayar; dan
3. tidak ada faktor-faktor (untuk rehabilitasi atau pencegahan umum) yang
menghalangi penyelesaian masalah dengan cara ini.
Jika syarat ke-2 dan ke-3 tidak ada, tetapi hakim berpendapat bahwa hal itu
dapat direalisir dalam waktu 1 tahun, maka hakim dapat menunda putusannya
sampai 1 tahun.
Tujuan tidak menjatuhkan pidana (Non-imposing of a penalty):
1. menghindari atau sebagai alternatif pidana penjara pendek,
2. mencegah pemidanaan yang tidak diperlukan dilihat dari sudut
kebutuhan, baik kebutuhan untuk melindungi masyarakat maupun untuk
rehabilitasi si pelanggar atau sebagai koreksi judisial terhadap asas
legalitas.

70
BAB X
PERBUATAN PERSIAPAN (Preparation)

A. Belanda
Preparation, dalam KUHP Belanda, diatur bersama-sama dengan
percobaan (attempt) di dalam Buku I Bab IV. Preparation diatur dalam Pasal
46 sebagai berikut:
(1) Persiapan melakukan kejahatan yang oleh undang-undang (statutory)
diancam dengan pidana penjara tidak kurang dari 8 tahun, dapat
dipidana, apabila pelaku secara sengaja memperoleh, menghasilkan,
mengimpor, transit, mengekspor atau memiliki dalam persediaan
(disposal), barang (object), substansi (substance), uang atau alat
pembayaran lainnya (monies or other insturments of payment), alat
pembawa informasi (information carriers), tempat-tempat tersembunyi
atau sarana transpor yang jelas dimaksudkan untuk melakukan kejahatan
itu (concealed spaces or means of transport clearly intended for the joint
commission of the serious offense).
(2) Dalam hal persiapan, maksimum pidana pokok (principal penalty) yang
diancamkan untuk kejahatan serius (the serious offense) dikurangi
setengahnya.
(3) Dalam hal kejahatan serius (serious offenses) diancam dengan pidana
penjara seumur hidup, lamanya penjara tidak lebih dari 10 tahun akan
dikenakan.
(4) Pidana tambahan (the additional penalties) untuk persiapan sama dengan
kejahatan serius yang selesai (the completed serious offense).

B. Korea Selatan
Preparation diatur di Pasal 28 dalam Division 2 Bab II Aturan Umum
sebagai berikut:

71
Apabila sebuah konspirasi (conspiracy) untuk melakukan, atau melakukan
persiapan untuk, sebuah kejahatan telah tidak mencapai tahap permulaan (the
commencement stage) dari dilakukannya kejahatan itu, pidana tidak akan
dikenakan kecuali ditentukan lain oleh undang-undang (law).
Barda Nawawi Arief menyatakan KUHP Korea tidak memberikan
batasan/definisi kapan dikatakan ada persiapan (Barda Nawawi Arief, 2003;
90).

72
BAB XI
PENYERTAAN (Complicity)

A. Rusia
Pasal 32 KUHP Rusia menentukan bahwa kesengajaan ikut serta oleh
dua orang atau lebih untuk melakukan delik sengaja dianggap ikut serta
dalam delik-delik. Pelaku, organisator, penganjur (instigator), dan pembantu
dipandang sebagai peserta (Pasal 33). Seseorang yang ikut serta secara
langsung bersama dengan orang lain (co perpetrator) dan mereka yang
melakukan suatu delik dengan jalan memakai orang lain yang tidak
bertanggung jawab pidana karena di bawah umur, sakit jiwa, atau keadaan
lain yang ditentukan dalam KUHP dipandang sebagai pelaku. Orang yang
menyuruh orang lain untuk melakukan sebuah kejahatan melalui bujukan
(persuasion), suap (bribery), ancaman (threat) atau melalui lainnya akan
dianggap sama dengan penganjur (instigator).
Pembantuan, menurut Pasal 33, adalah mereka yang membantu
dilakukannya delik dengan memberi nasihat, instruksi dalam melakukan
delik, atau menyingkirkan halangan untuk itu, juga mereka yang
menyembunyikan penjahat, alat atau instrumen untuk melakukan delik, atau
objek yang diperoleh dari kejahatan, atau bersedia menerima objek itu.

B. Korea Selatan
Penyertaan dimasukkan dalam Bab 2 tentang Kejahatan, sehingga
penyertaan dianggap sebagai salah satu bentuk dari tindak pidana.
Penyertaan di Korea dibagi 3, yaitu:
1. Co-principals
Co-principals diatur dalam Pasal 30 sebagai berikut:
Apabila dua orang atau lebih telah secara bersama melakukan kejahatan,
tiap pelaku akan dihukum sebagai pembuat (principal offender) untuk
kejahatan yang dilakukan.

73
2. Instigator
Instigator diatur dalam Pasal 31 sebagai berikut:
(1) Barangsiapa menganjurkan orang lain melakukan suatu kejahatan,
dipidana sama sebagaimana yang dapat dijatuhkan kepada si pembuat
aktual (person who actually commits the crime).
(2) Apabila seseorang menganjurkan orang lain melakukan suatu
kejahatan dan orang itu menyetujuinya tetapi tidak mencapai tahap
permulaan pelaksanaan, si penganjur dan orang yang dianjurkan itu
dikenakan pidana sebagaimana yang dapat dikenakan untuk
konspirasi jahat dan perbuatan persiapan).
3. Aider (Pasal 32)
Pasal 32 mengatur tentang aider sebagai berikut:
(1) Seseorang yang membantu orang lain dalam melakukan kejahatan
akan dipidana sebagai pembantu.
(2) Hukuman untuk seorang pembantu lebih ringan dibanding daripada
yang dikenakan kepada si pembuat
Penyertaan dalam delik yang mengandung unsur kualitas terdapat
dalam Pasal 33 sebagai berikut:
Ketentuan-ketentuan dalam tiga pasal yang terdahulu diterapkan terhadap
seseorang yang bekerja sama dalam melakukan kejahatan yang mengandung
unsur status khusus (particular status), sekalipun ia tidak memiliki status itu;
tetapi apabila sifat pidana tergantung pada status, maka pidana yang lebih
berat tidak dapat dijatuhkan pada terdakwa yang tidak memiliki status itu.
Pasal 34 mengatur tentang pembuat yang melakukan tindak pidana
dengan membujuk atau membantu orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atau orang yang berada di bawah pengawasannya.
(1) Seseorang yang melakukan kejahatan dengan membujuk atau membantu
orang lain yang tidak dapat dipidana untuk perbuatan itu atau yang dapat
dipidana untuk perbuatan itu atau yang dapat dipidana sebagai pelaku
alpa, dipidana sesuai dengan ketentuan untuk penganjur atau pembantu.

74
(2) Seseorang yang menyebabkan timbulnya akibat-akibat sebagaimna
tersebut dalam ayat terdahulu dengan cara membujuk atau membantu
orang lain yang berada di bawah pengawasannya, dipidana dengan
memperberat separuh jumlah maksimum pidana yang ditetapkan untuk
pembuat dalam hal terjadi penganjuran dan dikenakan pidana penuh
sebagaimana ditetapkan untuk pembuat dalam hal terjadi pembantuan.

75
BAB XII
ALASAN PENGHAPUS PIDANA

A. Korea Selatan
Alasan penghapus pidana dalam KUHP Korea diatur dalam Pasal 9-24
Bab 2 tentang kejahatan (crimes).
Pasal 9 menyatakan anak di bawah umur tidak dipidana.
Pasal 10:
(1) Seseorang yang, berhubung adanya kerusakan mental, adalah tidak
mampu untuk melakukan penilaian rasional atau mengontrol
kemauannya, tidak dapat dipidana.
(2) Hukuman terhadap orang yang, berhubung adanya kerusakan mental,
adalah kurang dalam kapasitasnya yang disebutkan ayat sebelumnya,
akan dikurangi.
(3) Ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 2 akan tidak berlaku terhadap
kejahatan dari orang yang, mengantisipasi resiko melakukan kejahatan,
telah dengan sengaja membuat dirinya rusak mentalnya (mental
disorder).
Pasal 11:
Hukuman terhadap orang tuli-bisu dikurangi.
Pasal 12:
Perbuatan jahat tidak akan dipidana apabila dipaksa oleh kekuatan yang tidak
dapat ditahan (irresistible force) atau oleh ancaman terhadap nyawa atau
badan (threat to the life or limb) terdakwa atau keluarganya (his relative),
yang tidak dapat dihindari.
Dari Pasal 12 di atas, terlihat adanya 2 unsur paksaan. Unsur irresistible force
memberi kesan vis absoluta (daya paksa absolut), dan unsur threat to the life
or limb terdakwa atau keluargnya memberi kesan vis compulsiva (daya paksa
relatif).

76
Pasal 13:
Perbuatan jahat berkenaan dengan kesesatan dari fakta-fakta (ignorance of
facts) yang merupakan unsur-unsur dari sebuah kejahatan adalah tidak dapat
dipidana.
Dapat disimpulkan bahwa tidak adanya kesengajaan jahat merupakan alasan
penhapus pidana. Seseorang baru dapat dipidana apabila tindak pidana
dilakukan dengan sengaja.
Pasal 14 (Negligence):
Perbuatan dalam kesesatan, berkenaan dengan kealpaan terhadap ketentuan
yang normal (normal attention), dari fakta-fakta yang merupakan unsur dari
kejahatan, dapat dipidana hanya apabila undang-undang (law) secara khusus
(specifically) menentukannya.
Dari Pasal 14 di atas disimpulkan bahwa seseorang karena kealpaan dapat
dipidana hanya apabila undang-undang menetapkannya secara khusus.
Pasal 15 (mistake of fact):
(1) Perbuatan jahat yang dilakukan dalam kesesatan atas fakta-fakta yang
memperberat kejahatan tidak dapat dipidana sebagai kejahatan yang
diperberat.
(2) Apabila, karena konsekuensi tertentu dari sebuah kejahatan, ancaman
pidananya diperberat, hukuman yang diperberat akan tidak diberlakukan
jika akibat tersebut tidak dapat dibayangkan sebelumnya.
Pasal 16 (mistake of law):
Apabila seseorang melakukan suatu kejahatan dengan keyakinan bahwa
perbuatannya tidak merupakan sebuah kejahatan menurut undang-undang
yang berlaku (existing law), dia akan tidak dapat dipidana hanya ketika
kesesatannya didasarkan alasan yang dapat diterima.
Pasal 17 (causal relationship):
Perbuatan yang tidak berhubungan degan sebab dari akibat (the risk) yang
merupakan sebuah unsur kejahatan, tidak dapat dpidana meskipun sebuah
akibat terjadi.

77
Pasal 18 (crime by omission):
Seseorang yang mempunyai kewajiban untuk mencegah timbulnya bahaya
atau, menyebabkan bahaya akibat perbuatannya sendiri, tidak mencegah
timbulnya bahaya dipidana untuk akibat-akibat dari bahaya itu.
Pasal 19 (concurrence of independent criminal conduct):
Apabila beberapa perbuatan jahat terjadi, yang berdiri sendiri satu sama lain,
terjadi secara bersamaan (simultaneously) atau terjadi pada saat yang
berlainan, dan tidak dapat dipastikan yang mana diantaranya yang
menghasilkan akibat yang dilarang undang-undang, maka tiap perbuatan
dipidana sebagai percobaan kejahatan.
Pasal 20 (Justifiable Conduct):
Perbuatan yang sesuai dengan hukum (in accordance with law) atau
perbuatan yang sesuai dengan praktik bisnis yang sudah lazim diterima
(pursuant to accepted business practice); atau perbuatan lain yang tidak
melanggar norma sosial (does not violate the social mores) tidak dapat
dipidana.
Jika dilihat, Pasal 20 di atas memuat 2 alasan penghapus pidana:
1. tidak melawan hukum secara formal, yaitu perbuatan yang sesuai dengan
hukum;
2. tidak melawan hukum secara materiil, yaitu perbuatan yang sesuai
dengan praktik bisnis yang sudah lazim diterima serta perbuatan lain
yang tidak melanggar norma sosial.
Pasal 21 (Self-Defence):
(1) perbuatan untuk mencegah serangan yang mengancam dan melawan
hukum (impending and unjust infringement) terhadap kepentingan
terdakwa atau orang lain tidak dapat dipidana.
(2) apabila perbuatan self defence melebihi batas-batas kewajaran (has
exceeded reasonable limits), hukumannya dapat dikurangi atau
dihapuskan (mitigated or remitted) tergantung pada keadaan-keadaan
meringankan yang ada.

78
(3) Dalam situasi yang disebutkan dalam ayat 1 dan 2 di atas, perbuatan
karena ketakutan (fear), keterkejutan (suprise), kegemparan
(excitement), kebingungan (confusion) di waktu malam hari atau
karena keadaan-keadaan tidak aman lainnya (other insecure
circumstances), tidak dipidana.
Dari Pasal 21 di atas terlihat bahwa:
1. Self defence pada ayat (1) sama dengan noodwer (pembelaan terpaksa) di
dalam pasal 49 ayat (1) KUHP Indonesia. Perbedaannya:
a. ruang lingkup kepentingan (interest) yang dibela dalam KUHP
Korea tidak disebutkan secara limitatif, sedangkan di KUHP
Indonesia disebutkan secara limitatif, yaitu mengenai badan,
kehormatan kesusilaan, dan harta benda.
b. pembelaan diri yang tidak dipidana menurut KUHP Indonesia adalah
pembelaan terpaksa (pembelaan yang harus dan perlu serta
pembelaan diri terhadap serangan yang mengancam diri atau orang
lain, terhadap harta benda, kehormatan kesusilaan), sedangkan di
Korea digunakan istilah pembelaan diri yang berdasarkan reasonable
grounds.
2. Ayat 2 hampir sama dengan noodweer exces dalam Pasal 49 ayat (2)
KUHP Indonesia. Perbedaannya adalah:
a. di Indonesia noodweer exces sebagai alasan penghapus pidana, di
Korea dapat sebagai alasan meringankan pidana atau dapat juga untuk
menghapuskan pidana;
b. noodweer exces di Indonesia harus disebabkan oleh kegoncangan jiwa
yang hebat akibat adanya serangan atau ancaman serangan yang
langsung dan seketika, sedangkan di Korea hanya disebutkan
pembelaan diri yang melampaui batas-batas kelayakan (has exceeded
reasonable limits) dengan tidak menjelaskan kriteria reasonable
limits.

79
Pasal 22 (Necessity):
(1) Perbuatan untuk menghindari bahaya mengancam (impending danger)
terhadap kepentingan hukumnya atau orang lain, tidak dipidana apabila
ada alasan-alasan yang masuk akal (reasonable grounds).
(2) Ketentuan ayat (1) tidak berlaku bagi orang yang dibebani kewajiban
untuk tidak menghindari bahaya itu;
(3) Ketentuan ayat 2 dan 3 Pasal 21 diberlakukan untuk Pasal ini (The
provisions of sections (2) and (3) of the preceding Article shall apply to
the present Article).
Pasal 23 (Self-help):
(1) Apabila tidak mungkin melalui prosedur hukum untuk melindungi suatu
tuntutan (claim), maka perbuatan untuk menghindari ketidakmungkinan
itu atau kesulitan-kesulitan serius dalam pelaksanaannya, tidak dipidana
apabila ada reasonable grounds.
(2) Apabila perbuatan pada ayat (1) melampaui batas-batas yang masuk akal
(reasonable limits), maka pidana dapat dikurangi atau dihapuskan
tergantung pada keadaan-keadaan meringankan yang ada.
Pasal 24 (consent of victim):
Perbuatan melanggar suatu kepentingan hukum tidak dipidana jika hal itu
terjadi dengan persetujuan orang yang berwenang (authorized) untuk
memberikan kepentingan tersebut, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undanga (law).

80

Anda mungkin juga menyukai