Anda di halaman 1dari 18

Materi Tindak

Pidana Korporasi

PENDIDIKAN TERBUKA DAN JARAK JAUH


Membuka Akses Pendidikan Tinggi bagi Semua
Making Higher Education Open to All
TINDAK PIDANA KORPORASI

Satrio Putro Wihanto


S.H.,M.H.,C.L.A

HKUM 4311/ 3 SKS


KEGIATAN BELAJAR 1
 Pengantar Tindak Pidana Korporasi
 Korporasi Diakui Sebagai Subyek Delik Hukum Pidana

KEGIATAN BELAJAR 2
 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi:
 Perkembangan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
 Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
KORPORASI
APAKAH SUBJEK HUKUM ?

hak dan kewajiban


yang melekat padanya

Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan


yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.

Kriteria Perbuatan Pidana oleh Korporasi :


1. Dilakukan orang-orang berdasarkan hubungan
kerja berdasarkan hubungan lain;
2. Bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama
Ps. 20 (2) UU No 31/1999 Jo UU 20/2001
PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORPORASI
Istilah “Tindak Pidana Korporasi” dalam beberapa literature sering disebut juga
dengan “Kejahatan Korporasi” pada dasarnya tidak muncul dengan sendirinya
melainkan muncul seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan
masyarakat. Awal mula lahirnya tindak pidana korporasi ini berangkat dari
pendapat Edwin Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis kejahatan yang
dikenal dengan White Collar Crime. Terkait dengan white collar crime itu sendiri
Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie memberikan definisi yaitu
sebagai: white collar crime sering diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia
keuangan dan bisnis (financial and bussines world) dan penipuan canggih oleh
para eksekutif senior (the sophisticated frauds of senior executives) yang
didalamnya termasuk apa yang secara popular dikenal sebagai tindak pidana
korporasi (corporate crime).
Mengenai corporate crime atau kejahatan korporasi ini, Steven Box
mengemukakan tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi yang pada dasarnya berbeda dengan tindak pidana atau kejahatan
konvensional pada umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang lingkup
tindak pidana korporasi melingkupi:
1. Crimes for corporation, yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna
memperoleh keuntungan.
2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk
melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari
suatu organisasi kejahatan).
3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap
korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal
ini korporasi sebagai korban.
KARAKTERISTIK KEJAHATAN KORPORASI SEBAGAI
KEJAHATAN TEROGANISIR DAN PEMIDANAANNYA

Secara singkat dapat dikatakan bahwa karakteristik dari kejahatan


terorganisasikan adalah :

a. Adanya kelompok dengan hierarki khusus dan komposisi tetap;


b. Adanya sistem sanksi yang berlaku di dalam kelompok dan bersifat
kekerasan;
c. Keuntungan yang diperoleh dari kejahatan seringkali diinvestasikan dalam
kegiatan-kegiatan yang sah (white washing)
d. Kelompok tersebut melakukan lebih dari satu kejahatan;
e. Terjadi penyuapan terhadap pejabat pemerintah dan atau staf perusahaan
swasta.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

Pertanggungjawaban pidana korporasi adalah pendekatan penegakan


hukum terhadap korporasi dan/atau pengurus korporasi untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang dilakukan dengan memenuhi
prasyarat tertentu sesuai dengan peraturan perundangan”

UU mengatur tanggung UU Lingkungan Hidup, UU


jawab Pidan Korporasi TPPU, UU kehutanan, UU
Perkebunan, UU TIPIKOR,
UU Tata Ruang, UU
Pertambangan, UU No
7/1995 dll
KONSEP TANGGUNG JAWAB KORPORASI

Pelaku Pertanggungjawaban

Tahap 1 : pelaku atural person,


pertanggung jawaban natural person,
conoth KUHP

Tahap 2 : pelaku korporasi


pertanggungjawaban natural person
contoh UU Kehutanan
Dasar UU 40 Tahun 2007 batasan
tanggung jawab korporasi

Tahap 3 : pelaku korporasi


pertanggung korporasi,Contoh UU TPPU,
UU Tipikor, UU PLH
Selanjutnya Secara Konsepsual, Kejahatan Yang Menyangkut
Korporasi Perlu Dibedakan Antara:

1. Kejahatan korporasi, yaitu yang dilakukan oleh korporasi dalam usahanya mencapai tujuan
korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan melanggar hukum;
2. Korporasi jahat, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan (dalam
hal ini korporasi hanya dipakai sebagai alat atau kedok untuk melakukan kejahatan);
3. Kejahatan terhadap korporasi, seperti pencurian atau penggelapan terhadap milik korporasi, disini
yang menjadi korban justru korporasi itu sendiri.
Jenis kejahatan tersebut biasanya dilakukan oleh orang-orang yang cukup
pandai (intellectual criminal), maka pengungkapan terhadap kejahatan-
kejahatan yang terkait tidak mudah. Apalagi bilamana dikaji karakteristiknya
sebagai berikut:
a. Kejahatan korporasi sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup
oleh pekerjaan rutin.
b. Kejahatan tersebut sangat komplek (complexity), karena berkaitan
dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta seringkali berkaitan
dengan sesuatu yang alamiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasi,
melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun.
c. Terjadinya penyebaran tanggung-jawab (diffusion of responsibility)
yang semakin bias akibat kompleksitas organisasi.
d. Penyebaran korban yang luas (diffusion of victimization) seperti polusi,
penipuan konsumen dan lain-lain.
e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (difficult to detection
and to prosecute) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang
antara aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.
f. Peraturan yang tidak jelas (ambigious laws) yang seringkali
menimbulkan keraguan dalam penegakan hukum.
g. Sanksi yang lemah (lenient sanction), karena sanksi yang dikenal
berorientasi pada pelaku manusia alamiah.
h. Ambiguitas dalam status pelaku kejahatan (ambigious criminal
status).
PERKEMBANGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

Sistem pertanggung jawaban yang pertama ditandai dengan usaha


agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada
perorangan (naturlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindal
pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu
dianggap dilakukan pengurus korporasi itu. Pada sistem ini pula,
penyusun kitab Undang – Undang Hukum Pidana masih menerima
asas “ universitas delinguere non potest” (Badan hukum tidak
dapat melakukan tindak pidana). Sistem pertanggung jawaban
kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan
undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh
perikatan atau badan usaha (korporasi), akan tetapi tanggung jawab
untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi).
Sistem pertanggung jawaban yang ketiga merupakan permulaan
adanya tanggung jawab langsung dari korporasi
TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN KORPORASI SEBAGAI SUBYEK TINDAK PIDANA

1. Tahap Pertama , Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang
dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon). Apabila suatu
tindak pidana terjadi didalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut
dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Dalam tahap ini
membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht) kepada pengurus
2. Tahap Kedua, ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Peran Dunia I
dalam perumusan undang-undang, bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan
oleh korporasi. Namun tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus
badan hukum tersebut. Perumusan yang khusus untuk ini yaitu apabila suatu tindak
pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan pidana
harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Secara perlahan-lahan
tanggungjawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang
memerintahkan, atau kepada mereka yang secara nyata memimpin dan melakukan
perbuatan yang dilarang tersebut.
3. Tahap Ketiga, merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung dari
korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia Kedua. Dalam tahap
ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.
TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI:

Teori Pertanggungjawaban Mutlak


Di negara Common law, penerapan teori pertanggungjawaban mutlak atau strict liability
without fault ini adalah pada delik dalam undang-undang yang pada umumnya merupakan
tindak pidana terhadap kesejahteraan umum

Teori Pertanggungjawaban Pengganti


Teori Pertanggungjawaban Pengganti atau vicarious liability ini pada dasarnya adalah untuk
menjawab pertanyaan, apakah terhadap seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain

Teori Identifikasi
Tehadap korporasi, yang merupakan penamaan atas berbagai bentuk badan hukum, maka
dalam kaitannya dengan pengenaan pertangggungjawaban pidana, akan menimbulkan
permasalahan hukum bila bertemu dengan bagian dari hukum yang berlaku terhadap
orang alamiah, yang membutuhkan penilaian terhadap keadaan mental seseorang itu.
TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI:

Doktrin Identification Theory adalah Doktrin ini bertumpu pada asumsi


bahwa semua tindakan legal maupun ilegal yang dilakukan oleh high level
manager atau direktur diidentifikasikan sebagai tindakan korporasi

Doktrin Strict Liability adalah pertanggungjawaban pidana korporasi yang


diadopsi dari doktrin dalam hukum perdata

Doktrin Vicarious Liability merupakan ada hubungan antara employee


dengan employer atau principal dengan agents artinya seseorang yang
berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan
perbuatannya

Teori Pelaku Fungsional (Functional Dederschap merupakan korporasi


dapat dianggap sebagai subjek hukum pidana. Hal ini didasarkan pada
korporasi dapat melakukan tindak pidana dalam bentuk perbuatan
fungsional
“Tindak pidana oleh korporasi merupakan tindak pidana yang
dilakukan  oleh  orang  berdasarkan  hubungan  kerja,  atau
berdasarkan  hubungan  lain,  baik  sendiri-sendiri  maupun bersama-
sama yang  bertindak  untuk  dan  atas  nama korporasi di dalam
maupun di luar lingkungan korporasi.”

Akhir tahun 2016, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung nomor
13 Tahun 2016 tentang tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi (“Perma
No. 13/2016”). (Baca juga: Simak! Begini Tahapan Penanganan Tindak Pidana Korporasi).
Salah satu pokok bahasan dalam Perma No. 13/2016 adalah subjek pertanggungjawaban
pidana dalam tindak pidana korporasi.

Dalam Pasal 23 Ayat 1 dan Ayat 3 Perma No. 13/2016 berbunyi:

“(1)Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap korporasi atau pengurus, atau


korporasi dan Pengurus;
(2)Penjatuhan pidana terhadap korporasi dan/atau pengurus sebagaimana dimaksud
ayat 1 tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang
berdasarkan ketentuan undang-undang terbukti terlibat dalam tindak pidana
tersebut.”
Tindak Pidana oleh Korporasi di Indonesia

Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai tindak pidana yang dilakukan


oleh Korporasi tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan,
misalnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU Tipikor”) dan 
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU Lingkungan Hidup”).
Selamat belajar

Anda mungkin juga menyukai