Anda di halaman 1dari 14

Review Atas

Pemikiran Soetandjo Wignjosoebroto :


Penelitian Hukum dan Hakikatnya sebagai Penelitian Ilmiah
dalam Metode Penelitian Hukum : Konstelasi dan Refleksi,
editor Sulistyowati Irianto dan Shidarta.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2009 hlm 83-120

A. Pendahuluan
Pada awal 1980-an hingga akhir 1990-an muncul perdebatan yang berkembang
dikalangan akademisi, mahasiswa dan peminat ilmu hukum menyangkut posisi
penelitian hukum. Kala itu, Sunarti Hartono, seorang guru besar hukum ekonomi
pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, dibantu dengan Muchtar
Kusumaatmadja, guru besar hukum internasional Universitas Padjajaran yang
juga mantan Menteri Kehakiman dan Menteri Luar Negeri di era rejim Orde
Baru, secara khusus menyelidiki perkembangan penelitian hukum di Indonesia.
Pada salah satu bagian laporan penelitiannya yang diterbitkan tahun 1994 itu
ditegaskan bahwa penelitian hukum tengah dikacaukan oleh penelitian sosial.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah memaksakan metode penelitian
sosial dalam penelitian-penelitian yang berkategori sebagai penelitian hukum.
Para pegajar maupun mahasiswa pada fakultas hukum mengaku melakukan
praktik penelitian hukum dengan menggunakan metodologi penelitian sosial.
Kesimpulan ini merupakan hasil rekomendasi panel penilai yang menilai
penelitian-penelitian yang tidak menggunakan metode penelitian social bukan
merupakan penelitian. Akibatnya, tidak sedikit proposal yang semula bermaksud
menggunakan metode penelitian hukum berubah haluan menggunakan metode
penelitian sosial demi untuk memenuhi prasyarat panel penilai.1
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto upaya untuk mencampuradukan antara

1Menurut Sunarti Hartono saat ini memang banyak sarjana, baik dari kalangan sosiologi maupun dari
kalangan sarjana hukum sendiri yang masih mengira bahwa karena ilmu hukum dikelompokkan ke dalam
ilmu-ilmu social, metode penelitian hukum juga harus sama dengan metode penelitian yang digunakan
untuk penelitian empiris sosiologis.

pendekatan ilmu sosial dalam ilmu hukum yang akan merubah kajian hukum
menjadi bagian integral ilmu-ilmu sosial, dinilai sebagai upaya yang berlebihan.2
Peter Mahmud Marzuki merumuskan penelitian hukum sebagai suatu proses guna
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum untuk menjawab isu-isu hukum yang dihadapi.3
Namun, belum lagi hilang perdebatan itu dari ingatan, akhir-akhir ini muncul
kembali gugatan dalam perbincangan ilmiah yang mempertanyakan eksistensi
penelitian hukum sebagai upaya penelitian ilmiah atau bukan. Umpamanya saja,
apakah penelitian hukum itu harus digolongkan ke dalam suatu penelitian dengan
memakai metodologi ilmiah atau memakai pendekatan tersendiri? Seperti dalam
perdebatan sebelumnya pada tahun 1980-an, perdebatan ini seolah mengungkit
kembali kegalauan dikalangan akademi, praktisi maupun mahasiswa ilmu hukum.
Bernard Barber, mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmu- ilmu alamiah dan
ilmu-ilmu sosial terletak pada tingkat perkembangannya dan tidak bersifat
fundamental. Ia menyatakan Science is a unity, whatever the class of empirical
materials to which it is applied, and therefore, natural and social science belong
together in principle. Barber, kemudian mengemukakan adanya lima disiplin
yang dapat dikategorikan ke dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu ekonomi, ilmu
politik, psikologi, sosiologi, dan anthropologi. Menurut Barber, suatu karakter
yang esensial dalam semua ilmu sosial adalah ilmu-ilmu itu berkaitan dengan
hubungan sosial di antara manusia, yaitu mereka berinteraksi satu dengan yang
lain bukan hanya secara fisik melainkan juga atas dasar makna-makna yang
disepakati bersama.4
Hal ini mengingat bahwa perbedaan ilmu-ilmu alamiah dengan ilmu-ilmu social

2 Soetandyo

Wignjosoebroto, Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial Tentang Hukum: Perbedaan Konsepsi dan
Konsekwensi Metodenya, dalam http://soetandyo.wordpress.com/2010/08/19/ilmu-hukum-dan-ilmu-
sosial-tentang-hukum-perbedaan-konsepsi-dan-konsekwensi-metodenya/#more-138, diunduh 12 Oktober
2014, Pukul 12:45. Menurut Soetandyo upaya untuk mempertahankan ilmu hukum dalam karakternnya
sebagai Rechtslehre, sekalipun tak lagi mesti Rein, masih inngat kuat bertahan karena bagaimanapun juga
menurut paham ini, ilmu hukum masihlah harus dipertahankan sebagai kiat kemahiran profesi kehukuman
dan kehakiman, dan tidak terdeprofesionalisasi menjadi bagain dari massa awam di lapangan, di luar
tembok-tembok pengadilan dan/atau di luar kantor-kantor pengacara. Namun, mengabaikan sama sekali
hasil-hasil penelitian sosial dan kajian-kajian ilmu sosial (khususnnya sosiologi dan antropologi hukum)
sebagai masukan untuk membuat Illegal Judgements yang lebih realities dan menjamin rechtsdoelmatigheid-
nya (sekalipun mungkin akan sedikit mengganggu rechtszekerheid-nya), adalah juga kurang bijaksana.
3Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet.2, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, hal. 29
4Bernard Barber, Science and the Social Order, h. 238

hanya dalam tingkat perkembangannya bukan dalam karakteristiknya. Berbeda


dengan Barber, Edwin W. Patterson menawarkan pemakaian metode ilmiah
dalam penelitian hukum. Akan tetapi dalam perbincangan selanjutnya ia terjebak
dalam masalah perilaku dan efektivitas disebabkan tidak menyentuh pada hal-hal
yang bersifat preskriptif.5
Lazimnya, seorang peneliti ilmiah tidak hanya berangkat dari observasi belaka,
namun juga membangun hipotesa yang di dalamnya mengandung variable bebas
dan variable terkait. Variable bebas adalah faktor yang menyebabkan terjadinya
gejala yang merupakan faktor terkait.6 Oleh karena secara karakteristik berbeda
antara ilmu hukum yang bersifat preskriptif dengan ilmu-ilmu sains yang bersifat
deskriptif tersebut, maka penelitian hukum tidak perlu dimulai dengan hipotesis.
Dengan demikian istilah variabel bebas dan variabel terikat tidak dikenal di
dalam penelitian hukum.
Kendati demikian, penelitian hukum manakala tidak diperoleh melalui prosedur
metodologis yang dipersyaratkan berdasarkan tradisi sains tidak akan bisa
diklaim sebagai kebenaran yang terverifikasi dan terkonfirmasi sebagai hasil
suatu usaha yang terbilang sebagai scientic search dan researching. Prosedur
dalam tradisi ilmiah adalah prosedur yang terkontrol secara logis dan
metodologis guna menemukan bukti-bukti yang dapat dijadikan sebagai sebuah
kebenaran dari suatu kesimpulan atau pengetahuan yang dapat digunakan untuk
menjawab

suatu

masalah.

Dengan

demikian

dapat

dikatakan

bahwa

sesungguhnya penelitian hukum itu adalah bersifat ilmiah sekalipun persoalanpersoalan hukum itu adalah bersifat normatif yang lebih kental dengan tata nilai.7
Adalah John Austin (1790 1859) sebagai pendiri legal positivism yang
menjumpai betapa teraturnya Hukum Romawi dan betapa kacaunya Hukum
Inggris. Sesudah mempelajari hukum Romawi, kemudian dia membuat

5ibid hal. 28. Bandingkan dengan metode interpretasi hukum yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon

yang berpendapat bahwa metode interpretasi hukum meliputi; interpretasi gramatikal, interpretasi
sistimatis, wet-en rectshistorische interpretative, interpretasi perbandingan hukum, interpretasi antisipasi,
dan interpretasi teleologis dalam Philipus M Hajon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Yuridika,
Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya No. 6 Tahun IX, November-Desember, 1994, hal. 7.
6 Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet. 1 , Malang : Bayumedia
Publishing, hal. 33.
7Lord Lloyd of Hampstead and M.D.A. Freeman, An Introduction to Jurisprudence, English Language Book
Society, London, 1985, h. 8.

perbedaan yang tajam antara jurisprudence dan the science of ethics. Ia


menyatakan bahwa the science of jurisprudence is concerned with positive laws,
or with laws strictly so called, as considered without regard to their goodness
and badness. Juris, menurut Austin hanya berhubungan dengan hukum
sebagaimana adanya. Sebaliknya, legislator dan filosof ethika berhubungan
dengan hukum yang seharusnya. Hukum positif, menurut Austin tidak berkaitan
dengan hukum yang ideal atau yang adil.8 .Legal positivism didirikan Austin
sebagai suatu jawaban akan tuntutan ilmu pengetahuan modern dalam semangat
anti metafisika. Doktrin hukum yang bersifat tradisional dianggap diselimuti oleh
kabutmetafisika.

Ilmu

pengetahuan

modern,

sebaliknya,

membutuhkan

pengetahuan yang objektif. Suatu pengetahuan objektif adalah suatu pernyataan


mengenai suatu gejala yang harus diverifikasi dan eksistensinya harus didasarkan
pada fakta yang dapat diobservasi dan dikontrol.9
Dengan menerapkan metode yang digunakan untuk ilmu-ilmu sosial, kaum
positivis hukum berpendapat bahwa suatu pernyataan yang dapat diverifikasi
secara empiris itulah yang dikatakan sebagai pengetahuan sejati. Mereka menolak
semua gejala yang berada dalam kategori nilai-nilai. Kaum positivis hanya
berpegang kepada induksi yaitu dengan mengamati fakta empiris untuk
memverifikasi hipotesis yang diajukan, melakukan inferensi, dan akhirnya
menghasilkan teori eksplanatoris. Prosedur untuk mendapatkan pengetahuan
empiris oleh kaum positivis dianggap telah menghasilkan hukum-hukum ilmiah
yang bersifat umum dan seragam.
Oleh sebab itu, banyak peneliti hukum seperti Soetandyo Wignjosoebroto yang
kemudian berpendapat penelitian hukum itu bersifat ilmiah. Penelitian hukum itu
tidaklah dapat menutup diri dengan sorotan metodologi ilmu-ilmu lainnya
(seperti sejarah, sosiologi, antropologi, politik dan sebagainya) terutama yang
menyangkut kehidupan mental manusia, baik sebagai personal maupun kolektif
sebagai warga masyarakat. Hal itu disebabkan manusia maupun masyarakat

8 Ibid, hal. 7

9 Austin mendeskripsikan hukum sebagai gejala yang dapat diamati. Dalam pandanganya, hukum terdiri

dari perintah-perintah dan sanksi-sanksi yang diberikan oleh penguasa dan dipatuhi oleh setiap anggota
masyarakat. Aspek normatif hukum dinyatakan dengan merujuk kepada aturan-aturan tingkah laku
lahiriah. Bagi Austin, evaluasi terhadap aturan hukum merupakan sesuatu yang lain. Dengan demikian,
Auatin menulis tentang hukum dari perspektif sosiolog yang bebas nilai.

terlalu cepat berubah sehingga sulit melakukan eksperimen secara berulangulang, yang akan dapat menghasilkan penelitian yang sama. 10 Dengan cara
seperti ini dapat disimpulkan bahwa metode ilmiah hanya digunakan untuk ilmuilmu alamiah yaitu logico-hypotetico-verivicative hanya berlaku untuk keilmuan
yang bersifat deskriptif, yaitu mengemukakan apa yang ada berdasarkan fakta
empirik.11 Sedangkan sifat keilmuan hukum adalah preskriptif. Dengan demikian,
muncul gugatan apakah metode dan prosedur penelitian dalam ilmu-ilmu alamiah
dan ilmu-ilmu sosial dapat pula diterapkan untuk ilmu hukum?
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto perbedaan berpikir dan bermetode dalam
ilmu hukum (Rechtslehre) dan ilmiah sesungguhnya tidaklah terletak pada
silogisme-silogisme logika yang dipakainya. Dalam hubungan ini perlu tetap
diperhatikan bahwa kedua-duanya, terutama yang berkembang dalam system
common law, sebenarnya sama-sama menggunakan metode silogisme deduksi
dan induksi. Perbedaan dasarnya adalah harus dicari tidak pada metodenya,
melainkan pada sumsi-asumsi dasarnya mengenai postulat apa yang seharusnya
dipakai sebagai pangkal tolak berpikir itu.12
Dalam bagian lain pemikirannya yang berjudul Penelitian Hukum dan
Hakikatnya Sebagai Penelitian Ilmiah, Soetandyo Wignjosoebroto membahas
beberapa penjelasan dalam dua mainstream penelitian ilmiah. Pertama, adalah
penjelasan tentang apakah yang harus dipahami bersama sebagai hukum dalam
kedudukannya sebagai objek penelitian itu. Kedua, penjelasan menyangkut soal
apakah sesungguhnya yang harus dikatakan sebagai suatu penelitian hukum,
berikut metodologinya yang harus dipenuhi sebagai prasyarat tentang apakah
penelitian hukum itu sejatinya merupakan suatu penelitian ilmiah atau bukan.13


10Sunarti Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung : Alumni, hal. 96.
11Francis Bacon adalah orang yang pertama kali memformulasikan metode ilmiah. Meskipun dilakukan
beberapa perbaikan, rumusan Bacon itu dapat diterima oleh para ilmuwan sejak abad XVII. Para ilmuwan
mulai dengan melakukan eksperimen yang tujuannya untuk mengamati gejala-gejala secara cermat dan
teliti. Selanjutnya, para ilmuwan itu merekam apa yang mereka temukan, menganalisisnya, dan mem-
publikasikannya. Para ilmuwan tidak mulai dengan menyusun hipotesis, melainkan mereka mulai dengan
melakukan observasi. Semakin banyak data terkumpul, semakin banyak gejala ilmiah terungkap. Niat para
ilmuwan adalah menjelaskan gejala-gejala alamiah secara ilmiah.
12Soetandyo Wignjosoebroto , Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial Tentang Hukum:.., Ibid
13Soetandyo Wignjosoebroto, 2009, Penelitian Hukum dan Hakikatnya Sebagai Penelitian Ilmiah, dalam
Metode Penelitian Hukum : Konstelasi dan Refleksi, editor Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Yayasan Obor,
Jakarta, hal. 85.

B. Review Singkat Terhadap Pemikiran Soetandjo Wignjosoebroto dalam


Penelitian Hukum dan Hakikatnya sebagai Penelitian Ilmiah
Soetandyo Wignjosoebroto mencoba menawarkan bukan jawaban final atas
berbagai permasalahan kaitan antara hukum dan masyarakat serta di mana dan
untuk apa hukum itu ada, melainkan hanya sebagai sebuah cara menjawab. Salah
satunya adalah dengan melakukan penelitian atau research. Penelitian hukum
sebenarnya berasal dari dua kosa kata, yaitu penelitian14 dan hukum.15 Penelitian
hukum adalah suatu proses untuk memperoleh data dan informasi tentang norma
atau kaidah hukum, bila sesuatu materi hukum telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan, dan aspek-aspek hukum/kebutuhan hukum masyarakat
tentang suatu materi yang belum diatur kemudian ingin untuk diatur sebagai ius
contituendum. 16 Melihat begitu banyaknya pengertian atas hukum, maka
pendekatan penelitian yang dilakukan juga berbeda. Menurut Soetandyo,
penelitian hukum adalah segenap upaya untuk mencari dan menemukan jawaban
yang benar (right answer) atau jawaban yang tak sekali-kali keliru (true answer)
mengenai suatu permasalahan hukum (hal. 85).17
Karena hukum yang dalam bahasa latin diistilahkan ius dikonsepkan secara
sosiologis, atau secara empiris dapat dilihat dan diteliti secara sosial, maka
realitas-realitas sosial yang ada di dalam masyarakat hanya mungkin ditangkap
melalui pengalaman dan penghayatan-penghayatan internal yang membuahkan
hasil dalam bentuk gambaran yang utuh dan lengkap dan tidak dapat diukur
dengan indikator-indikator yang berada di permukaan saja. Artinya bahwa harus
ada partisipasi, pengalaman, dan penghayatan dalam kehidupan nyata yang
ditekuni demi mempelajari hukum secara empiris.

14Pengertian seperti yang tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : kegiatan pengumpulan,
pengolahan, analisis dan penyajian data yang dilakukan secara sistimatis dan objektif untuk memecahkan
suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum.
15 Soerjono Soekanto misalnya mengartikan hukum sebagai : 1)Hukum dalam ilmu (pengetahuan) hukum;
2) Hukum dalam arti disiplin atau system ajaran tentang kenyataan; 3) Hukum dalam arti kaidah atau
norma; 4) Hukum dalam arti tata hukum atau hukum positif tertulis; 5) Hukum dalam arti keputusan
pejabat; 6) Hukum dalam arti prtugas; 7) Hukum dalam arti proses pemerintah; 8) Hukum dalam arti
perilaku yang teratur atau ajeg; 9) Hukum dalam arti jalinan nilai-nilai. Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja
menambahkan bahwa hukum mempunyai arti Lembaga Hukum Masyarakat dalam Mochtar
Kusumaatmadja. 1986. Pembinaan Hukum Dalam rangka Pembangunan Nasional. Bandung : Lembaga
Penelitian Hukum dan Kriminologi FH Universitas Padjajaran. Hal. 7-8.
16 Lihat BPHN, Pengkajian Hukum tentang kedudukan dan Peranan Penelitian Hukum Dalam Proses
Pembentukan Perundang-undangan, Tahun 1999, hal. 17.
17Soetandyo Wignyosoebroto, 1995, Sebuah Pengantar Kearah Perbincangan Tentang Pembinaan Penelitian
Hukum Dalam PJP II, Makalah disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum Sebagai
Modal Bagi Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II, Juli, 1995.

Tentang Undang-undang in abstracto dan Putusan Hakim in Concreto


Sebagaimana perkembangan dalam bidang-bidang amatan dan kajian ilmu
pengetahuan yang lain, dalam ilmu-ilmu sosial pun perkembangan yang akan
dikembangkan harus terlebih dahulu diawali oleh suatu krisis konseptual.
Masyarakat dan model-model struktur normatif sebagaimana tergambar dalam
cita (ide) dan cita-cita, kini harus pula dapat dikonsepkan sebagai gugusan
realitas empiris yang positif, sine ira et studio dan value free. Masyarakat yang
semula dikonsepkan ulang sebagai moral order yang value bound mulai
dikonsepkan ulang sebagai legal order yang value free. Di sini apa yang harus
dikenali sebagai hukum dalam konsep legal order dan rule of law (untuk
penegakan tertib sosial) itu adalah hukum yang telah dipositifkan sebagai lege/lex
(undang-undang) yang harus dirumuskan secara eksplisit. Hukum tidak lagi
dikonsepkan sebagai premis keadilan yang implisit dan yang karenanya tak
terumus secara pasti; hukum positif bisa saja dinilai tak adil, namun yang penting
di sini bukan soal adil-tidaknya melainkan soal sah tidaknya sebagai the
command of the covereign (hal. 89).
Namun, lebih jauh dari sekadar mempositifkan hukum. Dalam praktik peradilan
dan di dalam kajian-kajian tentang perangkat hukum positif (sebagaimana
dibutuhkan bagi kepentingan praktik peradilan), pemahaman orang akan hukum
ini masih sepenuhnya berjalan menurut jawaban tentang kaidah in abstracto,
yakni apa yang harus dipakai sebagai dasar pembenar suatu keputusan
pengadilan, dan/atau keputusan konklusif in concreto apa yang harus ditarik
sebagai jawab untuk menyelesaikan perkara di pengadilan. Berpikir yuridis di
sini akan sama dengan berpikir deduktif. Hukum yang pada mulanya dipahami
sebagai norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum
nasional, dan tipe kajiannya ajaran hukum murni yang mengkaji law as it is
written in the books, yakni metode penelitian doktrinal, logika deduksi dan
berorientasi

positif.

Pada

perkembangan

pemikiran

secara

sosiologis

sebagaimana dikemukakan di atas, berkembang menjadi apa yang diputuskan


oleh hakim in concreto, tersistematisasi sebagai judge made law.
Oleh sebab itu, menurut Soetandyo kajian-kajian hukum yang berlangsung sesuai
dalil-dalil logika deduksi (formil) di mana kaidah-kaidah hukum positif yang

menggantikan asas-asas moral, dipraktikkan dalam fungsinya sebagai premispremis mayor in abstracto yang kebenaran dan keabsahannya tak lagi boleh
dipertentangkan. Sebab, lewat penyimpulan deduksi akan melahirkan premispremis conclusio dan premis-premis conclusio yang nantinya akan dipakai atau
diusulkan peneliti sebagai dasar kebenaran keputusan peradilan in concreto.
Dalam keputusan ini memang ada juga penyimpulan tentang akibat (hukum)
tertentu

yang

diperbuat

orang;

namun

hubungan

sebab-akibat

yang

dikonstruksikan di sini bukanlah hubungan kausalitas yang ditarik sebagai


kesimpulan induktif melainkan sebagai hasil pernyataan pilihan (judgement) yang
dideduksikan untuk keperluan konkret. Keniscayaannya pun bukan keniscayaan
objektif yang bekerja di alam empiris melainkan suatu kepastian hukum yang
hendak diupayakan realisasinya melalui sanksi-sanksi kekuasaan. Karena tidak
mengenal silogisme induksi dan prosedur- prosedur penerapannya, apa yang
disebut ilmu hukum sampai pada taraf ini bukanlah ilmu hukum yang
berkualifikasi sebagai sains. Ilmu hukum memiliki keunggulannya tersendiri
sebagai bagian dari keyakinan dan kiat profesi yang hadir dalam peradaban
manusia; namun tidak sebagai kaidah-kaidah ilmiah.
Dalam penjelasan awal sebelumnya di atas, telah dibahas pemikiran Prof.
Soetandyo Wignjosoebroto dalam mencermati perkembangan metodologi ilmiah
yang diperlukan dalam kajian-kajian ilmiah dengan objek legal order maupun
peristiwa-peristiwa hukum. Pada konteks ini, hukum dimaknai sebagai ius
constitutum. Artinya bahwa hukum yang menjadi obyek kajian berkutat pada law
is in the books. Dengan mendalami hal yang demikian maka hukum berorientasi
pada hukum perundang-undangan, atau hukum positif, hukum negara, hukum
nasional. Pemikiran-pemikiran kaum positivis yang banyak berlaku di Negaranegara Eropa Barat tersersebut, juga makin menguatkan hukum sebagai apa yang
tertulis di peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi, perkembangan kehidupan masyarakat secara pesat menyebabkan
persoalan tentang hukum menjadi bagian dalam sistem kehidupan sosial. Dalam
perkembangan kehidupan sosial tersebut, persepsi mengenai hukum juga ikut
berkembang. Hal ini dikarenakan hukum diharapkan mampu untuk menjawab
dan menyelesaikan persoalan-persoalan di dalam masyarakat. Perubahan

transformatif yang sangat cepat, terutama dalam bidang-bidang sosial,


menyebabkan hukum tak lagi efektif untuk mengantisipasi perubahan-perubahan
masyarakat. Kajian mengenai hukum kemudian berkembang, terutama dalam
perkembangan kajian di dalam cabang-cabang ilmu sosial. Hukum kemudian
tidak sekedar dipahami sebagai ius constitutum saja, tapi kemudian menjadi
secara empiris yang teramati di lapangan.
Sementara, dari segi strukturnya hukum adalah sebagai suatu institusi peradilan
yang kerjanya mentransformasikan masukan-masukan utamanya materi hukum in
abstracto yaitu berupa produk sistem politik menjadi keluaran-keluaran berupa
keputusan-keputusan in concreto. Sehingga dengan cara demikian mencoba
mempengaruhi dan mengarahkan bentuk dan proses interaksi sosial yang
berlangsung di dalam masyarakat. Dalam perspektif yang demikian, menurut
Soetandyo, hukum akan menampakkan diri sebagai fakta alami yang tentunya
akan tunduk pada keajegan-keajegan (regularities, nomos) atau keseragamankeseragaman (uniformities).
Tentang Penelitian Doktrinal dan non-Doktrinal
Sekalipun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto melihat pembedaan dua jenis
penelitian hukum dengan penyebutan penelitian normatif dan penelitian
empiris ini telah terlanjur populer dan terus dipopulerkan dalam wacana
keilmuan hukum di Indonesia, namun sejak awal orang harus mengetahui bahwa
penyebutan seperti itu kurang tepat benar. 18 Akan kita ketahui nanti bahwa apa
yang disebut penelitian normatif itu kerapkali meninggalkan aspek normatifnya
yang positif untuk mencapai aspek doktrinal (ajaran) hukumnya. Sedangkan apa
yang disebut penelitian empiris kerapkali mengacu pada ranah-ranah simbolis
yang ada di balik nomos yang tersimak itu. Penyebutan penelitian doktrinal dan
penelitian nondoktrinal yang pada kenyataannya nanti akan merupakan
penelitan sosial mengenai hukum yang menurut Prof. Soetandyo Wignjosoebroto
dinilai lebih tepat.
Penelitian hukum doktrinal menjadikan kaidah-kaidah hukum abstrak sebagai

18 Soetandyo Wignjosoebroto, Paradigma, Metode dan Masalah : 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto,

Jakarta, Elsam & Perkumpulan Huma, 2002, hal. 147

ukuran kebenaran dalam studi hukum. Objek dan rujukan yang diacu dalam
penelitian doktrinal adalah kaidah-kaidah dari norma, konsep dan doktrin yang
berkembang dalam pemikiran hukum. Dalam aliran hukum alam, kaidah tersebut
adalah keadilan dan moral, dalam positivisme hukum kaidah tersebut adalah
peraturan perundang-undangan dan dalam realisme hukum yaitu putusan hakim.
Metode penalaran yang paling acap digunakan dalam penelitian doktrinal ini
adalah penalaran silogisme deduktif.
Sedangkan penelitian hukum nondoktrinal menempatkan hasil amatan atas
realitas sosial untuk ditempatkan sebagai proposisi umum. Validitas hukum tidak
ditentukan oleh norma abstrak yang lahir dari kontruksi pemikiran manusia,
melainkan dari kenyataan-kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Oleh karena itu, untuk memahami hukum dan permasalahannya,
berbagai konsep, doktrin dan metode ilmu-ilmu selain ilmu hukum yang
bersinggungan dengan masyarakat menjadi sahabat dalam studi hukum.
Penelitian nondoktrinal lebih banyak menggunakan cara indkutif untuk
menampilkan kenyataan.

C. Hal hal menarik yang berkaitan dengan teknik melakukan penelitian.


Ada banyak hal menarik yang dapat dipetik dari pemikiran Soentandyo
Wignjosoebroto

berkaitan

dengan

teknik

penelitian

hukum.

Penelitian

dirumuskan sebagai upaya pencarian jawaban yang benar dan prosedural atau
bermetode untuk memperoleh kesimpulan, Metode adalah prosedur terkontrol
untuk menemukan pengetahuan. Terdapat 2 (dua) metode dalam dunia ilmiah
yaitu metode penalaran (logika) dan metode penelitian untuk memperoleh
informasi yang akurat dan dalam penggunaanya akan bersifat saling melengkapi,
yaitu :
a. Metode penalaran/ logika
o Deduksi : proses bernalar yang semula dari statement umum untuk tiba
pada satu simpulan yang khusus tentang suatu hal tertentu, yaitu suatu
konstruksi penalaran yang disebut silogisma.

10

Maka simpulannya dapat diharapkan dari konstruksi silogisme deduktif


berikut ini:
a concreto

: Semua perjanjian harus dilakukan atas dasar


itikat moral yang baik agar dapat mengikat;

premis mayor : semua perjanjian yang tak dilakukan atas dasar


itikat moral yang baik tidaklah akan mengikat.
premis minor : Si A mengikat diri ke dalam ikatan perjanjian itu
karena tertipu.
Premis klokusi : Si A yang tertipu (menurut asas moralnya) tak akan
terikat oleh perjanjian itu.
o Induksi : proses bernalar yang semula dari statement khusus untuk tiba
pada suatu kesimpulan yang berlaku umum.
Formula berpikir silogisme induksi dapat dijelaskan sebagai berikut :
Premis I
Si A diancam sanksi, si B diancam sanksi, si C diancam sanksi, si D
diancam sanksi, si E diancam sanksi, si F diancam sanksi, (dan
seterusnya).
Premis II
Si A menjadi taat, si B menjadi taat, si C menjadi taat, si D menjadi
taat, si E menjadi taat, si F menjadi taat, (dan seterusnya).
Premis III/kesimpulan
Jadi, di mana ada ancaman sanksi, di situ akan ada ketaatan (artinya,
ada hubungan antara ancaman sanksi dan ketaatan)
b. Metodologi penelitian
Beberapa hal menarik yang berkaitan dengan teknik melakukan penelitian
dari pemikiran Prof. Soetandyo Wignjosoebroto dapat dirumuskan menjadi 2
(dua) tahapan pokok, yakni ;
1. Tahap pertama, akan ditemukan dasar pemikiran baik dari aspek dogmatik
hukum, antropologi, filsafat hukum maupun dari aspek teori-teori sosial

11

dari jenis penelitian yang ada terutama dalam mengkaji hukum sebagai
objek penelitian.
2. Tahap kedua, sesudah ditemukan dasar pemikiran dari semua aspek yang
mempengaruhi konstruksi peneltian hukum yang ingin dibangun seperti
disampaikan sebelumnya pada poin 1, maka diharapkan pada tahapan
berikutnya akan ditemukan suatu metodologi yang tepat dalam rangka
mengkaji dan memahami penelitian hukum sebagai bagian dari penilitian
ilmiah.

D. Teori atau konsep yang baru yang berkaitan dengan hukum


Dari serangkaian penelaahan (review) atas pemikiran Prof. Soentandyo
Wignjosoebroto yang berkaitan dengan bahasan penelitian hukum ditemukan
beberapa konsep baru yang berkaitan dengan ilmu hukum. Beberapa temuan
tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Hukum yang dikonsepkan sebagai asas keadilan dalam sistem moral, yang
Illahi, yang secara Kodrati berlaku Universal.
Asas-asas moral yang mencerminkan kearifan nenek moyang masyarakat
setempat, yang terumuskan sebagai kaidah-kaidah umum sebagai asas asas
belaka yang tidak tertulis dan merupakan norma norma abstrak di dalam
praktik kehidupan, contohnya :
-

janji harus ditepati

- Suami istri harus saling mencintai


- Menuntut ilmu merupakan sebagian dari ibadah untuk itu harus
dikerjakan sepanjang umur.
2. Hukum Modern yang dikonsepkan sebagai Hukum Nasional yang Positif.
Hukum hanya akan boleh dipandang dan diakui sebagai hukum manakala
hukum itu secara jelas dan tegas (positif). Hukum secara nyata telah dibentuk
dan dalam bentuknya yang tertulis, yang berlaku umum pada suatu waktu
tertentu di wilayah tertentu, hukum bukan lagi asas asas yang abstrak,
inilah hukum yang telah benar benar harus diiyakan sebagai hukum

12

nasional dan tidak akan bisa ditiadakan atau diingkari

(hukum sebagai

norma positif yang formal).


Contoh : Undang-undang
3.

Hukum dalam manifestasinya sebagai Pola perilaku yang teramati dalam


Kehidupan Masyarakat.
Hukum sebagai institusi sosial yang berfungsi secara faktual dan aktual
dalam kehidupan bermasyarakat. Keteraturan ( pola perilaku ) para warga
dalam suatu masyarakat dapat terjadi berkat kepatuhan mereka pada suatu
aturan hukum tertentu yang berupa perilaku berulang dan menjadi terpola
menjadi suatu adat kebiasaan. Hukum dalam konsep faktual empiris.

4.

Hukum sebgaimana dimaksudkan oleh para Subjek pemakainya dalam


proses interaksi (antar) mereka di mana seluruh pengertian yang dimiliki
para subjek hukum tentang apa yang benar dan apa yang salah.
contoh :
- Lampu merah pada rambu lalu lintas yang berarti harus berhenti dalam
tafsir resminya, akan tetapi yang tersaksikan adalah kenyataan
pengemudi memperlambat laju kendaraannya untuk berhenti atau
malah mempercepat laju kendaraannya supaya tidak terjebak lampu
merah.

E. Hal yang menginspirasi dan dapat membantu dalam menyusun proposal


penelitian
Sesudah menyelami alur pemikiran Prof. Soetandyo Wignjosoebroto mengenai
penelitian hukum, kita temukan ternyata terdapat pergulatan pemikiran
menyangkut keabsahan penelitian hukum sebagai bagian dari pengetahuan
tersendiri. Selain itu pula, terdapat beragam mazhab pemikiran ilmu hukum yang
masing-masing memiliki metodologi atau kajian sendiri. Umpamanya saja di
kalangan internal peminat studi ilmu hukum terdapat dua kelompok besar
(dualisme) yang saling menentang. Pada satu pihak ada kalangan yang ingin
menjadikan penelitian hukum sebagai penelitian murni yang lepas dari pengaruh

13

cabang ilmu lainnya (monodisipliner). Kalangan ini mendorong penggunaan


metode-metode sains dalam penelitian hukum agar meningkatkan kadar
keilmiahan ilmu hukum.
Meski demikian, bagi kalangan ini ilmu hukum bukanlah pengkajian ilmiah,
tetapi dikategorikan sebagai bagian dari humaniora (humanities) yang normatif.
Sedangkan pada pihak lain terdapat pula kalangan yang mengkaji hukum sebagai
kenyataan dalam kehidupan masyarakat yang untuk memahaminya dilakukan
dengan menggunakan berbagai metode dalam disiplin-disiplin ilmu sosial (interdisipliner). Setiap mahasiswa fakultas hukum pasti pernah menemukan adanya
dualisme dalam metodologi penelitian hukum tersebut. ***

14

Anda mungkin juga menyukai