A. Pendahuluan
Pada awal 1980-an hingga akhir 1990-an muncul perdebatan yang berkembang
dikalangan akademisi, mahasiswa dan peminat ilmu hukum menyangkut posisi
penelitian hukum. Kala itu, Sunarti Hartono, seorang guru besar hukum ekonomi
pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, dibantu dengan Muchtar
Kusumaatmadja, guru besar hukum internasional Universitas Padjajaran yang
juga mantan Menteri Kehakiman dan Menteri Luar Negeri di era rejim Orde
Baru, secara khusus menyelidiki perkembangan penelitian hukum di Indonesia.
Pada salah satu bagian laporan penelitiannya yang diterbitkan tahun 1994 itu
ditegaskan bahwa penelitian hukum tengah dikacaukan oleh penelitian sosial.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah memaksakan metode penelitian
sosial dalam penelitian-penelitian yang berkategori sebagai penelitian hukum.
Para pegajar maupun mahasiswa pada fakultas hukum mengaku melakukan
praktik penelitian hukum dengan menggunakan metodologi penelitian sosial.
Kesimpulan ini merupakan hasil rekomendasi panel penilai yang menilai
penelitian-penelitian yang tidak menggunakan metode penelitian social bukan
merupakan penelitian. Akibatnya, tidak sedikit proposal yang semula bermaksud
menggunakan metode penelitian hukum berubah haluan menggunakan metode
penelitian sosial demi untuk memenuhi prasyarat panel penilai.1
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto upaya untuk mencampuradukan antara
1Menurut
Sunarti
Hartono
saat
ini
memang
banyak
sarjana,
baik
dari
kalangan
sosiologi
maupun
dari
kalangan
sarjana
hukum
sendiri
yang
masih
mengira
bahwa
karena
ilmu
hukum
dikelompokkan
ke
dalam
ilmu-ilmu
social,
metode
penelitian
hukum
juga
harus
sama
dengan
metode
penelitian
yang
digunakan
untuk
penelitian
empiris
sosiologis.
pendekatan ilmu sosial dalam ilmu hukum yang akan merubah kajian hukum
menjadi bagian integral ilmu-ilmu sosial, dinilai sebagai upaya yang berlebihan.2
Peter Mahmud Marzuki merumuskan penelitian hukum sebagai suatu proses guna
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum untuk menjawab isu-isu hukum yang dihadapi.3
Namun, belum lagi hilang perdebatan itu dari ingatan, akhir-akhir ini muncul
kembali gugatan dalam perbincangan ilmiah yang mempertanyakan eksistensi
penelitian hukum sebagai upaya penelitian ilmiah atau bukan. Umpamanya saja,
apakah penelitian hukum itu harus digolongkan ke dalam suatu penelitian dengan
memakai metodologi ilmiah atau memakai pendekatan tersendiri? Seperti dalam
perdebatan sebelumnya pada tahun 1980-an, perdebatan ini seolah mengungkit
kembali kegalauan dikalangan akademi, praktisi maupun mahasiswa ilmu hukum.
Bernard Barber, mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmu- ilmu alamiah dan
ilmu-ilmu sosial terletak pada tingkat perkembangannya dan tidak bersifat
fundamental. Ia menyatakan Science is a unity, whatever the class of empirical
materials to which it is applied, and therefore, natural and social science belong
together in principle. Barber, kemudian mengemukakan adanya lima disiplin
yang dapat dikategorikan ke dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu ekonomi, ilmu
politik, psikologi, sosiologi, dan anthropologi. Menurut Barber, suatu karakter
yang esensial dalam semua ilmu sosial adalah ilmu-ilmu itu berkaitan dengan
hubungan sosial di antara manusia, yaitu mereka berinteraksi satu dengan yang
lain bukan hanya secara fisik melainkan juga atas dasar makna-makna yang
disepakati bersama.4
Hal ini mengingat bahwa perbedaan ilmu-ilmu alamiah dengan ilmu-ilmu social
2 Soetandyo
Wignjosoebroto, Ilmu
Hukum
dan
Ilmu
Sosial
Tentang
Hukum:
Perbedaan
Konsepsi
dan
Konsekwensi
Metodenya,
dalam
http://soetandyo.wordpress.com/2010/08/19/ilmu-hukum-dan-ilmu-
sosial-tentang-hukum-perbedaan-konsepsi-dan-konsekwensi-metodenya/#more-138,
diunduh
12
Oktober
2014,
Pukul
12:45.
Menurut
Soetandyo
upaya
untuk
mempertahankan
ilmu
hukum
dalam
karakternnya
sebagai
Rechtslehre,
sekalipun
tak
lagi
mesti
Rein,
masih
inngat
kuat
bertahan
karena
bagaimanapun
juga
menurut
paham
ini,
ilmu
hukum
masihlah
harus
dipertahankan
sebagai
kiat
kemahiran
profesi
kehukuman
dan
kehakiman,
dan
tidak
terdeprofesionalisasi
menjadi
bagain
dari
massa
awam
di
lapangan,
di
luar
tembok-tembok
pengadilan
dan/atau
di
luar
kantor-kantor
pengacara.
Namun,
mengabaikan
sama
sekali
hasil-hasil
penelitian
sosial
dan
kajian-kajian
ilmu
sosial
(khususnnya
sosiologi
dan
antropologi
hukum)
sebagai
masukan
untuk
membuat
Illegal
Judgements
yang
lebih
realities
dan
menjamin
rechtsdoelmatigheid-
nya
(sekalipun
mungkin
akan
sedikit
mengganggu
rechtszekerheid-nya),
adalah
juga
kurang
bijaksana.
3Peter
Mahmud
Marzuki,
2008,
Penelitian
Hukum,
Cet.2,
Jakarta
:
Kencana
Prenada
Media
Group,
hal.
29
4Bernard
Barber,
Science
and
the
Social
Order,
h.
238
suatu
masalah.
Dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
sesungguhnya penelitian hukum itu adalah bersifat ilmiah sekalipun persoalanpersoalan hukum itu adalah bersifat normatif yang lebih kental dengan tata nilai.7
Adalah John Austin (1790 1859) sebagai pendiri legal positivism yang
menjumpai betapa teraturnya Hukum Romawi dan betapa kacaunya Hukum
Inggris. Sesudah mempelajari hukum Romawi, kemudian dia membuat
5ibid
hal.
28.
Bandingkan
dengan
metode
interpretasi
hukum
yang
dikemukakan
oleh
Philipus
M.
Hadjon
yang
berpendapat
bahwa
metode
interpretasi
hukum
meliputi;
interpretasi
gramatikal,
interpretasi
sistimatis,
wet-en
rectshistorische
interpretative,
interpretasi
perbandingan
hukum,
interpretasi
antisipasi,
dan
interpretasi
teleologis
dalam
Philipus
M
Hajon,
Pengkajian
Ilmu
Hukum
Dogmatik
(Normatif),
Yuridika,
Jurnal
Hukum
Universitas
Airlangga
Surabaya
No.
6
Tahun
IX,
November-Desember,
1994,
hal.
7.
6 Johnny
Ibrahim,
2005,
Teori
dan
Metode
Penelitian
Hukum
Normatif,
Cet.
1
,
Malang
:
Bayumedia
Publishing,
hal.
33.
7Lord
Lloyd
of
Hampstead
and
M.D.A.
Freeman,
An
Introduction
to
Jurisprudence,
English
Language
Book
Society,
London,
1985,
h.
8.
Ilmu
pengetahuan
modern,
sebaliknya,
membutuhkan
9 Austin mendeskripsikan hukum sebagai gejala yang dapat diamati. Dalam pandanganya, hukum terdiri
dari
perintah-perintah
dan
sanksi-sanksi
yang
diberikan
oleh
penguasa
dan
dipatuhi
oleh
setiap
anggota
masyarakat.
Aspek
normatif
hukum
dinyatakan
dengan
merujuk
kepada
aturan-aturan
tingkah
laku
lahiriah.
Bagi
Austin,
evaluasi
terhadap
aturan
hukum
merupakan
sesuatu
yang
lain.
Dengan
demikian,
Auatin
menulis
tentang
hukum
dari
perspektif
sosiolog
yang
bebas
nilai.
terlalu cepat berubah sehingga sulit melakukan eksperimen secara berulangulang, yang akan dapat menghasilkan penelitian yang sama. 10 Dengan cara
seperti ini dapat disimpulkan bahwa metode ilmiah hanya digunakan untuk ilmuilmu alamiah yaitu logico-hypotetico-verivicative hanya berlaku untuk keilmuan
yang bersifat deskriptif, yaitu mengemukakan apa yang ada berdasarkan fakta
empirik.11 Sedangkan sifat keilmuan hukum adalah preskriptif. Dengan demikian,
muncul gugatan apakah metode dan prosedur penelitian dalam ilmu-ilmu alamiah
dan ilmu-ilmu sosial dapat pula diterapkan untuk ilmu hukum?
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto perbedaan berpikir dan bermetode dalam
ilmu hukum (Rechtslehre) dan ilmiah sesungguhnya tidaklah terletak pada
silogisme-silogisme logika yang dipakainya. Dalam hubungan ini perlu tetap
diperhatikan bahwa kedua-duanya, terutama yang berkembang dalam system
common law, sebenarnya sama-sama menggunakan metode silogisme deduksi
dan induksi. Perbedaan dasarnya adalah harus dicari tidak pada metodenya,
melainkan pada sumsi-asumsi dasarnya mengenai postulat apa yang seharusnya
dipakai sebagai pangkal tolak berpikir itu.12
Dalam bagian lain pemikirannya yang berjudul Penelitian Hukum dan
Hakikatnya Sebagai Penelitian Ilmiah, Soetandyo Wignjosoebroto membahas
beberapa penjelasan dalam dua mainstream penelitian ilmiah. Pertama, adalah
penjelasan tentang apakah yang harus dipahami bersama sebagai hukum dalam
kedudukannya sebagai objek penelitian itu. Kedua, penjelasan menyangkut soal
apakah sesungguhnya yang harus dikatakan sebagai suatu penelitian hukum,
berikut metodologinya yang harus dipenuhi sebagai prasyarat tentang apakah
penelitian hukum itu sejatinya merupakan suatu penelitian ilmiah atau bukan.13
10Sunarti
Hartono,
1994,
Penelitian
Hukum
di
Indonesia
Pada
Akhir
Abad
ke-20,
Bandung
:
Alumni,
hal.
96.
11Francis
Bacon
adalah
orang
yang
pertama
kali
memformulasikan
metode
ilmiah.
Meskipun
dilakukan
beberapa
perbaikan,
rumusan
Bacon
itu
dapat
diterima
oleh
para
ilmuwan
sejak
abad
XVII.
Para
ilmuwan
mulai
dengan
melakukan
eksperimen
yang
tujuannya
untuk
mengamati
gejala-gejala
secara
cermat
dan
teliti.
Selanjutnya,
para
ilmuwan
itu
merekam
apa
yang
mereka
temukan,
menganalisisnya,
dan
mem-
publikasikannya.
Para
ilmuwan
tidak
mulai
dengan
menyusun
hipotesis,
melainkan
mereka
mulai
dengan
melakukan
observasi.
Semakin
banyak
data
terkumpul,
semakin
banyak
gejala
ilmiah
terungkap.
Niat
para
ilmuwan
adalah
menjelaskan
gejala-gejala
alamiah
secara
ilmiah.
12Soetandyo
Wignjosoebroto
,
Ilmu
Hukum
dan
Ilmu
Sosial
Tentang
Hukum:..,
Ibid
13Soetandyo
Wignjosoebroto,
2009,
Penelitian
Hukum
dan
Hakikatnya
Sebagai
Penelitian
Ilmiah,
dalam
Metode
Penelitian
Hukum
:
Konstelasi
dan
Refleksi,
editor
Sulistyowati
Irianto
dan
Shidarta,
Yayasan
Obor,
Jakarta,
hal.
85.
positif.
Pada
perkembangan
pemikiran
secara
sosiologis
menggantikan asas-asas moral, dipraktikkan dalam fungsinya sebagai premispremis mayor in abstracto yang kebenaran dan keabsahannya tak lagi boleh
dipertentangkan. Sebab, lewat penyimpulan deduksi akan melahirkan premispremis conclusio dan premis-premis conclusio yang nantinya akan dipakai atau
diusulkan peneliti sebagai dasar kebenaran keputusan peradilan in concreto.
Dalam keputusan ini memang ada juga penyimpulan tentang akibat (hukum)
tertentu
yang
diperbuat
orang;
namun
hubungan
sebab-akibat
yang
18 Soetandyo Wignjosoebroto, Paradigma, Metode dan Masalah : 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto,
ukuran kebenaran dalam studi hukum. Objek dan rujukan yang diacu dalam
penelitian doktrinal adalah kaidah-kaidah dari norma, konsep dan doktrin yang
berkembang dalam pemikiran hukum. Dalam aliran hukum alam, kaidah tersebut
adalah keadilan dan moral, dalam positivisme hukum kaidah tersebut adalah
peraturan perundang-undangan dan dalam realisme hukum yaitu putusan hakim.
Metode penalaran yang paling acap digunakan dalam penelitian doktrinal ini
adalah penalaran silogisme deduktif.
Sedangkan penelitian hukum nondoktrinal menempatkan hasil amatan atas
realitas sosial untuk ditempatkan sebagai proposisi umum. Validitas hukum tidak
ditentukan oleh norma abstrak yang lahir dari kontruksi pemikiran manusia,
melainkan dari kenyataan-kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Oleh karena itu, untuk memahami hukum dan permasalahannya,
berbagai konsep, doktrin dan metode ilmu-ilmu selain ilmu hukum yang
bersinggungan dengan masyarakat menjadi sahabat dalam studi hukum.
Penelitian nondoktrinal lebih banyak menggunakan cara indkutif untuk
menampilkan kenyataan.
berkaitan
dengan
teknik
penelitian
hukum.
Penelitian
dirumuskan sebagai upaya pencarian jawaban yang benar dan prosedural atau
bermetode untuk memperoleh kesimpulan, Metode adalah prosedur terkontrol
untuk menemukan pengetahuan. Terdapat 2 (dua) metode dalam dunia ilmiah
yaitu metode penalaran (logika) dan metode penelitian untuk memperoleh
informasi yang akurat dan dalam penggunaanya akan bersifat saling melengkapi,
yaitu :
a. Metode penalaran/ logika
o Deduksi : proses bernalar yang semula dari statement umum untuk tiba
pada satu simpulan yang khusus tentang suatu hal tertentu, yaitu suatu
konstruksi penalaran yang disebut silogisma.
10
11
dari jenis penelitian yang ada terutama dalam mengkaji hukum sebagai
objek penelitian.
2. Tahap kedua, sesudah ditemukan dasar pemikiran dari semua aspek yang
mempengaruhi konstruksi peneltian hukum yang ingin dibangun seperti
disampaikan sebelumnya pada poin 1, maka diharapkan pada tahapan
berikutnya akan ditemukan suatu metodologi yang tepat dalam rangka
mengkaji dan memahami penelitian hukum sebagai bagian dari penilitian
ilmiah.
12
(hukum sebagai
4.
13
14