Anda di halaman 1dari 21

0

Penelitian Hukum Dalam Perspektif Normatif

MAKALAH INDIVIDUAL
Disusun untuk memenuhi persayaratan dalam mengikuti Matakuliah
METODOLOGI PENELITIAN HUKUM NORMATIF & EMPIRIS
pada Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Islam As-Syafi’iyyah (UIA) Jakarta

Dosen : Prof. Dr. Moh. Taufiq Makarao, SH., MH.

Oleh :

Muhammad Eko Purwanto


NIM : 2220150017

PASCASARJANA ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYYAH
JAKARTA, 2016
1

Daftar Isi

1. Daftar Isi ............................................................................. 1


2. Latar Belakang Masalah ................................................... 2
3. Rumusan Masalah ............................................................. 6
4. Tujuan Penyusunan Makalah .......................................... 6
5. Manfaat Penyusunan Makalah ........................................ 6
6. Metode, Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data ..... 7
7. Pembahasan ........................................................................ 8
8. Kesimpulan ......................................................................... 19
9. Daftar Pustaka .................................................................... 20

Penelitian Hukum Dalam Perspektif Normatif


2

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Ilmu hukum dalam perkembangannya, selalu diperdebatkan


keabsahannya sebagai sebuah ilmu, baik oleh ilmuwan bidang sosial
maupun ilmuwan yang berkecimpung di bidang hukum sendiri. Sudah sejak
lama sebuah pertanyaan timbul dan harus dijawab secara akademis, apakah
Ilmu Hukum itu suatu ilmu? Menurut Lasiyo, pertanyaan tersebut
seyogyanya tidak sekedar dicari jawabnya secara instan, tetapi harus dikaji
dan dianalisis berdasarkan landasan pijak yang kuat dan jelas dari aspek
keilmuan.1

Dari segi kajian penelitian, ilmu hukum pada dasarnya bukanlah


untuk melakukan verifikasi atau menguji hipotesis sebagaimana penelitian
ilmu sosial maupun penelitian ilmu alamiah. Di dalam penelitian hukum
tidak dikenal istilah data. Metode kajian terhadap ilmu hukum beranjak dari
sifat dan karakter ilmu hukum itu sendiri. Menurut Philipus M. Hadjon,
ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif,
praktis, dan preskriptif. Karakter yang demikian menyebabkan sementara
kalangan yang tidak memahami karakteristik ilmu hukum itu mulai
meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan tersebut dikarenakan kajian
terhadap ilmu hukum lebih bersifat dogmatis, ketimbang empiris. 2

Paragraf pembuka diatas, dimaksudkan untuk memberikan pengantar


pemahaman tentang apakah kajian-kajian hukum harus dibatasi dengan
pendekatan doktrinal semata, ataukah harus pula mengembangkan
pendekatan-pendekatan nondoktrinal (empiris/sosiologis). Penelusuran
sekitar perbincangan masalah pendekatan kajian-kajian hukum,
menunjukkan kecenderungan pada pendikotomian tipe kajian pendekatan
hukum itu, dan mangundang perdebatan yang bermuara pada pencarian
"pembenaran" terhadap pendekatan itu (doktirinal atau empiris/sosiologis).
Lebih mengharukan lagi, "ketegangan" itu berbuah pada munculnya
"mazhab" di lingkungan perguruan tinggi hukum di negeri ini, fakultas
hukum "X" ber "mazhab" kan kajian hukum doktrial, fakultas hukum "Y" ber
"mashab" kan kajian hukum sosiologis (empiris).

Pertanyaannya, apakah memang harus demikian adanya, ataukah


tidak ada upaya paradigmatik yang bisa mengharmonisasikan dua tipe
pendekatan hukum itu sehingga satu sama lain, tidak saling berseteru tetapi

1
Lasiyo dalam M. Hadin Muhjad, dkk., 2003, Peran Filsafat Ilmu dalam Ilmu Hukum: Kajian
Teoritis dan Praktis, Unesa University Press, Surabaya, hlm. iii.
2
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hlm. 1.
3

dapat berjaIan saling menggamit, saling menunjang dan saling mengisi


dalam pembahasan hukum, utamanya dalam kegiatan penelitian pada
umumnya dan dalam penulisan karya ilmiah hukum (Skripsi, Tesis, Disertasi)
pada khususnya.

Selanjutnya, sebagai suatu kegiatan ilmiah, penelitian bertujuan untuk


menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran, karena hanya
kebenaranlah yang dapat “memuaskan” rasa ingin tahu manusia. Manusia
akan merasa kecewa, ketika seseorang menemukan sesuatu yang
sebelumnya dianggap benar, tetapi ternyata dikemudian hari terbukti keliru
(salah). Bila ada orang merasa cukup puas dengan informasi yang ternyata
keliru tanpa mau meneliti kembali, maka orang tersebut perlu diragukan
“kemanusiaannya”.3

Seperti yang telah diuraikan diatas, terkait dengan dua pendapat


mengenai keilmuan hukum, dimana pendapat pertama menegaskan bahwa
ilmu yang disebut ilmu hukum itu sesungguhnya tidak ada. Von Kirchmann
adalah pendukung utama pendapat ini. Ia menegaskan, ”Ueber die
Wertlosigkeit der Jurisprudenz als Wissenschaft”.4 (Begitu tidak berharganya
yurisprudensi sebagai sebuah ilmu).

Sementara itu, pendapat kedua menegaskan bahwa ilmu yang disebut


ilmu hukum itu ada. Pendapat ini didukung oleh Bellefroid, Zevenbergen,
Hari Chand, B. Arief Sidharta, dan Peter Mahmud Marzuki. 5 Setelah abad
ke-19 pendapat-pendapat itu semakin mengerucut ke arah satu pendapat
bahwa ilmu hukum adalah sesuatu yang ada. Ada pengakuan mengenai
keberadaan atau eksistensi ilmu hukum.

Setelah ilmu hukum berkembang, lalu timbul pemikiran untuk


menggolongkan atau mengklasifikasikan ilmu hukum ke dalam golongan
ilmu tertentu. Ketika timbul pemikiran demikian ini serta-merta orang
melihat penggolongan atau klasifikasi ilmu yang telah ada sebelumnya,
yaitu (1) ilmu eksakta alam, (2) ilmu sosial, dan (3) humaniora. 6 Desain

3
Zulfadli Barus, “Pengaruh Rasionalisme dan Empirisme Terhadap Penelitian Hukum Normatif
dan Penelitian Hukum Sosiologis”, Bina Widya, Vol. 15 No. 1 April 2004, hlm. 94
4
Pidato Von Kirchmann dengan judul Ueber die Wettlosigkeit der Jurisprudenz als
Wissenchaft, dikutip dari O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1975, hlm., 44.
5
Bellefroid, Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland, hlm. 17 (dikutip dari O.
Notohamidjojo, op. cit., 41), Willem Zevenbergen, Formele Encyclopaedie der
Rechtswetenschap, hlm. 23 (dikutip dari O. Notohamidjojo, op. cit., hlm. 43), Hari Chand,
Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur : International Law Book Services, 1994, hlm. 9, B.
Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1999, hlm.
213, Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2007,
hlm. 17.
4

keilmuan oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural


Organization) pun demikian.7

Pada mulanya orang menggolongkan ilmu hukum sebagai ilmu


sosial. Ketika orang mulai sadar bahwa ternyata ilmu hukum tidak dapat
atau tidak tepat digolongkan sebagai ilmu sosial, orang mulai mencoba
menggolongkan ilmu hukum sebagai humaniora. 8 Upaya ini pun gagal,
sebab karakter hukum sebagai objek ilmu hukum tidak sama dengan
karakter objek humaniora.

Ketika ilmuwan hukum tidak puas dengan penggolongan ilmu


tersebut mulailah mereka berpikir mengapa ilmu hukum harus digolongkan
ke dalam ilmu-ilmu tersebut. Pemikiran ini melahirkan pendapat bahwa
ilmu hukum adalah sesuatu yang ada dengan segala kekhasannya, tanpa
harus dipaksa digolongkan ke dalam desain ilmu-ilmu, yaitu ilmu eksakta
alam, ilmu sosial, dan humaniora. Sebagai salah satu wujud kekhasan ilmu
hukum, di dalam bahasa Inggris ilmu hukum tidak disebut sebagai legal
science, melainkan jurisprudence. “Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai
ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan”.9

Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari


tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum
menetapkan standar-standar prosedur, ketentuan-ketentuan, dan rambu-
rambu dalam melaksanakan hukum.

Karakter khas ilmu hukum membawa konsekuensi pada penelitian


hukum. Ketika orang menggolongkan ilmu hukum sebagai ilmu sosial
berkembanglah penelitian yang lazim disebut sebagai socio-legal research atau
penelitian sosial tentang hukum. Penelitian ini melihat hukum sebagai gejala
sosial. Fokus penelitian ini adalah perilaku manusia, baik individu maupun
masyarakat, berkaitan dengan hukum. Di dalam penelitian ini masalah
penelitian merupakan jarak atau kesenjangan antara sesuatu menurut
hukum dengan sesuatu yang terjadi atau yang dilakukan oleh manusia.
Dengan perkataan lain masalah penelitian terletak pada kesenjangan antara
das sollen dan das sein.
6
Menurut Webster’s New Encyclopedic Dictionary, New York, 1995, hlm. 484, humanities are
the branches of learning having primarily a cultural character; pengertian serupa diberikan oleh
Harrap’s Essential English Dictionary, Edinburgh, 1995, hlm. 468.
7
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, Peter
Mahmud Marzuki, hlm. 11-12.
8
Sebagai bukti adanya upaya penggolongan ilmu hukum sebagai humaniora adalah
adanya gelar magister humaniora untuk para sarjana yang menempuh pendidikan S-2
hukum.
9
Peter Mahmud Marzuki, Op., Cit., hlm. 18-19.
5

Sebagai contoh saja, undang-undang mewajibkan pengendara sepeda


motor memakai helm. Kenyataannya ada sejumlah pengendara sepeda
motor yang tidak memakai helm. Jika hal ini diteliti, rumusan masalahnya
adalah mengapa ada sejumlah pengendara sepeda motor tidak
menggunakan helm ? Contoh sederhana ini dapat menunjukkan bahwa di
dalam penelitian ini, yang diteliti adalah perilaku orang berkaitan dengan
hukum, baik berupa perintah atau larangan.

Ketika orang mengembangkan ilmu hukum sebagai ilmu tersendiri


sesuai dengan kekhasannya, dengan demikian juga mengembangkan
penelitian hukum sesuai dengan kekhasan itu, mulailah sejumlah ahli
”menyerang” kesahihan sociolegal research sebagai penelitian hukum. Dengan
pernyataan yang amat tegas, Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa
socio-legal research atau penelitian sosio-legal bukan penelitian hukum.10

Penelitian hukum yang dikembangkan berlandaskan keilmuan


hukum dengan segala kekhasan melahirkan penelitian hukum yang khas
pula yang kemudian dikenal sebagai penelitian hukum normatif. 11 Namun,
persoalan atau polemik belum selesai. Karena menegaskan bahwa sociolegal
research bukan merupakan penelitian hukum, maka orang yang
berpandangan demikian tidak setuju dengan istilah penelitian hukum
normatif.12 Bagi mereka hanya ada satu jenis penelitian hukum, yaitu
penelitian hukum. Titik.

Adanya istilah penelitian hukum menumbuhkan kesan, bahwa ada


penelitian hukum yang tidak normatif, yaitu penelitian hukum empirik.
Polemik mengenai penelitian hukum masih berlangsung. Hal ini wajar di
kalangan ilmuwan. Setajam apa pun polemik itu berlangsung, pendidikan
tinggi hukum, baik fakultas hukum maupun sekolah tinggi hukum, terus
berlangsung.

Salah satu mata kuliah wajib di fakultas hukum maupun sekolah


tinggi hukum adalah metode penelitian hukum. Di sinilah persoalan mulai
timbul. Perbedaan pendapat para dosen mengenai beberapa konsep di
dalam penelitian hukum sering menyulitkan para mahasiswa dalam
penulisan karya tulis ilmiah, terutama skripsi. Beberapa konsep yang masih
sering diperselisihkan maknanya adalah: 1). Data dan bahan hukum; 2).
Masalah dan isu hukum; 3). Content analysis sebagai methods of analyzing
available data; 4). Variabel; 5). Hipotesis; 6). Pendekatan; dan lainnya.

10
Peter Mahmud Marzuki, Op., Cit., hlm. 87.
11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 15.
12
Peter Mahmud Marzuki, Op., Cit., hlm. 24.
6

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas,


maka penulis tertarik untuk menyusun makalah ini dengan judul :
“Penelitian Hukum Dalam Perspektif Normatif.”

II. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah diatas, dapat ditarik rumusan


masalahnya, sebagai berikut :
1. Bagaimana konstruksi ilmu hukum ?
2. Bagaimana perspektif normatif dalam penelitian hukum ?

III. TUJUAN PENYUSUNAN MAKALAH

Sedangkan tujuan penyusunan makalah ini, adalah :


1. Untuk memahami konstruksi ilmu hukum.
2. Untuk memahami perspektif normatif dalam penelitian hukum.

IV. MANFAAT PENYUSUNAN MAKALAH

1. Manfaat Teoritis

a. Secara teoritis melalui makalah ini diharapkan dapat


bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya
matakuliah Metodologi Penelitian Hukum.
b. Menambah pemahaman penulis dan sebagai bahan pustaka
Matakuliah Metodologi Penelitian Hukum, pada Pascasarjana
Ilmu Hukum, Universitas Islam As-Syafi’iyyah (UIA) Jakarta.

2. Manfaat Praktis

a. Menambah wawasan penulis dalam bidang Ilmu Hukum,


khususnya tentang Metodologi Penelitian Hukum.
b. Sebagai informasi dan sekaligus menjadi salah satu bahan
pengetahuan untuk melakukan analisis tentang konsep-konsep
Metodologi Penelitian Hukum.
c. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum,
dalam upaya memahami Metodologi Penelitian Hukum secara
Normatif.

V. METODE, PROSEDUR PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA

1. Metode Pengumpulan Data.


7

Data-data dalam makalah ini diperoleh dengan menggunakan metode


penelitian kepustakaan (Library Research). Metode ini dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari:

a). Bahan-bahan primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan


terdiri dari buku-buku, jurnal, dan lain-lain, yang terkait dengan
masalah yang dibahas.
b). Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan terhadap bahan-bahan primer berupa artikel-artikel
hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum lainnya.

2. Prosedur Pengumpulan Data.

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan


pada makalah ini, maka pengumpulan bahan-bahan referensi
dilakukan dalam rangka memperoleh data sekunder. Langkah
awalnya adalah dengan melakukan inventarisasi terhadap sumber-
sumber sebagai referensi, kemudian menuliskannya secara sistematis.

3. Analisis Data.

Pada makalah ini, analisis dilakukan secara deskriptif-kualitatif,


sedangkan pengolahan data dilakukan dengan cara mensistematika bahan-
bahan atau buku-buku. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap
bahan-bahan yang ada, tersebut untuk memudahkan analisis dan
merumuskan konstruk atau konsep.13

VI. PEMBAHASAN

1. Konstruksi Ilmu Hukum.

Istilah ilmu (science) menyandang dua makna, yaitu sebagai produk


dan sebagai proses. Sebagai produk, ilmu adalah pengetahuan yang sudah
terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam suatu
sistem. Wim van Dooren, mengemukakan bahwa ilmu dapat didefinisikan
sebagai pengetahuan yang sah secara intersubyektif dalam bidang kenyataan
tertentu yang bertumpu pada satu atau lebih titik tolak dan ditata secara
sistematis.14
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op., Cit., hlm. 251-252.
14
Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, hlm. 104.
8

Sebagai proses, istilah ilmu menunjuk pada kegiatan akal budi


manusia untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang tertentu secara
bertatanan (stelselmatig) atau sistematis dengan menggunakan seperangkat
pengertian yang secara khusus diciptakan untuk itu, untuk mengamati dan
megamati gejala-gejala [gegevens] yang relevan pada bidang tersebut, yang
hasilnya berupa putusan-putusan yang keberlakuannya terbuka untuk dikaji
oleh orang lain berdasarkan kriteria yang sama dan sudah disepakati atau
yang dilazimkan dalam lingkungan komunitas keahlian dalam bidang yang
bersangkutan.

Berangkat dalam dua makna tersebut, C.A. Van Peursen,


mendefinsikan bahwa ilmu adalah sebuah kebijakan. Ilmu adalah sebuah
strategi untuk memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya tentang
kenyataan, yang dijalankan orang terhadap [yang berkenaan]
kenyataannya.15 Sementara itu, keberadaan ilmu dalam pandangan Harold
Berman, harus memenuhi tiga perangkat kriteria, yaitu: (1) kriteria
metodologikal, dalam peristilahan metodologi, ilmu dalam arti modern,
merupakan seperangkat pengetahuan yang terintegrasi yang lahir dalam
konteksitas dedukto-hipotetiko-verifikatif; (2) kriteria nilai, yaitu subtansi yang
mengacu pada premis-premis nilai obyektivitas, bebas pamrih
(disinterestedness), skeptis, toleransi, dan keterbukaan; (3) kriteria
sosiologikal, yang meliputi pembentukan kominitas ilmuwan, penautan
berbagai disiplin ilmiah, dan status sosial. Dengan demikian keberadaan
ilmu merujuk pada suatu struktur yang unsur-unsurnya meliputi; (1) pra-
anggapan sebagai guiding principle; (2) bangunan sistematis yakni: metode
dan subtansi (konsep dan teori); (3) keberlakuan intersubyektif; dan (4)
tanggungjawab etis.16 Berdasarkan ciri-ciri ilmu tersebut, maka terdapat
berbagai cara untuk mengklasifikasi ilmu-ilmu ke dalam beberapa kelompok
dan sub-kelompok, tergantung pada aspek (patokan/kriteria) yang
digunakan. Berdasarkan aspek substansi, dikenal Ilmu Formal dan Ilmu
Empiris.

Ilmu formal merujuk pada ilmu yang tidak bertumpu pada


pengalaman atau fakta empiris. Obyek kajiannya bertumpu pada struktur
murni yaitu analisis aturan operasional dan struktur logika. Dapat
disebutkan yang termasuk dalam ilmu formal misalnya, logika dan
matematika serta teori sistem. Ilmu empiris merujuk kepada ilmu yang
bertumpu pada pengetahuan faktual. Dalam rangka memperoleh
pengetahuan faktual itu dieksplorasilah kenyataan aktual. Ilmu yang
berkarakteristik demikian bersumber pada empiris (pengalaman) dan
eksperimen sehingga bersifat empirikal dan eksperimental.
15
Ibid., hlm. 105
16
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, hlm. 2.
9

Ilmu empiris dalam mengelola dan menganalisis pengetahuan


faktualnya sering mempergunakan perspektif positivis, sehingga sering
disebut juga sebagai ilmu positif – walaupun tidak sepenuhnya benar. Ilmu
empiris terdiri dari ilmu-ilmu alam (naturwissen-schaften) dan ilmu-ilmu
manusia (geisteswissenscaften). Ilmu formal dan ilmu empiris merupakan
genus dari kelompok ilmu teoritis, yaitu ilmu yang ditujukan untuk
memperoleh pengetahuan saja dengan mengubah dan/atau menambah
pengetahuan. Adapun sebagai vis a vis ilmu teoritis adalah ilmu praktis,
yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas-aktivitas penerapan itu sendiri
sebagai obyeknya, selain itu juga bertujuan untuk mengubah keadaan, atau
menwarkan penyelesaian terhadap masalah konkret. Ilmu praktis dapat
dibagi dalam dua kelompok besar yaitu ilmu praktis nomologis dan ilmu
praktis normologis. Ilmu praktis normologis berusaha memperoleh
pengetahuan faktual-empiris, yaitu pengetahuan tentang hubungan ajeg
yang ceteris paribus berdasarkan asas kausalitas-deterministik.17

Sedangkan ilmu praktis nomologis berusaha menemukan hubungan


antara dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi (menautkan
tanggungjawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya
menjadi kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkret, namun dalam
kenyataannya apa yang seharusnya terjadi itu tidak niscaya dengan
sendirinya terjadi. Ilmu Praktis Normologis disebut juga dengan Ilmu
Normatif atau Ilmu Dogmatik. Merujuk pada klasifikasi keilmuan di atas,
maka apakah ilmu hukum adalah ilmu? Menjawab pertanyaan ini secara
arif, Philipus M. Hadjon mengatakan, bahwa bukan masanya untuk
memperdebatkan hal tersebut. Ilmu hukum diterima sebagai ilmu dengan
tetap menghormati karakter ilmu hukum yang merupakan kepribadian ilmu
hukum.18

Apa yang kemukakan Philipus M. Hadjon tersebut cukuplah


beralasan, karena apabila ditinjau dari sudut pandang karakteristik dan
kepribadian, Ilmu Hukum dipandang sebagai suatu ilmu yang memiliki
karakter yang khas. Dengan karakter demikian ilmu hukum merupakan
ilmu tersendiri (sui generis).19 Sehingga dengan kualitas keilmiahannya sulit
dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu, baik cabang ilmu
pengetahuan alam, cabang ilmu pengetahuan sosial, maupun cabang ilmu
humaniora. Tetapi berdasarkan karakteristik keilmuwan, menurut Bernard
Arief Sidharta, ilmu hukum termasuk dalam kelompok ilmu praktis,

17
Ibid., hlm. 3.
18
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam “Yuridika”,
Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 6 Tahun IX, November – Desember
1994, hal. 1.
19
Ibid., hlm. 2
10

walaupun demikian sebagaimana ilmu kedokteran, ilmu hukum menempati


kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu, bukan karena mempunyai
sejarah yang panjang, tetapi juga karena sifatnya sebagai ilmu normatif dan
dampak langsungnya terhadap kehidupan manusia dan masyarakat yang
terbawa oleh sifat dan problematikanya.20

20
Bernard Arif Sidharta, Op., Cit., hal. 113.
11

Menurut Sidharta, dalam artikelnya yang berjudul, Menyikapi


Problematika Metodis dalam Penelitian Disiplin Hukum, menyatakan bahwa
dalam konstelasi ilmu-ilmu pada umumnya, ilmu hukum dapat
dikategorikan dalam kelompok ilmu praktis. Sebagaimana layaknya ilmu
praktis, ia melayani permasalahan konkret yang diajukan masyarakat.
Namun, ilmu praktis dalam konteks ilmu hukum kerap dimaknai sebagai
ilmu praktis yang normologis (berhubungan dengan norma), bukan ilmu
praktis yang nomologis (berhubungan dengan fakta). Pada tingkat paling
hulu terdapat ilmu-ilmu formal seperti logika dan statistika. ilmu-ilmu
formal ini tidak memanfaatkan produknya sendiri, melainkan untuk
digunakan oleh ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu praktis. Pada tingkat di
bawahnya yang lebih hilir terdapat ilmu-ilmu empiris, seperti sosiologi,
sejarah, dan bahasa. Pada tingkat paling hilir terdapat ilmu-ilmu praktis,
seperti ilmu kedokteran dan ilmu hukum dogmatis. 21

21
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/5655?show=full, diakses pada
tanggal, 16 November 2016.
12

Ilustrasi dalam diagram di atas memperlihatkan posisi ilmu hukum


dogmatis yang sangat dekat dengan kenyataan sosial. Hal ini terjadi karena
ilmu praktis selalu berusaha melayani kebutuhan konkret masyarakat.
Masyarakat membutuhkan keputusan yang tegas terkait pelanggaran norma
hukum. Mereka ingin tahu, jika ada pelanggaran hukum, dengan apa dan
bagaimana cara pelanggaran tadi bisa diselesaikan. Jawaban atas pertanyaan
ilmu hukum dogmatis (legal inquiry) ini akan senantiasa dievaluasi oleh
masyarakat. Karena dekat dengan kenyataan sosial itulah maka ilmu hukum
dogmatis mutlak membutuhkan kerja sama dengan ilmu-ilmu lain,
khususnya ilmu-ilmu empiris tentang hukum. Kerja sama ini sangat luas,
sehingga akhirnya mengarah kepada kerja sama lintas-disipliner. Fenomena
inilah yang menjadi cikal-bakal kebingungan, terkait cara kerja ilmu hukum,
termasuk metode penelitiannya.22

2. Perspektif Normatif Dalam Penelitian hukum.

a. Pengertian Penelitian Hukum Normatif

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu


pengetahuan maupun teknologi. Sedangkan penelitian hukum pada
dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu dengan tujuan untuk mempelajari gejala

22
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/5655?show=full, diakses pada
tanggal, 16 November 2016.
13

hukum yang timbul dengan cara menggunakan dasar analisis. 23 Dalam


litelatur lain dijelaskan bahwa penelitian hukum yang meletakkan hukum
sebagai sebuah bangunan sistem norma.24 Penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka dinamakan penelitian hukum normatif
atau penelitian kepustakaan.25 Hukum normatif merupakan hukum yang
mengkaji dan menganalisis hukum dari norma atau aturan-aturan yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan.26

b. Bentuk-bentuk bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian


hukum normatif

1). Buku/ monograf


Merupakan suatu terbitan yang utuh kesatuannya dan yang
isinya mempunyai nilai yang tetap.

2). Terbitan berkala


Merupakan terbitan yang direncanakan untuk diterbitkan terus-
menerus dengan frekuensi tertentu.

3). Brosur/pamflet.
Merupakan terbitan yang tidak diolah sebagaimana dengan
bahan pustaka lain, oleh karena bahan pustaka ini bernilai
sementara.

4). Bahan non-buku


Dapat berupa bahan pustaka yang tercetak atau bahan pustaka
yang tidak tercetak.

c. Karakteristik serta bahan penelitian hukum normatif

Penelitian hukum ini acap kali dikonsepsikan sebagai apa yang


tertulis dalam peraturan perundang-undangan, atau sebagai kaidah untuk
dasar berperilaku manusia yang dianggap pantas. Dalam sebuah penelitian,
sangat diperlukan suatu bahan ataupun data yang akan diteliti dan
selanjutnya dianalisa untuk mencari jawaban dari permasalahan penelitian

23
Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 39
24
Mukti Fajar Dewata dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 34
25
Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, Op., Cit., hlm. 14
26
Salim HS, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 64
14

yang diajukan.27 Sumber data yang digunakan yaitu terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier.

1). Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.


Dalam hal ini, yaitu :
a. Norma atau kaidah dasar
b. Peraturan Dasar
c. Peraturan perundang-undangan
d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat.

2). Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan


penjelasan mengenai bahan hukum primer. Seperti rancangan
undang-undang, hasil penelitian, dan pendapat pakar hukum.

3). Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan mengenai kedua bahan hukum diatas, yaitu
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Seperti
ensiklopedia dan kamus hukum.

Akan tetapi dalam hal ini, bahan hukum yang digunakan yaitu bahan
hukum sekunder, karena dalam penyusunannya menggunakan kerangka
konseptual.28 Data sekunder merupakan suatu data yang mempunyai ruang
lingkup yang sangat luas. Karena data tersebut merupakan data yang sudah
ada dari peneliti yang terdahulu.29

d. Jenis-jenis penelitian hukum normatif

Penelitian hukum normatif menurut soerjono soekanto , terdiri


dari :

1). Penelitian terhadap asas-asas hukum, merupakan kecende-


rungan-kecenderungan dalam memberikan suatu penilaian
terhadap hukum yangbersifat etis.
2). Penelitian terhadap sistematika hukum, dengan mengkaji
pengertian-pengertian dasar dari sistem yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan yang akan diteliti.
3). Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum. Dengan mentelaah
peraturan perundang-undangan dalam kaitannya dengan
hubungan fungsional dalam mengatur masyarakat.30

27
Mukti Fajar Dewata dan Yulianto Achmad, Op., Cit., hlm. 41
28
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm 118-119
29
Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, Op., Cit., hlm. 24
15

Sedangkan menurut Ronny Hamitjo-seomitro, yaitu :

1). Inventarisasi hukum positif. Merupakan kegiatan menginventa-


risasi hukum positif.
2). Penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif. Kecende-
rungan dalam memberikan penilaian hukum.
3). Penemuan hukum in concerto. Penemuan hukum ini bertujuan
untuk menguji apakah suatu postulat normatif tertentu dapat
atau tidak dipakai untuk memecahkan suatu masalah hukum
tertentu in concreto.31

Sedangkan menurut Sutadnyo Wigyosubroto membaginya


menjadi tiga, yaitu :

1). Penelitian hukum normatif yang mengkaji hukum yang


dikonsepkan sebagai asas hukum alam dalam sistem moral
menurut doktrin hukum alam.
2). Penelitian hukum normatif yang mengkaji hukum yang
dikonsepkan sebagai kaidah perundang-undangan menutur
doktrin positivisme.
3). Penelitian hukum normatif yang mengkaji hukum yang
dikonsepkan sebagai keputusan hakim in concreto menurut
doktrin realisme.

E. Objek Penelitian hukum normatif

Penelitian hukum normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai


sistem norma yang digunakan untuk memberikan putusan tentang suatu
peristiwa hukum. Dalam hal ini dimaksudkan untuk memberikan
argumentasi mengenai apakah suatu peristiwa tersebut sudah sesuai atau
belum serta bagaimana sebaiknya menurut hukum.32

Hukum menunjukkan penafsiran normatif atas objeknya dengan


memahami perilaku manusia yang merupaan isi dari norma hukum.
Hubungan normatif antara fakta-fakta yang ditetapkan oleh suatu aturan
hukum harus dipatuhi dan diterapkan.33

30
Bambang Sunggono, Op., Cit., hlm. 41
31
Burhan Ashshofa, 2001, Metodologi Penelitian Hukum, PT Rineka cipta, Jakarta, hlm. 13
32
Mukti Fajar Dewata dan Yulianto Achmad, Op., Cit., hlm.36
33
Hans Kelsen, 2007, Teori Hukum Murni, terj. Raisul Muttaqien, Nusamedia dan Nuansa,
Bandung, hlm. 81
16

Penelitian hukum normatif menempatkan sistem norma dalam objek


kajiannya. Bahwa seluruh unsur dari norma hukum yang berisi nilai-nilai
tentang bagaimana manusia itu harus bertingkah laku. Diantaranya yaitu :
1). Norma dasar
2). Asas-asas hukum
3). Kitab undang-undang atau perundang-undangan
4). Doktrin atau ajaran hukum
5). Dokumen perjanjian
6). Keputusan Pengadilan
7). Keputusan Birokrasi
8). Semua dokumen yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Objek kajian dari penelitian selalu besumber dari suatu kesatuan


sistem norma yang seluruh bahannya sudah tersedia. Sehingga dalam hal
ini, tidak perlu untuk mencari informasi tambahan yang bukan merupakan
bagian dari sumber yang sudah tersedia. Karena ini merupakan suatu
batasan yang jelas untuk dijadikan sebagai pedoman.

Ada beberapa kesalahan yang sering terjadi dalam melakukan


penelitian, bahwa dalam objek kajian ini tidak boleh mencampur adukkan
antara norma dengan perilaku seseorang. Karena pada dasarnya penelitian
hukum normatif itu terpaku pada peneitian mengenai norma saja, dan tidak
masuk dalam kajian perilaku seseorang atau suatu lembaga dalam
menjalankan sebuah aturan atau norma itu sendiri.34

F. Metode kajian hukum.

Metode yang digunakan dalam penelitian hukum normatif untuk


mencari kaidah suatu hukum yaitu dengan menggunakan metode
penemuan hukum, antara lain adalah dengan melakukan atau menggunakan
metode penafsiran, argumentasi dan lainnya. Penelitian normatif dapat
berdiri sendiri tanpa disertai dengan penelitian lapangan. Penelitian hukum
dapat semata-mata hanya mendasarkan pada penelitian kepustakaan saja.
Namun, dewasa ini penelitian kepustakaan dilengkapi dengan penelitian
lapangan.35

Akan tetapi ada beberapa usaha-usaha yang dapat digunakan, antara


lain :

1). Metode survey, merupakan suatu usaha untuk mengkoleksi data


dalam jumlah yang banyak. Usaha untuk melakukan koleksi data

34
Mukti Fajar Dewata dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.40
35
Sudikno Mertokusumo, 2011, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 45
17

yang menyeluruh atas data ang terdiri dari peraturan – peraturan


hukum positif yang berlaku yang tidak hanya meliputi peraturan
perundag-undagan akan tetapi juga tentang keputusan lembaga
peradilan dalam hal penyelesaian perkara.

2). Usaha untuk melengkapi sebuah sistem dengan menggunakan kaidah-


kaidah hukum positif beserta dengan asas-asasnya. Dalam hal ini
metode yang digunkan yaitu metode induksi, yaitu dengan
melengkapi sistem normatif yang disusun dan ditata melalui usaha
koleksi dan inventarisasi. Dengan sistem normatif yang berkembang
tidak hanya terdiri dari kaidah-kaidah positif melainkan juga dengan
asas-asasnya.

3). Metode deduksi, digunakan untuk menyimpulkan pengetahuan


konkret mengenai kaidah yang benar dan tepat untuk ditera[kan
dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Dapat dikatakan bahwa
kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan, keputusan peradilan
terdahulu, dan asas hukum yang telah ada ditarik secara induktif.36

G. Penelitian hukum normatif berkaitan dengan pengolahan dan


analisis data

Pengolahan dan analisis data tergantung pada jenis data, pada


penelitian hukum normatif, hanya mengenal data sekunder. Dalam
mengolah dan menganalisis bahan hukum tidak dapat dterlepaskan dari
penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. Ilmuwan hukum harus dapat
mempertanggungjawabkan setiap pemilihan metode tafsir data. Penafsiran
memiliki karakter hermeneutik, yaitu proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti.

Penafsiran hermeneutik terhadap hukum selalu berhubungan dengan


isinya. Setiap hukum mempunyai dua segi, yaitu yang tersurat dan tersirat,
sehingga bahasa menjadi sangat penting untuk memberikan ketepatan
pemahaman dan ketepatan penjabaran dalam penafsiran hukum.

Metode hermeneutik hukum terdiri dari :

1). Penafsiran menurut tata bahasa, yaitu memberikan arti kepada


suatuistilah atau perkataan sesuai dengan bahasa sehari-hari atau
bahasa hukum.
2). Penafsiran sistematis; Dalam suatu istilah atau perkataan yang
dicantumkan lebih dari satu kali dalam suatu pasal atau undang-
undang maka dalam hal ini harus memiliki pengertian yag sama pula.
36
Bambang Sunggono, Op., Cit., hlm. 70
18

3). Penafsiran yang mempertentangkan, menemukan kebalikan dari


pengertian suatu istilah hukum yang sedang diteliti.
4). Penafsiran ekstensif, memperluas pengertian ataupun istilah yang
ada didalam suatu undangundang sehingga seseorang dapat
melakukan penelitian secara objektif.
5). Penafsiran historis, dengan melihat dan mengamati sejarah hukum
dalam pembuatan suatu undang-undang yang diteliti.
6). Penafsiran perbandingan hukum hukum, dalam menyelesaikan suatu
masalh hukum dengan membandingkan suatu keadaan hukum
tersebu.
7). Penafsiran antisipasi, dengan menjawab suatu permasalahan hukum
dengan mendasarkan pada suatu aturan yang belum berlaku.
8). Penafsiran teologis, dengan mencari tujuan dari suatu peraturan
perundang-undangan.

Analisis yuridis normatif sebagai sumber data penelitian, memiliki


beberapa tahapan, antara lain :
1). Merumuskan asas-asas hukum.
2). Merumuskan pengertian-pengertian hukum.
3). Pembentukan sandart-standar hukum.
4). Perumusan kaidah hukum.37

Dengan demikian, penelitian hukum dikatakan normatif, karena


hukum itu diasumsikan sebagai sesuatu yang otonom sehingga
keberlakuannya ditentukan oleh hukum itu sendiri bukan oleh faktor-faktor
di luar hukum. Berdasarkan asumsi ini, hukum itu telah dianggap sempurna
dan final sehingga tinggal dilaksanakan. Mengapa demikian? Karena hukum
itu adalah pedoman tingkah laku yang tidak boleh disimpangi karena ia
merupakan perintah dari yang berdaulat, maka apabila tidak dilaksanakan
akan mendapatkan sanksi. Sehingga perilaku masyarakat harus tunduk pada
hukum, hukumlah yang berdaulat (supremacy of law).38
VII. PENUTUP

1. Kesimpulan

Dalam melakukan penelitian hukum, seorang peneliti hukum dapat


melakukan aktifitas-aktifitas untuk mengungkapkan kebenaran hukum
secara metodologis. Tidak jarang dalam hal ini lebih didasarkan pada suatu
pendapat atau penemuan yang sudah dihasilkan oleh seseorang atau
lembaga tertentu yang karena otoritas atau kewenangannya dengan tidak

37
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op., Cit.,, hlm. 163-167
38
Taufiqurrohman Syahuri, “Politik Hukum Pereko-nomian Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945”,
Jurnal Hukum Supremasi, Vol. V No. 1 Oktober 2011-Maret 2012, hlm. 897-907.
19

jarang tanpa meakukan pengujian terhadap temuannya. Melakukan aktifitas


dibidang hukum mengimplikasikan dilakukannya tindakan-indakan yang
bermacam-macam, seperti pembuatan dan penerapan hukum. Oleh karena
itu, semua usaha dan aktifitas terbuka terhadap pengukuran dan sudut
prinsip-prinsip berfikir.

Dalam hal ini penelitian hukum normatif memiliki kajian tentang


kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait
dengan suatu peristiwa hukum. Dengan maksud untuk memberikan
argumentasi hukum sebagai dasar penentu tentang keabsahan suatu produk
hukum. Apabila seseorang melakukan penelitian hukum normatif hal yang
dilakukan dengan memulai dari suatu peristiwa hukum dan mencari suatu
rujukan pada sistem norma, seperti peraturan perundang-undangan, asas –
asas hukum maupun doktrin hukum yang sudah ada untuk menentukan
konstruksi hukum maupun hubungan hukumnya.

Namun penelitian ini hanya mencakup konsepsi hukum, asas-asas


hukum dan kaidah peraturan saja, tidak meneliti tentang pola tingkah laku
manusia yang menjalankan peraturan tersebut.

2. Saran

Akhirnya, tiada gading yang tak bisa retak. Artinya, makalah ini tentu
jauh dari sempurna, oleh karena itu perlu banyak masukan dan saran dari
seluruh teman-teman yang berkenan mengkritisi dan menanggapi makalah
ini, demi kesempurnaan makalah dan wawasan kita yang terus berkembang.
Atas masukannya, saya selaku pemakalah mengucapkan terimakasih yang
srtinggi-tingginya, kepada Bapak Prof. Dr. Moh. Taufiq Makarao, SH, MH.,
selaku Dosen Metodologi Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, serta
teman-teman sekalian. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin dan Asikin., Zainal, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT


Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ashshofa., Burhan, 2001, Metodologi Penelitian Hukum, PT Rineka cipta,
Jakarta.
Barus., Zulfadli Barus, “Pengaruh Rasionalisme dan Empirisme Terhadap
Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Sosiologis”, Bina
Widya, Vol. 15 No. 1 April 2004.
Dewata., Mukti Fajar dan Achmad., Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian
Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
20

HS., Salim, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Hans Kelsen, 2007, Teori Hukum Murni, terj. Raisul Muttaqien, Nusamedia
dan Nuansa, Bandung.
Hadjon., Philipus M., Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam
“Yuridika”, Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 6
Tahun IX, November – Desember 1994.
Kirchmann., Pidato Von, dengan judul Ueber die Wettlosigkeit der Jurisprudenz
als Wissenchaft, dikutip dari O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan
Kemanusiaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975.
Marzuki., Peter Mahmud, 2007, Penelitian Hukum, Prenada Media Group,
Jakarta, Peter Mahmud Marzuki.
Soekanto., Soerjono dan Mamudji., Sri, 2011, Penelitian Hukum Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sidharta., Bernard Arief, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung.
Sunggono., Bambang, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2011, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.
Tutik., Titik Triwulan, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta.
Taufiqurrohman Syahuri, “Politik Hukum Perekonomian Berdasarkan Pasal 33
UUD 1945”, Jurnal Hukum Supremasi, Vol. V No. 1 Oktober 2011-
Maret 2012, hlm. 897-907.

Sumber Lainnya :
Webster’s New Encyclopedic Dictionary, New York, 1995, hlm. 484, humanities
are the branches of learning having primarily a cultural character;
pengertian serupa diberikan oleh Harrap’s Essential English Dictionary,
Edinburgh.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/5655?show=full, diakses pada
tanggal, 16 November 2016.

Anda mungkin juga menyukai