Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengantar
Hanson1, dalam bukunya yang berjudul “Legal Method, Skills, and
Reasoning”, menyatakan bahwa studi hukum secara kritis dari sudut pandang
Logika, Penalaran Hukum, dan Argumentasi Hukum dibutuhkan, karena
pemahaman hukum dari perspektif semacam ini berusaha menemukan,
mengungkap, menguji akurasi, dan menjustifikasi asumsi-asumsi atau makna-
makna yang tersembunyi dalam peraturan atau ketentuan hukum yang ada
berdasarkan kemampuan rasio (akal budi) manusia. Kemampuan semacam ini tidak
hanya dibutuhkan bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang hukum melainkan
juga dalam seluruh bidang ilmu dan pengetahuan di luar hukum. Harus diakui
bahwa konsep, pemahaman dan studi tentang logika, penalaran, dan argumentasi
hukum meskipun sering didiskusikan dalam hukum tetapi jarang dijelaskan,
dielaborasi, dan ditelaah secara memadai.
Mahasiswa hukum sering dituntut untuk berpikir seperti seorang ahli
hukum, “to think like a lawyer”. Mereka diharapkan kelak mampu menganalisis
kasus hukum melalui medium penalaran hukum dalam kasus-kasus hukum entah
dalam wilayah publik, akademik, atau pengadilan. Di samping itu mahasiswa pun
diharapkan mampu memahami secara kritis, rasional, dan teori argumentasi,
rumusan undang-undang, opini, maupun pendapat hukum.
B. Keilmuan Ilmu Hukum.
Sebelum membincangkan mata kuliah Argumentasi Hukum, patut kiranya
merenungkan untuk kemudian memahami suatu pernyataan tentang Keilmuan Ilmu
Hukum. Maksudnya, masuk rumpun manakah ilmu hukum itu? Hal ini terkait
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
(selanjutnya disebut UU Perguruan Tinggi). Dalam Pasal 10 ayat (2) UU Perguruan

1
Sharon Hanson (ed.), “Legal Method, Skills, and Reasoning”, Milton Park-
Abingdon-Oxon: Routledge- Cavendish, 2010, h. 5-8. dalam Tri Rahayu Utami dan Aditya
Yuli Sulistyawan, Urgensi Penalaran Dalam Argumentasi Hukum Guna Mengembangkan
Pemikiran Hukum Yang Komprehensif, Jurnal Crepido, Volume 01, Nomor 01, Juli 2019,
halaman 32-39.
1
Tinggi dikenalkan 6 (enam) rumpun ilmu, yaitu 1) ilmu Agama, 2) Humaniora, 3)
Soasial, 4) Alam, 5) Formal, dan 6) Terapan.
Tabel 1.
Rumpun dan Pohon Ilmu Menurut UU Perguruan Tinggi
No. Rumpun Ilmu Pohon Ilmu
1 Rumpun Ilmu Agama Agama Islam, Kristen, Budha, Hindu, Katolik
2 Rumpun Ilmu Humaniora Filsafat, Linguistik, Seni, Sastra, Sejarah
3 Rumpun Ilmu Sosial Ekonomika, Ilmu Politik, Sosiologi, Anthropologi, dsb.
4 Rumpun Ilmu Alam Kimia, Fisika, Ilmu Hayati, dsb.
5 Rumpun Ilmu Formal Matematika, Logika, Statistika, dsb.
Akuntansi, Administrasi Publik, Kebijakan Publik,
6 Rumpun Ilmu Terapan
Hukum, dsb.

Harus disadari bahwa memberikan definisi itu tidak mudah. Banyak ragam
definisi tentang ilmu, misalnya yang dikemukakan oleh The Liang Gie yang
memberi definisi ilmu adalah pengetahuan sistematis yang diperoleh dari kegiatan
penelitian, dengan menggunakan metode ilmiah. 2 Ada tiga variabel dalam definisi
yang dikemukakan oleh Gie, yaitu: 1) pengetahuan sistematis, 2) kegiatan
penelitian, dan 3) metode ilmiah.
Pertama, pengetahuan sistematis.
Ilmu adalah pengetahuan sistematis yang diperoleh dari kegiatan penelitian
dengan menggunakan metode ilmiah. Menurut UU Perguruan Tinggi, ilmu
pengetahuan merupakan rangkaian pengetahuan yang digali, disusun dan
dikembangkan secara sistematis dengan pendekatan tertentu berdasarkan
metodologi ilmiah untuk menerangkan fenomena. Cara pandang atas fenomerna
tersebut dinamakan objek forma, sedangkan fenomena yang ditelaah merupakan
objek materia ilmu.
Kedua, kegiatan penelitian.
Ilmu dimaknai sebagai kegiatan penelitian ini berkaitan dengan asal usul
istilah science (Inggris), dari bahasa Latin scientia yang diturunkan dari kata scire.
Kata scire, artinya mengetahui (to know). Scire juga memiliki makna belajar (to
learn). Jadi ilmu/science diartikan sebagai juga sebagai kegiatan belajar atau
kegiatan untuk mengetahui.
Ketiga, metode ilmiah.
Metode ilmiah merupakan prosedur yang meliputi berbagai tindakan
pikiran, pola kerja, tata langkah (tahapan), dan teknis untuk memperoleh
pewngetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang sudah ada.

2
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 20112, h. 96.
2
Berdasarkan pengertian tentang metode penelitian, terdapat 3 (tiga) hal penting
yang perlu dipahami dalam metode ilmiah, yaitu (1) prosedur, (2) tahapan, dan (3)
teknik memperoleh pengetahuan atau mengembangkan pengetahuan.
1) Objek materia ilmu hukum
Setiap ilmu memiliki objek forma dan objek materia. Objek materia ilmu
adalah fenomena yang menjadi kajian ilmu. Sedangkan objek forma adalah cara
pandang atau perspektif atas fenomena tersebut. Fenomena yang dikaji dalam
ilmu hukum adalah norma3. Norma adalah pernyataan-pernyataan yang bersifat
mengharuskan.4 Ilmu yang kajiannya norma tidak hanya ilmu hukum, tetapi juga
etika. Ada banyak norma, tetapi tidak semua norma dapat dikategorikan sebagai
norma hukum. Norma yang menjadi objek ilmu hukum adalah norma normatif.5
2) Objek forma ilmu hukum
Pengetahuan yang menggunakan cara pandang normatif menghasilkan
ilmu-ilmu normatif. Sementara itu, pengetahuan yang menggunakan cara
pandang positivistis menghasilkan ilmu-ilmu positif atau ilmu-ilmu empirik.
Ilmu normatif berkaitan dengan kebenaran menurut keharusan. Ilmu empirik
berkenaan dengan kebenaran berdasarkan fakta. Ilmu normatif mempunyai ciri
apriori, karena ada ide dasar atau ajaran yang menjadi tolok ukur hadir melalui
fakta perbuatan atau peristiwa (apriori). Ilmu-ilmu positivis sering disebut
sebagai ilmu aposteori, karena asas atau teori ada setelah fakta.
Menurut Philipus Mandiri Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati dalam ilmu
hukum terkandung dua sudut pandang yaitu sudut pandang empiris dan sudut
pandang normatif.6 Sisi empirik ilmu hukum terdapat di dalam sociological
jurisprudence dan socio legal jurisprudence. Sociological Jurisprudence
membahas implementasi hukum dalam masyarakat. Fokus kajian Sociological
Jurisprudence, adalah persoalan kesenjangan antara law in book dan law in
action. Sementara itu fokus garapan Socio Legal Jurisprudence adalah
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat.7

3
Kusumohamidjojo, Teori Hukum, Yrama Widya, Yogyakarta, 2016, h. 128.
4
Wignjosoebroto, Hukum, Konsep dan Metode, Setara, Malang, 2013, h. 18.
5
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2009, h. 114.
6
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada
Universitiy Press, Yogyakarta, 2005, h. 3.
7
Ibid., h. 7.
3
3) Bentuk pernyataan ilmiah Ilmu Hukum
Bentuk pernyataan ilmiah ilmu hukum adalah preskriptif. 8 Pernyataan
preskriptif adalah pernyataan-pernyataan yang memberikan petunjuk atau
ketentuan apa yang seharusnya berlangsung dalam hubungannya dengan
fenomena. Pernyataan ilmiah preskriptif bersifat mengkaidahi, mengarah
berdasar standar norma yang digunakan. Pernyataan preskriptif dalam ilmu
hukum berkaitan dengan tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan
hukum, konsep hukum, dan norma-norma.9
4) Ciri Sistematis, empiris, objektif, analitis, dan verifikatif Ilmu Hukum
Sebagai suatu ilmu, maka ilmu hukum harus memenuhi ciri empiris,
objektif, analitis, dan verifikatif. Ciri objektif ilmu adalah bebas nilai. Tetapi
ciri objektif pada ilmu hukum sebagai ilmu normatif selalu mengandung nilai.
Meskipun ilmu hukum mengkaji fakta empiris, namun hanya sebagai supporting
. Karakter utama ilmu hukum adalah normatif dan tidak terkait dengan fakta
empiris. Walaupun norma selalu berkaitan dengan masyarakat namun fokus
kajian ilmu hukum adalah norma dalam hubungannya dengan masyarakat dan
bukan kemasyarakatan,
C. Ilmu Hukum sebagi Sui Generis
Secara etimologi, pengertian sui generis berasal dari kata sum dan genus.
Kata sum berarti sendiri dan genus berarti jenis. Jadi secara keseluruhan Sui generis
berarti jenis sendiri10. Dengan demikian Ilmu hukum sebagai ilmu sui generis,
artinya ilmu hukum merupakan ilmu jenis sendiri. Dikatakan ilmu jenis sendiri
karena ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalam salah satu
cabang pohon ilmu.
Berdasarkan substansinya, ilmu dibedakan Ilmu Formal dan Ilmu Empiris 11.
Ilmu Formal menunjuk pada ilmu yang tidak bertumpu pada pengalaman atau
empiri. Objek yang dipelajari adalah struktur murni, yaitu menganalisis aturan
operasional dan struktur logical, yang menyajikan skema hubungan saling
mempengaruhi antara manusia dan dunia, merancang jaringan (networks) seperti
8
Budiono, Ilmu Hukum sebagai Keilmuan Preskriptif, Jurnal Hukum Novelty, Vol. 9 Nomor
1, 2018, h. 92.
9
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Grup, Jakarta, 2005, h. 22.
10
Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1.
11
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju,
Bandung, 1999, h. 107.
4
sistem penalaran dan sistem penghitungan, serta tidak mengungkapkan atau
menunjuk pada kenyataan atau fakta empiris. Kebenarannya tidak memerlukan
verifikasi (pembuktian) empiris, melainkan hanya pembuktian rasional dan
konsistensi rasional. Jadi, produk ilmu formal tidak dinilai berdasarkan kebenaran,
melainkan berdasarkan validitasnya (proses nalarnya). Pengetahuan yang dihasilkan
disebut pengetahuan “a priori”, yang mendahului pengalaman dan dapat digunakan
mempelajari dan memperoleh pengetahauan yang cermat tentang dunia kenyataan
atau pengalaman. Ilmu Formal terdiri atas Logika dan Matematika, dan kini juga
Teori Sistem termasuk ke dalamnya12.
Ilmu Empiris ditujukan untuk memperoleh pengetahuan fakta tentang
kenyataan aktual, dan karena itu bersumber pada empiri atau pengalaman. Ilmu
Empiris dimaksudkan untuk menyajikan pernyataan-pernyataan atau penjelasan
teoretis yang dapat diuji secara eksperimental atau empiris tentang proses yang
terjadi dalam dunia kenyataan. Kebenaran yang dihasilkan menuntut pembuktian
(verifikasi) empiris, di samping pembuktian rasional dan sejauh mungkin
konsistensi. Apa yang dimaksud kebenaran (Ilmu Empiris) adalah korespondensi
antara pernyataan dan fakta empiris. Karena bersumber dan bertumpu pada empiri,
maka pengetahuan yang dihasilkan disebut pengetahuan “a posteriori”. Ilmu
Empiris disebut juga Ilmu-Ilmu Positif, yang terdiri dari Ilmu-Ilmu Alam
(Natuurwissenshaften) dan Ilmu-ilmu Manusia (Geisteswissenshften).
Ilmu Formal dan Ilmu Empiris sebagaimana yang dijelaskan di muka,
termasuk ke dalam kelompok Ilmu Teoretis, yaitu ilmu yang ditujukan untuk
memperoleh pengetahuan saja. Jadi, tujuan kelompok Ilmu Teoretis adalah untuk
mengubah (termasuk menambah) pengetahuan13. Sementara itu Ilmu Praktis adalah
ilmu yang mempelajari aktivitas penerapan itu sendiri sebagai objeknya 14.
Penerapan kelompok ilmu ini disebut “ars” dalam bahasa Latin yang padanannya
(sinonim) ke dalam bahasa Indonesia adalah keahlian berkeilmuan atau kemahiran
yang dapat dan harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ilmu-ilmu Praktis
bertujuan untuk mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap
masalah konkret. Termasuk ke dalam kelompok Ilmu Praktis, antara lain: Ilmu
Teknik, Ilmu Kedokteran, Ilmu Manajemen, Ilmu Hukum.

12
A.G.M van Melsen, Wetenschap en Verantwoordelijkheid, dalam Bernard Arief
Sidharta, Ibid.
13
Ibid., h. 111.
14
C. A van Peursen, Filosofie van de Wettenschappen, dalam Bernard Arief Sidharta,
Op. Cit., h. 109.
5
Kelompok Ilmu Praktis, dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu ilmu Praktis
Nomologis dan Ilmu Praktis Normologis15. Ilmu Praktis Nomologis berusaha
memperoleh pengetahuan faktual-empiris, yakni pengetahuan tentang hubungan
ajeg yang ceteris paribus niscaya berlaku antara dua hal atau lebih berdasarkan asas
kausalitas-deterministik. Produknya dapat diungkapkan seperti pada Ilmu Empiris,
dalam rumus logikal: “Jika A (ada atau terjadi), maka B (ada atau terjadi)”. (When
A is, then B “is’”). Dalam Ilmu Kedokteran, misalnya: jika sudah dipastikan (x)
menyebabkan penyakit (y), maka ceteris paribus untuk menyembuhkan orang yang
mengidap penyakit (y) harus diberi terapi yang menghilangkan atau
menetralisasikan (x).
Ilmu Praktis Normologis disebut juga Ilmu Normatif, berusaha menemukan
hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi (menautkan tanggung
jawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban
subjek tertentu dalam situasi konkret tertentu, sehubungan dengan terjadinya
perbuatan atau peristiwa atau keadaan tertentu, namun dalam kenyataan apa yang
seharusnya terjadi itu tidak niscaya dengan sendirinya terjadi. Rumus logikalnya
berbunyi : “Jika A (terjadi atau ada), maka seyogyanya B terjadi”. (When A is, B
“ought” to be, even though B perhaps actually is not)16.
Ilmu Hukum adalah “Sui generis”, yang berarti ilmu hukum merupakan
ilmu jenis tersendiri. Ilmu Hukum memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah
yang berbeda karena memiliki objek kajian yang berbeda. Karakter “Sui generis”
menunjukkan bahwa ilmu hukum jangan pernah (tidak dapat) mengesampingkan
karakteristik normatifnya, yakni pada saat ilmu hukum memiliki sifat empiris
analitisnya. Keberadaan sifat empiris-analitis, karena ilmu hukum merupakan
“ilmu praktis yang bersifat normologis”.
Menelaah sifat khas ilmu hukum sebagai ilmu sui generis, yaitu karakter
normatif ilmu hukum, terminologi ilmu hukum, jenis ilmu hukum, dan lapisan ilmu
hukum.
Ciri ilmu hukum sebagai sui generis, adalah :
1. Karakter normatif ilmu hukum
2. Terminologi ilmu hukum
3. Jenis ilmu hukum
4. Lapisan ilmu hukum17.

15
Bernard Arief Sidharta, Loc. Cit.
16
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, dalam Bernard Arief Sidharta,
Op. Cit., h. 112.
17
Ibid.
6
Ad. 1) Karakter normatif ilmu hukum
Ilmu hukum merupakan ilmu yang memiliki jenis tersendiri.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa ilmu hukum memiliki sesuatu yang
khas. Kekhasannya itu terletak pada karakternya yang bersifat normatif.
Sulit untuk mengkategorikan ilmu hukum ke dalam kelompok ilmu
yang mana, sehingga lebih tepat jika ilmu hukum adalah ilmu yang sui
generis. Ilmu hukum mempunyai tiga lapisan, jika dalam tataran dogmatik
hukum dapatlah dikatakan bahwa ilmu hukum termasuk ilmu praktis, karena
bertujuan untuk problem solving. Tetapi dalam tataran teori hukum, ilmu
hukum masuk ilmu normatif. Dalam tataran filsafat, tidak dapat ilmu hukum
dipertanyakan masuk apa karena filsafat bukan ilmu, tetapi filsafat adalah
induk dari ilmu. Tidaklah cukup suatu penelitian hukum hanya melihat
adanya perbedaan antara norma dan kenyataan di masyarakat. Di dalam
kajian Ilmu Hukum haruslah mementingkan metode penelitian yang berlaku
di dalam Ilmu Hukum sendiri.
Penelitian hukum normatif tidak menggunakan analisis kuantitatif
(Statistik), serta merta penelitian hukum dikualifikasikan sebagai penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif ataupun kuantitatif termasuk ke dalam
kategori Ilmu a posteriori. Sedangkan Ilmu Hukum merupakan suatu Ilmu a
priori. Antara Ilmu a priori dan a posteriori sama-sama mencari hukum,
prinsip, rumusan dalam mengendalikan seluruh detail dan partikular
pengetahuan. Disebutkan oleh Muhamad Zainuddin tentang pengertian Ilmu
a posteriori adalah rangakaian pengetahuan yang diperoleh dari pengamatan
inderawi dan eksperimen. Sedangkan Ilmu a priori : rangkaian pengetahuan
yang diperoleh tidak dari pengamatan inderawi dan eksperimen tapi
bersumber dari akal sendiri18.
Karakteristik pengetahuan secara umum dikatakan sebagai ilmu
apabila memenuhi criteria :
1. Logico hipotetico verificative.
a. Didukung bukti (tidak selalu yang tampak)
b. Diuji.
2. Generalized understanding.
a. Pembaca bisa membayangkan urutan peristiwanya,
b. Punya makna reproducable
c. Dapat diulang/dilakukan juga di tempat yang lain.

I Gusti Ayu Putri Kartika dan Asri Wijayanti, Belajar Argumentasi Hukum,
18

Humanika Cerdas Harmoni, Surabaya, 2010, h. 23.


7
3. Theoretical construction .
a. Teori : penjelasan hubungan dua konsep/variable/kejadian;
b. Cara : deduktif, induktif, dapat didukung comparacy, analogy,
synthesis information about why and how (deskripsi)19.
4. Information about why and how (something behind).

Ad. 2) Terminologi ilmu hukum


Apabila berbicara mengenai terminologi ilmu hukum maka akan
menelusuri kembali asal kata dari suatu istilah. Dalam bahasa Belanda,
Jerman dan bahasa Inggris digunakan istilah berikut :
- Rechtswetenschap (Belanda)
- Rechtstheorie (Belanda)
- Jurisprudence (Inggris)
- Legal science (Inggris)
- Jurisprudenz (Jerman)20.
Bruggink menggambarkan perbedaan antara ilmu hukum empiris
dengan ilmu hukum normatif sebagai berikut :
Tabel 2.
Perbedaan Ilmu Hukum Empiris dan Ilmu Hukum Normatif

Pandangan positivistic: Pandangan normatif: Ilmu


ilmu hukum empirik hukum normatif
Hubungan dasar Subyek – obyek Subyek – subyek
Sikap ilmuwan Penonton (toeschouwer) Partisipan (doelnemer)
PERSPEKTIF EKSTERN INTERN
Teori kebenaran Korespondensi Pragmatik
Proposisi Hanya informative atau Normatif dan evaluatif
empiris
Metode Hanya metode yang bisa Juga metode lain
diamati panca indra
Moral Non kognitif Kognitif
Hubungan antara moral Pemisahan tegas Tidak ada pemisahan
dan hukum
Ilmu Hanya sosiologi hukum Ilmu hukum dalam arti
empiris dan teori hukum luas
empiris

19
Ibid, h. 30.
20
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008,
h. 127.
8
Apabila dilihat dari beberapa istilah tersebut dapat diidentikkan
dengan kajian yang bersifat empirik. Sedangkan kenyataannya hukum
bukanlah kajian yang empirik21. Penggunaan teori kebenaran dari ilmu
hukum yang pragmatis, ternyata masih belum ada kesepakatan diantara ahli
hukum. Masih ada perdebatan tentang penggunaan teori kebenaran yang
dipakai dasar, antara koherensi dengan pragmatis.
Mereka berpendapat, apabila suatu aturan hukum dibuat dengan hanya
mendasarkan teori kebenaran yang pragmatis, akan mengakibatkan
timbulnya kesesatan. Sebagai contoh pada wakil rakyat yang duduk di DPR,
apabila mereka akan menggunakan dasar kebenaran pragmatis dengan
menekankan hanya pada konsensus di antara anggota DPR tanpa
memperhatikan konsep dan teori hukum akibatnya produk hukum jauh dari
rasa keaadilan. Hal ini mengingat suara wakil rakyat yang duduk di DPR
hanya menyarakan suara Partai atau ada kepentingan di balik itu. Tetapi
kebenaran yang dipakai adalah koherensi. Prinsip teori kebenaran koherensi
adalah dikatakan benar apabila sesuai dengan yang seharusnya.

Ad. 3) Jenis ilmu hukum


Apabila ditinjau dari segi objeknya dikenal ada dua jenis ilmu hukum
yaitu :
a. Ilmu Hukum Normatif
b. Ilmu Hukum Empiris
Ad. a) Ilmu Hukum Normatif
Dalam ilmu hukum normatif, objek kajiannya adalah norma.
Dengan demikian, norma menjadi fokus kajian dari ilmu normatif.
Dalam penelitian terhadap norma, baik norma tertulis maupun tidak
tertulis. Hukum dapat diartikan sebagai norma tertulis yang dibuat
secara resmi dan diundangkan oleh pemerintah dari suatu
masyarakat.
Disamping hukum yang tertulis tersebut terdapat norma di
dalam masyarakat yang tidak tertulis tetapi secara efektif mengatur
perilaku para anggota masyarakat. Norma tersebut pada hakikatnya
bersifat kemasyarakatan, dikatakan demikian karena norma
tersebut selain berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat juga
merupakan hasil dari kehidupan bermasyarakat.

21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, h. 20.
9
Norma merupakan manifestasi dari sistem nilai yang dianut
oleh masyarakat yang bersangkutan. Melalui sosialisasi yang
panjang norma-norma tersebut diinternalisasikan pada seluruh
anggota masyarakat.
Ad. b) Ilmu Hukum Empiris
Ilmu hukum dalam penerapannya tidak hanya berdiri sendiri,
terdapat juga bidang ilmu lain yang memiliki hubungan erat dengan
Ilmu hukum. Kendati kesemuanya memiliki objek perhatiannya
sendiri, terdapat hubungan tertentu dengan ilmu hukum sehingga
membuat materi hukum lebih luas dan beragam.
Adapun berbagai bidang ilmu tersebut memiliki keterkaitan
dengan ilmu hukum sehingga timbul istilah-istilah baru seperti
Sejarah Hukum, Psikologi Hukum, Sosiologi Hukum, Antropologi
Hukum dan sebagainya. Pada materi ini akan dibahas mengenai
Ilmu Hukum Empiris, yakni bidang-bidang hukum yang dibentuk
terhubung dengan bidang ilmu yang lain.
1) Sosiologi Hukum
Hukum berhubungan erat dengan masyarakat, sosiologi adalah
merupakan ilmu yang membahas mengenai kemasyarakatan.
Sosiologi Hukum mengkaji hukum sebagai hubungan antar
manusia, mengenai hukum dengan masyarakat. Masyarakat
merupakan sesuatu yang sangat mempengaruhi perkembangan
hukum, kehidupan masyarakat yang semakin kompleks
membuat hukum harus menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman.
Nyatanya hukum dan masyarakat memiliki hubungan yang
sangan erat, bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat
ataupun sebaliknya, menjadikan sosiologi hukum sebagai bidang
ilmu yang penting dan menarik untuk dipelajari.
2) Antropologi hukum
Antropologi hukum berkaitan dengan kebudayaan, berbeda
dengan sosiologi hukum yang berkaitan dengan perkembangan
hukum dengan masyarakat di era modern, antropologi hukum
lebih memfokuskan diri mengenai hukum yang berkembang
melalui kebudayaan dalam lingkup masyarakat tradisional.

10
3) Sejarah Hukum
Berkaitan dengan mempelajari hukum dalam aspek sejarahnya,
mempelajari bagaimana perkembangan hukum dari masa ke
masa, serta melakukan perbandingan dengan penerapan hukum
pada masa lalu dengan masa sekarang. Sejarah hukum menjadi
penting untuk dipelajari berkaitan dengan pemilihan sistem
ataupun aturan hukum apa yang efektif untuk diterapkan di
dalam masyarakat pada saat ini. Karena melalui sejarah, kita
dapat mengetahui dan mengkaji aturan hukum seperti apa yang
efektif diterapkan ataupun belajar dari kesalahan-kesalahan pada
waktu yang lampau.
4) Psikologi Hukum
Sebagaimana diketahui, psikologi merupakan bidang ilmu yang
berhubungan dengan kejiwaan (Ilmu jiwa). Lalu apa
hubungannya dengan ilmu hukum? Psikologi Hukum
memusatkan perhatian pada individu. Bagaimana seorang
berperilaku, karakter seseorang, cara berpikir, tingkah laku
manusia dan sebagainya sangat membantu dalam merumuskan
aturan hukum yang sesuai dan tepat untuk diterapkan.
Bagaimanapun juga, individu atau orang perseorangan adalah
bagian terkecil dalam masyarakat yang secara spesifik terlibat
langsung dengan hukum.
5) Perbandingan Hukum
Perbandingan Hukum merupakan penggunaan metode
perbandingan terhadap hukum.
Dalam tujuan mencari produk hukum yang sesuai, ataupun
mengkaji produk hukum yang sedang berlaku apakah
pelaksanaannya baik atau tidak, salah satu metode yang
digunakan adalah dengan Perbandingan Hukum.
Perbandingan hukum berusaha menbandingkan produk hukum
baik dari masa yang lampau dengan sekarang, ataupun dari
wilayah-wilayah tertentu.
Dengan membandingkan produk hukum tersebut dapat diketahui
produk hukum mana yang baik penerapannya, ataupun dalam
memilih produk hukum yang sesuai.

11
Ad. 4) Lapisan ilmu hukum
Ilmu hukum dari segi segi objek dapat dibedakan atas ilmu hukum
dalam arti sempit, yang dikenal dengan ilmu hukum dogmatic (ilmu hukum
normative) dan ilmu hukum dalam arti luas. Dalam arti luas ilmu hukum
dapat ditelaah dari sudut pandangan sifat pandang ilmu maupun dari sudut
pandangan tentang lapisan ilmu hukum.
Dari sudut pandang ilmu dibedakan pandangan positivism dan
normatif. Dari sudut pandang ini dibedahkan menjadi dua yaitu ilmu hukum
normatif dan empiris. Sifat keilmuan dapat dilihat dari tiga aspek yaitu;
proses, produk dan produsen (ilmuwan).
Adapun pembagian dari jenis ilmu hukum antara lain :
1) Filsafat Hukum
Filsafat Hukum adalah filsafat atau bagian dari filsafat yang
mengarahkan refleksinya terhadap hukum atau gejala, sebagaimana
dikemukakan oleh J. Gegssels “Hukum adalah filsafat umum yang
diterapkan pada hukum dan gejala hukum”.
2) Teori Hukum
Teori Hukum dalam lingkungan berbahasa Inggris disebut dengan
jurisprudence atau legal theory.
Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya
interdisipliner.
Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis sedangkan
dalam dogmatik hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam
bidang filsafat sebagai eksplanasi reflektif.
3) Dogmatik Hukum
Dogmatik Hukum merupakan ilmu hukum dalam arti sempit titik
fokusnya adalah hukum positif.
D.H.M. Meuwissen memberi batasan pengertian dogmatik hukum
sebagai memaparkan, menganalisis, mengistematisasi dan
menginterprestasi hukum yang berlaku atau hukum positif.
4) Praktik Hukum
Menerapkan hukum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya
umum ke dalam suatu kasus yang sifatnya konkret. Roscue Pound
menjelaskan langkah penerapan hukum menjadi tiga bagian yaitu :

12
a. menemukan hukum, artinya menetapkan pilihan diantara sekian
banyak hukum yang sesuai dengan perkara yang akan diperiksa
oleh hakim.
b. menafsirkan kaedah hukum dari hukum yang telah dipilih sesuai
dengan makna ketika kaidah itu dibentuk.
c. menerapkan kaedah yang telah ditemukan dan ditafsirkan kepada
perkara yang akan diputuskan oleh hakim.
Menurut Philipus M Hadjon, Dogmatik Hukum (ilmu hukum
positif) adalah ilmu hukum praktis. Fungsi ilmu praktis adalah
problem solving.
Dengan demikian, Dogmatik Hukum sebagai ilmu hukum praktis
tujuannya adalah legal problem solving. Untuk tujuan tersebut
dibutuhkan ars, yang merupakan ketrampilan ilmiah.
Ars itu dibutuhkan para yuris untuk menyusun legal opinion
sebagai output dari langkah legal problem solving. Ars yang
dimaksud adalah legal reasoning atau legal argumentation, yang
hakekatnya adalah giving reason22. Giving reason dapat dilakukan
dengan melalui tahap pembentukan hukum positif atau penerapan
hukum positif.

22
Ibid, h. 12.
13

Anda mungkin juga menyukai