Anda di halaman 1dari 18

UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA PERKULIAHAN FILSAFAT HUKUM 1406

Anggota Kelompok 2:
- Agung Yudha Pratama Setiawan / 01051200037
- Erika Sanjaya / 01051200006
- Michelle Alycia Sutanto / 01051200002
- Michelle Florentin Phortolomeius / 01051200001
- Nathania Valencia / 01051200035
- Valencia Wilianti Agustine / 01051200015

Jelaskan
1. Penjelasan atau pemahaman anda mengenai filsafat hukum.
Jawaban:
Filsafat hukum terdiri dari kata filsafat dan hukum. Filsafat itu sendiri pada
bahasa Yunani disebut philosophia yaitu berasal dari kata philos atau philia dan
sophos atau sophia. Philos berarti cinta atau persahabatan dan sophos yang berarti
pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, filsafat ini berarti cinta
akan kebijaksanaan. Filsafat lahir pada abad keenam sebelum masehi. Kemudian,
menurut Ida Bagus Wyasa Putra, filsafat adalah hasil berpikir filsafat yaitu berpikir
tentang sebab di mana berpikir tentang asal-usul, sumber, atau hakikat tertentu.1
Filsafat ini membahas mengenai dasar-dasar sesuatu mengenai keberadaannya.
Objek dari filsafat yaitu terdapat materi dan forma. Materi merupakan segala sesuatu
yang ada dan yang mungkin ada di mana mempelajari apa saja yang menjadi isi alam
semesta mulai dari tumbuhan, hewan, benda mati, manusia, dan Sang Pencipta. Forma
yaitu mengenai kenyataan atau realita. Kemudian, filsafat memiliki unsur internal dan
unsur eksternal. Unsur internal mencakup struktur ilmu pengetahuan dan metodologi,
sedangkan unsur eksternal mencakup ilmu dan nilai yang terdiri dari agama, etika,
serta ideologi.2
Manusia akan berfilsafat yang berarti berpikir radikal yaitu berpikir mendalam
sampai ke akar suatu masalahnya. Dalam filsafat ini, manusia akan mencari jawaban
dan tidak hanya dengan memperlihatkan penampakan semata saja, namun juga

1
Serlika Aprita dan Rio Adithya, Filsafat Hukum, (Depok: Rajawali Pers, 2020), hal. 1-2
2
Fajar Sugianto, Materi power point Filsafat Hukum week 1
mencari dan menelusurinya secara mendalam dan jauh di balik penampakan tersebut
untuk menentukan sesuatu yaitu nilai dari sebuah realitas. Filsafat sendiri mempunyai
ruang lingkup bahasan yang luas yaitu meliputi semua hal yang dapat dijangkau
dengan pikiran manusia. Ini berarti objek dari filsafat adalah sesuatu yang bisa
dijangkau oleh pikiran manusia.3
Kemudian, kata hukum di mana yang seringkali merujuk hukum yang ada pada
suatu negara. Pada dasarnya hukum ini berguna untuk mewujudkan keadilan dalam
kehidupan bermasyarakat. Hukum ini dianggap sebagai hukum apabila tidak
menentang keadilan, sehingga apabila terdapat peraturan yang tidak adil, maka bukan
merupakan hukum yang sebenarnya. Ini berarti hukum harus dengan prinsip-prinsip
keadilan.4
Filsafat hukum sendiri disebut juga dengan legal philosophy, rechts filosofie,
atau philosophy of law. Istilah ini menimbulkan berbagai komentar dari para pakar.
Bahwa ada yang menganggap legal philosophy ini dirasa tidak sepadan dengan filsafat
hukum. Kemudian, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan filsafat hukum lebih sesuai
dengan rechts filosofie atau philosophy of law. Menurutnya istilah legal philosophy
kurang tepat jika disamakan dengan filsafat hukum karena legal philosophy ini
samanya dengan undang-undang.5
Filsafat hukum ini sebagai cabang filsafat (filsafat etika) yang mempelajari
hakikat hukum. Menurut Soetika, filsafat hukum ini adalah dengan mencari hakikat
dari hukum yaitu mencari apa yang ada di belakang hukum dan mencari hak yang
tersembunyi di dalam hukum, menyelidiki kaidah hukum untuk dijadikan
pertimbangan nilai, memberi penjelasan tentang nilai, postulat hukum sampai dengan
dasar-dasarnya, dan berusaha mencapai akar-akar dari hukum. Menurut Utrecht, dalam
arti ethisch waardeoordeel bahwa filsafat hukum ini melihat hukum sebagai kaidah.
Bahwa hanya melihat hukum sebagai gejala saja yaitu menerima hukum sebagai
gegebenheit belaka (empiris). Menurutnya, filsafat hukum ini memberikan jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan yaitu sebagai berikut:
1. Apakah hukum itu? (tujuan hukum dan eksistensi hukum).
2. Apakah sebab hukum taat pada hukum? (keberlakuan mengikat hukum).

3
Kamarusdiana, Filsafat Hukum, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2021), hal. 2
4
Serlika Aprita dan Rio Adithya, Op.Cit, hal. 6-7
5
Sukarno Aburaera, Muhadar, dan Maskun, Filsafat Hukum (Teori dan Praktik), (Jakarta: Kencana, 2017), hal.
43-44
3. Apakah keadilan ini menjadi ukuran dari baik dan buruknya hukum itu sendiri?
(keadilan hukum).6
Mahadi juga memberikan pengertian filsafat hukum yaitu falsafah tentang
hukum dan falsafah tentang segala sesuatu pada bidang hukum sampai ke
akar-akarnya secara mendalam. Selanjutnya, menurut Satjipto Rahardjo bahwa filsafat
hukum ini mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum.
Filsafat hukum menggarap bahan hukum dari sudut pandang yang berbeda. Ilmu
hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu. Filsafat hukum ini
menjawab pertanyaan mengenai hakikat tentang hukum dan dasar kekuatan mengikat
hukum. Pada ilmu hukum positif mempertanyakan mengenai konsistensi asas, logis,
peraturan, bidang, dan sistem hukum itu sendiri. Selain itu, menurut Lili Rasjidi
filsafat hukum berusaha membuat dunia ini menjadi latar belakang yang tidak diraba
oleh panca indera sehingga filsafat hukum menjadi ilmu yang normatif serta filsafat
hukum berusaha mencari cita hukum yang dapat menjadi dasar hukum dan ethis bagi
berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat (misalnya grundnorm). Kemudian,
Gustav Radbruch menyatakan 3 (tiga) aspek akan filsafat hukum. Pertama, aspek
keadilan yaitu kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Kedua, aspek
tujuan, finalitas yaitu menentukan isi hukum karena isi hukum memang sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai. Ketiga, aspek kepastian hukum (legalitas) yaitu menjamin
bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.7
Objek filsafat hukum yaitu hukum sehingga pertanyaan-pertanyaannya ini
seputar hubungan hukum dengan kekuasaan, hukum alam dan hukum positif, apa
sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, masalah filsafat hukum, seperti
masalah hak asasi manusia dan lain sebagainya. Pada dasarnya filsafat hukum
memprioritaskan pada pembahasan terhadap pertanyaan yang pokok-pokok saja atau
yang penting saja. Misalnya, apa pengertian hukum, apa dasar kekuatan mengikat dari
hukum, dan apa itu hukum alam.8
Filsafat hukum ini filsafat umum yang diimplementasikan pada hukum atau
gejala hukum. Bahwa dalam filsafat pertanyaan yang paling dalam dibahas yaitu
hubungannya dengan makna, struktur, landasan, serta sejenisnya dari realita. Batas
akan filsafat hukum ini adalah menelaah asas hukum dari suatu peraturan dan

6
Kamarusdiana, Op.Cit, hal. 3
7
Fajar Sugianto, materi power point Filsafat Hukum week 1
8
Kamarusdiana, Op.Cit, hal. 5
menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan hukum baik dalam bentuk
yuridis normatif dan empiris. Oleh karena itu, tujuan hukum dapat tercapai yaitu
memperbaiki kehidupan manusia di mana hukum bisa menumbuhkan nilai kebaikan
antara manusia.9
Menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoeke, filsafat hukum mempunyai telaah.
Pertama, ontologi hukum yaitu kajian tentang hakikat dari hukum, seperti hakikat
demokrasi, hubungan hukum dengan moral, dan lain sebagainya. Kedua, aksiologi
hukum yaitu kajian penentuan isi dan nilai dalam hukum (misalnya keadilan,
kebebasan, hak, persamaan, dan lain-lain). Ketiga, epistemologi hukum yaitu ajaran
pengetahuan hukum, bentuk metafilsafat. Keempat, logika hukum. Kelima, ideologi
hukum yaitu ajaran tentang ide. Keenam, teologi hukum yaitu kajian tentang tujuan
dan makna hukum. Ketujuh, ajaran ilmu dari hukum yaitu meta teori dari ilmu
hukum.10
Pada masa kini, objek filsafat hukum berkembang meliputi masalah hukum
yang mendasar dan memerlukan solusi. Filsafat hukum menjadi induk dari semua
disiplin yuridis, karena membahas masalah-masalah mendasar yang tidak ada
habisnya. Karakteristik dari filsafat hukum antara lain; mendasar, menyeluruh, dan
spekulatif. Fungsi hukum sendiri mengalami perubahan seiring dengan dengan zaman.
Pada zaman modern, hukum dipandang sebagai ciptaan manusia, hal ini karena yang
menentukan hukum ialah manusia sendiri, dan manusia yang menentukan aturan
dalam hidupnya. Fungsi hukum adalah untuk mewujudkan suatu kehidupan bersama
yang teratur, sehingga dapat mendorong perkembangan pribadi manusia. Melalui
filsafat hukum, kita dapat menjelaskan secara praktis peran hukum yang berfokus pada
ajaran tertentu, mengembangkan wawasan serta pemahaman akan hukum, dan dapat
menempatkan hukum di tempat serta perspektif yang tepat.
Filsafat hukum ini sendiri telah melalui proses yang panjang, sejarah
perkembangannya telah dimulai dari zaman purbakala hingga zaman reformasi. Mulai
dari awal zaman purbakala, yaitu masa pra-Sokrates, saat ini filsafat hukum masih
belum berkembang, dan filsuf masih terfokus dalam inti dari alam semesta. Masuk
pada masa Sokrates, pada masa ini terdapat pemikiran bahwa tugas negara adalah
mendidik warga negara (tertulis maupun tidak tertulis), serta mulai berfilsafat
mengenai manusia. Selain itu ada pemikiran mengenai mengapa negara itu ada, serta

9
Fajar Sugianto, Materi power point Filsafat Hukum week 1.
10
Ibid.
menekankan pentingnya negara merdeka, yang bisa menyudahi peperangan. Hal ini
dikarenakan manusia lahir dalam keadaan yang sangat corrupt, sehingga
menimbulkan peperangan (perebutan kekuasaan, dan lain sebagainya), dan negara bisa
muncul saat manusia yang rakus ini sudah berdamai, bersepakat untuk menunjuk siapa
yang akan jadi penguasa. Pada masa ini juga menyinggung soal peraturan tertulis
maupun tidak tertulis, supaya manusia bisa berpikir jernih dan mulai menekankan
adanya ketertiban umum. Kemudian pada masa Plato sudah terdapat pemikiran bahwa
orang yang melanggar hukum harus dihukum, dan pelanggaran perlu diatur karena
pelanggaran merupakan penyakit dalam bagian intelektual manusia. Pada masa
Aristoteles, hukum terbagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam
sendiri merupakan hukum yang tidak mengalami perubahan (bersifat statis), dan
hukum positif hukum negara yang berlaku setelah ditetapkan oleh instansi yang
berwibawa. Esensi hukum positif ini yang masih dipakai sampai sekarang. Tidak
semua yang tertulis dan diberlakukan di wilayah tertentu itu menjadi hukum positif.
Selain itu pada masa ini sudah mulai ada pemikiran mengenai pentingnya institusi
lembaga peradilan yang dapat berjalan sendiri dengan adanya biaya atas peradilan,
yang tujuannya supaya negara dapat teratur. Pada bagian dari zaman purbakala yang
terakhir, yaitu masa stoa, terdapat pemikiran bahwa hukum alam merupakan hukum
yang bebas dari orang, dan selalu berlaku serta tak dapat diubah. Hukum alam juga
merupakan dasar dari hukum positif, di mana hukum positif berasal dari masyarakat
berupa standar mengenai apa yang adil, dan apabila hukum adil, maka dapat
mewujudkan ketentraman. Dikarenakan kejadian alam bisa saja menyebabkan
ketidakadilan bagi manusia (contohnya seperti kapal dagang yang terkena ombak lalu
barang dagangannya tersapu habis), maka hukum positif harus berkeadilan. Hukum
positif harus lebih bisa memberikan keadilan dari pada hukum alam.
Masuk pada zaman Romawi, dapat dikatakan bahwa perkembangan filsafat
hukum pada zaman ini tidak secepat dan secerah pada masa sebelumnya, hal ini
dikarenakan para filsuf lebih terfokus pada bagaimana cara untuk mempertahankan
ketertiban di wilayah kekaisaran, dan memikirkan bagaimana cara kaisar
melaksanakan pemerintahan kerajaan dunia. Hukum digunakan untuk melegitimasi
perbuatan yang ada (perluasan wilayah, penjajahan). Pada masa Cicero, hukum
terwujud dalam suatu hukum alamiah yang mengatur, baik alam maupun hidup
manusia. Esensi pemikirannya membangun konsepsi persamaan manusia di bawah
hukum alam, ini menjadi pintu masuk pemikiran hukum alam. Menentang kekuasaan
dan penjajahan kaisar Romawi, karena alam saja mendudukan posisi manusia itu
sama, lalu siapa kaisar untuk mendudukan yang lain. Pada masa St. Augustine mulai
meneruskan di balik hukum alam itu karena ada kejadian yang tidak bisa dideteksi,
maka mencoba meneruskan dari mitos-mitos Yunani yang ada, bahwa di dunia akan
selalu ada penguasa. Terdapat pemikiran bahwa hukum selalu berasaskan dari
kemauan-kemauan pencipta manusia yang berlaku secara alami dan universal.
Masuk pada abad pertengahan yang berfokus pada Eropa dan Timur Tengah.
Masa ini memiliki ciri khas, yaitu adanya pandangan bahwa manusia tidak berarti
tanpa adanya Pencipta/Tuhan. Pada masa ini yang menjadi tolak ukur pemikiran
manusia adalah kepercayaan bahwa aturan semesta alam telah ditetapkan oleh Tuhan,
dan hukum pertama-tama dipandang sebagai aturan yang berasal dari Tuhan.
Kemudian dalam membentuk hukum positif, manusia hanya ikut mengatur hidup. Hal
ini dikarenakan hukum yang ditetapkan haruslah dicocokan dengan aturan yang sudah
ada, yaitu aturan agama.
Zaman berikutnya adalah zaman renaissance, pada zaman ini perhatian dan
pemikiran diarahkan pada manusia, sehingga manusia jadi titik tolak pemikiran.
Menurut Jean Bodin, hukum itu perintah orang yang berdaulat (raja) dalam
menjalankan kedaulatannya, tapi kekuasaan raja tidak melampaui hukum alam yang
dikreditkan Tuhan. Ia juga menyangkal bahwa logika hukum manusia tidak boleh
dikaburkan oleh hukum agama (seperti Romawi yang membenarkan segala perbuatan
atas nama agama). Selain hukum alam dan positif, ada unsur kebiasaan (customary)
yang bersifat opinio juris sive necessitatis, di mana suatu kebiasaan bisa jadi hukum
ketika sudah berlangsung/diberlakukan sejak lama (tidak terdapat tolak ukur berapa
lama yang dimaksud dengan “sejak lama”), tidak boleh baru, ada sanksi yang
ditegakan, mendapat pengakuan dari pihak ketiga/eksternal yang mengakui
keberadaannya. Kemudian supaya mengikat, kebiasaan tadi perlu legitimasi oleh yang
berwenang.
Pada zaman baru, terdapat pendapat Thomas Hobbes yang merupakan filsuf
ternama pada abad 17. Menurutnya, hukum alam ini banyak menimbulkan kontroversi
(salah satunya seperti apa yang terjadi pada zaman Romawi). Hobbes banyak
menggunakan istilah hak alamiah (law of nature) dan akan benar (right reason). Bagi
Hobbes, pertama perlu adanya kemerdekaan bagi setiap orang supaya dapat
menggunakan kekuatannya sendiri menurut kehendaknya sendiri, demi privasi hakikat
sendiri, yang berarti kehidupannya sendiri. Kemudian adanya asas-asas kepentingan
yang diidentifikasikan sesuai dengan kondisi alamiah manusia. Kondisi alamiah
manusia ini sendiri merupakan pertentangan abadi, yang mana di dalamnya tidak
terdapat standar perilaku yang berlaku umum.
Pada zaman modern, terdapat berbagai pemikiran dari berbagai filsuf. Pertama
ada Hegel, yang menurutnya hukum merupakan ekspresi dari kemauan umum dan
tidak mampu melihat bahwa faktor utilitarianisme dan kepentingan-kepentingan
menentukan eksistensi hukum. Bagi Von Savigny, hukum adalah ekspresi spontan dari
kekuatan bawah sadar. Namun pemikiran keduanya itu ditolak oleh seorang filsuf
beraliran positivisme, yaitu Rudolf von Jhering. Baginya, hukum yang benar itu
perundang-undangan, menganut orientasi kultur yang luas, dan hukum yang ideal
adalah sejumlah aturan yang memaksa berlaku dalam suatu negara. Namun menurut
Hermann Kantorowicz, Jhering tidak cukup memberikan perhatian pada konflik
kepentingan di belakang perundang-undangan. Kalau kultur itu ditonjolkan dalam
pembentukan UU, maka UU tersebut akan mencerminkan si pembentuk (kiblatnya).
Menurut Philip Heck, eksponen utama kelompok penekan mengemukakan bahwa
gerakan interest jurisprudence yang baru didasarkan pada kesadaran bahwa hakim
tidak dapat menangani kebutuhan hidup yang hanya melalui konstruksi logika untuk
hasil yang memuaskan. Eugen Erich menekankan hukum itu positivis tapi
dikembangkan sesuai kehidupan sosial manusia (aspek sosial, dinamika masyarakat,
dan lain sebagainya), dan mengembangkan lebih ke arah sosiologi hukum. Menurut
Roscoe Pound, law in book (yang ideal) dan law in action (pasti ada perkembangan
cara berhukum masyarakat), hukum berisikan perintah dan unsur ideal. Terdapat
pendekatan law as a tool to social engineering. Hukum juga menjadi hal penting
karena dapat menunjukan ajaran tentang moralitas, benar salah, baik buruk, dan lain
sebagainya. Menurut pendapat Joseph W. Bingham, kaidah hukum adalah
keputusan-keputusan yudisial. Kemudian menurut H.L.A Hart, hukum merupakan
perpaduan antara aturan primer dan sekunder. Menitik beratkan hukum hanya
berkaitan dengan hukum (dwingend recht, regelend recht, aanvullend recht).
Pada zaman reformasi akan berfokus pada Indonesia. Indonesia sendiri
merupakan negara hukum, menghendaki hukum sebagai panglima (supremasi hukum)
yang mengatur segala aspek kehidupan. Indonesia memiliki corak hukum unifikasi,
dualistis, dan pluratis. Indonesia lebih cocok apabila dikatakan menggunakan sistem
hukum Pancasila, karena Indonesia juga turut mengambil tradisi hukum yaitu hukum
kebiasaan yang dijadikan sebagai sumber hukum. Sumber hukumnya terdiri atas
undang-undang, kebiasaan (adat), yurisprudensi, traktat, dan juga doktrin.

2. Penjelasan atau pemahaman anda mengenai hukum kebiasaan.


Jawaban:
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebiasaan merupakan sesuatu yang
biasa dikerjakan atau dapat dikatakan pula sebagai suatu pola untuk melakukan
tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang
dilakukannya secara berulang untuk hal yang sama.11 Jika suatu saat kebiasaan ini
tidak dilakukan oleh seseorang yang berada dalam suatu masyarakat hukum adat,
maka dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut telah melakukan penyimpangan
dalam hal kebiasaan. Pada umumnya, orang yang melanggar kebiasaan ini akan
mendapat kecaman dari masyarakat hukum adat setempat. Kemudian, hukum adalah
serangkaian peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dibentuk
dan dikukuhkan oleh penguasa yang berwenang atau pemerintah; hukum dapat
berbentuk undang-undang, peraturan, dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat; dapat juga berupa patokan (kaidah, ketentuan) mengenai
peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; serta keputusan (pertimbangan) yang
ditetapkan oleh hakim dalam pengadilan atau dapat disebut sebagai vonis.12
Berdasarkan kedua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum kebiasaan
ialah suatu hukum yang berlandaskan adanya keyakinan hukum terhadap perbuatan
maupun tingkah laku yang dilakukan secara berulang kali dalam masyarakat hukum
adat tertentu dan bila suatu saat terjadi penyimpangan terhadap perbuatan yang
dilakukan berulang kali tersebut, maka akan ada suatu akibat hukum dan sanksi yang
dikenakan terhadap pelanggar hukum tersebut.13 Hal ini dikarenakan saat kebiasaan
menjadi landasan dari suatu hukum, maka kebiasaan tersebut telah bersifat mengikat
dan memiliki sanksi yang nyata bagi pelaku yang telah menyimpang dari ketentuan di
dalam hukum tersebut. Hukum kebiasaan atau adat inilah yang nantinya akan menjadi
sumber hukum dalam sistem hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
Keberadaan hukum adat atau kebiasaan masih dapat dirasakan hingga kini sebab
11
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, “Kebiasaan”. https://kbbi .
kemdikbud.go.id/entri/kebiasaan, diakses pada 16 Juni 2023
12
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, “Hukum”.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hukum, diakses pada 16 Juni 2023
13
Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Medan Area, “Kebiasaan sebagai Sumber Hukum”.
https://mh.uma.ac.id/kebiasaan-sebagai-sumber-hukum/, diakses pada 16 Juni 2023
adanya peradilan-peradilan adat dan perangkat-perangkat hukum adat yang
dipertahankan oleh masyarakat hukum adat di Indonesia. Peradilan dan perangkat
hukum adat tersebut berguna untuk membantu menyelesaikan segala sengketa yang
tidak dapat ditangani oleh pihak manapun, baik lembaga kepolisian, pemerintah
melalui pengadilan maupun lembaga pemasyarakatan. Masyarakat hukum adat
tentunya memiliki kepercayaan bahwa segala putusan yang dikeluarkan oleh peradilan
adat terhadap suatu sengketa adalah adil dan baik adanya. Oleh karena itu, para pihak
yang bersengketa dapat merasa puas atas putusan yang telah dikeluarkan dan
keseimbangan dalam kehidupan masyarakat adat yang semula terguncang sebab
adanya sengketa telah kembali seperti biasa.14
Selain itu, hukum kebiasaan juga dapat didefinisikan sebagai seperangkat
kebiasaan, praktik, dan kepercayaan yang diterima sebagai aturan perilaku wajib oleh
suatu komunitas. Hukum kebiasaan merupakan bagian intrinsik dari sistem sosial dan
ekonomi dan cara hidup masyarakat adat dan komunitas lokal.15 Hukum kebiasaan
juga merupakan pola perilaku yang mapan yang dapat diverifikasi secara objektif
dalam lingkungan sosial tertentu. Klaim dapat dilakukan untuk membela “apa yang
selalu dilakukan dan diterima oleh hukum”. Hukum adat ada di mana:
1. Praktik hukum tertentu diamati;
2. Para pelaku yang bersangkutan menganggapnya sebagai pendapat hukum
atau keharusan (opinio juris).
Sebagian besar hukum adat berurusan dengan standar masyarakat yang telah
lama ditetapkan di suatu tempat. Namun, istilah tersebut juga dapat diterapkan pada
bidang hukum internasional di mana standar tertentu telah hampir universal dalam
penerimaannya sebagai dasar tindakan yang benar, misalnya undang-undang yang
melarang pembajakan atau perbudakan. Dalam banyak kasus, meskipun tidak semua,
hukum adat akan mendukung putusan pengadilan dan hukum kasus yang telah
berevolusi dari waktu ke waktu untuk memberi bobot tambahan pada aturan mereka
sebagai hukum dan juga untuk menunjukkan suatu lintasan dalam penafsiran hukum
tersebut oleh pengadilan yang relevan.16

14
Muhamad Fiqhan Salim. 2023. “Filsafat Hukum Dalam Pandangan Hukum Adat”. OSF Preprints. January 25.
DOI: 10.31219/osf.io/pqgsu
15
World Intellectual Property Organization (WIPO), “Customary Law and Intellectual Property”.
www.wipo.int/tk/en/indigenous/customary_law/index.html, diakses pada 18 Juni 2023
16
Fajar Sugianto, Loc. Cit
Hukum kebiasaan memiliki hubungan yang cukup erat dengan filsafat hukum
dalam beberapa hal. Pada dasarnya, filsafat hukum berupa suatu refleksi dari hukum
maupun gejala hukum. Dengan demikian filsafat hukum tidak bertujuan untuk
mempelajari atau mengulik tentang hukum positif tertentu, melainkan berusaha untuk
merefleksikan hukum sendiri secara keseluruhan. Hal yang sama juga berlaku
terhadap hukum kebiasaan di mana hukum ini tidak hanya mengatur mengenai
hubungan pribadi atau keluarga, namun juga berbagai hubungan yang terdapat pada
hukum positif yang terbagi menjadi dua, antara lain hukum perdata serta hukum
pidana. Hukum kebiasaan secara umum mengatur tentang bentuk-bentuk masyarakat
hukum adat, pemerintahan dan peradilan, hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum
waris, hukum tanah, hukum hutang piutang, hukum delik, serta sistem sanksi yang
tidak dikenal dengan memenjarakan. Adapun masyarakat hukum adat dengan berbagai
nilai kearifan lokal yang terdapat padanya merupakan suatu kekayaan bangsa yang
harus dilestarikan. Hal ini dikarenakan nilai kearifan lokal suatu masyarakat hukum
adat bukanlah hanya untuk dilihat sebagai produk kebiasaan semata, namun nilai
kearifan lokal tersebut harus menjadi sumber konstruksi sistem hukum yang
didasarkan atas pemahaman filosofis. Kearifan lokal layaknya dipandang sebagai
sebuah “hukum sebagai perilaku” atau law in action dan bukan hanya “hukum sebagai
aturan, norma atau asas” maupun law in book. Selain itu, kearifan lokal dapat pula
dianggap sebagai nilai-nilai yang bersifat teologis ataupun metafisis yang
berlandaskan pada kebenaran ilahi.17

3. Penjelasan tentang 3 fundamentals of human rights law (right to life, right to


freedom, right to property).
Jawaban:
Adanya prinsip-prinsip utama mengenai dasar hukum hak asasi manusia yaitu
sebagai berikut:
a. Hak asasi manusia berlaku untuk semua individu, terlepas dari
kewarganegaraan mereka atau faktor lainnya. Mereka dianggap universal dan
melekat pada semua manusia.
b. Hukum hak asasi manusia melarang diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal kebangsaan

17
Muhamad Fiqhan Salim, Loc. Cit., hal. 9
atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya. Setiap orang berhak atas
hak dan kebebasan yang sama tanpa diskriminasi.
c. Hak asasi manusia melekat pada individu dan tidak dapat diambil,
dipindahkan, atau dikesampingkan. Mereka milik semua orang semata-mata
berdasarkan kemanusiaan mereka.
d. Hak asasi manusia saling berhubungan dan saling tergantung. Mereka
mencakup hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dan penikmatan
satu hak seringkali bergantung pada pemenuhan hak lainnya.
e. Hukum hak asasi manusia diatur oleh berbagai perjanjian internasional,
konvensi, deklarasi, dan hukum kebiasaan internasional. Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (UDHR) yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tahun 1948 dianggap sebagai dokumen dasar.
f. Negara memiliki tanggung jawab utama untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak asasi manusia dalam yurisdiksinya. Mereka harus
memberlakukan undang-undang, mendirikan lembaga, dan mengambil
langkah-langkah yang tepat untuk memastikan hak asasi manusia dihormati
dan dijunjung tinggi.
g. Hukum hak asasi manusia menyediakan mekanisme untuk mencari pemulihan
dan pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia. Ini termasuk
akses terhadap keadilan, pemulihan yang efektif, dan pemulihan di tingkat
domestik dan internasional.18

3 fundamentals of human rights law yaitu sebagai berikut:

A. Hak Untuk Hidup (Right to Life)


Hak untuk hidup (Right to Life) merupakan hak mutlak untuk setiap
orang dan termasuk dalam kategori non-derogable rights, yakni hak yang tidak
dapat dikurangi.19 Hak untuk hidup (Right to Life) ini mencakup hak untuk
hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya, termasuk hak
atas hidup yang tentram, aman, damai bahagia, sejahtera lahir dan batin serta

18
Betrand G. Ramcharan, The fundamentals of international human rights treaty law. Brill.
19
Pasal 28I UUD 1945 Amandemen 2: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”
hak atas lingkungan yang baik dan sehat.20 Pasal 6 pada Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) atau International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR) mengatakan bahwa hak untuk hidup harus
dilindungi oleh hukum dan atas hak ini tidak boleh diperlakukan dengan
sewenang-wenang.21 Hak ini sebenarnya telah tertuang dalam Pasal 27 Ayat
(2), Pasal 28A, Pasal 28 D Ayat (2), serta Pasal 28H Undang-Undang Dasar
1945.22
Bahwa dalam hal ini yang menarik dari hak untuk hidup (Right to Life)
dalam sistem pemidanaan di Indonesia adalah masih diberlakukannya
hukuman mati bagi tindak pidana tertentu, seperti narkoba, terorisme dan
pembunuhan. Berkenaan dengan hukuman mati, memang masih menjadi
perdebatan di berbagai kalangan karena dianggap melanggar hak untuk hidup
seseorang. Sebagian Negara Barat sudah tidak memberlakukan hukuman mati
dalam sistem pemidanaannya, namun di sisi lain mereka yang menghapuskan
hukuman mati memberikan izin praktek eutanasia yang tidak lain juga
merupakan perampasan hak hidup seseorang. Kedua hal ini masih menjadi
diskusi panjang di berbagai kalangan. Secara global, terdapat penegasan dalam
Protokol Pilihan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP)
tentang penghapusan hukuman mati. Penerapan pidana mati juga bertentangan
dengan hak untuk hidup seperti yang diaturkan dalam Pasal 3 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang berisikan “Setiap orang berhak atas
kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu.” Hampir setengah
jumlah negara-negara di dunia (118 negara) sudah menghapuskan hukuman
mati dalam sistem hukumnya. Indonesia adalah termasuk negara yang masih
menerapkan pidana mati. Aturan pidana mati diaturkan secara baik dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.23 Sementara dalam

20
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
21
Javaid Rehman, “International Human Rights Law”, (Great Britain: Pearson Education Limited, 2003), hal.
68-69
22
Pasal 27 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”
23
Pasal 10 dan Pasal 11 KUHP serta Pasal 36 dan Pasal 37 dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Rancangan KUHP baru (2004), ditafsirkan bahwa pidana mati tidak berlaku
bagi tindak pidana hak asasi manusia.24

B. Hak Atas Kebebasan (Right to Freedom)


Hak atas Kebebasan (Right to Freedom) merupakan salah satu hak yang
paling mendasar bagi setiap orang dikarenakan menyangkut juga hak
menentukan nasib sendiri. Dari berbagai hak yang dilindungi dalam hak asasi
manusia, hak atas kebebasan ini mencakup hak untuk kebebasan berekspresi,
hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk berserikat dan berkumpul.
Hak-hak tersebut adalah hak yang paling penting dalam hak atas kebebasan.25
Meskipun demikian, tidak berarti tidak ada hak-hak lain yang dilindungi yang
berkaitan dengan hak atas kebebasan (right to freedom). Hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk memeluk agama, hak untuk dipilih dan memilih, hak
kewarganegaraan dan hak bertempat tinggal merupakan hak-hak pribadi yang
diaturkan oleh Undang-Undang ini. Hak-hak ini dilindungi oleh berbagai
instrumen hukum baik internasional, regional maupun nasional. Dalam
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) atau
International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR), hak-hak ini
diaturkan dalam Pasal 17 hingga dengan Pasal 20, sedangkan dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, perlindungan hak atas kebebasan
diaturkan dalam Pasal 20 hingga dengan Pasal 43 yang mencakup sebagai
berikut dibawah ini:
1) Hak Untuk Tidak Diperbudak
Perbudakan yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia diantaranya termasuk
perhambaan, perdagangan budak dan perempuan dan segala perbuatan
yang serupa.26 Perbudakan adalah status seseorang di bawah orang lain
sebagai kepemilikan pribadi di mana ia harus menuruti dan melakukan
segala yang diperintahkan “pemiliknya”. Perbudakan merupakan salah
satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia.27 Meskipun masalah

24
Pasal 390, Pasal 391, dan Pasal 392 dalam Rancangan KUHP 2004
25
Javaid Rehman, Op. Cit, hal. 77
26
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
27
H. Victor Condé, “A Handbook of International Human Rights Terminology Second Edition”, (Lincoln:
University of Nebraska, 2004), hal. 240
perbudakan di Indonesia telah dihapuskan sesudah tahun 1890.28
Namun pada prakteknya hingga saat ini perbudakan masih terjadi yaitu
di antaranya perlakuan para majikan terhadap para pembantu rumah
tangga, pekerja kasar, dan bahkan karyawannya. Para majikan
memperlakukan para pekerjanya dengan semena-mena bahkan tidak
manusiawi seolah mereka mempunyai kekuasaan penuh atas para
pekerjanya, dan para pekerja tidak dapat dan tidak boleh melawan
dikarenakan apabila mereka melawan, bukan sekedar ancaman keras
yang diberikan oleh majikannya. Tidak hanya kepada para pekerja
kasar, bahkan perbudakan terjadi pula pada karyawan menengah,
diantaranya dengan memberikan beban pekerjaan yang berlebihan dan
tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hal ini biasanya dilakukan
demi kepentingan perusahaan atau institusi.
2) Hak Untuk Bebas Memeluk Agama
Kebebasan memeluk agama merupakan hak yang sangat pribadi
dikarenakan berkaitan dengan keyakinan seseorang dan berhubungan
dengan Tuhan. Seseorang tidak diperkenankan memaksa atau dipaksa
untuk memeluk suatu agama tertentu atau bahkan untuk tidak memeluk
agama. Kebebasan beragama ini diatur dalam Pasal 29 UUD 1945 dan
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Negara memberikan jaminan tidak hanya dalam kebebasan
memeluk agama melainkan juga kemerdekaan dalam menjalankan
ibadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing yang telah
dipilihnya.
3) Hak Untuk Bebas Memilih dan Dipilih
Hak untuk bebas memilih dan dipilih tidak hanya dalam pemilu,
dalam pemilihan wakil-wakil rakyat yang duduk di kursi parlemen atau
dalam pemilihan presiden dan calon presiden. Namun lebih luas dari itu
dan bahkan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, hak
untuk memilih sekolah, tempat tinggal, memilih cara hidup dan
pilihan-pilihan lainnya dalam hidup. Hak untuk dipilih tidak hanya
untuk dijadikan pemimpin bangsa atau wakil rakyat, bahkan termasuk

28
Darwan Prinst, “Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2001), hal. 23
dipilih untuk menjadi yang terbaik, misalkan dalam kompetisi untuk
mencari yang terbaik, atau dipilih untuk melakukan suatu hal, setiap
orang berhak dipilih sesuai dengan kompetensinya. Setiap orang
memiliki hak yang melekat ini, yakni hak memilih dan dipilih. Setiap
orang bebas memiliki, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat
sesuai dengan hati nuraninya, secara lisan maupun tulisan atau melalui
media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai
agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan
bangsa.29
4) Hak Untuk Berkumpul dan Berserikat
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapatnya di muka
umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.30 Dengan adanya jaminan ini kita tidak perlu
takut untuk mengemukakan pendapat kita meskipun berbeda dengan
suara mayoritas ataupun dengan atasan kita. Suara setiap orang sangat
dihargai dan dihormati, ini juga yang menjadi salah satu ciri demokrasi
di mana setiap orang diberikan kebebasan untuk menyampaikan
pendapatnya tanpa rasa takut, namun tentunya harus bertanggung
jawab. Hak ini sangat dijiwai oleh sila ke-4 Pancasila, yang artinya
merupakan ciri identitas bangsa Indonesia. Dengan jaminan
perlindungan hak mengemukakan pendapat, setiap orang dapat
menyatakan pendapatnya melalui berbagai cara yang bertanggung
jawab sebagai bentuk kritik, saran, dan bahkan masukan baik secara
lisan, tulisan maupun media lainnya bagi pihak lain, diantaranya adalah
bagi pemerintah.
5) Hak Atas Status Kewarganegaraan
Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti atau
mempertahankan status kewarganegaraannya. Oleh karena itu, setiap
orang bebas untuk memilih kewarganegaraannya dan tanpa
diskriminasi berhak untuk menikmati hak-hak yang berasal dan
melekat dari kewarganegaraannya serta wajib melakukan kewajibannya
sebagai warga negara sesuai dengan peraturan perundangan yang

29
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
30
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
berlaku di Indonesia. Meskipun dinyatakan tanpa diskriminasi, namun
pada prakteknya pernah di Indonesia ada ketentuan bagi warga
keturunan Tionghoa di mana dalam melakukan berbagai proses
administrasi, mereka wajib mempunyai SKBRI (Surat Keterangan
Bukti Kewarganegaraan Indonesia) dikarenakan apabila tidak maka
tidak akan diproses. Hal ini cukup memberatkan terutama bagi Warga
Keturunan Tionghoa karena mempersulit mereka untuk mendapatkan
hak-haknya sebagai warga negara belum lagi dalam tataran praktek di
lapangan mereka seringkali dipersulit dengan perlakuan yang
diskriminatif dari para petugas. Bahwa yang menjadi pertanyaan adalah
mengapa persyaratan ini hanya berlaku untuk warga keturunan
Tionghoa, sedangkan di negara Indonesia banyak juga warga keturunan
bangsa asing seperti Arab, India, Pakistan, Belanda, Jepang dan
negara-negara lainnya yang pernah menetap di Indonesia. Ketentuan
lain berkaitan dengan hak kewarganegaraan di Indonesia diantaranya
berkaitan dengan perkawinan campuran.31 Dalam RUU
Kewarganegaraan yang baru, diusulkan bahwa setiap pria warga negara
asing yang akan menikahi perempuan Warga Negara Indonesia harus
mendepositkan jaminan sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah), hal ini sangat memberatkan dan dianggap sebagai perlakuan
diskriminasi dan pembatasan hak berkeluarga. Selain itu, penentuan
kewarganegaraan anak yang harus mengikuti kewarganegaraan ayah
juga menjadi hal yang banyak mendapatkan kritik terutama dari
kalangan yang melakukan perkawinan campuran. Pada pertengahan
bulan Juli 2006, Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru
disahkan oleh DPR. Berbeda dengan reaksi terhadap rancangannya,
undang-undang ini mendapatkan respon yang positif terutama dari
kalangan warga keturunan Tionghoa. Hal ini dikarenakan bahwa dalam
undang-undang yang baru ini, hak-hak warga negara keturunan
Tionghoa lebih diakui dan dijamin, di antaranya adalah mereka tidak
membutuhkan lagi SKBRI (Surat Keterangan Bukti Kewarganegaraan
Indonesia) yang selama ini disyaratkan. Ini berarti tidak terdapat lagi

31
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
legalisasi perlakuan diskriminatif terhadap warga negara keturunan
Tionghoa.
6) Hak Untuk Bertempat Tinggal
Selain telah tersebut dalam Pasal 28H UUD 1945, hak ini
ditegaskan kembali dalam Pasal 27 dan Pasal 31 pada Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Bahwa di
antaranya adalah menyatakan setiap warga negara Indonesia berhak
untuk bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah negara
Indonesia dan hak di mana tempat tinggalnya tidak diganggu oleh
siapapun. Tidak meratanya penyebaran penduduk menimbulkan hak
bertempat tinggal ini tidak sepenuhnya terpenuhi. Selanjutnya, masalah
penumpukan penduduk di kota besar akibat urbanisasi menyebabkan
tidak teraturnya kota dengan munculnya banyak pemukiman liar yang
tidak tertata dan bahkan kumuh. Hal ini juga yang menyebabkan
terdapatnya penggusuran rumah-rumah warga sehingga warga
kehilangan haknya bertempat tinggal. Dalam hal ini tidak dapat
mempermasalahkan salah satu pihak saja, dikarenakan semua saling
terkait dalam rantai sebab akibat. Pemukiman warga yang liar dengan
tidak memandang letak, fungsi, dan tata kota serta keamanan dapat
menjadi pembenaran pemerintah dalam melakukan penggusuran.
Namun, cara dan alasan penggusuran yang dilakukan aparat juga tidak
selamanya dapat dikatakan benar, dikarenakan tidak sedikit juga
penggusuran yang dilakukan dengan dilatarbelakangi alasan
kepentingan keuntungan komersial bukan karena untuk kepentingan
umum.

C. Hak Milik (Right to Property)


Hak milik (Right to Property) merupakan pemberian kebebasan untuk
memiliki sesuatu, bebas untuk menjual serta membeli sesuatu barang atau jasa, bebas
untuk menyelenggarakan suatu perjanjian kontrak dan mempunyai pekerjaan.32 Hak
milik (Right to Property) ini menjamin hak manusia dalam kegiatan perekonomian,
yang mencakup sebagai berikut dibawah ini:

32
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, “Hak Asasi Manusia”. https://umsu.ac.id/hak-asasi-manusia
/#:~:text=2.,perjanjian%20kontrak%20dan%20memiliki%20pekerjaan, diakses pada 14 Juni 2023
1. Hak kebebasan dalam melakukan kegiatan jual beli.
2. Hak mengadakan perjanjian kontrak. Hak kebebasan melakukan
hutang-piutang, sewa-menyewa, dan kegiatan transaksional lainnya.
3. Hak kebebasan untuk kepemilikan sesuatu.
4. Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
Hak milik ini diatur pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.” Kemudian, menurut
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
menyebutkan:
“(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga,
bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan
secara melawan hukum.
(3) Hak milik mempunyai fungsi sosial.”
Bahwa hak milik ini harus memperhatikan kepentingan umum sehingga memiliki
fungsi sosial.

Anda mungkin juga menyukai