Anda di halaman 1dari 15

Aliran-Aliran Dalam Filsafat Hukum

Dan Yang Relevan Dengan Suasana


Kebangsaan Indonesia

MATA KULIAH : FILSAFAT HUKUM


DOSEN : Dr. L. Wira Pria Suhartana, SH., MH.

OLEH :
ACHMAD SYAUQI
NIM. 12B012003

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS MATARAM
2012

0
BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan keistimewaan akal


sebagai ruang cipta dan hati sebagai ruang rasa. Keduanya menuntun manusia
untuk selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu, yang hasil dari keinginan ini
disebut sebagai pengetahuan. Terdapat empat macam pengetahuan, yaitu
pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan
pengetahuan agama. Secara istilah ”pe getahua ” (knowledge) tidak sama
de ga ”il u pe getahua ” (science). Pengetahuan seorang manusia dapat
berasal dari pengalamannya atau dapat juga berasal dari orang lain, sedangkan
ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan
sistematika tertentu serta bersifat universal. Ilmu adalah jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam usaha manusia mencari pengetahuan.
Akan tetapi tidak semua pertanyaan tersebut dapat dijawab secara keilmuan.
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab tersebut menjadi wilayah
filsafat untuk menjelaskannya.
Filsafat sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah pandangan
mendalam tentang pertanyaan dalam kehidupan yang dijalani manusia. Dalam
pemahaman yang demikian, filsafat ditangkap sebagai sesuatu yang abstrak1.
Filsafat membangun banyak dasar-dasar keilmuan atas pengetahuan-
pengetahuan yang dipelajari manusia. Immanuel Kant mengartikan filsafat
sebagai dasar segala pengetahuan yang mencakup empat persoalan:
1. Apakah yang dapat diketahui ?
2. Apakah yang boleh kita kerjakan?
3. Sampai di manakah penghargaan kita?
4. Apakah yang dinamakan manusia?

1 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana,


Jakarta, 2008, hal 31.

1
Diantara berbagai pengetahuan yang dipelajari manusia, pengetahuan
hukum merupakan salah satunya. Sebuah adagium mengatakan; Ibi ius ibi
societas, yakni dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Sebagai kelimuan,
teori-teori dan penemuan norma-norma dalam hukum didasari oleh filsafat
hukum sebagai cabang dari filsafat. Filsafat hukum juga merupakan kajian
penting karena fungsinya yang strategis dalam pembentukan hukum negara,
salah satunya di Indonesia.
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat
hukum, apa tujuannya, mengapa dia ada, dan mengapa orang harus tunduk
kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum
abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai
hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai
macam lembaga hukum. Filsafat adalah suatu pendasaran diri dan renungan diri
secara radikal dan mendalam, ia merefleksikan terutama tentang segala yang
ada, yaitu hal ada dalam keumumannya2. Menemukan hakeket yang sebenarnya,
bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu menjadi tujuan utama
filsafat.
Sesungguhnya manusia akan melihat dari kenyataan empiris sebagai bekal
mengkaji secara mendalam, memberikan makna filosofis dengan mengetahui
hakikat kebenaran yang hakiki. Filsafat hukum ingin mendalami hakikat hukum.
Hal ini berarti bahwa filsafat hukum ingin memahami hukum sebagai penampilan
atau manifestasi dari suatu yang melandasinya. Dan hukum adalah suatu bagian
dari kenyataan dan dengan demikian memiliki sifat-sifat kenyataannya. Kegiatan
berfilsafat adalah hal merefleksi, yakni suatu kegiatan berpikir dan juga memiliki
sifat rasional. Sehingga filsafat berada dalam dimensi dari komunikasi
intersubjektif yang merupakan hasil dari pengembangan suatu hubungan-diskusi
(diskursif) terbuka dari subjek-subjek dan antara yang lainnya sehingga filsafat

2 B.Arif Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum
dan Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Bandung: Refika Aditama, hlm.65.

2
tidak memiliki nilai-nilai pendirian dagmatik suatu kemutlakan yang harus
diikuti3.
Filsafat hukum sangat menentukan substansi dan kualitas pembentukan
produk hukum, yaitu bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan
(gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) serta
kemanfaatan yang mampu diaplikasikan (zweckmassigkeit)4. Berbagai pergulatan
pemikiran yang terus menerus dalam filsafat hukum, menimbulkan banyak aliran
dalam filsafat hukum. Antar aliran-aliran atau mazhab filsafat hukum tersebut
terjadi dialektika yang membahas asal usul terciptanya hukum. Apabila pada
masa lalu, filsafat hukum merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa
ini kedudukannya tidak lagi demikian karena masalah-masalah filsafat hukum
telah menjadi bahan kajian tersendiri bagi para ahli hukum. Karena memang
aliran-aliran (mazhab) dalam filsafat hukum tersebut sangat diperlukan dalam
menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai dasar-dasar filsafatnya.
Oleh karenanya, penulis memandang perlu menguraikan beberapa aliran
filsafat hukum yang ada atau pernah ada serta relevansinya terhadap suasana
hukum di Indonesia saat sekarang.

3 Ibid, hal. 65-66.


4 Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia), Cetakan keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm.154

3
BAB II
PEMBAHASAN

Para pakar hukum memiliki pandangan yang hampir sama tentang konsep
aliran dalam filsafat hukum. Satjipto Rahardjo membagi aliran filsafat hukum
sebagai; teori yunani dan romawi, positivisme dan utilitarianisme, hukum alam,
teori hukum murni, pendekatan sejarah dan antropologis, serta pendekatan
sosiologis. Sedangkan Soejono Soekanto membaginya sebagai; aliran
utilitarinisme, mazhab sejarah dan kebudayaan, mazhab formalitas, aliran
realisme hukum, dan aliran sociological jurisprudence. Adapun Lili Rasdji
membaginya ke dalam; mazhab sejarah, aliran hukum alam, aliran hukum positif,
sociological yurisprudence, dan pragmatic legal realism.
Beberapa aliran tersebut didasari oleh pemikiran-pemikiran para filsuf yang
hidup pada jaman tersebut. Diantaranya, Aliran hukum alam yang berlaku secara
universal dan bersifat abadi-alamiah karena sumbernya dari Tuhan langsung,
dipelopori diantaranya oleh Plato, Aristoteles, Thomas Aquino, dan Immanuel
Kant. Aliran positivisme yang menyebut bahwa antara hukum dan moral
merupakan dua hal yang berbeda karenanya harus dipisahkan, dipelopori oleh
John Austin. Aliran mazhab sejarah yang terkenal dengan paradigmanya bahwa
hukum itu tidaklah dibuat melainkan berkembang bersama-sama dengan
masyarakat, dipelopori oleh Friederich Carl von Savigny. Aliran pragmatic legal
realism yang menyatakan bahwa akal atau pikiran merupakan sumber utama
hukum, dipelopori oleh Roscoe Pound. Dan aliran utilitarinisme yang
menyatakan bahwa hukum dibuat untuk sebesar-besarnya kemanfaatan bagi
masyarakat, dan meniadakan penderitaan-penderitaan, dipelopori oleh salah
satunya Jeremy Bentham.
Secara lebih rinci tulisan ini membatasi hanya pada pembahasan aliran-
aliran filsafat hukum, meliputi: (1) Aliran Hukum Alam; (2) Positivisme hukum; (3)

4
Utilitaianisme; (4) Mazhab Sejarah; (5) Sociological Jurisprudence; (6) Realisme
Hukum, dan; (7) Freirechtslehre.
Pertama, Aliran Hukum Alam. Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku
universal (umum). Menurut Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan
manusia dalam mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum alam dipandang
sebagai hukum yang berlaku secara universal dan abadi5. Gagasan mengenai
hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat mahkluk
hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib
sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi
dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Aliran hukum alam ini dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Aliran Hukum Alam Irrasional.
Aliran ini berpendapat bahwa, hukum yang berlaku universal dan abadi
bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas
Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan
John Wyclife.
Lebih jauh Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu:
a) Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan
merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia.
b) Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia
berdasarkan waktu yang diterimanya.
c) Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan
penjelmaan dari rasio manusia.
d) Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam oleh
manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan

5 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995, halaman 102.

5
dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci dan hukum positif
buatan manusia.
Filsuf lain, William Occam dari Inggris, mengemukakan adanya hirarkis
hukum, dengan penjelasan sebagai berikut:
a) Hukum Universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang
bersumber dari rasio alam.
b) Apa yang disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat berasal dari
alam.
c) Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat diubah
oleh penguasa.
Pada dasarnya pendapat Occam menyatakan bahwa hukum identik dengan
kehendak mutlak Tuhan. Sementara itu Fransisco Suarez dari Spanyol
berpendapat, Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat
dan waktu. Berdasarkan akalnya manusia dapat menerima hukum alam tersebut,
sehingga manusia dapat membedakan antara yang adil dan tidak adil, buruk atau
jahat dan baik atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima oleh manusia adalah
sebagian saja, sedang selebihnya adalah hasil dari akal (rasio) manusia.
2) Aliran Hukum Alam Rasional.
Berkebalikan dari aliran rasional, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari
hukum yang universal dan abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul
setelah zaman Renaissance, yang berpendapat bahwa hukum alam muncul dari
pikiran (rasio) manusia tentang apa yang baik dan buruk penilaiannya diserahkan
kepada kesusilaan (moral) alam, akibat pandangan bahwa rasio manusia terlepas
dari tertib ketuhanan. Tokoh-tokohnya, antara lain: Hugo de Groot (Grotius),
Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf.
Immanuel Kant adalah diantara tokoh paling berpengaruh dalam aliran ini.
Filsafat dari Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis.
Ajaran Kant dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia
(kritik der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis

6
(kritik der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya
Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran
Kant tersebut ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu
cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling)6.
Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa hukum itu merupakan
keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri dari seseorang dapat
digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah hukum kebebasan umum
yang meliputi kesemuanya. Katagori imperatif Kant mewajibkan semua anggota
masyarakat tetap mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum
terebut terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar
kemanusiaan.
Filsuf lain yang juga banyak mempengaruhi adalah Hegel dari Jerman. Yang
dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata menurut nalar adalah nyata,
dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was vernunftig ist, das ist wirklich ist,
das ist vernunftig. What is reasonable is real, and what is real is reasonable).
Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan
proses perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak yang
senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan mencakup
seluruh tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan permulaan dan
kelahiran segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan dialektis melalui
tesa, antitesa, san sintesa yang berlangsung secara berulang-ulang dan terus-
menerus. Filsafat hukum dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan
esensinya juga dikuasai oleh hukum dialektika. Negara merupakan perwujudan
jiwa mutlak, demikan juga dengan hukum.
Kedua, Aliran Positivisme Hukum. Mazhab yang juga dikenal sebagai aliran
hukum positif memandang perlu secara tegas memisahkan antara hukum dan
moral, yakni antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das

6 Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu
Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 12.

7
sein dan das sollen). Sebelum aliran ini lahir, terlebih dulu telah berkembang
suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang disebut sebagai Legisme, yakni faham
yang memandang tidak ada hukum di luar undang-undang, atau satu-satunya
sumber hukum adalah undang-undang.
Positivisme hukum dibedakan dalam dua corak, yaitu:
2. Aliran Hukum Positif Analistis.
Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari
tempat asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang
agak lain, yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum dari John Austin (1790-
1859), yaitu Analytical Jurisprudence. Austin membagi hukum atas 2 hal, yaitu:
a) Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.
b) Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
 Hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum
positif yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-
undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau
disusun rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan
hak-haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya. Dalam konteks ini
Austin membagi hukum ke dalam empat unsur, meliputi; perintah
(command), sanksi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan
(sovereignty). Sehingga ketentuan yang tidak memenuhi keempat unsur
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum.
 Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak
memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan
dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.
3. Aliran Hukum Murni.
Aliran ini dipelopori oleh Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen adalah seorang
Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan
Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam.
Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam

8
walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans
Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam,
walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana
tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
Menurut Kelsen, hukum yang ideal harus dibersihkan dari anasir-anasir di
luar hukum itu sendiri (non yuridis), seperti unsur sosiologis, politis, historis,
bahkan etis. Bagi Kelsen hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah
laku manusia sebagai mahluk rasional. Pemikiran tentang pemurnian unsur
hukum ini yang kemudian dikenal sebagai teori hukum murni.
Ketiga, Aliran Utilitarianisme. Utilitarianisme atau disebut juga Utilisme
adalah aliran yang meletakan kemanfaatkan sebagai tujuan utama hukum.
Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Aliran ini sesungguhnya dapat
pula dimasukan kedalam Positivisme Hukum, mengingat faham ini pada akhirnya
sampai pada kesimpulan tujun hukum pada terciptanya ketertiban masyarakat.
Pelopor utama aliran ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832), selanjutnya
John Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Bentham
berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia
selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya.
Kebaikan adalah kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum
adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk
memelihara kegunaan. Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak
terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang
sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam
hukumuntuk mencegah terjadinya homo homini lupus (manusia menjadi
pemangsa bagi manusia yang lain). Ajaran kebahagiaan atas manfaat hukum ini
dikenal sebagai utilitarianisme individual.
Satu pandangan dengan Bentham, Stuart Mill juga menyatakan bahwa
tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh
kebahagiaan itu melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin

9
dicapai oleh manusia bukan benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan
kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya.
Dalam pandangan yang sedikit berbeda, Jhering menyatakan bahwa tujuan
hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Namun pandangan
Jhering ini masuk dalam aliran utilitarianisme disebabkan arah pandangan tetap
mendefinisikan kepentingan dengan mendeskripsikannya sebagai pengejaran
kesenangan dan menghindari penderitaan.
Keempat, Aliran Sejarah. Aliran ini adalah yang paling terkenal, terutama di
negara-negara penganut sistem common law. Tokoh-tokoh penting Mazhab
Sejarah, yaitu; Friedrich Karl von savigny (1770-1861), Puchta (1798-1846), dan
Henry Summer Maine (1822-1888).
Von Savigny menyatakan bahwa hukum timbul bukan karena perintah
penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak
dalam jiwa bangsa itu (volkgeist). Adapun Puchta nyaris sama pandangannya
dengan savigny. Ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa
bangsa yang bersangkutan. Sedangkan Maine menyatakan ia melakukan
penelitian untuk memperkuat pemikiran von Savigny, yang membuktikan adanya
pola evolusi pada pembagi masyarakat dalam situasi sejarah yang sama.
Kelima, Aliran Sociological Jurisprudence. Tokoh-tokoh pelopor aliran ini
diantaranya, Ehrlich (1862-1922) dan Roscoe Pound (1870-1964). Ehrlich
beranggapan bahwa hukum tunduk pada ketentuan-ketentuan sosial tertentu.
Hukum menjadi efektif, jika ketertiban dalam masyarakat menjadi dasar
pengakuan sosial terhadap hukum, bukan karena penerapannya yang secara
resmi oleh Negara. Sedangkan Pound menyatakan bahwa hukum adalah alat
untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat. Teorinya ini sangat terkenal
sebagai istilah law as a tool of social engineering.
Prinsipnya aliran sociological jurisprudence menyatakan bahwa hukum
yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan aturan-aturan yang hidup di

10
masyarakat7. Aliran ini tampak jelas memisahkan secara tegas antara hukum
positif (hukum adalah undang-undang yang dibuat negara) dan hukum yang
hidup (hukum adalah norma-norma yang hidup dan diakui oleh masyarakat)
Keenam, Aliran Pragmatic Legal Realism Atau Realisme Hukum. Dalam
pandangan penganut Realisme, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan
sosial dan konstrol sosial. Beberapa ciri utama realisme diantaranya:
a. Tidak ada mazhab realis. Realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja
tangan hukum,
b. Realisme adalah konsepsi hukumyang terus berubah dan alat untuk tujuan-
tujuan social, sehingga tiap bagian hrus diuji tujuan dan akibatnya,
c. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada
dan harusnya ada, untuk tujuan-tujuan studi,
d. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi
hukum, selama ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum menggambarkan
apa yang sebebarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-
orang,
e. Realisme menekankan evolusi tiap bagian hukum dengan mengingatkan
akibatnya.
Mendasarkan ciri-ciri tersebut, realisme hukum dapat dikatan bukan
merupakan aliran, melainkan sebuah gerakan. Sebagai suatu gerakan realisme
hukum dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika dan Realisme
Skandinavia. Menurut seorang sarjana hukum, Friedmann, persamaan Realisme
Skandinavia dengan Realisme Amerika adalah semata-mata verbal.
Realisme Amerika mendasarkan sumber hukum utamanya pada putusan
hakim. Semua yang dimaksud dengan hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih
sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan
peraturan perundang-undangan. Tokoh-tokoh utama realisme amerika, yaitu:
Charles Sanders Peirce (1839-1914) yang kemungkinan bagi manusia untuk

7 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, hal. 47

11
mendapat suatu pengetahuan teoritis secara benar; John Chipman Gray (1839-
1915) yang menyatakan bahwa disamping logika juga terdapat faktor –faktor lain
dalam pembentukan hukum seperti, unsur kepribadian, prasangka, dan factor-
faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang sangat besar; Oliver Wendell
Holmes (1841-1935) yang berpendapat bahwa hukum adalah pikiran-pikiran
tentang apa yang akan diputuskan oleh pengadilan itulah yang dimaksud dengan
hukum; John Dewey (1859-1952) yang menyatakan bahwa logika bukan berasal
dari kepastian-kepastian dari prinsip-prinsip teoritis, melainkan suatu studi
tentang kemungkinan-kemungkinan; dan Jerome Frank (1889-1957) yang
menhyatakan bahwa hukum tidak dapat disamakan dengan suatu aturan yang
tetap.
Sedangkan Realisme Skandinavia, tokoh-tokohnya meliputi: Axel
Hagerstrom (1868-1939) yang berpandangan bahwa hukum seharusnya diselidiki
dengan bertitik tolak pada data empiris, yang dapat ditemukan dalam perasaan
psikologi; Karl Olivecrona (1897-1980) yang memandang keliru mereka yang
menganggap hukum sebagai perintah dari seseorang manusia, sebab tidak
mungkin ada manusia yang dapat memberikan semua perintah terkandung
dalam hukum itu; Alf Ross (1899-1979) yang membagi perkembangan hukum ke
dalam empat tahapan, yaitu hukum suatu sistem paksaan yang aktual, hukum
sebagai suatu cara berlaku sesuai dengan kecendrungan dan keinginan anggota
komunitas, hukum sebagai sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti
yuridis yang benar, serta hukum yang berlaku harus memiliki kompetensi pada
orang-orang pembentuknya; dan H.L.A. Hart (1907-1992) yang menyatakan
bahwa hukum harus dilihat dari aspek eksternal maupun internalnya.
Terakhir, Aliran Freirechtslehre (ajaran hukum bebas). Aliran
Freirechtslehre merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum. Aliran
Hukum Bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum.
Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang,
tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk pristiwa konkret, sehingga

12
peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dpecahkan oleh norma yang diciptakan
oleh hakim.
Di indonesia saat ini berkembang aliran positivisme hukum. Selama hampir
setengah abad lebih undang-undang sebagai hukum negara menjadi hukum
utama yang diberlakukan dalam masyarakat. Hukum ini sebagaimana sifatnya
memiliki unsur pemaksa dari pembuat dan pelaksana undang-undang. Akan
tetapi dalam dasawarsa terakhir, setelah terjadinya reformasi oleh mahasiswa
yang menjatuhkan rezim orde baru, keberadaan hukum negara menjadi semakin
melemah terdesak oleh norma-norma adat dalam masyarakat yang muncul
kembali.
Indonesia adalah negara dengan kemajemukan budaya luar biasa. Sebelum
datangnya penjajah Belanda, Inggris, dan Jepang, sebelumnya telah berlaku
banyak hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kepulauan
Indonesia. Positivisme hukum terjadi setelah Belanda mengadopsi code-code
Napoleon, salah satunya Code Civil. Aturan-aturan yang selanjutnya dianut
Indonesia secara konkordasi ini dinilai beberapa pihak kurang cocok diterapkan
di Indonesia. Beberapa kalangan memandang bahwa bukan positivisme hukum,
melainkan aliran hukum sejarah yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Kini dengan semakin berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap
korelasi hukum dan kesejahteraan, pemerintah Indonesia mulai menata kembali
konsepsi hukum yang hendak diberlakukan sebagai hukum nasional. Salah
satunya dengan memberi pengakuan kembali terhadap keberadaan hukum dan
hak-hak adat yang ada di masyarakat Indonesia.

13
BAB III
PENUTUP

Filsafat Hukum adalah cabang dari filsafat yang mempelajari hukum yang
benar, atau dapat juga kita katakan Filsafat Hukum adalah merupakan
pembahasan secara filosofis tentang hukum, yang sering juga diistilahkan lain
dengan Jurisprudence, adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis,
yang objeknya dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang
disebut hakikat.
Terdapat tujuh macam aliran dalam filsafat hukum, meliputi; aliran hukum
alam; positivisme hukum; utilitaianisme; mazhab sejarah; sociological
jurisprudence; realisme hukum, dan; freirechtslehre.
Indonesia adalah negara yang menganut aliran positivisme hukum. Namun
dalam perkembangannya mengingat kemajemukan budaya di Indonesia, aliran
ini sedikit terpengaruhi oleh madzhab sejarah yang menempatkan norma-norma
adat sebagai hukum yang hidup dan berlaku di masyarakat Indonesia.

14

Anda mungkin juga menyukai