Anda di halaman 1dari 17

FILSAFAT HUKUM

Dosen Pengampu : Simon Wahyu Tampubolon

Disusun Oleh :

Ulul Azmi Dalimunthe (2102100078)

UNIVERSITAS LABUHAN BATU

2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat rahmat taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Filsafat Hukum. Sholawat serta salam tak lupa penulis
haturkan kepada Nabi utusan Allah Muhammad SAW yang menuntun umat
manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata
kuliah Filsafat. Dan adapun tujuan isi dari makalah ini adalah sebagai salah satu
bentuk informative yang representative dari hasil pencarian.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini, terutama kepada dosen mata kuliah
yang bersangkutan dan juga rekan-rekan sekalian. Penulis menyadari bahwa
makalah ini dalam berbagai hal masih terdapat kekuragan dalam penyajian baik isi
atau materi maupun teknis penulisannya.
Oleh karena itu, penulis sangat menghargai saran dan kritik dosen maupun
rekan-rekan semua, ataupun para pembaca lainnya yang dapat menjadi bahan
perbaikan dimasa yang akan datang. Akhirnya penulis berharap dapat bermanfaat
bagi pembacanya.

Rantauprapat, 06 Februari 2024

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk


menelusuri seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup
sehari-hari, juga untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek
hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak
bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan
disalahtafsirkan untuk mencapai kepentingan tertentu.Banyaknya kasus hukum
yang tidak terselesaikan karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum
dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan
tidak menemukan keadaan yang sebenarnya.
Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai
“subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat
hukum tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat,
sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu
berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan
dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah
sesuatu itu adil, benar, dan sah.
Hukum sebagai suatu yang berkenaan dengan manusia yaitu
hubungan antar manusia dengan manusia lainnya. Hukum berfungsi mengatur
hubungan pergaulan antar manusia. Dalam usahanya mengatur hukum
menyesuaikan dengan kepetingan masyarakat secara baik. Mempelajari
filsafat hukum berarti mempelajari hukum sampai pada dasar atau intinya.
Filsafat hukum tak lepas dari manusia sebagai subjek hukum maupun filsafat,
sebab manusia membutuhkan hukum dan hanya manusia yang mampu
berfilsafat. Hukum yang berlaku dimasyarakat merupakan hukum yang telah
diproses pengesahannya dalam penerapan hukum itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Filsafat Hukum?
2. Bagaimana perkembangan sejarah Filsafat Hukum?
3. Apa saja manfaat mempelajari filsafat hukum?
4. Apa saja aliran dalam filsafat hukum?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian filsafat hukum
2. Untuk memahami perkembangan sejarah filsafat hukum
3. Untuk mengetahui aliran dalam filsafat hukum
4. Untuk mengetahui manfaat mempelajari filsafat hukum
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Hukum

Untuk mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus


mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah
diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia,
terutama untuk mengatur perilaku manusia agar tidak terjadi kekacauan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari
cabang filsafat manusia yang disebut dengan etika atau filsafat tingkah laku.
Jadi, tepat dikatakan bahwa filsafat manusia berkedudukan sebagai genus,
etika sebagai species dan filsafat hukum sebagai subspecies.

Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari


hukum secara filosofis. Rasionya, filsafat hukum adalah hukum dan objek
tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang
disebut hakikat. Hakikat dari hukum dapat dijelaskan dengan jalan
memberikan definisi dari hukum. Definisi hukum sangat bervariasi
tergantung dari sudut pandang para ahli hukum melihatnya seperti yang
dikemukakan oleh beberapa sarjana dalam uraian di bawah ini.

Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, Filsafat hukum adalah cabang


filsafat yang membicarakan apa hakikat hukum itu, apa tujuannya, mengapa
dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping
menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat
hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum
dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.

J. van Kan mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-


ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-
kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat ini senada dengan pendapat
Rudolf von Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan
norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Sementara itu
Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang
harus berperilaku. Pendapat tersebut didukung oleh salah seorang ahli hukum
Indonesia Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan hukum adalah serangkaian
peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat,
sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan,
kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat. Definisi-definisi hukum tersebut
menunjukkan betapa luasnya hukum itu. Dengan mengetahui definisi hukum yang
luas tersebut kita dapat menguraikan definisi dari filsafat hukum.

Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf


Stammler yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan
ajaran tentang hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan
filsafat hukum merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari
hukum. Sedangkan D.H.M. Meuwissen berpendapat bahwa filsafat hukum
adalah pemikiran sistematis tentang masalah-masalah fundamental dan
perbatasan yang berhubungan dengan fenomena hukum, dan/atau hakekat
kenyataan hukum sebagai realisasi dari cita hukum.
Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh
Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
mendasar tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu?
Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah
hubungannya antara hukum dan keadilan? Dengan adanya pertanyaan-
pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan sendirinya orang melewati batas-
batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke lapangan filsafat hukum.
Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.
B. Sejarah Perkembangan Filsafat Hukum

Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena


waktu yang sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang
terdiri waktu pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku
juga pada saat membicarakan sejarah perkembangan filsafat hukum yang
diawali dengan zaman Yunani (Kuno).
1. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani Kuno
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal
dengan sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam
perkembangan sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh
penting yang hidup pada zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos,
Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para filsuf alam yang bernama
Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides
(540-475 SM) tetap meyakini adanya keharusan alam ini. Untuk itu
diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan
nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos (rasio). Anaximander
berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia.
Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan
dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah keadilan
(dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus
sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah
digabungkan dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah
terkonsentrasi ke dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa
rakyat yang berhak menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian
demokrasi, karena dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat
besar pengaruhnya dalam membentuk undang-undang. Dengan kata lain,
kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang
ada hanyalah kebenaran subjektif, karena manusialah yang menjadi ukuran
untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini.
Socrates berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus
ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia
tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap
hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia
meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam mempertahankan
pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran
objektif orang harus memiliki pengetahuan (theoria). Pendapat ini
dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga
tidak dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum
ditafsirkan menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato
menyarankan agar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan)
filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum
sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan
bayangan dari hukum dan negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato.
Aristoteles berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu
sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang realistis.
Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia
adalah mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu
ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan
hukum positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan
hukum positif muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang
berbeda. Menurut Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum
yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan
alam, sehingga hukum tidak pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan
sendirinya.
Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang seluruhnya
tergantung pada ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam menuntut
sumbangan warga negara bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya
sumbangan ditentukan oleh hukum positif, yakni undang-undang negara,
yang baru berlaku setelah ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang
berwibawa.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak
keemasan kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme
(berasal dari nama filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang
dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada bidang
etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme muncul konsep penting tentang
undang-undang (hukum posistif) yang mengakomodasi kepentingan individu
sebagai perjanjian antar individu, sehingga pemikiran dari penganut
Epikurisme merupakan embrio dari teori perjanjian masyarakat.
Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia
dalam hukum. Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur
(kosmos) yang bersumber dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang
menjiwai segalanya. Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara
manusia dengan logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena
itu, menurut Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos, bukan
menurut hukum positif. Sehingga ketaatan menurut hukum positif baru dapat
dilakukan sepanjang hukum positif sesuai dengan hukum alam.

2. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan


Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan
dimulai sejak runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5
SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama
Kristen di Eropa (masa scholastic),dan mulai berkembangnya agama
Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat suatu fase yang disebut
dengan Masa Gelap, terjadi pada saat Kekaisaran Romawi runtuh
dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga tidak ada satupun
peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini
dikenal sebagai masa gelap.
Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain
Augustinus (354-430) dan Thomas Aquino/Thomas Aquinas (1225-1275).
Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan
tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja
Augustinus mendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-ide
abadi dengan benda-benda duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus
bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang diketemukan dalam jiwa
manusia.
Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik
telah meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang
berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi
manusia (Lex Divina), hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex
Naturalis), dan hukum positif (Lex Positivis).

3. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern


Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang
mandiri, yang terlepas sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari
Tuhan. Tokoh-tokoh yang berperan sangat penting pada abad
pertengahan ini, antara lain: William Occam (1290-1350), Rene
Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-
1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Francis
Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius (1655-
1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau
(1712-1778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga
disebut Renaissance. Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-
ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman
Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi
kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat,
berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya
segala macam ilmu baru, dan sebagainya.
Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia
tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga
rasio manusia sama sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio
manusia ini dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan
ini jelas dikumandangkan oleh para penganut hukum alam yang
rasionalistis dan para penganut faham positivisme hukum.

4. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Sekarang


Yang dimaksud dengan zaman sekarang dimulai pada abad ke-19.
Filsafat hukum yang berkembang di zaman sekarang berbeda dengan
filsafat hukum yang berkembang pada zaman modern. Jika pada zaman
modern berkembang rsionalisme, maka pada zaman sekarang rasionalisme
yang berkembang dilengkapi dengan empirisme, seperti Hobbes. Namun,
aliran ini berkembang pesat pada abad ke-19, sehingga faktor sejarah juga
mendapat perhatian dari para pemikir hukum pada waktu itu, seperti Hegel
(177
Hegel merupakan tokoh utama dalam idealisme Jerman, ia
merupakan penerus rasionalisme yang dikembangkan oleh Immanuel
Kant. Menurut Hegel, rasio tidak hanya rasio individual melainkan juga
rasio Keilahian. Teorinya disebut Dialektika, yang popularitasnya
mengalahkah ahli pikir di zamannya, seperti J.F. Fichte (1762-1814) dan
F.W.J. Schelling (1775-1854).
Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase dalam perkembangan
dunia merupakan rentetan dari fase berikutnya, artinya setiap pengertian
mengandung lawan dari pengertian itu sendiri. Perkembangan dari yang
ada kepada yang tidak ada atau sebaliknya mengandung katagori yang
ketiga, yaitu akan menjadi. Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-
synthese, yang pada akhirnya dari setiap synthese merupakan titik tolak
dari tritunggal yang baru.Teori dialektika Hegel ini dapat digambarkan
dalam ikhtisar berikut ini:

Selain Hegel, masih ada beberapa ahli pikir lain, seperti Karl Marx
dan Engels yang menyatakan bahwa hukum dipandang sebagai pernyataan
hidup dalam masyarakat. Di samping Marx dan Engels, juga von Savigny
yang menyatakan bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh bersama-sama
dengan perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny ini telah
memasukkan faktor sejarah ke dalam pemikiran hukum yang selanjutnya
melahirkan pandangan relatif terhadap hukum. Sehingga pandangan dari
Savigny melahirkan Mazhab Sejarah.

C. Aliran Filsafat Hukum

1. Aliran Hukum Alam


Yaitu aliran yang konsepsinya bahwa hukum berlaku universal
dan abadi.
Tokohnya Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Grotius.
b. Plato
c. Aristoteles dalam teori dualisme bahwa manusia bagian dari alam
dan manusia adalah majikan dari alam
d. Thomas Aquinas
e. Grotius dengan kosepnya “mare liberium
Kelebihan aliran hukum alam : mengembangkan dan
membangkitkan kembali orang untuk berfilsafat hukum dalam
mencari keadilan, mengembangkan perlindungan terhadap HAM,
mengembangkan hukum internasional.
Kekurangan aliran hukum alam : anggapan bahwa hukum
berlaku universal dan abadi itu tidak ada karena hukum selalu
disesuaikan dengan kebutuhan manusia dan perkembangan zaman.
2. Aliran Positivisme Hukum
Yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum merupakan
perintah dari penguasa berdaulat (Jhon Austin) dan merupakan
kehendak dari pada Negara (Hans Kelsen).
3. Mahzab Sejarah (historical jurisprudence)
Yaitu aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum tidak
dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan
masyarakat. Tokoh : Carl von Savigny
Aliran Sociological Jurisprudence
Yaitu aliran hukum yag konsepnya bahwa huku yang dibuat
agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living
law baik tertulis maupun tidak tertulis. Tokoh : Eugen Ehrlich
Aliran Pragmatic Legal Realism
Yaitu aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum dapat
berperan sebagai alat pembaharuan masyarakat. Tokoh : Roscoe
Pound
5. Aliran Marxis Yurisprudence
Yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum harus
memberikan perlindungan terhadap golongan proletar atau golongan
ekonomi lemah. Tokoh : Lenin, Bernstein, Gramsci, Horkheimer,
Marcuse.
6. Aliran Anthropological Jurisprudence
Yaitu airan yang konsepnya bahwa hukum mencerminkan
nilai sosial budaya (Northrop), hukum mengandung system nilai (Mac
Dougall)
7. Aliran Utilitariannism
Yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum memberikan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi orang sebanyak-banyaknya
(the greatest happines for ter greatest number).
Tokoh : Jhon Lucke
8. Mahzab Unpad,
Yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum dapat berfungsi
sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Tokoh : Mochtar
Kusumaatmadja.
• Hukum tidak meliputi asas dan kaidah yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses
didalam mewujudkan kaedah itu dalam kenyataan.
• Hukum adalah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, termasuk lembaga dan proses
dalam mewujudkan berlakunya hukum.
9. Manfaat Mempelajari Filsafat Hukum
Bagi sebagian besar mahasiswa, pertanyaan yang sering dilontarkan adalah:
apakah manfaatnya mempelajari filsafat hukum itu? Apakah tidak cukup
mahasiswa dibekali dengan ilmu hukum saja?
Seperti telah disinggung di muka, filsafat (termasuk dalam ha lini filsafat
hukum) memiliki tiga sifat yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain.
Pertama, filsafat memiliki kar akteristik yang bersifat menyeluruh. Dengan cara
berpikir yang holistik tersebut, mahasiswa atau siapa saja yan g mempelajari
filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk
menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. itulah sebabnya dalam
filsafat hukum pun diajarkan berbagai aliran pemikiran tentang hukum. Dengan
demikian apa bila mahasiswa tersebut telah lulus sebagai sarjana hukum
umpamanya, diharapkan ia tidak akan bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin
ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dibandingkan dengan disiplin ilmu yang
lainnya.
Ciri yang lain, filsafat hukum juga memil iki sifat yang mendasar. Artinya
dalam menganalisis suatu masalah, kita diajak untuk berpikir kritis dan radikal.
Mereka yan g mempelajari filsafat hukum diajak untuk memahami hukum tidak
dalam arti hukum positif semata. Orang yang mempelajari hukum dalam arti
positif semata tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum
secara baik apa bila ia menjadi hakim, misalnya di khawatirkan ia akan menjadi
"corong undang-undang" belaka .
Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang
spekulatif. Sifat ini tidak boleh dia rtikan secara negatif sebagai sifat gambling.
Sebagaimana dinyatakan oleh Suriasumantri (1985) bahwa semua ilmu yang
berkernbang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak
mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari
sesuatu yang baru. Memang salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah
senang kepada hal-hal baru, Tentu saja tind akan spekulatif yang dirnaksud disini
adalah tindakan yang terarah, yan g dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Dengan berpikir spekulatif (dalam arti positif) itulah hukum dapat dikembangkan
ke arah yang dicita-citakan bersama.
Ciri lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat
hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum
secara ras ional dan kemudian mernpertanyakan jawaban itu secara terus menerus.
Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang
tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu .
Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana
dalam menghadapi suatu masalah.
Sebagai bagian dari filsafat tingkah laku, mata kuliah filsafat hukum juga
memuat materi tentang etika profesi hukum. Dengan mempelajari etika profesi
tersebut, diharapkan para calon sarjana hukum dapat menjadi pengemban amanat
luhur profesinya. Sejak dini mereka diajak untuk memahami nilai-nilai luhur
profesi tersebut dan mernupuk terus ideal isme mereka. Sekalipun disadari bahwa
dalam kenyataannya mungkin saja nilai-nilai itu telah ,mengalami penipisan-
penipisan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa
hakikat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang
harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-
masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal
kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah
keabsahan berbagai macam lembaga hukum.

Sejarah filsafat hukum adalah sebagai berikut :


1. Sejarah filsafat hukum pada zaman yunani kuno
2. Sejarah filsafat hukum pada abad pertengahan
3. Sejarah filsafat hukum pada masa modern
4. Sejarah filsafat hukum pada masa sekarang
Macam-macam aliran filsafat hukum :
1. Aliran hukum alam
2. Aliran potivisme hukum
3. Madzhab sejarah
4. Aliran Sociologikel jurisprudence
5. Aliran Pragmatic legal realisme
6. Aliran Marxis yurisprudence
7. Aliran anthropologicel yurisprudence
8. Aliran utilitariannism
9. Mazdhab unpad

Manfaat Mempelajari Filsafat hukum adalah Seperti yang


diungkapkan oleh Radhakrishnan dalam bukunya The History of
Philosophy, manfaat mempelajari filsafat (tentu saja termasuk mempelajari
filsafat hukum) bukan hanya sekedar mencerminkan semangat masa ketika
kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat
hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia
baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai
bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan.
Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam
ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya (Poerwartana, 1988).

Anda mungkin juga menyukai