Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH FILSAFAT

“KONSEP KEADILAN DALAM PANDANGAN


FILSAFAT ILMU HUKUM”

Disusun oleh :
Noval Nugraha
(121090046)

Program Studi Ilmu Administrasi


Publik

FISIP

1
Kata Pengantar
puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Selain itu, pembuatan
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga
penulis.

Saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. H. NURUDIN SIRAJ, Drs. MA,
M.Si selaku Pengampu Filsafat Ilmu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang yang saya tekuni.
Saya juga menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Cirebon, 5 April 2022

Penulis

Daftar Isi
KATA PENGANTAR …………………..
DAFTAR ISI ……………………………
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………..
1.2 Rumusan Masalah ………………….
1.3 Tujuan Penulisan …………………..

BAB II :PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Keadilan Dalam Perspektif Hukum
2.2 Pengertian Keadilan Menurut Para Ahli Filsafat
2.3 Hubungan Antara Keadilan , Hukum , dan Filsafat
2.4 Tujuan Dari Administrasi dan Manajemen

BAB III :PENUTUP


3.1 Kesimpulan …
3.2 Saran …
3.3 Daftar Pusaka …

2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Ukuran mengenai keadilan seringkali ditafsirkan berbeda-beda. Keadilan itu


sendiripun bermacam macam, dalam berbagai bidang , misalnya ekonomi, maupun
hukum. Berbicara mengenai keadilan hal ini senantiasa menjadi topik yang utama dan
menarik, karena selalu berhubungan dengan penyelesaian yang berhubungan dengan
penegak hukum. Banyaknya kasus hukum yang tidak dapat di selesaikan atau di
putuskan dengan adil karena di tarik dalam masalah politik. Kebenaran hukum dan
keadilan dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak
memberikan putusan adil karena tidak melalui prosedur yang benar, tindakan
pengadilan seringkali tidak bijak karena tidak memberi kepuasan pada masyarakat.
Sebagai contoh dapat diilustrasikan dalam penerapan beberapa putusan pengadilan
yang sering dianggap mematikan rasa keadilan masyarakat. Misalnya dalam putusan
bebas yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa
waktu lalu, terhadap terdakwa dalam kasus korupsi Bank Mandiri yang dituntut oleh
jaksa 20 penjara, mengundang berbagai pro dan kontra (Amin, 2017). Contoh lain
dalam kasus BLBI, kepastian hukum dan keadilan dalam kebijakan hukum yang di
ambil pemerintah telah menimbukan ketidakadilan bagi sebagian tersangka/terdakwa
serta masyarakat luas, bahkan tampak diskriminatif, dan kasus-kasus lainnya. Seperti
diketahui istilah keadilan senantiasa dipertentangkan dengan istilah ketidakadilan.
Dimana ada konsep keadilan maka di situ pun ada konsep ketidakadilan. Oleh karena
itu, filsafat hukum relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab
tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang
mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang
relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang beralku, bahkan merubah secara
radikal dengan tekanan hasrat manusia melalu paradigma hukum baru guna
memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Mengenai
fungsi Filsafat Hukum, Roscoe Pound (1972: 3) menyatakan, bahwa ahli filsafat
berupaya untuk memecahkan persoalan tentang gagasan untuk menciptakan suatu
hukum yang sempurna yang harus berdiri teguh selama-lamanya, kemudian
membuktikan kepada umat manusia bahwa hukum telah selesai ditetapkan,
kekuasaanya tidak dipersoalkan lagi. Filsafat ilmu hukum, ada yang menyebutnya
dengan istilah filsafat hukum, sesungguhnya merupakan sub dari cabang filsafat
manusia, yang disebut etika atau filsafat manusia. Oleh karena filsafat ilmu hukum
maupun filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis maka
objeknya adalah hukum. Mengenai pembedaan ilmu hukum maupun hukum, Curzon
menyebutnya bahwa ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang
berhubungan dengan hukum. Demikian luasnya masalah yang mencakup oleh ilmu ini,
sehingga sempat memancing pendapat orang untuk mengatakan, bahwa “batas-
batasnya tidak ditentukan” (Rahardjo, 2000)

3
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep keadilan ditinjau dari filsafat hukum?
2. Jelaskan apa itu keadilan menurut para ahli Filsafat Ilmu Hukum!
3. Jelaskan hubungan antara keadilan, hukum, dan Filsafat
4. Jelaskan aliran aliran apa saja yang ada pada filsafat ilmu hukum!

1.3 Tujuan Masalah

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep keadilan ditinjau
dari filsafat hukum.

1. Untuk mengetahui dan memahami konsep keadilan dalam pandangan filsafat ilmu
hukum
2. Untuk mengetahui dan memahami pengertian keadilan menurut para ahli filsafat
ilmu hukum
3. Untuk mengetahui hubungan antara keadilan, hukum, dan filsafat
4. Untuk mengetahui aliran/pandangan yang ada pada filsafat ilmu hukum

4
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum


Keadilan atau dalam bahasa Inggris, justice, merupakan bagian dari nilai (value)
bersifat abstrak sehingga memiliki banyak arti dan konotasi. Apabila dilihat dari
semenjak awal perkembangan peradaban manusia di dunia sampai saat ini, dari
seluruh perjalanan sejarah keadilan, khususnya bagi dunia barat, keadilan sering
berganti-ganti wajah secara periodik terbentuk berbagai rupa dari keadilan.

Persoalan keadilan sejalan dengan evolusi filsafat hukum. Evolusi filsafat hukum
sebagai bagian dari evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar persoalan
tertentu yang muncul secara berulang-ulang yaitu keadilan, kesejahteraan, dan
kebenaran. Di antara persoalan itu yang paling menonjol dalam kaitannya dengan
hukum adalah persoalan keadilan, karena hukum atau aturan perundang-undangan
harusnya adil, namun seringkali berkebalikan dan bahkan terabaikan. Hukum selalu
berketerkaitan dengan keadilan walaupun sering secara empiric kurang disadari
sepenuhnya sebagaimana dikatakan oleh Cicero “tidaklah mungkin mengingkari
karakter hukum sebagai hukum yang tidak adil, sebab hukum seharusnya adil”
katanya. Barangkali kita dapat mengatakan bahwa hukum tanpa keadilan ibarat
membuat gulai tanpa daging, hampa tak bermakna. Sebaliknya keadilan tanpa hukum
ibarat menyeberangi sungai tanpa jembatan, tertatih-tatih.

Keadilan merupakan persoalan fundamental dalam hukum. Kaum naturalis


mengatakan bahwa tujuan utama hukum adalah keadilan. Akan tetapi, di dalam
keadilan ada sifat relativisme, karena sifatnya yang abstrak, luas, dan kompleks maka
tujuan hukum seringkali ngambang. Oleh karena itu, selayaknya tujuan hukum
haruslah lebih realistis. Tujuan hukum yang agak realistic itu adalah kepastian hukum
dan kemanfaatan hukum.

Namun demikian sekalipun kaum positivisme lebih menekankan pada kepastian


hukum dan kaum fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, kitapun dapat
mengatakan bahwa summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux (hukum
yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya). Jadi walaupun
keadilan itu bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya tetapi tujuan hukum yang
paling substantif adalah keadilan.

Apa itu keadilan? Aristoteles, seorang pemikir Yunani mengatakan bahwa unicuique
suum tribuere (memberikan kepada setiap orang sesuatu yang menjadi haknya) dan
neminem laedere (janganlah merugikan orang lain) atau lengkapnya menurut Kant,
honeste vivere, neminem laeder, suum quique tribuere/tribuendi. Berdasarkan
pemikiran yang demikian, titik berat para pejuang keadilan berusaha untuk
memperjuangkan agar negara memberikan keadilan kepada yang berhak
memperolehnya. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka kita wajib
memberikan hak itu kepadanya.

Keadilan dapat menunjuk pada tiga hal, yaitu keadaan, tuntutan dan keutamaan.
Keadilan sebagai keadaan menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh apa
yang menjadi haknya dan diperlakukan sama secara adil pula. Keadilan sebagai

5
tuntutan menyatakan bahwa setiap orang berhak menuntut agar keadilan itu
diciptakan baik dengan mengambil tindakan yang diperlukan (bertindaklah bila perlu
dan wajar menurut rasa keadilan) maupun dengan menjauhkan diri dari tindakan yang
tidak adil (berbuatlah kebajikan dan jauhkanlah diri dari ketidakadilan). Keadilan
sebagai keutamaan adalah sebuah tekad untuk selalu berpikir, berkata, dan berperilaku
adil, itulah kejujuran yang substantif.

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai segala sesuatu hal,
baik menyangkut benda atau orang. Keadilan intinya adalah meletakkan segala
sesuatunya pada tempatnya.

Keadilan yang substantive adalah keadilan yang dapat dinikmati oleh setiap warga
negara. Dalam perwujudannya terdapat keseimbangan, keselarasan dan keserasian
antara keadilan yang diberikan secara individual dengan keadilan secara kolektif atau
keadilan social.

2.2 Pengertian Keadlian Menurut Para Ahli Filsafat

1). Menurut Plato

Socrates, filosof Yunani yang genius ini tidak secara khusus berbicara tentang
keadilan. Pandangannya tentang keadilan ditemukan dalam pandangan-pandangan
Plato. Menurut pandangan Plato, keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan
perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu.
Dalam bukunya The Laws, Plato tidak hanya membentangkan pikirannya tentang
hukum secara khusus, tetapi juga tentang keadilan, sedangkan hukum secara khusus
ditemukan dalam bukunya yang lain, The Republic.

Keadilan dan hukum memiliki ikatan yang sangat kuat. Keadilan diperoleh melalui
penegakan hukum. Hukum menurut Plato adalah hukum positif yang dibuat oleh si
pembuat undang-undang yang maha tahu yaitu negara. Baginya negara adalah satu-
satunya sumber hukum. Dengan mengatakan bahwa keadilan hanya ada di dalam
hukum yang dibuat oleh negara, maka ia diklasifikasinya sebagai penganut monisme
hukum dan memang dari Plato lah monisme hukum itu lahir. Monisme berasal dari
kata ‘mono’ yang berarti tunggal atau satu-satunya. Dengan demikian, filsafat hukum
Plato mengingatkan kita pada filsafat negara totaliter modern yang menempatkan
segala aspek kehidupan perorangan di bawah pengawasan hukum dan administrasi
negara. Menurut Plato, hukum adalah suatu aliran emas, penjelmaan dari ‘the right
reasoning’ (cara berpikir benar). Akan tetapi isi dan sumber pikiran-pikiran itu oleh
Plato tidak diberi penjelasan. Dalam kaitannya dengan itu, Plato membuat criteria
keadilan adalah ‘kebaikan’ dalam arti harmoni dan pertimbangan dari dalam, yang
tidak dapat diketahui atau diterangkan dengan argumentasi ‘rasional’.
Plato memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme
sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat
alamiahnya.

6
2). Menurut Aristoteles

Aristoles adalah seorang filosof yang pertama kali merumuskan arti keadilan. Beliau
mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang
menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus. Dalam pengertian ini Aristoteles membagi
dua jenis keadilan yaitu justitia correctiva (keadilan korektif) dan justitia distributiva
(keadilan distributif/membagi). Justitia correctiva (keadilan korektif) mirip dengan
justitia commutative menurut Thomas Aquinas atau disebut juga keadilan refitikator
yaitu keadilan yang di dasarkan atas transaksi (sunallagamata) baik dilakukan secara
sukarela maupun dengan paksaan. Keadilan ini pada umumnya terjadi dalam lapangan
hukum privat seperti jual-beli, tukar-menukar, atau sewa-menyewa. Keadilan
distributiva (justitia distributiva) adalah keadilan yang membagi yang membutukan
distribusi atas penghargaan. Keadilan ini berkenaan dengan hukum public. Aktualisasi
keadilan ini berkaitan dengan kesediaan seseorang berperilaku adil atau tidak adil,
tetapi juga berkenaan dengan kebijakan public, yaitu struktur proses-proses politik,
ekonomi, social dan budaya dalam masyarakat dan negara pada umumnya. Misalnya,
apakah upah buruh ditetapkan secara wajar-tidak wajar atau patut-tidak patut tidak
hanya ditentukan pada rasa keadilan sang majikan,melainkan oleh kondisi social,
politik dan ekonomi pada umumnya.

Keadilan corrective (justitia correctiva) adalah keadilan yang memberikan kepada


setiap orang sama banyaknya. Jadi, disini berlaku prinsip kesamaan tanpa
memperhatikan jasa-jasa atau amal baktinya. Ia memegang peran dalam hubungan
hukum transaksi tukar-menukar barang atau jasa, dalam mana sebanyak mungkin
harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Corrective justice lebih
menguasai hubungan hukum antar individu. Pengertian ini mirip dengan pengertian
keadilan komutatif atau justitia commutativa menurut Thomas Aquinas.

Keadaan yang adil menurut Aristoteles adalah suatu keadaan dimana ada
keseimbangan atau titik tengah antara dua ekstrim dalam berbagai keadaan, karena
baginya dari dunia moral hanya berada di dua kemungkinan: kemaksiatan dan
kebajikan. Pandangan ini mirip dengan pandangan Plato. Menurut Plato, harmoni
adalah suatu keadaan keseimbangan roh dari dalam yang tidak dapat dianalisa dengan
akal. Ajaran Aristoteles ini sebagaimana dalam tulisannya tentang Eticha
Nicomacheia, sering dikenal dengan sebutan “ajaran Mesotes”. Jika kita perhatikan
bahwa dalam ajaran Aristoteles ini seolah-olah menyamakan hukum dan moral.
Ajaran ini yang selalu dikritik oleh Hans Kelsen yang menyebutkan Aristoteles
sebagai filosof moral. Hal ini dapat dipahami karena Hans Kelsen mengatakan bahwa
hukum dan moral adalah dua hal yang berbeda, hukum harus dipisahkan dari moral,
hukum harus murni dan objektif.

Yang sangat penting bagi sudut pandangnya ialah pendapat bahwa keadilan mesti
dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat perbedaan
penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik
mempersamakan tiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita
pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika mengatakan bahwa semua
warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa
yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya dan sebagainya.
Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan
seputar keadilan

7
3). Menurut Thomas Aquinas
Thomas van Aquinas (1274) dalam bukunya yang berjudul Summa Theologica
menancapkan ajarannya selama bertahun-tahun selama kekuasaan gereja katolik. Inti
ajarannya berkenaan dengan hukum alam. Dalam ajarannya itu Thomas Aquinas
(Aquino) dengan berpegang pada ajaran Agustinus sebelumnya yang scholastik
(filsafat gereja Katholik), menetapkan tentang hubungan antara nilai agama dan
doktrin keilmuan. Pandangannya yang paling utama mengatakan bahwa “kebenaran
hanya ada dalam gereja”. Berdasarkan pandangannya itulah, semua ilmu wajib selaras
dengan ajaran gereja (Khatolik). Setiap ajaran yang bertentangan dengan ajaran gereja
Khatolik itulah hendaknya dianulir.

Thomas Aquinas, filsuf hukum alam, membagi keadilan atas dua macam yaitu
keadilan umum (justitia generalis/universalis) dan keadilan khusus (justitia spesicalis).
Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang wajib
dikerjakan atau wajib tidak dikerjakan/wajib dihindari demi kepentingan umum.
Dalam pembagian Thomas Aquinas keadilan ini disebut justitia legalis yaitu keadilan
berdasarkan hukum. Keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau
proporsionalitas. Keadilan khusus (justitia spesicalis) ini dibagi lagi atas tiga yaitu:
keadilan yang membagi (justitia distributiva), keadilan karena kebersamaan (justitia
commutativa) dan keadilan yang memberi (justitia vindicativa).

4). Menurut Hans Kelsen


Hans Kelsen merupakan salah satu figur utama dalam ajaran yang murni tentang
hukum (Reine Rechtslehre) yang menegaskan bahwa pengertian hukum harus
dibedakan dengan pengertian keadilan. Menurutnya keadilan adalah persoalan filsafat
bukan persoalan hukum. Keadilan tidak memberi jawaban tentang kekuatan
berlakunya hukum. Jawaban bagi kekuatan berlakunya hukum sehingga kaidah-
kaidahnya wajib dilaksanakan dan ditaati, sangat tergantung pada hubungan yang
ditetapkan antara hukum dan keadilan. Hubungan itu pada dasarnya, dengan
meminjam pandangan Gustav Radbruch bahwa “hukum bisa saja tidak adi tetapi
hukum hanyalah hukum karena maunya adil.” Meskipun demikian, hubungan antara
hukum dan keadilan seperti yang dirumuskan Radbruch itu belum menjelaskan
banyak persoalan tentang hakekat keadilan, dengan begitu, juga timbul persoalan
kapankah hukum itu kondusif digunakan untuk menegakkan keadilan. Akan tetapi
pandangan Kelsen itu perlu juga dibandingkan dengan pandangan Radbruch itu. Jika
keadilan diletakkan di luar hukum, maka orang dapat mencari keadilan tanpa harus
melalui hukum.
Melalui analisisnya yang rinci terhadap posisi ajaran hukum alam di satu pihak dan
ajaran positivisme di pihak lain, Hans Kelsen tiba pada konsekuensi berikut: norma
keadilan yang metafisik pada dasarnya lahir dari ajaran hukum alam yang idealistis.
Karena seperti yang sudah terjadi dengan idealisme Plato, idealisme dalam ajaran
hukum alam juga menyiratkan dualisme dalam norma keadilan. Yang satu adalah
norma keadilan yang sumbernya bersifat transcedental dan yang lain lagi adalah
keadilan yang bersumber pada akal budi manusia yang prudential (arif). Itulah
sebabnya mengapa ajaran hukum alam sebaliknya bersifat monistik, karena ajaran itu
hanya mengakui satu macam keadilan, yaitu keadilan yang lahir dari hukum positif
yang diterapkan oleh manusia.

8
Hans Kelsen kemudian mengambil sikap dengan mengembangkan pandangan yang
kemudian dikenal sebagai ajaran hukum murni. Dengan tegas ditulisnya bahwa ajaran
hukum murni yang dikembangkannya ini bersifat monistik, dan karenanya hanya
mengakui satu macam hukum, yaitu hukum positif. Meskipun demikian, ajaran
hukum murni mengakui peranan dari norma dasar (grundnorm) yang merupakan
produk dari proses yang transcendental-logis, dan dengan demikian Kelsen
mempertahankan metode yang digunakan dalam ajaran hukum alam. Norma dasar itu
bukanlah suatu jenis hukum yang lain dari hukum positif, melainkan dasar moral dari
hukum positif itu sendiri, grundnorm. Kelsen walaupun ia seorang Platonis, namu ia
pun mengkritisi pandangan Plato sebagaimana dilihat di atas, sehingga Kelsen
memiliki pandangannya sendiri dengan seorang idealis Platonis yang kritis.

5). Menurut John Rawls


Tentang keadilan, John Rawls berpendapat bahwa perlu ada keseimbangan,
kesebandingan, dan keselarasan (harmony) antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan bersama atau kepentingan masyarakat, termasuk di dalamnya negara.
Bagaimana ukuran dan keseimbangan itu dibentuk, diperjuangkan dan diberikan
itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan tidak dapat diberikan begitu saja,
melainkan melalui perjuangan. Itulah inti dari kehidupan ini. Keadilan merupakan
nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan
kestabilan dan ketenteraman dalam hidup manusia.

Agar tidak terjadi benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama
atau kepentingan masyarakat itu diperlukan aturan-aturan yang dibangun secara adil
pula. Disinilah hukum bertindak sebagai wasit, bukan hanya sebagai wasit yang mati
hati nuraninya, melainkan wasit yang di adil. Pada masyarakat modern, hukum baru
akan dapat ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.

Hukum menurut John Rawls, dalam konteks yang sedang dibahas, tidak boleh
dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain
sebagaimana diajarkan oleh kaum utilitarianisme. Hal itu tidaklah cukup. Hukum
haruslah menjadi hakim yang tidak netral, melainkan selalu berpihak yaitu
keberpihakan pada kebenaran dan keadilan. Menurut Rawls hukum haruslah menjadi
penuntun agar orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan
kepentingan individunya. Jika memang sangat diperlukan, hukum dapat pula menjadi
hakim yang memihak, yaitu memihak kepada mereka yang sedang tidak memperoleh
keadilan, kaum terpinggirkan. Jadi, hukum harus mampu dan berani melakukan
pilihan dan keberpihakan, yaitu berpihak pada orang yang memang berhak
diperlakukan dan memperoleh keadilan. Yang perlu ditekankan adalah bahwa John
Rawls mengatakan bahwa hukum adalah wasit, bukanlah pemain. Sebagai wasit ia
harus memihak pada kebenaran, itulah keadilan.

2.3 Hubungan Antara Filsafat , Hukum , dan Keadilan


Korelasi antara filsafat, hukum dan keadilan sangat erat, karena terjadi tali temali
antara kearifan, norma dan keseimbangan hak dan kewajiban. Hukum tidak dapat
dipisahkan dengan masyarakat dan negara, materi hukum digali, dibuat dari nilai-nilai

9
yang terkandung dalam bumi pertiwi yang berupa kesadaran dan cita hukum
(rechtidee), cita moral, kemerdekaan individu dan bangsa perikemanusiaan,
perdamaian, cita politik dan tujuan negara. Hukum mencerminkan nilai hidup yang
ada dalam masyarakat yang mempunyai kekuatan berlaku secara yuridis, sosiologis
dan filosofis. Hukum yang hidup pada masyarakat bersumber pada Hukum Positif,
yaitu:
1. Undang-undang (Constitutional)
2. Hukum kebiasaan (Costumary of law)
3. Perjanjian Internasional (International treaty)
4. Keputusan hakim (Jurisprudence)
5. Doktrin (Doctrine)
6. Perjanjian (Treaty)
7. Kesadaran hukum (Consciousness of law) (Sudikno M, 1988: 28).

Dari pernyataan diatas, harus di akui bahwa hukum tanpa keadilan akan terjadi
kesewenang- wenangan. Sebenarnya keadilan dan kebenaran merupakan nilai
kebajikan yang paling utama, sehingga nilai-nilai ini tidak bisa di tukar dengan nilai
apapun. hubungan antara filsafat, hukum dan keadilan, dengan filsafat sebagai induk
ilmu (mother of science), adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan
secara rational dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan
dalam hidupnya. Peranan filsafat tak pernah selesai, tidak pernah berakhir karena
filsafat tidak menyelidiki satu segi tetapi tidak terbatas objeknya, namun filsafat tetap
setia kepada metodenya sendiri dengan menyatakan semua di dunia ini tidak ada yang
abadi yang tetap hanya perubahan, jadi benar filsafat ilmu tanpa batas. Filsafat
memiliki objek, metode, dan sistematika yang bersifat universal.

2.4 Aliran dan Pandangan Filsafat Hukum

Kaedah hukum merupakan ketentuan, pedoman, perumusan, pendapat berisi


kenyataan normatif bersifat memerintah, mengharuskan untuk ditaati agar tidak
terjadi pelanggaran sehingga manusia terbebaskan
dan sanksi. Hal ini yang mendasari munculnya aliran-aliran dan pandangan filsafat
hukum misalnya:
A). Aliran Hukum Alam:
Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut Friedman,
aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan yang absolut,
sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku secara universal dan
abadi

Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran,
hakikat mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar
bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih
tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Aliran hukum alam ini dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu:

1) Irrasional:
Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber
dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas
(Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wyclife.

10
Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu:

a) Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan
merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia.
b) Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan
waktu yang diterimanya.
c) Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan
penjelmaan dari rasio manusia.
d) Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam oleh
manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia.
Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.

Penulis lain, William Occam dari Inggris mengemukakn adanya hirarkis hukum,
dengan penjelasan sebagai berikut:
a) Hukum Universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang
bersumber dari rasio alam.
b) Apa yang disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat berasal dari alam.
c) Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat diubah oleh
penguasa.

Occam juga berpendapat bahwa hukum identik dengan kehendak mutlak Tuhan
Sementara itu Fransisco Suarez dari Spanyol berpendapat demikian, manusia yang
bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh suatu peraturan umum yang harus
memuat unsusr-unsur kemauan dan akal. Tuhan adalah pencipta hukum alam yang
berlaku di semua tempat dan waktu. Berdasarkan akalnya manusia dapat menerima
hukum alam tersebut, sehingga manusia dapat membedakan antara yang adil dan tidak
adil, buruk atau jahat dan baik atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima oleh
manusia adalah sebagian saja, sedang selebihnya adalah hasil dari akal (rasio)
manusia.

2). Rasional:
Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal dan
abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah zaman Renaissance (pada
saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan)
yang berpendapat bahwa hukum alam muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang apa
yang baik dan buruk penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-
tokohnya, antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant,
dan Samuel Pufendorf.

Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), ia menekankan
adanya peranan rasio manusia dalam garis depan, sehingga rasio manusia sama sekali
terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah sebagai satu-satunya sumber
hukum.

Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari Kant
dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant dimuat dalam
tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der reinen Vernunft

11
yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis (kritik der praktischen
Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya Adirasa (kritik der Urteilskraft
yang terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut ada korelasinya
dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition,
and feeling).

Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia (homo
noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir yang bersifat teoritis
keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze), tetapi pada kebebasan jiwa
susila manusia yang mampu secara mandiri menciptakan hukum kesusilaan bagi
dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang penting bukan manusia ideal berilmu atau
ilmuwan, tetapi justru pada manusia ideala berkepribadian humanistis.

B). Aliran Hukum Positif


Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang
disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar undang-undang,
dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.

1) Analitis
Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari tempat asal
kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang agak lain, yang
dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu Analytical
Jurisprudence. Austin membagi hukum atas 2 hal, yaitu:

a) Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.


b) Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:

- hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif yang
terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang, peraturan
pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun rakyat secara individuil
yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-haknya, contoh hak wali terhadap
perwaliannya.
- Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam organisasi atau
perkumpulan-perkumpulan.

Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya
terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang
tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum.

2) Murni
Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena pandangan-
pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen seorang Neo
Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan Rudolf
Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam. Stanmmler masih
menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam walaupun ajaran hukum
alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans Kelsen secara tegas mengatakan
tidak menganut berlakunya suatu hukum alam, walaupun Kelsen mengemukakan

12
adanya asas-asas hukum umum sebagaimana tercermin dalam
Grundnorm/Ursprungnormnya.

Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran Wina).
Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran hukum murni.
Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau tidak boleh
dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu (hukum) adalah
susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme hukum ditolak sama sekali,
karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah. Adapun pokok-pokok ajaran
Kelsen adalah sebagai berikut:

a) Tujuan teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain adalah
meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan keserbanekaragaman
menjadi sesuatu yang serasi.
b) Teori filsaft hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki, masalah
cipta, bukan karsa dan rasa.
c) Hukum adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap) yang
dikuasai oleh hukum kausalitas.
d) Teori/filsafat hukum adalah teori yang tidak bersangkut paut dengan kegunaaan
atau efektivitas norma-norma hukum.
e) Teori hukum adalah formal, teori tentang ara atau jalannya mengatur perubahan-
perubahan dalam hukum secara khusus.
f) Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif tertentu
adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum yang senyatanya.

Fungsi teori hukum ilah menjelaskan hubungan antara norma-norma dasar dan norma-
norma lebih rendah dari hukum, tetapi tidak menentukan apakah norma dasar itu baik
atau tidak. Yang disebut belakangan adalah tugas ilmum politik, etiika atau agama.

C). Aliran Utilitarianisme


Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-
1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Bentham berpendapat bahwa alam
memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak
kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagiaan dan
kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan
mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Keberadaan
hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu
dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang
diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka akan terjadi homo homini
lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain). Oleh karena itu, ajaran
Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.

D). Aliran Sociological Jurisprudence


Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo,
Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika, pada intinya
aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[1] Kata “sesuai” diartikan sebagai
hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.

13
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan rasio
demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum
sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu mazhab
dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan
masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang
mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala
yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki
juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dari 2 (dua)
hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan
cara pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari
hukum kepada masyarakat, sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari
masyarakat kepada hukum.

Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool
of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan
keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia
dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan
tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang
bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang
dilakukan oleh penguasa negara.

Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan aliran


Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan primat
“pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung und
Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan
kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public interest).

Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari these
positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua liran tersebut
ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal agar dapat
hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-
pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman.
Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman . Tidak ada
sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah
pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan
wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-
undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan
masyarakat itu.

E). Aliran Pragmatic Legal Realism


Salah seorang sarjana bernama Friedman membahas aliran ini dalam kaitannya
sebagai salah satu subaliran dari positivisme hukum. Sebab, pangkal pikir dari aliran
ini bersumber pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum. Pendasar
mazhab/aliran ini ialah John Chipman, Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Llewellyn,
Jerome Frank, William James dan sebagainya. Friedman juga berpendapat bahwa
Roscoe Pound juga dapat digolongkan ke dalam Pragmatic Legal Realism di samping
masuk ke dalam Sociological Jurisprudence. Hal ini disebabkan oleh pendapat atau

14
pandangan Roscoe Pound yang mengatakan bahwa hukum itu adalah a tool of social
engineering. Sementara itu, Llewellyn berpendapat bahwa Pragmatic Legal Realism
bukan aliran tapi suatu gerakan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara
berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
2) Realisme adalah suatu konsep mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai
alat untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai
tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami
perubahan daripada hukum.
3) Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan sein
untuk keperluan suatu penyelidikan agar penyelidikan itu mempunyai tujuan, maka
hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan observasi terhadap nilai-nilai itu
haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipenuhi oleh kehendak observer maupun
tujuan-tujuan kesusilaan.
4) Realisme telah mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh karena
realisme bermaksud melukiskan apa yang sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan
orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-definisi dalam peraturan-peraturan
yang merupakan ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oelh pengadilan-
pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-
penggolongan perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya
daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
5) Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah
diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya.

15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Kesimpulan
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai segala sesuatu hal,
baik menyangkut benda atau orang. Keadilan intinya adalah meletakkan segala
sesuatunya pada tempatnya.

Keadilan yang substantif adalah keadilan yang dapat dinikmati oleh setiap warga
negara. Dalam perwujudannya terdapat keseimbangan, keselarasan dan keserasian
antara keadilan yang diberikan secara individual dengan keadilan secara kolektif atau
keadilan sosial.

Para filsuf dan pakar memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam mengartikan
tentang konsep keadilan.

3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penyusun antara lain: praktisi hukum terutama hakim
sebaiknya mempelajari konsep keadilan secara filosofis agar dapat menjalankan tugas
dan pekerjaannya dengan lebih baik dan benar.

3.3 REFERENSI PUSTAKA

Friedrich, C. J. 2010. Filsafat Hukum: Perspektif Historis. Bandung: Penerbit Nusa


Media.
Juni, E. H. 2012. Filsafat Hukum.
Bandung: CV Pustaka Setia.
Rato, D. 2011. Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum.
Surabaya: LaksBang Justitia.
Keadilan. http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan. [4 November 2014]

[1] Efran Helmi Juni. 2012. Filsafat Hukum. Halaman: 397.


[2] Dominikus Rato. 2011. Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan, dan Memahami
Hukum. Halaman: 54-58.
[3] Keadilan. http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan. Diakses pada 4 Desember 2014.
[4] Dominikus Rato. Op. Cit. Halaman: 98.
[5] Dominikus Rato. Op. Cit. Halaman: 58-59.
[6] Efran Helmi Juni. Op. Cit. Halaman: 398.
[7] Dominicus Rato. Op. Cit. Halaman: 59, 60-61.
[8] Carl Joachim Friedrich. 2010. Filsafat Hukum: Perspektif Historis. Halaman: 24.
[9] Dominicus Rato. Op. Cit. Halaman: 62-63.
[10] Dominicus Rato. Op. Cit. Halaman: 64, 70-71.
[11] Dominicus Rato. Op. Cit. Halaman: 71-72

16

Anda mungkin juga menyukai