Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“KEADILAN DAN HUKUM YANG BENAR DAN


ADIL DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM”

DISUSUN OLEH :

NAMA : RESSY SETIAWAN

NIM : 22020200022

JURUSAN : MAGISTER ILMU HUKUMMATA

KULIAH : FILSAFAT HUKUM

DOSEN : DR. BABANG SUDIARTO,S.H.,MH.

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, berkat
rahmat dan hidayah-Nya serta petunjuk-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah dengan judul ““Keadilan Dan Hukum Yang Benar Dan

Adil Dalam Perspektif Filsafat Hukum” Shalawat beriringkan salam kita hadiahkan
kepada junjungan alam baginda rasul Muhammad SAW, sebagai suri tauladan umat manusia di
dunia.

Dalam proses penyelesaian makalah Mata Pelajaran Filsafat Hukum ini, penulis
banyak menghadapi rintangan dan hambatan. Namun, Alhamdulillah berkat bimbingan
dari dosen yang telah memberikan tugas dalam pembuatan makalah ini dapat diatasi
dengan baik, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih atas dan arahan yang telah
diberikan.
Saya mengucapakan banyak terimaksih kepada pihak-pihak yang telah banyak
memberikan bantuan, dorongan dan juga doa sehingga makalah ini dapat diselesaikan
dengan baik. sebagai salah satu ucapan terimakasih penulis yang sedalam-dalamnya,
semoga selalu diberikan Allah kesehatan. Amiin
Dalam penyusunan dan penulisan Makalah ini hingga selesai penulis banyak
mendapat bimbingan, arahan, bantuan serta doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah banyak membantu dalam penulisan makalah ini.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi pihak-pihak yang
membutuhkan. Semoga Allah membalas semua kebaikan.

Muara Enim, Desember 2022


Penulis

RESSY SETIAWAN
DA F TA R I S I

KAPER JUDUL………………………………………………………………………….. i
KATAPENGANTAR…………………………………………………………………… ... ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belaka ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah dan Tujuan ............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Hukum………………………………………. ………… 4
B. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)…………………..... 5
C. Manfaat Filsafat Hukum……………………………………………………. 9
D. Arti Keadilan ………………………………………………………………… 9
E. Hukum Yang Adil Dan Benar……………………………………………… . 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………....... 14
B. Saran………………………………………………………………………… 14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri

seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga

untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia

memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna karena

ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan untuk

mencapai kepentingan tertentu.

Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai

“subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum

tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab

manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu berfilsafat.

Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan kebenaran

sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil,

benar, dan sah.

Kondisi geografi yang tenang, keadaan sosial-ekonomi dan politik yang

damai memungkinkan orang berpikir bijak, memunculkan filsuf yang memikirkan

bagaimana keadilan itu sebenarnya, akan kemana hukum diberlakukan bagi

seluruh anggota masyarakat, bagaimana ukuran objektif hukum berlaku secara

universal yang berlaku untuk mendapatkan penilaian yang tepat dan pasti.

Perkembangan filsafat hukum di Romawi tidak sepesat di Yunani, karena filosof

tidak hanya memikirkan bagaimana ketertiban harus berlaku tetapi juga karena

1
2

wilayah Romawi sangat luas serta persoalan yang dihadapi cukup rumit (Theo

Huijbers, 1982: 31). Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum

(rechtidee) dalam negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan

(machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia,

penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur:

1. Kepastian hukum (rechtssicherkeit)

2. Kemanfaat hukum (zeweckmassigkeit)

3. Keadilan hukum (gerechtigkeit)

4. Jaminan hukum (doelmatigkeit)


Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang
tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hukum
dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara.
Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan
baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi
penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis, artinya
menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum
dan keadilan hukum.
Filsafat ilmu hukum, ada yang menyebutnya dengan istilah filsafat hukum,
sesungguhnya merupakan sub dari cabang filsafat manusia, yang disebut etika
atau filsafat manusia. Oleh karena filsafat ilmu hukum maupun filsafat hukum
adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis maka objeknya adalah
hukum. Mengenai pembedaan ilmu hukum maupun hukum, Curzon menyebutnya
bahwa ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan
dengan hukum. Demikian luasnya masalah yang mencakup oleh ilmu ini,
sehingga sempat memancing pendapat orang untuk mengatakan, bahwa
“batasbatasnya tidak ditentukan”.1 Melalui filsafat hukum mempersoalkan
pertanyaan.pertanyaan yang mendasar tentang hukum. Persoalan tersebut
berkaitan dengan kedudukan, hakikat, fungsi serta tujuan hukum dan lain-lain.
Tujuan hukum berupa kepastian, keadilan, kemanfaatan dan lain-lain, merupakan
3

kajian dari filsafat hukum. Dengan pendekatan secara filsafat, keadilan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari tujuan hukum, disamping kepastian dan
kemanfaatan. Pengetahuan tentang keadilan terdapat beberapa perumusan dalam
memberikan definisi keadilan, namun tidak mudah untuk pemahaman makna
keadilan yang diberikan oleh para pakar. Keadilan merupakan salah satu tujuan
hukum yang menjadi tuntutan kesamaan hak dalam pemenuhan kewajiban. 1 Hal
tersebut dalam rangka menjaga kelestarian dan kebahagian kehidupan umat
manusia.
Keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yang
hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam
hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.
Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung
dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. 2 Keadilan
dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan berevolusi mengikuti
ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa henti dan akan terus
berlanjut sampai sekarang tanpa henti dan akan terus berlanjut makhluk ciptaan
Tuhan yang terdiri atas roh dan jasad memiliki daya rasa dan daya pikir yang dua-
duanya merupakan daya rohani, dimana rasa dapat berfungsi untuk
mengendalikan keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai moral
seperti kebaikan dan keburukan, karena yang dapat menentukan baik dan buruk
adalah rasa.

1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,


2000), hal. 3.
2 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung Pusat Penebitan
Universitas LPPM UNISBA, 1995), hal. 73.
4

B. RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang dapat diuraikan berdasarkan latar belakang diatas
adalah mengenai Bagaimana keadilan dan hukum yang benar dan adil dalam
perspektif filsafat hukum. Filsafat hukum yang muncul dalam kehidupan tata
Negara yang berkaitan dengan Hukum dan Kekuasaan bahwa hukum bersifat
imperatif, agar hukum ditaati, tapi kenyataannya hukum dalam kehidupan
masyarakat tidak ditaati karena ketidakadilan.
C. TUJUAN
Adapun Tujuan dari Pembuatan makalah ini Untuk mengetahui keadilan
dan hukum yang benar dan adil dalam perspektif filsafat hukum Filsafat hukum
yang muncul dalam kehidupan tata Negara yang berkaitan dengan Hukum dan
Kekuasaan bahwa hukum bersifat imperatif, agar hukum ditaati, tapi
kenyataannya hukum dalam kehidupan masyarakat tidak ditaati karena
ketidakadilan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM


Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler
yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang
hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum
merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische
bebezinning over het wezen van he recht).
Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh
Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar
tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat
keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan
keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan
sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke
lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.

B. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)


Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan
sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan
sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada
zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato,
dan Aristoteles.[1] Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM),
Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya
keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya
dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa
tetapi logos (rasio).[2] Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan
hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup

5
6

bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi,
maka timbullah keadilan (dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus
sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan
dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat
bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu
keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke
dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak
menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena
dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam
membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat
bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif,
karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates
berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas
dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan
terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari
kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara
itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa
untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki
pengetahuan (theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak
dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan
menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan
agar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya.
Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai
kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan
dari hukum dan negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles
berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran
7

Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles,


manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang
bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum
yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan
hukum positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum
positif muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut
Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan
di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak
pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak
keemasan kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal
dari nama filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan
oleh Zeno). Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun
demikian, dari Epikurisme muncul konsep penting tentang undang-undang
(hukum posistif) yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian
antar individu, sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio
dari teori perjanjian masyarakat.
Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia
dalam hukum. Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang
teratur (kosmos) yang bersumber dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang
menjiwai segalanya. Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara manusia
dengan logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut
Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut hukum
positif. Sehingga ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang
hukum positif sesuai dengan hukum alam.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan
Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai
sejak runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa
gelap/the dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa
8

(masa scholastic),[3] dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada


zaman pertengahan terdapat suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi
pada saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania,
sehingga tidak ada satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa,
sehingga masa ini dikenal sebagai masa gelap.
Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain
Augustinus (354-430) dan Thomas Aquino/Thomas Aquinas (1225-1275). Dalam
perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari
pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat pengaruh
dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi.
Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang
diketemukan dalam jiwa manusia.
Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah
meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu
Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina),
hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum
positif (Lex Positivis).[4] Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang
dilakukan oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran
filsafat hukum pada bagian lain dari tulisan ini.

Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern


Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai
lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak perubahan
yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang sangat
pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya
segala macam ilmu baru, dan sebagainya.
Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi
dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama
sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai
satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para
penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme
hukum.
9
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Sekarang
Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase dalam perkembangan dunia
merupakan rentetan dari fase berikutnya, artinya setiap pengertian mengandung
lawan dari pengertian itu sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak
ada atau sebaliknya mengandung katagori yang ketiga, yaitu akan menjadi.
Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-synthese, yang pada akhirnya dari
setiap synthese merupakan titik tolak dari tritunggal yang baru.[5]
Selain Hegel, masih ada beberapa ahli pikir lain, seperti Karl Marx dan
Engels yang menyatakan bahwa hukum dipandang sebagai pernyataan hidup
dalam masyarakat. Di samping Marx dan Engels, juga von Savigny yang
menyatakan bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh bersama-sama dengan
perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny ini telah memasukkan faktor
sejarah ke dalam pemikiran hukum yang selanjutnya melahirkan pandangan relatif
terhadap hukum. Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab Sejarah.

C. MANFAAT FILSAFAT HUKUM


Filsafat hukum sangat bermanfaat bagi orang-orang yang mempelajari
hukum. Namun yang lebih penting disini ialah berusaha mengaktualisasikan
filsafat hukum yang lebih dekat pada dunia ide (dasollen) dengan hukum positif
yang lebih dekat dengan dunia nyata (das sein). Caranya dengan menciptakan
hubungan yang erat antara filsafat dengan hukum positif. Dengan kata lain, harus
bisa menggunakan filsafat hukum secara praktis untuk menjelaskan peranan
hukum dalam pembangunan. Misalnya, makin berkembang hidup bermasyarakat
(karena perkembangan maasyarakat dan pemikiran masyarakat ), maka kadang-
kadang hukum positif tidak bisa mengatasi. Untuk itu hubungan positif harus
dihubungkan dengan filsafat hukum dan teori hukum. Aktualisasi filsafat hukum
ini kalau sudah sampai dipengadilan, misalnya pada saat hakim menangani kasus
yang tidak ada / belum ada hukumnya.

D. ARTI KEADILAN
Membicarakan hukum tidak lepas dari kata “keadilan” yang sudah ada
sejak jaman Yunani Kuno. Masalah keadilan sudah mulai disinggung pada saat
Plato dan Aristoteles melontarkan pemikiran-pemikirannya yang menjadi latar
belakang perenungan tentang keadilan yang menguasai filsafat hukum.[6] Plato
10

mencoba mengemukakan konsepsinya tentang keadilan dari “inspirasi”, sedang


Aristoteles mencoba mendekatinya dan menganalisis berdsarkan ilmu dan prinsip-
prinsip rasional dengan latar belakang type masyarakat politik dan peraturan-
peraturan hukum yang ada pada waktu itu. Hal yang menghubungkan mereka
adalah concept of virtue, yaitu sifat baik, yang meliputi suatu pengertian yang
sudah mencakup segala-galanya dan darimana keadilan merupakan suatu
bagiannya. Concept of virtue inilah yang menghadirkan pengertian
keimbangan (balance) dan harmoni sebagai suatu ukuran pada masyarakat
maupun perorangan yang adil, sehingga dari sini tidak jarang pula antara
keimbangan dan harmoni terpisah jalan keadilannya. Dengan perkataan lain,
keadilan merupakan pengertian yang tercipta pada perpaduan antara keimbangan
dan harmoni sebagai suatu ukuran.
Menurut Plato, harmoni adalah suatu keadaan dari dalam yang tidak dapat
dianalisis dengan akal. Sedang menurut Aristoteles, harmoni adalah suatu yang
ada di tengah-tengah antara dua keadaan yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa
keadilan mulai dijawab oleh Ulpianus (200 M) yang mengatakan bahwa keadilan
adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing
bagiannya. Kata adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding. Hal
senada juga dikatakan oleh Aristoteles bahwa seorang dikatakan berlaku tidak adil
apabila orang tersebut mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia terima.
Demikian pula kata tidak adil dapat ditujukan kepada orang yang mengabaikan
hukum, oleh karena itu keadilan menurut hukum dikatakan sebagai keadilan
umum.[7]
Keadilan dapat pula diartikan sebagai keutamaan moral khusus, yang
menentukan sikap manusia pada bidang tertentu, yang ditandai dengan sifat-sifat
berikut ini:[8]
a. Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang
yang satu dengan yang lain;
b. Keadilan berada di tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar
keuntungan tercipta keseimbangan antara dua belah pihak;
c. Untuk mengutamakan dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-
orang digunakan ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan geometris.
11

Dalam menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua,


yaitu:[9]
a. Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang
pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang menurut
tempatnya.
b.Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice), terutama untuk
ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum, untuk itu
harus ada ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa
memperhatikan siapa orangnya yang berkepentingan. Oleh karena itu tindakan-
tindakan tersebut harus diukur dengan ukuran yang obyektif.
Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan
kontribusi lain, yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat
dan hukum poisitif. Hukum kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan
manusia yang sama di manapun juga dan untuk waktu kapanpun, karana hal ini
adalah masalah keabadian dari filsafat hukum. Sedang hukum positif mendapat
kekuatannya karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil, memberi
penjelasan adanya bermacam-macam hukum positif.
Kontribusi Aristoteles berikutnya, ialah pembedaan antara keadilan abstrak
dan kepatutan (equity). Perbedaannya ialah, hukum terpaksa membuat aturan-
aturan yang berlaku umum, dan seringkali bertindak kejam terhadap soal-soal
perseorangan. Sedang equity melunakkan kekerasan dengan memperhatikan hal-
hal yang benar tentang sesuatu undang-undang.
Pemikir aliran hukum alam lainnya ialah Thomas Aquino, membagi
keadilan menjadi 2, yaitu:
a. Keadialan Umum (Justitia Generali); adlah keadilan menurut kehendak
masing-masing yang harus ditunaikan menurut kepentingan umum.
b. Keadilan Khusus; yaitu keadilan atas dasar kesamaan, yang dibedakan lagi
menjadi 3, yaitu:
1) keadilan distributif;
2) keadilan komutatif;
3) keadilan vindikatif.
12

Kaum Positivis (aliran Positivisme) memandang keadilan sebagai tujuan


hukum. Namun relativitas keadilan sering mengaburkan tujuan hukum lain, yaitu
kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan adagium “Summun jus, summa injuria,
summa lex, summa crux”, yaitu hukum yang keras akan dalam melukai kecuali
keadilan dapat menolongnya. Ungkapan tersebut berawal dari ketidakpercayaan
kaum positivis terhadap keadilan yang sebenarnya, karena keadilan yang tertinggi
adalah ketidakadilannyang tertinggi pula.

E. HUKUM YANG ADIL DAN BENAR


Gambaran mengenai hukum yang adil dan benar dapat diketemukan dalam
pemikiran yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, seorang politikus dan
sarjana hukum dari Jerman. Ia berusaha menyeberangi jurang bidang “ada” (sein)
dan bidang “harus” (sollen) dengan menerima bahwa suatu bidang terkandung
kedua bidang tersebut untuk mencapai apa yang disebut dengan kebenaran.
Menurut Radbruch, bidang kebudayaan tidak hanya terletak di antara dua bidang
tersebut, tetapi menggabungkan kedua bidang itu juga, sebab kebudayaan
merupakan perwujudan dari nilai-nilai realitas alam, dan Radbruch hendak
menerapkan teori ini pada hukum.[10]
Alasan yang dipergunakan Radbruch ialah bahwa hukum merupakan unsur
kebudayaan, maka seperti unsur-unsur kebudayaan lain, hukum diwujudkan dalam
satu nilai, yakni nilai keadilan. Sehingga hukum merupakan perwujudan dari
keadilan, sedikitnya merupakan usaha ke arah terwujudnya keadilan. Sedangkan
tolok ukur adil atau tidak adilnya tata hukum dibentuk dalam masyarakat, namun
tolok ukur tersebut belumlah cukup, karena ada dasar lain, yaitu dasar hukum
sebagai hukum.
Dalam mewujudkan adanya hukum yang benar dan adil ini, Radbruch
membagi keadilan menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu:
a. Keadilan dalam arti sempit, artinya keadilan merupakan persamaan hak untuk
semua orang di depan pengadilan.
b. Tujuan keadilan atau finalitas, aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi
hukum sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
c. Kepastian hukum atau legalitas, aspek ini menjamin bahwa hukum dapat
13

berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.


Dengan adanya pembagian keadilan ke dalam tiga aspek tersebut, kita
dapat mengetahui bahwa suatu hukum yang adil haruskah hukum memenuhi unsur
konstitutif hukum atau hanya unsur regulatif sebagimana dikatakan oleh
Huijbers.[11]
Apabila adil merupakan unsur konstitutif hukum, maka suatu peraturan
tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, tetapi karena faktor non hukum (non
yuridis), seperti politik. Sebaliknya apabila adil merupakan unsur regulatif bagi
hukum, maka suatu peraturan yang tidak adil tetap merupakan hukum walaupun
buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan masyarakat untuk mentaatinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat
beberapa pendapat mengenai keadilan dari beberapa tokoh, salah satunya dari
Aristoteles yang membagi keadilan menjadi dua, yaitu:
a. Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang
pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang menurut
tempatnya.
b. Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice), terutama untuk
ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum, untuk itu harus
ada ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa
memperhatikan siapa orangnya yang berkepentingan. Oleh karena itu tindakan-
tindakan tersebut harus diukur dengan ukuran yang obyektif.
Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan
kontribusi lain, yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat
dan hukum poisitif. Hukum kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan
manusia yang sama di manapun juga dan untuk waktu kapanpun, karana hal ini
adalah masalah keabadian dari filsafat hukum. Sedang hukum positif mendapat
kekuatannya karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil, memberi
penjelasan adanya bermacam-macam hukum positif.
B. Saran
1. Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan keadilan dan
hukum yang benar dan adil dalam perspektif filsafat hukum yakni sebagai insan
yang berpikir tentunya dapat membedakan yang mana yang haq dan mana yang
bathil, mana yang salah dan mana yang benar.
2. kepada para penegak hukum, haruslah mengetahui akan makna hukum itu
sendiri agar tidak terjebak dalam dinamika perdebatan akan makna hukum itu,
sehingga dengan demikian mereka mampu menegakkan hukum secara ideal
yang mengedepankan keselarasan antara keadilan, kemanfaatan, serta kepastian
hukum.

14
DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Filsafat Hukum


Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
1997.
Kencana, Syafiie Inu, Pegantar Filsafat. Penerbit PT Refika Aditama, Bandung,
2004.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua, Badan Penerbit Iblam Jakarta,
2006.

15

Anda mungkin juga menyukai