Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KELOMPOK 6

“Aliran Realisme Hukum”


Makalah ini dibuat dan diselesaikan guna memenuhi tugas dari mata kuliah Filsafat Hukum
Dosen Pengampu: Nurrohim Yunus, LLM., Ph.D.

Disusun Oleh :

Elisa Eka Andriyani 11210454000019


Muhammad Farhan 11210454000039
Taufik 11210454000012
Fathurrahman 11210454000037
Hisbun Nashar 11210454000031
M Zikri Fakar A. F 11210454000001

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


PRODI HUKUM PIDANA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. Yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Aliran
Realisme Hukum”. Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan
bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan anggota kelompok 6.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan
maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah
hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah
ini.Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca.

Ciputat, 12 Desember 2023

PEMAKALAH KELOMPOK 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................i


DAFTAR ISI .........................................................................................................................ii
BAB I ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................................... 1

BAB II .................................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN .................................................................................................................. 2

A. Latar belakang lahirnya aliran realisme hukum ................................................... 2


B. Konsep Pemikiran Realisme Hukum ...................................................................... 3
C. Tokoh-Tokoh Aliran Realisme Hukum ................................................................... 5
D. Implementasi dan penerapan aliran realisme hukum ........................................... 9
E. Kelebihan dan kelemahan aliran realisme hukum .............................................. 10

BAB III .............................................................................................................................. 12


PENUTUP ......................................................................................................................... 12

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori realisme hukum terkenal dengan kredonya bahwa “The life of the Law has not
been logic: it has been experience”. Dengan konsep bahwa hukum bukan lagi sebatas
logika tetapi experience. Maka hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri
mealinkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai serta akibat-akibat yang
timbul dari bekerjanya hukum. Teori teori yang berada dalam paying realisme hukum
sesngguhnya berinduk pada empirisme. Ide-ide rasional menurut empirisme bukanlah
segalanya. Ia tidak bisa diandalkan sebagai sumber kebenaran tunggal. Ide-ide itu perlu
dipastikan kebenarannya dalam duniaempiris. Dari situlah kebenaran sejati bisa
terjadi.Teori realisme hukum pada saat ini sudah menyebar keseluruh Negara di dunia
termasuk Indonesia. hal ini tentu saja mempengaruhi kehidupan hukum yang ada di
indonesia termasuk peraturan-peraturan hukum yang dijalankan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang melatar belakangi lahirnya aliran realisme hukum?
2. Apa saja konsep pemikiran realisme hukum?
3. Siapa saja tokoh tokoh aliran realisme hukum
4. Bagaimana cara mengimplementasikan aliran realisme hukum?
5. Apakah aliran realisme hukum mempunyai kelemahan dan kelebihan?

C. Tujuan
1. Pembaca dapat mengetahui hal yang melatar belakangi lahirnya aliran realisme
hukum.
2. Pembaca dapat mengetahui konsep pemikiran realisme hukum.
3. Pembaca dapat mengenal tokoh tokoh aliran realisme hukum.
4. Pembaca dapat mengetahui cara mengimplementasikan aliran realisme hukum.
5. Pembaca dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan aliran realisme hukum.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar belakang lahirnya aliran realisme hukum


Realisme hukum adalah aliran filsafat hukum yang memberikan kebebasan bagi hakim
untuk membuat putusan yang baik sehingga paham ini menjadi alat legitimasi hakim untuk
menemukan hukum dan menciptakan hukum. Hal ini dilakukan karena normatifnya hukum
tidak mampu menangkap suasana proses hukum faktual yang sedang dihadapi oleh hakim
sehingga menuntut hakim untuk menjadi pembentuk hukum1
Latar belakang realisme hukum dapat diletakkan pada teori keputusan dari John
Chipman Gray. Kata-kata terkenal dari John Chipman Gray ialah All the law is Judge-made
law. Realisme hukum (legal realism) muncul di awal abad 20. Realisme hukum pada
hakikatnya bukan merupakan suatu aliran melainkan suatu gerakan, yaitu gerakan yang
dipelopori terutama oleh sejumlah hakim. Gerakan ini diawali oleh sejumlah hakim yang
menentang positivisme hukum atau analytical jurisprudence. Gerakan realisme hukum ini
berpusat di Amerika Serikat, sehingga di sana dinamakan American Legal Realism,
walaupun di beberapa negara Eropa ada pula gerakan-gerakan semacam itu.
Pelopor dari kalangan hakim antara lain seorang hakim United States Supreme Court,
Oliver Wendel Holmes (1841-1935) dengan bukunya The Common Law, Jerome Frank
(1889-1957). Tokoh lainnya, yaitu John Chipman Gray yang terkenal dengan teori
keputusan yang telah mempengaruhi pandangan Ter Haar tentang hukum adat. Selain di
Amerika Serikat, di Skandinavia pun berkembang aliran semacam ini yang dipelopori oleh
Axel Hegerstrom, Olivercona, Lunstedt, dan Ross. Semboyan gerakan ini, yaitu "Hukum
adalah apa yang dibuat oleh para hakim". Kata-kata terkenal dari John Chipman Gray ialah
All the law is Judgemade law. Holmes menulis dalam Common Law, 1881, hal. 1. Oleh
Lili Rasjidi dikemukakan ciri-ciri realisme hukum, yaitu sebagai berikut:

1
(Indra Rahmatullah, "Filsafat Realisme Hukum (Legal Realism): Konsep dan Aktualisasinya dalam Hukum
Bisnis di Indonesia". Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 10.15408/adalah.v5i3.21395.
journal.uinjkt.ac.id)

2
1. Realisme hukum bukanlah suatu aliran atau madzab dalam filsafat hukum. Realisme
hukum adalah suatu gerakan (movement) dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang
hukum.
2. Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat
untuk mencapai tujuan sosial maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan
maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadilan sosial lebih cepat mengalami
perubahan daripada hukum;
3. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara Sollen dan Sein
untuk keperluan suatu penyelidikan. Agar penyelidikan itu mempunyai tujuan maka
hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak
boleh dipengaruhi oleh kehendak pengamat maupun tujuan-tujuan kesusilaan;
4. Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional karena realisme
bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan
dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-definisi dalam peraturan-
peraturan yang merupakan ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oleh
pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-
penggolongan perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya
daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau;
5. Gerakan realisme menekankan bahwa pada perkembangan setiap bagian hukum
haruslah diperhatikan dengan seksama akibatnya.

Hakim-hakim seperti Holmes dan Frank, menentang keterikatan hakim seperti yang
diajarkan oleh John Austin. Mereka menghendaki kebebasan. Praktek American Legal
Realism ini, yang lebih memperhatikan law in action daripada law in books, kemudian
dilanjutkan oleh Roscoe Pound (1870-1964) yang mempelopori Sociological
Jurisprudence yang melihat social engineering sebagai persoalan pokok dalam hukum.2

B. Konsep Pemikiran Realisme Hukum


Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara dassollen dan das
sein. Agar antara hukum itu mempunyai tujuan maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-

2
(Erisamdy Prayatna. "Aliran Realisme Hukum Pada Filsafat Hukum",
https://www.erisamdyprayatna.com/2021/12/aliran-realisme-hukum-pada-filsafat.html?m=1, diakses pada
10/12/2023, pukul 16.00 wib).

3
nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak observer.
Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum positivistic yaitu aturan aturan
oleh karena realisme bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh
pengadilan dan orang-orangnya.3
Konsep realisme hukum atau legal realism memberikan kepada hakim kebebasan yang
luar biasa untuk mengambil keputusan dengan aksiologis adalah keadilan. Seorang hakim
tidak lah boleh hanya berpegang kepada peraturan peraturan saja tetapi hakim wajib
menggali, memahami dan melihat dengan jernih fakta fakta sosial yang terjadi sehingga
mampu membuat hukum dalam keputusannya. Setiap permasalahan atau kasus akanada
hukum hukum baru yang dihasilkan oleh keterampilan, kemampuan dan pemahaman
hakim terhadap permasalahan secara mendalam.
Paham realisme hukum memandang hukum sebagaimana seorang advokat
memandang hukum. Bagi seorang advokat yang terpenting dalam memandang hukum
adalah bagaimana memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan bagaimana masa
depan dari kaidah hukum tersebut. Karena itu agar dapat memprediksikan secara akurat
atas hasil dari suatu putusan hukum, seorang advokat haruslah juga mempertimbangkan
putuan-putusan hukum pada masa lalu untuk kemudian memprediksi putusan pada masa
yang akan datang.
Para penganut aliran critical legal studies telah pula bergerak lebih jauh dari aliran
realism hukum dengan mencoba menganalisisnya dari segi teoretikal social terhadap
politik hukum. Dalam hal ini yang dilakukannya adalah dengan menganalisis peranan
dari mitos “hukum yang netral” yang melegitima setiap konsep hukum, dan dengan
menganalisis bagaimana sistem hukum mentranformasi fenomena sosial yang sarat
dengan unsur politik kedalam simbol-simbol oprasional yang sudah dipolitisasi tersebut.
Yang jelas, aliran critical legal studies dengan tegas menolak upaya upaya dari ajaran
realism hukum dalam hal upaya realisme hukum untuk menformulasi kembali unsur
netralitas dari sistem hukum.
Seperti telah dijelaskan bahwa aliran realism hukum ini oleh para pelopornya sendiri
lebih suka dianggap sebagai hanya sebuah gerakan sehingga mereka menyebutnya
sebagai gerakan realism hukum. Nama popular untuk aliran tersebut memang realism
hukum meskipun terhadap aliran ini pernah juga diajukan nama lain.

3
Damang, 2011, Pragmatic Legal Realism, Portibi Press, Medan, Hal 4

4
C. Tokoh-Tokoh Aliran Realisme Hukum
Pelopor dari kalangan aliran realisme hukum ini diantaranya:
1. Oliver Wendel Holmes (1841-1935)
Holmes merupakan seorang hakim United States Supreme Court dengan
bukunya yang berjudul The Common Law. Dalam teorinya, Holmes berpendapat
bahwa aturan hukum bukan poros suatu keputusan yang berbobot karena aturan
hukum tidak bisa diandalkan utuk menjawab dunia kehidupan yang sangat kompleks,
lagipula kebenaran riil bukan terletak dalam undang-undang, tetapi pada kenyataan
hidup, sehingga hakim dengan kepekaan dan kearifannya harus memenangkan
kebenaran meski dengan resiko mengalahkan aturan resmi4.
Holmes berpendapat, selain aturan hukum, faktor moral, kemanfaatan dan
keutamaan kepentingan sosial menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam
memgambil keputusan yang berisi, sehingga seorang pelaksana hukum (hakim)
sesungguhnya menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Bukan pantangan,
jika demi putusan yang fungsional dan kontekstual, aturan resmi terpaksa
disingkirkan (lebih-lebih jika menggunakan aturan tersebut justru berakibat buruk).5

Ketika hukum diterapkan, hakim dihadapkan pada wilayah das sein, hukum tidak
lagi berdiri dalam singgasana das sollen. Artinya berdasarkan kasuistik hakim akan
menerapkan aturan-aturan hukum demi terwujudnya keadilan sebagaimana tujuan
hukum itu sendiri yakni mewujudkan keadilan bagi para pencari keadilan, dimana
menurut Geny sebagai penganut teori etis, tujuan hukum adalah untuk
merealisasikan keadilan bagi masyarakat.6

2. Jerome Frank (1889-1959)


Jerome Frank memiliki pandangan sama, bahwa kebenaran tidak bisa
disamakan dengan suatu aturan hukum. Boleh saja menganggap isi aturan yang
menjadi dasar putusan- putusan hakim tersebut baik yang dapat menjamin kepastian,
keamanan dan harmoni dalam hidup, namun faktanya, seorang hakim dapat
mengambil keputusan lain diluar skenario aturan, yang dari sisi keutamaan jauh lebih
terpuji. Kaidah hukum hanya merupakan salah satu unsur pertimbangan, tetapi

44
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 150.
5
Ibid, hlm. 151.
6
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 77.

5
disamping itu, prasangka politik, ekonomi dan moral bahkan simpati dan antipasti
pribadi, berperan dalam menentukan putusan hakim7.
3. Karl Nickerson Llewellyn (1893-1962)
Karl Nickerson Llewellyn, seorang ahli ilmu sosial yang juga pemikir realisme
hukum, menganalisa perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara
pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan keadaan
masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup
kebiasaan, sikap-sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi
tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum merupakan bagian
kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-lembaga tersebut telah terorganisir
dan harapannya terwujud di dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta
didukung oleh para ahli.8 Jadi hukum tidak selamanya yang tertulis, melainkan jauh
lebih besar ditentukan oleh hakim berdasarkan kenyataan di lapangan. Sehingga
tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tertentu tidak dapat diadili
karena belum terdapat hukum tertulis yang mengaturnya.
4. Charles Sanders Pierce (1839-1914)
Charles Sander Pierce, dalam buku karangannya: Pragmatism and Pragmaticim.
Pierce disebut-sebut sebagai orang pertama yang memulai pemikiran pragmatisme,
yaitu pemikiran yang menyangkal kemungkinan bagi manusia untuk mendapat suatu
pengetahuan teoritis yang benar, oleh karena itu ide-ide perlu diselidiki dalam
praktek hidup. Bahwa, ide-ide harus diterangkan dengan jalan analitis, bahwa
metode analitis ini harus digunakan secara fungsional, yakni dengan menyelidiki
seluruh kontek suatu pengertian dalam praktek hidup, bagaimana pengertian tertentu
ditanggapi dalam situasi tertentu, maka kebenaran merupakan hasil penyelidikan
situasi secara empirik, bahwa, pragmatisme oleh Pierce dalam arti empiris atau
exeperimental.9
5. John Chipman Gray (1839-1915)
John Chipman Gray, dalam bukunya: The Nature and Sources of the law.
Sebagaimana ciri realisme Amerika, Gray menempatkan hakim sebagai pusat

7
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, loc.cit.
8
Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985,
hlm. 33.
9
Darji Darmodihardjo dan Sidharta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 137.

6
perhatiannya, semboyannya yang terkenal adalah “all the law is judge-made law”.
Bahwa logika sebagai faktor penting dalam pembentukan perundang-undangan,
unsur kepribadian, prasangka, dan faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh
yang besar dalam pembentukan hukum, bahwa, Gray mengemukakan contoh dari
sejarah hukum Inggris dan Amerika yang menunjukan factor-faktor politik, ekonomi
dan sifat-sifat pribadi yang lain dari hakim-hakim tertentu, telah menyelesaikan soal-
soal yang penting untuk jutaan orang selama ratusan tahun.10
6. Benjamin N. Cardozo (1870-1938)
Benjamin Nathan Cardozo, dalam bukunya: The Nature of The Judicial Process,
ia seorang filsuf Amerika yang lahir di New York, ia adalah tokoh realis terkemuka
di Amerika. Bahwa hukum sama dengan pengadilan, bahwa, perkembangan hukum
terikat pada tujuan hukum yakni kepentingan umum, karena itu kegiatan para hakim
dituntun oleh norma-norma kepentingan umum. Cardozo sangat terpengaruh oleh
teori-teori ilmu hukum sosiologis, yang menekankan pada kepekaan yudisial
terhadap realitas sosial. Tokoh ini beranggapan hukum mengikuti perangkat aturan
umum dan yakin bahwa penganutan terhadap preseden seharusnya merupakan
aturannya, dan bukan merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan.
Namun, ia mengemukakan adanya kelonggaran atau keluwesan pelaksanaan aturan
ketat itu apabila penganutan terhadap preseden tidak konsisten dengan rasa keadilan
dan kesejahteraan sosial.11
7. Axel Hagerstrom (1868-1939)
Axel Hagerstrom, dalam buku karangannya: Inquiries into the Natural of Law
and Morals, ia seorang sarjana Swedia, menyelidiki azas-azas hukum yang berlaku
pada zaman Romawi. Bahwa rakyat Romawi menaati hukum secara irasionil,
berdasarkan bayangan yang bersifat magis atau ketakutan pada tahayul (metafisika),
bahwa, hukum seharusnya diselidiki dengan bertolak pada empiris yang dapat
ditemukan dalam perasaan psikologi bahwa, perasaan psikologis adalah rasa wajib,
rasa kuasa dalam mendapatkan untung, rasa takut akan reaksi dari lingkungan, dan
sebagainya.12

10
Ibid, hlm. 138.
11
Ibid, hlm. 141.
12
Ibid, hlm. 142.

7
8. Karl Olivecrona (1897-1980)
Karl Olivecrona, dalam buku karangannya: Law as Fact, Legal Language and
Reality dan The Imperative Element in Law, ia seorang ahli hukum Swedia yang
menyamakan hukum dengan perintah yang bebas (independent imperatives), dan
kemudian menyangkal keberadaan yang normatif. Bahwa, hukum bukan sebagai
perintah dari seorang manusia, sebab tidak mungkin ada manusia yang dapat
memberikan semua perintah yang terkandung dalam hukum itu, bahwa, pemberi
perintah dari hukum itu tidak identik dengan negara atau rakyat, identifikasi
demikian merupakan abstrak dan tidak realistik, bahwa,ketentuan hukum selalu
mempunyai dua unsur, yaitu: suatu gagasan untuk berbuat dan beberapa simbol
imperatif (ought, duty, offence), bahwa, ketentuan undang-undang itu sendiri
hanyalah kata-kata di atas kertas, kenyataan yang berkenaan dengan pembicaraan
ilmiah tentang hukum haruslah berkenaan dengan reaksi psikologis dari para
individu, yakni ide tentang tindakan apa dan perasaan yang timbul apabila mereka
mendengar atau melihat suatu ketentuan.13
9. Alf Ross (1899-1979)
Alf Ross, dalam buku karangannya: Theorie Rechtsquellen, Kritik der
Sogenanten Praktischen Erkentis, Towards A Realistic Jurisprudence and On Law
and Justice, Ross sebagai penganut Realisme Hukum berkebangsaan Denmark.
Bahwa hukum adalah realitas soaial, bahwa, berusaha membentuk teori hukum yang
empirik belaka, tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan normative
sebagai unsur mutlak dari gejala hukum, bahwa, kalau berlakunya normatif dari
peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau mungkin simbol-
simbol dari kenyataan-kenyataan fisiopsikis, maka dalam realitas terdapat hanya
kenyataan-kenyataan saja, bahwa keharusan normatif yang berupa rasionalisasi dan
simbol, itu bukan realitas, bahwa, perkembangan hukum melewati 4 tahap; kesatu,
hukum adalah suatu sistem paksaan aktual, kedua, hukum adalah suatu cara berlaku
sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas, ketiga, hukum
adalah sesuatu yang berlaku dan kewajiban dalam arti yuridis yang benar, keempat,
supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang
membentuknya.14

13
Ibid, hlm. 144.
14
Ibid, hlm. 145.

8
D. Implementasi dan penerapan aliran realisme hukum
Kajian dari teori Realisme hukum yaitu mengkaji hukum dalam konteks realitas,
maka tidak terlepas kajiannya dengan praktek hakim di pengadilan sebagai penegak
hukum (law enforcement) dan prilaku manusia dalam kehidupan empiris. Oleh karena
itu, realism hukum itu dibagi menjadi dua kelompok, yakni Realisme hukum Amerika
yang menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman praktis hakim dalam mengadili
perkara, dan Realisme hukum Skandinavia yang lebih menekankan pada prilaku manusia
sebagai suatu kenyataan empiris. Untuk lebih jelasnya, kedua golongan tersebut akan
digambarkan dalam uraian berikut ini:
a. Realisme hukum Amerika
Aliran realisme hukum yang berkembang di Amerika memilki teman sehaluan
yang sama-sama menggunakan gerakan “realisme” adalah Realisme di Skandinavia.
Jika diamati beberapa ciri khas dari aliran realis Skandinavia, aliran realisme
tersebut mempunyai pandangan yang lebih empirikal dari realisme hukum di
bandingkan realism di amerika serikat. Realisme hukum Amerika menempatkan
empirisme dalam sentuhan pragmatisme atau sikap hidup yang menekankan aspek
manfaat dan kegunaan berdasarkan pengalaman. Kehidupan sehari-hari adalah dunia
pengalaman. Dunia pengalaman tidak bisa dipotret lewat skema ideal-ideal yang
spekulatif. Ia hanya bisa ditangkap keutuhannya lewat pengalaman. Itulah sikap
realistis untuk memahami realita.[3] Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan
hakim. Seperti yang diungkapkan oleh Chipman Gray “all the law is judge made
law”, semua yang dimaksudkan dengan hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih
sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan
perundang-undangan.
b. Realisme Hukum Skandinavia
Aliran ini menempatkan empirisme dalam sentuhan psikologi. Aliran ini
berkembang di Uppsala, Swedia pada awal abad 20. Konsep penting dari realism
hukum Skandinavia adalah mencari kebenaran suatu pengertian dalam situasi
tertentu dengan menggunakan psikologi. Tidak seperti realisme hukum Amerika
(yang memberi perhatian pada praktek hukum dari para pelaksana hukum), realisme
hukum Skandinavia justrru menaruh perhatian pada prilaku manusia ketika berada
dalam “control” hukum. Dengan memanfaatkan psikologi, para eksponen aliran ini

9
mengkaji prilaku manusia (terhadap hukum) untuk menemukan arti hukum yang
sebenarnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi penting dari realisme hukum
Skandinavia adalah lebih menekankan aspek psikologi hukum dalam kenyataan
empiris kehidupan manusia. Hukum memiliki relevansi erat dengan perilaku
masyarakat dalam kehidupan. Perbedaan dari realisme Amerika dibanding dengan
realisme Skandinavia yakni “menitikberatkan” kepada “Perilaku-Perilaku Hakim”.
Sementara aliran realisme Amerika melakukan penyelidikan terhadap hukum yang
tumbuh dari perhatian hak-hak dan kewajiban subjek hukum atau dengan kata lain
lebih banyak memfokuskan diri pada “gejala hukum” di masyarakat.

Realisme sebenarnya ingin mengkritik Positivisme Hukum dengan dua alasan, yaitu:
1. tidak ada penalaran hukum, yang ada hanyalah penalaran politik dan penalaran
moral, dan;
2. saat hakim menjatuhkan putusan, alasan dasar hakim sebenarnya bukan pada
hukum tetapi pada fakta-fakta yang hakim temukan.

Implementasi realisme hukum misalnya pengambilan sisa hasil panen


(gresek/gasak) padi, randu, daun cengkeh dan hasil pertanian lainnya yang sudah
menjadi kebiasan masyarakat desa di Jawa. Pertanyaannya adalah apakah warga
masyarakat yang mengambil hasil pertanian tersebut dikategorikan sebagai
mengambil barang kepunyaan orang lain secara melawan hukum sebagaimana
maksud Pasal 362 KUHP? Tentu saja hakim tidak perlu melihat KUHP untuk
memutus perkara tersebut, melainkan mendasarkan kepada kebiasaan masyarakat
desa di Jawa yang sudah menjadi pola-pola perilaku yang ajeg.
Kesimpulannya adalah bahwa mengambil sisa hasil pertanian bukanlah pencurian
karena hal itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa di Jawa. Dalam kasus ini,
hakim berperan sebagai pembuat hukum (judge made law) ketimbang pelaksana
undang-undang
E. Kelebihan dan kelemahan aliran realisme hukum
Realisme Hukum adalah aliran filsafat hukum yang memberikan kebebasan
bagi hakim untuk membuat putusan yang baik sehingga paham. Ini menjadi alat
legitimasi hakim untuk menemukan hukum dan menciptakan hukum.

10
a. Kelebihan dari Aliran Realisme:
Hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam perundang-undangan atau
ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh otoritas
hakim di pengadilan yang pada umumnya didasarkan pada kenyataan di
lapangan dengan beragam pertimbangan.
b. Kekurangan dari Aliran Realisme:
Hukum itu bukan hanya semata-mata tergantung dari Keputusan hakim saja
akan tetapi Hukum harus tetap berdasarkan dengan peraturan yang berlaku,
sehinga Hukum itu tidak tumpul kebawah melainkan tajam keatas

11
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Realisme hukum bukanlah suatu aliran atau madzab dalam filsafat hukum. Realisme
hukum adalah suatu gerakan (movement) dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
Realisme hukum adalah aliran yang tidak menyetujui adanya preseden (adanya ikatan antara
putusan hakim dengan putusan hakim sebelumnya dalam menangani maslah yang serupa).
Paham realisme hukum memandang hukum sebagaimana seorang advokat memandang
hukum. Bagi seorang advokat yang terpenting dalam memandang hukum adalah bagaimana
memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan bagaimana masa depan dari kaidah hukum
tersebut.
Konsep realisme hukum atau legal realism memberikan kepada hakim kebebasan
yang luar biasa untuk mengambil keputusan dengan aksiologis adalah keadilan. Seorang
hakim tidak lah boleh hanya berpegang kepada peraturan peraturan saja tetapi hakim wajib
menggali, memahami dan melihat dengan jernih fakta fakta sosial yang terjadi sehingga
mampu membuat hukum dalam keputusannya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Bagenda, Christina. “Filsafat Realisme Hukum Dalam Perspektif Ontologi, Aksiologi, Dan
Epistemologi.” Jurnal Ius Constituendum 7, no. 1 (2022)
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, 2013
Damang, 2011, Pragmatic Legal Realism, Portibi Press, Medan
Darji Darmodihardjo dan Sidharta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006)
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003
Soekanto, Soerjono, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta,
1985
Prayatna, Erisamdy. "Aliran Realisme Hukum Pada Filsafat Hukum",
https://www.erisamdyprayatna.com/2021/12/aliran-realisme-hukum-pada-filsafat.html?m=1,
diakses pada 10/12/2023, pukul 16.00 wib
Rahmatullah, Indra, "Filsafat Realisme Hukum (Legal Realism): Konsep dan Aktualisasinya
dalam Hukum Bisnis di Indonesia". Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 10.15408/adalah.v5i3.21395. journal.uinjkt.ac.id

13

Anda mungkin juga menyukai