Anda di halaman 1dari 21

“Aliran Mazhab Hukum Realisme (Legal Realism)”

TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM (PIH)

KELAS B

KELOMPOK 6

Disusun Oleh:
NO Nama
1. Silvy Dwi Rahmawati (200710101130)
2. Nala Ma’rifatul Husna (200710101246)
3. Agis Fatahillah (200710101258)
4. Yohanes Rhama Pradita Virgiantara (200710101182)
5. Afifah Ihda Rashartiani (200710101062)
6. Nabila fajrin (200710101179)
7. Dimas Agus Subekti (200710101049)
8. Maharani Qaulan Syadida Az Zahro (200710101372)

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM

2020
Daftar Isi

BAB I .........................................................................................................................................3

1.1 Latar belakang ...................................................................................................................3

1.2 Ruang Lingkup Makalah ...................................................................................................4

BAB II Tinjauan Pustaka ............................................................................................................5

BAB III Pembahasan...................................................................................................................6

3.1. Pengertian Realisme Hukum Secara Singkat .....................................................................6

3.2 Sejarah Lahirnya Realisme Hukum ....................................................................................6

3.3. Ciri-Ciri Realisme Hukum Menurut Beberapa Ahli ......................................................... 10

3.4. Kelebihan Dan Kekurangan Mazhab Aliran Realisme Hukum ........................................ 11

3.4 Kelompok Realisme Hukum Di Amerika ......................................................................... 11

3.5. Kelompok Realisme Hukum Di Scandinavian ................................................................. 13

3.6 Perbedaan dari American Legal Realism dan Scandinavian Legal Realism ..................... 17

BAB IV Kesimpulan ................................................................................................................. 19

Daftar Pustaka ........................................................................................................................... 20


BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar belakang


Ilmu hukum secara etimologis adalah Ilmu atau suatu keseluruhan materi yang
mempelajari tentang peraturan kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat yang
pelaksanaaanya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan. Selain itu
menurut Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa ilmu hukum itu mencakup dan membicarakan
segala hal yang berhubungan dengan hukum. Seperti cabang ilmu lainnya, Ilmu Hukum juga
mempunyai objek, yaitu hukum.

Secara menalaah lebih lanjut tentang apa saja yang dipelajari didalam hukum itu dan
menemukan banyak hal yang perlu dipelajari salah satunya tentang cabang ilmu hukum
berdasarkan mazhabnya yang secara sudut pandang jika dilihat melalui sisi historis. Zaman terus
berkembang melalui hierarkis perkembangan yang terus diiringi dengan perubahan sosial,
dimana dua hal ini akan selalu beriringan. Keberadaan manusia yang dasar pertamanya bebas
menjadi hal yang problematik ketika ia hidup di dalam komunitas sosial. Kemerdekaan ini akan
berbenturan dengan kemerdekaan individu lainnya bahkan dengan makhluk yang lain. Maka
muncullah tata aturan, norma, nilai-nilai yang menjadi kesepakatan universal yang ditaati. Di
sinilah hukum muncul dalam peradaban manusia untuk menjunjung tingi nilai-nilai
kemanusiaan. Kemudian ketika hukum itu diberi jawaban atau tanggapan berbeda-beda oleh para
akademisi kemudian diikuti oleh masyarakatnya, maka dari sinilah akan muncul aliran-aliran
dalam hukum itu sendiri yang terbagi menjadi beberapa bagian.

Oleh sebab itu lahirnya makalah ini dimaksudkan untuk mempelajari tentang Mazhab
aliran hukum yang ada didunia secara lebih terperinci dengan guna agar memberikan manfaat
untuk orang banyak dan menjadikan bahan referensi untuk memperlajari mazhab ilmu hukum
secara spesifik.
1.2 Ruang Lingkup Makalah
Hukum juga merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-
hari karena hukum adalah sesuatu yang lahir karena adanya masyarakat yang saling melakukan
interaksi sehingga menimbulkan hukum itu sendiri. Namun pada kenyataannya Gagasan selalu
berkembang lebih cepat daripada kenyataan yang terjadi. Hal yang demikian berlaku pula bagi
hukum progresif sebagai sebuah gagasan yang merespon fenomena hukum yang terjadi di
Indonesia. Ketika hukum sebagai satu kenyataan yang dianggap powerless, tak berdaya
mengantisipasi kejahatan, maka muncullah semangat baru untuk mengatasi kejumudan berupa
hukum progresif.

Namun banyak pemikiran ahli hukum antara satu dengan lainnya dunia memiliki
pendapat yang berbeda sehingga beragam pendapat dan pemikiran tentang hukum. Satu
pemikiran atau mazhab hukum tidaklah lahir dari ruang yang hampa, tetapi didapat dari hasil
dialogis dan interaksi dengan mazhab atau pemikiran hukum di sekitarnya bahkan sering terjadi
ketegangan. Namun kali ini kami tidak akan membahas lebih terperinci dampak dari mazhab
yang berbeda-beda. Kami akan membahas satu aliran yang lebih spesifik yaitu ajaran dari
Realisme yang menunjukkan hukum apa yang tanpak dalam pekerjaan hakim dalam memutus
sebuah peristiwa konkrit hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus dalam kenyataannya
oleh pengadilan.
BAB II
Tinjaun Pustaka

(Marimis,2008) Teori hukum Realis atau Legal realism yang ditokohi Oliver Wendell
Holmes yang terkenal dengan adagium “The life of the law has not been logic; it has been
experience”. Bahwasanya hukum tidak sebatas logika, melainkan lebih pada pengalaman.
Hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan lebih dilihat dan dinilai dari
tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat yang ditimbulkan dari cara bekerjanya hukum.
Pemahaman atas hukum tidak hanya bersifat tekstual, melainkan melampaui dokumen hukum.

(Zainul Ali,2016) Aliran realisme hukum merupakan salah satu subaliran dari positivisme
hukum yang dipelopori oleh John Chipman, Gray, Oliver Wendel Holmes, Karl Liwellyn,
Jerome Frank, William James dan lain-lain. Menurut Llwellyn, realisme hukum bukanlah
merupakan aliran di dalam filsafat hukum, melaikan sebuah gerakan dalam cara berpikir tentang
hukum.

Jerome Frank (1889-1957) yang menyusun skeptisisme konstruktif (Law and The
Modern Mind, Pendahuluan pada terbitan VI, 1949, hal. vii) mengidentifikasikan berbagai
realisme yang disebut fakta skeptisisme. Hal ini menjabarkan bentuk ultrarealisme yang
membangun alternative aturan skeptisisme. Frank menempatkan komitmen pada skeptisisme
terlepas dari pertanyaan, juga dengan menjelaskan dasar dari fakta skeptisisme pada waktu yang
sama: “Aturan (baik yang dibuat oleh legislator atau hakim) adalah bagian dari kebijakan
publik, nilai-nilai idealisme dan … dengan dasar tersebut … harus diteliti secara berkala dan
menyeluruh …”
BAB III

Pembahasan

3.1. Pengertian Realisme Hukum Secara Singkat


Seara etimologis asal-usul realisme berasal dari kata “res” yang merupakan bahasa latin
dan memiliki arti benda benda atau sesuatu. Sedangkan definisi secara umum dari realisme
adalah upaya melihat segala sesuatu sebagaimana adanya tanpa idealisasi, spekulasi, ataupun
idolisasi. Realisme juga berarti penerimaan akan suatu fakta apa adanya sekalipun bukan sesuatu
yang baik atau membahagiakan. Bila dikaitkan dengan definisi hukum, maka realisme hukum
berarti suatu pandangan yang (mencoba) melihat hukum sebagaimana adanya tanpa idealisasi
dan spekulasi atas hukum positif yang bekerja dan berlaku. Dengan ini maka dapat disimpulkan
bahwa realisme hukum merupakan pandangan yang mengusahakan menerima sesuatu atau hal
apa adanya mengenai hukum.

Dalam arti filsafat yang sempit, realisme berarti anggapan bahwa obyek indra kita adalah
real, benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita
persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita.

Realisme hukum adalah gerakan yang dipelopori terutama oleh sejumlah hakim dan
muncul di awal abad 20. Realisme ini menunjukkan hukum apa yang tanpak dalam pekerjaan
hakim dalam memutus sebuah peristiwa konkrit hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus
dalam kenyataannya oleh pengadilan. Dalam pandangan penganut realisme hukum, hukum
adalah hasil kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Pandangan dalam realisme hukum
adalah bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap
perkara itu.

3.2 Sejarah Lahirnya Realisme Hukum


Gerakan critical legal studies, yang semula merupakan keluh kesahdari beberapa
pemikir hukum di Amerika Serikat yang kritis, tanpadisangka ternyata begitu cepat
gerakan ini menemukan jati dirinya dantelah menjadi suatu aliran ersendiri dalam teori hukum.
Dan ternyata pulabahwa gerakan ini berkembang begitu pesat ke berbagai Negara dengankritikan
dan buah pikiran yang cukup segar dan elegan.
Sebagaimana biasanya suatu aliran realism hukum juga lahirdilatarbelakangi
oleh berbagai factor hukum dan nonhukum, yaitu factor-faktor sebagai berikut:

1. Factor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan

2. Factor perkembangan social dan politik

Walaupun begitu, sebenarnya aliran pragmatism dari WilliamJames dan John


Dewey itu sendiri sanat berpengaruh terhadap ajarandari Roscoe Pound dan berpengaruh juga
terhadap dari Oliver WendellHolmes meskipun tidak sekuat pengaruhya terhadap ajaran
RoscoePound.Pengaruh dari aliran fragmatisme dalam filsafat sangat terasadalam
aliran realism hukum. Sebagaimana diketahui bahwa kala itu(abad ke 20), dalam dunia
filsafat sangat berkembang ajaran pragmatismini antara lain yang diekmbangkan dan dianut oleh
William James danJohn Dewey.

Bahkan dapat dikatakan bahwa pragmatisme sebenarnyamerupakan landasan filsafat


terhadap aliran realisme hukum. Dalamtulisan-tulisan dari pada penganut dan inspirator
aliran realisme hukum,seperti tulisan dari Benjamin Cardozo atau Oliver Wendell
Holmes,sangat jelas kelihatan pengaruh dari ajaran pragmatism hukum ini.Pendekatan
pragmatis tidak percaya pada bekerjanya hukum menurut ketentuan-ketentuan hukum
di atas kertas.

Hukum bekerja mengikuti persitiwa-peristiwa konkret yang muncul. Oleh karena itu,
dalil-dalil hukum yang universal harus diganti dengan logika yang fleksibel daneksperimental
sifatnya. Hukum pun tidak mungkin bekerja menurutdisiplinnya sendiri. Perlu ada
pendekatan interdisipliner dengan memanfaatkan ilmu-ilmu seperti ekonomi, sosilogi,
kriminologi, danpsikologi. Dengan penyelidikan terhadap faktor sosial
berdasarkanpendekatan tersebut dapat disinkronkan antara apa yang dikehendakihukum
dan fakta –fakta (realita) kehidupan sosial. Semua itu diarahkanagar hukum dapat bekerja secara
lebih efektif.

Sebagaimana dikatakan oleh Oliver Wendell Holmes Jr., dugaan-dugaan tentang apa
yang diputuskan oleh pengadilan itulah yang disebutdengan hukum. Pendapat Holmes ini
menggambarkan secara tepatpandangan realis Amerika yang pragmatis.
Realisme hukum amerika bersifat pragmatisme yang pemikir-pemikirannya tidak
member perhatian lagi pada masalah-masalah teoritistentang hukum dan tidak
mengindahkan lagi aspek normative darihukum. Bagi mereka yang penting adalah yang
diperlukan oleh hukumsecara actual misalnya orang-orang yang menjalankan hukum
sepertipara hakim dan pegawai-pegawai pengadilan lainnya, merekalah yang membuat
hukum. Ilmu pengetahuan hukum haruslah berpedomankepada kelakuan hakim. Hubungan
antara aliran realisme hukum dan aliran sosiologihukum sangatlah unik. Disatu pihak
bebrapa pondasi dari aliran sosiologihukum mempunyai kemiripan atau overlapping, tetapi di
pihak lain dalambeberapa hal, keduanya justrus saling bersebrangan.

Roscoe Pound,yang merupakanpenganut aliran sociological jurisprudence (hukum


yangbaik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup diantaramasyarakat).
Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positifdengan (the positive law) dengan
hukum yang hidup (the living law).Bagaimanapun juga, hukum mengatur
kepentinganmasyarakatnya. Karena itu tentu saja peranan hukum dalam masyarakatyang teratur
seharusnya cukup penting. Tidak bisa dibayangkan betapakacaunya masyarakat jika hukum tidak
berperan. Masyakat tanpa hukumakan merupakan segerombolan srigala, diman yang
kuat akanmemangsa yang lemah, sebagaiman pernah disetir oleh ahli pikirterkemuka,
yaitu Thomas Hobbes beberapa ratus tahun yang silam.Homo Homini Lupus. Dan yang
kalah bersaing dan tidak bisa beradaptasidengan perkembangan alam akan tersisih dan
dibiarkan tersisih,sebagaimana disebut oleh Charles Darwin dalam teori seleksi
alam(natural Selection) dimana yang kuat akan menjadi survive.

Oleh karena itu intervensi hukum untuk mengatur kekuasaan dan


masyarakatmerupakan condition sine qua no (syarat mutlak). Dalam hal ini, hukumakan
bertugas untuk mengatur dan membatasi bagaimana kekuasaanmanusia tersebut dijalankan
sehingga tidak menggilas orang lain yangtidak mempunyai kekuasaaan,Dunia akan kacau
balau seandainya hukum tidak ada, tidakberfungsi atau kurang berfungsi. Ini adalah suatu
kebenaran yang sudahterbukti dan diakui bahkan sebelum manusia mengenal peradapan
sekalipun. Mengapa masyarakat Amerika Serikat sampai membenarkan mengirimkan putra
putra bangsanya untuk bergerilya danmempertahunkan nyawanya dihutan tropis dan rawa-
rawa dalam perangVietnam pada awal decade 1960-an, mengapa keruskan
lingkunganterjadi dimana-mana. Dan yang lebih penting lagi, mengapa semuamaslah
tersebut dan luluh lantak seperti itu terjadi pada abad ke 20 ini,dimana ilmu pengetahuan dan
teknologi sedang mengklaim dirinyasedang berada dipuncak kemajuannya diatas menara
gading itu.

Semuaini memperlihatkan secara jelas betapa ilmu hukum dan ilmu social danilmu
budaya sudah gagal dan lumpuh sehingga sudah tidak dapatmenjalankan fungsinya lagi
sebagai pelindung dan pemanfaat terhadapperadaban dan eksistemsi manusia di bumi ini.Karena
itu dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudiandalam ilmu sains itu sendiri,
terdapat gejolak-gejolak dalam bentuk pembangkangan yang semakin lama tensinya
semain tinggi. Gejolaktersebut yang kemudian mengkristal menjadi protes yang
akhirnyamelahirkan aliran baru dengan cara pandang baru terhadap manusia,dunia dan
masyarakat dengan segala atributnya itu. Karena sains jugamempunyai watak anarkis, maka
pada awal mulanya setiappembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari
perkembangansains sehingga pembangkangan tersebut dianggap wajar-wajar saja.

Dari kedua ide pakar realisme tersebut di atas, menimbulkanpemikiran realis


khusus di bidang hukum, yang pada dasarnya dapatdibedakan antara realisme Amerika
Serikat dan realisme Skandinavia.Para yuris yang beraliran realis pada umumnya
berpendapat bahwahukum yang sesungguhnya dibangun dari suatu studi tentang
hukumdalam pelaksanaannya (the law in action). Bagi penganut realismeyuridis, “law
is as law does”.3Karakteristik dari pendekatan yang digunakan oleh kaum realisyuridis
terhadap masalah-masalah hukum, adalah:

1. Suatu investigasi ke dalam unsur-unsur khas yang terdapat dalamkasus-kasus


hukum.

2. Suatu kesadaran tentang faktor-faktor irasional dan tidak logis didalam


proses lahirnya putusan pengadilan.

3. Suatu penilaian terhadap aturan-aturan hukum melalui evaluasiterhadap


konsekuensi penerapan aturan hukum itu.
4. Memperlihatkan hukum dalam kaitannya dengan faktor politik,ekonomi, dan
lain-lain.

Realisme hukum adalah aliran yang tidak menyetujui adanyapreseden (adanya


ikatan antara putusan hakim dengan putusan hakimsebelumnya dalam menangani maslah yang
serupa). Tidak menggunakanhukum secara formil, melainkan menggunakan prilaku pelaku
social yangnyata terjadi untuk menghakimi suatu kasus. Sehingga aliran ini secaraotomatis
tidak mempercayai adanya kepastian hukum yang hanyamementingkan seberapa
prediktibelnya suatu hukum.

3.3. Ciri-Ciri Realisme Hukum Menurut Beberapa Ahli


Menurut Llewellyn (Friedmann, 1970:292) dikemukakan ciri-ciri dari realism hukum,
yaitu :

a. Realisme bukanlah suatu aliran/mahzab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara
berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
b. Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat
untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus diselediki mengenai tujuan
maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan
daripada hukum
c. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara Sollen dan Sein untuk
keperluan suatu penyidikan. Agar penyelidikan itu mempunyai tujuan, maka hendaknya
diperhatikan adanya nilai-nilai, dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum
mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak pengamat maupun tujuan-tujuan
kesusilaan.
d. Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional karena realisme
bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenar-benarnya oleh pengadilan-pengadilan
dan orang-orangnya. Untuk itu, dirumuskan definisi-definisi dalam peraturan-peraturan
yang merupakan ramalan umum tentang apa yang dikerjakan oleh pengadilan. Sesuai
dengan keyakinan ini, maka realism menciptakan penggolongan-penggolongan perkara
dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-
penggolongan yang ada pada masa lampau.
e. Gerakan realism menekankan bahwa pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah
diperhatikan dengan seksama akibatnya (Lili Rasjidi, 1985 : 49-50)

3.4. Kelebihan Dan Kekurangan Mazhab Aliran Realisme Hukum


 Kelebihan :
1. Tidak bergantung kepada segala pengetahuan
2. Program pendidikan terfokus sehingga peserta didik mampu menyesuaikan diri
dengan tepat dan dapat melaksanakan tanggung jawab sosial dalam kehidupan
bermasyarakat
3. Peserta didik mampu dalam mengikuti perkembangan iptek
4. Belajar dilakukan secara terpola berdasarkan pada suatu pedoman
5. Kurikulum lengkap yang berisi semua pengetahuan yang berguna dalam
penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab sosial. Kurikulum berisi unsur-
unsur pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan
pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja
6. Metodenya logis dan psikologis, semua kegiatan belajar berdasarkan pengalaman
baik langsung maupun tidak langsung. Metode mengajar bersifat logis, bertahap,
dan berurutan
 Kekurangan :
1. Menganggap bahwa realitas itu tidak sekedar apa yang dapat dilihat secara real,
tetapi realitas itu adalah pemikiran atau ide-ide
2. Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis
pendidikan yang sama. Menurutnya pembawaan dan sifat manusia sama pada
semua orang. Oleh karena itu, metode, isi, dan proses pendidikan harus sama.
3. Kekeliruan penilaian persepsi, tidak ada penjelasan mengenai objek khayalan atau
halusinasi, semua persepsi tergantung konteks visual

3.4 Kelompok Realisme Hukum Di Amerika


 Realisme hukum di Amerika
 Realisme ini berasal dari praktik dan pengajaran yang ada di Amerika. Realisme
amerika dikembangkan dari ciri khas Anglo Saxon (negara-negara maritim
kepulauan yang terletak di Eropa. Negara-negara yang termasuk Anglo Saxon
yaitu Britania Raya dan negara-negara lainnya di kepulauan Britania. Anglo
Saxon merupakan negara-negara berbudaya khas dan berbeda sejarah sosial
budaya dengan negara-negara di daratan Eropa Barat lainnya yang disebut
kontinental. Britania Raya, Irlandia, Amerika Serikat dan Australia adalah negara-
negara yang disebut sebagai Anglo-Saxon.)
 Gerakan realisme di Amerika merupakan reaksi terhadap aliran positivism dan
untuk memperbaiki positivisme analitis pada abad ke-19 dalam praktik keadilan.
Realisme Amerika Serikat merupakan pendekatan secara pragmatis dan
behaviouritis terhadap lembaga-lembaga sosial, aliran realisme ini menekankan
hukum sebagai law in action dan menganggap hukum itu sebagai pengalaman,
sedangkan sumber hukum dalam aliran realisme ini adalah putusan hakim.
 Tokoh-tokoh dalam realisme hukum di Amerika
 Kaum positivis
 Charles Sanders Pierce (1839-1914)
Pierce berpendapat bahwa pengetahuan yang benar tidak akan didapat dari teori,
melainkan dari praktek hidup yang diterangkan secara analitis. Praktik hidup
disini adalah Empiris dan Eksprimental.
 John Chipman Gray (1839-1919)
Sebagai ciri realisme amerika, Gray menempatkan hakim sebagai pusat
perhatiannya. Menurut Gray disamping logika, kepribadian, prasangka dan faktor
lain yang tidak logis memiliki pengaruh dalam pembentukan hukum.
 Oliver Wendell Holmes J.R. (1841-1953)
Holmes berteori bahwa perkiraan tentang apa yang akan diputus oleh pengadilan
adalah yang dimaksud dengan hukum.
 William James (1842-1910)
James berpendapat menolak abstraksi dan hal-hal yang tidak memadai,
penyelesaian secara verbal, alasan priori yang tidak adil, prisnip yang ditentukan,
sistem yang tertutup dan hal-hal yang dianggap mutlak dan asli.
 John Dewey (1859-1952)
Inti ajaran Dewey adalah bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian,
prinsip-prinsip teoritis seperti silogisme, tapi suatu study tentang kemungkinan-
kemungkinan.
 Benyamin Nathan cardozo (1870-1938)
Benyamin beranggapan bahwa hukum mengikuti perangkat aturan umum dan
yakin bahwa penganutan terhadap presiden seharusnya merupakan aturannya dan
bukan merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan.
 Jerome Frank (1889-1957)
Menurut Frank hukum tidak dapat disamakan dengan suatu aturan yang tetap,
seakan-akan merupakan prinsip logika. Hukum berdiri dari putusan peradilan
yang bergantung pada banyak faktor.
 Karl Llewellyn
Karl menekankan pada fungsi lembaga-lembaga hukum. Pokok-pokok
pendekatan kaum realis : hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial
dan hendaknya konsepsi-konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-
ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan.

3.5. Kelompok Realisme Hukum Di Scandinavian


Mazhab hukum yang berkembang di Uppsala, Swedia juga disebut mashab realisme
hukum. Namun perbedaan dengan mazhab realisme hukum Amerika cukup besar karena bukan
praktek hukum pejabat-pejabat hukum menjadi titik tolak pandangan, melainkan kelakuan orang-
orang di bawah hukum. Ilmu pengetahuan yang menerangkan kelakuan orang adalah psikologi.
Karenanya psikologi diminta bantuannya oleh tokoh-tokoh maszab Swedia untuk mencari arti
hukum yang sebenarnya. Aliran ini berkeyakinan bahwa hukum hanya bisa dijelaskan melalui
fakta- fakta yang bisa diobservasi, dan studi tentang fakta ini –yang disebut dengan ilmu
pengetahuan hukum- karenanya merupakan sebuah ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu
pengetahuan lain yang peduli dan memfokuskan diri pada fakta dan kejadian dalam hubungan
sebab-akibat.oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran hukum, eksistensi
hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property dipisahkan dari khayalan dan dunia
metafisika. Adapun konsep tentang realisme ala skandinavia berakar dari kondisi hukum dan
ilmu hukum yang berada di skandinavia dimana ketika pengetahuan terhadap konsep dan metode
dari hukum skandinavia meningkat maka ini berarti penulisan oleh para hakim menjadi lebih
bernilai. Dinegara negara skandinavia hukum hukum roma (civil law) hanya memiliki dampak
yang kecil. Hukum hukum substansif skandinavia termasuk dalam pengetahuan hukumnya tetap
berada diluar konsep hukum mainstream dunia . Hukum hukum skandinavia jarang yang tertulis
apalagi terkodifikasi dan sebagai akibatnya lebih berorientasi pada hakim dan atau peradilan.

Tokoh realisme hukum Scandinavia antara lain; Axel Hagerstrom, Olivecrona, Alf Ross,
dan A.V. Lundstedt. Bagi mereka ilmu hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan
empiris yang relevan dalam bidang hukum. Kenyataan-kenyataan itu ditemukan dalam perasaan-
perasaan psikologis. Perasaan itu tampak pad rasa wajib, rasakuasa, ataupun rasa takut akan
reaksi lingkungan.

Axel Hagerstorm ( 1868-1939) merupakan pendiri dari “ Uppsala School” menaruh perhatiannya
pada konsep dasar hukum yang menjadi analisa kritis pada konsep “hak”; Ia memberikan contoh
mengenai hak kepemilikan. Yang mana hal tersebut tidak akan ada persoalan sampai dengan
adanya tuntutan atau hal tersebut menjadi objek perkara di pengadilan. Bahkan, tuntutan dari
pihak lain pun akan dipandang tidak nyata atau spekulatif sampai ia dapat membuktikan yang
sebaliknya;

Doktrin yang dibawa oleh Uppsala school (Axel Hagerstorm) ini dikritisi oleh Filsuf
hukum Denmark, F. Vinding Kruse dan menyebutkan bahwa elaborasi normatif dan etikal
jurisprudence masih tetap metoda yang diuji cobakan. Dia mengambil sikap bahwa masih
memungkinkan untuk membangun nilai dasar moral dan keadilan berdasarkan keilmuan; Dengan
demikian, prinsip bahwa manusia hidup bersama dalam masyarakat tidak boleh saling melukai
merupakan reaksi normal untuk menjaga manusia dan kekayaannya. Prinsip ini tidak dapat
dipandang sebagai dalil normatif yang sewenang-wenang;

Lundstedt, seorang profesor hukum Swedia, mengikuti Hangerstrom dalam penolakannya


secara total terhadap argumen yang bersifat metafisik. Apa yang tidak dapat dibuktikan sebagai
fakta bahasa serta reaksi-reaksi yang murni yang bersifat emosional yang menjadi penyebab
timbulnya banyak argumen yang tidak berguna yang berkaitan dengan sifat hukum.
Konsepkonsep keadilan merupakan ilusi, dimana tidak pernah ada ilmu yang berkaitan dengan
nilainilai. Menurut Lundstedt, hukum hanyalah merupakan fakta-fakta dari eksistensi sosial,
sedangkan selain itu tak lebih hanya sekedar ilusi. Hukum merupakan hal esensial jika
masyarakat ingin bertahan; oleh karena pada dasarnya hukum merupakan persyaratan bagi
“kesejahteraan sosial”. lebih lanjut ia berpendapat bahwasuatu sistem hukum mencerminkan
aspirasi-aspirasi sosial yang secara sistematik mengorganisir fakta sosial, maka tujuan-tujuan
sistem itu akan muncul pula secara jelas.

Kenyataan hukum di Scandinavia memfokuskan pada kenyataan, dimana menekankan


pada hak kepemilikan (Axel Hagerstrom). Yang mana hal tersebut tidak akan ada persoalan
sampai dengan adanya tuntutan atau hal tersebut menjadi obyek perkara di pengadilan. Bahkan,
tuntutan dari pihak lain pun akan dipandang tidak nyata atau spekulatif sampai ia dapat
membuktikan yang sebaliknya. Selain hak kepemilikan, ada juga norma dalam hukum hanya
akan valid apabila dapat diprediksi bahwa pengadilan dapat mempergunakan hal tersebut dalam
suatu perkara (Alf Ross). Dari pandangan Ross ini, ia menyatakan bahwa hukum sejatinya
ditujukan kepada pengadilan ketimbang individual; Dalam pandangan Realis Skandinavia,
hukum bukanlah upaya untuk menyadarkan keadilan, melainkan dibawa oleh tekanan kelompok
sosial atau kebutuhan kelompok sosial.

Ross membedakan 2 jenis ilmu hukum, pertama hukum dalam arti yang dimuat dalam
undang-undang, dan kedua kalimat-kalimat dalam buku dimana hukum dinyatakan. Kategori
pertama bersifat menentukan, sedangkan yang kedua lebih mengarah kepada pengetahuan
tentang apa hukum yang sebenarnya yang berisi pernyataan dan penjelasan. Bagi Ross, validitas
hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide normatif yang disajikan dalam sebuah skema
intepretasi atas fenomena hukum dalam kenyataan, yang dimaksdukan untuk memprediksikan
aktifitas para hakim. Dia menyatakan bahwa norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada
seluruh masyarakat, namun merupakan petunjuk kepada hakim. Aturan hukum adalah aturan
tentang penggunaan kekuatan dan ditujukan kepada para pejabat terkait. Contoh, larangan
membunuh, merupakan petunjuk bagi hakim dan beberapa instansi pemerintah dalam berurusan
dengan kasus-kasus pembunuhan yang diajukan kepada mereka. Dalam pandangan Ross,
semakin efektif pemenuhan aturan oleh masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur
validitas (hukum) nya, karena pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan
reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika hakim
menganggapnya mengikat. Namun, pemikiran Ross ini dianggap banyak menimbulkan persoalan
karena dianggap sulit untuk menyelidiki pemikiran hakim. Ross membedakan 2 jenis ilmu
hukum, pertama hukum dalam arti yang dimuat dalam undang-undang, dan kedua kalimat-
kalimat dalam buku dimana hukum dinyatakan. Kategori pertama bersifat menentukan,
sedangkan yang kedua lebih mengarah kepada pengetahuan tentang apa hukum yang sebenarnya
yang berisi pernyataan dan penjelasan. Bagi Ross, validitas hukum adalah serangkaian abstrak
dari ide-ide normatif yang disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena hukum dalam
kenyataan, yang dimaksdukan untuk memprediksikan aktifitas para hakim. Dia menyatakan
bahwa norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan
petunjuk kepada hakim. Aturan hukum adalah aturan tentang penggunaan kekuatan dan
ditujukan kepada para pejabat terkait. Contoh, larangan membunuh, merupakan petunjuk bagi
hakim dan beberapa instansi pemerintah dalam berurusan dengan kasus-kasus pembunuhan yang
diajukan kepada mereka. Dalam pandangan Ross, semakin efektif pemenuhan aturan oleh
masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya, karena pengadilan tidak
memiliki kesempatan untuk menunjukkan reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa
hukum adalah valid jika hakim menganggapnya mengikat. Namun, pemikiran Ross ini dianggap
banyak menimbulkan persoalan karena dianggap sulit untuk menyelidiki pemikiran hakim. Bagi
aliran realis merupakan hal yang tidak bisa ditawar, dan menolak metafisika. Dalam hal ini,
terdapat kemiripan antara aliran ini dengan legal positivism. Ross mengatakan bahwa hanya ada
satu dunia dan satu kognisi (kesadaran). Seluruh ilmu pengetahuan (termasuk ilmu pengathuan
hukum) hanya memustakan perhatian kepada fakta, seluruh dalil ilmu pengetahuan menyangkut
realitas, dan seluruh yang tidak sepenuhnya logis - matematis- selalu merujuk kepada uji
pengalaman. Studi hukum doktrinal bagi Ross dianggap sebagai ilmu pengetahuan sosial
empirik. Dia juga mengatakan bahwa makna diberikan terhadap fakta yang dapat diferivikasi,
sehingga dalil-dalil yang tidak dapat diverifikasi maka tidak bermakna. Namun demikian, Lloyd
D. Dan Freeman menganggap bahwa pandangan Ross ini bermasalah dengan pemahaman
tentang kegunaan bahasa, yang menurutnya bersifat tunggal. Padahal dalam kenyataannya
kegunaan bahasa dapat bermacam-macam. Meskipun demikian, dalam perkembangan
berikutnya, aliran ini lebih bersikap toleran terhadap keragamaan kegunaan bahasa. MacCormak
mengatakan bahwa keragaman fungsi bahasa dan realitas psikologis dari keyakinan dan perasaan
adalah elemen utama dari penjelasan Ross dan Olivecrona mengenai aturan hukum dan
viliditasnya, dan juga hak-hak hukum. Ross membuat 3 perbedaan atas perkataan yang
digunakan dalam aturan hukum: indicative, directive dan emotive.
Sedangkan Olivecrona (seorang juris Swedia) membedakan bahasa hukum ke dalam 2
kategori: technical (yang bersifat pasif), dan performative (yang bersifat kreatif). Asal mula
hukum. Dalam pandangan Olivecrona, asal mula hukum sejatinya adalah pertanyaan tentang asal
mula histori dan faktual tentang perkembangan “aturan yang luar biasa, bersifat magis-religius
yang ditemukan dalam masyarakat kuno”. Reductionism dan legal concept. Menurut Ross,
konsep dapat selalu direduksi dengan analisa atas serangkaian dalil yang setara, atau dapat
disubtitusikan.

Olivecrona menganggap tidak perlu mendefenisikan hukum. Metode analisis digunakan


oleh Olivercrona mencakupi penyelidikan tentang keseluruhan fakta yangada dalam istilah
‘aturan-aturan hukum’. Sistem aturan-aturan hukum bukanlah suatu sistem yang tertutup; sistem
aturan-atuaran hukum tidak mempunyai batasan yang tegas. Hukum muncul dari aturan-aturan
normatif yang berdasarkan pada kenyataan-kenyataan sosial; hukum hanya ada dalam imajinasi.
“kekuatan mengikat” seperti yang dikemukakan oleh Olivercrona, tidak mempunyai eksistensi
objektif. Tidak ada “kekuatan mengikat” dalam hukum alam, karena hukum alam bersandar
hanya pada kepercayaan. Kekuatan mengikat dari hukum tidak mempunyai asal usul dalam
kehendak negara yang bersangkutan (kekuatan mengikanyat hukum tidak lebih daripada sebuah
mitos). “Mengikatnya” hukum ada hanya sebagai suatu ide dalam pikiran manusia. Orang
“merasa” bahwa mereka diikat oleh hukum dan dalam suatu analisis tentang perasaan-perasaan
inilah esensi hukum dapat ditemukan.

3.6 Perbedaan dari American Legal Realism dan Scandinavian Legal Realism
(a) American Legal Realism

Aliran ini berkembang pada abad ke-19 sampai ke-20 di Amerika Serikat. Pada mulanya,
paham laissez faire merupakan paham yang dominan, dimana semua kegiatan ilmu pengetahuan
selalu dipengaruhi oleh formalisme. Apa yang dilakukan pembuat keputusan publik seringkali
dianggap tidak jelas. Sehingga realisme hukum Amerika memandang bahwa hukum dalam
aksi/tindakan sering kali lebih penting dari hukum yang ada dalam buku. Realisme hukum
Amerika ditandai dengan ciri-ciri umum :

– Menolak pemikiran yang metafisis, meskipun tokoh-tokohnya merupakan kaum positivis.


– Pengembangan pengetahuan harus dilakukan secara empiris, dan selalu mencari jalan
penyelesaian bagi setiap problem praktis dalam kehidupan sehari-hari.

– Pendekatannya adalah pendekatan sosiologis dan juga psikologi sosial, yang mengarah pada
suatu objek pokok, yakni apa yang secara aktual terjadi, yang dalam hal ini adalah apa yang
terjadi di lembaga peradilan.

Dikemukakan pula bahwa pokok-pokok pendekatan hukum sebagai berikut: (1) bahwa
hendaknya konsepsi hukum menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang
diciptakan oleh pengadilan; (2) Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial; (3)
Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum dan oleh karenanya selalu ada kebutuhan untuk
menyelidiki bagaimana hukum itu menghadapi problem-problem sosial yang ada. Bahwa untuk
keperluan studi, untuk sementara harus ada pemisahan antara is dan ought. Ia tidak mempercayai
adanya suatu anggapan bahwa peraturan-peraturan dan konsep-konsep hukum itu sudah
mencukupi untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh pengadilan. Menurutnya, hal ini
merupakan masalah utama bagi golongan realis dalam pendekatan mereka terhadap hukum.

(b) Scandinavian Legal Realism

Gerakan realisme di Skandinavia dilatarbelakangi oleh diterimanya cara berpikir empiris ala
Inggris. Ciri pendekatan dalam realisme Skandinavia adalah pendekatan psikologi. Sehingga
ilmu psikologi lebih banyak digunakan untuk mendalami fenomena hukum. Adapun ciri realisme
ini diantaranya: pemikiran ini berwatak sosiologis, namun menekankan pada pentingnya hukum
untuk ditempatkan di dalam konteks kebutuhan yang faktual di dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu aspek praktis dari jalannya proses peradilan sangat diperhatikan. Secara umum, ciri-
cirinya adalah :

–Pemikiran berwatak sosiologis, dengan menekankan tentang pentingnya menempatkan hukum


dalam konteks kebutuhan yang faktual dari social life.

– Aspek praktis dari lembaga peradilan dikaji secara teoritis.

Axel Hagerstorm menyatakan bahwa ilmu hukum harus dibebaskan dari mitologi, teologi, dan
metafisika. Pemikiran hukum sama dengan pemikiran sosiologis dimana tanpa adanya
investigasi empiris, namun harus didasarkan pada analisis konseptual, historis, dan psikologis.
Hukum merupakan perasaan psikologis yang kelihatan dari rasa wajib, rasa senang mendapatkan
keuntungan, rasa takut akan reaksi masyarakat bila melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu. Jadi ilmu hukum harus bertolak dari kenyataan-kenyataan empiris, yakni yang sesuai
dengan perasaan psikologis individu.

BAB IV
KESIMPULAN

Filsafat Hukum adalah cabang dari filsafat yang mempelajari hukum yang benar, atau
dapat juga kita katakan Filsafat Hukum adalah merupakan pembahasan secara filosofis tentang
hukum, yang sering juga diistilahkan lain dengan Jurisprudence, adalah ilmu yang mempelajari
hukum secara filosofis, yang objeknya dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya,
yang disebut hakikat. Terdapat enam macam aliran dalam filsafat hukum dan didalam makalah
ini saya menjelaskan hanya satu aliran saja. Aliran realisme memiliki sejarah, kelebihan dan
kekurangan masing-masing dan juga beberapa ciri ciri maupun penerapannya, namun terlepas
dari semua itu mazhab hukum pasti selalu mengedepankan apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat yaitu, ketertiban sosial. Tidak semata-mata sebuah idealisme tetapi juga ide-ide
tentang hukum dan moral yang saling berkaitan yang dapat menambah khasanah untuk
mempelajari dan juga diterapkan didalam kehidupan sehari hari.
Daftar Pustaka
Buku

 Sumbu T., Pinasang R., dan Maramis F. 2016. BUKU AJAR FILSAFAT HUKUM. hlm 37
 Nadir dan Wardani W. PERCIKAN PEMIKIRAN TIGA ALIRAN HUKUM: SEJARAH
HUKUM, SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE, DAN LEGAL REALISME DALAM
KHASANAH HUKUM INDONESIA. Jurnal YUSTITIA. 20 (1).
 Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apadan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, GramediaPustaka Utama.
 Huijbers, Theo,1995, Filsafat Hukum Dalam lintasan Sejarah,
Yogyakarta,Penerbit Kanisius.
 Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, 2012, Filsafat, Teori dan IlmuHukum
(Pemikiran Menuju Masyarakay yang Berkeadilan danBemartabat, Jakarta,
Rajawali Pers
 Prof. Dr. Lili Rasjidi, S.H., LLM. Filsafat Hukum : Apakah Hukum Itu?
 Abdul Halim. Teori-teori hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-kritiknya.
Jurnal Asy-Syir’ah. Vol. 42 No. II, 2009. Hal. 397.

Jurnal

 Arief Budiono,Wafda Vivid Izziyana. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah


Ponorogo. “THEISTIC LEGAL REALISM (Suatu Pilihan Radikal bagi Pengembangan
Hukum)”. Diakses pada 10 Desember 2020
 Selviria. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. “SISTEM PEMIDANAAN
INDONESIA DITINJAU DARI PENDEKATAN
AMERICAN LEGAL REALISM DAN SCANDINAVIAN REALISM”. Diakses pada 10
Desember 2020
 THEISTIC LEGAL REALISM (Suatu Pilihan Radikal bagi Pengembangan Hukum)Arief
Budiono1 Wafda Vivid Izziyana2 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Ponorogo
 LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT
ILMU Rizal Mustansyir Universitas Gadjahmada Jogjakarta
 PERCIKAN PEMIKIRAN TIGA ALIRAN HUKUM: SEJARAH HUKUM,
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE, DAN LEGAL REALISME DALAM
KHASANAH HUKUM INDONESIA Nadir & Win Yuli Wardani Fakultas Hukum
Universitas Madura Pamekasan

Website

 Khasanah, Mauidhotul. 2014. Kelebihan dan Kekurangan Aliran-aliran Filsafat.


https://www.kompasiana.com/mauidhotulkhasanah/kelebihan-dan-kekurangan-
aliranaliran-filsafat_54f7c28da33311c27b8b4c97. (diakses tanggal 13 Desember 2020)
 Uma, Riza. Kelebihan dan Kekurangan Aliran Realisme.
https://www.academia.edu/37875494/Kelebihan_dan_kekurangan_aliran_realisme.
(diakses tanggal 13 Desember 2020)
 https://slideplayer.info/slide/12936875/
 https://www.slideshare.net/kurniawandidi7/realisme-hukum
 http://lembagabantuanhukummadani.blogspot.com/2015/06/realisme-hukum.html
 https://media.neliti.com/media/publications/23328-ID-realisme-hukum-dan-kritiknya-
terhadap-positivisme-hukum.pdf
 http://mahendraputra.id/wp-content/uploads/2018/05/MATERI-KULIAH-
PENGANTAR-ILMU-HUKUM-13.pdf
 https://setyopamungkas.com/2012/01/09/mengenal-american-legal-realism-dan-
scandinavian-legal-realism/

Anda mungkin juga menyukai