KELAS B
KELOMPOK 6
Disusun Oleh:
NO Nama
1. Silvy Dwi Rahmawati (200710101130)
2. Nala Ma’rifatul Husna (200710101246)
3. Agis Fatahillah (200710101258)
4. Yohanes Rhama Pradita Virgiantara (200710101182)
5. Afifah Ihda Rashartiani (200710101062)
6. Nabila fajrin (200710101179)
7. Dimas Agus Subekti (200710101049)
8. Maharani Qaulan Syadida Az Zahro (200710101372)
UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
2020
Daftar Isi
BAB I .........................................................................................................................................3
3.6 Perbedaan dari American Legal Realism dan Scandinavian Legal Realism ..................... 17
Secara menalaah lebih lanjut tentang apa saja yang dipelajari didalam hukum itu dan
menemukan banyak hal yang perlu dipelajari salah satunya tentang cabang ilmu hukum
berdasarkan mazhabnya yang secara sudut pandang jika dilihat melalui sisi historis. Zaman terus
berkembang melalui hierarkis perkembangan yang terus diiringi dengan perubahan sosial,
dimana dua hal ini akan selalu beriringan. Keberadaan manusia yang dasar pertamanya bebas
menjadi hal yang problematik ketika ia hidup di dalam komunitas sosial. Kemerdekaan ini akan
berbenturan dengan kemerdekaan individu lainnya bahkan dengan makhluk yang lain. Maka
muncullah tata aturan, norma, nilai-nilai yang menjadi kesepakatan universal yang ditaati. Di
sinilah hukum muncul dalam peradaban manusia untuk menjunjung tingi nilai-nilai
kemanusiaan. Kemudian ketika hukum itu diberi jawaban atau tanggapan berbeda-beda oleh para
akademisi kemudian diikuti oleh masyarakatnya, maka dari sinilah akan muncul aliran-aliran
dalam hukum itu sendiri yang terbagi menjadi beberapa bagian.
Oleh sebab itu lahirnya makalah ini dimaksudkan untuk mempelajari tentang Mazhab
aliran hukum yang ada didunia secara lebih terperinci dengan guna agar memberikan manfaat
untuk orang banyak dan menjadikan bahan referensi untuk memperlajari mazhab ilmu hukum
secara spesifik.
1.2 Ruang Lingkup Makalah
Hukum juga merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-
hari karena hukum adalah sesuatu yang lahir karena adanya masyarakat yang saling melakukan
interaksi sehingga menimbulkan hukum itu sendiri. Namun pada kenyataannya Gagasan selalu
berkembang lebih cepat daripada kenyataan yang terjadi. Hal yang demikian berlaku pula bagi
hukum progresif sebagai sebuah gagasan yang merespon fenomena hukum yang terjadi di
Indonesia. Ketika hukum sebagai satu kenyataan yang dianggap powerless, tak berdaya
mengantisipasi kejahatan, maka muncullah semangat baru untuk mengatasi kejumudan berupa
hukum progresif.
Namun banyak pemikiran ahli hukum antara satu dengan lainnya dunia memiliki
pendapat yang berbeda sehingga beragam pendapat dan pemikiran tentang hukum. Satu
pemikiran atau mazhab hukum tidaklah lahir dari ruang yang hampa, tetapi didapat dari hasil
dialogis dan interaksi dengan mazhab atau pemikiran hukum di sekitarnya bahkan sering terjadi
ketegangan. Namun kali ini kami tidak akan membahas lebih terperinci dampak dari mazhab
yang berbeda-beda. Kami akan membahas satu aliran yang lebih spesifik yaitu ajaran dari
Realisme yang menunjukkan hukum apa yang tanpak dalam pekerjaan hakim dalam memutus
sebuah peristiwa konkrit hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus dalam kenyataannya
oleh pengadilan.
BAB II
Tinjaun Pustaka
(Marimis,2008) Teori hukum Realis atau Legal realism yang ditokohi Oliver Wendell
Holmes yang terkenal dengan adagium “The life of the law has not been logic; it has been
experience”. Bahwasanya hukum tidak sebatas logika, melainkan lebih pada pengalaman.
Hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan lebih dilihat dan dinilai dari
tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat yang ditimbulkan dari cara bekerjanya hukum.
Pemahaman atas hukum tidak hanya bersifat tekstual, melainkan melampaui dokumen hukum.
(Zainul Ali,2016) Aliran realisme hukum merupakan salah satu subaliran dari positivisme
hukum yang dipelopori oleh John Chipman, Gray, Oliver Wendel Holmes, Karl Liwellyn,
Jerome Frank, William James dan lain-lain. Menurut Llwellyn, realisme hukum bukanlah
merupakan aliran di dalam filsafat hukum, melaikan sebuah gerakan dalam cara berpikir tentang
hukum.
Jerome Frank (1889-1957) yang menyusun skeptisisme konstruktif (Law and The
Modern Mind, Pendahuluan pada terbitan VI, 1949, hal. vii) mengidentifikasikan berbagai
realisme yang disebut fakta skeptisisme. Hal ini menjabarkan bentuk ultrarealisme yang
membangun alternative aturan skeptisisme. Frank menempatkan komitmen pada skeptisisme
terlepas dari pertanyaan, juga dengan menjelaskan dasar dari fakta skeptisisme pada waktu yang
sama: “Aturan (baik yang dibuat oleh legislator atau hakim) adalah bagian dari kebijakan
publik, nilai-nilai idealisme dan … dengan dasar tersebut … harus diteliti secara berkala dan
menyeluruh …”
BAB III
Pembahasan
Dalam arti filsafat yang sempit, realisme berarti anggapan bahwa obyek indra kita adalah
real, benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita
persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita.
Realisme hukum adalah gerakan yang dipelopori terutama oleh sejumlah hakim dan
muncul di awal abad 20. Realisme ini menunjukkan hukum apa yang tanpak dalam pekerjaan
hakim dalam memutus sebuah peristiwa konkrit hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus
dalam kenyataannya oleh pengadilan. Dalam pandangan penganut realisme hukum, hukum
adalah hasil kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Pandangan dalam realisme hukum
adalah bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap
perkara itu.
Hukum bekerja mengikuti persitiwa-peristiwa konkret yang muncul. Oleh karena itu,
dalil-dalil hukum yang universal harus diganti dengan logika yang fleksibel daneksperimental
sifatnya. Hukum pun tidak mungkin bekerja menurutdisiplinnya sendiri. Perlu ada
pendekatan interdisipliner dengan memanfaatkan ilmu-ilmu seperti ekonomi, sosilogi,
kriminologi, danpsikologi. Dengan penyelidikan terhadap faktor sosial
berdasarkanpendekatan tersebut dapat disinkronkan antara apa yang dikehendakihukum
dan fakta –fakta (realita) kehidupan sosial. Semua itu diarahkanagar hukum dapat bekerja secara
lebih efektif.
Sebagaimana dikatakan oleh Oliver Wendell Holmes Jr., dugaan-dugaan tentang apa
yang diputuskan oleh pengadilan itulah yang disebutdengan hukum. Pendapat Holmes ini
menggambarkan secara tepatpandangan realis Amerika yang pragmatis.
Realisme hukum amerika bersifat pragmatisme yang pemikir-pemikirannya tidak
member perhatian lagi pada masalah-masalah teoritistentang hukum dan tidak
mengindahkan lagi aspek normative darihukum. Bagi mereka yang penting adalah yang
diperlukan oleh hukumsecara actual misalnya orang-orang yang menjalankan hukum
sepertipara hakim dan pegawai-pegawai pengadilan lainnya, merekalah yang membuat
hukum. Ilmu pengetahuan hukum haruslah berpedomankepada kelakuan hakim. Hubungan
antara aliran realisme hukum dan aliran sosiologihukum sangatlah unik. Disatu pihak
bebrapa pondasi dari aliran sosiologihukum mempunyai kemiripan atau overlapping, tetapi di
pihak lain dalambeberapa hal, keduanya justrus saling bersebrangan.
Semuaini memperlihatkan secara jelas betapa ilmu hukum dan ilmu social danilmu
budaya sudah gagal dan lumpuh sehingga sudah tidak dapatmenjalankan fungsinya lagi
sebagai pelindung dan pemanfaat terhadapperadaban dan eksistemsi manusia di bumi ini.Karena
itu dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudiandalam ilmu sains itu sendiri,
terdapat gejolak-gejolak dalam bentuk pembangkangan yang semakin lama tensinya
semain tinggi. Gejolaktersebut yang kemudian mengkristal menjadi protes yang
akhirnyamelahirkan aliran baru dengan cara pandang baru terhadap manusia,dunia dan
masyarakat dengan segala atributnya itu. Karena sains jugamempunyai watak anarkis, maka
pada awal mulanya setiappembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari
perkembangansains sehingga pembangkangan tersebut dianggap wajar-wajar saja.
a. Realisme bukanlah suatu aliran/mahzab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara
berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
b. Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat
untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus diselediki mengenai tujuan
maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan
daripada hukum
c. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara Sollen dan Sein untuk
keperluan suatu penyidikan. Agar penyelidikan itu mempunyai tujuan, maka hendaknya
diperhatikan adanya nilai-nilai, dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum
mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak pengamat maupun tujuan-tujuan
kesusilaan.
d. Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional karena realisme
bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenar-benarnya oleh pengadilan-pengadilan
dan orang-orangnya. Untuk itu, dirumuskan definisi-definisi dalam peraturan-peraturan
yang merupakan ramalan umum tentang apa yang dikerjakan oleh pengadilan. Sesuai
dengan keyakinan ini, maka realism menciptakan penggolongan-penggolongan perkara
dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-
penggolongan yang ada pada masa lampau.
e. Gerakan realism menekankan bahwa pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah
diperhatikan dengan seksama akibatnya (Lili Rasjidi, 1985 : 49-50)
Tokoh realisme hukum Scandinavia antara lain; Axel Hagerstrom, Olivecrona, Alf Ross,
dan A.V. Lundstedt. Bagi mereka ilmu hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan
empiris yang relevan dalam bidang hukum. Kenyataan-kenyataan itu ditemukan dalam perasaan-
perasaan psikologis. Perasaan itu tampak pad rasa wajib, rasakuasa, ataupun rasa takut akan
reaksi lingkungan.
Axel Hagerstorm ( 1868-1939) merupakan pendiri dari “ Uppsala School” menaruh perhatiannya
pada konsep dasar hukum yang menjadi analisa kritis pada konsep “hak”; Ia memberikan contoh
mengenai hak kepemilikan. Yang mana hal tersebut tidak akan ada persoalan sampai dengan
adanya tuntutan atau hal tersebut menjadi objek perkara di pengadilan. Bahkan, tuntutan dari
pihak lain pun akan dipandang tidak nyata atau spekulatif sampai ia dapat membuktikan yang
sebaliknya;
Doktrin yang dibawa oleh Uppsala school (Axel Hagerstorm) ini dikritisi oleh Filsuf
hukum Denmark, F. Vinding Kruse dan menyebutkan bahwa elaborasi normatif dan etikal
jurisprudence masih tetap metoda yang diuji cobakan. Dia mengambil sikap bahwa masih
memungkinkan untuk membangun nilai dasar moral dan keadilan berdasarkan keilmuan; Dengan
demikian, prinsip bahwa manusia hidup bersama dalam masyarakat tidak boleh saling melukai
merupakan reaksi normal untuk menjaga manusia dan kekayaannya. Prinsip ini tidak dapat
dipandang sebagai dalil normatif yang sewenang-wenang;
Ross membedakan 2 jenis ilmu hukum, pertama hukum dalam arti yang dimuat dalam
undang-undang, dan kedua kalimat-kalimat dalam buku dimana hukum dinyatakan. Kategori
pertama bersifat menentukan, sedangkan yang kedua lebih mengarah kepada pengetahuan
tentang apa hukum yang sebenarnya yang berisi pernyataan dan penjelasan. Bagi Ross, validitas
hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide normatif yang disajikan dalam sebuah skema
intepretasi atas fenomena hukum dalam kenyataan, yang dimaksdukan untuk memprediksikan
aktifitas para hakim. Dia menyatakan bahwa norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada
seluruh masyarakat, namun merupakan petunjuk kepada hakim. Aturan hukum adalah aturan
tentang penggunaan kekuatan dan ditujukan kepada para pejabat terkait. Contoh, larangan
membunuh, merupakan petunjuk bagi hakim dan beberapa instansi pemerintah dalam berurusan
dengan kasus-kasus pembunuhan yang diajukan kepada mereka. Dalam pandangan Ross,
semakin efektif pemenuhan aturan oleh masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur
validitas (hukum) nya, karena pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan
reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika hakim
menganggapnya mengikat. Namun, pemikiran Ross ini dianggap banyak menimbulkan persoalan
karena dianggap sulit untuk menyelidiki pemikiran hakim. Ross membedakan 2 jenis ilmu
hukum, pertama hukum dalam arti yang dimuat dalam undang-undang, dan kedua kalimat-
kalimat dalam buku dimana hukum dinyatakan. Kategori pertama bersifat menentukan,
sedangkan yang kedua lebih mengarah kepada pengetahuan tentang apa hukum yang sebenarnya
yang berisi pernyataan dan penjelasan. Bagi Ross, validitas hukum adalah serangkaian abstrak
dari ide-ide normatif yang disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena hukum dalam
kenyataan, yang dimaksdukan untuk memprediksikan aktifitas para hakim. Dia menyatakan
bahwa norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan
petunjuk kepada hakim. Aturan hukum adalah aturan tentang penggunaan kekuatan dan
ditujukan kepada para pejabat terkait. Contoh, larangan membunuh, merupakan petunjuk bagi
hakim dan beberapa instansi pemerintah dalam berurusan dengan kasus-kasus pembunuhan yang
diajukan kepada mereka. Dalam pandangan Ross, semakin efektif pemenuhan aturan oleh
masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya, karena pengadilan tidak
memiliki kesempatan untuk menunjukkan reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa
hukum adalah valid jika hakim menganggapnya mengikat. Namun, pemikiran Ross ini dianggap
banyak menimbulkan persoalan karena dianggap sulit untuk menyelidiki pemikiran hakim. Bagi
aliran realis merupakan hal yang tidak bisa ditawar, dan menolak metafisika. Dalam hal ini,
terdapat kemiripan antara aliran ini dengan legal positivism. Ross mengatakan bahwa hanya ada
satu dunia dan satu kognisi (kesadaran). Seluruh ilmu pengetahuan (termasuk ilmu pengathuan
hukum) hanya memustakan perhatian kepada fakta, seluruh dalil ilmu pengetahuan menyangkut
realitas, dan seluruh yang tidak sepenuhnya logis - matematis- selalu merujuk kepada uji
pengalaman. Studi hukum doktrinal bagi Ross dianggap sebagai ilmu pengetahuan sosial
empirik. Dia juga mengatakan bahwa makna diberikan terhadap fakta yang dapat diferivikasi,
sehingga dalil-dalil yang tidak dapat diverifikasi maka tidak bermakna. Namun demikian, Lloyd
D. Dan Freeman menganggap bahwa pandangan Ross ini bermasalah dengan pemahaman
tentang kegunaan bahasa, yang menurutnya bersifat tunggal. Padahal dalam kenyataannya
kegunaan bahasa dapat bermacam-macam. Meskipun demikian, dalam perkembangan
berikutnya, aliran ini lebih bersikap toleran terhadap keragamaan kegunaan bahasa. MacCormak
mengatakan bahwa keragaman fungsi bahasa dan realitas psikologis dari keyakinan dan perasaan
adalah elemen utama dari penjelasan Ross dan Olivecrona mengenai aturan hukum dan
viliditasnya, dan juga hak-hak hukum. Ross membuat 3 perbedaan atas perkataan yang
digunakan dalam aturan hukum: indicative, directive dan emotive.
Sedangkan Olivecrona (seorang juris Swedia) membedakan bahasa hukum ke dalam 2
kategori: technical (yang bersifat pasif), dan performative (yang bersifat kreatif). Asal mula
hukum. Dalam pandangan Olivecrona, asal mula hukum sejatinya adalah pertanyaan tentang asal
mula histori dan faktual tentang perkembangan “aturan yang luar biasa, bersifat magis-religius
yang ditemukan dalam masyarakat kuno”. Reductionism dan legal concept. Menurut Ross,
konsep dapat selalu direduksi dengan analisa atas serangkaian dalil yang setara, atau dapat
disubtitusikan.
3.6 Perbedaan dari American Legal Realism dan Scandinavian Legal Realism
(a) American Legal Realism
Aliran ini berkembang pada abad ke-19 sampai ke-20 di Amerika Serikat. Pada mulanya,
paham laissez faire merupakan paham yang dominan, dimana semua kegiatan ilmu pengetahuan
selalu dipengaruhi oleh formalisme. Apa yang dilakukan pembuat keputusan publik seringkali
dianggap tidak jelas. Sehingga realisme hukum Amerika memandang bahwa hukum dalam
aksi/tindakan sering kali lebih penting dari hukum yang ada dalam buku. Realisme hukum
Amerika ditandai dengan ciri-ciri umum :
– Pendekatannya adalah pendekatan sosiologis dan juga psikologi sosial, yang mengarah pada
suatu objek pokok, yakni apa yang secara aktual terjadi, yang dalam hal ini adalah apa yang
terjadi di lembaga peradilan.
Dikemukakan pula bahwa pokok-pokok pendekatan hukum sebagai berikut: (1) bahwa
hendaknya konsepsi hukum menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang
diciptakan oleh pengadilan; (2) Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial; (3)
Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum dan oleh karenanya selalu ada kebutuhan untuk
menyelidiki bagaimana hukum itu menghadapi problem-problem sosial yang ada. Bahwa untuk
keperluan studi, untuk sementara harus ada pemisahan antara is dan ought. Ia tidak mempercayai
adanya suatu anggapan bahwa peraturan-peraturan dan konsep-konsep hukum itu sudah
mencukupi untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh pengadilan. Menurutnya, hal ini
merupakan masalah utama bagi golongan realis dalam pendekatan mereka terhadap hukum.
Gerakan realisme di Skandinavia dilatarbelakangi oleh diterimanya cara berpikir empiris ala
Inggris. Ciri pendekatan dalam realisme Skandinavia adalah pendekatan psikologi. Sehingga
ilmu psikologi lebih banyak digunakan untuk mendalami fenomena hukum. Adapun ciri realisme
ini diantaranya: pemikiran ini berwatak sosiologis, namun menekankan pada pentingnya hukum
untuk ditempatkan di dalam konteks kebutuhan yang faktual di dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu aspek praktis dari jalannya proses peradilan sangat diperhatikan. Secara umum, ciri-
cirinya adalah :
Axel Hagerstorm menyatakan bahwa ilmu hukum harus dibebaskan dari mitologi, teologi, dan
metafisika. Pemikiran hukum sama dengan pemikiran sosiologis dimana tanpa adanya
investigasi empiris, namun harus didasarkan pada analisis konseptual, historis, dan psikologis.
Hukum merupakan perasaan psikologis yang kelihatan dari rasa wajib, rasa senang mendapatkan
keuntungan, rasa takut akan reaksi masyarakat bila melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu. Jadi ilmu hukum harus bertolak dari kenyataan-kenyataan empiris, yakni yang sesuai
dengan perasaan psikologis individu.
BAB IV
KESIMPULAN
Filsafat Hukum adalah cabang dari filsafat yang mempelajari hukum yang benar, atau
dapat juga kita katakan Filsafat Hukum adalah merupakan pembahasan secara filosofis tentang
hukum, yang sering juga diistilahkan lain dengan Jurisprudence, adalah ilmu yang mempelajari
hukum secara filosofis, yang objeknya dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya,
yang disebut hakikat. Terdapat enam macam aliran dalam filsafat hukum dan didalam makalah
ini saya menjelaskan hanya satu aliran saja. Aliran realisme memiliki sejarah, kelebihan dan
kekurangan masing-masing dan juga beberapa ciri ciri maupun penerapannya, namun terlepas
dari semua itu mazhab hukum pasti selalu mengedepankan apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat yaitu, ketertiban sosial. Tidak semata-mata sebuah idealisme tetapi juga ide-ide
tentang hukum dan moral yang saling berkaitan yang dapat menambah khasanah untuk
mempelajari dan juga diterapkan didalam kehidupan sehari hari.
Daftar Pustaka
Buku
Sumbu T., Pinasang R., dan Maramis F. 2016. BUKU AJAR FILSAFAT HUKUM. hlm 37
Nadir dan Wardani W. PERCIKAN PEMIKIRAN TIGA ALIRAN HUKUM: SEJARAH
HUKUM, SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE, DAN LEGAL REALISME DALAM
KHASANAH HUKUM INDONESIA. Jurnal YUSTITIA. 20 (1).
Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apadan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, GramediaPustaka Utama.
Huijbers, Theo,1995, Filsafat Hukum Dalam lintasan Sejarah,
Yogyakarta,Penerbit Kanisius.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, 2012, Filsafat, Teori dan IlmuHukum
(Pemikiran Menuju Masyarakay yang Berkeadilan danBemartabat, Jakarta,
Rajawali Pers
Prof. Dr. Lili Rasjidi, S.H., LLM. Filsafat Hukum : Apakah Hukum Itu?
Abdul Halim. Teori-teori hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-kritiknya.
Jurnal Asy-Syir’ah. Vol. 42 No. II, 2009. Hal. 397.
Jurnal
Website