Anda di halaman 1dari 2

Nama : Antitirani Sekaring Ati

NPM : 1706047580
Kelas : Filsafat Hukum B (Reguler)
Review Materi; Historical and Anthropological Jurisprudence
1. Menurut Von Savigny
Friedrich Karl von Savigny (1779-1861) adalah ahli hukum Jerman yang juga
dianggap sebagai salah satu Bapak Hukum Jerman. Savigny adalah tokoh mazhab
sejarah (historical school jurisprudence) yang mengembangkan pemahaman
mengenai perkembangan masyarakat dan hukum ditinjau dari segi historis. Savigny
menolak aliran hukum alam, karena baginya sistem hukum bukan merupakan suatu
hasil pengadilan atau hasil dari pembuat undang-undang tetapi berkembang sebagai
suatu respon terhadap kekuatan impersonal yang dapat ditemukan pada semangat
nasional rakyat (people’s national spirit). Dikarenakan Savigny merupakan ahli
sejarah, ia meninjau pemahaman mengenai perkembangan masyarakat dan hukum
melalui perkembangan sejarah Hukum Romawi, mulai dari zaman kuno hingga
terbentuknya Hukum Sipil Eropa Kontemporer. Savigny memiliki suatu hipotesis,
bahwa segala hukum terbentuk dari budaya yang akhirnya berkembang menjadi suatu
kegiatan juridiksi.
Menurut Savigny, hukum dan masyarakat berkembang dalam tiga tahap.
Pertama; perkembangan melalui pembentukan elemen-elemen politik (political
elements), yaitu prinsip-prinsip hukum yang tidak ditemukan dalam undang-undang,
melainkan bagian dari keyakinan dan spirit masyarakat tersebut (volksglauben).
Kedua; mentransformasikan elemen-elemen politik menjadi elemen teknis hukum
(techinical elements of juristic skills), pada periode ini masyarakat berada pada
puncak sebuah budaya hukum dan merupakan saat yang tepat untuk melakukan
kodifikasi hukum. Ketiga; ditandai dengan menurunnya eksistensi suatu
masyarakat/bangsa, pada tahap ini hukum tidak lagi menjadi nafas dan denyut nadi
kehidupan suatu masyarakat, melainkan hanya menjadi aset dan hegemoni para ahli
hukum.
Savigny memiliki pendapat, bahwa dalam tingkat hidup kesadaran manusia
terdapat hukum positif yang menjadikan masyarakat tersebut disebut sebagai
masyarakat hukum (volksrecht). Hal ini tidak berarti bahwa setiap anggota
masyarakat memiliki keinginan yang berubah-ubah. Maka dari itu, itu membuat
Savigny memiliki pemikiran, bahwa dengan semangat hidup manusia dan pekerjaan
semua individu memberikan kelahiran pada hukum positif, yang merupakan
kesadaran tiap individu tentang keburukan satu dengan yang lainnya.
Mazhab sejarah yang diinisiasi dan dikembangkan oleh Savigny mendapatkan
respon yang luas dan beragam, termasuk yang mengkritiknya. Savigny mengklaim
untuk mengetahui spirit dan jiwa bangsa Jerman adalah dengan memahami hukum
Romawi. Klaim ini merupakan sebuah paradoks, karena mengingkari thesis Savigny
sendiri, bahwa hukum itu identik dengan volksgeist. Secara implisit, konsep
volksgeist meminimalkan pentingnya peran individu. Dalam konteks ini, peran
individu hanya menjadi sosok adaptif, bukan sosok yang kreatif yang padahal suatu
perubahan justru dilakukan oleh sosok-sosok individu kreatif termasuk Savigny
sendiri. Teori hukum Savigny juga dianggap negatif, kabur dan bertendensi sektarian,
karena Savigny menentang kodifikasi hukum yang padahal kodifikasi diakui sebagai
metode legislasi modern yang banyak diadaptasi oleh banyak negara. Kontribusi
Savigny mengenai teorinya adalah, bahwa ia ingin menemukan jalan atau tawaran
baru dalam perkembangan hukum yang keluar dan memisahkan diri dari dominasi
aliran hukum alam dan positivisme.
2. Menurut Maine
Sir Henry Maine merupakan penentang dari perasionalisasian aliran Hukum
Alam dan Ultilitarian. Maine merupakan seorang yuris dalam bidang studi
perbandingan hukum dan juga seorang sejarawan. Maine memfokuskan penelitiannya
pada hukum di msyarakat primitif yang kemudian diperbandingkan dengan hukum
masyarakat modern, yang menyebabkan Maine memiliki pemahaman lekat terhadap
hukum adat. Maine menemukan adanya pola evolusi hukum di antara masyarakat
yang berbeda secara geografis, waktu dan tempatnya tersebut, misalnya terdapat pola-
pola yang sama antara hukum feodal di Inggris dengan hukum feodal di Romawi.
Kontribusi Maine mengenai pemahamannya mengenai Jurisprudence, adalah
mengenai pergerakan evolutif hukum dari Status ke Perjanjian. Dari situlah, Maine
memiliki penglihatan mengenai laju perkembangan hukum dan perbuatan hukum
yang menurutnya terdapat 5 (lima) tahap perkembangan, yaitu:
a. Pertama, hukum dibuat dalam budaya yang sedemikian patriarkis serta
mendasarkannya pada perintah personal sang penguasa. Legitimasinya
adalah perintah yang suci dan inspirasi dari yang tertinggi;
b. Kedua, suatu masa diaman hukum dimonopoli oleh sekelompok aristokrat
dan sekelompok elit masyarakat yang memiliki keistimewaan tertentu.
Maine menyebutnya sebagai Costumary Law atau Hukum Adat;
c. Ketiga, tahap ketika hukum-hukum adat yang ada coba dikodifikasikan
karena konflik yang terjadi di antara beberapa masyarakat pendukung
hukum adat yang bersangkutan;
d. Keempat, tahap hukum adat mulai ingin dikontekstualisasikan dengan
kondisi masyarakat dan kondisi zaman yang mulai maju dan berkembang.
Dalam hal ini hukum tradisional atau hukum adat mulai ingin
dimodernisasi dengan pertolongan fiksi hukum, prinsip kesamaan (equility
before the law) dan adanya lembaga-lembaga legislasi. Adapun tujuannya
ialah keharmonisan aturan hukum dengan relasi-relasi sosial dan
kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang;
e. Kelima, tahap ketika ilmu hukum memegang peranan yang besar untuk
membentuk hukum. Hukum yang terbentuk semakin sistematis dan
konsisten, juga ilmiah karena ilmu hukum menjadi metodologi untuk
membentuk hukum.
Maine menambahkan bahwa tahap-tahap tersebut tidak harus dilalui sedemikian rupa
oleh setiap masyarakat karena dapat saja terjadi salah satu tahap atau beberapa tahap
tidak terjadi atau tidak tampak dalam masyarakat tersebut. Maine hanya bermaksud
untuk menggambarkan kecenderungan umum yang terjadi dalam evolusi
perkembangan ilmu hukum dan perbuatan hukum.

Anda mungkin juga menyukai