Anda di halaman 1dari 6

ALIRAN HISTORI ATAU SEJARAH

Resume ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok 2


MATA KULIAH : FILSAFAT HUKUM
Dosen Pengampu : Drs. Azwani Lubis, M.Ag

Disusun Oleh:
Kelompok 2
HKI A
Mhd. Khairi Habib (0201201010)
Nurmalia Tara (0201201034)

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKSIYYAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2022-2023
RESUME MAZHAB SEJARAH

A. Mazhab Sejarah
Cikal bakal kelahiran mazhab hukum yang satu ini, pada mulanya dipelopori oleh Friedrich
Carl Von Savigny dan kemudian diikuti oleh muridnya sendiri, yaitu Puchta. Latar belakang utama
mempengaruhi Savigny menghadirkan mazhab ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh hidupnya
yang berada di masa gerakan romantisme, yang menamakan sejarah sebagai tradisi, kebiasaan dan
mengembangkan filsafat hukum dari evolusi sejarah.

Secara langsung gerakan romantisme menentang adanya kodifikasi hukum, di mana


pendapat yang berkembang saat itu melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang
dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum Gerakan romantisme sangat tidak sepakat
atas anggapan bahwa "code civil" (hukum sipil) merupakan kehendak legislatif dan harus dianggap
sebagai suatu sistem hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena
berasal dari alasan-alasan yang murni.

Sementara secara tidak langsung gerakan romantisme me- nentang aliran hukum alam dan
aliran hukum positif yang begitu terlalu mengagung-agungkan akal dan konsep universal, sehingga
menyebabkan hukum yang dihasilkan bersifat kaku. Selain itu juga secara tidak langsung gerakan
romantisme juga menentang semangat Revolusi Prancis yang tidak percaya pada wewenang tradisi
dengan misi kosmopolitannya yang begitu menaruh kepercayaan kepada rasio dan kekuatan tekad
manusia untuk mengatasi ling- kungannya, yaitu seruannya ke seluruh penjuru dunia.

Berkaitan dengan keberadaan masyarakat, romantisme melihat kekuatan-kekuatan kreatif


dalam kesatuan komunitas manusia, sumber kejiwaan kolektif ditemukan dalam sejarah masa
lampau.

Savigny berpendapat tentang konsep hukum, yang baginya konsep hukum itu adalah "
semangat dari suatu bangsa" yang terdiri dari beberapa prinsip, yaitu:
1. Hukum itu lahir dari hukum kebiasaan (custom).
Hukum kebiasaan bagi Savigny merupakan salah satu manifestasi dari hukum positif.
Hukum adat, menurutnya menjadi simbol atau penanda dari adanya hukum positif yang diakui
oleh masyarakat.

2. Hukum itu ditemukan, bukan dibuat.


Karena hukum itu berasal dari naluri suatu bangsa tentang apa yang dianggap benar (right)
dan proses pertumbuhan hukum terhadap apa yang dianggap benar itu tidak disadari, maka suatu
legislasi akan menghilangkan arti yang vital dari suatu hukum kebiasaan (custom).

3. Hukum itu berasal dari perasaan rakyat (popular feeling).


Yaitu oleh suatu kekuatan yang bekerja secara diam-diam (silently operating foreces)
Hukum bukanlah sesuatu yang dapat diciptakan secara sewenang-wenang dan terencana oleh
pembuat hukum Hukum adalah hasil dari proses yang bersifat internal dan otonom serta diam-
diam (silently operating) dalam diri masyarakat. Proses in berakar dalam sebuah bangsa dengan
dasar kepercayaan dan keyakinan bangsa yang bersangkutan serta kesadaran komunal bangsa
tersebut. Hukum layaknya seperti bahasa yang tumbuh dan berkembang dalam relasi kebangsaan
dan menjadi milik bersama dan juga kesadaran bersama.

4. Hukum itu merupakan produk dari bangsa yang genius.


Sebagaimana bahasa, ia terbentuk secara perlahan-lahan dan menjelma menjadi
karakteristik suatu rakyat (bangsa). Ia berkembang dengan tumbuhnya suatu bangsa dan mati
dengan hapusnya kepribadian suatu rakyat (bangsa). Savigny" mendefinisikan rakyat (bangsa)
sebagai sebuah kesatuan individu yang berane- karagam (kepentingan, kebutuhan, cita-cita, dan
lain-lainnya) hidup dalam keteraturan.

5. Hukum itu hadir sebagai ekspresi jiwa suatu bangsa (volkgeist).


Tentang apa yang dianggapnya benar dan adil. Jiwa suatu bangsa itu berbeda-beda bagi
tiap bangsa. Jiwa bangsa itu berbeda-beda pula dalam perjalanan waktu. Pencerminan adanya jiwa
yang berbeda-beda ini dapat dilihat dari budaya tiap bangsa yang berbeda-beda pula.
6. Hukum itu tidak bisa berlaku umum dan tidak statis.
Hukum hanya bisa diterapkan bagi bangsa tempat ia dibuat dan hukum itu merupakan
subjek pada setiap kemajuan dan setiap perkem bangan sebagaimana hal-hal lain yang tercermin
dari kehidupan suatu bangsa.

7. Ahli hukum sebagai medium perkembangan hukum lebih baik dari pembuat undang-
undang.
Pandangan Savigny ini kemudian dipertegas oleh muridnya sendiri yakni Puchta yang
merumuskan bahwa hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan, dan menjadi kuat
bersama- sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu
kehilangan kebangsaannya.

Menurut Savigny, lahir, tumbuh dan berkembangnya hukum Itu dapat diidentifikasi ke
dalam tiga nuansa, yakni:1
1. Pada masa permulaan, hukum berada pada suatu nuansa dan masa yang bersahaja dan tidak
mengembang, tanpa pengertian yang mujarab (abstrak), tetapi dengan bentuk, lambang dan
pernyataan perasaan yang jelas.
2. Bentuk hukum itu berkembang dari milik umum menjadi milik suatu golongan dan dalam
waktu berikutnya menjadi masak karena hukum tumbuh menjadi pengertian yang jelas.
3. Pada tingkatan usia lanjut, hukum berubah menjadi suatu hal yang terikat pada bentuk yang
tidak ada artinya Orang tidak lagi memerhatikan isi undang-undang yang sekarang menjadi
mujarab dan diperlakukan sebagai perkakas. Kekuatan membentuk hukum terletak pada
rakyat yang mempunyai ikatan rohani la adalah bangsa, suatu kesatuan jiwa, suatu kesatuan
yang tumbuh dalam berjalannya sejarah karena adat, bahasa, susunan masyarakat,
kebiasaan.2

1 Lili Rasjidi dan Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993),
hlm. 35.
2 Muhammad Erwin,”Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum”, (Jakarta: 2022), hlm. 189-191.
Sementara bagi Sir Henry Maine, perkembangan hukum dan pembuatan hukum akan
melalui lima tahap perkembangan, tahap- tahap tersebut adalah:

1. Tahap pertama, hukum dibuat dalam budaya yang sedemikian patriarkhis, dan
mendasarkan dirinya pada perintah personal sang penguasa Legitimasinya adalah perintah
yang suci, inspirasi dari yang tertinggi,
2. Tahap kedua, adalah masa di mana hukum dimonopoli oleh sekelompok aristokrat dan
sekelompok elit masyarakat yang memiliki privilise tertentu (hak istimewa), Maine
menyebut- nya sebagai costumary law (hukum adat, hukum kebiasaan),
3. Tahap ketiga, adalah tahap ketika hukum-hukum adat yang ada coba dikodifikasikan
karena konflik yang terjadi di antara beberapa masyarakat pendukung hukum adat yang
bersangkutan.
4. Tahap keempat, adalah tahap di mana hukum adat mulai ingin dikontekstualisasikan
dengan kondisi masyarakat dan kondisi zaman yang mulai maju dan berkembang Hukum
tradisional, dalam hal ini hukum adat atau hukum kebiasaan, mulai ingin dimodernisasi
dengan pertolongan fiksi hukum, prinsip kesamaan (equality before the law) dan adanya
lembaga- lembaga legislasi. Yang dituju adalah keharmonisan aturan hukum dengan relasi-
relasi sosial dan kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang.
5. Tahap kelima, adalah tahap ketika ilmu hukum atau jurisprudence memegang peranan yang
besar untuk membentuk hukum Hukum yang terbentuk semakin sistematis dan konsisten
juga ilmiah karena ilmu hukum menjadi metodologi untuk membentuk hukum.

Pengaruh positif telah diberikan oleh Mazhab Sejarah terhadap sistem hukum di tanah air,
yakni dengan telah diberikannya tempat bagi hukum asli orang Indonesia (hukum adat) untuk
berlaku di masyarakat hukum adat sebagaimana yang telah diatur oleh Pasal 18 B Undang-Undang
Dasar 1945. Pengangkatan ke permukaan hukum adat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hasil-
hasil perjuangan Iwan-ilmuwan Belanda yang ditukangi oleh Van Vollenhoven, Ter Haar maupun
Hollman dan lain-lain yang menganut pendapat Savigny.3

3 Ibid, hlm. 192 – 195.


B. Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Mazhab Sejarah

Nilai-nilai yang terkandung dalam mazhab sejarah merupakan nilai yang sangat mendalam
dan mendasar. Hai ini bisa terlihat dari pandangan Hegel yang melihat hukum sebagai ungkapan
ruh. Filsafat hukum Hegel bertolak belakang dengan fulsafat hukum Kant, sebuah fakta yang
seringkali dikaburkan dengan istilah “idealisme” yang berterap pada keduanya. Lebih jelasnya,
Hegel memandang hukum dalam kerangka moral, etika Hegel dan filsafat hukum Kant merupakan
sebuah satu kesatuan. Hukum, negara, dan etika merupakan jabaran perkembangan sejarah yang
merupakan manifestasi dari ruh bangsa, dan ruh bangsa ini secara keseluruhan merupakan
pengejewantahan dari ruh dunia. Konsepsi hukum Hegel berkaitan erta dengan pandangan
metafisiknya mengenai peran agama dan ruh, yakni ruh Tuhan. Menurut Hegel, pengadilan
memiliki arti yang sangat penting kendati dia tidak berharap memberinya fungsi legislasi. Meski
demikian, pengadilan memiliki tugas mengakui hukum sebagai hak yang diungkapkan dalam
undang-undang dan mempraktekkannya secara aktual.4

Menurut Savigny, terdapat terdapat hubungan organik antara hukum dan ewatak serta
karakter rakyat. Karena yang apa yang menyatukan mereka menjadi satu kesatuan adalah
keyakinan umum rakyat, perasaan yang sama mengenai kebutuhan internal, yang melepaskan
semua pemikiran yang muncul secara kebetulan dan berubah-ubah. Menurut gagasan itu hukum
adat merupakan hukum kehidupan yang sejati. Bila dibandingkan dengannya legislasi tidaklah
penting, ia hanya baik selama ini memiliki sifat deklaratif. Savigny memiliki sudut pandang yang
terkait dengan kontradiksi dalam sikap Hegel terhadap ruh bangsa. Savigny sama sekali tidak siap
memperlakukan semua bentuk hukum bangsa secara setara. Sebaliknya sebagai sebuah teladan
dan norma undang-undang Romawi baginya berada di atas semua sistem hukum. Perlu dikatakan
bahwa kendati mazhab sejarah sepertinya Hegel berpijak pada konsepsi ruh bangsa, penggunaan
konsep ini sangat berbeda. Dalam Mazhab Historis ruh bangsa berfungsi sebagai prinsip pemersatu
yang samar-samar, dan menjadi semacam lingkup umum untukm kajian institusi hukum dan
evolusinya secara rinci. 5

4
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, (Bandung : Nusa Media, 2010), hlm. 166.
5 Ibid, hlm. 175-177.

Anda mungkin juga menyukai