Anda di halaman 1dari 15

PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM DI INDONESIA DALAM UNSUR

FORMIL DAN MATERIL

TUGAS UAS MATA KULIAH

SEJARAH HUKUM

DOSEN PEMBIMBING
Dr. SOLEHODDIN, S.H., M.H.

Oleh

SUPRIYADI

221742018154402

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS WIDYAGAMA MALANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah hukum di Indonesia mengenal proses pembentukan awal dengan
terbentuknya masyarakat yang diperkirakan dimulai pada abad ke-5 sampai ke-6.
Pada tahap ini aturanaturan atas kepentingan masyarakat dibatasi dengan wilayah
teritori, ikatan keluarga, ataupun ikatan politik sehingga jumlahnya cukup banyak.
Seluruh aturan-aturan seperti ini kemudian dikenal dalam istilah hukum sebagai
adat yang jangkauanya hanya seluas batas teritori desa atau lebih luas lagi pada
klan yang menempati berbagai dusun. Sebelum munculnya hukum yang
didasarkan pada terpusatnya kekuasaan, maka adat inilah yang menjadi aturan
dalam kehidupan masyarakat selama beberapa abad sampai masuknya pengaruh
Hindu-Budha ke dalam sistem nilai dan hukum. Pada masa pengaruh Hindu-
Budha, legal pluralism atau beberapa aturan hukum yang mengatur masyarakat
dikenal juga. Kerajaan berbasis Hindu-Budha menerapkan aturan berdasarkan
pada agama dan juga sebagian tradisi yang telah berjalan sebelumnya.
Indonesia adalah sebuah negara yang telah mengalami sejarah panjang
dalam mengembangkan tata hukumnya. Proses perubahan tata hukum ini dimulai
sejak era penjajahan Belanda, ketika di Indonesia diberlakukan hukum Kolonial
Belanda. Setelah Indonesia merdeka, tata hukum ini mengalami perubahan yang
signifikan, dimulai dari konstitusi pertama, yaitu UUD 1945, yang kemudian
mengalami beberapa kali amandemen. Perkembangan selanjutnya adalah adanya
undang-undang yang mengatur tentang berbagai bidang hukum, seperti pidana,
perdata, dan tata usaha negara. (Djamali 2000)
Dalam setiap sudut dalam kehidupan ini pasti terkait dengan yang namanya
hukum, dimana merupakan sebuah sistem yang dibuat oleh manusia untuk
membatasi tingkah laku manusia agar dapat bisa terkontrol. Hukum juga
merupakan alat yang dapat digunakan untuk menegakan dan mencari keadilan.
Oleh sebab itu setiap masyarakat berhak untuk memperoleh pembelaan di depan
hukum sehingga bisa diartikan hukum merupakan ketentuan atau peraturan
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan
menyediakan sangsi bagi yang melanggarnya. Dengan demikian perlu adanya kita
mempelajari awal sejarah berdirinya Hukum terutama yang berlaku di Indonesia.
Hal inilah yang menjadi alasan utama Penulis dalam membuat makalah ini.
Dengan motivasi tesebut tersebut diatas Penulis ingin mengetahui secara rinci
awal terbentuknya hukum di negara Indonesia sejak periode penjajahan bangsa
Eropa hingga masa sekarang. Sehingga dengan tersusunnya makalah ini,akan
menjadi materi yang penting untuk memperjelas secara runtun dan sistematis
bagaimana awal terbentuknya suatu hukum di Indonesia yang terjadi secara
evolutif.

1.2 Rumusan Masalah


Uraian singkat diatas menghasilkan beberapa rumusan diantaranya :
1. Bagaimana konsep awal hukum terbentuk dan berdiri ?
2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan hukum tersebut berjalan dan berlaku
?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Awal Hukum Terbentuk Dan Berdiri


Munculnya teori hukum tidak dapat dilepaskan dari lingkungan jaman yang
terus berkembang, karena teori hukum hadir sebagai selah satu jawaban yang
diberikan terhadap permasalahan hukum yang terjadi pada suatu masa.
Dalam perkembangannya, teori hukum memiliki berbagai macam aliran,
dari aliran teokrasi, madzhab hukum alam dan aliran positifisme sampai aliran
hukum sejarah yang masing- masing mempunyai pandangan perspektif masing-
masing. Pada makalah ini Penulis akan menguraikan tentang kajian teori sejarah
hukum yang dikemukakan oleh para ahli antara lain sebagai berikut:
Friedrich Carl Von Savigny (1770-1861)
Savigny adalah seorang yuridis (ahli hukum) Jerman yang sukses membuat
Jerman tidak mengkodifikasi hukum perdata selama hampir 100 tahun. Savigny
menganggap bahwa hukum kebiasaan sebagai sumber hukum formal. Hukum
tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.
Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dan tiap-
tiap bangsa memiliki “Volksgeist” jiwa rakyat. Savigny berpendapat bahwa
semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan dari
pembentukan undang-undang. Penggagas teori ini melihat hukum sebagai entitas
yang organis namun dinamis. Hukum menurut teori ini dipandang sebagai suatu
yang natural, tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Hukum bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis karena akan
senantiasa berubah seiring dengan perubahan tata nilai di masyarakat.
Puchta (1798-1846)
Puchta berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa
yang bersangkutan. Hukum menurut Puchta dapat berbentuk (1) langsung berupa
adat istiadat (2) melalui undang-undang, (3) melalui ilmu hukum dalam bentuk
karya para ahli hukum.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus
disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisir dalam negara.
Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Puchta
mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa sehingga
pada akhirnya tidak ada ruang lagi bagi sumber-sumber hukum yang lain yang
dapat dipraktekkan dalam adat istiadat bangsa dan diolah oleh ahli-ahli hukum
kecuali hukum yang dibentuk oleh negara itu sendiri.
Henry Summer Maine (1822-1888)
Maine memiliki predikat sebagai pelopor Mazhab Sejarah di Inggris. Salah
satu penelitiannya yang terkenal adalah tentang studi perbandingan perkembangan
lembaga-lembaga hukum yang ada dan terbentuk pada masyarakat sederhana dan
msyarakat yang telah maju. Maine melakukan penelitian tersebut dengan dasar
pendekatan sejarah. Kesimpulan dari penelitian Maine kembali memperkuat
pemikiran Von Savigny yang membuktikan adanya evolusi pada berbagai
masyarakat dari masa ke masa.
Sebagai suatu disiplin ilmu, sejarah hukum tergolong pengetahuan yang
masih muda dan belum banyak dikenal bahkan di kalangan pakar hukum sendiri
sehingga pertumbuhan dan perkembangannya belum menggembirakan. Salah satu
penyebab hal itu terjadi karena belum disadarinya nilai penting disiplin ilmu baru
ini dalam menunjang dan memahami ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum
positif.
Menurut John Gilisen dan Frist Gorle, ada beberapa kegunaan dalam
mempelajari sejarah hukum antara lain:
a. Sejarah Hukum mengajarkan bahwa hukum tidak hanya berubah dalam
ruang dan letak (Hukum Amerika, Hukum Indonesia, Hukum Belgia dan
sebagainya), melainkan hukum juga berubah dalam lintasan waktu
b. Dengan mempelajari sejarah hukum, kita dapat mengerti tentang norma-
norma hukum yang berlaku dewasa ini.
c. Merupakan suatu acuan dan pegangan bagi kaum yuridis untuk mengenal
budaya dan pranata hukum
d. Memahami bahwa dari sejarah diketahui bahwa hal ikhwal tujuan hukum
dari masa perkembangannya adalah semata-mata sebagai perlindungan
hak asasi manusia terhadap perbuatan semena-menaatau tidak sesuai
dengan mestinya.

2.2 Mekanisme Pelaksanaan Hukum Tersebut Berjalan Dan Berlaku


Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945, terjadi revolusi di bidang hukum, yang mana perubahan
pemberlakuan hukum dari sistem hukum kolonial kepada sistem hukum Nasional
dengan ditandai disyahkannya UUD 1945. Berlakunya UUD 1945 disebut sebagai
dasar sistem hukum negara (staats fundamental norm) yaitu dasar dari tata hukum
nasional yang berisi norma-norma yang mengatur proses pembentukan dan
kompetensi dai organ-organ legislative, eksekutif dan yudikatif. UUD 1945 juga
sebagai dokumen nasional yang berisi perjanjian dan komitmen luhur yang
memuat kesepakatan di segala aspek kehidupan rakyat Indonesia mulai dari
politik, hukum kebudayaan, pendidikan, ekonomi, sosial dan aspek fundamental
lainnya yang menjadi tujuan bernegara. UUD 1945 juga dikatakan sebagai suatu
bukti kelahiran dari sebuah negara baru dan juga sebagai piagam di mata dunia
internasional untuk memperoleh pengakuan atas lahirnya sebuah negara baru dan
sebagai syarat untuk menjadi anggota PBB.
Agar tidak terjadi kekosongan hukum di negara Republik Indonesia yang
baru lahir tersebut, maka diterbitkan suatu ketentuan peralihan dalam Pasal II
Aturan Peraturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala peraturan
yang ada sebelumnya dan badan-badan negara tetap dinyatakan berlaku sebelum
diadakan peraturan baru menurut ketentuan UUD 1945 dan sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa bangsa Indonesia dan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara.
Salah satu alasan untuk sementara tetap mempertahankan berlakunya
produk hukum kolonial adalah karena hukum asli rakyat (hukum adat) masih
bersifat pluralistis dan tidak tertulis, sedangkan hukum kolonial dianggap telah
memenuhi unsur hukum modern yakni bentuknya tertulis dan beberapa sudah
terkodifikasi kedalam Kitab Undang-Undang (Wetboek). Disamping itu juga
untuk menghindari pemberlakuan hukum adat lain yang dominan yang dapat
menimbulkan perpecahan didalam negara.
Masa Tahun 1950 – 1966 (Periode Jaman Orde Lama)
Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno terjadi dinamika
perkembangan hukum yang sangat pesat. Sejarah mencatat pada masa ini terjadi
perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara federal dan
kemudian kembali lagi menjadi negara kesatuan. Demikian juga Undang-Undang
Dasar yang berlaku di Indonesia mengalami pergantian sebanyak tiga kali, mulai
dari UUD 1945 yang kemudian diganti Konstitusi RIS 1949, lalu berubah menjadi
dengan UUD Sementara 1950 dan akhrinya dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959 kembali lagi ke UUD 1945 sampai sekarang,
Kita ketahui bersama bahwa UUD 1945 pada awal dibentuk dan disahkan
oleh PPKI dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Hal ini dapat
diketahui dari pidato Presiden Soekarno pada saat pemberlakua UUD 1945 yang
menyatakan bahwa:
Tuan-tuan tentu mengerti ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar
Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat. Bahwa barangkali boleh
dikatakan pula inilah Revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-
Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-
benar oleh Tuan-Tuan, kita hari ini bias selesai dangan Undang-Undang
Dasar ini.
Namun seiring berjalannya waktu, sifat kesementaraan berlakunya UUD
1945 perlahan-lahan berkurang oleh kanyataan bahwa UUD 1945 ternyata mampu
bertahan dan dapat mengiringi proses revolusi kemerdekaan Negara Republik
Indonesia hingga sekarang ini. Oleh kare itulah kemudian Revolutiegrondwet
tidak lagi dimaknai sebagai UUD yang bersifat sementara, akan tetapi sudah
berkembang menjadi makna yang sesungguhnya yakitu sebagai undang-undang
yang berkarakter revolusi Indonesia.
Pada masa ini, meski bangsa Indonesia sudah merdeka, namun masih
banyak menghadapi gangguan dan cobaan salah satunya revolusi cicik dengan
ingin kembalinya Penjajah Belanda ke Indonesia. Disamping itu, di tengah
Bangsa Indonesa sendiri terjadi perbedaan pandangan antara pemimpin bangsa
dengan para tokoh-tokoh bangsa Indonesia sehingga timbul perbedaan mengani
arah pembangunan hukum dan penataan kelembagaan negara. Sehingga pada saat
itu dibentuklah Konstitusi RIS Tahun 1949 yang menghasilkan perubahan bentuk
negara kesatuan (NKRI) menjadi bentuk negara federa atau serikat (Republik
Indonesia Serikat) yang berlaku hanya 8 bulan kemudian diganti dengan UUD
Sementara 1950 yang berlaku sampai dengan Tahun 1959.
Dengan bentuk negara federal atau serikat dan bentuk pemerintahan
parlementer ternyata tidak cocok bagi bangsa Indonesia yang sejak awal
menganut sistem kesatuan, kebersamaan dan permusyawaratan. Pada masa
pemerintahan Parlementer menjadikan roda pemerintahan menjadi tidak efektif
karena terjadinya instabilitas politik dan pemerintahan yang disebabkan oleh
sistem pemerintahan itu sendiri, dimana terjadi kabinet yang sering berganti dan
jatuh bangun akibat serangan pihak parlemen (DPR) melalui mosi tidak percaya.
Sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 terjadi peristiwa penting yang menetukan
sistem ketatanegaraan bangsa Indonesia dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden
yang isinya memberlakukan kembali UUD 1945 yang terus berlaku sampai
sekarang.
Di momen pemberlakuan kembali UUD 1945 ini pula telah menjadi awal
sejarah kodiifikasi hukum di Indonesia, seperti diketahui dengan diundangkannya
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang mengakhiri masa
dualism hukum di bidang pertanahan. UUP Agraria ini menghapus berlakunya
produk hukum agrarian kolonial salah satunya agrarische Wet yang di dalamnya
terdapat ketentuan Domein Verklaring yang sangat merugikan rakyat.
Berikutnya adalah diberlakukannya Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman pada Tahun 1961 yang dijadikan dasar dalam mengatur lembaga
peradilan dan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hanya saja ada beberapa
masalah dalam penerapan undang-undang kehakiman ini karena menempatkan
kekuasaan kehakiman masih berada di bawah kekuasaan eksekutif yang
menyebabkan kekuasaan kehakiman tidak mandiri. Di dalam Undang-Undang ini
memuat ketentuan diperbolehkannya intervensi eksekutif yakni Presiden atas
yudikatif untuk ikut campur dalam proses peradilan demi kepentigan revolusi.
Padahal ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang KEhakiman ini jelas
bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam UUD 1945 yang membagi
kekuasaan menjadi 3m yaitu eksekutif, yudikatif dan legislative yang mana
kekuasaan yudikatif adalah merdeka dan mandiri, bebas dari campur tangan dan
intervensi kekuasaan manapun termsuk Kepala Negara, Karen ahal itu melanggar
konstitusi.
Salah satu produk hukum yang penting dalam era ini adalah, dikeluarkannya
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 yang isinya agar para
hakim dalam mengadili suatu perkara agar dihimbau untuk menganulir beberapa
pasal tertentu dalam Burgerlijk Wetboek karena dinilai tidak sesuai dengan jiwa
bangsa Indonesia.
Masa Tahun 1966 – GBHN 1999 (Periode Jaman Orde Baru)
Pada Tahun 1965 terjadi gejolak politik di tengah-tengah Bangsa Indonesia
yang berkaitan adanya perebutan kekuasaan antara Presidek Soekarno dengan
kelompok lain yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Puncak dari peristiwa ini
adalah terjadinya pemberontakan Partai Komunis Indonesi (PKI) pada tanggal 30
September 1965 yang menewaskan pahlawan Revolusi dan berlanjut
diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR Sementara pada Tahun 1966 yang
melengserkan kekuasaan Presiden Soekarno dan menunjuk Jenderal Soharto
sebagai Pejabat Presiden yang kemudian dikukuhkan menjadi Presiden Republik
Indonesia setelah masa kepemimpinan Soekarno.
Dibawah pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan masa Orde
Baru, terdapat salah satu kebijakan penting yaitu melaksanakan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen dan melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pada
masa Orde Baru ini, terjadi masa dimana hukum bukan lagi sebagai kekuasaan
namun sebagai konstruksi pembangunan negara guna tercapainya cita-cita
masyarakat yang adil dan makmur. Hukum untuk pembangunan tersebut
diterapkan dengan mengacu pandangan Roscou Pound yakni “law as a a toll of
social engineering” (hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat) dan
disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menurut pandangan Mochtar
bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembangunan (law as a toll od
development).
Pada tahun 1973 tersusunlah materi pembangunan hukum pada Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) yang isinya bahwa pembangunan hukum
diperuntukkan bagi terbentuknya sistem hukum nasional Indonesia yang
mengadopsi hukum asli dengan menerima materi dan unsur dari hukum asing.
Selama masa Orde Baru, hukum materiil yang berlaku masih tetap menggunakan
produk hukum kolonial. Kitab Undang_Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang masih tetap
berlaku dan belum dilakukan pembaharuan.
Pada masa Orde Baru kembali terjadi dualisme hukum di bidang
kehakiman, yakni para hakim diatur oleh dua lembaga (Departemen Kehakiman
dan Mahkamah Agung) sehingga tidak bebas dan mandiri dalam menjalankan
kekuasaan kehakiman. Seringkali hakim diintervensi oleh penguasa ketika
mengadii suatu perkara yang melibatkan Pemerintah, baik dalam perkara perdata
maupun pidana. Penegakan hukum dilaksanakan secara represif, yakni hanya
untuk melindungi kepentingan penguasa. Segala perbuatan yang mengganggu dan
merongrong wibawa Pemerintah akan ditindak tegas secara represif dengan
menggunakan produk hukum yang sudah usang. Hukum dijadikan saran untuk
mempertahankan kekuasaan agar tidak diganggu oleh kelompok lain yang
mencoba melakukan pembaharuan. Sehingga pada masa Orde Baru, tidak ada
pembaharuan di bidang penegakan hukum, demokratisasi dan pemerintahan.
Dengan terjadinya kekuasaan yang represif seperti ini, keberadaan hukum tidak
menjamin tegaknya keadilan, apalagi keadilan subtanstif sehingga menimbulkan
praktek penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM dan tidakan koruptif di
semua lini pemerintahan. Akibat penyelenggaraan negara dan penegakan hukum
yang represif dan koruptif tersebut maka terjadi gejolak di dalam negara, dimana
puncak gejolak tersebut munculnya gerakan reformasi untuk menurunkan rezim
Orde Baru era kepemimpinan Presiden Soeharto yang akhirnya berhasil
dilengserkan pada bulan Mei 1998.
Masa 1999 – Sekarang (Periode Jaman Orde Reformasi)
Setelah berkuasa selama kurang lebih 30 Tahun, akhirnya rezim Soeharto
jatuh setelah adanya aksi reformasi yang dilakukan segenap komponen bangsa
yang dimotori oleh para mahasiswa dan aktifis pro demokrasi. Aksi tersebut
berhasil memaksa Presiden Soeharto mundur dari kursi Presiden dan
menyerahkan kepemimpinan negara kepada B.J Habibie yang waktu itu menjabat
sebagai Wakil Presiden. Agenda reformasi pertama yang dilakukan B.J Habibie
adalah melakukan amandemen UUD 1945 melalui Sidang Istimewa MPR Tahun
1998 yang menghasilkan agenda ketatanegaraan yaitu melakukan pemilihan
umum pada tahun 1999 untuk memilih pada wakil rakyat (anggota Dewan
Perwakilan Rakyat). Dsari hasil Pemilu 1999 tersebut kemudian dibentuk Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) baru yang diketuai oleh Amien Rais selau salah
satu tokoh dalam gerakan reformasi pada tanggal 1998 yang berhasil
melengserkan Presiden Soeharto. Pada Tahun 1999 Pemilihan Presiden masih
dilakukan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Presiden yang dipilih
waktu itu adalah Abdurrahman Wahid yang menggandeng Megawati
Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih. Upaya penataan
sistem dan lembaga ketatanegaraan dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid
namun gebrakan yang dilakukan oelh Presideng dinilai terlalu radikal sehingga
menimbukan resistensi di kalangan anggota DPR dan MPR kala itu. Sehingga
pada akhirnya Presiden diseret ke siding Istimewa MPR karena diduga terlibat
dalam kasus dana budget Bulog dan Hibah dari Brunei yang berujung pada
pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR yang kemudian diantikan
oleh Megawati Soekarnoputri. Dari forum Sidang Istimewa MPR tersebut
diangkat Hamsah Haz sebagai Wakil Presiden hingga menjabat sampai pada
Tahun 2004.
Pada masa Presiden Megawati dilakukan penataan terhadap sistem
ketatanegaraan dan kelembagaan negara di Indonesia. Penataan sistem
ketatanegaraan yang sangat penting adalah merombak sistem pemilihan Presiden
dari pemiliah oleh MPR menjadi pemilihan secara langsung oleh Rakyat. Oleh
karena itulah pada tahun 2004 dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
pertama kali di Indonesia. Dari Pemilu Presiden pertama tersebut kemudian
terpilih Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil
Presiden periode 2004 – 2009. Model pemilihan secara langsung ini juga
kemudian diterapkan pada pemilihan Kepala Daerah (Gubernur dan
Bupati/Walikota) sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 bahwa pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung oleh
rakyat seperti hanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Reformasi kelembagaan juga dilakukan dengan adanya pembentukan
beberapa lembaga di bidang kehakiman yaitu di samping Mahkamah Agung
dibentuk pula Mahkamah Konstitusi yang diberi kewenangan mengadili perkara-
perkar terkait dengan masalah konstitusi khususnya mengenai uji materiil atas
undang-undang terhadap Undang Undang Dasar 1945. Di samping itu Mahkamah
Konstitusi juga diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa pemilihan umum.
Di samping Mahkamah Konstitusi, juga dibentuk lembaga negara khusus yang
bertugas mengawasi para hakim yaitu Komisi Judisial.
Reformasi hukum di bidang kekuasaan kehakiman telah menjadikan sstem
unifikasi kekuasaan kehakiman yang berada pada satu tangan yaitu Mahkamah
Agung sehingga memciptakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, bebas dari
intervensi kekuasaan lainnya. Seiring dengan waktu kemudian dilakukan
perombakan terhadap nama Departemen Kehakiman menjadi Departemen Hukum
dan Perundang-undangan dan kemudia diubah menjadi Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia yang digunakan hingga sekarang.
Restrukturisasi kelambagaan juga dilakukan dengan menempatkan MPR
bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara namun sebagai lembaga tinggi negara
yang sama kedudukannnya dengan DPR, Presiden dan BPK. Reduksi
kelembagaan negara juga dilakukan dengan menghapus Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) guna efisiensi penyelenggaraan negara
Selanjutnya pada tahun 2014, tampuk kepemimpinan negara berganti
diemban oleh Ir. Joko Widodo. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo
ini terlihat adanya peningkatan konsistensi dalam penegakan hukum. Salah satu
contoh adalahadanya gebrakan tindakan tegas terhadap tindak pidana illegal
fishing yang dilakukan dengan penenggelaman terhadap kapal ikan yang
tertangkap mencuri ikan di wilayah NKRI. Konsistensi lain adalah dilaksanakan
hukum pidana eksekusi terhadap terpidana mati yang sebelumnya belum pernah
dilakukan.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Perjalanan panjang bangsa Indonesia dari masa penjajahan hingga masa
sekarang ternyata turut serta secara dominan menyumbang dan memberikan
pengaruh besar bagi perkembangan sistem hukum yang ada di negara Indonesia,
Baik dalam bentuk produk hukumnya maupun konsruksi kelembagaan hukum
yang ada dan berdiri di dalamnya. Hal itu terbukti dengan sangat lekatnya produk-
produk hukum kolonial yang secara eksis dan konsisten masih berlaku dalam
sistem ketatanegaraan dan hukum di negara Indonesia. Karena produk kolonial
masa lampau yang sudah mengakar kuat ini sedikit banyak memberikan peran
bagi sulitnya penetrasi yang oleh para tokoh-tokoh hukum yang ada saat ini untuk
melaksanakan perombakan dalam semua komponen produk hukum masa lampau
seperti halnya polemik upaya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
terjadi dan viral baru-baru ini menimbulkan gejolak di tengah masyarakat yang
mana KUHP merupakan produk murni masa lampau yang sudah berakar kuat
dalam ideologi hukum Indonesia sudah layaknya disesuaikan dengan kondisi
perkembangan jaman sekarang.
Namun dengan seiringnya waktu berjalan perlu kita memahami dan kembali
berpijak pada salah satu teori hukum bahwa Hukum bersifat Statis dan juga
Hukum Bersifat Dinamis. Yang artinya bahwa Hukum bersifat Statis dimana
hukum merupakan norma dan kaidah peraturan yang berlaku di masyarakat yang
harus tetap ditegakkan tanpa memandang tempat dan kondisi jaman dan faktor
lainnya apapun. Namun juga Hukum Bersifat Dinamis dimana hukum merupakan
perwujudan pranata sosial yang penciptaannya bertujuan memberikan solusi atas
kondisi jaman pada masa itu yang selalu berubah sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat yang ada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Ali. R. Mohammad. 2012. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta. LKIS


Printing Cemerlang.

Djamali, R. Abdoel. 2000. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo


Persada.

Manan, Abdul. 2006. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana.

Muhtar, Mohamad Hidayat. 2023. Sistem Pemerintahan Indonesia, Dalam,


HUKUM TATA NEGARA: (KONSEP DAN TEORI). Sumatera Barat: PT
GLOBAL EKSEKUTIF TEKNOLOGI.

Murhaini, Suriansyah. 2017. Hukum dan Sejarah Hukum. Yogyakarta: Laksbang

M.Manullang, E Fernando. 2016. Selayang Pandang Sistem Hukum di Indonesia.


Jakarta: Kencana

Tarmizi, Ilyas, dan Kadriah. 2012. Pengantar Hukum Indonesia. Banda Aceh:
Universitas Syiah Kuala.

Anda mungkin juga menyukai