Anda di halaman 1dari 13

TUGAS PERBANDINGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT

“DALAM PERKAWINAN ADAT DAYAK NGAJU”

Guna memenuhi Tugas UTS

Dosen Pengampu : Nuraliah Ali, S.Pd.I., M.Pd.I

KELAS C

1. Christian Armafigo Raba 223020601157


2. Silva Dayani 223020601165
3. Dwita Ermiasi 223020601167
4. Nur Saleha 223020601176
5. Sandi Mangara Sijabat 223020601177

Fakultas Hukum

Universitas Palangka Raya

2023
PERBANDINGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT

“DALAM PERKAWINAN ADAT DAYAK NGAJU”

Pemerintah kolonial Indonesia memasukkan Hukum Islam ke dalam Hukum Adat setelah
Republik Indonesia merdeka, tetapi beberapa orang tidak setuju dengan keputusan tersebut.
Pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan juga merasakan tren ini dengan menghapus peradilan adat
secara bertahap. Dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sistem hukum Islam menjadi lebih
kuat. Di sisi lain, penghapusan ini berdampak negatif pada sistem hukum adat Indonesia.

Sistem hukum Indonesia mencakup Hukum Islam dan Hukum Adat. Hukum Islam
bersumber dari wahyu Ilahi yang termasuk dalam ajaran Islam, sedangkan hukum undang-undang
merupakan gagasan hukum yang diciptakan oleh manusia. Hukum Islam bersumber dari Al- Quran
dan As-Sunnah, yang didasarkan pada akal untuk menentukan hukumnya. Sebelum Indonesia
merdeka, hukum Islam mempunyai peranan penting dalam pembentukan hukum nasional.

Hukum Adat adalah sistem hukum non-statutior yang berasal dari kebiasaan masyarakat.
dan sebagian kecil Hukum Islam. Hukum Adat juga mencakup hukum berdasarkan oleh keputusan
hakim dalam perkara tertentu. Hukum Adat mulanya berkembang dari kebiasaan dan keyakinan
umum, lalu oleh yurisprudensi.

Pada awal mula sejarah kemerdekaan Indonesia, Hukum Adat mendapat pandangan besar,
dari beberapa pakar yang mengupayakan peranannya dalam sistem hukum nasional. Namun, ada
perdebatan tentang kedudukan Hukum Adat dalam sistem hukum nasional, sehingga menganggap
ini sebagai langkah mundur.

Selain itu, Politik hukum kolonial telah menyamakan letak dari Hukum Islam dan Hukum
Adat, seperti teori Receptie yang menyebutkan bahwa Hukum Islam berlaku apabila diterima oleh
masyarakat sebagai Hukum Adat.

Kedua sistem di Indonesia memiliki pengaruh terhadap satu sama lain, menunjukkan sifat
sistem terbuka. Tetapi, dalam perkembangannya, terdapat kelemahan dan kekuurangannya
kedudukan Hukum Adat, baik dari segi substansi hukum maupun struktur hukum. Sebaliknya,
Hukum Islam justru semakin diperkuat dengan penambahan substansi hukum dan struktur hukum.

1
Sistem hukum dapat dikatakan system hukum jika memiliki tiga komponen, yaitu struktur
hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Dalam kasus Hukum Adat, sebagian substansi
hukumnya seperti dihapusnya pengadilan adat juga berdampak pada struktur hukumnya setelah
kemerdekaan Indonesia. Padahal, pengadilan adat memiliki peran penting dalam menjaga eksistensi
Hukum Adat.

Sebaliknya, hukum Islam berkembang dengan baik. Berdasarkan Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hukum Islam menjadi bagian dari peradilan negara ketika
peradilan adat dikeluarkan dari sistem peradilan nasional, khususnya Peradilan Agama. Status
Peradilan Agama sebagai bagian dari sistem peradilan negara kemudian diperkuat oleh undang-
undang seperti UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.

Indonesia adalah negara yang kaya dengan berbagai keberagaman, baik itu agama, suku,
bahasa, adat dan budaya. Keberagaman ini menjadi hal yang sangat potensial bagi bangsa
Indonesia. Dalam kehidupan, masyarakat dan hukum adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
sebagaimana ungkapan ubi societas Ibi ius yang berarti “di mana ada masyarakat, di situ ada
hukum”. Oleh sebab itu, diperlukan peraturan hukum untuk mengatur kehidupan bersama agar
terciptanya ketertiban umum. Aturan hukum ini bisa bersifat tertulis maupun tidak tertulis, dan
berlaku dari tingkat pusat sampai daerah, yang mencakup hukum publik dan hukum privat.

Berbicara tentang hukum adat di Indonesia sebenarnya membahas bagaimana hukum


mengatur perilaku masyarakat agar patuh terhadap hukum. Daya guna hukum ini membutuhkan
pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Adat mengontrol perilaku masyarakat, dan jika
norma sosial dilanggar, maka nilai budayanya dapat terancam.

Dalam masyarakat modern, baik yang berkembang maupun yang sudah industrial, baik yang
demokratis maupun otoriter, penerapan hukum sebagai alat untuk menggerakkan perubahan sosial
memiliki efek yang signifikan. Kebudayaan adalah kekayaan yang sangat penting karena
mencerminkan karakteristik unik suatu tempat dan identitas bangsa atau negara. Karena budaya
adalah warisan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap kelompok masyarakat, setiap orang
bertanggung jawab untuk menjaga, merawat, dan melestarikan budaya.

Sebelum diberlakukan Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, Indonesia memiliki


berbagai hukum perkawinan yang berlaku. Ini karena adanya pluralisme hukum yang diberlakukan

2
oleh pemerintah Hindia Belanda, yang diatur dalam pasal 131 dan pasal 163 IS. Pasal-pasal ini
dengan jelas membedakan kalangan penduduk dan menentukan sistem hukum yang berlaku untuk
setiap kalangan penduduk, termasuk kalangan penduduk Eropa, kalangan penduduk bumi putera,
dan kalangan penduduk timur asing.

Konstruksi kolonial dalam Hukum Adat memainkan peran penting dalam mengatur hukum
modern di negara Indonesia. Dari dua pasal tersebut dapat dikatakan bahwa terdaapat penerapan
hukum yang berbeda-beda untuk berbagai golongan penduduk. Ini menghasilkan beragam hukum
perkawinan, seperti berlakunya hukum agama bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam yang
telah diresapi dalam Hukum Adat, hukum adat bagi orang Indonesia asli yang beragama lainnya,
Huwalijks Odonatie Christen bagi orang Kristen di Indonesia, dan sebagainya, sesuai dengan
kelompok penduduk masing-masing.

Walaupun hukum adat telah lama berlaku di Indonesia, istilah "hukum adat" yang pertama
kali diperkenalkan oleh Snouck Hurgonje pada akhir abad ke-19. Istilah ini kemudian dikembangkan
oleh para sarjana hukum adat. Hukum adat digunakan sebagai istilah teknis ilmiah untuk
membedakan antara Hukum Barat, yang umumnya tertulis, dengan Hukum Bumi Putera, yang
kebanyakan tidak tertulis. Hukum tertulis mencakup dokumen yang menetapkan prinsip-prinsip
dasar yang membentuk negara atau bangsa dan menentukan kedaulatan. Namun, konsep hukum
tidak tertulis juga memiliki peran penting dalam sejarah filsafat politik dan membantu mencari
aturan hukum di luar hukum tertulis.

Hukum Bumi Putera, yang telah ada sejak lama dan tidak tertulis, diteruskan dari generasi
ke generasi sebagai hukum adat. Di sisi lain, Hukum Barat di Indonesia adalah produk dari
kolonialisme Hindia Belanda yang dirancang untuk membantu pemerintah kolonial. Berbagai aspek
kehidupan sehari-hari, termasuk perkawinan, diatur oleh hukum adat. Karena melibatkan individu
dan merupakan bagian dari warisan keluarga, perkawinan dianggap sebagai peristiwa penting dalam
kehidupan masyarakat. Perkawinan dalam masyarakat tradisional harus memenuhi tata cara dan
syarat-syarat yang berlaku di masyarakat, serta disahkan oleh hukum agama atau kepercayaan
masyarakat setempat.

Indonesia, dengan semboyannya "Bhineka Tunggal Ika", memiliki ribuan pulau dan banyak
suku dan etnis yang berbeda. Setiap kelompok memiliki aturan, budaya, dan kebiasaan unik. Semua
aturan ini disebut "hukum adat". Dalam masyarakat pascakolonial, ia berkembang dengan
menggunakan pendekatan interdisipliner dan mempertimbangkan pluralisme hukum. Hukum adat
menunjukkan aturan masyarakat tradisional yang berbeda dengan aturan masyarakat kontemporer.

3
Meskipun Hukum Adat memiliki tradisi yang mungkin bertentangan dengan sistem politik
negara, ada kemungkinan Hukum Adat bercampur dengan prinsip-prinsip universal dan persatuan.
Rubin berpendapat bahwa hukum adat harus dipertahankan selama tidak bertentangan dengan
prinsip kemanusiaan yang diakui secara global. Hukum adat yang masih menerapkan hukum ini
seharusnya tidak mempertahankan prinsip kemanusiaan, yang mencakup larangan pembunuhan,
perbudakan, pendeportasian, dan ketidakadilan ras.

Perkawinan adalah tindakan sakral, dan status sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh
agama atau hukum agama. Faktor budaya penting, termasuk agama, memengaruhi keputusan untuk
menikah. Pernikahan adalah konsep yang dibangun oleh masyarakat melalui undang-undang,
termasuk undang-undang agama. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
perkawinan adalah sah di Indonesia jika dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan
masing-masing.

Perkawinan dianggap sebagai peristiwa sakral penting dalam kehidupan manusia. Dalam
Islam, Perkawinan adalah sunnah nabi dan merupakan kebutuhan rohani dan fisik. Perkawinan
dalam pandangan Islam diatur untuk memungkinkan orang memiliki keturunan dan keluarga yang
sah, yang akan memungkinkan mereka hidup dengan bahagia di dunia dan akhirat di bawah
naungan cinta kasih dan ridha Ilahi. Menurut perspektif ini, cinta adalah dasar perkawinan, yang
menekankan hubungan yang abadi hingga kematian.

Perkawinan adalah ikatan fisik dan spiritual antara seorang pria dan wanita. Ini adalah
hubungan yang melibatkan elemen lahir dan batin. Perkawinan membuat hubungan suami istri halal
dan sah secara hukum dan menciptakan dasar keluarga yang aman. Perkawinan dilakukan atas dasar
kerelaan dan sukarela dari kedua belah pihak, dan dipandu oleh wali wanita sesuai dengan aturan
agama. Hukum perkawinan diatur secara menyeluruh dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi, dan
dianggap sebagai salah satu bentuk ibadah dalam Islam.

Menurut hukum adat, perkawinan tidak hanya menjadi urusan pribadi antara suami dan istri,
tetapi juga menjadi kepentingan seluruh keluarga dan masyarakat adat. Hukum adat melihat
perkawinan sebagai peristiwa yang memiliki dimensi keduniaan dan kebatinan atau keagamaan.
Tujuan perkawinan dalam hukum adat bervariasi tergantung pada sistem kekeluargaan masyarakat
tertentu. Beberapa larangan perkawinan yang dikenal dalam hukum adat meliputi perkawinan antara
sepupu seibu atau seayah, perkawinan silang sepupu, larangan perkawinan berdasarkan hubungan

4
darah, serta ketentuan yang melarang perempuan menikah sebelum kakak perempuannya menikah
dan larangan perempuan menikah dengan laki-laki yang memiliki derajat lebih rendah.

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang menghasilkan keluarga dan merupakan aspek
penting dalam kehidupan sosial dan hukum masyarakat. Peraturan-peraturan perkawinan diatur oleh
hukum, baik yang tertulis dalam hukum negara maupun yang tidak tertulis dalam hukum adat.

Dalam hukum Islam, perkawinan diatur oleh Kompilasi Hukum Islam yang mencakup
berbagai aspek seperti peminangan, wali hakim, akad nikah, mahar, taklil talak, harta kekayaan
dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, khuluk, dan mutah. Kompilasi Hukum Islam juga
menentukan rukun dan syarat perkawinan, termasuk calon suami, calon istri, wali nikah, dua saksi,
serta ijab dan kabul. Semua peraturan ini didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam.

Bagi masyarakat dayak, konsep perkawinan adat memiliki makna yang sangat penting
karena hubungan persaudaraan berkembang dan berkembang. Ini juga dapat digunakan untuk
meningkatkan hubungan antara dua kelompok yang tidak memiliki hubungan darah atau untuk
memperkuat keanggotaan kelompok endogami tertentu. Perkawinan berdasarkan hukum agama
adalah ikatan suci di mana dua orang menjalani perintah Tuhan dan menjalani kehidupan
berkeluarga sesuai dengan ajaran agama mereka. Oleh karena itu, perkawinan memiliki aspek fisik
dan spiritual yang memengaruhi hukum agama yang dianut oleh calon mempelai dan keluarga
mereka.

Perkawinan dalam tradisi adat bertujuan untuk menjaga ketertiban sosial, membentuk
keluarga yang baik, mempertahankan status sosial, dan mengontrol kehidupan dan perilaku beradat.
Ini juga berfungsi sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai masalah yang mungkin muncul dalam
pergaulan remaja, serta masalah dalam dan di luar masyarakat. Karena pentingnya perkawinan adat
bagi orang Dayak, setiap tahap perkawinan, seperti Panganten Haguet, Penganten Mandai, dan Jalan
Hadat Perkawinan Suku Dayak Ngaju, harus dilakukan dengan hati-hati. Ini semua dilakukan untuk
memastikan nilai-nilai budaya tidak terkikis oleh modernisasi dan kemajuan zaman yang
berkembang di abad ini. Pelastarian budaya ini bergantung pada penerapan prinsip dalam kehidupan
sehari-hari dan kepatuhan terhadap norma sosial yang berlaku..

5
Secara umum, Perkawinan Adat biasanya dimulai dengan sebuah tahap yang disebut
pertunangan. Pertunangan merupakan perjanjian antara orang tua calon pengantin pria dan calon
pengantin wanita, dengan tujuan mengikat tali perkawinan anak-anak mereka melalui proses
peminangan. Dalam Suku Dayak Ngaju, proses sebelum pernikahan melibatkan beberapa tahap.
Tahapanini mencakup

1. Hakumbang auh atau manenga duit pangumbang,

Dalam proses ini adalah dilakukannya pertukaran uang sebagai langkah awal dalam
perkawinan. Pemberian uang tersebut adalah sebagai tanda bahwa seorang pria ingin menyunting
seorang wanita, dan jika keluarga wanita menerima uang tersebut, maka proses akan berlanjut ke
tahap selanjutnya, yaitu mamanggul atau mamupuh.

2. Mamanggul

Adalah tahap kedua di mana keluarga dari kedua belah pihak berkumpul untuk menyaksikan
proses pertunangan. Proses ini adalah membawa calon pengantin pria dan keluarganya untuk
bertemu dengan keluarga calon pengantin wanita. Tahap ini memiliki nilai simbol dalam budaya
Dayak yang memikiki arti yaitu memberi tanda pada lahan ladang yang sudah dimiliki seseorang,
sehingga orang lain tahu bahwa lahan tersebut telah ditempati. Dalam konteks perkawinan, ini
menandakan bahwa seorang wanita telah dipilih dan bukan lagi tersedia untuk perjodohan lainnya.

3. Maja Misek atau Meminang

Adalah tahap ketiga adat Suku Dayak Ngaju yang sering ditolak oleh banyak orang jika terlalu
jauh dengan penyelenggaraan perkawinan itu sendiri, disebut "Manggantung Pisek atau Pisek
Gantung." Hal ini disebabkan karena sering terjadi pembatalan jika terlalu lama antara tahap Misek
dan pelaksanaan perkawinan.

4. Mananggar Janji atau Mukut Rapin Tuak,

Adalah proses di mana kedua belah pihak bertemu secara untuk mengonfirmasi tanggal
pelaksanaan perkawinan. Jika pada saat Maja Misek hanya menentukan perkiraan bulan pernikahan,
saat mananggar janji ini, tanggal pernikahan akan diputuskan secara konkret. Pada saat ini, calon
pengantin pria juga bertanggung jawab untuk memberikan berbagai biaya perkawinan, termasuk
biaya pembuatan minuman tuak (Rapin Tuak), biaya pesta yang disebut Bulau Ngandung atau
Panginan Jandau, serta perlengkapan tidur dan isi kamar tidur yang disebut Jangkut Amak.

Selanjutnya yaitu Proses Pernikahan Adat Dayak, ini merupakan rangkaian upacara yang
dimulai dari rumah penganten pria hingga mencapai peresmian perkawinan di rumah penganten

6
wanita. Tahapan pelaksanaan perkawinan adat suku Dayak Ngaju adalah sebagai berikut:

a. Panganten Haguet

Panganten Haguet adalah saat dimana penganten pria berangkat menuju rumah penganten
wanita sesuai dengan kesepakatan tanggal perkawinan. Di rumah calon pengantin laki-laki biasanya
mengadakan jamuan sederhana dengan sangku yang berisi beras dan ramun pisek, termasuk
handuk, sabun, bedak, dan sebagainya.

b. Panganten Mandai

Penganten Mandai adalah penganten pria tiba di rumah penganten wanita. Saat kedatangan
mereka, beberapa kegiatan termasuk Mambuka Lawang Sakepeng dilakukan untuk membuka pintu
gerbang pelepah daun kelapa yang diberi hambatan berupa benang dengan bunga warna-warni.
Pesilat dari kedua pihak memutuskan benang-benang tersebut, melambangkan kerjasama dalam
menyelesaikan masalah dalam rumah tangga.

c. Mambuka Lawang Sakepeng

Mambuka Lawang Sakepeng adalah upacara membuka pintu gerbang dengan benang
berhindar yang dipasangi bunga warna-warni. Penganten pria dan rombongannya tidak boleh masuk
sebelum benang-benang tersebut diputuskan oleh pesilat-pesilat yang mewakili kedua pihak.

d. Mamapas

Mamapas adalah upacara yang bertujuan untuk membersihkan penganten, rumah, dan
lingkungan agar bebas dari hal-hal yang buruk yang bisa disebabkan oleh roh-roh jahat yang disebut
Pali Endus Dahiang Baya. Penganten pria dan rombongannya dapat masuk setelah benang benang
Lawang Sakepeng diputuskan, dan ada prosesi taburan beras dan bunga rampai di depan pintu
rumah.

e. Haluang Hapelek

Haluang Hapelek adalah dialog antara wakil dari pihak penganten pria dan wanita untuk
menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam perkawinan yang harus diberikan oleh penganten pria
kepada penganten wanita. Masing-masing pihak memiliki utusan yang bertindak sebagai Luang.
Tujuan utama dari acara ini adalah mencapai kesepakatan mengenai syarat-syarat perkawinan.

f. Panganten Hatatai

Panganten Hatatai merupakan upacara pengukuhan perkawinan khusus bagi masyarakat


Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju. Upacara ini biasanyadipimpin oleh seorang Basir dan
melibatkan pengolesan darah hewan korban ke tubuh kedua mempelai. Mereka duduk di atas gong,
7
memegang pohon sawang, dan mengikat Dereh Uwei bersamaan dengan Rabayang sebagai tanda
kesaksiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penguasa alam bawah. Basir menggunakan darah
hewan korban, minyak kelapa, tanah, air, beras, dan tampung tawar dalam upacara ini untuk
menyucikan kedua mempelaidan memberikan berkah bagi kehidupan berumah tangga mereka.

Analisis Perbandingan

Pada analisis hukum islam terhadap perkawinan adat dayak membahas fakta bahwa,
perkawinan adat Dayak seringkali diikuti warga Muslim, meskipun dalam prosesi pernikahan adat
ini terdapat perbuatan yang berlawanan dengan ajaran Islam. Dalam wawancara dengan Jainal
Rakhim, yang sempat mengikuti pernikahan adat Dayak, terungkap bahwa ada unsur-unsur agama
Kaharingan yang hadir dalam pernikahan adat tersebut, yang tidak selaras dengan Islam. Sebagai
contoh, dalam upacara membuka Lawang Sakepeng, terdapat ritual minum tuak yang sesungguhnya
diharamkan dalam Islam.

Terlepas dari tujuan menjalankan tradisi adat yang turun-temurun, minum tuak dalam
perkawinan adat Dayak tetap dianggap haram dalam Islam. Beberapa orang bahkan melaksanakan
perkawinan adat terlebih dahulu, kemudian tinggal serumah dan bahkan memiliki anak, sebelum
akhirnya melangsungkan perkawinan Islam. Hal ini tentu tidak sesuai dengan hukum Islam, yang
menyarankan agar perkawinan adat Dayak diikuti oleh perkawinan Islam.

Pernikahan adat memiliki prinsip yang berbeda dengan pernikahan Islam. Pernikahan Islam
memiliki rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, termasuk calon suami, calon istri, wali, saksi,
dan ijab qabul. Di sisi lain, perkawinan adat tidak menggunakan wali dan saksi seperti dalam Islam.
Namun, tradisi adat bisa tetap dilaksanakan selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pernikahan adat Dayak juga memiliki perbedaan dalam masalah warisan. Misalnya, dalam
perjanjian kawin adat, jika salah satu pihak meninggal dunia dan mempunyai anak, semua harta
mereka akan menjadi hak anak, dan ahli waris lainnya tidak berhak menerima. Ini berbeda dengan
hukum Islam yang memiliki ketentuan warisan yang lebih rinci.

Meskipun perkawinan adat Dayak dipraktikkan oleh masyarakat Muslim, hukum Islam harus
dijunjung tinggi. Tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam harus ditinjau ulang. Hukum Islam
sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia harus ditaati dan dipegang teguh oleh
mayoritas penduduk. Masyarakat Dayak Muslim harus lebih memahami hukum Islam dan
menjalankannya dengan baik.

8
Selain itu, dalam konteks hukum Islam, adat yang tidak sesuai dengan hukum Islam bisa
dikategorikan sebagai 'urf fasid, yang bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, jika
seseorang menerima agama Islam sebagai keyakinan, ia harus taat pada hukum Islam dan
menjalankannya dengan benar. ‘urf merupakan sumber hukum yang diambil oleh mazhab Hanafy
dan Maliky, yang berada diluar lingkup nash. ‘Urf (tradisi) adalah bentuk muamalah (hubungan
kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) di tengah
masyarakat.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Lastuti. "REVITALISASI HUKUM ADAT SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM


MEMBANGUN SISTEM HUKUM INDONESIA." Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran

Achmadi, Fathul, Ifrani, & Topan, Muhammad. (2021). "PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK
MERATUS DI KALIMANTAN SELATAN." Jurnal Penegakan Hukum Indonesia (JPHI), E-
ISSN: 2746-7406.

Aditya, Zaka Firma. (2019). "ROMANTISME SISTEM HUKUM DI INDONESIA: KAJIAN ATAS
KONSTRIBUSI HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBANGUNAN
HUKUM DI INDONESIA." Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Jakarta.

Adnan Bumaeri, Asep Deni. (2023). "HUKUM ADAT." Penerbit Widina Bhakti Persada Bandung.

Dedi Sumanto. (2018). "HUKUM ADAT DI INDONESIA PERSPEKTIF SOSIOLOGI DAN


ANTROPOLOGI HUKUM ISLAM." Fakultas Syari’ah IAIN Sultan Amai Gorontalo, Kota
Gorontalo.

Konoras, Abdurrahman. (2016). "EKSISTENSI HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT DALAM
SISTEM HUKUM NASIONAL." Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 14 No. 2, Institut Agama Islam
Negeri (IAIN Manado).

Noriania, Abubakar HM, Muhammad Iqbal. "Akulturasi Islam dalam Perkawinan Adat Dayak
Ngaju: Sejarah Masyarakat Muslim di Desa Petak Bahandang, Kabupaten Katingan,
Kalimantan Tengah." Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. 15, No. 02, Desember 2019,
hal. 107-117. DOI: 10.23971/jsam.v15i2.1624. ISSN: 1829-8257; E-ISSN: 2540-8232.

Novialayu, Ela, Offeny, Sakman. "Pelaksanaan Perkawinan Menurut Adat Dayak Ngaju di
Kecamatan Timpah Kabupaten Kapuas." Jurnal Paris Langkis: Jurnal Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 1, Agustus 2020.

Nugroho, Sigit Sapto. 2016. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Solo: Pustaka Iltizam.

Muliaz, Rolly. (2018). "PELAKSANAAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT DAYAK


NGAJU DITINJAU DARI HUKUM ISLAM." Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Kuala Kapuas,
Kalimantan Tengah.

10
Mulyawan, Agus, dkk. 2023. "TICAK KACANG DALAM TRADISI ADAT DAYAK: TINJAUAN
KESESUAIAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM
ISLAM." Jurnal Ilmu Hukum "THE JURIS," Vol. VII, No. 1. ISSN 2580-0299, e-ISSN 2580-
8370.

Rais, Sasli. (2023). "HARMONISASI HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM ADAT SIMAH NIKAH
ADAT DAYAK KALIMANTAN TENGAH." Kementrian Agama Kalimantan Tengah.

Surya Sukti, Munib, Imam S Arifin. (2020). "PERNIKAHAN ADAT DAYAK NGAJU PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM." Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya, Indonesia.

Tahali, Ahmad. (2018). "HUKUM ADAT DI NUSANTARA INDONESIA." Jurisprudentie, Volume 5


Nomor 1 Juni 2018 27, Universitas Al Khairaat Palu.

Wati, Julianti Agung, dkk. "Sistem Tradisi Perkawinan Adat Dayak Ngaju di Desa Pamarunan
Kecamatan Kahayan Tengah." Jurnal Kewarganegaraan, Vol. 5, No. 2, Desember 2021. P-
ISSN: 1978-0184, E-ISSN: 2723-2328, Universitas Palangka Raya.

11
12

Anda mungkin juga menyukai